bab 2 landasan teori - library & knowledge...
TRANSCRIPT
5
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Panel Surya
Panel surya terdiri dari bagian yang lebih kecil yang dinamakan sel surya.
Bahan dan cara kerja fisis dari sel surya dijelaskan pada referensi (Luque &
Hegedus, 2011). Struktur sel surya sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.1
berikut ini:
Gambar 2.1 Sel Surya Sederhana
Metal grid membentuk satu dari terminal listrik semikonduktor. Cahaya
matahari akan masuk melalui metal grid dan menyebabkan kontak dengan
komponen semikonduktor dan kemudian energi listrik akan terbentuk.
Antireflective layer berfungsi untuk meningkatkan jumlah cahaya yang
masuk ke semikonduktor. Energi listrik terbentuk ketika adanya hole (h+) dan
electron (e-) yang muncul akibat energi cahaya matahari yang masuk ke sel
surya. Besarnya energi yang terbentuk dapat ditunjukkan dengan persamaan
berikut:
6
(2.1)
Dimana Eλ adalah energi dari photon, h adalah konstanta Plank 6,6261 x 10-34
J.s, c adalah kecepatan cahaya 3 x 108 m/s, dan λ adalah panjang gelombang.
Semua radiasi electromagnet, termasuk cahaya matahari dapat dilihat sebagai
partikel-partikel photon yang membawa energi. Jumlah energi yang dibawa
tergantung dari persamaan di atas. Hanya photon yang memiliki energi yang
cukup yang dapat membentuk pasangan hole-electron. Energi ini harus lebih
besar dibandingkan bandgap (threshold) dari semikonduktor tersebut.
Skematik dan aliran electron dari sel surya dapat dilihat pada Gambar 2.2
berikut ini:
Gambar 2.2 Bagan Sel Surya
Photon akan masuk melalui Valence band. Photon dengan energi yang lebih
besar dari Bandgap akan membentuk pasangan hole-electron pada
Conduction band. Valence band adalah bagian p-type layer, sedangkan
Conduction band adalah bagian n-type layer pada Gambar 2.1.
7
Bahan Semikonduktor Sel Surya
Bahan pembuat semikonduktor yang paling umum digunakan untuk sel surya
adalah silicon (Si) – crystalline, polycrystalline dan amorphous. Namun, ada
pula yang terbuat dari material seperti GaAs, GaInP, Ge, Cu(InGa)Se2, dan
CdTe. Setiap bahan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Contohnya
adalah perbandingkan antara GaAs (Gallium Arsenide) dengan Si (Silicon)
menurut referensi (Chapman & Carpenter, n.d).
Kelebihan GaAs adalah:
Kecepatan komponen yang terbuat dari GaAs lebih tinggi karena
mobilitas electron
Dapat mengurangi parasitic capacitance yang berpengaruh pada
kecepatan
Memiliki bandgap yang lebih baik
Kekurangkan GaAs adalah :
Lebih langka dibanding Silicon
Arsenic adalah bahan yang sangat beracun
Kurang baik ketika dipakai sebagai ideal insulator
Memiliki konduktivitas thermal yang 2.75 kali lebih rendah dari
Silicon sehingga kepadatan packaging-nya lebih rendah dari circuit
dengan Silicon.
8
Temperature Effects
Kenaikan suhu dari sel surya akan menurunkan open-circuit voltage dan
bandgap menjadi semakin dekat. Short-circuit current relatif tidak berubah.
Biasanya, modul sel surya dioperasikan pada 20-40°C di atas suhu di
sekitarnya.
Solar Cell Circuit Modeling
Represenstasi sirkuit dari sel surya dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut ini
(Luque & Hegedus, 2011):
Gambar 2.3 Representasi Sirkuit Diagram Dasar Panel Surya
I adalah arus yang masuk ke beban sedangkan Isc adalah arus yang diproduksi
oleh solar cell array. Diode 1 merepresentasikan kombinasi arus pada region
quasi-neutral. Dioda 1 merupakan penggambaran dari arus yang hilang
ketika beban sangat besar atau open circuit. Ketika open circuit, semua arus
yang dihasilkan oleh panel surya (Isc) terbuang melalui dioda 1. Inilah yang
disebut sebagai region quasi-neutral. Diode 2 merepresentasikan kombinasi
arus pada region depletion. Dioda 2 merupakan penggambaran dari loss panel
surya itu sendiri. Ketika beban yang kita berikan ke bagian output sangat
9
kecil atau short circuit, maka arus yang mengalir ke output sebenarnya tidak
sama dengan Isc karena adanya loss dari panel surya itu sendiri. Loss yang
terjadi pada dioda 2 ketika short circuit sangat kecil sehingga panel surya
biasanya hanya digambarkan dengan 1 dioda saja karena dioda 2 diabaikan.
Solar Cell Parasitic Resistance Effects
Pemodelan arus dari sel surya yang sebelumnya mengabaikan efek parasitic
dari resistor series dan shunt dari sel surya. Di bawah ini adalah gambar
lengkap dari sirkuit diagram sel surya.
Gambar 2.4 Diagram Sirkuit Dari Sel Surya Dengan Parasitic Series dan
Shunt Resistances
Dimana I’sc adalah arus short circuit ketika tidak ada parasitic resistances.
Fill Factor
Di bawah ini adalah gambar dari grafik arus terhadap tegangan dari panel
surya (California Scientific, 2009):
10
Gambar 2.5 Daya Maksimal yang Dihasilkan Oleh Panel Surya
Fill Factor merupakan perbandingan antara daya maksimal yang dapat
dihasilkan oleh suatu panel surya dengan perkalian antara tegangan open-
circuit dan arus short-circuit, yang dapat ditulis menjadi:
(2.2)
Persamaan di atas nantinya akan digunakan oleh penulis untuk membuktikan
apakah algoritma MPPT yang digunakan berfungsi sebagai mestinya atau
tidak.
2.2. Maximum Power Point Tracking (MPPT)
MPPT (Maximum Power Point Tracking) adalah teknik yang digunakan
untuk menjaga sistem photovoltaic bekerja dalam point MPP (maximum
power point) (Azad, Sridhar & Miroslav, 2011). Di bawah ini adalah grafik
karakteristik dari panel surya menurut referensi (Hecktheuer, Krenzinger &
Prieb, 2002).
11
Gambar 2.6 Grafik Arus dan Daya Terhadap Tegangan
MPPT akan mempertahankan output pada daya tertingginya, yaitu pada Vmp
(voltage maximum power) dan Imp (current maximum power). Untuk
mempertahankan sistem dapat tetap bekerja pada MPP, maka metode atau
algoritma MPPT telah banyak dikembangkan seperti pada (Faranda & Leva,
2008), diantaranya adalah:
Constant Voltage Method
Metode ini hanya mendeteksi tegangan output yang dikeluarkan, lalu
menjaganya pada level tegangan tertentu. Duty cycle akan diatur sedemikian
rupa sehingga tegangan output tetap konstan. Metode ini mendapatkan hasil
efisiensi 79,51%.
Short Current Pulse Method
Metode ini mendeteksi tegangan output dan arus ketika sistem beroperasi
(Iop). Iop memiliki hubungan yang proportional dengan arus short circuit
12
(Isc). Karena itu, metode ini akan mendeteksi tegangan output dan Isc untuk
menentukan power point yang maksimal pada output. Metode ini
mendapatkan hasil efisiensi 90,72%.
Open Voltage Method
Metode ini didasarkan oleh penelitian yang menemukan bahwa tegangan
pada MPP selalu tetap pada persentase tertentu dari tegangan open voltage-
nya dengan toleransi 2%. Secara umum, teknik ini menggunakan 76% dari
open circuit voltage menjadi tegangan MPP-nya. Karena itu, input dari
metode ini adalah tegangan output sekarang dan tegangan open voltage-nya.
Metode ini mendapatkan hasil efisiensi 94,56%.
Perturb and Observe Method
Metode ini bekerja dengan cara perturbing (menaikkan atau menurunkan)
duty cycle. Setiap kali perubahan duty cycle akan dilihat perubahan daya-nya.
Bila daya yang sekarang lebih besar dibandingkan daya yang sebelumnya,
maka duty cycle akan dinaikkan lagi. Bila daya yang sekarang lebih kecil
dibandingkan daya yang sebelumnya, maka duty cycle akan dikurangi.
Karena itu, metode ini memerlukan input nilai daya output untuk mengetahui
daya yang jatuh di beban.
Metode ini memiliki kekurangan ketika arus yang disupply oleh panel surya
konstan (panel surya mendapatkan intensitas cahaya yang konstan) karena
metode ini akan terus menaikkan dan menurunkan duty cycle sehingga daya
pada output akan berosilasi. Besarnya perubahan dari duty cycle dapat
disetting tetap pada level 0,37% dari PV open voltage dengan efisiensi
98,85% (P&Oa) atau dapat disetting secara dinamik dengan efisiensi 99,29%
13
(P&Ob) atau dapat pula ditetapkan dengan 3 titik referensi dengan efisiensi
87,68% (P&Oc).
Incremental Conductance Method
Metode ini dilakukan berdasarkan persamaan (dI/dV)+(I/V) = 0. Bila nilai
(dI/dV)+(I/V) < 0, maka operating point berada di sebelah kiri dari MPP
sehingga kita harus menaikkan operating point. Bila (dI/dV)+(I/V) > 0
terpenuhi, maka operating point berada di sebelah kanan dari MPP sehingga
kita harus menurunkan operating point. Operating point dapat diubah dengan
cara menaikkan atau menurunkan duty cycle. Besarnya perubahan duty cycle
menentukan seberapa cepat MPP dapat ditrack. Ketika MPP telah dicapai,
perubahan duty cycle dapat dihentikan.
Ada 2 algorima atau metode Incremental Conductance yang paling banyak
ditemukan dan digunakan di literature. Yang pertama adalah dimana
dibutuhkan input nilai arus dan tegangan saja (ICa). Metode ini menghasilkan
efisiensi sebesar 98,73%. Cara kedua adalah dengan menggabungkan metode
Constant Voltage dengan Incremental Conductance (ICb). Bila level sinar
yang didapatkan oleh panel surya dibawah 30%, maka metode Constant
Voltage digunakan, sebaliknya digunakan metode Incremental Conductance.
Metode yang kedua ini mendapatkan hasil efisiensi 99,48%.
Temperature Method
Metode ini berdasarkan pada hubungan tegangan open circuit (Vov)
bervariasi tergantung pada temperature dari solar cell, sedangkan arus short
circuit (Isc) proportional terhadap level penyinaran cahaya yang diterima
solar cell. Metode ini membutuhkan tambahan input suhu untuk dapat
14
bekerja. Ada 2 algoritma yang dicoba pada literature, yaitu Temperature
Gradient dengan efisiensi 90,18% dan temperature Parametric dengan
efisiensi 97,01%.
Di bawah ini adalah tabel hasil pengambilan data yang dilakukan pada
literatur (Faranda & Leva, 2008).
Tabel 2.1 Energi yang dihasilkan oleh teknik-teknik MPPT
Input Theoretical
Energi CV[J] SC[J] OV[J] P&Oa
[J] P&Ob
[J] P&Oc
[J] ICa[J] ICb[J] TG[J] TP[J] (a) 1711 1359 1539 1627 1695 1707 1490 1708 1708 1562 1681 (b) 1785 1410 1687 1700 1774 1781 1558 1782 1782 1643 1761 (c) 1481 1192 1337 1403 1465 1476 1301 1478 1478 1311 1424 (d) 1633 1290 1492 1552 1625 1628 1416 1628 1628 1476 1589 (e) 1785 1403 1659 1699 1769 1780 1543 1782 1782 1643 1762 (f) 1711 1363 1636 1630 1692 1697 1508 1709 1709 1563 1683 (g) 1633 1298 1351 1552 1617 1627 1432 1630 1630 1477 1593 (h) 1482 1204 1397 1409 1441 1431 1311 1479 1479 1314 1429 (i) 1674 1339 1562 1595 1664 1671 1480 1672 1672 1522 1642 (j) 457 386.2 398.4 401.1 445.2 446.3 437.5 411.6 446.3 354.8 354.8 (k) 1354 1036 1247 1245 1332 1343 1153 1250 1333 1259 1338 (l) 540 459 427 479 524 525 515 469 503 397 444 (m) 1819 1410 1589 1730 1801 1812 1567 1808 1810 1681 1795 (n) 1558 1248 1388 1478 1542 1553 1370 1555 1555 1395 1510 Total 20623 16397 18709 19500.1 20386 20477 18081.5 20362 20515 18598 20006
% 100 79.51 90.72 94.56 98.85 99.29 87.68 98.73 99.48 90.18 97.01 Ranking 10 7 6 3 2 9 4 1 8 5
Peringkat pertama didapatkan oleh algoritma ICb dengan efisiensi
99,48% dan diikuti oleh P&Oa dan P&Ob.
Cost Evaluation
Selain dari performa algoritma, kita juga harus melihat dari sisi cost yang
dibutuhkan untuk mendukung algoritma tersebut. Evaluasi dilakukan
berdasarkan 3 komponen variabel, yaitu additional power component, sensor,
15
dan microcontroller computation. Di bawah ini adalah tabel hasil dari literatur
(Faranda & Leva, 2008).
Tabel 2.2 Perbandingan antar algoritma teknik MPPT
MPPT
Cost
Additional power
component Sensor Microcontroller
computation Total CV A L A/L L
SC H M A/L M OV H L/M A/L L/M
P&Oa A M L L/M
P&Ob A M L L/M P&Oc A M M M
Ica A M M M Icb A H M/H H TG A M/H M M/H TP A H M/H H A = Absent, L = Low, M= medium, H = High
Bila kita menggunakan algoritma SC dan OV, maka kita membutuhkan
power tambahan karena ketika short circuit atau open circuit dilakukan, maka
tidak ada daya yang ditransfer. Algoritma CV tidak terlalu banyak
membutuhkan penambahan sensor. Algoritma P&O dan IC membutuhkan
tambahan sensor yang cukup banyak karena harus mendapatkan nilai arus
dan tegangan. Hasil total dari tabel diatas dapat diplot ke grafik cost
berbanding dengan energi seperti gambar di bawah.
16
Gambar 2.7 Perbandingan Energi dan Harga Dari Masing-Masing
Metode
Algorima P&Ob, P&Oa dan ICa memiliki performa paling tinggi dengan cost
yang medium. Walaupun algoritma ICb memiliki performa yang paling
tinggi, namun cost yang perlu dikeluarkan untuk menggunakan algoritma ini
tergolong tinggi.
2.3. MOSFET
MOSFET dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu Depletion MOSFET (D-
MOSFET) dan Enhancement MOSFET (E-MOSFET) (Floyd,2005).
Gambar 2.8 di bawah merupakan gambar kurva karakteristik dari D-
MOSFET, sedangkan Gambar 2.8 merupakan karakteristik dari E-MOSFET.
17
Gambar 2.8 Karakteristik D-MOSFET
Gambar 2.9 Karakteristik E-MOSFET
MOSFET secara umum dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu P-Channel dan N-
Channel. MOSFET N-Channel memiliki kecepatan switching yang lebih
tinggi dibandingkan dengan P-Channel. MOSFET N-Channel juga memiliki
RDS(on) yang lebih kecil dibandingkan dengan P-Channel. Makin kecil RDS(on)
18
MOSFET dapat lebih dingin dan disipasi daya pada MOSFET tersebut lebih
kecil.
Beberapa faktor atau parameter yang perlu diperhatikan dalam pemilihan
MOSFET antara lain adalah MOSFET Parasitic Capacitance, Total Gate
Charge (Qg) dan RDS(on).
MOSFET Parasitic Capacitance
Parasitic Capacitance adalah kapasitansi yang terdapat pada tiap kaki seperti
digambarkan di bawah.
Gambar 2.10 Parasitic Capacitance
Kapasitansi yang digambarkan diatas adalah CGS, CGD dan CDS atau yang
dapat disebut juga Miller Capacitance. Kapasitansi yang biasa dicantumkan
pada datasheet adalah Crss, Ciss, dan Coss. Crss adalah small-signal reverse
transfer capacitance. Ciss adalah small signal input capacitance dengan kaki
D dan S dishort. Coss adalah small signal output capacitance dengan kaki G
dan S dishort. Dibawah ini adalah persamaan dari masing-masing parasitic
capacitance.
19
Crss = CGD (2.3)
Ciss = CGS + CGD (2.4)
Coss = CDS + CGD (2.5)
Nilai kapasitansi ini bersifat tidak linear. Di bawah ini adalah gambar
parasitic capacitance terhadap VDS (Wwang, 2009).
Gambar 2.11 Parasitic Capacitance Terhadap Tegangan Drain-Source
Dari grafik diatas, kita dapat melihat bahwa nilai dari Ciss, Coss dan Crss
dapat bervariasi terhadap perubahan dari VDS.
Total Gate Charge (Qg)
Untuk membuka sebuah MOSFET, kita perlu untuk mengisi kapasitansi
internal yang dibutuhkan (Hussain, 2002). Total charge muatan kaki gate
yang dibutuhkan dituliskan sebagai Qg. Qg merupakan total dari beberapa
20
charging kapasitansi internal melalui kaki gate yang dibutuhkan agar
MOSFET aktif. Dibawah ini adalah pembagiannya.
Gambar 2.12 Gate Charge
Qgs adalah charge muatan yang dibutuhkan untuk mengaktifkan GS.
Demikian pula dengan Qgd. Qod adalah overdrive charge yang dibutuhkan
setelah kapasitansi Miller telah selesai diisi. Setelah semua telah dipenuhi,
maka MOSFET baru aktif secara penuh. Total dari semua charge yang
dibutuhkan ini adalah Qg. Makin kecil nilai Qg, maka makin mudah
MOSFET tersebut diaktifkan atau dimatikan.
Nilai arus yang dibutuhkan untuk mendrive gate supaya MOSFET benar-
benar aktif, tergantung dari transition time yang kita tentukan. Misalkan Qg
dari MOSFET yang kita pergunakan adalah 50nC dan waktu yang kita
tentukan agar MOSFET tersebut aktif adalah 25nsec. Maka kita dapat
menggunakan persamaan arus yaitu:
21
Ig = Qg / transitionTime (2.6)
Ig = 50nC / 25nsec
Ig = 2A
Kita membutuhkan arus pada gate sebesar 2A untuk mengaktifkan MOSFET
dengan Qg 50nC dalam waktu 25nsec. Dengan demikian, kita dapat mencari
jenis MOSFET driver yang dapat memberikan arus ke gate sebesar 2A.
RDS(on)
Seperti halnya diode, MOSFET juga memiliki hambatan ketika aktif.
Hambatan pada MOSFET dinamakan RDS(on). Hambatan ini terdapat diantara
kaki Drain dan Source ketika MOSFET aktif (ON). Semakin kecil RDS(on),
maka antara kaki D dan S semakin mendekati ideal (kabel ideal). Disipasi
daya dari MOSFET tersebut juga akan makin kecil karena P=I2.R dimana I
adalah arus yang melewati kaki DS dan R adalah RDS(on) MOSFET. Tegangan
yang jatuh pada MOSFET juga akan berkurang karena hambatannya kecil.
2.4. DC-DC Converter
Pada dasarnya, switching power supply terdiri dari 2 bagian, yaitu, bagian
power dan bagian control. Bagian power berfungsi untuk konversi tegangan,
termasuk komponen-komponen di dalamnya, seperti, switch dan filter output.
Bagian control berfungsi untuk mengontrol state ON-OFF dari switch yang
terdapat di dalam rangkaian.
22
Tiga topologi dasar dari switching power supply yang banyak digunakan
adalah buck, boost, dan buck-boost. Penjelasan mengenai buck converter dan
boost converter akan dibahas berdasarkan (Rogers, 1999).
Ketiga rangkaian tersebut dapat dioperasikan dalam 2 mode, yaitu,
continuous conduction mode dan discontinuous conduction mode. Di dalam
mode continuous conduction mode, arus akan terus mengalir melewati
induktor atau dengan kata lain arus pada induktor tidak akan pernah mencapai
nilai nol (0). Di dalam mode discontinuous conduction mode, arus yang
mengalir melewati induktor akan bernilai nol (0) untuk rentang waktu
tertentu. Nilai induktor yang dipilih akan menentukan mode yang kita pakai.
Buck Converter
Buck converter adalah converter yang menghasilkan tegangan output yang
lebih kecil dari tegangan inputnya. Tegangan output yang dihasilkan
mempunyai polaritas yang sama dengan tegangan inputnya. Buck converter
biasa disebut juga sebagai step-down converter. Berikut ini merupakan
rangkaian dari buck converter:
Gambar 2.13 Buck Topology
MOSFET yang dipakai pada rangkaian Gambar 2.13 adalah MOSFET
dengan tipe n-channel. Oleh karena itu, untuk mengaktifkan MOSFET
23
tersebut, diperlukan tegangan positif pada kaki gate-source. Keuntungan di
dalam menggunakan MOSFET tipe n-channel adalah nilai RDS(ON)-nya yang
lebih kecil dibandingkan dengan MOSFET dengan tipe p-channel. Apabila
nilai RDS(ON) besar, maka disipasi daya juga akan menjadi besar.
Selama rangkaian buck beroperasi, MOSFET Q1 akan menjadi aktif dan tidak
aktif secara terus menerus. Akibatnya akan terdapat pulsa pada titik
percabangan di antara Q1, CR1, dan L di mana pulsa ini akan difilter oleh
rangkaian filter L/C untuk menghasilkan tegangan output DC.
Buck Continuous Conduction Mode
Di dalam menganalisa rangkaian buck, terdapat 2 state, yaitu, state ON dan
state OFF. Untuk mempermudah dalam menganalisa rangkaian buck, berikut
ini merupakan state dari rangkaian buck pada saat state ON dan state OFF:
Gambar 2.14 State ON dan OFF dari Buck Topology
Secara matematika, waktu dari state ON dan state OFF dapat ditulis seperti
berikut:
24
(2.7)
(2.8)
Bentuk gelombang dari rangkaian Gambar 2.14 untuk komponen Q1 dan
CR1 diperlihatkan dalam gambar berikut ini:
Gambar 2.15 Gelombang Q1 dan CR1
State ON
Ketika berada pada state ON, Q1 dapat dianalogikan menjadi hambatan
drain-source-nya, R-DS(ON), di mana terdapat sedikit tegangan yang jatuh pada
hambatan tersebut yang dapat disimbolkan menjadi VDS. Begitu juga halnya
dengan induktor, adanya tegangan yang jatuh pada hambatan induktor
sebesar . Oleh karena itu, tegangan yang jatuh pada induktor adalah
sebesar . Oleh karena tegangan yang diberikan
25
kepada induktor konstan maka arus yang melewati induktor meningkat secara
linier seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.15.
Perubahan arus pada induktor (ripple current) pada saat state ON dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:
(2.9)
State OFF
Ketika berada pada state OFF, drain-source Q1 menjadi terbuka atau dengan
kata lain drain-source Q1 mempunyai hambatan yang sangat tinggi sehingga
mengakibatkan arus dari sumber input tidak dapat mengalir melewati
MOSFET ini. Sehingga sumber dari tegangan output sekarang berasal dari
induktor dan kapasitor di mana dioda CR1 menjadi aktif. Tegangan yang
jatuh di sebelah kiri induktor adalah . Tegangan yang jatuh
di sebelah kanan induktor adalah tegangan output, . Karena itu, tegangan
yang jatuh pada induktor adalah sebesar . Karena
tegangan induktor menjadi lebih kecil dibandingkan saat state ON dan
konstan, maka arus yang melewati induktor akan menjadi turun secara linier
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.15.
Perubahan arus pada induktor (ripple current) pada saat state OFF dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:
(2.10)
26
Pada saat kondisi steady-state, akan mempunyai nilai yang sama
dengan . Karena itu, maka kedua persamaan tersebut dapat
menghasilkan persamaan seperti berikut ini:
(2.11)
Dengan mengasumsikan nilai , , dan sangat kecil sehingga dapat
diabaikan, maka persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi sebagai
berikut:
(2.12)
Secara garis besar, menvisualisasikan cara kerja dari rangkaian buck adalah
sebagai berikut:
Pada dasarnya, frekuensi cut-off dari filter L/C (biasanya di antara 500 Hz
sampai dengan 5kHz) jauh lebih kecil dari frekuensi switching dari power
supply (biasanya di antara 100 kHz sampai dengan 500 kHz). Filter L/C ini
akan melewatkan tegangan dengan frekuensi di bawah frekuensi cut-off-nya.
Tegangan output dari filter L/C ini berupa nilai rata-rata dari nilai tegangan
dari frekuensi yang dilewatkan tadi.
Dikarenakan induktor selalu mengalirkan arus di setiap state-nya maka nilai
dari arus rata-rata yang mengalir di induktor adalah sebesar:
(2.13)
27
Arus yang mengalir di induktor mengalami fluktuasi akibat dari switching
MOSFET. Kita dapat mencari arus minimum dan maksimum yang mengalir
melewati induktor ketika steady state dengan persamaan (FKE., 2002):
(2.14)
(2.15)
Critical Inductance
Seperti yang telah disebutkan di atas, nilai induktor mempengaruhi mode
yang dipakai dalam merancang suatu converter.
Gambar 2.16 Arus Critical Inductance
Untuk menentukan nilai induktor yang akan dipakai di dalam merancang
buck converter mode continuous conduction mode, kita harus terlebih dahulu
menentukan arus output minimum atau yang dapat dilihat dari
Gambar 2.16 dan dapat dituliskan secara matematika seperti persamaan
berikut ini:
28
(2.16)
Dengan mensubstitusikan nilai ke dalam persamaan di atas, maka
persamaan tersebut dapat diubah menjadi:
(2.17)
Persamaan di atas, dapat disederhanakan menjadi seperti berikut ini:
(2.18)
Pemilihan Komponen-komponen lainnya
Kapasitor Output
Kapasitor output berfungsi untuk menjaga supaya tegangan output konstan.
Tiga hal dari kapasitor yang mempengaruhi ripple dari tegangan output
adalah Equivalent Series Resistance (ESR), dan kapasitansi (C). Di bawah ini
adalah gambar dari arus yang mengalir pada kapasitor pada keadaan steady
state (FKE., 2002):
Gambar 2.17 Grafik hubungan antara arus kapasitor dan waktu
29
Setelah kita mengetahui grafik diatas, kita dapat mencari persamaan untuk
mencari nilai kapasitor output:
(2.19)
Untuk menghitung nilai ESR yang dibutuhkan, dapat digunakan persamaan
berikut ini:
(2.20)
Arus ripple yang melewati ESR kapasitor dapat menyebabkan disipasi daya.
Apabila disipasi daya pada kapasitor cukup besar, maka dapat memperpendek
umur dari kapasitor. Nilai arus ripple output merupakan nilai arus di dioda
CR1, ICR1, dikurangi dengan arus output, IOUT, sehingga dapat ditulis sebagai
berikut:
(2.21)
Boost Converter
Boost converter adalah converter yang menghasilkan tegangan output yang
lebih besar dari tegangan inputnya. Tegangan output yang dihasilkan
mempunyai polaritas yang sama dengan tegangan inputnya. Boost converter
30
biasa disebut juga sebagai step-up converter. Berikut ini merupakan
rangkaian dari boost converter:
Gambar 2.18 Boost Topology
MOSFET yang dipakai pada rangkaian Gambar 2.18 adalah MOSFET
dengan tipe n-channel. Karena itu, untuk mengaktifkan MOSFET tersebut,
diperlukan tegangan positif pada kaki gate-source. Keuntungan di dalam
menggunakan MOSFET tipe n-channel adalah nilai RDS(ON)-nya yang lebih
kecil dibandingkan dengan MOSFET dengan tipe p-channel. Apabila nilai R-
DS(ON) besar, maka disipasi daya juga akan menjadi besar.
Rangkaian L/C (induktor dan kapasitor) pada rangkaian Gambar 2.18
membentuk rangkaian filter. Untuk menganalisa rangkaian boost converter,
hambatan induktor, RL, dan hambatan kapasitor, RC, disertakan di dalam
rangkaian.
Boost Continuous Conduction Mode
Di dalam menganalisa rangkaian boost, terdapat 2 state, yaitu, state ON dan
state OFF. Untuk mempermudah dalam menganalisa rangkaian boost, berikut
ini merupakan state dari rangkaian boost pada saat state ON dan state OFF:
31
Gambar 2.19 State ON dan OFF Dari Boost Topology
Secara matematika, waktu dari state ON dan state OFF dapat ditulis seperti
berikut:
(2.22)
(2.23)
Bentuk gelombang dari rangkaian Gambar 2.19 untuk komponen Q1 dan
CR1 diperlihatkan dalam gambar berikut ini:
32
Gambar 2.20 Gelombang Q1 dan CR1
State ON
Ketika berada pada state ON, Q1 dapat dianalogikan menjadi hambatan
drain-source-nya, RDS(ON), di mana terdapat sedikit tegangan yang jatuh pada
hambatan tersebut yang dapat disimbolkan menjadi VDS. Begitu juga halnya
dengan induktor, adanya tegangan yang jatuh pada hambatan induktor
sebesar . Karena itu, tegangan yang jatuh pada induktor adalah
sebesar . Karena tegangan yang diberikan kepada
induktor konstan maka arus yang melewati induktor meningkat secara linier
seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.20.
Perubahan arus pada induktor (ripple current) pada saat state ON dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:
33
(2.24)
Selama state ON, sumber arus untuk beban berasal dari kapasitor C.
State OFF
Ketika berada pada state OFF, drain-source Q1 menjadi terbuka atau dengan
kata lain drain-source Q1 mempunyai hambatan yang sangat tinggi sehingga
mengakibatkan arus dari induktor akan melewati dioda CR1 ke beban.
Tegangan yang jatuh di sebelah kiri induktor sebesar .
Tegangan yang jatuh di sebelah kanan kaki induktor adalah sebesar tegangan
output ditambah dengan tegangan dioda, . Oleh karena itu,
tegangan yang jatuh di induktor adalah sebesar
. Karena tegangan induktor menjadi lebih
kecil dibandingkan saat state ON dan konstan, maka arus yang melewati
induktor akan menjadi turun secara linier seperti yang ditunjukkan pada
gambar 2.20.
Perubahan arus pada induktor (ripple current) pada saat state OFF dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:
(2.25)
34
Pada saat kondisi steady-state, akan mempunyai nilai yang sama
dengan . Oleh karena itu, maka kedua persamaan tersebut dapat
menghasilkan persamaan seperti berikut ini:
(2.26)
Dengan mengasumsikan nilai , , dan sangat kecil sehingga dapat
diabaikan, maka persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi sebagai
berikut:
(2.27)
Secara garis besar, menvisualisasikan cara kerja dari rangkaian boost adalah
sebagai berikut:
Ketika Q1 aktif, energi dari sumber akan diisi ke induktor. Ketika Q1 tidak
aktif, induktor bersama dengan sumber input akan menyalurkan energinya ke
kapasitor output dan beban. Tegangan output dari rangkaian ini, dapat diatur
melalui seberapa lama Q1 aktif. Semakin lama Q1 aktif, maka energi yang
disimpan oleh induktor akan semakin besar sehingga energi yang disalurkan
ke kapasitor output dan beban pada saat Q1 tidak aktif akan semakin besar.
Tidak seperti buck converter, arus rata-rata pada induktor tidak sama dengan
arus output. Ini dikarenakan induktor meyalurkan arus ke output hanya ketika
Q1 tidak aktif sehingga hubungan arus rata-rata dengan arus output adalah
sebagai berikut:
35
(2.28)
Critical Inductance
Seperti yang telah disebutkan di atas, nilai induktor mempengaruhi mode
yang dipakai dalam merancang suatu converter.
Gambar 2.21 Arus Critical Inductance
Untuk menentukan nilai induktor yang akan dipakai di dalam merancang
boost converter mode continuous conduction mode, kita harus terlebih dahulu
menentukan arus output minimum atau yang dapat dilihat dari
Gambar 2.21. Arus rata-rata minimal pada induktor supaya berada dalam
mode continuous conduction mode adalah sebagai berikut:
(2.29)
Dengan mensubstitusikan nilai ke dalam persamaan di atas, maka
persamaan tersebut dapat diubah menjadi:
36
(2.30)
Pemilihan Komponen-komponen lainnya
Kapasitor Output
Kapasitor output berfungsi untuk menjaga supaya tegangan output konstan.
Tiga hal dari kapasitor yang mempengaruhi ripple dari tegangan output
adalah Equivalent Series Resistance (ESR), Equivalent Series Inductance
(ESL), dan kapasitansi (C). Berikut ini merupakan persamaan untuk mencari
nilai kapasitor output:
(2.31)
Untuk menghitung nilai ESR yang dibutuhkan, dapat digunakan rumus
berikut ini:
(2.32)
Arus ripple yang melewati ESR kapasitor dapat menyebabkan disipasi daya.
Apabila disipasi daya pada kapasitor cukup besar, maka dapat memperpendek
umur dari kapasitor. Nilai arus ripple output merupakan nilai arus di dioda
CR1, ICR1, dikurangi dengan arus output, IOUT, sehingga dapat ditulis sebagai
berikut:
(2.33)
37
Buck-Boost Converter
Pada beberapa aplikasi, kita bukan hanya membutuhkan buck atau boost saja,
namun kita juga membutuhkan sebuah rangkaian yang dapat menaikkan dan
menurunkan tegangan dengan fleksibel. Bila rangkaian buck hanya dapat
menurunkan tegangan dan rangkaian boost hanya dapat menaikkan tegangan,
maka rangkaian buck-boost adalah rangkaian yang dapat menaikkan dan
menurunkan tegangan. Ada banyak rangkaian converter yang telah
dikembangkan untuk dapat menaikkan dan menurunkan tegangan, seperti
rangkaian buck-boost converter dengan 1 signal PWM, Cuk Converter, Zeta
Converter, Sepic Converter, Synchronized Buck-Boost Converter dan lain
sebagainya. Rangkaian paling mudah adalah rangkaian Buck Converter yang
outputnya diseri dengan rangkaian Boost Converter atau sebaliknya. Literatur
(Mullett, 2004) membandingkan efisiensi dari rangkaian Buck+Boost,
Boost+Buck, dan Sepic Converter. Dibawah ini adalah rangkaian-rangkaian
yang dipergunakan menurut literatur (Mullett, 2004) tersebut.
Gambar 2.22 Boost + Buck Converter
38
Gambar 2.23 SEPIC Converter
Gambar 2.24 Buck + Boost Converter
Setelah pengujian dilakukan, maka hasil dari ketiga rangkaian tersebut adalah
seperti berikut.
39
Gambar 2.25 Perbandingan Efisiensi
Dari data dan kesimpulan literatur tersebut, Buck+Boost Converter dapat
mencapai efisiensi yang tinggi pada level tegangan input dan output yang
sama selain itu juga menghabiskan biaya lebih murah.
2.5. MOSFET Gate Driver
MOSFET dapat dikonfigurasikan dengan 2 cara, yaitu high-side dan low-side.
Pin source dari MOSFET (tipe n-channel) yang dikonfigurasikan low-side
langsung terhubung dengan ground sehingga kontroler dapat langsung
memberikan sinyal PWM atau melalui penguat tegangan dari MOSFET
driver terlebih dahulu, tergantung tipe MOSFET tersebut. Sebaliknya dengan
high-side, kaki source tidak terhubung dengan ground, melainkan dengan
suatu nilai potensial sehingga untuk driving kaki gate harus dengan acuan
source. Disini akan dibahas bagaimana cara driving gate dari MOSFET
menurut referensi (Sellami, 2012).
Posisi MOSFET pada topologi buck terletak pada bagian high-side sehingga
untuk mengaktifkan MOSFET (tipe n-channel) ini, acuan dari tegangan gate
bukanlah terhadap ground melainkan terhadap source-nya. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.26 High Side MOSFET
40
Dari rangkaian di atas, agar MOSFET dapat aktif, maka pada terminal gate
MOSFET diperlukan tegangan sebesar:
(2.34)
Dengan mengasumsikan bahwa pada MOSFET sangatlah kecil
sehingga mengakibatkan menjadi jauh lebih kecil daripada ataupun
sehingga persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi:
(2.35)
Nilai tegangan pada terminal source bergantung kepada kondisi dari
MOSFET. Apabila MOSFET aktif, maka tegangan pada terminal source
sama dengan tegangan input. Apabila MOSFET tidak aktif, maka tegangan
pada terminal source adalah 0 V. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa untuk
mengaktifkan MOSFET, tegangan yang diperlukan pada terminal gate
haruslah lebih besar dibandingkan tegangan inputnya.
Untuk mengatasi masalah ini, ada 2 solusi yaitu:
Dengan menggantikan MOSFET tipe n-channel dengan MOSFET tipe p-
channel. Dalam hal ini, tegangan yang dibutuhkan oleh gate MOSFET (p-
channel) untuk aktif minimal sebesar dari tegangan inputnya.
41
Akan tetapi, MOSFET tipe p-channel mempunyai nilai yang lebih
besar (dapat mencapai 2 sampai 3 kali) dari MOSFET tipe n-channel
sehingga mengakibatkan lebih banyaknya disipasi daya yang akan membuat
efisiensi sistem menjadi berkurang.
Dengan menggunakan rangkaian boot-strap (terletak di dalam rangkaian
MOSFET Gate Driver).
Berikut ini merupakan rangkaian dari topologi buck yang telah digabungkan
dengan rangkaian MOSFET gate driver:
Gambar 2.27 MOSFET Gate Driver + Basic Buck Topology
Cara kerja dari rangkaian di atas adalah sebagai berikut:
sebagai pengatur duty cycle yang beroperasi di antara 0 V dan 5 V.
sebagai sumber tegangan MOSFET gate driver yang beroperasi di antara 10
V dan 20 V.
42
Ketika = 5 V, maka transistor Q1 dan M2 aktif yang mengakibatkan
kapasitor boot-strap charging sampai sebesar dan MOSFET M1 menjadi
tidak aktif.
Ketika = 0 V, transistor Q1 dan M2 menjadi tidak aktif sehingga
memberikan tegangannya (sebesar ) kepada MOSFET M1,
mengakibatkan MOSFET M1 ini menjadi aktif. Dioda berfungsi agar
arus dari kapasitor tidak mengalir kembali ke sumber . Nilai dari
kapasitor boot-strap yang dipilih dipengaruhi oleh parameter seperti, nilai
resistor discharging, frekuensi dari , dan sebagainya.
Gambar 2.28 VPWM ON
43
Gambar 2.29 VPWM OFF
Di dalam mendesign buck+boost converter, penulis menggunakan IC IR2184
sebagai MOSFET Gate Driver. Rangkaian yang dianjurkan untuk
mengoperasikan IC ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.30 Skematik IR2184
Untuk menentukan nilai dari resistor gate, kapasitor boot-strap, dan kapasitor
vcc-ground, dapat digunakan rumus berikut ini:
Resistor Gate:
(2.36)
Kapasitor Boot-Strap:
44
(2.37)
Di mana:
(2.38)
(2.39)
Arus Dioda Boot-Strap:
(2.40)
Keterangan:
= Output high short circuit pulsed current
= Total Gate Charge
= level-shift charge yang dibutuhkan oleh driver
(5nC untuk 500/600V driver; 20nC untuk 1200V driver)
= Quiescent VBS supply current
= boot-strap capacitor leakage current
45
2.6. Equivalent Series Resistance (ESR)
Ada tiga faktor penting yang harus diperhatikan di dalam memilih sebuah
kapasitor, yaitu, Equivalent Series Resistance (ESR), dissipation factor, dan
quality factor (Q).
ESR (Equivalent Series Resistance)
Pada umumnya, simbol kapasitor adalah seperti berikut ini:
Gambar 2.31 Simbol Kapasitor
Akan tetapi ketika menganalisa suatu rangkaian secara mendalam, maka
sebuah kapasitor dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.32 Simbol Kapasitor + ESR
Semakin besar nilai resistansi ESR ini, maka akan mengakibatkan disipasi
daya pada kapasitor tersebut semakin besar. Oleh karena itu, kapasitor
dengan nilai resistansi ESR yang lebih kecil akan lebih baik dibandingkan
dengan kapasitor dengan nilai resistansi ESR yang lebih besar.
Nilai resistansi ESR ini bersifat dinamik. Perubahan nilai resistansi ESR ini
bergantung kepada suhu kapasitor dan frekuensi yang diberikan kepada
kapasitor tersebut.
Quality factor (Q)
46
Quality factor merupakan perbandingan nilai reaktansi kapasitif terhadap
nilai resistansi ESR yang dapat dituliskan sebagai berikut:
(2.41)
Semakin besar nilai Q dari suatu kapasitor maka semakin baik kapasitor
tersebut karena disipasi daya pada komponen akan semakin kecil.
2.7. Current Sensing
Ada 2 skema yang tersedia untuk sensing arus listrik yang dibahas pada
(Mehta, 2009). Yang pertama adalah dengan mengukur medan magnet yang
muncul disekitar konduktor yang dialiri arus listrik, dan yang kedua adalah
dengan menyisipkan sebuah resistor dengan nilai yang kecil pada jalur arus
yang hendak diukur kemudian ukur tegangan yang jatuh di resistor tersebut.
Cara pertama, yaitu dengan pengukuran medan magnet tidak akan menambah
loss dan tidak mempengaruhi sistem rangkaian, namun cara ini relatif lebih
mahal dan kita akan berhadapan dengan masalah ketidak-linearan dan
koefisien temperatur. Kedua masalah ini akan menyebabkan error pada
pembacaan.
Cara kedua, yaitu dengan penambahan sebuah resistor akan memberikan
pengukuran yang akurat dan murah untuk pembacaan arus DC pada banyak
aplikasi. Low-side dan high-side sensing merupakan 2 cara peletakkan
resistor sense (Rsense) yang banyak dipergunakan. Nilai dari Rsense harus
cukup kecil supaya daya yang hilang atau disipasi daya pada Rsense ditekan
47
seminimal mungkin, dan harus cukup besar supaya nilai tegangan pada
Rsense dapat dibaca. Nilai tegangan yang jatuh pada Rsense proporsional
dengan nilai arus pada jalur tersebut sesuai dengan hukum ohm.
Low-side Current Sensing
Di bawah ini adalah gambar rangkaian bila kita menggunakan Rsense dengan
posisi low-side dimana Rsense dipasang diantara beban dan ground.
Gambar 2.33 Contoh Skematik Low-Side Current Sensing
Tegangan yang jatuh pada Rsense dapat diperkuat dengan rangkaian op-amp
sederhana seperti gambar diatas. Karena letaknya yang dekat dengan ground,
maka penguatan dapat dilakukan dengan op-amp biasa dengan tegangan
rendah. Low-side sensing merupakan teknik yang sederhana dan murah.
Walaupun demikian, beberapa aplikasi tidak dapat mentoleransi noise yang
terdapat pada jalur ground. Masalah noise ini akan makin berdampak besar
ketika arus beban atau arus yang diukur besar.
48
High-side Current Sensing
Di bawah ini adalah gambar rangkaian bila kita menggunakan Rsense dengan
posisi high-side dimana Rsense dipasang diantara supply dan beban.
Gambar 2.34 Contoh Skematik High-Side Current Sensing
Bila kita menggunakan rangkaian high-side untuk current sensing, maka kita
dapat menghilangkan noise yang terdapat pada jalur ground karena Rsense
tidak terhubung secara langsung ke ground tegangan pada Rsense diperkuat
dengan amplifier dengan common-mode. Untuk high-side current sensing,
kita membutuhkan CMRR op-amp yang cukup besar untuk dapat sensing
arus secara akurat.
Kelebihan dari high-side current sensing selain dari tidak adanya pengaruh
dari noise pada ground, adalah kita dapat mendeteksi adanya jalur short
circuit dari rangkaian. Sebagai contoh, seperti gambar di bawah.
49
Gambar 2.35 Short circuit Detection
Diatas adalah rangkaian charger baterai sederhana. Rsense dipasang pada
low-side. Pin DATA dan THERM (suhu) dihubungkan dengan kontroler
baterai charger. Pembacaan THERM menjadi kurang akurat karena baterai
memberikan informasi suhu pada pin THERM dengan referensi pin negatif
dari baterai, sedangkan referensi dari kontroler adalah ground dimana pin
negatif baterai dan ground tidak tersambung secara langsung sehingga
mengakibatkan error pada pembacaan nilai THERM. Kekurangan
selanjutnya adalah Rsense tidak dapat mendeteksi adanya short circuit pada
baterai sehingga dapat mengakibatkan S1 rusak. Ground dari rangkaian
(load) dihubungkan dengan pin negatif dari baterai. Ketika pada rangkaian
terjadi short circuit, maka baterai akan mengalirkan arus yang tinggi dari AC
Adapter ke S1 dan kemudian ke rangkaian dan Rsense tidak dapat mendeteksi
hal ini.
Kekurangan dari low-side current sensing ini tidak terdapat pada metode
high-side current sensing. Beberapa IC tambahan seperti MAX4372 dapat
dipergunakan untuk memudahkan pambacaan high-side current sensing.
50
2.8. Mikrokontroler ATTiny461
Merupakan mikrokontroler 8 bit AVR RISC dari ATMEL yang memiliki
4KB flash memory, 256 Byte EEPROM, 256 Byte SRAM, 16 general
purpose I/O, dan beberapa fitur lainnya. Berikut konfigurasi pin dari ATtiny
461 yang digunakan.
Gambar 2.36 Konfigurasi Pin ATTiny461
Salah satu fitur yang digunakan pada ATTiny 461 ini kita menggunakan fitur
Timer 1 yang dapat digunakan untuk menghasilkan sinyal PWM, dimana
dapat menghasilkan 3 sinyal PWM sekaligus. Fitur lainnya yang digunakan
yaitu adanya high frequency PLL (Phase Lock Loop) clock, yang dimana
dapat menghasilkan frekuensi 8 kali lebih besar dari frekuensi inputnya. PLL
tersebut menggunakan output dari internal 8 MHz internal osilator sebagai
inputnya sehingga mampu menghasilkan frekuensi sampai dengan 64MHz.
Untuk menggunakan sumber clock sampai dengan 64 MHz, maka kita perlu
mengaturnya pada register PLLCSR (PLL Control dan Status Register).
51
Gambar 2.37 Register PLLCSR
Bit 7: LSM
Merupakan bit untuk mengatur mode low speed dimana jika bit ini diset
menjadi satu maka clock yang dihasilkan akan dikurangi sehingga menjadi
32MHz. penggunaan mode low speed ini dilakukan jika power ke
mikrokontroler yang digunakan dibawah 2,7 V, karena Timer/Counter 1 tidak
berjalan secepat itu pada saat kedaan daya rendah. Pada saat ingin
menggantikan LSM diharapkan Timer/Counter 1 diberhentikan telebih
dahulu.
Bit 2: PCKE
PCKE digunakan untuk mengatur sumber clock dari timer 1, dimana jika
diset maka sumber clock timer 1 berasal dari PLL, namun jika diclear maka
akan digunakan sumber clock mikrokontroler. Jika ingin diset, maka
PPLOCK harus bernilai satu terlebih dahulu (sinyal yang dihasilkan sudah
steady state). PCKE akan bisa diset jika PLLE telah diset.
Bit1: PLLE
Jika telah diset maka PLL akan mulai menghasilkan sinyal. PLLE akan selalu
bernilai satu jika PLL digunakan sebagai clock untuk sistem.
Bit 0: PLOCK
52
Ketika PLL dimulai untuk menghasikkan sinyal, maka frekuensi yang
dihasilkan tidak stabil (masih mengalami overshoot atau undershoots)
sebelum akhitnya stabil (mencapai steady state). Untuk mencapai steady state
diperlukan kira-kira waktu sampai dengan 100us. Ketika telah stabil maka
PLOCK akan bernilai satu. Untuk itu diharapkan untuk mengecek nilai dari
PLOCK sebelum menggunakan PLL sebagai sumber dari Timer 1.
2.9. Teknologi LED Sebagai Lampu Jalan
Penggunaan LED sebagai sumber penerangan lampu jalan mempunyai
beberapa keutungan dibandingkan sumber penerangan lainnya (High
Pressure Sodium (HPS), Mercury Vapor). Berikut beberapa keuntungan dari
penggunaan LED (LUMILEDS PHILIPS, 2008) (REMAKING CITIES
INSTITUTE, 2011):
1. Mempunyai waktu nyala yang panjang
Mempunyai waktu nyala yang panjang sehingga dapat juga mengurangi
biaya pemeliharaan (maintenance).
2. Handal dan tahan terhadap goncangan
LED tidak mengandung unsur seperti lapisan kaca ataupun filamen. LED
terbuat dari bahan polycarbonate yang dimana berarti tahan terhadap
goncangan, sehingga sangat cocok digunakan pada jalan.
3. Tidak memancarkan infrared (IR) atau ultraviolet (UV)
4. Konsumsi daya yang rendah
5. Mengurangi ketertarikan serangga pada malam hari
53
Serangga sangat sensitif pada cahaya UV biru ataupun hijau. Pada LED putih
cahaya yang dipancarkan hanya sedikit yang memancarkan UV biru dan
hijau, sehingga serangga pada malam hari kurang tertarik pada sumber
cahaya LED.
Berikut perbandingan terhadap beberapa sumber cahaya yang ada dengan
LED sebanyak 100 buah digabungkan dengan setiap LED memilki efficacy
55 lm/W (OSRAM, 2009):
Tabel 2.3 Perbandingan Beberapa Tipe Lampu
Lamp Type Power consumption
[W]
Luminous Flux
[x 1000 lm]
Efficacy
[lm/W]
Lifetime [x
1000 hr]
High Pressure Sodium 35-400 1.3 – 5.5 39 – 140 24
Metal Halide 35-400 3.4 – 32 70 – 90 6
High Pressure Mercury 50-400 1.8 – 22 35 – 90 8 -12
Low Pressure Sodium 18-90 1.8 – 15 100 – 160 16 – 30
Compact Fluorescent 5-55 0.25 – 4.8 50 – 88 9
LED 112 7 100 10-50 ( 50%
light decrease)
2.10. Lighting + SNI
Istilah-istilah dalam pencahayaan dan konversinya
Beberapa istilah dalam pencahayaan berdasarkan referensi (Simpson, 2010)
akan dijelaskan pada bagian ini. Luminous flux adalah jumlah cahaya atau
total energi cahaya yang dipancarkan dari sebuah sumber cahaya. Luminous
flux memiliki satuan lumen. Pengukuran luminous flux dapat dilakukan
dengan menggunakan spectro-meter (LED LENSER, 2012).
54
Luminous intensity adalah jumlah dari luminous flux yang dipancarkan
dengan sudut ruang atau sudut bukaan 3 dimensi yang besarnya tertentu.
Sudut ruang atau sudut bukaan 3 dimensi disebut juga solid angle. Solid
angle memiliki satuan steradian. Semakin kecil solid angle dari sebuah
sumber cahaya dengan luminous flux yang tetap, maka semakin besar
intensitas atau luminous intensity yang terukur. Luminous intensity memiliki
satuan candela. Persamaan di bawah menjelaskan hubungan antara luminous
flux dan luminous intensity.
(2.42)
Dimana I adalah luminous intensity dengan satuan candela, ɸ adalah
luminous flux dengan satuan lumen, dan Ω adalah solid angle dengan satuan
steradian. Menurut referensi (Saripudin, Rustiawan & Suganda, 2009),
candela merupakan satu dari 7 besaran pokok yang berkaitan dengan cahaya,
sedangkan steradian merupakan satu dari 2 besaran tambahan dalam SI
(Sistem Internasional).
Tabel 2.4 Tujuh besaran pokok dan dua besaran pokok tambahan dalam SI
Besaran Pokok Satuan Lambang Satuan Panjang meter m Massa kilogram kg Waktu sekon(detik) s Arus Listrik ampere A Suhu kelvin K Intensitas Cahaya kandela cd Jumlah Zat mole mol
Besaran Tambahan Satuan Lambang Satuan Sudut datar radian rad
55
Sudut Ruang steradian sr Bila sumber cahaya merupakan sumber yang isotropic (memancarkan cahaya
secara merata ke semua arah), maka persamaan yang digunakan adalah :
(2.43)
Menurut referensi (Riemersma, 2012), besarnya solid angle dapat ditentukan
dengan menggunakan apex angle. Apex angle merupakan sudut datar atau
sudut bukaan 2 dimensi dari sebuah sumber cahaya. Lihat Gambar 2.38
dibawah untuk lebih jelasnya.
Gambar 2.38 Apex angle dari sebuah sumber cahaya
Apex angle dari contoh lampu LED diatas adalah 2θ dimana batas sudut apex
angle adalah ketika intensitas telah turun sebanyak 50%. Hubungan antara
apex angle dan solid angle dapat digambarkan dengan persamaan di bawah.
(2.44)
Illuminance adalah besarnya intensitas cahaya pada suatu permukaan atau
bidang yang terkena cahaya. Pengukuran illuminance dapat dilakukan dengan
menggunakan lux-meter. Hubungan illuminance dengan luminous flux adalah
seperti persamaan dibawah.
56
(2.45)
Dimana E adalah besarnya illuminance dengan satuan lux, ɸ adalah luminous
flux dengan satuan lumen dan A adalah luas area yang diterangi.
Sebagai contoh ilustrasi untuk lebih memahami pengaruh dari solid angle
terhadap illuminance, kami sertai contoh yang diambil dari referensi
(WISELED, 2012). Sebuah lampu senter memancarkan 100 lumen dan
menerangi bidang dengan luas 10m2 dengan solid angle tertentu kemudian
diukur dengan lux-meter dan terukur 100 lux. Bila solid angle cahaya dari
lampu senter tersebut dapat kita kurangi sehingga bidang yang diterangi dapat
kita kurangi menjadi 1m2, maka illuminance yang terbaca akan meningkat
10x lipat karena cahaya menjadi terkonsentrasi sehingga cahaya yang
menerangi luasan 1m2 tersebut menjadi makin terang. Lihat Gambar 2.39.
Gambar 2.39 Ilustrasi hubungan solid angle sumber cahaya terhadap
illuminance yang terjadi
Fenomena lainnya yang terjadi sehari-hari berkaitan dengan cahaya yaitu,
semakin jauh jarak sumber cahaya dari benda yang diterangi, maka illuminasi
yang terjadi pada benda tersebut akan berkurang berbanding terbalik dengan
57
kuadrat jarak, namun luas permukaan yang dapat diterangi oleh sumber
cahaya tersebut meningkat sebanding dengan kuadrat jarak. Inilah yang
disebut sebagai inverse-square law. Untuk lebih jelas, lihat Gambar 2.40
dibawah (NDT Resource Center, 2012).
Gambar 2.40 Inverse-square law
Semakin jauh jarak yang ditempuh oleh cahaya, maka luas permukaan yang
dapat diterangi meningkat. Sebagai ilustrasi untuk memahami pengaruh
perubahan jarak terhadap luas permukaan, disertai contoh berikut. Sebuah
lampu senter menerangi sebuah tembok yang berjarak 1m dengan illuminasi
1 lux dengan luas permukaan yang diterangi sebesar 1m2. Bila lampu senter
tersebut dijauhkan dari tembok sehingga jarak antara lampu senter dan
tembok menjadi 2m, maka illuminasi yang terjadi akan berkurang berbanding
terbalik dengan kuadrat jarak, yaitu menjadi 0,25 lux namun luas permukaan
yang dapat diterangi cahaya meningkat sebanding dengan kuadrat jarak, yaitu
4m2. Lihat Gambar 2.41.
58
Gambar 2.41 Ilustrasi hubungan jarak terhadap luas permukaan dan
illuminasi
Dari contoh diatas kita dapat melihat bahwa jarak memiliki hubungan dengan
illuminasi yang terjadi. Hubungan kedua variabel ini dapat tergambarkan
pada persamaan dibawah (Riemersma, 2012).
(2.46)
Dimana I adalah luminance intensity dengan satuan candela, E adalah
illuminasi dengan satuan lux dan D adalah jarak dari sumber cahaya ke benda
yang illuminasinya diukur dengan satuan meter.
SNI (Standar Nasional Indonesia)
SNI adalah sebuah standar yang diberlakukan di Indonesia yang dibuat oleh
BSN (Badan Standarisasi Nasional). Disini akan dibahas spesifikasi
penerangan jalan di kawasan perkotaan menurut referensi (Badan
Standarisasi Nasional, 1991). Tabel 2.5 dibawah menjelaskan tentang jenis
atau klasifikasi jalan yang dibagi menjadi beberapa bagian dengan illuminasi
rata-rata standar dari SNI.
59
Tabel 2.5 Iluminasi Rata-Rata Standar SNI
Jenis / klasifikasi jalan Illuminasi rata-rata E (lux)
Trotoar 1-4
Jalan lokal 2-5
Jalan kolektor 3-7
Jalan arteri 11-20
Jalan arteri dengan akses kontrol, jalan bebas
hambatan 15-20
Jalan layang, simpang susun, terowongan 20-25
Trotoar adalah jalur lalu lintas untuk pejalan kaki yang umumnya sejajar
dengan sumbu jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan. Jalan
lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan
ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi (UU RI No. 38 Tahun 2004). Jalan kolektor adalah jalan
umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan
ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan
masuk dibatasi (UU RI No. 38 Tahun 2004). Jalan arteri adalah jalan umum
yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh,
kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya
guna (UU RI No. 38 Tahun 2004). Akses kontrol adalah pengaturan jalan
masuk, seperti yang dilakukan di jalan tol atau jalan bebas hambatan.
Ada 3 alternatif untuk tinggi lampu jalan, yaitu 11m, 13m, atau 15m (Badan
Standarisasi Nasional, 1991). .
60
2.11. Baterai
Di dalam sistem photovoltaic, baterai digunakan untuk menampung energi
yang berasal dari panel surya (pada saat terdapat sinar matahari/siang hari)
dan digunakan sebagai sumber listrik (pada saat malam hari). Penggunaan
baterai juga harus diperhatikan, karena karakteristik dari masing-masing
baterai berbeda-beda. Berdasarkan kemampuan untuk diisi ulang, baterai
dibagi menjad 2 jenis, yaitu, disposable battery dan rechargeable battery.
Baterai yang digunakan untuk sistem photovoltaic adalah baterai yang
rechargeable (dapat diisi ulang). Jenis baterai rechargeable yang digunakan
adalah lead-based.
Baterai lead-based dapat dibagi berdasarkan aplikasinya dan konstruksinya.
Berdasarkan aplikasinya, baterai lead-based dibagi menjadi baterai starter
dan baterai deep-cycle. Baterai starter digunakan untuk menyediakan arus
yang tinggi dalam waktu yang singkat. Biasanya baterai ini digunakan pada
mobil. Sedangkan baterai deep-cycle digunakan untuk menyediakan arus
yang stabil dalam waktu yang cukup lama. Baterai deep-cycle biasanya
digunakan untuk solar electric ataupun backup power.
Berdasarkan konstruksinya, baterai lead-based dibagi menjadi liquid-vented
(biasanya disebut juga sebagai Flooded Lead-Acid) dan sealed (biasanya
disebut juga sebagai VRLA).
Baterai Liquid-Vented (Flooded Lead-Acid)
Baterai liquid-vented adalah baterai lead-based yang mempunyai katup untuk
pengisian ulang cairan. Baterai ini terdiri dari lempengen positif dan negatif
61
yang ditempatkan di dalam larutan elektrolit (asam sulfat). Baterai ini
dirancang untuk memberikan arus listrik yang besar hanya dalam waktu
beberapa saat. Pada saat baterai ini digunakan, maka akan terjadi reaksi kimia
di dalamnya yang akan menghasilkan gas hidrogen. Lama kelamaan, larutan
yang berada di dalam baterai akan berkurang. Oleh karena itu, baterai jenis
ini memerlukan pengisian larutan kembali. Baterai jenis ini biasa digunakan
pada mobil.
Baterai Sealed (VRLA)
Berbeda halnya dengan VRLA, baterai ini tidak dapat diisi ulang karena
larutan kimia di dalamnya tertutup dengan sangat rapat (terdapat satu katup
kecil pada badan baterai). Hal tersebut menyebabkan baterai jenis ini tahan
tumpah (spill proof). Pada baterai VRLA, gas yang dihasilkan pada saat
beroperasi akan dikombinasikan kembali, untuk mengurangi kehilangan
larutan (sebagian kecil hidrogen keluar melalui katup kecil). Sel VRLA
bersifat sensitif terhadap suhu: umur dari baterai tersebut akan berkurang
pada suhu tinggi (Bonduelle & Munerret, 2002). Baterai VRLA dapat dibagi
lagi menjadi 2 jenis, yaitu, tipe GEL dan AGM (Absorded Glass Mat).
Ada 2 jenis baterai yang terdapat pada VRLA, yaitu:
Absorbed Glass Mat (AGM)
Baterai AGM menggunakan mat gelas silik berserat untuk menunda
elektrolit. Mat ini menyediakan kantong untuk membantu dalam
penggabungan gas-gas yang dihasilkan selama charging dan membatasi
jumlah dari gas hidrogen yang dihasilkan. Produk baterai AGM yang dibuat
62
oleh grup Hawker didesain untuk bertahan selama 10 sampai 15 tahun
(Bonduelle & Munerret, 2002).
GEL
Larutan yang terdapat di dalam baterai ini berupa gel. Baterai gel bagus untuk
diaplikasikan pada sistem photovoltaic (Bonduelle & Munerret, 2002).
Hambatan dalam dari cell gel 3 kali hambatan dalam dari cell AGM. Volume
elektrolit baterai gel lebih tinggi dibandingkan dengan volume elektrolit
AGM. Akibatnya, inersia termal baterai gel lebih tinggi. Sehingga apabila
pada suhu lingkungan yang berubah-ubah, efeknya terhadap baterai gel lebih
rendah (Bonduelle & Munerret, 2002). Produk baterai GEL OPzV, yang
dibuat oleh group Hawker didesain untuk bertahan lebih dari 15 tahun
(Bonduelle & Munerret, 2002).
2.12. Daya Transfer Maksimum
Gambar di bawah adalah contoh rangkaian untuk membuktikan daya transfer
maksimum.
Gambar 2.42 Rangkaian Daya Transfer Maksimum
Bila nilai beban yang kita berikan sama dengan nol, maka tegangan yang
jatuh pada beban akan sama dengan nol, sehingga daya yang jatuh pada
63
beban sama dengan nol juga. Sebaliknya, bila nilai beban yang kita berikan
sama dengan tak hingga, maka arus yang mengalir pada rangkaian sama
dengan nol, sehingga daya yang jatuh pada beban sama dengan nol juga.
Karena itu, nilai beban yang kita berikan harus berada pada posisi yang tidak
kecil sekali dan tidak besar sekali. Menurut referensi (Floyd,2005), daya
transfer maksimum jatuh pada beban (RL) ketika RS = RL. Karena itulah, jika
kita plot grafik daya PL terhadap nilai hambatan beban RL, kita akan dapatkan
grafik parabola.
Arus yang mengalir pada rangkaian tersebut dapat dijabarkan dengan hukum
Kirchoff arus, yaitu :
(2.47)
Daya yang jatuh pada RL dapat dijabarkan dengan persamaan :
(2.48)
Bila kita mensubstitiusikan kedua persamaan diatas, kita akan mendapatkan
sebuah persamaan baru yang merupakan hubungan hambatan dan daya yang
jatuh pada beban, seperti dijabarkan di bawah :
64
Nilai RL ketika PL maksimum dapat kita temukan menggunakan grafik
parabola yang terjadi antara hubungan PL terhadap RL. Grafik ini dijelaskan
pada persamaan PL diatas. Nilai maksimum terjadi ketika nilai turunan PL
terhadap RL sama dengan nol.
(2.49)
Hasil akhir penurunan persamaan diatas menghasilkan jawaban bahwa daya
transfer maksimum terjadi ketika nilai hambatan dalam power supply RS
sama dengan nilai beban RL yang kita berikan.