bab 2 (oke)

23
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Rawa Secara tata bahasa Indonesia rawa didefinisikan adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis. Dari segi hidrologi, pedologi dan ekologi, rawa tercakup dalam pengertian lahan basah. Menurut sifat airnya, rawa dapat dibagi menjadi rawa air tawar dan rawa air payau. Menurut letaknya, rawa dapat dibagi menjadi rawa pedalaman dan rawa pantai. Menurut gerakan airnya, rawa dibagi menjadi rawa bergenangan tetap, lebak, bonorowo, dan rawa pasang surut. Dalam istilah pustaka Inggris dijumpai berbagai istilah yang dapat dipadankan dengan kata rawa. Istilah-istilah itu sebetulnya menunjuk bentang lahan yang mempunyai beberapa tampakan (feature) yang berbeda. Ada juga istilah swamp yang berarti baruh (lowland), secara tetap berada dalam keadaan jenuh air, biasanya tertutup vegetasi yang berpohon di sana-sini, dan tanahnya berkadar bahan organik tinggi. (A Dictionary of the Natural Environment, Am. Geol. Inst., 1962; Moore, 1972; Monkhouse & Small, 1978).

Upload: bagus

Post on 15-Feb-2016

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Bab 2

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2 (oke)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Rawa

Secara tata bahasa Indonesia rawa didefinisikan adalah lahan genangan air secara

ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat

serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis. Dari segi

hidrologi, pedologi dan ekologi, rawa tercakup dalam pengertian lahan basah.

Menurut sifat airnya, rawa dapat dibagi menjadi rawa air tawar dan rawa air

payau. Menurut letaknya, rawa dapat dibagi menjadi rawa pedalaman dan rawa

pantai. Menurut gerakan airnya, rawa dibagi menjadi rawa bergenangan tetap,

lebak, bonorowo, dan rawa pasang surut. Dalam istilah pustaka Inggris dijumpai

berbagai istilah yang dapat dipadankan dengan kata rawa. Istilah-istilah itu

sebetulnya menunjuk bentang lahan yang mempunyai beberapa tampakan

(feature) yang berbeda. Ada juga istilah swamp yang berarti baruh (lowland),

secara tetap berada dalam keadaan jenuh air, biasanya tertutup vegetasi yang

berpohon di sana-sini, dan tanahnya berkadar bahan organik tinggi. (A Dictionary

of the Natural Environment, Am. Geol. Inst., 1962; Moore, 1972; Monkhouse &

Small, 1978).

Page 2: Bab 2 (oke)

5

B. Rawa Pasang Surut dan Non Pasang Surut

1. Lahan Rawa Pasang Surut

Lahan rawa pasang surut adalah lahan rawa yang karena elevasinya

sangat rendah dan lokasinya berada dalam jangkauan pengaruh fluktuasi

air laut. Lahan ini tergenang pada waktu pasang dan genangan tidak

dapat terbuang habis pada waktu surut karena drainase yang kurang baik,

sehingga sebagian air sisa genangan inilah yang akan membentuk rawa–

rawa.

2. Lahan Rawa non Pasang Surut

Lahan rawa non pasang surut (lebak) adalah lahan rawa yang karena

elevasinya cukup tinggi (di atas muka air laut) atau lokasinya berada di

luar jangkauan fluktuasi pasang surut air laut. Pada saat musim hujan,

seluruh lahan akan tergenang baik akibat air hujan maupun akibat luapan

air sungai, sedangkan pada musim kemarau sebagian lahan akan menjadi

kering dan sisanya tergenang air sehingga membentuk rawa–rawa.

C. Klasifikasi Wilayah Rawa

Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan antara sungai

atau danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di depresi, cekungan-cekungan

di bagian terendah pelembahan sungai, di dataran banjir sungai-sungai besar, dan

di wilayah pinggiran danau. Mereka tersebar di dataran rendah, dataran

berketinggian sedang, dan dataran tinggi. Lahan rawa yang tersebar di dataran

berketinggian sedang dan dataran tinggi, umumnya sempit atau tidak luas, dan

terdapat setempat-setempat. Lahan rawa yang terdapat di dataran rendah, baik

Page 3: Bab 2 (oke)

6

yang menempati dataran banjir sungai maupun yang menempati wilayah dataran

pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai besar dan pulau-pulau deltanya

adalah yang dominan. Pada kedua wilayah terakhir ini, karena posisinya

bersambungan dengan laut terbuka, pengaruh pasang surut dari laut sangat

dominan. Di bagian muara sungai dekat laut, pengaruh pasang surut sangat

dominan, dan ke arah hulu atau daratan serta pengaruhnya semakin berkurang

sejalan dengan semakin jauhnya jarak dari laut.

Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar (spring

tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down stream

area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini

telah diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al. (1992), dan lebih mendetail oleh Subagyo

(1997). Ketiga zona wilayah rawa tersebut adalah :

Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau

Zona II : Wilayah rawa pasang surut air tawar

Zona III : Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

Page 4: Bab 2 (oke)

7

Secara sederhana penempatan zona–zona rawa tersebut dapat dilihat pada Gambar

1 di bawah ini.

Gambar 1. Pembagian Zona Lahan Rawa di Sepanjang DAS Bagian Bawah dan

Tengah (Sumber : Potensi pengembangan dan tata ruang lahan

rawa untuk pertanian, Subagyo, 1997)

1. Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau

Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang

bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar, dan pulau-

pulau delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai ini,

dimana pengaruh pasang surut air asin/laut masih sangat kuat, sering kali

disebut sebagai “tidal wetlands”, yakni lahan basah yang dipengaruhi

langsung oleh pasang surut air laut/salin.

2. Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar

Wilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa berikutnya ke arah

Page 5: Bab 2 (oke)

8

hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah aliran sungai bagian

bawah, namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan, atau ke arah hulu

sungai. Di wilayah ini energi sungai, berupa gerakan aliran sungai ke arah

laut, bertemu dengan energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali

dalam sehari (semi diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar

pengaruh air asin/salin, yang dominan adalah pengaruh air tawar (fresh

water) dari sungai sendiri. Walaupun begitu, energi pasang surut masih

cukup dominan, yang ditandai oleh masih adanya gerakan air pasang dan

air surut di sungai.

3. Zona III: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman, dan

dimulai di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi.

Oleh karena itu, rawa lebak sering disebut sebagai rawa pedalaman, atau

rawa non-pasang surut. Biasanya sudah termasuk dalam daerah aliran

sungai bagian tengah pada sungai-sungai besar. Landform rawa lebak

bervariasi dan dataran banjir (floodplains) pada sungai-sungai besar yang

relatif muda umur geologisnya, sampai dataran banjir bermeander

(meandering floodplains), termasuk bekas aliran sungai tua (old river

beds), dan wilayah danau oxbow (oxbow lakes) pada sungai-sungai besar

yang lebih tua perkembangannya. Pengaruh sungai yang sangat dominan

adalah berupa banjir besar musiman, yang menggenangi dataran banjir di

sebelah kiri-kanan sungai besar. Peningkatan debit sungai yang sangat

besar selama musim hujan, "verval" sungai atau perbedaan penurunan

tanah dasar sungai yang rendah, sehingga aliran sungai melambat,

Page 6: Bab 2 (oke)

9

ditambah tekanan arus balik air pasang dari muara, mengakibatkan air

sungai seakan-akan "berhenti" (stagnant), sehingga menimbulkan

genangan banjir yang meluas. Tergantung dari letak dan posisi lahan di

landscape, genangan dapat berlangsung dari sekitar satu bulan sampai

lebih dari enam bulan. Sejalan dengan perubahan musim yang ditandai

dengan berkurangnya curah hujan, genangan air banjir secara berangsur-

angsur akan surut sejalan dengan perubahan musim ke musim kemarau

berikutnya.

D. Reklamasi Rawa

Reklamasi rawa adalah suatu upaya pemanfaatan lahan rawa yang telah

diusahakan untuk usaha pertanian melalui perbaikan prasarana dan sarana

pertanian di kawasan tersebut sehingga meningkatkan kualitas dan produktifitas

lahan. Mekanisme pelaksanaan fisik reklamasi lahan rawa dilakukan melalui pola

padat karya, dengan sebesar-besarnya melibatkan partisipasi masyarakat/petani

setempat.

E. Jaringan Irigasi

Irigasi berarti mengalirkan air secara buatan dari sumber air yang tersedia kepada

sebidang lahan untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Dengan demikian tujuan

irigasi adalah mengalirkan air secara teratur sesuai kebutuhan tanaman pada saat

persediaan lengas tanah tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan

tanaman, sehingga tanaman bisa tumbuh secara normal. Pemberian air irigasi

yang efisien selain dipengaruhi oleh tatacara aplikasi, juga ditentukan oleh

Page 7: Bab 2 (oke)

10

kebutuhan air guna mencapai kondisi air tersedia yang dibutuhkan tanaman.

Jaringan irigasi merupakan prasarana irigasi yang terdiri atas bangunan dan

saluran air beserta perlengkapnya. Sistem jaringan irigasi dapat dibedakan antara

jaringan irigasi utama dan jaringan irigasi tersier. Jaringan irigasi utama meliputi

bangunan–bangunan utama yang dilengkapi dengan saluran pembawa, saluran

pembuang, dan bangunan pengukur. Jaringan irigasi tersier merupakan jaringan

irigasi di petak tersier, beserta bangunan pelengkap lainnya yang terdapat di petak

tersier. Suatu kesatuan wilayah yang mendapatkan air dari suatu jarigan irigasi

disebut dengan Daerah Irigasi.

F. Bangunan Irigasi

Keberadaan bangunan irigasi diperlukan untuk menunjang pengambilan dan

pengaturan air irigasi. Beberapa jenis bangunan irigasi yang sering dijumpai

dalam praktek irigasi antara lain :

1. Bangunan Pembawa

Bangunan pembawa mempunyai fungsi membawa/mengalirkan air dari

sumbernya menuju petak irigasi. Bangunan pembawa meliputi saluran

primer, saluran sekunder, saluran tersier, dan saluran kuarter. Termasuk

dalam bangunan pembawa adalah talang, gorong-gorong, siphon,

tedunan, dan got miring. Saluran primer biasanya dinamakan sesuai

dengan daerah irigasi yang dilayaninya. Sedangkan saluran sekunder

sering dinamakan sesuai dengan nama desa yang terletak pada petak

sekunder tersebut. Berikut ini penjelasan berbagai saluran yang ada

dalam suatu sistem irigasi, yaitu :

Page 8: Bab 2 (oke)

11

Saluran primer membawa air dari bangunan sadap menuju saluran

sekunder dan ke petak-petak tersier yang diairi. Batas ujung saluran

primer adalah pada bangunan bagi yang terakhir.

Saluran sekunder membawa air dari bangunan yang menyadap dari

saluran primer menuju petak-petak tersier yang dilayani oleh saluran

sekunder tersebut. Batas akhir dari saluran sekunder adalah bangunan

sadap terakhir.

Saluran tersier membawa air dari bangunan yang menyadap dari saluran

sekunder menuju petak-petak kuarter yang dilayani oleh saluran sekunder

tersebut. Batas akhir dari saluran sekunder adalah bangunan box tersier

terakhir.

Saluran kuarter mernbawa air dari bangunan yang menyadap dari box

tersier menuju petak-petak sawah yang dilayani oleh saluran sekunder

tersebut. Batas akhir dari saluran sekunder adalah bangunan box kuarter

terakhir.

2. Petak Tersier

Petak tersier terdiri dari beberapa petak kuarter masing-masing seluas

kurang lebih 8 sampai dengan 15 hektar. Pembagian air, eksploitasi dan

pemeliharaan di petak tersier menjadi tanggungjawab para petani yang

mempunyai lahan di petak yang bersangkutan dibawah bimbingan

pemerintah. Petak tersier sebaiknya mempunyai batas-batas yang jelas,

misalnya jalan, parit, batas desa, dan batas-batas lainnya. Ukuran petak

tersier berpengaruh terhadap efisiensi pemberian air. Beberapa faktor

lainnya yang berpengaruh dalam penentuan luas petak tersier antara lain

Page 9: Bab 2 (oke)

12

jumlah petani, topografi, dan jenis tanaman. Apabila kondisi topografi

memungkinkan, petak tersier sebaiknya berbentuk bujur sangkar atau

segi empat. Hal ini akan memudahkan dalam pengaturan tata letak dan

pembagian air yang efisien. Petak tersier sebaiknya berbatasan langsung

dengan saluran sekunder atau saluran primer. Sedapat mungkin dihindari

petak tersier yang terletak tidak secara langsung di sepanjang jaringan

saluran irigasi utama, karena akan memerlukan saluran muka tersier yang

mebatasi petak-petak tersier lainnya.

3. Petak Sekunder

Petak sekunder terdiri dari beberapa petak tersier yang kesemuanya

dilayani oleh satu saluran sekunder. Biasanya petak sekunder menerima

air dari bangunan bagi yang terletak di saluran primer atau sekunder.

Batas-batas petak sekunder pada umumnya berupa tanda topografi yang

jelas misalnya saluran drainase. Luas petak sekunder dapat berbeda-beda

tergantung pada kondisi topografi daerah yang bersangkutan. Saluran

sekunder pada umumnya terletak pada punggung di sisi kanan dan kiri

saluran tersebut sampai saluran drainase yang membatasinya. Saluran

sekunder juga dapat direncanakan sebagai saluran garis tinggi yang

mengairi lereng-lereng medan yang lebih rendah.

4. Petak Primer

Petak primer terdiri dari beberapa petak sekunder yang mengambil

langsung air dari saluran primer. Petak primer dilayani oleh satu saluran

primer yang mengambil air langsung dari bangunan penyadap. Daerah di

sepanjang saluran primer sering tidak dapat dilayani dengan mudah

Page 10: Bab 2 (oke)

13

dengan cara menyadap air dari saluran sekunder. Apabila saluran primer

melewati sepanjang garis tinggi daerah saluran primer yang berdekatan

harus dilayani langsung dari saluran primer.

G. Sistem Tata Air

Perencanaan sistem tata air yang diterapkan pada daerah reklamasi rawa adalah

sistem tata air tradisional, sistem garpu, dan sistem sisir. Akan tetapi di sebagian

daerah lain yang diterapkan adalah sistem semi terbuka, yaitu open sistem untuk

saluran primer dan sekunder namun dilengkapi dengan bangunan ambang air.

Konsep ini terdiri atas saluran primer, sekunder, dan saluran tersier yang pada

masing-masing ujung saluran dilengkapi dengan bangunan ambang air. Konsep

ini terdiri dari atas saluran sekunder yang dibuat menyirip ikan dengan saluran

primer, serta saluran tersier yang dibuat juga menyirip ikan dengan saluran

sekunder, dimana pada saluran sekunder maupun saluran tersier dilengkapi oleh

bangunan ambang air.

Pengelolaan tata air pada lahan rawa pasang surut dapat diartikan sebagian sistem

pengaturan air secara tepat untuk meningkatkan produksi pertanian.

H. Data Hujan

Variabel yang paling utama adalah analisis hidrologi adalah data hujan. Data

hujan tersebut dalam analisa hidrologi dapat dianggap bersifat lumped yang

artinya bahwa besaran hujan tidak mempunyai variabilitas ruang. Dengan kata

lain bahwa hujan dianggap merata pada seluruh DPS yang ditinjau. Data curah

hujan tersebut diperoleh dari alat ukur hujan yang tersedia pada suatu DPS, baik

Page 11: Bab 2 (oke)

14

yang otomatis (Outomatic Rain Gauge) dan manual atau yang biasa. (Hidrologi

Teknik, Soemarto, 1986).

I. Curah Hujan Efektif

Curah hujan efektif ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat ketersediaan curah

hujan selama masa tanam baik itu pada padi maupun palawija. Untuk

menganalisa besarnya curah hujan efektif tersebut, curah hujan di musim kemarau

dan penghujan akan sangat penting artinya.

Untuk tujuan tersebut data curah hujan harian akan dianalisa untuk mendapatkan

tingkat ketelitian yang dapat diterima. Data curah hujan harian yang akan dipakai

tersebut meliputi periode ± 10 tahun terakhir. (Kriteria Perencanaan Bagian

Parameter Bangunan Standar Perencanaan Irigasi, Dinas PU, 1986).

J. Kebutuhan Air pada Tanaman Padi

1. Pola Tanam

Perhitungan pola tanam diambil jenis padi FAO, padi jenis unggul untuk

mendapatkan hasil maksimal dalam usaha pertanian dengan

mempertimbangkan potensi yang ada yang meliputi ketersediaan lahan, air

baku, dan tenaga kerja/penggarap, maka sistem pola tanam yang

dipergunakan adalah padi–padi–palawija.

Tanaman padi yang dipergunakan dalam pola tanam ini adalah padi

dengan varietas unggul karena usianya lebih pendek (90 hari) dibanding

dengan padi varietas biasa (120 hari). Maka pembagian hari penanaman

Page 12: Bab 2 (oke)

15

adalah untuk padi rendengan 90 hari, padi gadu 45 hari dan palawija 85

hari. Untuk penyiapan lahan digunakan jangka waktu 45 hari sebelum

penanaman padi rendengan dan 30 hari sebelum padi gadu. Apabila akan

dilakukan perawatan pada sarana irigasi maka dibutuhkan waktu untuk

pengeringan saluran. Biasanya waktu pengeringan yang diperlukan adalah

25 hari.

Setelah ditetapkan waktu-waktu tersebut selama jangka waktu 1 tahun

maka kita diasumsikan jadwal pertama penanaman padi rendengan pada

bulan November minggu pertama. Setelah mendapatkan besarnya harga

dari parameter-parameter seperti evapotranspirasi, hujan efektif, perkolasi,

pergantian lapisan air, penyiapan lahan, kelembaban air tanah, akumulasi

potensi kehilangan air, dan kapasitas air tanah. Kemudian besarnya harga

dari masing-masing parameter tersebut disusun berdasarkan bulan-bulan

bersangkutan untuk mendapatkan besarnya kebutuhan air di sawah sesuai

jadwal tanam yang telah dibuat. (Kriteria Perencanaan Bagian Parameter

Bangunan Standar Perencanaan Irigasi, Dinas PU, 1986).

2. Evapotranspirasi

Evapotranspirasi adalah jumlah air pada suatu areal yang digunakan untuk

transpirasi pembentukan jaringan tumbuh-tumbuhan yaitu banyaknya air

yang diuapkan dari tanah dan diserap oleh tanaman dalam rangka mencari

kebutuhan air total. Besarnya evapotranspirasi ini tergantung pada

temperatur udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan penyinaran

matahari. (Kriteria Perencanaan Bagian Parameter Bangunan Standar

Perencanaan Irigasi, Dinas PU, 1986). Perhitungan evapotranspirasi ini

Page 13: Bab 2 (oke)

16

dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kebutuhan air selama masa tanam

padi atau palawija. (Kriteria Perencanaan Bagian Parameter Bangunan

Standar Perencanaan Irigasi, Dinas PU, 1986).

3. Penggunaan Air Konsumtif

Penggunaan air konsumtif adalah banyaknya air yang dibutuhkan untuk

mengairi sawah sedemikian rupa sehingga tanaman dapat menyerap air

untuk kebutuhan dengan baik. (Kriteria Perencanaan Bagian Parameter

Bangunan Standar Perencanaan Irigasi, Dinas PU, 1986)

4. Efisiensi Irigasi

Pada saat air bergerak dari sumbernya menuju petak sawah melalui sistem

saluran pembawa dan saat air berada di sawah, maka air akan terjadi

kehilangan volumenya yang disebabkan oleh rembesan, penguapan dan

lain-lain. Mengingatkan hal tersebut diatas maka perlu diperhitungkan

daya efisiensi irigasinya.

K. Luas Areal yang Dapat diairi

Dengan diketahuinya jumlah kebutuhan air pada tanaman padi dan besarnya air

pada intake serta besarnya debit andalan yang ada, maka dapat diketahui seberapa

besar luas areal yang dapat diairi. (Kriteria Perencanaan Bagian Parameter

Bangunan Standar Perencanaan Irigasi, Dinas PU, 1986).

Page 14: Bab 2 (oke)

17

L. Analisis Curah Hujan Efektif

1. Curah hujan efektif untuk padi

Curah hujan efektif untuk padi diperhitungkan sebesar 70 % dari curah

hujan setengah bulanan yang terlampaui 80 % dari waktu periode tertentu.

Untuk menghitung besarnya curah hujan efektif dilakukan dengan cara

menyusun data curah hujan tengah bulanan secara berurutan dari ranking

terkecil hingga terbesar dengan metode empiris (Kriteria Perencanaan

Bagian Parameter Bangunan Standar Perencanaan Irigasi, Dinas PU,

1986).

........................................................ (2.3)

dengan :

n = prosentase yang terlampaui

N = lamanya pengamatan

Rn = curah hujan andalan terlampaui (mm/hari)

2. Curah Hujan Efektif untuk Palawija

Curah hujan efektif untuk palawija ditentukan dengan periode bulanan

yang terlampaui 50 % (Kriteria Perencanaan Bagian Parameter Bangunan

Standar Perencanaan Irigasi, Dinas PU, 1986).

.................................................... (2.4)

dengan :

n = prosentase yang terlampaui

N = lamanya pengamatan

Rn = curah hujan andalan terlampaui (mm/hari)

Page 15: Bab 2 (oke)

18

Curah hujan efektif dapat dihitung dengan rumus. (Kriteria Perencanaan

Bagian Parameter Bangunan Standar Perencanaan Irigasi, Dinas PU,

1986).

.................................................................. (2.5)

dengan :

Re = curah hujan efektif

Rn = curah hujan Andalan n %

M. Analisis Evapotranspirasi Tanaman

Besarnya evapotranspirasi dalam menghitung besarnya kebutuhan air pada

tanaman padi adalah menggunakan persamaan Penman Modifikasi, yaitu

Eto = c [W .Rn + (1-W) . f (u). (ea – ed)] .......................................... (2.7)

Rn = Rns – Rn1 ................................................................................. (2.8)

Rns = ((0,25 + 0,50 (n/N)). Ra ........................................................... (2.9)

Rn1 = f(T). f(ed). f(n/N) .................................................................... (2.10)

f(ed) = 0,34 – 0,044. Ed0,5

.................................................................. (2.11)

f(n/N) = 0,10 + 0,9 (n/N) .................................................................... (2.12)

f(u) = 0,27 [1 + (u/100)] ..................................................................... (2.13)

dengan:

Eto = evapotranspirasi potensial tanaman (mm/jam)

Ra = radiasi Matahari (mm/hari)

n = rata-rata lama cahaya matahari yang sebenarnya (jam/hari)

N = lama cahaya matahari maksimum yang mungkin

n/N = presentasi penyinaran matahari (%)

Page 16: Bab 2 (oke)

19

f(u) = faktor kecepatan angin

W = faktor temperatur

F(T) = pengaruh temperatur

Rh = kelembaban temperatur

Ed = tekanan uap udara dalam keadaan jenuh (mm hg)

Ea = tekanan uap udara pada temperatur rata-rata (mm hg)

N. Analisis Penggunaan Konsumtif

Besarnya penggunaan konsumtif tanaman dalam menghitung besarnya kebutuhan

air untuk tanaman padi dapat dihitung dengan menggunakan rumus. (Kriteria

Perencanaan Bagian Parameter Bangunan Standar Perencanaan Irigasi, Dinas PU,

1986).

Etc = Eto x Kc ...................................................................................... (2.14)

Dengan :

Etc = penggunaan konsumtif tanaman (mm/hr)

Eto = evapotranspirasi potensial tanaman (mm/hr)

Kc = koefisien tanaman untuk tanaman padi

O. Modulus Drainase

Modulus Drainase (Drain Module) adalah besarnya limpasan air yang harus

dibuang dari lahan. Modulus drainase tergantung pada jenis tanaman, jenis tanah

dan pola pembuangan yang direncanakan.

Page 17: Bab 2 (oke)

20

Perhitungan modulus drainase dihitung berdasarkan 2 pola yaitu untuk lahan padi

dan lahan kering. Dari keduanya diambil yang terbesar guna perencanaan

dimensi saluran pembuang.

1. Tanaman Pangan

Sebagai beban rencana dipakai hujan 3 (tiga) harian maksimum

dengan periode ulang 5 tahun.

Sistem drainase direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat

mengembalikan keadaan air paling lama 3 hari sejak terjadinya hujan.

Kedalaman maksimum air tanah untuk padi diambil sampai dengan

zona akar yaitu 50 cm.

Simpanan (storage) di sawah diambil 15 cm.

Kebutuhan air untuk tanaman dari sistem pengairan zona akar.

Sistem pengairan dari saluran pemberi dengan sistem pengairan zona

akar.

2. Tanaman Keras

Sebagai beban rencana dipakai hujan sungai maksimum dengan

periode ulang 5 tahun.

Sistem drainase direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat

mengembalikan keadaan air tanah pada kedalaman yang optimal

paling lama 5 hari sejak terjadinya hujan.

Kedalaman optimal air tanah untuk tanaman keras diambil sesuai

dengan zona akar yaitu 100 cm.

Simpanan (storage) dari hujan atau genangan air dari hujan di lahan

perkebunan adalah 0 cm.

Page 18: Bab 2 (oke)

21

Volume atau besarnya air yang harus dibuang terutama pada musim hujan

ditentukan oleh besarnya modulus drainase dan daerah layanan yang dibagi atas

blok-blok primer, sekunder, dan tersier.

P. Beban Drainase Saluran

Besarnya beban drainase dari saluran pembuang primer dari hulu sampai ke hilir,

dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

Qd = 1,62 . Dm . A0,92

untuk lahan padi A > 400 ha

Qd = Dm . A untuk lahan padi A < 400 ha

Dm = Dn / (n x 8,64)

Dn = R (n) T + n (Ir – ET . P) S

Dengan :

Qd = debit rencana (l/dt)

Dm = modulus drainase (l/det/ha)

A = luas areal (ha)

n = jumlah hari berturut-turut

Dn = limpasan hujan selama n hari (mm)

R(n)T = curah hujan selama n hari berturut-turut dengan periode ulang tahun

(mm)

Ir = pemberian air irigasi (mm/ha)

ET = evapotranspirasi (mm/hari)

P = perkolasi (mm/hari)

S = tampungan tambahan (mm)

Page 19: Bab 2 (oke)

22

Q. Saluran Drainase

Perencanaan saluran drainase didasarkan pada ’Stable Channel’, sehingga harus

memenuhi persyaratan :

- Tidak terjadi gerusan

- Tidak terjadi pengendapan

Kemiringan dasar saluran perlu mempertimbangkan kemiringan medan yang ada.

Kemiringan talud tergantung dari kondisi tanah di lokasi. Kemiringan talud

direncanakan 1 : 1,5 dan kecepatan maksimum yang dijinkan adalah 0,4-0,7

m/det.

Penampang saluran direncanakan berbentuk trapesium. Dimensi saluran

digunakan persamaan Strickler. Persamaan ini digunakan untuk keadaan Steady–

Flow, yaitu pada aliran seragam yang dijumpai pada saluran-saluran buatan yang

mempunyai penampang sama dan tertentu tiap section.

Adapun persamaannya adalah sebagai berikut :

Q = A . V

V = 1/n . R2/3

. I1/2

A = (b + mh) h

R = A / P

P = b + 2h (m2 + 1)

1/2

Gambar 2. Dimensi Saluran Drainase

Page 20: Bab 2 (oke)

23

Dimana :

Q = debit pembuang (m3/det)

K = koefisien kekasaran Strickler

A = luas penampang basah (m2)

m = kemiringan talud

b = lebar dasar saluran (m)

h = kedalaman air (m)

R = koefisien kekasaran Strikler

p = keliling basah (m)

I = kemiringan dasar saluran

1. Tinggi Jagaan Saluran

Tinggi jagaan merupakan tambahan tinggi pada tanggul saluran untuk

menampung loncatan air dari permukaan air saluran yang sedang mengalir.

Hal ini sangat penting untuk menghindari limpasan mengingat tanggul

sebagai konstruksi urugan tanah yang sangat lemah terhadap limpasan.

Besarnya tinggi jagaan pada saluran, nilainya bervariasi tergantung dari

besarnya debit banjir yang dipakai dalam perhitungan.

Tabel berikut ini menunjukan besarnya tinggi jagaan berdasarkan debit

banjir rencana.

Page 21: Bab 2 (oke)

24

Tabel 1. Tinggi Jagaan pada Saluran

Debit Banjir

Rencana

(m3/det)

< 200 200 – 500 500 –

2000

2000 –

5000

5000 –

10000

>

10000

Tinggi Jagaan

(m) 0.6 0.8 1 1.2 1.5 2

2. Tanggul Saluran

Tanggul merupakan bangunan menerus yang sangat panjang dengan

konstruksi urugan tanah, sehingga dibutuhkan volume bahan urugan yang

cukup besar. Dipilihnya bahan tanggul dari urugan tanah adalah karena

tanah merupakan bahan yang sangat mudah penggarapannya dan setelah

jadi tanggul sangat mudah pula menyesuaikan diri dengan lapisan tanah

pondasi yang mendukungnya, serta mudah menyesuaikan dengan

kemungkinan penurunan yang tidak merata, sehingga perbaikan yang

disebabkan oleh penurunan tersebut mudah dikerjakan.

Mercu tanggul diperlukan dalam rangka pencegahan bahaya banjir yaitu

untuk mencegah bobolnya tanggul akibat limpasan atau gelombang air.

Mercu tanggul biasanya juga difungsikan sebagai jalan inspeksi atau jalan

penghubung. Lebar mercu tanggul ditentukan oleh besarnya debit banjir

rencana yang dipakai dalam perhitungan. Tabel berikut ini menunjukkan

lebar mercu tanggul yang dibutuhkan berdasarkan besarnya debit banjir

rencana.

Page 22: Bab 2 (oke)

25

Tabel 2. Lebar Mercu Tanggul

Debit banjir

Rencana (m3/det)

< 500 500 – 2000 2000 –

5000

5000 –

10000

>

10000

Lebar Mercu (m) 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0

Dalam perencanaan ini dipakai lebar mercu tanggul 3,0 m.

3. Kemiringan Lereng Tanggul

Penentuan kemiringan tanggul merupakan tahapan yang paling penting

dalam perencanaan tanggul dan sangat erat kaitannya dengan karakteristik

mekanika tanah tubuh tanggul tersebut. Dalam perencanaan ini dipakai

kemiringan lereng tanggul rencana adalah 1 : 1.

R. Benefit Cost Ratio (B/C)

Benefit cost ratio (B/C R) merupakan suatu analisa pemilihan proyek yang biasa

dilakukan karena mudah, yaitu perbandingan antara benefit dengan cost. Kalau

nilainya < 1 maka proyek itu tidak ekonomis, dan kalau > 1 berarti proyek itu

feasible. Kalau B/C ratio = 1 dikatakan proyek itu marginal (tidak rugi dan tidak

untung). (Analisis Ekonomi Teknik, Robert Kodoatie, 1994).

S. Net Present Value (NPV)

Net present value (NPV) atau nilai bersih sekarang merupakan selisih antara PV

kas bersih (PV of proceed) dengan PV investasi (capital ouylays) selama umur

investasi. Selisih antara nilai PV inilah yang disebut dengan Net Present Value

(NPV).

Page 23: Bab 2 (oke)

26

Rumus yang biasa digunakan dalam menghitung NPV adalah sebagai berikut:

NPV =

Dengan n adalah tahun, dan r adalah tingkat bunga pengembalian. Jika NPV yang

dihasilkan bernilai positif, maka investasi diterima, namun bila NPV yang

dihasilkan bernilai negatif maka investasi ditolak. (Studi Kelayakan Bisnis,

Kasmir dan Jakfar, 2003).