bab 2 landasan teori - library & knowledge...

16
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum 2.1.1 Pengertian Adaptive Reuse Yang dimaksud dengan konservasi adalah proses merawat sebuah tempat, benda, ruang, dan pemandangan, untuk menjaga nilai budaya, estetika, sejarah, sosial atau spritualnya (Australia ICOMOS Burra Charter, 2013). Konservasi merupakan proses memahami, memelihara, menjaga, dan jika diperlukan memperbaiki, mengembalikan dan menyesuaikan fungsi untuk mempertahankan nilai budaya. Konservasi merupakan sistem yang berkelanjutan yang tidak hanya memperhatikan aspek arsitektural, namun juga ekonomi dan sosial. Fokus konservasi adalah sejarah, masa kini, dan masa depan bangunan dengan mempertimbangkan: bukti sejarah, kebutuhan saat ini, dan keberlanjutan untuk masa depan (Orbasli, 2008). Bangunan bersejarah tidak diperlakukan sebagai benda yang terisolasi; bangunan merupakan bagian dari jaringan area, tempat, kota, dan landscape, maka, dalam membuat keputusan terkait konservasi cagar budaya, tempat dan konteks bangunan sama pentingnya dengan bangunan dan materialnya (Orbasli, 2008). Konservasi arsitektural dilakukan untuk melestarikan bangunan dan townscape, dengan tetap memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini (Orbasli, 2008). Berbagai bentuk konservasi adalah perawatan, preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan interpretasi (Australia ICOMOS Burra Charter, 2013). Yang dimaksud dengan adaptive reuse adalah membuat perubahan terhadap bangunan untuk mengakomodasi kebutuhan baru dan adaptasi yang dilakukan harus mampu menambah nilai dan kualitas bangunan bersejarah (Orbasli, 2008). Melalui UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Cagar Budaya, yang dimaksud dengan adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting. Adaptive reuse pada dasarnya melindungi nilai sejarah dan arsitektur bangunan, sekaligus memberi keleluasaan yang cukup untuk fungsi baru (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2011). 7

Upload: vodang

Post on 03-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Umum

2.1.1 Pengertian Adaptive Reuse

Yang dimaksud dengan konservasi adalah proses merawat sebuah tempat,

benda, ruang, dan pemandangan, untuk menjaga nilai budaya, estetika, sejarah, sosial

atau spritualnya (Australia ICOMOS Burra Charter, 2013). Konservasi merupakan

proses memahami, memelihara, menjaga, dan jika diperlukan memperbaiki,

mengembalikan dan menyesuaikan fungsi untuk mempertahankan nilai budaya.

Konservasi merupakan sistem yang berkelanjutan yang tidak hanya memperhatikan

aspek arsitektural, namun juga ekonomi dan sosial. Fokus konservasi adalah sejarah,

masa kini, dan masa depan bangunan dengan mempertimbangkan: bukti sejarah,

kebutuhan saat ini, dan keberlanjutan untuk masa depan (Orbasli, 2008).

Bangunan bersejarah tidak diperlakukan sebagai benda yang terisolasi;

bangunan merupakan bagian dari jaringan area, tempat, kota, dan landscape, maka,

dalam membuat keputusan terkait konservasi cagar budaya, tempat dan konteks

bangunan sama pentingnya dengan bangunan dan materialnya (Orbasli, 2008).

Konservasi arsitektural dilakukan untuk melestarikan bangunan dan townscape,

dengan tetap memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini (Orbasli, 2008).

Berbagai bentuk konservasi adalah perawatan, preservasi, restorasi,

rekonstruksi, adaptasi dan interpretasi (Australia ICOMOS Burra Charter, 2013).

Yang dimaksud dengan adaptive reuse adalah membuat perubahan terhadap

bangunan untuk mengakomodasi kebutuhan baru dan adaptasi yang dilakukan harus

mampu menambah nilai dan kualitas bangunan bersejarah (Orbasli, 2008).

Melalui UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Cagar Budaya,

yang dimaksud dengan adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk

kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan

perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya

atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting. Adaptive reuse pada

dasarnya melindungi nilai sejarah dan arsitektur bangunan, sekaligus memberi

keleluasaan yang cukup untuk fungsi baru (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2011).

7

Page 2: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

8

2.1.2 Etika dalam Konservasi

Ada 3 hal yang menjadi dasar dalam melakukan konservasi, yaitu pendekatan

berdasarkan nilai dan berdasarkan integritas dan otentisitas (Orbasli, 2008).

• Pendekatan Berdasarkan Nilai

Nilai yang penting pada bangunan atau tempat bersejarah adalah arsitektur dan

sejarahnya, yang jika hilang akan menurunkan kepentingannya, namun selain

fisiknya, banyak nilai lain yang perlu dipertimbangkan (Orbasli, 2008).

• Integritas

Konservasi harus dilakukan dengan integritas, menggunakan material yang sesuai

dengan tujuan kesesuaian. Bangunan bersejarah merupakan peninggalan masa lalu

yang menyimpan detail dan informasi tentang masa lalu; hal ini merupakan integritas

sejarah (Orbasli, 2008).

• Otentisitas

Otentik tidak berarti mengembalikan bangunan ke bentuk aslinya (Orbasli, 2008).

Tabel 2. Etika dalam Konservasi

Pendekatan Berdasarkan Nilai Integritas Otentisitas

• Usia dan

kelangkaan;

• Nilai

arsitektural;

• Nilai artistik;

• Nilai asosiasi

dengan suatu

kejadian;

• Nilai budaya;

• Nilai ekonomi;

• Nilai emosional;

• Nilai sejarah;

• Nilai landscape;

• Nilai politik;

• Nilai spiritual;

• Nilai sosial;

• Nilai teknologi;

• Nilai

townscape;

• Nilai edukasi;

• Integritas fisik (material

bangunan &

hubungannya dengan material lainnya);

• Integritas struktur;

• Integritas desain;

• Integritas estetika;

• Integritas bangunan

dengan tempat &

konteks;

• Integritas tim konservasi.

• Desain atau

bentuk;

• Material;

• Teknik,

tradisi, dan proses;

• Tempat dan

konteks;

• Fungsi.

Sumber: Architectural Conservation

2.1.3 Prinsip Konservasi

Konservasi arsitektural tidak hanya berbicara tentang bangunan, namun juga

mempertimbangkan konteks urban dan lingkungan alami di mana bangunan berada

dan akan berkontribusi (Orbasli, 2008).

Lingkungan bersejarah tidak bersifat statik, melainkan terus berubah agar tetap

relevan dengan kebutuhan masyarakat. Lingkungan bersejarah dapat menjadi katalis

yang penting. Desain memiliki peran yang penting dalam adaptasi bangunan atau

lingkungan bersejarah untuk menciptakan lingkungan yang hidup dan dinamis. Jika

satu bangunan dikonservasi dan direhabilitasi, ini akan membuat bangunan lain di

sekelilingnya untuk mengikuti, semakin banyak bangunan yang diregenerasi dan

Page 3: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

9

pengguna baru akan datang, area tersebut akan ikut teregenerasi dan perkembangan

ekonomi akan terjadi (Orbasli, 2008).

Tabel 3. Prinsip Dasar dalam Konservasi

Sumber: Architectural Conservation

Pertimbangan dalam memilih fungsi baru untuk bangunan bersejarah adalah

fungsi yang baru harus melindungi dan memaksimalkan nilai yang dimiliki

bangunan, dan pertimbangan finansial, yaitu fungsi yang dibutuhkan di area tersebut

(Orbasli, 2008).

2.1.4 Tahapan Konservasi

Konservasi bangunan cagar budaya dilakukan secara konseptual, didahului

dengan proses dokumentasi seluruh kondisi eksisting bangunan sebelum dilakukan

intervensi, dokumentasi penting dilakukan untuk membuat perencanaan konservasi

secara komprehensif (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2011).

Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar sejarah, nilai

budaya, keaslian bangunan cagar budaya, dan permasalahan teknis, kemudian dibuat

perencanaan tindakan konservasi, meliputi tahap persiapan (pengamanan, shop

drawing, dan mock up), pembersihan (pembersihan manual, pembersihan mekanis,

pembersihan kimiawi), perbaikan pada seluruh komponen yang mengalami

kerusakan (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2011).

Pemahaman Bekerja berdasarkan bukti sejarah

Memahami lapisan bangunan dan lahan

Konteks bangunan

Implementasi

Fungsi yang sesuai

Perbaikan material

Tradisi dan teknologi

Pembedaan antara material asli dan material baru

Memperhatikan proses pembersihan bangunan

Evaluasi Masalah yang baru membutuhkan pendekatan yang baru

Keberlanjutan

Interpretasi

Page 4: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

10

Gambar 6. Tahapan Konservasi Sumber: Pengantar Panduan Konservasi Bangunan Bersejarah Masa Kolonial

2.1.5 Sejarah Kawasan Kota Tua Jakarta

Pada tahun 1619, Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieter Z. Coen tiba di Jawa dan

melakukan pertempuran di Jayakarta. Setelah rata dengan tanah, Jan Pieter Z. Coen

mendirikan Batavia di atas puing-puing tesebut (Nas, 2009).

Untuk mendirikan markas besar VOC (Perserikatan Dagang Hindia Timur) di

wilayah tersebut, ditugaskanlah Simon Stevin, ahli matematika, ilmuwan, sekaligus

penasihat Pangeran Belanda, Maurits. Simon Stevin merancang kota yang disebut

kota ideal, sebagai pusat perdagangan dan permukiman masa depan berupa kota

berbentuk persegi dengan dinding tinggi menjulang mengelilinginya. Kota dibagi

menjadi 2 wilayah besar yang dipisahkan oleh Sungai Ciliwung. Rancangan kota

Page 5: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

11

Batavia menyerupai kota-kota yang ada di Belanda, dengan ciri kanal-kanal yang

membelah kota dan pohon rindang di tepinya. Pembangunan kota berbenteng ini

memakan waktu sekitar 40 tahun (Wirawan, 2009).

Benteng Batavia menjadi pusat kekuasaan dan titik pusat utama kota. Batavia

terus tumbuh dan berkembang hingga pada 1730 menjadi besar dan makmur. Area

dalam tembok dikembangkan sebagai pusat perdagangan, sedangkan area luar

tembok difokuskan sebagai areal perkebunan dan pertanian. Kanal-kanal dibangun

untuk mengairi tanah dan perkebunan, dan juga difungsikan untuk mengangkut hasil

pertanian dan menggerakkan watermills guna memeras tebu (Wirawan, 2009).

Batavia awalnya menjadi pusat kantor VOC setelah VOC mendominasi Kota

hingga digantikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1799. Batavia dikenal

sebagai kuburan orang Eropa karena rendahnya standar kebersihan dan kualitas air

yang menyebabkan terjadinya wabah malaria. Pada 1808, Daendels meruntuhkan

tembok dan membangun kantor baru pada 1809 di Lapangan Banteng, Weltevreden

yang kemudian menjadi pusat pemerintahan baru dan Downtown Batavia masih

berfungsi sebagai tempat kantor pelayaran, perdagangan, dan asuransi (Merrillees,

2000).

Dengan dihapuskannya Sistem Tanam Paksa pada 1870, terjadi peningkatan

kegiatan perdagangan besar-besaran di daerah Jawa, terlebih di Batavia. Perusahaan-

perusahaan dagang swasta dan lembaga keuangan berdiri, sebagian besar membuka

kantor di wilayah Kota, khususnya di sepanjang Kali Besar dan sekitarnya (Wirawan,

2009). Di Kawasan Kota Tua terdapat kanal utama yang menjadi jalur transportasi

utama kota bernama Kali Besar. Kali Besar menjadi jalur perdagangan yang penting,

sehingga banyak perusahaan perdagangan membangun kantor di sekitar kanal

tersebut (Akihary, 1996).

2.1.6 Undang-Undang No 11 Tahun 2010

Menurut Undang-undang No 11 tahun 2010 tentang konservasi cagar budaya,

Pasal 5:

Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya,

Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:

a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;

Page 6: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

12

c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau

kebudayaan; dan

d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Pasal 83:

(1) Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi

untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:

a. ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya;

dan/atau

b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau

Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.

(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;

b. menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;

c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau

d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika

lingkungan di sekitarnya.

2.1.7 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 36 Tahun 2014

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 36 Tahun 2014 Tentang

Rencana Induk Kawasan Kota Tua,:

Pasal 4 tentang visi dan misi:

Pembangunan kawasan Kota Tua diarahkan dengan visi mewujudkan kawasan Kota

Tua sebagai kawasan cagar budaya yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai

kawasan wisata, bisnis, jasa, dan perdagangan dengan tetap mempertahankan

karakter dan nilai-nilai kesejarahan kawasan.

Pasal 5:

Untuk mewujudkan visi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, penataan ruang pada

Kawasan Kota Tua ditujukan untuk melaksanakan 7 (tujuh) misi utama, yaitu:

a. meningkatkan peranan Kota Tua sebagai kawasan wisata cagar budaya yang

mampu meningkatkan nilai ekonomis kawasan dan menjadi daya tarik bagi para

investor dan turis;

b. melakukan revitalisasi Kota Tua melalui upaya perlindungan, pelestarian dan

pemanfaatan di Kota Tua baik secara bendawi maupun non bendawi;

Page 7: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

13

c. meningkatkan kualitas fisik dan visual Kotatua dengan meningkatkan aksesibilitas,

penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur yang layak;

d. mempertahankan kegiatan yang saat ini telah ada dan mendorong tumbuhnya

kegiatan baru yang menunjang kegiatan ekonomi di kawasan Kotatua;

Pasal 6, strategi penataan kawasan:

a. memberikan dinamika baru bagi kawasan Kota Tua dengan melakukan upaya

pelestarian melalui revitalisasi dan adaptasi serta upaya perlindungan melalui

pemeliharaan dan pemugaran yang dilakukan secara kontinu, komprehensif dan

bersifat jangka panjang;

Pasal 10 tentang Konsep Pengembangan Zona:

(1) Area di dalam tembok terdiri dari zona inti dan zona penunjang yang

pengembangannya diarahkan sebagai kawasan bersejarah dengan fungsi utama

sebagai fungsi edukasi, kegiatan budaya, dan sosial, ikon wisata internasional,

replikasi kota lama Batavia, pusat bisnis dan perdagangan terbatas.

Pasal 17 tentang Rencana Pengembangan Kawasan Komersial:

(1) Fungsi komersial terdiri atas kawasan dengan pemanfaatan sebagai perkantoran,

perdagangan dan jasa serta campuran.

(3) Pengembangan kawasan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan melalui:

a. memberikan fungsi baru tanpa mengubah karakter morfologi penting pada

kawasan atau bangunan;

b. fungsi komersial diarahkan berupa fungsi-fungsi yang dapat menonjolkan

karakter kawasan sebagai kawasan pariwisata dan sejarah seperti tourist center,

visitor center, hotel, museum, restoran, butik;

c. fungsi komersial dianjurkan berupa fungsi yang mampu menghidupkan kawasan

selama 24 (dua puluh empat) jam, misalkan: hotel, apartemen, hiburan, pertokoan,

perbelanjaan.

Pasal 20 tentang Penataan Bangunan

(1) Penataan bangunan di Kota Tua bertujuan untuk mewadahi kebutuhan fungsi-

fungsi baru yang dapat memperkuat karakter Kota Tua tanpa mengabaikan prinsip-

prinsip pelestarian dan perlindungan bangunan cagar budaya.

(2) Penataan tata bangunan di Kota Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diarahkan sesuai dengan prinsip sebagai berikut:

Page 8: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

14

a. Menata bangunan pada masing-masing zona sesuai dengan karakter dan nilai

bangunan eksisting cagar budaya yang telah ada;

b. Menciptakan konektivitas ruang dan fungsi antar bagunan dalam kawasan guna

menciptakan keterpaduan dan meningkatkan akses bagi pejalan kaki;

c. Memperkuat karakter kota dengan penataan fasad dan arkade;

d. Mempertahankan karakter bangunan lama dan menyesuaikan bentukan

arstitektural bangunan baru dengan lingkungan sekitarnya; dan

e. Mengaktifkan kembali fungsi bangunan, baik dengan fungsi lama maupun fungsi

baru (Adaptive reuse).

(3) Penataan Bangunan Pemugaran di Kota Tua sebagai berikut:

a. Bangunan yang termasuk dalam bangunan cagar budaya harus dilestarikan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan bidang bangunan cagar budaya;

b. Berbagai bentuk pengabaian terhadap bangunan cagar budaya akan dikenakan

sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 21:

(1) Pembangunan dan penyisipan bangunan baru dimungkinkan untuk mendorong

upaya revitalisasi, pelestarian dan pemanfaatan bangunan cagar budaya di Kotatua.

(2) Perubahan, pengembangan, da perbaikan bangunan tidak boleh menyalahi aturan

intensitas yang telah diterapkan;

(3) Penyisipan bangunan baru harus memperhatikan golongan bangunan cagar

budaya, karakter, skala, bentukan, material dan warna, detail arsitektural bangunan di

sekitarnya sehingga memberikan keharmonisan serta memperkuat karakter wawasan.

(4) Desain bangunan harus merespon terhadap nilai historis, estetika, sosial dan

budaya melalui pemahaman dan studi terhadap karakter dan kualitas lingkungan

sehingga sesuai dengan konteks kawasan.

2.1.8 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor

01/PRT/M/2015 tentang Bangunan Cagar Budaya yang Dilestarikan

Pasal 4:

Setiap bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan harus memenuhi

persyaratan:

a. administratif; dan

b. teknis.

Pasal 6:

Page 9: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

15

Persyaratan teknis bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 huruf b meliputi:

a. persyaratan tata bangunan;

b. persyaratan keandalan bangunan gedung cagar budaya; dan

c. persyaratan pelestarian.

Pasal 8:

(1) Persyaratan keandalan bangunan gedung cagar budaya sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 huruf b terdiri atas:

a. keselamatan;

b. kesehatan;

c. kenyamanan: dan

d. kemudahan.

(2) Persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri

atas:

a. komponen struktur harus dapat menjamin pemenuhan kemampuan bangunan

gedung untuk mendukung beban muatan, mencegah dan menanggulangi bahaya

kebakaran, bahaya petir, dan bencana alam;

b. penggunaan material asli yang mudah terbakar harus mendapat perlakuan

tertentu (fire retardant treatment); dan

c. penggunaan material baru harus tidak mudah terbakar (non combustible

material).

(3) Persyaratan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

a. sistem penghawaan, pencahayaan, dan sanitasi harus dapat menjamin

pemenuhan terhadap persyaratan kesehatan; dan

b. penggunaan material hars dapat menjamin pemenuhan terhadap persyaratan

kesehatan.

(4) Persyaratan kenyamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri

atas:

a. pemenuhan persyaratan ruang gerak dan hubungan antar ruang;

b. kondisi udara dalam ruang;

c. pandangan;

d. tingkat getaran; dan

e. tingkat kebisingan.

Page 10: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

16

2.2 Tinjauan Khusus

2.2.1 Sejarah Bangunan PT. Cipta Niaga

Bangunan yang berfungsi sebagai kantor perniagaan untuk Internationale

Crediet- en Handelsvereeniging Rotterdam ini dirancang oleh biro arsitek

Ed.Cuypers &Hulswit Batavia. Bangunan ini dibangun pada tahun 1913 dengan

bentuk memanjang dari Jalan Kali Besar Timur hingga ke Jalan Pintu Besar Utara.

Bangunan dengan 2 lantai ini memiliki lebar 19,5 m dan panjang 57 m (Cuypers &

Hulswit, 1914).

Gambar 7. PT. Cipta Niaga dari Atas Sumber: KITLV Universiteit Leiden

Gambar 8. Fasad PT. Cipta Niaga Tahun 1913 Sumber: N.V. Internationale Crediet En Handels Vereeniging 1863-1938

Menurut (Cuypers & Hulswit, 1914), pada sisi barat terdapat teras yang

berfungsi sebagai buffer sinar matahari dan sebagai jalan bagi publik. Semua tembok

dipancang di atas beton bertulang, Anak tangga dibuat mewah dengan terbuat dari

batu keras yang diminyaki, sehingga tampak seperti marmer hitam yang dipoles.

Page 11: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

17

Bangunan ini memiliki gaya arsitektur art deco dengan ciri ornamen geometris pada

eksterior, kaca patri dan dekorasi pada interior bangunan, namun dengan

penyesuaian terhadap iklim tropis, ditunjukkan dengan tinggi langit-langit mencapai

6,5 m agar sirkulasi udara lancar, juga banyaknya bukaan pada sekeliling bangunan.

Saat ini ekterior gedung masih dalam keadaan kokoh namun terjadi beberapa

kerusakan di dalam bangunan.

Tabel 4. Kronologi Bangunan PT. Cipta Niaga

1913 Pembangunan gedung oleh biro arsitek Ed Cuypers en Hulswit

1913-1957 Kantor Internationale Crediet en- Handelsvereeniging Rotterdam

>1957 Kantor PN Tjipta Niaga, kemudian menjadi PT. Cipta Niaga

2003 Penetapan sebagai gedung milik PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia Sumber: Unit Pengelola Kawasan Kota Tua

Gambar 9. PT Cipta Niaga tahun 1920-an Sumber: KITLV Universiteit Leiden

Gambar 10. Interior PT Cipta Niaga Lantai 1 Sumber: Het Nederlandsch-Indisch Huis Oud & Nieuw

Page 12: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

18

Gambar 11.Interior PT Cipta Niaga Lantai 2 Sumber: Het Nederlandsch-Indisch Huis Oud & Nieuw

2.2.2 Visi dan Misi Jakarta Endowment for Art and Heritage

Visi dan misi JEFORAH dalam kegiatan revitalisasi Kota Tua adalah sebagai

berikut:

1. Melestarikan warisan budaya yang memberi identitas unik pada warga Jakarta.

2. Tercipta komunitas yang menghubungkan individu, lingkungan, kota dan

metropolitan.

3. Mengingatkan pada sejarah sebagai bekal untuk masa depan.

4. Memberikan kontribusi untuk kepentingan public dan manfaat bagi komunitas.

Tujuan merevitalisasi Jakarta Kota Tua untuk:

1. Menciptakan lapangan kerja.

2. Melestarikan gedung sejarah dengan target 5 tahun: meperbaiki 85 gedung

bersejarah.

3. Mempromosikan keragaman budaya.

4. Menarik bakat dan turis.

5. Menarik investasi.

Dengan rencana revitalisasi: Di dalam menghidupkan Jakarta Kota Tua fokus

JEFORAH bukan hanya pada restorasi bangunan semata namun membuat Kota tua

sebagai tempat untuk bekerja, hidup dan bermain.

2.2.3 Gaya Arsitektural Art Deco

Art Deco awalnya berkembang di Perancis pada tahun 1908-1912, kemudian

menyebar ke seluruh Negara Barat dan mencapai puncaknya pada tahun 1925-1935

(Cranfield, 2001). Yang dimaksud dengan Art Deco adalah gaya seni dekoratif yang

Page 13: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

19

berkembang awalnya pada tahun 1920-an dan dengan kebangkitan pada tahun 1960-

an, ditandai terutama oleh motif geometris, bentuk streamline atau kurvilinier,

outline yang didefinisikan dengan jelas, seringkali dengan warna yang tegas, dan

penggunaan material sintetis seperti misalnya plastik. Art Deco merupakan

kependekan dari Exposition Internationale Des Arts Decoratifs et Industries

Modernes, sebuah eksposisi dari seni modern dan dekoratif yang diadakan di Paris,

Perancis pada tahun 1925 (Ching, 2012).

Art Deco atau yang dulu disebut style modern, berkembang sebagai reaksi

terhadap gaya Art Nouveau. Kedua gaya ini menggunakan dekorasi berdasarkan

alam, namun Art Nouveau dengan desain bunga dan tanaman eksotis yang memutar,

sedangkan Art Deco cenderung memilih bunga yang geometris. Banyak gaya yang

menjadi inspirasi bagi Art Deco, termasuk Cubism, Bauhaus, Ballets Russes,

Glasgow School of Art, Vienna Secession, Deutsche Werkbund, Russian

Constructivism, dan De Stijl (Cranfield, 2001).

Arsitektur Art Deco fokus pada energi dan efek visual, bukan tentang struktur

atau denah (Bayer, 2001). Karakteristik umum dari gaya Art Deco adalah bentuk

geometris, zigzag, pola abstrak dengan warna, kaca patri warna, plaster yang dicat

dengan desain geometris (Cranfield, 2001).

2.3 Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka, hipotesis penelitian adalah:

• Fungsi komersial yang tepat diaplikasikan pada adaptive reuse PT. Cipta Niaga

adalah berupa fungsi yang komersial yang mampu berfungsi selama 24 jam.

• Konsep interior adaptive reuse yang tepat bagi gedung PT. Cipta Niaga yang

mampu memenuhi kebutuhan akan fungsi yang baru dengan tetap menjaga nilai

sejarah kawasan Kota Tua adalah dengan menggunakan gaya interior asli bangunan,

yaitu art deco.

2.4 State of the Art

Terdapat beberapa penelitian dengan topik konservasi:

1. Yıldırım, M., & Turan, G. (2012). Sustainable development in historic areas:

adaptive reuse challenges in traditional houses in Sanliurfa, Turkey. Habitat

International 36, 493-503.

Page 14: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

20

Menurut Yıldırım dan Turan, adaptive reuse pada area bersejarah dapat

melestarikan pola historis. Penelitian dilakukan dengan menganalisa 6 studi kasus

adaptive reuse pada rumah tradisional di Turki. Tujuan penelitian adalah

menganalisa perubahan dan efek yang ditimbulkan oleh adaptive reuse dan

mengetahui pendekatan yang paling tepat dalam melakukan konservasi. Selain

melestarikan nilai budaya, adaptive reuse juga merupakan penggunaan bangunan

yang berkelanjutan. Komersialisasi yang dilakukan dapat membuat area historis

menjadi tempat wisata yang hidup. Alih fungsi yang dimiliki oleh rumah-rumah

tradisional di Turki adalah menjadi restoran dan pusat kebudayaan. Metode yang

dilakukan adalah dengan melakukan penelitian mengenai sejarah bangunan dan

literature review.

2. Yildirim, M. (2012). Assessment of the decision-making process for re-use of a

historical asset: The example of Diyarbakir Hasan Pasha Khan, Turkey. Journal of

Cultural Heritage 13, 379-388.

Yildrim merumuskan metode mengenai adaptive reuse yang tepat pada sebuah

bangunan bersejarah. Adaptive reuse dapat dikatakan berhasil jika proses konservasi

yang dilakukan menjaga bangunan dan lingkungan tetap berkelanjutan. Metode yang

digunakan adalah menurut (Worthing & Bond, 2007), yaitu 6 langkah yang

mengevaluasi: kondisi pola historis; kondisi lingkungan; integritas tempat; alternatif

penggunaan ulang beserta kelebihan dan kekurangannya; kebutuhan pemilik dan

pengguna; analisa terhadap struktur bangunan. Alternatif adaptive reuse di kawasan

Hasan Pasha Khan adalah hotel, restoran, museum, dan retail. Permasalahan yang

dihadapi dalam adaptive reuse dalam kawasan bersejarah adalah sirkulasi kendaraan

dan juga kepadatan pengunjung.

3. Rozov, D. (2013). Carlile House: Finding Ways to Preserve Run-Down Heritage

Buildings Through Their Adaptive Reuse. Unitec Institute of Technology.

Sebuah rumah cagar budaya namun dengan status kepemilikian swasta di

Auckland memiliki kondisi yang sudah rusak. Rozov memberikan ide mengenai

adaptive reuse terhadap bangunan tersebut. Fungsi baru yang akan diberikan

terhadap bangunan bersejarah harus memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat

menjadi tempat bekerja, hidup, dan bermain. Fungsi yang diusulkan adalah pusat

masyarakat sebagai tempat pameran dan pertukaran budaya, karena proyek ini bukan

Page 15: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

21

hanya tentang satu bangunan, namun terkait dengan lingkungan dan masyarakat

sekitarnya.

4. Prakosa, W., & Suparman, A. (2013). Karakteristik Rumah Peristirahatan

Kolonial Belanda di Kaliurang. PESAT.

Kawasan Kaliurang merupakan kawasan yang memiliki warisan budaya

peninggalan masa penjajahan Belanda yaitu kawasan peristirahatan yang didirikan

oleh orang Eropa. Dalam upaya pelestarian peninggalan masa lalu ini, maka

penelitian ini difokuskan di kawasan peristirahatan kolonial di Tlogo Nirmolo

sebagai objek penelitian untuk mengetahui karakteristik kawasan dan pengembangan

yang sesuai dengan kondisi setempat. Metode penelitian yang digunakan adalah

metode deskriptif yang diharapkan dapat diperoleh masalah-masalah yang muncul di

lapangan kemudian dilakukan pengumpulan data dengan melakukan survei primer

yaitu melakukan observasi langsung dan mengidentifikasi beberapa rumah

peristirahatan kolonial di Kaliurang yang masih ada dan pencarian literatur terkait

dengan rumah peristirahatan Kaliurang. Sitem analisis dilakukan beberapa langkah

yang pertama pengolahan data hasil survei lapangan dan studi literatur, langkah

kedua adalah melakukan analisis berdasarkan hasil olah data kemudian dikaitkan

dengan teori dan aturan sebuah rumah peristirahatan sehingga diperoleh kesimpulan

sementara tentang gambaran dan karakteristik rumah peristirahatan kolonial Belanda

di Kaliurang, tahap ke tiga adalah menyimpulkan dari analisis terkait dengan

karakteristik rumah peristirahatan dan tingkat perubahan pada saat ini yang menuntut

akan kebutuhan fasilitas. Tujuan dari penelitian ini adalah diperoleh suatu gambaran

karakteristik rumah peristirahatan Kolonial di kawasan Kaliurang sehingga dapat

dijaga kelestariannya. Fungsi bangunan bersifat privat pada saat itu dan telah

mengalami pergeseran ke arah publik yaitu komersialisasi.

5. Agustiananda, P. A. (2012). Urban Heritage Conservation in Surakarta,

Indonesia: Scenarios and Strategies for the Future. International Journal of Civil &

Environmental Engineering IJCEE-IJENS Vol: 12 No: 02, 28-34.

Menurut Agustiananda, perkembangan kota yang pesat dapat menyingkirkan

kawasan kota yang memiliki nilai sejarah. Penelitian yang dilakukan di kota

Surakarta ini bertujuan untuk memahami masalah konservasi di Surakarta. Penelitian

Page 16: BAB 2 LANDASAN TEORI - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01239-AR Bab2001.pdf · Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar

22

eksploratori dilakukan untuk mengetahui situasi yang ada di kota Surakarta. Motivasi

untuk melakukan renovasi bangunan pribadi adalah untuk ekonomi, karena

perawatan yang dilakukan untuk bangunan tua membutuhkan dana yang cukup besar.

Sektor informal yang tidak teratur membuat kawasan historis menjadi terkesan padat.

Strategi konservasi yang seharusnya dilakukan adalah tetap mempertahankan nilai

historis kota Surakarta namun tidak membebani masyarakat. Masyarakat dapat

mengembangkan potensi ekonomi dengan diaturnya ruang komersial untuk tempat

wisata.

2.5 Kesimpulan State of the Art

Selain melestarikan nilai budaya, adaptive reuse juga merupakan penggunaan

bangunan yang berkelanjutan dan komersialisasi dapat membuat area historis

menjadi tempat wisata yang hidup (Yıldırım & Turan, 2012). Adaptive reuse dapat

dikatakan berhasil jika proses konservasi yang dilakukan menjaga bangunan dan

lingkungan tetap berkelanjutan dan permasalahan yang dihadapi adaptive reuse

dalam kawasan bersejarah adalah sirkulasi kendaraan dan juga kepadatan

pengunjung (Yildirim M. , 2012).

Fungsi baru yang akan diberikan terhadap bangunan bersejarah harus

memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat menjadi tempat bekerja, hidup, dan

bermain dan konservasi bukan hanya tentang satu bangunan, namun terkait dengan

lingkungan dan masyarakat sekitarnya (Rozov, 2013). Fungsi baru yang sering

ditemui pada bangunan bersejarah adalah komersialisasi dengan sifat asal privat

(Prakosa & Suparman, 2013). Perkembangan kota yang pesat dapat menyingkirkan

kawasan kota yang memiliki nilai sejarah, sedangkan motivasi untuk melakukan

renovasi adalah ekonomi dan potensi ekonomi dapat dikembangkan dengan

diaturnya ruang komersial untuk tempat wisata (Agustiananda, 2012).