bab 2 kajian tentang mitos, ritual dan sistem kepercayaan...
TRANSCRIPT
11
Bab 2
Kajian tentang Mitos, Ritual dan Sistem Kepercayaan Jawa
Ritual Gunung Kemukus merupakan salah satu ritual yang sarat
dengan nilai yang sakral. Pelaksanaan ritual biasanya berupa upacara yang
sakral dimana nilai dan tata cara pelaksanaannya memiliki makna sesuai
dengan tujuan dilakukannya ritual. Praktik ritual tersebut tidak dapat
dipisahkan dari kepercayaan mereka terhadap mitos Gunung Kemukus.
Pengertian ritual dalam kamus besar bahasa Indonesia berkenaan
dengan ritus, tata cara dalam upacara keagamaan.1 Dari pengertian tersebut
dapat dikatakan bahwa ritual adalah bagian penting dari sebuah sistem-
sistem kepercayaan atau agama. Sebagaimana dalam pemikiran Durkheim,
upacara dan ritual mempunyai peran penting dalam agama. Durkheim
menyimpulkan inti dari aktivitas religius ada dua. Pertama, kepercayaan,
yang sumbernya bisa berasal dari mitos, legenda dan dogma. Kedua adalah
ritual, yang menyangkut kegiatan dan tindakan individu.Menurut Durkheim,
praktik ritual dilakukan oleh seseorang disebabkankepercayaan
terhadap sesuatu. Selanjutnya, Durkheim mendefinisikan agama sebagai
suatu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu
dikaitkan dengan yang sakral yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang.2
Menurutnya, referensi atau objek dari ritual adalah sistem dari kepercayaan
masyarakat yang didasari oleh klasifikasi segala sesuatu ke dalam dua alam
yang sakral dan profan. Menurutnya sistem kepercayaan, mitosdan
1Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka),1988. 2Daniel Pals,Seven Theories of Religion,Terj: Inyak Ridwan dkk. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011),145.
12
sejenisnya, dipandang sebagai ekspresi dari sifat alam suci di mana ritual
menjadi perilaku yang ditentukan dari individu dalam masyarakat untuk
mengekspresikan hubungan dengan sakral dan profan.3 Istilah
“sakral”menunjukkepada aspek keyakinan suatu komunitas, mitos, dan
benda-benda suci yang terpisah dan dilarang. Sedangkan menurut Eliade, ide
terhadap yang Sakral lebih luas dari sekedar konsep Tuhan yang
personal.4Menurutnya yang Sakralbisa berarti kekuatan-kekuatan dewa-
dewi, arwah leluhur, jiwa-jiwa abadi. Yang Sakral merupakan bagian tak
terpisahkan dari pikiran dan aktivitas manusia dan mendapatkan tempat yang
absolut dan penting bagi kelangsungan eksistensi dan selalu mempengaruhi
jalan hidup manusia. Mitologi-mitologi tersebut kemudian membentuk pola
pikir, berfungsi sebagai standar nilai terhadap apa yang dikagumi dan
menjadi pola-pola yang disebut ‘archetypes”.Sumbangan pemikiran-
pemikiran Eliade ini membantu untuk mempelajari ide terhadap yang Sakral
dan Profanyangmenjadi bagian dalam sistem kepercayaan masyarakat
terhadap pelakuritual.Dengan demikian dapat ditelusuri tentang hal ihwal
masyarakat dalam melakukan praktik-praktik ritual. Untuk itu bagian ini
akanmelihat sejauh mana relasi antara mitos, ritual dan system
kepercayaan.Sebagaimana pendapat Malinowski bahwa mitos merupakan
kisah yang diceritakan untuk menetapkan kepercayaan tertentu, berperan
sebagai peristiwa pemula dalam suatu upacara atau ritus, atau sebagai model
tetap dari perilaku moral maupun religious.5 Mitologi-mitologi ini sebagai
3Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life,Transl:Karen E. Fields. (New York: The Free Press A Division of Simon & Schuster Inc, 1995), 34. 4Daniel Pals,Seven Theories Of Religion, 237. 5M. Dhavamony, Fenomenologi Agama.(Yogyakarta: Kanisius 1995), 150.
13
kumpulan cerita dari suatu masyarakat yang terjalin dalam kebudayaan,
menyuarakan keyakinan mereka dan menentukan ritus.
2.1 Mitos
Kata mitos berasal dari bahasa Yunani muthos, secara harafiah
diartikan sebagai cerita atau sesuatu yang diceritakan orang, dalam pengertian
yang lebih luas bisa berarti pernyataan, sebuah cerita atau alur sebuah drama.6
Pernyataan-pernyataan tersebut dianggap sebagai kebenaran yang lebih tinggi
dan dan penting bagi satu kelompok masyarakat tertentu. Kata-kata atau
watak dalam suatu dongeng ataupun cara berceritanya dinyatakan sebagai
cerita sakral dianggap memiliki kekuatan atau daya yang memiliki arti bagi
suatu komunitas dengan budaya tertentu. Mitos sering menampilkan cerita
tokoh-tokoh adikodrati, dewa dewa, roh-roh yang berkuasa yang secara
eksplisit bersifat suci.
Mitos sebagaimana yang ada dalam masyarakatbukan sekadar cerita
hiburan yang dikisahkan dari generasikegenerasi tetapi juga kenyataan yang
dihayati dalam kehidupan mereka.Seperti yang dikatakan Pals, bahwa mitos
bukan sekedar buah imajinasi melainkan imajinasi-imajinasi yang dimuat
kedalam bentuk cerita yang mengisahkan dewa-dewa, leluhur, para kesatria,
atau dunia supernatural lainnya.7Cerita-cerita ini bukan sekedar hiburan bagi
pendengarnya, tetapi berhubungan dengan kisah para tokoh-tokoh suci dalam
setiap alur cerita mitos. Mitos menuturkan mengenai dewa-dewa atau
6Ibid., 147. 7Daniel Pals, Seven Theories, 242.
14
makhluk superhuman dan juga peristiwa luarbiasa atau keadaan yang
berbeda sama sekali dengan pengalaman manusia biasa.8
Menurut Malinwoski,9 mitos adalah cerita yang mengagumkan dan
mungkintidak berarti apa-apa bagi kita, sebab hal ini berhubungan
dengankebenaran kepercayaan yang diyakini oleh pencerita yang mencoba
untuk menjelaskan dengan memakai sesuatu yang konkret dan dapat
dimengerti untuk sebuah gagasan abstrak atau konsep yang tidak jelas dan
sulit seperti penciptaan, kematian, perbedaan spesies ras atau binatang,
pekerjaan yang berbeda dari laki-laki dan perempuan; asal-usul ritual dan
adat istiadat, atau benda-benda alam yang mencolok atau monumen
prasejarah; arti dari nama-nama orang atau tempat. Seperti cerita, kadang-
kadang digambarkan sebagai etiologi, karena tujuan mereka adalah untuk
menjelaskan mengapa sesuatu ada atau terjadi.
Penjelasan-penjelasan atau cerita mitos terkadang sulit diterima
sebagai kebenaran. Hal ini yang kemudian menjadi perdebatan bahwa mitos
adalah hal yang tidak ilmiah dan sulit untuk ditemukan kebenarannya.
Locher mencoba menjelaskanarti mitos secara lebih luas, bahwa mitos pada
umumnya menunjuk dengan bahasa pada peristiwa-peristiwa yang dipandang
oleh manusia sangat esensial bagi eksistensinya yang memberi arti bagi
kelompok masyarakat pada masa sekarang, masa lalu dan masa depan
sekaligus, dengan demikian pentingnya mitos tidak tergantung pada apakah
kisahnya mempunyai makna atau tidak menurut penglihatan kita, peranan
8P. Swantoro,Dari Buku Ke Buku; Sambung Menyambung Menjadi Satu. (Jakarta:Gramedia , 2002),142 9B. Malinowski, Magic, Science, Religion, and Other Essay.(Boston: Beacon Press, 1948), 86.
15
mitos tidak juga tergantung pada apakah kisahnya betul-betul terjadi menurut
pengetahuan ilmiah.10Maka, sangat jelas bahwa mitos sulit untuk dibuktikan
dengan kebenaran ilmiah. Satu kesimpulan yang diberikan Eliade dalam
karya The Sacred and The Profane,bahwa mitos berkaitan dengan sejarah
suci, tetapi untuk menghubungkan dengan sejarah suci sama dengan
mengungkapkan misteri.11Artinyasetiap kisah-kisah mitos ada pertanyaan-
pertanyaan yang mungkin tidak bisa terjawab atau tidak dapat dijelaskan
secara ilmiah.
Malinowski pun memiliki pandangan yang sama atas masalah ini,
bahwa cukup sulit apabila mitos dihubungkan dengan pemikiran ilmiah. Ia
menyimpulkan bahwa mitos sering dimengerti sebagai suatu cerita yang
mengisahkan kebenaran yang mengesampingkan metode ilmiah dan memang
tidak dapat dibahasakan secara ilmiah: juga dalam arti sebagai macam bahasa
yang melukiskan peristiwa-peristiwa adikodrati, sehingga yang adikodrati
dianggap hanya relevan bagi segelintir orang yang tidak memiliki penalaran
ilmiah.12Dengan demikian, kebenaran cerita mitos sulit dipertemukan
dengandengan pendekatan ilmiah. Seperti pendapat Levis Strauss bahwa
banyak peristiwa dalam mitos yang tidak mungkin dan tidak akan kita
percayai dalam kenyataan sehari-hari, namun segala sesuatu memang
mungkin terjadi dalam mitos; mulai dari yang masuk akal, setengah masuk
akal sampai hal-hal yang tidak masuk akal sama sekali kita dapati dalam
10P. Swantoro.Dari Buku Ke Buku;Sambung Menyambung Menjadi Satu, 148. 11M. Eliade. The Sacred And The Profane; The Nature Of Religion.Transl from the French: Williard R. Trask,(New York: A Harvest Book Harcourt, Brace & World, Inc.1959), 95. 12M.Dhavamony. Fenomenologi Agama, 163.
16
mitos.13 Namun demikian dalam masyarakat primitif, mitos bukan hanya
sebuah kisah yang diceritakan tapi menjadi satu kenyataan hidup. Mitos tidak
bersifat fiksi, seperti novel, tapi mitos adalah kenyataan hidup, yang telah
diyakini pernah terjadi di zaman purba, dan terus mempengaruhi dunia dan
nasib manusia. Seperti yang diungkapkan Eliade, bahwa cerita-cerita mitos
bukan entertainment tapi bagi masyarakat arkhais adalah bagian terpenting
dalam kehidupan mereka, mitologi-mitologi itu kemudian membentuk pola
pikir, berfungsi sebagai standar nilai terhadap apa yang dikagumi dan
merupakan pola-pola yang dinamakan archetypes yang harus dipakai
sebelum bertindak.14 Jadi, mitos dalam budaya masyarakat purba mempunyai
peran penting dalam system kepercayaan meskipun oleh budaya sekuler hal
tersebut sangat irasional. Eliade mengartikan realitas mitos sebagai satu
kenyataan suci, kesucian sebagai satu-satunya kenyataan tertinggi kesucian
menghadirkan dirinya sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda dari
kenyataan biasa, kenyataan yang sesungguhnya, penuh dengan adanya
dipenuhi dengan kekuatan.15 Menceritakan mitos berarti menyingkapkan
sebuah misteri. Sejauh menceritkan gesta (tindakan) para dewa dan para
makhluk adikodrati, mitos menjadi misteri sejarah yang suci.
Malinowskimemberikan kesimpulan bahwa mitos merupakan unsur
yang sangat penting dari peradaban manusia; mitos bukan kisah tanpa arti,
tapi kekuatan aktif yang bekerja; bukan penjelasan intelektual atau citra
13Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra. (Yogyakarta: Kepel Press, 2009),82. 14Daniel L. Pals, Eight Theories of Religion; Second Edition.(New York:Oxford University Press,2006),200. 15M.Dhavamony, Fenomenologi Agama, 152.
17
artistik, tapi piagam pragmatis iman primitif dan kebijaksanaan moral.16
Karena kepercayaan dan kebenaran dari mitos-mitos tersebut kemudian
muncul bentuk-bentuk aturan, tatanan hidup yang digunakan dalam sebuah
masyarakat. Hal inididasarkan bahwa mitos berkaitan dengan kata-kata dan
tindakan makhluk-makhluk supernatural dan memperlihatkan suatu
kekuatan, maka merekapun menjadi teladan yang mesti ditiru dan diulang
kembali oleh manusia dalam tindakan-tindakan tertentu.Malinowski dalam
karyanya Magic, Sience, Religion, and Other Essay mengatakan;
while the myth is believed to be the real cause which has brought about the moral rule, the social grouping, the rite, or the custom.17
Sebagaimana pendapat Malinowski tersebut mitos dalam masyarakat
memiliki fungsi yang sangat penting. Maka dapat dilihat bahwa ritual,
upacara,adat, dan organisasi sosial terkandung rujukan-rujukan yang
mengarah pada mitos dan dianggap sebagai hasil dari mitos dan dapat
menerangkan mengapa hal atau tindakan yang dilakukan merupakan hal
yang tepat untuk dilakukan. Ini berarti bahwa mitos mempunyai kekuatan
yang bekerja dalam system kepercayaan suatu budaya masyarakat.
Dalam buku Fenomenologi Agama, Dhavamony mengungkapkan
pendapat bahwa mitos berkaitan dengan dicta (kata-kata) dan gesta
(tindakan) makhluk-makhluk supranatural dan memperlihatkan kekuatan,
mereka pun menjadi teladan yang mesti ditiru dan diulang kembali oleh
manusia dalam ritualnya. Hal ini disimpulkannya dari analisa etnolog G.
Strehlow dalam penelitiannya kepada suku Arunta yang menyatakan bahwa
16B. Malinowski.Magic, Science, Religion, and Other Essay, 78-79. 17Ibid., 85.
18
tindakan-tindakan ritual yang sedemikian rupa memang dikehendaki leluhur
mereka.18 Maka dengan menggunakan analisa diatas dapat dibuat kesimpulan
bahwa segala bentuk tindakan dalam ritual didorong atas kepercayaan bahwa
leluhur yang menghendaki tindakan yang demikian. Demikian halnya
pendapat Eliade dalam melihat fungsi utama mitos adalah menentukan
tuntunan yang mesti diikuti oleh semua kegiatan ritual maupun kegiatan-
kegiatan manusia yang utama misalnya; makan, seksualitas, pekerjaan,
pendidikan dan sebagainya. Untuk bertindak sebagai manusia yang
bertanggung jawab, manusia menirukan tindakan para dewa yang mesti
diteladani mengulang kembali tindakan mereka, seperti makan, aktivitas
social, militer ekonomi budaya militer maupun kegiatan lainnya.19 Disisi lain
Malinowski berpendapat bahwa fungsi utama dari mitos dalam kebudayaan
primitif adalah untuk mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan
kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin efesiensi dari
ritus serta memberi peraturan-peraturan praktis untuk menuntun manusia.20
Jadi, menurut antropologi fungsionalis, mitos adalah kekuatan yang
mempranatakan masyarakat yang memainkan peran penting dalam hidup
social. Dalam melihat fungsinya melalui pendekatan antropologi,
Malinowski berpendapat bahwa mitos harus dirumuskan menurut fungsinya,
mitos merupakan kisah yang diceritakan untuk menetapkan kepercayaan
tertentu, berperan sebagai peristiwa pemula dalam suatu upacara atau ritus
atau sebagai model tetap dari perilaku moral maupun religius. Karenanya
mitologi dari suatu masyarakat adalah kumpulan cerita yang terjalin dengan 18M. Dhavamony. Fenomenologi Agama, 153. 19M. Eliade. Sacred and Profane, 98. 20B. Malinowski. “Myth in Primitive Psychology” dalam Magic, Science and Religion, 101.
19
kebudayaan mereka, yang menyuarakan keyakinannya, menentukan ritus,
yang berlaku sebagai peta peraturan social maupun sebagai model tingkah
laku moral.21
Dari beberapa pendapat diatas maka mitos dalam sebuah peradaban
manusia telah menghasilkan aturan-aturan moral yang menata tindakan
masyarakat, pengelompokan masyarakat, ritual dan adat istiadat dalam
masyarakat. Dengan melihat fungsi mitos, maka mitos menjadi penting
dalam suatu masyarakat bukan semata-mata karena memuat cerita-cerita
yang berhubungan dengan kejadian-kejadian ajaib atau mengenai peristiwa
mengenai makhluk adikodrati, melainkan mitos tersebut memiliki fungsi
eksistensial bagi manusia.22 Sejauh ini G.S Kirk23 mengelompokan mitos
secara tipologis sesuai dengan fungsinya dalam beberapa kelompok:
1. Kelompok mitos yang bersifat cerita dan isinya menghibur yang termasuk
cerita tentang tokoh-tokoh terkenal, pahlawan dari masa lampau dan cerita
lain. Cerita-cerita seperti ini tidak hanya menghibur tetapi juga melalui
pewarisnya dapat mengagungkan kembali tokoh tersebut. Caranya dengan
mementaskan adegan-adegan cerita tersebut.
2. Kelompok mitos yang bersifat operatif. Merupakan mitos-mitos yang
biasanya dipresentasikan kembali secara tetap melalui kegiatan ritual dan
seremonial. Termasuk dalam kelompok mitos-mitos yang dipakai sebagai
21B. Malinowski. Magic, Science and Religion, 150. 22M.Dhavamony. Fenomonologi Agama,150. 23Robert P. Borrong, Berakar Dalam Dia Dan Di Bangun Diatas Dia.(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2002), 180.
20
landasan validitasi bagi adat dan lembaga-lembaga masyarakat suku,
termasuk dalam sistem religinya.
3. Kelompok mitos yang bersifat spekulatif dan bermaksud menjelaskan
misalnya tentang asal mula suatu realitas.
4. Kelompok mitos eskatologis yang menceritakan tentang kehancuran dunia
ini dan penciptaan dunia baru.
Menurut Dhavamony, ada bermacam-macam bentuk mitos dan ia
mengelompokan sebagai berikut.24Pertama : mitos penciptaan, yaitu mitos
yang menceritakan alam semesta yang sebelumnya tidak ada. Kedua: mitos
kosmoginik, mitos yang mengisahkan penciptaan alam semesta dengan
menggunakan sarana yang sudah ada. Ketiga: mitos asal-usul, mitos yang
mingisahkan asal mula atau awal dari segala sesuatu. Keempat: mitos
mengenai para dewa dan mengenai makhluk adikodrati. Kelima: mitos yang
terkait dengan kisah penciptaan manusia. Keenam : mitos yang berkenaan
dengan transportasi.Dengan cara pemahaman seperti ini, secara ontologis
maupun epistemologis, proses dan pengalaman bagaimana komponen-
komponen serta konstruks mitos itu dibangun akan diketahui dan dipahami.
Apakah mitos itu dibangun atas kerangka konsep kosmologi masing-masing
situasi, ataukah dibangun atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, atau
sebagai representasi agama, sehingga ia selalu sarat dengan makna. Borrong
juga memperkuat fungsi operasional mitos yaitu sebagai paradigma bagi
kelompok masyarakat yang memilikinyakarena memuat petunjuk-petunjuk
24Dhavamony, Fenomenologi Agama, 154-166.
21
untuk bagaimana bersikap dan berperilakudengan mereprensentasikan mitos
melalui aktivitas aktivitas ritual dan seremonial, mereka percaya akan
mendapatkan manfaaatnya bagi kelangsungan hidup mereka ditengah
dunianya.25
2.2 Ritual
Sebagaimana pendapat para antropologbahwa mitos dan ritual saling
berkaitan satu sama lainnya. Cukup sulit untuk memisahkan antara keduanya,
walaupun diatas telah banyak pendapat bagaimana mitos mendasari bentuk-
bentuk ritual. Seperti pendapat Catherine Bell bahwa ritual bergantung pada
mitos, karena cerita yang menjamin orang bahwa apa yang mereka lakukan
dalam ritual itu adalah apa yang dilakukan di usia primordial ketika para dewa,
pahlawan, atau nenek moyang memerintahkan kosmos, menciptakan dunia,
dan mendirikan model ilahi untuk semua kegiatan yang bermakna bagi
manusia.26Disisi lain dapat dilihat pula bahwa ritual mempunyai peran yang
penting. Boleh jadi ada banyak ritual pada masa silam tanpa mitos-mitos,
tetapi pada tingkah laku manusia dapat diamati ada dua fenomena bahwa ritual
dan mitos berjalan seiring. Dengan ritual, mitos dapat dijelaskan dan mampu
bertahan. Seperti yang diakui Eliade bahwa dalam masyarakat tradisional
mitos tidak pernah lepas dari ritual: menceritakan kisah suci memerlukan
ritual, dan dengan dasar pemeragaan ritual peristiwa dalam cerita adalah
25Robert P. Borrong, Berakar Dalam Dia Dan Di Bangun Diatas Dia, 182. 26Catherine Bell, Ritual Perspective and Dimension. (New York: Oxford University Press, Inc. 2009), 11.
22
pembacaan mitos itu sendiri.27 Maka keduanya antara mitos dan ritual
mempunyai fungsi yang saling berhubungan. Mitos tidak akan bertahan tanpa
ritual dan mitos menjadi dasar tindakan dalam ritual-ritual pada sebuah
peradaban manusia.
Eliade menjelaskan ritual dengan pendekatan yang cenderung
menempatkan ritual berdasarkan hubungan yang lebih dekat dengan
mendasaristruktur dari semua pengalaman religius. Eliade berpendapat;
rites are reenactments of the deeds performed by the gods in the primordial past and preserved in mythological accounts.28
Ritual adalah bentuk tindakan-tindakan yang dibangun untuk menampilkan
kembali tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh para dewa pada masa
primordial dan terus dipelihara dalam catatan mitologis. Oleh sebab itu ritual
bukan hanya bersifat teknis ataupun reaksional dan berkaitan dengan
penggunaan cara-cara tindakan yang ekspresif dari hubungan social.
Pemeragaan-pemeragaan dalam ritual adalah cara manusia mencapai
kesempurnaan sesuai dengan ajaran mitos dengan meniru apa yang pernah
dilakukan para dewa.29 Menurut Eliade, dengan mengulang tindakan para
dewa hal ini memberi dampak, pertama dengan meniru para dewa, dalam
realitasnya manusia tetap dalam keadaan kudus, kedua dengan reaktualisasi
secara terus menerus dengan gerakan ilahi paradigmatik, dunia
27Catherine Bell, Ritual Perspective and Dimension. (New York: Oxford University Press, Inc. 2009),11. 28Ibid. 29Eliade,The Sacred and The Profane, 100.
23
inidikuduskan.30Misalnya dalam contoh yang diberikan Eliade, makna
persembahan kurban dan praktik yang mengaitkan seksualitas dan kesuburan
(wanita telanjang menabur benih di malam hari dan festival carnivalesque)
bukan didasarkan atas keyakinan primitif bahwa kekuatan yang suci yang
harus diulang musiman tapi tindakan ini secara khusus mengulangi kegiatan
mitos yang menciptakan alam semesta.31 Dari berbagai contoh ritual yang
diberikan Eliade dalam karyanya Cosmos and History; The Myth of The
Eternal Return,32ia memberikan beberapa contoh bentuk-bentuk ritual yang
dipandang amoral dalam masyarakat sekuler. Misalnya persembahan gadis
kepada dewa Python di India, festival pada perayaan panen di Eropa, di Cina,
pasangan muda keluar di musim semi dan menyatu di rumput dengan tujuan
merangsang "regenerasi kosmik" dan "perkembangan universal.”Kembali pada
pendapat Eliade yang menyatakan;
rituals imitating devine gestures or certain episodes of the sacred drama of the cosmos the legitimization of human acts through an extra human model.33
Pendapat Eliade diatas mengungkapkan bahwa ritual sebagai tindakan
yang menirukan gerakan ilahi atau episode tertentu dari drama suci kosmos
mendapatkan legitimasi dari tindakan oleh manusia yang luar biasa. Meskipun
hal ini menyangkut hubungan seksual dalam ritual-ritual tertentu. Eliade
berpendapat bahwa dalam kasus upacara penyatuan seksual, individu tidak
lagi hidup dalam waktu profan dan tanpa makna karena dia meniru arketipe
30Ibid, 99. 31Catherine Bell, Ritual Perspective and Dimension, 11. 32M. Eliade, Cosmos and History; The Myth Of The Eternal Return. (New York Herper & Brother,1959), 21-26. 33Ibid, 27.
24
ilahi, ruang profan terhapuskan oleh simbolisme pusat, sebagai pengulangan
isyarat arketips, dan berpartispasi dalam waktu mistis.34 Dengan demikian,
walaupun pandangan dunia sekuler (profane) tindakan ritual itu dianggap
sebagai tindakan amoral, namun ketika ritual itu sebagai pemeragaan dari
cerita dalam mitos dan menjadi bagian dalam wilayah yang sacral maka ritual
tersebut tidak dapat dikatakan amoral. Dalam hal ini,Eliade menegaskan
sepertinya hal ketidakmoralan yang menjadi aturan di Eropa Tengah dan Utara
pada saat festival pemetikan hasil panen dan ketika diperjuangkan otoritas
rohaniawanhanyasia-sia.35Seperti pendapat Levi Strauss dalam melihat
ketidakmoralan dalam kisah mitos yang dipandang suci oleh satu kelompok,
ternyata dipandang biasa-biasa saja oleh kelompok lain.36Sebab dengan
melakukanlagi perbuatan yang dilakukan oleh para dewa dalam ritual,
partisipan dapat mengidentifikasi sejarah pada waktu sekarang dengan periode
primodial suci para dewa sebelumnya.Singkatnya, bagi Eliade, ritual adalah
pemeragaan acara kosmogonik atau cerita yang diceritakan dalam mitos.
Disini mitos terlihat memainkan peran yang begitu penting dalam membangun
sistem dimana setiap kegiatan memiliki arti oleh ritual untuk mengidentifikasi
kegiatan di sini dan sekarang.
Sedangkan menurut Dhavamony, bahwa ritual berkaitan dengan
pengertian-pengertian mistis, yang merupakan suatu pola-pola pikiran yang
34M. Eliade, Mitos Gerak Kembali Yang Abadi/ The Myth Of The Eternal Return Or, Cosmos And History. Terj: Cuk Ananta.(Yogyakarta:Ikon Teralitera,2002), 37. 35Ibid., 28. 36Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra. (Yogyakarta: Kepel Press, 2009), 77.
25
dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri adi rasa.37Dengan
mengacu pendapat Dhavamony dapat ditarik satu kesimpulan bahwa ritus
sebagai upaya penghadiran kembali pengalaman religius. Pengalaman tersebut
diungkapkan dalam bentuk-bentuk tindakan simbolis dalam ritus. Seorang
religius mempertahankan pengalaman asli religiusnya dengan relasinya yang
melampaui pengalaman biasa dengan yang ilahi,ia mengungkapkan itu lewat
bentuk-bentuk simbolis yang bersifat empiris dan menjadi bagian dari wilayah
profane. Menurutnya gejala atau sebagian darinya tidak diperoleh melalui
pengamatan atau tidak dapat disimpulkan secara logis dari pengamatan yang
tidak dimiliki oleh pola-pola pikiran itu sendiri. Hal ini yang kemudian
menurutnya membedakan antara ritual dengan upacara yang hanya bersifat
teknis atau reaksional dengan mengunakan cara-cara tindakan yang ekspresif
dari hubungan social.38 Bentuk-bentuk pemeragaan dalam ritual ini yang
menimbulkan pertanyaan, mengapa manusia dalam segala budaya membebani
aktivitas hariannya dengan pola-pola perilaku ritual?
Sebagaimana yang dikutip oleh Mariasusai Dhavamony dan
Raymond Firth dalam penelitian terhadap ritus masyarakat Tikopia,39 ritus
dalam kehidupan masyarakat religius sangat penting yaitu sebagai sarana
untuk mempertahankan kontak dengan roh-roh yang berkuasa dan membuat
mereka mempunyai perhatian yang menguntungkan bagi suku Tikopia dengan
mengaruniakan makanan dan kesehatan. Dalam ritus tersebut bukan hanya
sekedar menjalin kontak dengan penguasa mistis, namun ritus juga dapat
37M. Dhavamony, Fenomenologi Agama, 175. 38M. Dhavamony, Fenomenologi Agama, 175. 39Ibid., 181-183.
26
digunakan sebagai rekonsili sosial dan reintegrasi setelah suatu masa tidak
harmonis atau ketakutan karena kecemasan-kecemasan pribadi dalam
kehidupan bersama. Menurut Mircea Eliade, ritus mengakibatkan suatu
perubahan ontologis pada manusia dan menstranformasikanya kepada situasi
keberadaan yang baru misalnya penempatan kedalam lingkup yang
kudus.40Pada dasarnya, dalam makna religiusnya ritual merupakan prototype
yang suci, model-model teladan, arketipe primordial sebagaimana dikatakan
ritual merupakan pergulatan tingkah laku dan tindakan makhluk ilahi atau
leluhur mistis.
Jika dalam mitos yang kudus mendekati manusia, maka sebaliknya,
melalui ritus, manusia berusaha untuk mendekat kepada yang
kudus. Persekutuan kembali dengan waktu kudus asal berarti menjadi sewaktu
dengan para dewa, tinggal dalam kehadiran para dewa, walaupun kehadiran
dewa itu misterius dalam arti tidak dapat dilihat dengan mata, tak dapat
ditangkap dengan indra manusia. Ritus memperlihatkan tatanan atas simbol-
simbol yang diobyekkan.41Simbol dalam ritus bukan sekedar simbol biasa,
tetapi telah dipilih dan diatur, simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan
perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti
modelnya masing-masing. Ritus adalah sebagai pendramaan kembali
pengalaman dengan yang kudus.Untuk itu,Dhavamony42 membedakannya
menjadi empat bentuk ritual. Pertama, tindakan magi, ritual ini dikaitkan
dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis.
40M. Dhavamony, Fenomenologi Agama, 183. 41Ibid., 174. 42Ibid., 175.
27
Kedua, ritual dalam tindakan religious, kultus para leluhur. Ketiga, ritual
konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan social dengan
merujuk pada pengertian-pengertian mistis sehingga dengan cara-cara ini
upacara-upacara kehidupan menjadi khas. Keempat, ritual faktitif, yaitu bentuk
ritual yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan atau pemurnian dan
perlindungan atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu
kelompok.
Sehingga dapat ditarik satu kesimpulan bahwa ritus merupakan
tindakan untuk mengaktualisasikan iman seseorang. Sebagai aktualisasi iman,
maka ritus yang dipraktekan manusia religius menjadi sangat beragam.
Meskipun bentuknya beragam, namun secara garis besar hanya ada dua yaitu
ritus inisiasi dan upacara kurban.43 Ritus inisiasi adalah ritus yang merayakan
dan meresmikan penerimaan individu kedalam kedewasaan atau kematangan
religius atau juga kedalam kelompok persaudaraan atau jemaah rahasia atau ke
dalam panggilan tugas religius khusus. Sedangkan upacara kurban sebagai
ritus yang dilakukan manusia religius untuk persembahan diri kepada dewa
lewat suatu pemberian; dan hubungan serta komunikasi yang erat antara dia
dengan dewa ditetapkan lewat keikutsertaan dan ambil bagian dalam
persembahan yang disucikan.
2.3 Relasi Mitos dan Ritus Dalam Sistem Religi
Mitos mempunyai hubungan yang erat dengan ritus. Karena di dalam
ritus, manusia religius meniru tindakan para dewa seperti yang diceritakan
43M. Dhavamony, Fenomenologi Agama, 189-203.
28
dalam mitos.Tindakan-tindakan dewa atau leluhur mistis diulang dan
dihadirkan kembali.Dengan melalui penghadiran mitos di dalam ritus,
masyarakat religius memperoleh dua hal; pertama, dengan meniru para dewa,
manusia tinggal bersama yang kudus, jadi berada dalam kenyamanan. Kedua,
dengan mewujudkan kembali contoh karya para dewa secara kontinyu, dunia
dikuduskan. Jadi sikap dan tingkah laku manusia-manusia religius ikut andil
dalam menjaga kekudusan dunia.
Pengalaman dalam mitos di mana yang kudus mendekati dan
menjumpai manusia,dipresentasikan secara terbalik di dalam ritus. Ritus
menjadi sarana manusia untuk dapat kembali kepada yang kudus. Dalam ritus
manusia yang profan berusaha mendekati yang Kudus dengan mengulang
pengalaman dalam mitos.Pengulangan kembali mitos dalam upacara religius
mengandung penghapusan waktu profan dan menempatkan manusia dalam
waktu religius-magis yang membentuk kekinian abadi dalam waktu
mistis.Mitos bukan sekedar cerita suci, namun mitos harus diaktualisasikan
dalam ritus. Melalui ritus, manusia memulihkan kembali dimensi Kudus dan
eksistensinya dengan belajar lagi bagaimana para dewa menciptakan manusia
dan memberikan berbagai macam pelajaran tentang tingkah laku sosial dan
tentang pekerjaan-pekerjaan praktis.Maka tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
sistem religi, relasi mitos dengan ritus sangat erat dan saling membutuhkan.
Seperti pendapat Clyde Kluckhohn sebagaimana yang dikutip Dhavamony,
mengenai hubungan antara mitos dan ritus sebagai berikut:meskipun
kepentingan relatif dari mitos dan ritus sungguh berbeda, namun keduanya
cenderung secara universal disatukan karena mitos dan ritus memiliki dasar
29
psikologi umum. Ritus merupakan suatu aktifitas obsesif yang diulang-ulang
atau sering merupakan suatu dramatisasi simbolis kebutuhan-kebutuhan
masyarakat, entah ekonomi, biologi, sosial, ataupun seksual.44Dengan
kerangka ini, Dhavamony berpendapat bahwa keyakinan akan sabda dan
cerita, diwujudkan secara konkret dan esitensial dalam ritual karena ritual
menghidupkan dan mengukuhkan kembali keyakinan-keyakinan yang ada
dalam mitos.45Ritual memberi suatu kedalaman arti dan kekuatan vital bagi
hidup religius, sedangkan mitos sendiri memerlukan ritual demi pemahaman
yang penuh dari maknanya.
2.4 Sistem Kepercayaan Jawa
Dalam upacara tradisional Jawa, ritual-ritual kuno masih tetap
berlaku sampai kini.46Kepercayaan terhadap mitos-mitos masih tetap hidup
didalam alam pikiran orang Jawa dari generasi ke generasi. Seperti
pendapatDawami, bahwa sistem berpikir Jawa suka kepada mitos.47Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa segala perilaku orang Jawa masih sulit untuk
melepaskan dari aspek kepercayaan pada hal mistis. Itulah sebabnya sistem
berpikir mistis akan selalu mendominasi perilaku hidup orang Jawa.48 Mereka
percaya pada dongeng-dongeng sakral yang yang dituturkan secara turun
temurun.Kisah-kisah dalam mitos yang dianggap suci tersebut
kemudianmenjadisebuah rujukan atautuntunandalam masyarakat Jawa.Praktik-
praktik mistik dengan model bertapa dan mitologi-mitologi Jawa terus
44M. Dhavamony, Fenomenologi Agama,184. 45Ibid.,185. 46S. Negoro, Kejawen; Laku Menghayati Hidup Sejati.(Surakarta: Cv. Buana Raya, 2000),1. 47S. Endarswara. Mistik Kejawen, (Jakarta: Gramedia, 2006),9. 48Ibid., 8.
30
berkembang dan banyak mitos-mitos lainnya yang intinya kepada
pemujaankekuatan roh-roh. Mitos tidak dapat dipisahkan dalam sejarah hidup
orang Jawa.49Masing-masing mitos dipercaya memiliki local genius atau
kearifan tradisional yang luar biasa dan dijadikan sandaran kehidupan mistik.
Mitos menjadi sangat penting bagi sebagian masyrakat terutama untuk
pedoman tindakan, dijadikan kiblat hidup, ditaati, dipuja dan diberikan tempat
istimewa dalam hidupnya.50Hal tersebut mengindikasikanbahwa mitos
mempunyai kekuatan dan tetap bekerja disebagian masyarakat Jawa. Seperti
halnya dalamkejawen yang selalu dihubungkan dengan dunia mistisyang
misterius dan kompleks yang didalamnya banyak ritual sebagai titik sentral
agama Jawa.51
Untuk memahami keunikan masyarakat Jawa, maka perlu memahami
struktur dansystem kepercayaan Jawa. Menurut Magnis Suseno orang Jawa,
adalah penduduk asli dibagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa
Jawa.52 Kemudian Magnis Suseno memetakan masyarakat Jawa dalam
beberapa kelompok.53 Dalam kebudayaan Jawa dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu kebudayaan pesisir yang menghasilkan kebudayaan Jawa yang
khas dan kebudayan pedalaman yang sering disebutkejawen. Selanjutnya
orang Jawa membedakan dua golongan social yaitu wong cilik dan kaum
priyayi yang didalamnya juga termasuk kelompok bangsawan. Disamping
lapisan-lapisan social dan ekonomi tersebut, kemudian dibedakan lagi menjadi
49Purwadi. Filsafat Jawa. (Yogyakarta: Cipta Pustaka, 2007), 109. 50S. Endarswara. Mistik Kejawen, 5. 51Ibid.,75. 52M. Suseno, Etika Jawa. (Jakarta: Gramedia, 1993), 11. 53Ibid., 12-13.
31
dua kelompok atas dasar keagamaan. Tetapi golongan pertama lebih
ditentukan oleh tradisi-tradisi Jawa pra Islam. Sedangkan golongan kedua
memahami diri sebagai orang Islam dan berusaha hidup menurut ajaran Islam.
Yang pertama dapat disebut kejawen dan yang kedua disebut Santri.
Sosiolog Clifford Geertz, dalam karyanya The Religion of Javayang
diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia Abangan, Santri, Priyayi Dalam
Masyarakat Jawa mengidentifikasikan tiga tipe utama kebudayaan yang
mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa dalam tiga kelompok yaitu
Islam abangan, Islam santri dan priyayi.54Varianabangan mempunyai ciri
ketidakterikatan terhadap tuntunan keagamaan tetapi cenderung memadukan
unsur-unsur dalam kepercayaan Jawa yang berkaitan dengan dunia
kepercayaan dunia roh termasuk juga roh-roh nenek moyang.
Sedangkan Islam Santri lebih menganut ajaran Islam dalam arti
mereka secara tegas tidak toleran terhadap budaya, kepercayaan dan praktek
kejawen.55Sedangkan priyayiadalah kaum aritokrat, kelompok berpendidikan
dan golongan bangsawan. Meskipun ada perbedaan status social antara
abangan dengan priyayi tetapi orientasi keagaaman keduanya tidak jauh
berbeda.56
Dari pengelompokan yang telahdilakukan Geertz,setidaknya dapat
membantu untuk mengetahui dinamika m system kepercayaan Jawa. Dimana
sangat jelas terlihat bahwa kedatangan Islam banyak mempengaruhi
perubahan system kepercayaan dalam masyarakat Jawa. Koentjoroningrat 54C. Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyrakat Jawa, penerjemah: Aswab M dari buku The Religion of Java. (Bandung: PT. Dunia Pustaka, 1981), 6. 55Ibid., 174-177. 56Ibid., 320.
32
menjelaskan bahwa agama Jawa adalah system kepercayaan sinkretik, agama
ini bercirikan kepercayan yang berdasarkan pemujaan kepada nenek moyang,
kepercayaan kepada roh-roh, pemujaan objek dan praktik magis.57Sebab ada
keyakinan bahwa secara puritan bahwa mistik Kejawen adalah milik manusia
Jawa yang telah ada sebelum ada pengaruh lain.58Hal ini cukup menegaskan
bahwa bukan agama pendatang yang membentuk Kejawen justru kejawen
semakin diperkaya dengan kedatangan agama asing yang masuk ke Nusantara.
Pada abad 8 sampai abad 10, Hinduisme dan Budhisme telah memberikan
banyak pengaruh pada agama Jawa. Kemudian abad 14 sampai 17, dengan
masuknya Islam juga memberikan pengaruh signifikan terhadap agama Jawa
dan tipe Islam yang berkembang hingga saat ini.
Menurut Niels Mulder, kejawenyang diungkapkan dalam mistisime
Jawa juga disebut kebatinan.59Menurutnya, kejawentidak termasuk kategori
agama, tetapi mengacu pada etika dan gaya hidup yang terinspirasi oleh
pemikiran Kejawen.60Menurut Mulder kehidupan dalam pandangan orang
Jawa adalah bagian dari kesatuan yang melingkupi atas keberadaannya yaitu
kesatuan eksistensi berpusat pada Yang Mutlak, Jiwa dan
kehidupan.61Kehidupan ini adalah bagian dari kesatuan yang melingkupi dari
keberadaannya. Pada akhirnya muncul paguyuban mistik kejawen ataupun
kebatinan tersebut yang dalam aktivitasnya ingin berusaha mencari hakikat
57Soetarman. Komunitas Sadrakh dan Akar Kontekstualnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.21. 58S. Endraswara, Mistik Kejawen,37. 59N. Mulder, Mystisicme in Java. (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 21. 60Ibid., 17. 61Ibid., 33.
33
alam semesta, intisari kehidupan dan hakikat Tuhan. Konsep inilah seperti
yang dikatakan Mulder sebagai sikap yang paling mendasar dalam kejawen.62
Kejawensendiri tidak mempunyai sumber literature atau bahan tertulis
sebagai sumber yang digunakan secara umum.Seperti saran S. Nagoro bahwa
untuk mengumpulkan bahan mengenai kejawen sebagai sumber-sumber
referensi maka sangat penting dengan memperhatikan dengan cermat berbagai
macam ritual, upacara tradisional, slametan, sesaji, tata krama, tata susila,
pertunjukan wayang kulit legenda-legenda kuno dan lainnya yang ada dalam
masyarakat Jawa.63Maka tidak heran muncul keberbagaian aliran Kejawen
yangmasing-masing mempunyai keunikan dan karifan lokalnya. Hal ini
disebabkan masing-masing wilayah memiliki pedoman-pedoma khusus yang
dijadikan sandaran, memiliki kosmogoni dan mitos-mitos yang diyakini dan
dijadikan kiblat hidup, ditaati, dipuja dan diberikan tempat istimewa dalam
hidupnya.64Sehingga mitologi-mitologi yang dihayati tersebut menjadi cara
pandang hidup mereka.
Menurut Magnis Suseno, pandangan hidup yang khas dunia Jawa
ialah bahwa realitas tidak dapat dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-
pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan bahwa realitas dilihat
sebagai satu kesatuan yang menyeluruh.65Pandangan ini yang kemudian benar-
benar dihayati bahwa kehidupan dan pada hakikatnya seseorang membutuhkan
interaksi yang tidak dapat dipisahkan dengan berbagai dimensi yang ada
disekitar manusia. Pada hakikatnya orang Jawa tidak membedakan antara 62Ibid. 63S. Negoro, Kejawen; Laku Menghayati Hidup Sejati.(Surakarta: CV. Buana Raya, Surakarta, 2000), 67. 64S. Endraswara, Mistik Kejawen,5. 65M. Suseno, Etika Jawa, 82-86.
34
sikap-sikap religious dan bukan religius, dan interaksi-interaksi social
sekaligus merupakan sikapnya terhadap alam, sebagaimana juga sikap
terhadap alam sekaligus mempunyai relevansi sosial. Antara pekerjaan,
interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki. Magnis Suseno
memberikan empat lingkaran yang bermakna dalam pandangan dunia Jawa;
sikap terhadap dunia luar sebagai kesatuan numinous antara alam, masyarakat
dan alam adikodrati, penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam
numinous, pengalaman keakuan sebagai jalan ke persatuan dengan yang
numinous dan penentuan semua lingkaran pengalaman oleh Yang Ilahi, oleh
takdir. Sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan numinus
antara alam, masyarakat dan alam adikodrati yang keramat yang dilaksanakan
dalam ritus tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri. Alam
dihayati sebagai kekuasaan yang menentukan keselamatan dan kehancuran.
Dalam alam mereka tergantung dari kekuasaan-kekuasaan adiduniawi yang
tidak dapat diperhitungkan yang disebut alam gaib. Sifat gaib alam
menyatakan diri melalui kekuatan-kekuatan yang tak kelihatan dan
dipersonifikasikan sebagai-roh-roh. Ada roh pelindung desa (dhanyang),
memedi, lelembut, dhemit, thuyul.66Roh-roh halus tersbut yang dianggap
menjadi penyebab sakit atau kecelakaan, sukses dan kebahagiaan. Maka,
supaya roh-roh berkenan kepadanya maka ditempat tertentu dipasang
sesajen.67Sesaji merupakan aktualisasi pikiran, keinginan dan perasaan pelaku
untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesaji juga merupakan wacana
66C. Geertz, Religion of Java, 16-29. 67M. Suseno, Etika Jawa, 88.
35
simbol yang digunakan sebgai sarana untuk negosiasi spiritual kepada hal-hal
gaib.68
Kesatuan masyarakat dengan alam adikodrati terlihat dari sikap
hormat terhadap nenek moyang, mengunjungi makam untuk memohon berkah,
untuk meminta kejelasan suatu keputusan yang sulit, memohon kenaikan
pangkat, uang agar hutang bisa terbayar.69 Pada prisnipnya roh leluhur harus
dihormati dan didoakan, sebab dimungkinkan akan memberikan sawab
berkah(peruntungan) kepada penerusnya.70Praktik yang biasa dilakukan oleh
sebagian masyarakat pada saat ini adalah wisata spiritual (pilgrimage) dengan
berziarah kemakam leluhur dan para pujanga Jawa. Tempat (makam)yang
dianggap keramat sebagai wisata budaya spiritual untuk melakukan semedi
dan tirakat.Hal ini dilakukan karena roh-roh gaib dianggap memiliki kekuatan
sakti dan dapat mendatangkan kebahagiaan dan sebaliknya.
Pemujaan roh (animisme) dan benda-benda (dinamisme) merupakan
bentuk religi Jawa dan masih dipraktikan sampai sekarang. Hal ini terlihat
dariadanya ritual dan sesaji ditempat-tempat keramat sebagai bentuk negosiasi
supranatural agar kekuatan adikodrati mau diajak kerjasama.71Jadi dalam
pandangan orang Jawa, mereka mengalami dunia dimana kesejahteraannya
juga tergantung dari apakah ia berhasil untuk menyesuaikan diri dengan
kekuatan-kekuatan roh-roh. Dalam hal inilah konsep ketentraman dan
ketenangan hati merupakan apa yang dicari orang Jawa yang disebut keadaan
68S. Endraswara, Mistik Kejawen, 247. 69M. Suseno, Etika Jawa, 87. 70S. Endraswara, Mistik Kejawen,28. 71Ibid.,78.
36
selamat.72Keadaan selamat ini ditandai dengan terwujudnya keselarasan social
dan keselarasan kosmis.Maka masih banyak sebagian masyarakat terutama
didesa menggelar acara slametanatau disebut kenduren yang dilakukan oleh
keluarga atau kelompok masyarakat.Slametansebagai usaha menjaga dari roh-
roh halus supaya tidak mengganggu dengan demikianterwujud keadaan
selamat atau tidak ada sesuatu yang menimpa.73
Menurut Suwardi Endarwarsa,74 meskipun secara lahiriah mereka
memuja kepada roh dan juga kekuatan lain, namun esensinya tetap terpusat
kepada Tuhan. Hal ini menjelaskan bahwa agama Jawa dilandasi sikap dan
perilaku mistik yang tetap tersentral kepada Tuhan sedangkan roh leluhur dan
kekuatan sakti disebut sebagai perantara.Dalam konsep mistik lebih dikenal
dengan paham panteisme atau manunggaling kawula lanGusti yang
merupakan bentuk sinkritisme. Menurut Rudolf Eisler,75 pengertian panteisme
adalah Tuhan dan dunia tak merupakan dua hakikat yang sungguh terpisah dan
yang diluar yang lain melainkan Tuhan sendiri segala-galanya. Pada
prinsipnya panteisme mempercayai bahwa kekuatan adiduniawi itu ada
dimana-mana. Segalanya itu Tuhan, segalanya itu modus, partisipasi dalam
ketuhanan Tuhan dan dunia itu manunggal. Sedangkan sinkritismemerupakan
bentuk perpaduan budaya dan spiritual yang telah diolah dan disesuaikan
dengan adat istiadat, lalu dinamakan agama Jawa atau kejawen. Manunggaling
kawula lan Gustimerupakan filsafatkejawen, bahwa kesempurnaan hidup
72M. Suseno, Etika Jawa, 94. 73C. Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, 17. 74S. Endraswara, Mistik Kejawen, 75-81. 75S. Endraswara, Mistik Kejawen, 62.
37
manusia dihayati dengan seluruh totalitas cipta, rasa dan karsa.76Berpangkal
tolak spiritual yang tinggi maka dapat mengantarkan sesorang menjadi pribadi
yang adimanusiawi. Dalam keadaan seperti inilah seseorang benar-benar
menyatu danmanunggal dengan Tuhan.77Melalui kesatuan itu manusia
mencapai apa yang disebut pengetahuan tentang tujuan segala apa yang
diciptakan (sangkan paraning dumadi).78 Dalam kesadaran itu yang dapat
mengubah manusia yang memberikan dimensi baru bagi eksistensinya yang
menjadi suatu realitas baru yang membentukpandangan hidupnya. Maka
dalam pandangan hidup Jawa ketajaman moral dan intelektual sangat
diperlukan agar manusia tepat dalam meniti karier hidupnya.79 Sehingga
sangat banyak ditemukan pesan-pesan moral dalam masyarakat Jawa yang
disampaikan baik dalam bentuk literatur-literatur, media seni, dongeng,
kekidungan, kata-kata bijak dari para orang tua. Seperti yang menjadi pesan
dalam serat Wulangrehyang menganjurkan manusia untuk berolah dan berlatih
mengendalikan hawa nafsu sehingga mendapat rasa terhadap pernik-pernik
kehidupan serta petunjuk Tuhan.80
Jika ditelusuri sangat banyak pesan-pesan moral dalam budaya Jawa
yang menggambarkan pandangan hidup Jawa yang menjadi tuntunan hidup
sekarang dan melihat kehidupan pada masa yang akan datang. Pandangan
hidup yang dituang lainnya adalah banda donya mung gadhuhan, anak mung
titipan, drajat pangkat mung sampiran, urip ning donya pira lawase artinya
mistik kejawen mempercayai bahwa harta kekayaan hanya sekedar pinjaman 76Purwadi, Filsafat Jawa, 5-6. 77Ibid.,46. 78M. Suseno, Etika Jawa, 116-117. 79Purwadi, Filsafat Jawa, 86. 80Purwadi, Filsafat Jawa dikutip dari Kapustakan Jawi : karya Poerbatjaraka, 95.
38
sementara, anak hanyalah titipan yang sewaktu-waktu akan diambil
pemiliknya, derajat pangkat sekedar sampiran yg sewaktu-waktu akan diambil,
hidup didunia tidak lama.81 Pandangan diatas mengisyaratkan secara batin
agar manusia hidup didunia lebih waspada dan mengutamakan bekal
hidupsetelah kematian.
Demikian halnya dalam dunia ekonomi, menurut Suwardi
Endarswara, prinsip-prinsip ekonomi Jawa berbeda dengan ekonomi yang
lain.82 Dalam meraih keuntungan tak hanya didasarkan pada manajemen bisnis
semata, melainkan juga tak sedikit yang dilandasi ritual mistik kejawen.
Prinsip ekonomi Jawa untuk meraih keberuntungan tidak dicapai menggunkan
sistem pasar semata. Orang Jawa mencoba menerapkan manajemen batin yang
secara tak langsung akan membuat roda ekonomi lancar.Para pelaku
ekonomibiasanya juga menjalankan mistik Kejawen dengan segala
perilakunya diwarnai ritual-ritual. Paling tidak landasan yang paling menonjol
adalah prinsip bahwa rejeki adalah peparinge pangeran (pemberian Tuhan)
rejeki telah digariskan atau diatur oleh Tuhan. Karenanya keuntungan sedikit
atau banyak bagi mereka tak masalah. Untung rugi tidak diukur dari aspek
material saja melainkan dari spiritual. Maka dalam menjalankan roda ekonomi
selalu dilandasi prinsip nrima(menerima) dan pasrah. Kegiatan ekonomi tak
semata-mata menguruk keuntungan sebesar-besarnya melainkan keuntungan
sedikit tetapi ajeg tidak berhenti. Keuntungan tidak harus melimpah tetapi
jalan terus. Pandangan tersebut menunjukan bahwa bagi orang Jawa tuntutan
terhadap materi bukan pilihan utama dan harus dihindari.
81Ibid.,259. 82Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, 287-288.
39
Disisi lain, bahwa dunia ekonomi Jawa kadang berbau sakral tak
sedikit para pelaku ekonomi jawayang melakukan mistik kejawen dalam
rangka mencari pelarisan dan pesugihan. Dua tradisi yang ditempuh melalui
riual-ritual mistik Kejawen. Itulah sebabnya, mendatangi tempat-tempat
keramat yang dianggap memiliki tuah masih dipraktikan sampai saat ini.
Ditempat keramat tersebut biasanya terdapat makam leluhur yang dianggap
pantas untuk dimintai bantuan agar dirinya kaya atau ekonominya lancar.
Yang dilakukan ditempat itu adalah berdoa, nyekar dan bersemedi agar diberi
kemudahan melaksanakan ekonomi.
Penglarisan dan pesugihan dalam mistik kejawen memang fenomena
yang unik. Praktik ini dilakukan dengan cara mencari keheningan dan
ketenangan batin agar ada koreksi diri dan refleksi kedepan usaha
ekonominya. Bahkan mereka sering menggunakan jimat untuk mendapatkan
kekayaan. Pelaku ekonomi Jawa juga sering menjalankan tirakat sebagai laku
spiritual Jawa yang dilakukan dengan cara sesirik (mencegah) sesuatu.83
2.5 Kesimpulan
Mitos tidak dapat dipisahkan dalam sejarah budaya Jawa. Suatu
realitas bahwa mitos masih mempunyai kekuatan yang masih bekerja dalam
budaya dimasyarakat, dapat dijumpai dalam masyarakat Jawa bahwa mitos
masih dijadikan pedoman, kiblat hidup, ditaati, dipuja dan diberikan tempat
istimewa dalam masyarakat Jawa. Hal ini menunjukan bahwa kepercayaan
masyarakat kepada mitos masih tetap kuat. Mitos juga menjadi tuntunan atau
83Endraswara, Mistik Kejawen, 290.
40
rujukan yang kadang menjadi kewajiban untuk diikuti oleh semua kegiatan
ritual.
Praktik ritualmerupakanpendekatan seseorang dengan makhluk-
makhluk adikodrati, roh-roh nenek moyang dengan tujuan menciptakan
keadaan selamat. Seperti pendapat Dhavamony bahwa ritual merupakan sarana
untuk mempertahankan kontak dengan roh-roh yang berkuasa dan membuat
mereka mempunyai perhatian yang menguntungkan dengan mengaruniakan
makanan dan kesehatan.Sehingga ritual menjadi bagian yang sakral dalam
budaya masyarakat. Oleh karena itu apapun bentuk ritual tidak dapat disebut
sebagai tindakan tidak bermoral.Karena ritual merupakan pemeragaan
kepercayaan dari pengalaman religius yang dijamin oleh roh-roh suprantural.
Demikian halmya dalam masyarakat Jawa, sikap terhadap mitos dan
praktik ritual masih melekat kuat dalam perilaku orang Jawa. Hal ini
didasarkan dari pandangan hidup Jawa yaitukesatuan numinus antara alam,
masyarakat dan alam adikodrati. Sehingga intisari hakikat hidup orang Jawa
adalah mencari hakikat alam semesta, intisari kehidupan dan hakikat Tuhan.
Maka muncul pandangan dunia orang Jawa dalam menghayati hidupnya.
Konsep manunggaling kawula lan Gusti, sebagai titik temu yang harmoni
antara manusia dengan Tuhan.Melalui kesatuan itu manusia mencapai
pengetahuan tentang tujuan segala apa yang diciptakan (sangkan paraning
dumadi). Mulder menegaskan,bahwa kejawen tidak termasuk kategori agama
tetapi lebih mengacu pada etika dan gaya hidup yang terinspirasi pemikiran-
41
pemikiran Kejawen.84 Sehingga dalam pandangan hidup Jawa lebih
mengedepankan ketajaman moral dan intelektual.
84Niels Mulder, Mysticism in Java; Ideologi in Indonesia, 17.