bab 2 tinjauan kepustakaan - · pdf fileberhubungan antara satu dengan lainnya, ... sheet...

38
5 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Manajemen Konstruksi Menurut Nugroho (2001), proyek adalah sekumpulan kegiatan yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya, dengan menggunakan sumber daya dari saat awal kegiatan dimulai sampai dengan pada saat akhir kegiatan untuk memperoleh suatu manfaat tertentu, dimana penggunaan sumber daya dan manfaatnya dapat diukur. Sedangkan, menurut BPS (1994), proyek konstruksi adalah suatu kegiatan yang hasil akhirnya berupa bangunan/konstruksi yang menyatukan dengan lahan tempat kedudukannya, baik digunakan sebagai tempat tinggal atau sarana kegiatan lainnya. Kegiatan konstruksi meliputi perencanaan, persiapan, pembongkaran, dan perbaikan/perombakan bangunan. Pengertian manajemen konstruksi (construction management) yaitu bagaimana cara agar sumber daya yang terlibat dalam proyek konstruksi dapat diaplikasikan oleh manajer proyek secara tepat. Proyek konstruksi merupakan rangkaian kegiatan yang hanya satu kali dilaksanakan dan umumnya berjangka waktu pendek. Dalam rangkaian kegiatan tersebut, terdapat suatu proses yang mengolah sumber daya proyek yang menjadi suatu hasil kegiatan yang berupa bangunan. Karakteristik proyek konstruksi dapat dipandang dalam tiga dimensi yaitu unik, melibatkan sejumlah sumber daya, dan membutuhkan organisasi (Ervianto, 2005). Manajemen Proyek Konstruksi adalah merencanakan, mengorganisir, memimpin, dan mengendalikan sumberdaya untuk mencapai sasaran jangka pendek yang telah ditentukan (Soeharto, 1999). Menurut Soeharto (1999), tujuan dari proses manajemen proyek adalah sebagai berikut : 1. Agar semua rangkaian kegiatan tersebut tepat waktu, dalam hal ini tidak terjadi keterlambatan penyelesaian suatu proyek. 2. Biaya yang sesuai, maksudnya agar tidak ada biaya tambahan lagi di luar dari perencanaan biaya yang telah direncanakan. 3. Kualitas sesuai dengan persyaratan. 4. Proses kegiatan sesuai persyaratan.

Upload: vuongkhanh

Post on 31-Jan-2018

253 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

5

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Manajemen Konstruksi

Menurut Nugroho (2001), proyek adalah sekumpulan kegiatan yang saling

berhubungan antara satu dengan lainnya, dengan menggunakan sumber daya dari

saat awal kegiatan dimulai sampai dengan pada saat akhir kegiatan untuk

memperoleh suatu manfaat tertentu, dimana penggunaan sumber daya dan

manfaatnya dapat diukur. Sedangkan, menurut BPS (1994), proyek konstruksi adalah

suatu kegiatan yang hasil akhirnya berupa bangunan/konstruksi yang menyatukan

dengan lahan tempat kedudukannya, baik digunakan sebagai tempat tinggal atau

sarana kegiatan lainnya. Kegiatan konstruksi meliputi perencanaan, persiapan,

pembongkaran, dan perbaikan/perombakan bangunan.

Pengertian manajemen konstruksi (construction management) yaitu

bagaimana cara agar sumber daya yang terlibat dalam proyek konstruksi dapat

diaplikasikan oleh manajer proyek secara tepat. Proyek konstruksi merupakan

rangkaian kegiatan yang hanya satu kali dilaksanakan dan umumnya berjangka

waktu pendek. Dalam rangkaian kegiatan tersebut, terdapat suatu proses yang

mengolah sumber daya proyek yang menjadi suatu hasil kegiatan yang berupa

bangunan. Karakteristik proyek konstruksi dapat dipandang dalam tiga dimensi yaitu

unik, melibatkan sejumlah sumber daya, dan membutuhkan organisasi (Ervianto,

2005).

Manajemen Proyek Konstruksi adalah merencanakan, mengorganisir,

memimpin, dan mengendalikan sumberdaya untuk mencapai sasaran jangka pendek

yang telah ditentukan (Soeharto, 1999). Menurut Soeharto (1999), tujuan dari proses

manajemen proyek adalah sebagai berikut :

1. Agar semua rangkaian kegiatan tersebut tepat waktu, dalam hal ini tidak

terjadi keterlambatan penyelesaian suatu proyek.

2. Biaya yang sesuai, maksudnya agar tidak ada biaya tambahan lagi di luar dari

perencanaan biaya yang telah direncanakan.

3. Kualitas sesuai dengan persyaratan.

4. Proses kegiatan sesuai persyaratan.

6

2.2 Metode Pelaksanaan Konstruksi

Metode pelaksanaan konstruksi beton dibedakan menjadi 2, yaitu :

1. Sistem Beton Konvensional

Menurut Novdin (2012), pengertian sistem beton konvensional adalah

metode pelaksanaan struktur yang dalam pelaksanaannya menggunakan bahan

tradisional kayu dan triplek sebagai formwork dimana pengecoran beton dilakukan di

tempat. Sistem beton konvensional ini sudah mulai ditinggalkan karena waktu

pelaksanaannya yang lama, kurang bersih, dan memerlukan tenaga kerja yang lebih

banyak.

2. Sistem Beton Pracetak

Menurut Dwi Dinariana (2013), pengertian konstruksi beton pracetak atau

precast adalah suatu konstruksi bangunan yang komponen bangunannya

dipabrikasi/dicetak terlebih dahulu di pabrik atau di lapangan, lalu disusun di

lapangan untuk membentuk satu kesatuan bangunan gedung. Produksi pracetak bisa

dilakukan di pabrik atau di site/lapangan, dimana jika dilakukan di lapangan

diperlukan lahan produksi/pabrikasi (Casting Area) yaitu suatu lahan degan luasan

tertentu yang dipersiapkan untuk tempat produksi komponen pracetak, yang dapat

dibuat di lokasi atau di tempat pabrikasi kuhsus di luar lokasi bangunan. Untuk

produksi pracetak diperlukan juga lahan penumpukan (Stocking Area) yaitu suatu

lahan dengan luasan tertentu yang dipersiapkan untuk tempat penumpukan

komponen pracetak sementara, sebelum disusun di lapangan untuk membentuk satu

kesatuan bangunan gedung.

Pemindahan komponen pracetak menuju lokasi lain/lokasi penumpukan

disebut sebagai kegiatan langsir dimana pekerjaan langsir ini biasa dilakukan dengan

bantuan alat berat crane seperti mobile crane atau tower crane. Dalam sistem beton

pracetak, komponen beton pracetak yang akan dipasang ini merupakan komponen

yang siap pakai sehingga tinggal disambung pada bagian struktur lain dan menjadi

sebuah struktur yang utuh. Biasanya proses pengecoran dan curing juga dilakukan di

pabrik. Dikarenakan proses pengecorannya dilakukan di pabrik/tempat khusus maka

mutu yang dihasilkan untuk setiap komponen dapat terkontrol/terjaga dengan baik.

Beton pracetak ini juga lebih efektif dan menguntungkan bila komponen diproduksi

secara massal (dalam jumlah yang banyak) sehingga akan lebih murah karena

dilakukan secara berulang dalam bentuk dan ukuran sesuai dengan yang diinginkan

serta dalam jumlah besar.

7

Sebenarnya beton pracetak tidak berbeda dengan beton biasa, hanya metode

pabrikasinya yang menjadikan beton pracetak ini berbeda. Alasan penggunaan beton

pracetak ini dianggap lebih ekonomis antara lain : mengurangi biaya pemakaian

bekisting, mereduksi biaya upah pekerja karena jumlah pekerja relatif lebih sedikit,

mereduksi durasi pelaksanaan proyek sehingga overhead yang dikeluarkan menjadi

lebih kecil (Ervianto, 2006:7). Selain itu, menurut Ervianto, bekerja di permukaan

tanah jauh lebih mudah dan lebih aman untuk dilakukan, seperti persiapan cetakan,

pengecoran, perapian permukaan, perawatan dan penggunaan bekisting yang dapat

berulang kali.

Sistem beton pracetak sendiri berdasarkan proses pelaksanaan di lapangan

dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu beton pracetak “partial precast” dan beton

pracetak “full precast”. Proses pembuatan/produksi komponen beton pracetak untuk

kedua sistem tersebut dapat dilakukan di pabrik/plant atau di lapangan/cast in place.

Gambar 2.1 Bagan Pekerjaan Beton Pracetak

(Sumber : Analisa Harga Satuan Pekerjaan Struktur Beton Pracetak

(2013:6))

Beton pracetak “partial precast” atau beton pracetak sebagian dalam

pelaksanaannya di lapangan diperlukan beberapa proses yaitu :

1. Proses pembuatan/produksi komponen beton pracetak.

2. Proses instalasi/perakitan/erection.

3. Proses sambungan/joint.

8

4. Proses topping (pengecoran sisa beton di permukaan komponen pracetak

setelah instalasi).

Sedangkan, beton pracetak “full precast” atau beton pracetak penuh dalam

pelaksanaannya di lapangan diperlukan beberapa proses yaitu :

1. Proses pembuatan/produksi komponen beton pracetak.

2. Proses instalasi/perakitan/erection.

3. Proses sambungan/joint.

2.3 Sejarah Pracetak

Penggunaan beton pracetak di Indonesia mulai populer saat diselesaikaannya

proyek Jembatan Semanggi di Jakarta oleh Ir.Sutami dan Ir.Rooseno pada tahun

1964. Menurut IAPPI (2008) dalam Focus Group Discussion , untuk penggunaan

pracetak rumah susun di Indonesia pertama kali di Rusun Sarijadi Bandung (1979)

dengan Sistem Brecast dari Inggris. Perkembangan sistem pracetak di era 1980

sampai dengan pertengahan 1990 masih didominasi oleh sistem pracetak dari luar

negeri seperti Sistem Cortina dari Meksiko yang diterapkan di Rumah Susun Klender

dan beberapa daerah lainnya seperti di Tanah Abang (Jakarta), Palembang, dan

Medan. Dari tahun 1979 hingga 1990 ini disebut sebagai generasi pertama sistem

pracetak Indonesia.

Tahun 1995, Perum Perumnas mulai melakukan pengembangan terhadap

pengadaan rumah susun sehingga kesempatan ini banyak digunakan oleh para pelaku

konstruksi Indonesia untuk mengembangkan sendiri sistem pracetak buatan dalam

negeri. Kemudian, dari tahun 1995 hingga 2002 disebut sebagai generasi kedua

sistem pracetak Indonesia. Sebagai contoh didirikannya Perumnas Cengkareng,

Otorita Batam, dan PT. Pelindo II.

Pada tahun 1996-2008 sistem pracetak pun terus dikembangkan dan

disesuaikan dengan kondisi Indonesia dalam hal ini seperti permasalahan alat berat

maupun transportasi dan juga mulai adanya keterlibatan pakar dalam negeri. Pada

tahun 2003, sebagai bagian dari Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah

(GN-PSR) maka adapun program rumah susun tersebut ditangani secara langsung

oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah melalui Ditjen Perkim dengan

Proyek Uji Coba Rusunawa Nasional. Seiring dengan adanya program percepatan

pembangunan rusuna pada tahun 2006, maka pihak-pihak yang terikat bersama

dengan industri pracetak mengembangkan dan melakukan pengujian terhadap sistem

9

pracetak tahan gempa untuk rumah susun sederhana bertingkat tinggi sehingga dapat

turut mendukung program yang sedang berlangsung saat itu. Secara teknis, pada

tahun yang sama sistem pracetak juga dikembangkan agar mampu diterapkan pada

bangunan tinggi dan dapat pula diterapkan tidak hanya pada struktur bangunan saja,

namun ke arah arsitektur bangunan.

Penerapan sistem pracetak ini pun terbukti handal diterapkan di lapangan

dalam mendukung pembangunan rumah susun dan rumah sederhana yang dapat

mengatasi berbagai permasalahan teknis di lapangan dan telah menghasilkan puluhan

sistem pracetak yang telah dipatenkan dan diterapkan secara aktif sampai ke daerah

terpencil. Sampai saat ini telah muncul lebih dari 30 sistem pracetak di Indonesia

yang dapat diterapkan baik untuk bangunan bertingkat sedang sampai tinggi.

Adapun penerapan sistem pracetak di Indonesia dari tahun 1979-2006 antara

lain : Rusunawa Cengkareng, Rusunawa Tanjung Piayu Batam, Rusunawa Otorita

Batam di Muka Kuning, Rusunawa Pemda DKI di Marunda, Rusunawa Medan,

Rusunawa Tanjung Balai, Rusunawa Mukakuning Batam, Rusunawa Cingised

Bandung, Rusunawa Nunukan Kal-Tim, Rusunawa Undip Semarang. Sejak tahun

1979-2008 telah dibangun rusunawa yang menggunakan sistem pracetak sebanyak

240 blok atau 24.244 unit. Dengan kata lain, sekitar 75% dari seluruh rusuna yang

dibangun di Indonesia 99% dari jumlah rusuna yang dibangun di Indonesia selama 4

tahun terakhir telah memanfaatkan teknologi pracetak.

Gambar 2.2 Penyebaran Penerapan Sistem Pracetak untuk Bangunan Gedung

(Sumber : IAPPI, 2008. Sistem Pracetak Dalam Menunjang Program

Pembangunan Rumah Susun Sederhana dan Rumah Sederhana Sehat)

10

Gambar di atas menunjukkan penyebaran penerapan sistem pracetak di

Indonesia (dari Banda Aceh sampai Jayapura) untuk bangunan gedung. Dari

keseluruhan lokasi pembangunan, berdasarkan evaluasi dan penelitian yang telah

dilakukan terbukti bahwa dari segi biaya sistem pracetak tidak ada yang melampaui

biaya dari sistem konvensional. Sehingga dapat dikatakan sistem pracetak terbukti

ekonomis karena biayanya lebih murah dibanding sistem konvensional.

2.4 Klasifikasi Sistem Pracetak

Sistem pracetak dibagi menjadi 2 kategori yaitu :

1. Sebagai komponen struktur

Penggunaan beton pracetak ini tidak hanya digunakan pada bangunan gedung

namun dapat digunakan pula pada struktur bangunan lain yaitu :

a. Tiang pancang.

b. Sheet pile dan dinding diaphragma.

c. Girder jembatan dan jalan layang.

d. Turap.

e. Pelat lantai pracetak.

Bentuk yang umum digunakan adalah pelat prategang berongga (hollow

core slab).

f. Balok beton pracetak dan balok beton pratekan pracetak.

g. Panel-panel dinding.

h. Komponen pracetak lainnya : tangga, panel-panel pentup, dan unit-unit

beton pracetak lainnya sesuai dengan desain dari arsitek.

2. Sebagai sistem struktur

Sistem pracetak semakin berkembang setelah munculnya berbagi inovasi

sebagai sistem struktur yang dapat dikategorikan menjadi 36 sistem

berdasarkan data dari IAPPI tahun 2011:

Tabel 2.1 Daftar Sistem Pracetak di Indonesia

No Nama Sistem Produsen Tahun 1 MPS SYSTEM PT.MEITAMA ABADI 2011 2 CIRCON SYSTEM PT. ANUGERAH PUTRA NOBAS 2011 3 CLIPCON SYSTEM PT. SINERGY PRACON

NUSANTARA 2011

11

Lanjutan Tabel 2.1

No Nama Sistem Produsen Tahun 4 JOINT APBN SYSTEM Pusat Penelitian dan Pengembangan

Permukiman, Balitbang, Kementrian Pekerjaan Umum

2010

5 Kencana System PT. Kencana Precast 2010 6 TRINITY SYSTEM PT. PRIMA USAHA TRINITY 2010 7 RB-CON SYSTEM PT. PRIMA JAYA PERSADA 2010 8 BKP SYSTEM PT. BANGUN KHARISMA PRIMA 2010 9 W-PLUS SYSTEM PT. CIPTA JAYA FADHILAH 2010 10 MANARA SYSTEM PT. MANARA INDAH 2010 11 SAKORI SYSTEM Saudara Dedi P. Putra 2008 12 Highrise Building System P.T. Dantosan Precon Perkasa 2008 13 SISTEM PRECAST “Rigid

Joint Precast (RJP)” P.T. Hiper Concrete Precast Structure Industry

2010

14 ERDEA SYSTEM P.T. ERDEA 2009 15 DDC (DOUBLE DOWEL

CONNECTION) SYSTEM PT.HARIS JAYA UTAMA 2009

16 JHS SYSTEM COLUMN BEAM SLAB G3

P.T. JHS PRECAST CONCRETE INDONESIA

2009

17 ORICON (OVAL RING CONNECTION) SYSTEM

PT. VALTEK KARSATAMA 2009

18 TRICON 3 – JUPITER SYSTEM

P.T. TRIBINA PRIMA LESTARI 2009

19 VIRTU SYSTEM PT. TOTAL BOANERGES INDONESIA

2009

20 BI-PLATE SYSTEM PT. WIDYA SATRIA 2009 21 KOTAPARI SYSTEM PT. BUANA CONSTRUCTION 2008 22 JHS SYSTEM COLUMN

BEAM SLAB G3 SYSTEM

P.T. JHS Precast Concrete Indonesia 2008

23 Interior Less Moment Connection – High Rise System (LMC-HRS)

P.T. RIYAH PERMATA ANUGRAH DAN P.T. BINANUSA PRACETAK DAN REKAYASA

2008

24 TRICON L 10 SYSTEM P.T. TRIBINA PRIMA LESTARI 2007 25 WASKITA PRECAST 07

SYSTEM P.T. Waskita Karya dan Ir. Prijasambada, MM.

2007

26 JAVA PERKASA PRECAST 07 SYSTEM

P.T. Java Perkasa dan Ir. Prijasambada, MM.

2007

27 SYSTEM Sambungan Balok & Kolom HK PRECAST

P.T. Hutama Karya 2007

28 PLATCON PRECAST 07 SYSTEM

P.T. Rang Pratama dan Ir. Sutadji Yuwasdiki, Dipl. E. Eng.

2007

29 TBR-J SYSTEM P.T. Tata Bumi Raya dan Ir. Junaedi ME

2008

30 DPI SYSTEM P.T. DANIA PRATAMA INTERNASIONAL

2009

12

Lanjutan Tabel 2.1

No Nama Sistem Produsen Tahun 31 CCP (COUPLE COMB

PLATE) SYSTEM P.T. Victory Sena Utama 2008

32 KW SYSTEM P.T. KUMALA WANDIRA 2008 33 Well Conn System P.T. BORNEO SAKTI 2008 34 PPI SYSTEM P.T. Pacific Prestress Indonesia 2007 35 Sistem Struktur Beton

Pracetak WITON-SC P.T. Wijaya Karya Beton 2007

36 C-PLUS SYSTEM Pusat Penelitian dan Pengembangan dan Permukiman, Balitbang, Kementrian Pekerjaan Umum

2006

Sistem pracetak yang digunakan pada penelitian ini adalah Sistem DPI. Setiap

komponen pracetak untuk bangunan bertingkat yang terdiri dari komponen kolom,

balok, dan pelat ini dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan menggunakan

sebuah sistem sambungan tertentu. Untuk setiap sistem pracetak memiliki beberapa

perbedaan pada bagian sambungannya atau cara rangkai di sambungan/joint yang

berbeda. Model sambungan yang ada antara lain dengan menggunakan baut,

pengelasan, angkur besi, angkur strand, mechanical joint, dll. Penggunaan/pemilihan

sambungan ini tentunya dipilih berdasarkan kriteria kekuatan dan kemudahan dalam

pelaksanaan. Namun, keseluruhan dari sistem pracetak ini memiliki mutu/kekuatan

yang tidak jauh berbeda.

2.4.1 Sistem Pracetak DPI

Sistem DPI ini merupakan suatu sistem struktur rangka terbuka (open frame)

yang mampu mengikuti desain arsitektural dan mempunyai keunikan pada lokasi

penyambungan komponen balok dan kolom pada titik kumpul di atas kolom. Sistem

ini dapat diterapkan baik pada bangunan tingkat rendah maupun bangunan tingkat

tinggi hingga 10 lantai.

2.4.1.1 Komponen Pracetak Sistem DPI

Menurut Laporan ‘Metode Pelakasanaan Precast Sistem DPI’ yang

dikeluarkan oleh PT. DANIA PRATAMA Int., ada 3 komponen yang terdapat pada

Sistem DPI ini antara lain :

13

1. Komponen kolom (Column Component)

Pada bagian bawah komponen kolom dibuat lubang yang berfungsi sebagai

tempat stek dari poer pile cap dan kolom bawah. Lubang tersebut dibelokkan

ke sisi kolom tempat menyalurkan bahan grouting. Pada bagian atas

komponen kolom terdapat stek kolom untuk menyambung kolom, titik

kumpul, dan kolom bawah ke bagian kolom atas.

Gambar 2.3 Komponen Kolom

(Sumber : PT.Dania Pratama Int.)

2. Komponen balok (Beam Component)

Komponen balok merupakan balok satu bentang (dari satu kolom ke kolom

yang lain) yang selanjutnya disambung pada ujung komponen titik kumpul.

Pada komponen balok, terdapat lubang coakan yang berbentuk huruf W

hingga seperempat bentang dari panjang total balok dinamakan balok W-

shell. Pada penginstalan komponen balok harus presisi sehingga tidak

terjadinya pergeseran letak balok dan harus menumpu pada komponen kolom

bawah. Dengan demikian, tinggi komponen balok (ketika dicetak) harus

berkurang setebal rencana pelat lantai (mis: 12 cm).

14

Gambar 2.4 Komponen Balok

(Sumber : PT.Dania Pratama Int.)

3. Komponen pelat (Slab Component)

Ketiga komponen ini dapat diproduksi baik di pabrik maupun di lapangan.

Selain itu, dapat pula diproduksi secara massal (mass product) dengan cepat dan

kualitas permukaan beton yang dihasilkan rapi.

2.4.1.2 Keuntungan Sistem Pracetak DPI

Menurut Laporan ‘Metode Pelakasanaan Precast Sistem DPI’ yang

dikeluarkan oleh PT. DANIA PRATAMA Int., keuntungan pada Sistem DPI ini

antara lain :

1. Mudah dan cepat dalam pemasangan serta rapi.

2. Kekuatan struktur sambungan pada titik kumpul terjamin karena sambungan

tersebut diikat dengan tulangan mutu fy = 390 MPa.

3. Sistem struktur menjadi lebih fleksibel mengikuti desain arsitekturnya, karena

balok dipasang penuh pada satu bentang sehingga penempatan kolom praktis

dapat didesain lebih mudah dan rapi.

4. Sambungan balok pada daerah titik kumpul didesain lebih praktis sehingga

tidak dijumpai lagi penumpukan tulangan pada titik kumpul.

5. Penggunaan material besi yang tidak terlalu beragam mengakibatkan biaya

struktur relatif murah dibanding dengan sistem konvensional ataupun sistem

precast lainnya.

15

Berdasarkan Analisa Perhitungan Struktur Pracetak Sistem DPI, pembebanan

struktur yang diperhitungkan pada sistem ini yaitu :

1. Beban pasangan dinding bata ringan : 2 kN/m2

2. Beban hidup : 2 kN/m2

3. Beban watertank : 12 m3

4. Beban super dead load : 1,2 kN/m2

- Adukan semen : 0,42 kN/m2

- MEP : 0,3 kN/m2

- Penutup lantai : 0,24 kN/m2

- Penutup langit-langit : 0,04 kN/m2

- Lain-lain : 0,2 kN/m2

Acuan normatif yang digunakan dalam sistem ini adalah :

1. PUBI-1982, Peraturan Umum Bahan Bangunan di Indonesia.

2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.60/PRT/1992, Persyaratan Teknis

Pembangunan Rumah Susun.

3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2007, Pedoman Teknis

Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi.

4. SNI 03-1727-1987, Tata cara Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan

Gedung atau Penggantinya.

5. SNI 03-1726-2012, Tata cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur

Bangunan Gedung dan Non Gedung.

6. SNI 03-1726-2002, Tata cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk

Bangunan Gedung.

7. SNI 7832:2012, Tata cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Beton

Pracetak untuk Konstruksi Bangunan Gedung.

8. SNI 7833:2012, Tata cara Perancangan Beton Pracetak dan Beton Prategang

Untuk Bangunan Gedung.

9. SNI 7834:2012, Metode Uji dan Kriteria Penerimaan Sistem Struktur dengan

Rangka Pemikul Momen Beton Bertulang Pracetak Untuk Bangunan Gedung.

2.5 Tahapan Konstruksi Beton Pracetak

Pelaksanaan konstruksi beton pracetak pada umumnya mengikut tahapan-

tahapan sebagai berikut :

1. Tahap Desain

16

Tahap ini merupakan proses perencanaan beton pracetak dengan mendesain

sesuai dimensi, kuat tekan, dan jumlah yang diinginkan. Persyaratan yang

harus dipenuhi dalam tahap ini yaitu syarat kekuatan, kekakuan, dan

kestabilan pada masa layan. Menurut Ervianto, tahap perencanaan dalam

penerapan teknologi pracetak merupakan kegiatan kritis. Hal ini karena pada

tahap ini harus mempertimbangkan, memperkirakan, dan mengendalikan

berbagai proses kegiatan. Perencanaan ini diawali dengan tahap konseptual

sampai dengan selesainya pelaksanaan pekerjaa dan dikatakan kritis karena

teknologi pracetak ini tidak mudah disesuaikan dengan perubahan yang

terjadi sewaktu-waktu. Berdasarkan penelitian (Ervianto, 1997)

keterlambatan proyek sering terjadi karena adanya perubahan desain. Oleh

karena itu, desain dari komponen modular harus disetujui lebih dahulu untuk

menghindari perubahan yang mungkin dapat menyebabkan meningkatnya

biaya proyek dan keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.

2. Tahap Produksi

Tahapan ini dimulai dengan menyiapkan landasan cetakan. Kemudian,

menyiapkan dan membuat cetakan untuk masing-masing komponen. Setelah

cetakan telah tersedia, dapat dilanjutkan dengan kegiatan pembesian

(pembuatan dan pemasangan bekisting/tulangan). Proses pengecoran beton

pada komponen kolom, balok, dan pelat pun dapat dilaksanakan setelah

langkah-langkah di atas terpenuhi. Dalam tahap ini harus diperhatikan pula

kekuatan mutu beton yang ingin dicapai. Kemudian, dilakukan proses

pembongkaran cetakan komponen (de-moulding) setelah kekuatan mutu

beton yang diinginkan tercapai. Hal ini bertujuan agar kualitas komponen

struktur beton yang didapat memiliki kualitas yang baik dan sesuai sehingga

kekuatan struktur bangunan yang didapatkan juga optimal (Buletin Cipta

Karya, 2012). Tahapan terakhir yaitu curing (perawatan) beton. Produksi

pracetak ini dapat dilakukan baik di site maupun di luar site.

17

(Sumber : www.ilmutekniksipil.com)

Gambar 2.6 Menyiapkan Tulangan

Gambar 2.5 Alur Produksi Beton Pracetak

18

Gambar 2.7 Merakit Tulangan

Gambar 2.8 Cetakan untuk Komponen Pracetak

Menurut Ervianto, adapun beberapa persyaratan yang harus diperhatikan

sebagai suatu cetakan beton pracetak antara lain :

- Mempunyai volume yang stabil, sehingga dapat dihasilkan dimensi

beton pracetak yang akurat.

- Dapat digunakan berulang kali tanpa mengeluarkan biaya perawatan

yang berarti.

- Mudah dipindahkan dan rapat air sehingga tidak memungkinkan air dan

agregat keluar dari cetakan.

- Mempunyai daya lekat yang rendah dengan beton dan mudah

membersihkannya.

- Dapat digunakan untuk memproduksi berbagai bentuk komponen beton

pracetak (fleksibel).

19

Gambar 2.9 Menyiapkan dan Memasang Tulangan dalam Cetakan Komponen

Pracetak

Gambar 2.10 Pemasangan tulangan dan beton decking

20

Gambar 2.11 Pengecoran Komponen Pracetak

Gambar 2.12 Slump Test

Gambar 2.13 Membuat Benda Uji (Sampling)

21

Gambar 2.14 Pembongkaran Beton Pracetak

Menurut Ervianto, hal-hal yang perlu diperhatikan pada tahap produksi yaitu

penentuan prioritas, komponen yang akan lebih dahulu dipabrikasi tentu

harus disesuaikan dengan rencana kerja dan metode kerja yang direncanakan.

Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi antara pabrikator dan instalator untuk

mencapai kesesuaian pemilihan komponen yang harus diproduksi terlebih

dahulu. Selain itu, area produksi juga harus tertata dengan baik dan perlu

diperhatikan pula proses pengecoran, perawatan beton, dan penyimpanan

komponen beton pracetak.

3. Tahap Pascaproduksi

Tahap ini terdiri dari :

a. Tahap penanganan (Handling)

Handling adalah pemindahan komponen precast dari moulding

(bekisting) sampai pada tahap pemasangan. Selama proses handling

perlu diperhitungkan kekuatan elemen pracetak dari berbagai macam

cara handling yang ada dan alat bantu handling yang digunakan

sehingga komponen pracetak aman dan tidak rusak.

22

Gambar 2.17 Komponen Pracetak di Lahan Penumpukan

Gambar 2.15 Pemindahan Komponen Pelat Pracetak dari Cetakan

Gambar 2.16 Pemindahan Komponen Balok Pracetak dari Cetakan

23

b. Tahap penyimpanan (Storage)

Penyimpanan sebaiknya dilakukan di dua tumpuan saja/dekat lokasi

titik angkut. Jika direncanakan ditaruh lebih dari dua tumpuan, harus

dijamin seluruhnya kontak dengan elemen.

c. Tahap penumpukan (Stocking)

Yang perlu diperhatikan dalam tahap penumpukan ini antara lain :

- Ketersediaan lahan untuk menumpuk komponen precast.

- Merencanakan dan mengontrol jumlah tumpukan.

Gambar 2.18 Proses Pemindahan Komponen Pracetak ke Lahan Penumpukan

Gambar 2.19 Penyimpanan Komponen Pelat Pracetak

24

Gambar 2.20 Gambar Penumpukan Komponen Precast

d. Tahap pengiriman (Transport)

Tahap ini merupakan tahap pengangkatan komponen elemen pracetak

dari pabrik ke lokasi pemasangan dan harus dilakukan dengan hati-hati.

Tahap/sistem transportasi ini akan berpengaruh terhadap waktu,

efisiensi konstruksi, dan biaya transport.

Yang perlu diperhatikan pada tahap transportasi ke lapangan antara lain

spesifikasi alat transport (lebar, tinggi, beban maksimum, dimensi

elemen, dan kapasitas alat pengangkut), route transport (jarak, lebar

jalan, kepadatan lalu lintas, ruang bebas bawah jembatan), dan perijinan

dari instansi yang berwenang. Pemilihan jenis, ukuran, dan kapasitas

alat angkut dan angkat seperti tower crane akan mempengaruhi

ukuran/dimensi dan berat dari komponen pracetak itu sendiri.

Gambar 2.21 Contoh Gambar Pengiriman Komponen Precast

25

e. Tahap pemasangan (Site Erection)

Setelah komponen pracetak telah tersedia, maka komponen pracetak

tersebut dapat segera dipasang sesuai dengan sistem/metode pracetak

yang digunakan dimana masing-masing komponen dirangkai dengan

sambungan (joint) tertentu. Proses ini disebut dengan erection, yaitu

kegiatan/proses yang dilaksanakan untuk menyatukan komponen-

komponen bangunan beton pracetak yang telah dicetak dengan standar

kualitas yang terjaga menjadi bagian dari bangunan (Try Puji, 2011).

Selama proses pemasangan (erection) berlangsung, hal-hal yang perlu

diperhatikan antara lain kelurusan, elevasi, posisi, dan kerataan sesuai

dengan toleransi yang diijinkan. Pada tahapan pemasangan dapat

digunakan alat angkut/angkat berupa mobile crane/tower crane. Selain

itu, digunakan pula alat bantu sebagai penopang sementara untuk beton

pracetak yaitu scaffolding.

Jumlah sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk satu team erection

rata-rata adalah lima orang : dua orang berada di permukaan tanah, dua

orang berada di lokasi komponen pracetak akan ditempatkan untuk

melakukuan penyetelan atas unit pracetak/precast, dan satu orang

sebagai pengendali crane. Jumlah tersebut akan bertambah jika

dibutuhkan pekerja las dan grouting (Ervianto, 2006).

Gambar 2.22 Alat Bantu Scaffolding Sebagai Alat Bantu Sementara

26

Gambar 2.23 Contoh Pekerjaan Pemasangan (Erection) Komponen Precast

2.6 Metode Pemasangan

Proses penyatuan elemen pracetak pada bangunan yang berupa beton pracetak

yang telah diproduksi dan layak (cukup umur) untuk disatukan menjadi bagian dari

bangunan disebut erection (Wulfram, 2006).

Ada 2 metode pemasangan (erection) beton precast menurut Ervianto yaitu :

1. Metode Vertikal

Yaitu kegiatan penyatuan komponen beton pracetak yang dilaksanakan pada

arah vertikal struktur bangunan yang mempunyai kolom menerus dari lantai

dasar hingga lantai paling atas, dengan cara demikian maka sambungan-

sambungan pada lantai di atasnya harus dapat segera bekerja secara efisien.

Selama proses erection, untuk bangunan yang mempunyai ketinggian tertentu

harus ditopang oleh struktur sementara (bracing) yang berfungsi untuk

menahan gaya-gaya yang timbul selama erection. Pada umumnya,

pemasangan bracing ini tidak mengalami kesulitan, namun membutuhkan

waktu untuk pelaksanaannya sehingga menambah durasi/waktu erection.

2. Metode Horisontal

Yaitu kegiatan penyatuan komponen beton pracetak yang pelaksanaannya

dilakukan tiap satu lantai (arah horizontal bangunan). Metode ini digunakan

untuk struktur bangunan yang terdiri dari komponen komponen kolom

precast dengan sambungan pada tempat-tempat tertentu. Sambungan pada

metode ini tidak harus segera dapat berfungsi sehingga tersedia waktu yang

27

cukup untuk pengerasan beton. Sambungan yang cocok untuk metode ini

adalah in-situ concrete joint.

2.7 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pracetak

Menurut Permen Penerapan Sistem Pracetak, kelebihan atau keunggulan dari

metode/teknologi beton pracetak ini antara lain :

1. Sistem ini memiliki quality control/pengendalian mutu yang baik :

a. Komponen diproduksi di tempat khusus di pabrik sehingga proses

produksi menjadi mudah dan hasil produksi dapat terkontrol dengan

baik. Hal ini berpengaruh pada kualitas konstruksi dan kehandalan

struktur yang lebih terjamin.

b. Pemasangan komponen yang presisi (ketelitian cukup tinggi) sehingga

akan menjamin kualitas struktur yang dihasilkan sehingga memudahkan

proses pemasangan/install komponen di lapangan.

2. Waktu pelaksanaan yang cepat/lebih singkat :

a. Adanya kegiatan yang dapat dilakukan secara paralel dimana

pelaksanaan pekerjaan struktur bawah (pondasi) dapat dilakukan

bersamaan dengan kegiatan produksi komponen beton pracetak.

b. Pekerjaan struktur atas dapat dilakukan bersamaan dengan pekerjaan

finishing arsitektur.

3. Lebih ramah lingkungan :

a. Lebih bersih karena limbah material hampir tidak ada.

b. Proses produksi dilakukan di pabrik sehingga mengurangi kebisingan di

lapangan (meminimalkan gangguan polusi suara dan udara).

4. Lebih ekonomis terhadap biaya :

a. Mengurangi biaya pembangunan karena adanya pengurangan

penggunaan cetakan dan alat perancah seperti scaffolding.

b. Angka keamanan yang digunakan lebih efisien dalam perencanaan

karena kontrol kualitas yang lebih baik dan terjamin.

c. Produktivitas tenaga kerja di lapangan lebih tinggi .

d. Penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit.

e. Waktu konstruksi total menjadi lebih singkat.

5. Penggunaan material optimum

28

Penggunaan cetakan beton dapat digunakan secara berulang-ulang sehingga

dapat dikatakan ekonomis dan optimum dalam penggunaan materialnya.

Menurut Orry Giovanni (2008), kekurangan atau kerugian dari

metode/teknologi beton pracetak ini antara lain :

1. Produksi tipe elemen dalam jumlah sedikit menjadi tidak ekonomis.

2. Diperlukan kemahiran dan tingkat ketelitian yang tinggi (presisi) agar

memudahkan proses pemasangan (erection) komponen di lapangan.

3. Diperlukan lahan yang cukup untuk pembuatan (pabrikasi) dan penumpukan

(stocking yard).

4. Hanya dapat dilakukan di daerah yang sudah tersedia peralatan untuk

handling dan erection.

Sedangkan, kekurangan metode/teknologi beton pracetak menurut Ervianto

antara lain :

1. Transportasi

Setelah proses produksi beton pracetak yang dilaksanakan di pabrik selesai

maka akan dilanjutkan dengan proses pemindahan hasil produksi ke lokasi

pekerjaan. Proses pemindahan elemen beton pracetak dari lokasi pabrik

menuju lokasi proyek membutuhkan biaya tambahan untuk pengadaan alat

bantu yang digunakan untuk mengangkat elemen tersebut ke dan dari mode

transportasi yang dipakai sebagai alat angkut. Proses ini harus direncanakan

di awal proses perencanaan bentuk dan desain beton pracetak agar komponen

tersebut dapat dipindahkan ke lokasi pekerjaan. Faktor penting yang

dipertimbangkan adalah dimensi dan berat setiap komponen yang harus

sesuai dengan ketersediaan alat angkat dan alat angkut. Data mengenai

ketersediaan alat angkat dan angkut ini akan sangat membantu perencana

komponen untuk menghasilkan desain yang layak angkat dan angkut. Mode

transportasi yang digunakan pada umumnya adalah truk bak terbuka. Dimensi

dan berat dari elemen beton pracetak sangat dipengaruhi oleh kemampuan

alat angkut serta kemudahan transportasinya.

2. Erection

Penggunaan teknologi beton pracetak selalu melewati proses yang disebut

erection, yaitu tahap penyatuan elemen beton pracetak menjadi satu-kesatuan

yang utuh sehingga membentuk suatu bangunan. Pada proses ini pihak

pelaksana proyek dituntut untuk menyediakan alat bantu instalasi, misalnya

29

sebuah crane yang mampu mengangkat dan memindahkan elemen beton

pracetak sehingga terpasang pada posisi yang seharusnya. Penyediaan alat

bantu ini membutuhkan biaya yang relatif besar sehingga jika teknologi ini

akan diterapkan pada sebuah bangunan maka harus dikaji efisiensi biayanya,

antara penyediaan alat bantu dengan nilai proyek itu sendiri. Kajian yang

detail tentang volume pekerjaan beton pracetak dengan biaya pengadaan alat

bantu instalasi dapat digunakan sebagai bahan untuk memutuskan metode

yang akan digunakan. Apabila volume pekerjaan kurang memadai maka akan

mengakibatkan biaya konstruksi menjadi mahal.

3. Connection

Dalam usaha menyatukan elemen-elemen beton pracetak dibutuhkan suatu

konstruksi tambahan yang mampu meneruskan semua gaya-gaya yang

bekerja dalam setiap elemen. Yang dimaksudkan penyatuan di sini adalah

penyatuan material beton dan material baja yang menjadi bagian utama dari

struktur beton bertulang. Kendala yang timbul adalah bagaimana menentukan

jenis sambungan yang mampu mengantisipasi semua gaya yang terjadi

sehingga perilaku struktur dapat menyerupai struktur beton bertulang dengan

proses konstruksi tradisional. Untuk mengaplikasikan alat sambung yang

betul-betul sempurna dibutuhkan biaya yang relatif mahal.

2.8 Jenis Sambungan Komponen Beton Pracetak (Sistem Joint)

Hal utama dan terpenting yang harus diperhatikan pada sistem pracetak

adalah sambungan/joint antara komponen pracetak karena konstruksi beton pracetak

cukup berbahaya terutama pada daerah sambungannya khususnya untuk daerah yang

sering terjadi gempa. Sambungan antara komponen beton pracetak yang biasa

digunakan dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :

1. Sambungan Kering (Dry Joint/Connection)

Sambungan ini dikenal pula dengan sebutan sambungan keras. Pada

sambungan ini, komponen beton pracetak akan disambung/dihubungkan

dengan suatu pelat penahan yang terbuat dari baja dimana dilakukan dengan

menggunakan sambungan las/baut.

Menurut Reza Prastowo (2012), jenis sambungan kering ini dibedakan

menjadi dua jenis :

30

- Sambungan las, yaitu menggunakan pelat baja yang nantinya

ditanamkan pada komponen beton pracetak yang akan disambung.

Kemudian kedua pelat akan disambung dengan las. Setelah pekerjaan

pengelasan selesai dilakukan, pelat sambung tersebut dapat ditutup

dengan adukan beton untuk melindungi pelat dari korosi.

- Sambungan baut, dimana penyambungannya juga memerlukan pelat

baja di kedua elemen yang akan disambung dan pelat tersebut nantinya

juga akan dicor dengan adukan beton.

Sambungan kering ini menjadikan komponen beton pracetak berperilaku

tidak monolit (Orry Giovanni, 2008)

2. Sambungan Basah (Wet Joint/Connection)

Pada sistem ini, bagian sambungan dilakukan pengecoran beton di tempat (in

situ concrete joint). Elemen pracetak yang sudah berada di tempatnya akan

dicor di bagian ujungnya untuk menyatukan elemen satu dengan yang lain

agar menjadi satu kesatuan yang monolit. (Ervianto, 2006). Sambungan basah

ini dianjurkan untuk digunakan pada bangunan yang berada di daerah rawan

gempa karena dapat menjadikan masing-masing komponen beton pracetak

berperilaku monolit. (Orry Giovanni, 2008).

2.8.1 Pertemuan Kolom dan Balok

Pertemuan antara kolom pracetak dan balok pracetak harus dilakukan

grouting. Grouting ini dapat dilakukan setelah komponen kolom dan balok pracetak

berada pada posisi yang benar.

Gambar 2.24 Menyiapkan Bekisting untuk Grouting Pertemuan Kolom dan Balok

31

Gambar 2.27 Sambungan Kolom dan Balok Setelah Dicor/Grouting

Gambar 2.26 Sambungan Kolom dan Balok Sebelum Dicor/Grouting

Gambar 2.25 Grouting Untuk Pertemuan Kolom dan Balok

32

2.8.2 Pertemuan Balok dan Pelat

Pertemuan antara balok pracetak dan pelat pracetak harus dilakukan grouting.

Grouting ini dapat dilakukan setelah komponen kolom dan balok pracetak berada

pada posisi yang benar.

Gambar 2.28 Pertemuan Balok dan Pelat Sebelum Dicor/Grouting

Gambar 2.29 Pertemuan Balok dan Pelat Setelah Dicor/Grouting

33

2.8.3 Pertemuan Kolom dan Kolom

Pertemuan antara kolom pracetak dan kolom pracetak harus dilakukan

grouting. Grouting ini dapat dilakukan setelah komponen kolom dan kolom pracetak

berada pada posisi yang benar. Bahan grouting ini dimasukkan melalui pipa grouting

yang terdapat pada komponen kolom.

Gambar 2.30 Grouting pada Bagian Bawah Kolom

Gambar 2.31 Bahan Grouting dimasukkan Melalui Pipa Grouting

2.9 Proses Pekerjaan Installment

Menurut David (2007), proses pekerjaan install komponen pracetak dibagi

menjadi beberapa tahapan :

34

1. Pekerjaan Persiapan

Pekerjaan pada saat kabel crane mulai dipegang/diambil oleh pekerja untuk

dikaitkan pada beton pracetak sampai pekerja memberi tanda kepada operator

crane untuk mulai memindahkan. Tahap ini dikenal dengan proses pengaitan.

Gambar 2.32 Kabel Crane Dikaitkan pada Komponen Pelat Pracetak

2. Perpindahan

Pekerjaan pada saat crane mulai mengangkat lalu memindahkan beton sampai

dengan beton pracetak ditangkap/dipegang dengan posisi yang baik oleh para

pekerja/tukang yang telah bersiap di atas untuk melakukan proses install.

Tahap ini dikenal dengan proses distribusi (pemindahan komponen) dimana

proses ini terjadi pemindahan komponen dari stocking area ke lokasi

pemasangan.

35

Gambar 2.33 Proses Pemindahan Komponen Beton Pracetak

3. Install/Erection

Pekerjaan pemasangan beton pracetak dimulai dari posisi yang telah benar

sampai dengan beton terpasang termasuk juga pemasangan tiang-tiang

support sampai kabel crane dilepas. Tahap ini dikenal pula dengan proses

passing.

Gambar 2.34 Proses Install/Erection Beton Pracetak

36

4. Waktu Kembali

Proses perpindahan pada saat kabel crane dilepas sampai dengan posisi siap

untuk digunakan kembali pada pekerjaan persiapan/kembali ke stocking area.

2.10 Metode Statistika

Statistika adalah ilmu yang berhubungan dengan pengumpulan data

(collecting), analisis data (analyze) dan penafsiran data (interpreting). Definisi

statistika tersebut memberikan gambaran bahwa statistika merupakan ilmu yang

sangat erat berhubungannya dengan data. Sebelum melakukan proses, obyek

penelitian harus ditentukan terlebih dahulu karena kesalahan dalam menentukan

obyek penelitian akan menghasilkan kesalahan dalam menyelesaikan persoalan

statistik. Setelah itu, dilanjutkan dengan melakukan proses statistik dengan langkah-

langkah sebagai berikut :

• Pengumpulan data (collecting)

Cara yang digunakan untuk mengumpulkan data, misalnya melalui

angket/kuisioner, wawancara, informasi dari sumber, dan lain-lain.

• Analisis data (analyze)

Langkah ini diperlukan untuk memperoleh gambaran mengenai sebagian data

(sampel). Adapun konsep statistika yang dapat digunakan untuk proses

analisis ini, misalnya probabilitas, estimasi statistik, uji hipotesis dan

sebagainya.

• Penafsiran data (interpreting)

Hasil analisis dapat digunakan untuk membuat taksiran terhadap karakteristik

obyek yang diteliti. Penafsiran ini dapat berupa kesimpulan atau keputusan

statistik mengenai obyek yang diteliti tersebut.

2.10.1 Elemen Statistik

Adapun masalah dari persoalan statistik adalah menentukan populasi atau

sample suatu data. Definisi dari populasi adalah sekumpulan data yang

mengidentifikasi suatu fenomena atau suatu keseluruhan pengamatan atau obyek

yang menjadi perhatian kita. Sedangkan, sampel adalah sekumpulan data yang

diambil atau dipilih dari suatu populasi. Pada umumnya dalam sebuah penelitian

memakai sampel dan sangat jarang memakai populasi, alasannya ialah :

37

• Waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan data lebih singkat.

• Data yang diperlukan lebih sedikit.

• Data yang diperoleh lebih akurat.

• Dengan statistik inferensi dapat dilakukan generalisasi. Dalam hal hasil

perhitungan yang diperoleh dari sampel akan dipakai untuk mengumpulkan

karakteristik dari populasinya.

Statistik inferesnsi adalah suatu keputusan, perkiraan atau generalisasi tentang

suatu populasi berdasarkan pada informasi yang terkandung dalam suatu sampel. Jadi

apa yang disimpulkan dari analisis terhadap sampel, itu pula yang digeneralisasikan

(kesimpulan umum pada populasi). Dapat disimpulkan bahwa tujuan dari statistik

adalah melakukan deskripsi (penggambaran) terhadap data sampel, kemudian

melakukan inferensi terhadap populasi data berdasarkan pada informasi (hasil

statistik deskriptif) yang terkandung dalam sampel. Namun, karena sampel yang

diambil hanyalah sebagian dari populasi, maka bisa terjadi bias dalam kesimpulan

yang didapat. Maka, perlu diukur reabilitas (penyimpangan) dari setiap inferensi

yang telah dibuat seperti pelaporan adanya prediksi kesalahan terhadap suatu

keputusan.

2.10.2 Tipe Data Statistik

Berdasarkan pada tingkat pengukurannya (Level of Measurement), ada dua

jenis data, yaitu :

1. Data Kualitatif (Qualitative Data)

Data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam ukuran kategori atau biasa

disebut dengan data yang bukan berupa angka.

2. Data Kuantitatif (Quantitative Data)

Data kuantitatif adalah nilai data yang dinyatakan dalam skala numeric atau

biasa juga disebut dengan data berupa angka dalam arti sebenarnya.

2.10.3 Aplikasi Ilmu Statistik

Aplikasi ilmu statistik dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

38

1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif merupakan ilmu statistika yang mempelajari cara-cara

pengumpulan, penyusunan, dan penyajian data dalam penelitian. Kegiatan

yang termasuk dalam kategori ini antara lain kegiatan pengumpulan data,

pengelompokkan data, penentuan nilai dan fungsi statistik, pembuatan grafik,

diagram, dan gambar. Tujuan utama dari statistik deskriptif adalah

memudahkan orang untuk membaca data dan memahami maksudnya.

2. Statistik Inferensi/Induktif

Statistik inferensi/induktif merupakan ilmu statistika yang mempelajari cara-

cara penarikan suatu kesimpulan dari suatu populasi tertentu berdasarkan

sebagian data (sampel) yang dikumpulkan. Tindakan inferensi tersebut

misalnya melakukan perkiraan, peramalan, pengambilan keputusan, dan

sebagainya.

2.10.4 Pengukuran Data Statistik

Pengukuran data statistik dalam penelitian ini menggunakan metode Z-Score

(Angka Baku). Z-score merupakan perbedaan antara raw score (skor asli) dan rata-

rata dengan menggunakan unit-unit simpangan baku untuk mengukur perbedaan. Z-

score mempunyai dua bagian :

1. Tanda (Bisa positif atau negatif).

2. Nilai Numerik.

Kondisi di atas rata-rata diberi tanda positif dan kondisi di bawah rata-rata

diberi tanda negatif. Nilai numerik Z-score diperoleh dari perbedaan antara nailai asli

dengan rata-ratanya dibagi dengan simpangan baku. Angka baku adalah ukuran

penyimpangan data dari rata-rata populasi. Z dapat bernilai nol (0), positif (+), atau

negatif (-).

• Z nol berarti data bernilai sama dengan rata-rata populasi.

• Z positif berarti data bernilai di atas rata-rata populasi.

• Z negatif bernilai di bawah rata-rata populasi.

Z = Angka Baku µ = Rata-Rata Populasi

X = Nilai Data σ = Simpangan Baku

39

Gambar 2.35 1 Sigma, 2 Sigma, dan 3 Sigma

(Sumber : http://classes.bus.oregonstate.edu/ba302/reitsma/process_variability.html)

Apabila menggunakan nilai 1 sigma, maka taraf eror yang ditoleransi adalah

1 - 68,26 % yaitu 31,74 % ; menggunakan nilai 2 sigma, maka taraf eror yang

ditoleransi adalah 1 - 95,44 % yaitu 4,56 %; dan menggunakan nilai 3 sigma, maka

taraf eror yang ditoleransi adalah 1 – 99,74 % yaitu 0,26 %.

2.10.5 Perhitungan Analisa Statistik Deskriptif

Dalam menganalisis statistik deskriptif dapat dibantu dengan program

Microsoft Excel. Langkah-langkah penyelesaiannya adalah sebagai berikut :

- Ketik kasus yang akan diselesaikan pada menu Spreadsheet Excel.

- Kemudian pilih menu Tools.

- Kemudian klik Data Analysis.

- Klik statistik deskriptif seperti tampak pada gambar :

40

Gambar 2.36 Kotak Dialog Data Analysis pada Spreadsheet

- Klik OK.

- Tampak gambar sebagai berikut :

Gambar 2.37 Kotak Dialog Descriptive Statistics

- Mengisi menu-menu yang ada pada menu Descriptive Statistics.

- Jika semua sudah terisi, klik OK.

- Tampak Hasil Analisis :

41

Descriptive Output Mean 25,4567 Standard Error 3,05398 Median 28,3667 Mode #N/A Standard Deviation 6,82891 Sample Variance 46,634 Kurtosis -3,1663 Skewness -0,4762 Range 13,6 Minimum 17,8167 Maximum 31,4167 Sum 127,283 Count 5 Confidence Level(95,0%) 8,47921

Gambar 2.38 Output Descriptive Statistics

Penjelasan analisis di atas adalah sebagai berikut :

- Mean, artinya nilai rata-rata.

- Standard Error, artinya penyimpangan dari rata-rata sampel pada populasi.

- Median, artinya titik tengah.

- Mode, artinya data yang sering muncul.

- Standard Deviation

- Sample Variance, adalah kuadrat dari standar deviasi.

- Kurtosis, artinya tinggi rendahnya atau runcing datarnya bentuk kurva.

- Skewness (kemencengan)

- Range, artinya nilai maximum dikurangi nilai minimum.

- Minimum, artinya nilai terendah.

- Maximum, artinya nilai tertinggi.

2.11 Indeks

Menurut SNI 7832:2012 (Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan beton

pracetak untuk konstruksi bangunan gedung), arti indeks adalah faktor

pengali/koefisien sebagai dasar perhitungan biaya bahan dan upah kerja. Di dalam

SNI, indeks dibagi menjadi 2 yaitu indeks bahan dan upah kerja. Indeks bahan adalah

indeks kuantum yang menunjukkan kebutuhan bahan bangunan untuk setiap satuan

42

jenis pekerjaan. Sedangkan, indeks tenaga kerja adalah indeks kuantum yang

menunjukkan kebutuhan waktu untuk mengerjakan setiap satuan jenis pekerjaan.

Berdasarkan SNI 7832:2012 (Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan

beton pracetak untuk konstruksi bangunan gedung), terdapat persyaratan dalam

perhitungannya :

1. Persyaratan Umum

Persyaratan umum dalam perhitungan harga satuan :

- Perhitungan harga satuan pekerjaan berlaku untuk seluruh Indonesia,

berdasarkan harga bahan dan upah kerja sesuai dengan kondisi

setempat.

- Spesifikasi dan cara pengerjaan setiap jenis pekerjaan disesuaikan

dengan standar spesifikasi teknis pekerjaan yang telah dibakukan.

2. Persyaratan Teknis

Persyaratan umum dalam perhitungan harga satuan pekerjaan :

- Pelaksanaan perhitungan satuan pekerjaan harus didasarkan kepada

gambar teknis dan rencana kerja dan syarat-syarat (RKS).

- Perhitungan indeks bahan telah ditambahkan toleransi sebesar (5 s.d.

20) %, dimana di dalamnya termasuk angka susut, yang besarnya

tergantung dari jenis bahan dan komposisi adukan.

- Digunakan pada pekerjaan ereksi sampai dengan 5 lantai.

- Bekisting menggunakan kayu dan phenol film.

- Untuk analisa biaya beton yang tercantum di dalam SNI 7394:2008,

analisanya dapat disesuaikan dengan kondisi material setempat.

- Untuk analisa biaya beton yang tidak tercantum di dalam SNI

7394:2008, harus mengacu pada hasil rancangan campuran beton.

- Tenaga kerja harus mempunyai sertifikasi keterampilan di bidang

pracetak.

- Tenaga pelaksana pada Pasal 1 e) (tercantum dalam SNI 7832 : 2012)

yang dimiliki oleh perusahaan pemegang lisensi pracetak.

Jam kerja efektif untuk para pekerja diperhitungkan 5 jam per-hari.