bab 2 (repaired)

24
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Anatomi dan Morfologi Pulpa Pulpa adalah bagian jaringan lunak pada gigi. Pada pulpa terdapat pembuluh darah yang memberikan pasokan nutrisi kepada gigi dan pembuluh saraf yang membuat gigi “hidup” dan dapat merasakan rangsang yang diterima gigi. Pulpa dibentuk dari lapisan ektodermal dari dental papilla. Fungsi dari pulpa yaitu: 1. Pembentukan dentin Sel-sel prekursor pembentuk dentin yaitu odontoblast terdapat pada perbatasan antara dentin dengan ruang pulpa. Pada perannya untuk membantu pembentukan dentin, pulpa membatu untuk pembentukan matriks dan menyuplai komponen- komponen yang dibutuhkan untuk pembentukan matriks dari dentin tersebut. 2. Memberikan nutrisi kepada dentin Pada pulpa terdapat pembuluh darah baik arteri maupun vena yang mengangkut berbagai macam zat-zat nutrisi yang dibutuhkan gigi untuk tetap dapat mempertahankan kevitalannya. Sedangkan untuk transportasi di dalam dentin, terdapat tubulus dentinalis yang membantu menyalurkannya ke seluruh dentin dan enamel. 3

Upload: wardot

Post on 03-Aug-2015

365 views

Category:

Documents


20 download

TRANSCRIPT

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur Anatomi dan Morfologi Pulpa

Pulpa adalah bagian jaringan lunak pada gigi. Pada pulpa terdapat

pembuluh darah yang memberikan pasokan nutrisi kepada gigi dan pembuluh

saraf yang membuat gigi “hidup” dan dapat merasakan rangsang yang

diterima gigi. Pulpa dibentuk dari lapisan ektodermal dari dental papilla.

Fungsi dari pulpa yaitu:

1. Pembentukan dentin

Sel-sel prekursor pembentuk dentin yaitu odontoblast terdapat pada

perbatasan antara dentin dengan ruang pulpa. Pada perannya untuk

membantu pembentukan dentin, pulpa membatu untuk pembentukan

matriks dan menyuplai komponen-komponen yang dibutuhkan untuk

pembentukan matriks dari dentin tersebut.

2. Memberikan nutrisi kepada dentin

Pada pulpa terdapat pembuluh darah baik arteri maupun vena yang

mengangkut berbagai macam zat-zat nutrisi yang dibutuhkan gigi untuk

tetap dapat mempertahankan kevitalannya. Sedangkan untuk transportasi

di dalam dentin, terdapat tubulus dentinalis yang membantu

menyalurkannya ke seluruh dentin dan enamel.

3. Inervasi gigi

Pada pulpa terdapat pembuluh saraf yang menyebabkan gigi dapat

merasakan sensasi rasa dari rangsangan yang diterima gigi. Untuk dapat

sampai pada pembuluh saraf di pulpa, rangsang yang diterima di

permukaan gigi, akan diteruskan melalui tubulus dentinalis ke pulpa.

4. Sistem pertahanan pada gigi oleh

Pada pulpa, terdapat sel-sel pertahana tubuh, baik yang berasal dari

sirkulas ataupun yang berupa sel-sel tertentu yang berada pada pulpa.

3

4

Gambar 2.1 sturktur gigi

Pulpa dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu daerah pusat (central region)

dan daerah tepi (peripheral region). Daerah perifer dari pulpa terdiri dari 3

zona, yaitu:

1. Lapisan odontoblast

2. Zona sedikit sel (cell poor zone)/ cell free zone of Weil

3. Zona kaya sel (cell rich zone)

Pada centre region atau central pulp zone, komponen penyusunnya dapat

dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Komponen seluler

2. Komponen ekstraselular

Secara anatomis, pulpa dibagi menjadi ruang pulpa dan saluran akar.

Untuk gigi anterior, ruang pulpa langsung mengikuti bentuk gigi, sedangkan

untuk gigi posterior yag rata-rata mempunyai akar bercabang (bifurkasi atau

trifurkasi), ruang pulpa dan saluran akar akan menyesuaikan dengan jumlah

percabangan akarnya. Ruang pulpa dibagian atas dibatasi oleh dentin yang

sekaligus menjadi atap ruang pulpa, sedangkan pada daerah bawah, di bagian

saluran akar, terdapat orifice yang merupakan pintu masuk dari saluran akar

menuju ruang pulpa. Pada saat terjadi karies, ukuran ruang pulpa dapat

berubah menyesuaikan dengan pembentukan dentin sekunder atau tersier

yang merupakan salah satu bentuk sistem pertahanan terhadap jejas.

Sedangkan saluran akar merupakan bagian dari ruang pulpa yang

5

membentang dari orifice ke foramen apikal. Bentuk dari saluran akar

biasanya mengikuti bentuk dari akar. Saluran akar dapat membentuk suatu

percabangan khusus yang disebut accessory canals (Nisha Garg, Amit Garg,

Textbook Of Endodontics, 2007).

(a) (b)

Gambar 2.2 (a) ruang pulpa dan saluran akar, (b) saluran akar dengan

accessory canals

2.2 Etiologi Penyakit Pulpa

Menurut Seltzer (1972), etiologi dari penyakit pulpa dapat diklasifikasikan

menjadi:

1. Fisik

Dapat karena suhu, mekanis, atapun elektrik.

2. Kimiawi

3. Infeksi bakteri

4. Radiasi

Sedangkan menurut WEIN, etiologi dari kelainan atau penyakit pulpa

dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Infeksi bakteri

Berdasarkan percobaan WD Miller pada tahun 1891, bakteri

merupakan penyebab yang paling mungkin terjadinya penyakit pulpa

dengan cara masuknya produk metabolitnya ke dalam pulpa gigi yang

dapat merusak pulpa. Masuknya produk metabolit bakteri tersebut

6

dapat melalui karies, infeksi periodontal dari sulkus gingiva,

periodontal pocket, abses, atau dapat juga dari fraktur.

2. Trauma

Dapat terjadi karena adanya injuri yang menyebabkan fraktur, gigi

luksasi atau avulsi.

3. Iatrogenik

Disebut juga dentistogenic pulpitis, yaitu pulpitis yang disebabkan

karena adanya respon suatu prosedur perawatan. Dapat terjadi karena

adanya perubahan termis selama proses restorasi, bleaching, atau

pengunaan laser. Dapat juga karena prosedur kuretase periodontal

atau kuretase periapikal atau akibat penggunaan bahan kimia tertentu

selama proses treatment.

4. Idiopatik

Tidak jelas penyebabnya, misalnya karena penuaan dan resorpsi

internal atau eksternal.

Menurut Shock dan Curtis (), adanya kelainan pulpa yang diakibatkan

karena adanya penuaan, didasarkan pada berbagai teori yaitu:

1. The wear and tear theory

Menurut teori ini, setiap makhluk hidup memiliki batasan untuk

hidup, hal ini didasarkan dengan keberadaan suatu enzim yang

membantu proses metabolismenya, jika keberadaan enzim ini

habis maka kemungkinan kematian sel dapat terjadi.

2. Mathematical Teory

Hal ini didasarkan dengan adanya besaran kemungkinan

terjadinya kematian yang didasarkan pada suatu kurva atau

diagram yang dibentuk dari sebuah rumus persamaan.

3. Teori interaksi seluler

Adanya interaksi antar sel dalam tubuh yang mengakibatkan

terpengaruh akibat adanya interaksi tersebut.

4. Teori kolagen

7

Teori ini menyatakan adanya pembentukan serat kolagen secara

terus-menerus secara perlahan, sedangkan eliminasi kolagen

terjadi secara perlahan juga dan kadang tidak sama sekali.

Penguraian dari serat kolagen, membuat sel secara berangsur-

angsur mengalami penurunan daya tahan. Terjadi hambatan kerja

jaringan dan kemungkina terjadinya kematian sel semakin besar.

5. Teori produk sisa

Teori ini menyatakan bahwa adanya produk-produk metabolit

yang tidak bisa secara langsung dibuang akan berinteraksi dengan

sel host dan menyebabkan sel host teracuni

2.3 Klasifikasi Penyakit Pulpa

Penyakit pulpa dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut:

1. Menurut Grossman (1981)

1. Hiperemi pulpa

2. Pulpitis Akut :

a. Pulpitis akut serous

b. Pulpitis akut supuratif

3. Pulpitis Kronis :

a. Pulpitis kronis ulseratif

b. Pulpitis kronis hiperplastis

4. Nekrosis Pulpa :

a. Nekrosis pulpa parsialis

b. Nekrosis pulpa totalis

2. Menurut Cohen dan Burn (1984) dan Grossman (1988)

1. Pulpitis : Reversible

Irreversible

2. Nekrosis pulpa : Partialis

Totalis

3. Menurut Shafer (1963)

a. Hiperemi pulpa

8

b. Pulpitis akut

c. Pulpitis kronis

d. Pulpa polip

2.3.1 Pulpitis Reversible

Menurut Henry H. Burchard (2009), pulpitis merupakan suatu

kondisi dimana terjadi keradangan pada pulpa yang disebabkan karena

adanya antigen seperti produk metabolit bakteri, termis, mekanis,

ataupun kimiawi. Pulpitis reversible adalah keradangan pulpa yang

tidak parah, jika stimulus dihilangkan, maka keradangan akan hilang

dan pulpa kembali normal (Walton and Torabinejad, 2003).

Penyebabnya paling umum adalah karies yang masih dalam tahap

awal (karies insipiens/karies enamel), trauma oklusi, erosi gigi dan

lain sebagainya. Pulpitis ini ditandai dengan adanya rasa sakit pada

saat diberi rangsang, tapi akan hilang jika rangsang dihentikan.

Biasanya lebih peka pada rangsang karena mastikasi daripada

rangsang suhu (terutama dingin). Rasa sakitnya tidak terlalu parah dan

tidak secara spontan (Walton and Torabinejad, 2003).

Gambaran HPA dari pulpitis reversible yaitu adanya keradangan

akut pada pulpa yang ditandai dengan peningkatan vaskularisasi,

infiltrasi sel-sel radang akut terutama sel PMN dan makrofag. Adanya

edema pada pulpa disebabkan inflamasi pada pulpa. Untuk

menegakkan diagnosa, digunakan beberapa tes, mulai dari visual

sampai dengan pembuata radiograf. Dari penampakan visual, mungkin

dpaat ditemui adanya karies kecil (insipiens), trauma oklusi, atau

fraktur yang tidak terlalu parah. Tes perkusi dan palpasi tidak

memberikan respon (negatif). Dari hasil foto rontgen tidak ditemukan

adanya kelainan baik dari periodontal ligamen,lamina dura, maupun

kelainan di periapikal . Biasanya untuk perawatan dilakukan dengan

pemberian obat analgesik untuk menghilangkan rasa nyeri yang

9

timbul dan dilakuka tumpatan untuk menutup kavitas karies yang

sedang berkembang (Walton and Torabinejad, 2003)

2.3.2 Pulpitis Irreversible

Pulpitis irreversible adalah inflamasi pulpa akut yang parah yang

tidak bisa pulih walau rangsang dihilangkan. Cepat atau lambat, akan

berkembang menjadi nekrosis pulpa (Walton dan Torabinejad, 2003).

Penyebab umumnya adalah karies yang sudah lama dan mencapai

pulpa terbuka. Dapat juga karena adanya fraktur atau adanya karies

sekunder di bawah restorai. Terbukanya pulpa ini juga dapat terjadi

karena proses mekanis gigi seperti terjadi atrisi, abrasi dan erosi.

Ditandai dengan rasa sakit hebat dan tajam yang kadang

asimptomatik. Rasa nyeri dapat terlokalisir ataupun tersebar. Rasa

sakit tidak hilang meskipun rasang sudah dihentikan (Tarigan, 2002).

Gambaran HPA yang didapat berupa adanya inflamasi akut yang

parah di pulpa yang ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang

seperti sel PMN, makrofag, leukosit. Adanya pembentuka dentin

sekunder sebagai salah satu respon imun tubuh selain terjadinya

inflamasi dalam pulpa. Untuk penegakan diagnosa dilakukan dengan

cara melakukan beberapa tes. Tes paling awal adalah dengan melihat

penampakan visual dari daerah yang sakit. Secara klinis biasanya

dapat ditemukan karies yang dalam atau adanya trauma atau fraktur

yang menyebabkan pulpa terekspos. Dari tes perkusi dan palpasi

negatif. Sedangkan dengan adanya tes termal biasanya ditemukan

sedikt lebih sensitif terutama dengan tes dingin dan biasanya sakit

tidak hilang meskipun rangsang dihentikan. Dari hasil foto rontgen

mungkin dapat ditemukan adanya kavitas karies yang cukup dalam

atau adanya trauma yang menyebabkan pulpa terbuka (Walton and

Torabinejad, 2003).

10

2.3.3 Nekrosis Pulpa

Nekrosis pulpa adalah matinya pulpa baik sebagian atau

keseluruhan yang disebabkan karena adanya inflamasi kronis pada

pulpa atau adanya trauma injuri. Gejalanya biasanya tidak ada rasa

sakit dan gigi yang berubah warna (diskolorisasi). Terdapat dua jenis

nekrosis pulpa, yaitu:

1. Nekrosis koagulasi

Pada tipe ini, bahan-bahan yang mengalami nekrosis akan

mengalami koagulasi dan memadat.

2. Nekrosis liquefaction

Pada tipe ini, bahan-bahan yang mengalami nekrosis pada pulpa

diubah oleh enzim proteolitik menjadi bentuk yang cair dan

lunak. Pada akhir kematian pulpa, biasanya terbentuk H2S,

amoniak, bahan yang bersifat lemak dan beberapa gas seperti

Indol dan kadaverin. Inilah yang menyebabkan bau busuk yag

biasanya ditemui pada saat kematian pulpa.

Sedangkan jika berdasarkan luasnya daerah yang nekrotik, nekrosis

pulpa dapat dibagi menjadi nekrosis pulpa totalis dan nekrosis pulpa

parsialis. Nekrosis pulpa dapat disebabkan karena banyak hal. Yang

paling umum adalah adanya karies yang sudah kronis, dimana pulpa

sudah tidak bisa mempertahankan diri lagi. Kemudian adanya trauma

injuri yang menyebabkan hilangnya mahkota yang dapat membuat

pulpa mati dan gigi tidak vital juga bisa menjadi penyebabnya (Nisha

Garg, Amit Garg, Textbook Of Endodontics, 2007) .

Dari serangkaian tes yang dilakukan untuk mendiagnosa terjadonya

nekrosis pulpa didapat yaitu dengan pengamatan visual, terlihat warna

gigi mulai berubah. Dari tes vitalitas, gigi mungkin tidak

menunjukkan respon terhadap tes dingin, perkusi, palpasi dan electric

pulp test (EPT). Ada gejala keluhan spontan saat anamnesis (biasanya

pada nekrosis pulpa parsialis) (Walton and Torabinejad, 2003).

11

Perjalanan umum suatu gigi bisa menjadi nekrosis, jika dimulai

dengan adanya suatu karies yang menyebabkan reversible pulpitis

dapat digambarkan dengan diagram d bawah ini.

2.4 Penegakan Diagnosis Penyakit Pulpa

Menurut Ford (2002) dalam buku Endodontics: Problem-Solving in

Clinical Practice, untuk penegakan diagnosa, terdapat 4 langkah yang

ditempuh, yaitu:

1. Langkah pertama adalah mengumpulkan segala keterangan

terkait dengan penyakit baik dari keluhan pasien, rekam medik

maupun dengan serangkaian tes penunjang

2. Kedua, menganalisa keterangan yang telah didapat dengan

diagnosis yang paling memungkinkan

3. Ketiga, melakukan diagnosa banding dengan beberapa penyakit

yang memiliki kemiripan gejala dan tanda klinis

dirawat

Karies

Pulpa kembali normal

Hiperemi pulpa

Tidak dirawat

pulpitis reversible

dirawat Tidak dirawat

Pulpitis irreversible

Nekrosis pulpa

12

4. Terakhir adalah memutuskan diagnosa final untuk penyakit

pasien yang bersangkutan

Menurut Nisha Garg dan Amit Garg (2007) dalam buku Textbook Of

Endodontics, untuk menegakkan diagnosa terjadinya kelainan pulpa

terutama yang membutuhkan tindakan operatif untuk perawatannya, maka

langkah yang dapat, yaitu:

1. Pemeriksaan biografikal penderita

2. Pemeriksaan rekam medik

Jika pasien memiliki rekam medis, maka akan lebih

memudahkan untuk menganalisa riwayat penyakit. Pada rekam

medik, akan tampak segala hal yang berhubungan dengan

kondisi kesehatan pasien, terutama yang berhubungan dengan

hal yang dikeluhkan

3. Keluhan pasien dan sejarah penyakit

Untuk mendapatkan gambaran terhadap gejala terkini dari

penyakit yang akan dirawat gejala awal dengan gejala terkini

dari penyakit sering kali berubah secara drastis. Penting untuk

mengingatkan pasien untuk menceritakan sejarah penyakit mulai

dari awal sampai yang terkini untuk mendapatkan gambaran

lengkap tentang kondisi penyakit.

4. Dental history

Mengerti riwayat gigi geligi pasien juga penting untuk

menunjang diagnose, hal ini untuk mempermudah

memperkirakan kelainan apa yang sebelumnya pernah terjadi

dan apakah rasa nyeri yang dikeluhkan sekarang adalah

kelanjutan dari yang terdahulu atau kelainan baru.

5. Pengamatan ekstraoral

Dapat diamati dari luar yaitu dari wajah dan leher, pasien

mungkin mengalami asimetri wajah akibat pembengkakan,

adanya memar, scar ataupun adanya kelainan lain dari

13

ekstraoral. Setelah melakukan pengamatan ekstraoral, maka

dapat dilakukan tes lanjutan yaitu:

a. Palpasi

Untuk menentukan seberapa jauh inflamasi menyebar ke

arah periapikal. Respon positif dari palpasi menandakan

adanya inflamasi di daerah periradikuler. Palpasi dilakukan

dengan cara menekan mukosa di atasa apeks dengan cukup

kuat. Bagian-bagian yang dipalpasi untuk menentukan

adanya kelainan yaitu kelenjar saliva (submandibular), TMJ

dan limfa nodi.

Gambar 2.3 Tes Palpasi

6. Pengamatan intraoral

Dimulai dengan pengecekan ada tidaknya trismus dan lebar

pembukaan mulut, umumnya selebar 2 jari. Diperhatikan juga

kondisi jaringan lunak di daerah mukosa bukal, labial dan

alveolar, palatal, sublingual, retromolar, dibelakang dari faring

dan struktur kelenjar saliva.

Kemudian pembuatan status gigi secara umum, meliputi:

1. Status oral hygiene

2. Ada tidaknya restorasi

3. Karies

4. Gigi hilang

14

5. Pembengkakan jaringan keras atau lunak

6. Status periodontal

7. Ada tidaknya sinus tract

8. Diskolorisasi gigi

Untuk tes lebih lanjut terhadap gigi, dapat dilakukan tes seperti

1. Perkusi

Seperti halnya dengan palpasi, perkusi bertujuan menentukan

seberapa jauh inflamasi telah menyebar terutama daerah

periradikuler. Respon positif yang jelas menandakan adanya

inflamasi di daerah periodontium. Cara melakukan perkusi

dengan cara mengetukkan ujung kaca mulut yang diletakkan

parallel atau tegak lurus magkota pada bagian insisal atau

oklusal.

Gambar 2.4 Tes Perkusi

2. Palpasi

Untuk mengecek adanya inflamasi di bawah gigi. Dengan

cara menekankan jari pada jaringan lunak yang akan

diperiksa. Palpasi juga memberikan gambaran adanya

fluktuasi dan indurasi yang mengindikasikan adanya suatu

kumpulan abses di daerah periapikal atau periodontal.

15

Gambar 2.5 Tes Palpasi

3. Tes status periodontal

Dapat dilakukan dengan cara palpasi, perkusi, tes mobilitas

gigi dan probing.

Gambar 2.6 Tes Probbing

4. Pembuatan radiograf

Pembuatan radiograf bertujuan untuk melihat apakah

inflamasi telah menyebar ke daerah periapikal dan

menyebabkan kelainan periapikal dan periradikuler.

5. Tes vitalitas pulpa

Ada berbagai macam tes untuk mengetahui kevitalan pulpa,

yaitu:

1. Tes termal

Dengan menggunakan chlor etyl,

dicholorodifluoromethane, CO2 beku, balok es yang

diaplikasikan pada gigi. Pada pulpa normal, respon yang

dirasakan biasanya tajam dan segera hilang saat stimuli

dihentikan. Pada kasus kelainan pulpa, pada saat

diberikan rangsang, maka akan timbul rasa nyeri yang

kadang tidak hilang saat rangsang dihentikan. Kadang

16

juga ditemukan rasa nyeri yang timbul secara spontan

dan berlansung terus menerus.

Gambar 2.7 Tes termal pada gigi

2. Electric Pulp Testing (EPT)

Hal ini dilakukan dengan cara memberikan rangsang berupa

aliran elektrik pada gigi menggunakan alat yang disebut

electric pulp tester. Adanya respon positif menunjukkan pulpa

masih vital, sedangkan respon negatif menunjukka pulpa

sudah tidak vital atau terjadinya nekrosis pulpa. Pada kondisi

tertentu, tes ini dapat mengakibatkan salah diagnosa, misalnya

pada kondisi gigi dengan akut alveolar abses, terjadinya

kontak dengan gingival, trauma gigi yang baru, restorasi yang

cukup besar.

Gambar 2.8 Alat untuk EPT

17

3. Tes kavitas

Dilakukan dengan cara menggunakan bur high speed nomer 1

dan 2 yang disertai dengan pemakaian water coolant. Pasien

tidak dianastesi pada pemeriksaan ini, tujuannya untuk

mendapatkan gambaran ada tidaknya rasa sakit pada saat tes.

Rasa nyeri menandakan pulpa vital. Tujuan tes ini terutama

menentukan kavitas preparasi. Jika pada saat tes tidak terasa

nyeri, maka kavitas preparasi dilanjutkan terus sampai ruang

pulpa dan melakukan perawatan endodonsi.

4. Tes anestesi

Untuk pasien yang tidak memberikan hasil letak pasti dari

rasa nyei dengan tes kevitalan pulpa di atas, maka tes ini dapat

digunakan. Tes ini dilakukan dengan cara menganestesi

sebuah mulai gigi posterior pada daerah yang dicurigai, jika

masih terasa nyeri meskipun region tersebut sudah teranestesi

penuh maka ulang lagi prosedur tersebut dengan menganestesi

gigi di sebelah mesial dari gigi yang tadi, terus dilakukan

sampai rasa nyeri hilang.

5. Tes gigit (bite test)

Untuk pasien dengan keluhan nyeri saat mastikasi. Gigi akan

menjadi sensitif terhadap gigitan jika terjadi nekrosis pulpa

yang sudah meluas ke periodontal ligament atau terjadinya

retakan pada gigi. Pasien diminta menggigit suatu benda keras

pada gigi yang dicurigai misalnya cotton palate, dll. Jika

terasa nyeri pada saat menggigit tersebut, maka kemungkinan

terjadi retak atau patah pada gigi.

Beberapa tes terbaru untuk menganalisa kevitalan pulpa

menggunakan aliran darah dan inervasi pada gigi ditemukan.

Tes ini memberikan hasil yang lebih akurat karena

memberikan gambaran yang jelas antara pulpa yang vital dan

pulpa yang nekrosis. Tes –tes tersebut antara lain:

18

1. Laser Doppler Flowmetry (LDF)

2. Pulp oximetry

3. Dual wavelength spectrophotometry

4. Transillumination denga serat optik

5. Plethysmography

6. Pemeriksaan adanya IL-1 β

7. Electromagnetic flowmetry

2.5 Penatalaksanaan Kelainan Pulpa (Pulpitis)

Terdapat tahapan-tahapan penatalaksanaan agar mendapatkan hasil yang

lebih efisien dan tidak menimbulkan kesalahan yang justru memperparah

kondisi. Hal pertama yang penting adalah penanganan pasien terutama pasien

yang panik, karena hal ini dapat menghambat proses perawatan. Setelah

melakukan pemeriksaan, maka harus ditentukan gigi mana yang memerlukan

perawatan dan jenis kelainan pulpa dan periradikulernya sehingga pemilihan

rencana perawatannya dapat jelas (Grossman, 1988, Walton dan Torabinejad,

2003).

2.5.1 Perawatan Pulpitis Reversible

Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan tes seperti tes

termal, visual dan radiograf. Tidak diperlukan tindakan

endodonsi sebagai perawatan, penatalaksanaan nyeri dengan

medikasi dan penutupan kavitas karies yang belum terlalu besar

dengan tumpatan disarankan agar rasa nyeri tidak muncul

kembali (Nisha Garg, Amit Garg, Textbook Of Endodontics,

2007).

2.5.2 Perawatan Pulpitis Irreversible

Pulpitis Irreversible ditangani dengan tindakan endodonsi, yaitu

pulpektomi baik total atau sebagian sesuai dengan tingkat

19

keparahan kerusakan pulpa (Nisha Garg, Amit Garg, Textbook

Of Endodontics, 2007).

2.5.3 Perawatan Nekrosis Pulpa

Pengambilan semua jaringan pulpa yang nekrosis dengan

pulpotomi atau pulpektomi dan dilanjutkan dengan restorasi jika

gigi masih bisa dirawat atau ekstraksi jika gigi sudah tidak bisa

ditolong lagi (Nisha Garg, Amit Garg, Textbook Of Endodontics,

2007).