bab 1.docx

Upload: oga-yogananda

Post on 17-Oct-2015

88 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang PenelitianAnak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri sifat khusus. memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam pembentukan karakter seorang anak. Layaknya orang dewasa anak-anak pun mempunyai hak, di antaranya hak untuk mendapat kesehatan serta hak untuk mendapat pendidikan dan pengasuhan yang layak. Berkaitan dengan itu Rika Saraswati menyatakan :[footnoteRef:2] [2: Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009, hlm. 1.]

Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta.Seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi dewasa ini, akhirnya mengakibatkan suatu kebutuhan yang tidak seimbang dengan pendapatan sehingga banyak orang yang mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara melakukan tindakan kejahatan dan pelanggaran guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga terjadi perubahan yang tidak dikehendaki (unintended-change) yang berlangsung diluar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Manusia sejak dahulu kala sudah mengenal adanya kejahatan atau paling tidak sudah membicarakan tentang suatu kejahatan yang terjadi, Donald R.Gressey dalam pendapatnya, bahwa : [footnoteRef:3] [3: Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1990, hlm. 316.]

Kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama terdapat hubungan antara variasi angka kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial dimana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial dimana kejahatan tersebut terjadi dan kedua adalah menentukan proses-proses yang menyebabkan seorang menjadi penjahat dengan menekankan pada bentuk proses seperti imitasi, pelaksaan peranan sosial, asosiasi diferensial, kompensasi, identifikasi, konsepsi diri pribadi dan kekecewaan yang agresif sebagai proses orang menjadi penjahatPembahasan mengenai kejahatan masih tetap merupakan masalah yang hangat dibicarakan orang, baik yang berhubungan dengan kuantitas dan kualitas kejahatan itu, dan lain sebagainya. Yang pasti kejahatan senantiasa muncul silih berganti dan tidak pernah hilang dari muka bumi. Soedjono Dirdjosisworo menginformasikan, bahwa :[footnoteRef:4] [4: Ibid ]

Hukum memang telah diadakan sedemikian rupa untuk mengatur kehidupan manusia, namun demikian pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat masih saja terjadi disana-sini, aparat hukum pun tidak pernah berhenti menangani perkara pencurian, perampokan, penodongan, perampasan, pembunuhan yang disertai dengan berencana dan berkelompok. Perbuatan-perbuatan diatas adalah merupakan suatu kejahatan atau dengan istilah lain tindak Criminal (berasal dari kara Crime atau kejahatan, Criminal yaitu pelaku kejahatan).Tindak pidana ini agaknya cenderung memprihatinkan peningkatan terutama dari segi kualitas dan kuantitas. Hal ini dapat diamati pada berita-berita di media massa, cetak dan elektronik terutama tentang Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan anak dengan Modus operandi yang berbeda-beda dan kejahatan yang bervariasi dengan satu tujuan yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari yang dalam pergaulannya ingin merasakan sesuatu yang lebih dengan apa yang ia dapatkan dari keluarganya dan melebihi teman sederajatnya/sepermainannya, sehingga anak yang dibawah umur itu harus berhadapan dengan hukum yang tidak pernah terbayangkan dalam dirinya.Profil anak Indonesia yang berhadapan dengan hukum :[footnoteRef:5] [5: Unicef, Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta, 2004, hlm. 24.]

1. Usia 13 18 tahunJumlah pelaku anak laki-laki lebih besar daripada anak perempuan2. Latar belakang keluargaa. Pendapatan Orangtua:1) Minim2) Pas-pasan3) Tidak jelasb. Pekerjaan Orangtua1) Supir2) Pembantu rumah tangga3) Dagang4) Petani5) Swasta6) Buruh bangunan7) Pensiunan8) Pedagang barang bekas9) Pedagan ikan10) Buruh pengangkut sampah3. Jenis kenakalan yang dilakukana. Membawa senjata tajamb. Narkotikac. Pengeroyokand. Supire. Uang palsuf. Kejahatan susilag. Perjudianh. Pembunuhani. Penganiayaanj. Pencuriank. Penipuan dan penggelapanl. Persekongkolan jahatDapat dianalisis inti dari suatu pelaku tindak pidana pencurian dengan pelaku anak dengan mayoritas pelaku anak laki-laki adalah suatu ketidakpuasan dalam diri dan pergaulan hidup anak itu sendiri dan setiap pelaku tindak pidana itu masih tergolong anak dibawah umur dan merupakan suatu tindak pidana kejahatan atau pelanggaran hukum.Sebab-sebab kenaikan jumlah anak yang melakukan suatu tindak pidana kejahatan dan pelanggaran atau berhadapan dengan hukum, antara lain :[footnoteRef:6] [6: Ibid. ]

1. Kemiskinan2. Disfungsi keluarga3. Keanggotaan dalam geng4. Pendidikan yang rendahJohn Gray dalam Children are from Heaven menyatakan :[footnoteRef:7] [7: John Gray, Ph.D., Children are From Heaven, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 1. Seperti dikutip oleh M.Joni dalam Hak-Hak Anak dalam UU Perlindungan Anak dan Konvensi PBB tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga.]

betapa anak-anak dilahirkan baik dan tidak berdosa. Namun kita bertanggung jawab untuk secara bijaksana mendukung mereka sehingga potensi dan bakatnya tertarik keluar. Karenanya anak-anak membutuhkan kita (maksudnya orang dewasa) untuk membetulkan mereka atau membuat mereka lebih baik. Anak bergantung pada dukungan kita untuk tumbuh. Pernyataan John Gray tersebut menegaskan bahwa anak dengan segala keterbatasannya tidak berdaya, dan orang dewasalah yang menjadi penentu pada cerah atau suramnya nasib dan masa depan anak. Menurut Peneliti ada dua alasan penting mengapa anak harus dilindungi, pertama anak adalah generasi penerus dan masa depan bangsa, di tangan merekalah nasib bangsa ini dipertaruhkan, kedua anak adalah kelompok masyarakat yang secara kodrati lemah sehingga harus dilindungi.Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, upaya pembinaan dan perlindungan yang dilakukan tidak jarang dihadapkan pada situasi dimana permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. disamping itu, terdapat pula anak yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial. sementara perkembangan jasmaninya terus mengalami perubahan yang sangat cepat dimana dirinya menjadi mudah cemas, emosinya menjadi guncang, mudah tersinggung dan sangat peka terhadap hal apapun. karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut maka terkadang baik itu di sengaja maupun tidak di sengaja sering juga anak melakukan perbuatan yang menyimpang, yang dapat merugikan diri sendiri maupun masyarakat sekitarnya yang berakibat anak tersebut harus berhadapan dengan hukum atau berkonflik dengan hukum. John Gray dalam kemudian menyatakan :[footnoteRef:8] [8: Ibid.]

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Untuk melaksanakan pembinaan dan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak diperlukan secara khusus, hal ini bertujuan untuk mewujudkan penanganan perkara anak delikuensi dengan memperhatikan kepentingan anak dan tidak merugikan fisik dan mentalnya yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Kemudian dihubungkan dengan pernyataan Arief Gosita yaitu :[footnoteRef:9] [9: Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, 1985, Jakarta, Hlm. 14.]

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya.Memberikan perlindungan hukum dan pemenuhan hak-hak bagi anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi kepentingan anak yang berkonflik dengan hukum. dalam rangka perlindungan hukum tersebut, sejak tahun 1959 Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Surat Edaran No. 3 tahun 1959 telah mengatur bahwa dalam perkara pidana yang terdakwanya anak-anak harus dilakukan dengan pintu tertutup, ketentuan ini mengandung pengertian bahwa sidang pengadilan tidak terbuka untuk umum, suatu ketentuan yang menyimpang dari ketentuan umum, bahwa sidang harus terbuka untuk umum.dalam perkembangan selanjutnya, disadari bahwa ketentuan sidang dengan pintu tertutup, masih belum cukup memadai untuk peradilan anak. Padahal undang-undang belum mengaturnya. sehingga kemudian tahun 1967 Badan Pengembangan Hukum Nasional mengeluarkan draft Undang-Undang tentang Peradilan Anak di Indonesia. Kemudian melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. MA/Kumdil/10348/XII/1987 yang secara terbatas mengatur tentang kewajiban bagi Hakim yang mengadili terdakwa anak untuk memeriksa keadaan yang melatarbelakangi perbuatan pidana, serta perintah kepada Pengadilan negeri untuk mempersiapkan diri dalam rangka pembentukan Pengadilan Anak.Dunia hukum dalam beberapa tahun belakangan ini telah mengalami reformasi cara pandang dalam penanganan anak yang melakukan kenalalan dan perbuatan melawan hukum. Kemudian Eva Achjani Zulfa menyatakan :[footnoteRef:10] [10: Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice di Indonesia (Peluang dan Tantangan Penerapannya),Gramedia, Jakarta, Hlm. 1]

Dibanyak negara di dunia, ketidakpuasan dan rasa frustasi terhadap hukum pidana formal ini telah memicu sejumlah pemikiran untuk melakukan upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana yang terjadi di negara tersebut. Permasalahan seputar perkembangan sistem peradilan pidana yang ada sekarang menunjukkan bahwa sistem ini dianggap tidak lagi dapat memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta transparansi terhadap kepentingan umum yang dijaga pun semakin tidak dirasakan.Pernyataan tersebut kemudian dikuatkan oleh Hj Diah Sulastri Dewi menyatakan :[footnoteRef:11] [11: Hj Diah Sulastri Dewi, Implementasi Restorative Justice Di Pengadilan Anak di Indonesia, Varia Peradilan Tahun XXVI No. 306, 2011, Jakarta, Hlm. 79.]

Banyak negara yang mulai meninggalkan mekanisme peradilan anak yang bersifat reprsesif dikarenakan kegagalan sistem tersebut untuk memperbaiki tingkah laku yang dilakukan oleh anak. Para pakar hukum dan pembuat kebijakan mulai memikirkan alternatif solusi yang lebih tepat dalam penanganan anak dengan memberikan perhatian lebih untuk melibatkan anak secara langsung (reintregasi dan rehabilitasi dalam penyelasaian masalah anak, yang berbeda dengan cara penanganan orang dewasa. Setiap lima tahun sekali PBB akhirnya menyelenggarakan kongres yang dikenal dengan nama Congress on Crime Prevention and The Treatment of Offenders. Kongres ini bertujuan untuk membicarakan dan mendiskusikan tentang perkembangan kejahatan, penanggulangannya dan penangan pelaku kejahatan serta berbagai topik terkait. Dalam kongres tersebut dibuka kesempatan bagi sejumlah negara untuk berbagi pengalaman atas sejumlah program yang dikembangkan termasuk juga berbagai permasalahan yang muncul dalam penyelenggaraannya. Dalam kesempatan ini, sejumlah negara juga mempergunakan kesempatan yang ada untuk mengadakan kerjasama dalam rangka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan.Pada kongres yang diselenggarakan di tahun 1990 dan 1995, ada beberapa lembaga swadaya masyarakat dari beberapa negara mensponsori sejumlah sesi pertemuan untuk secara khusus berdiskusi tentang Restorative Justice. Sejak itu berbagai minat dan program serta kebijakan dengan menggunakan pendekatan ini dilakukan diberbagai negara dan menjadi topik yang mengemuka. Oleh karena itu sebagai alternatif dari ketidakpuasan terhadap hukum pidana formal dalam menangani persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana tersebut, Hj Diah Sulastri Dewi menyatakan : [footnoteRef:12] [12: Ibid.]

Anak bukanlah miniatur orang dewasa. Masa anak-anak adalah periode yang rentan dalam kondisi kejiwaan dimana anak belum mandiri, belum memiliki kesadaran penuh, kepribadian belum stabil atau belum terbentuk secara utuh. Dengan kata lain keadaan psikologinya masih stabil, tidak independen, dan gampang terpengaruh. Dengan kondisi demikian perbuatan yang dilakukan oleh anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu sendiri, karena anak sebagai pelaku bukanlah sebagai pelaku murni akan tetapi juga sebagai korban. Anak tidak seharusnya dihadapkan pada sistem peradilan jika ada yang lebih baik demi kepentingan terbaik bagi anak (For The Best Interest of The Child).Kesadaran untuk menjadikan peradilan pidana sebagai langkah terakhir untuk menangani Anak Berhadapan dengan Hukum (Child in Conflict with Law) selanjutnya disingkat ABH tercermin dalam konvensi yang disepakati oleh negara-negara di dunia. Negara-negara di dunia termasuk Negara Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) pada tahun 1990 yang dilengkapi Instrumen Internasional antara lain : Beijing Rules, tanggal 29 November 1985, The Tokyo Rules, tanggal 14 Desember 1990, Riyadh Guidelines, tanggal 14 Desember 1990, dan Havana Rules, tanggal 14 Desember 1990. Yang kemudian dengan diratifikasinya UN Convention on The Rights of The Child (1989) melalui Keputusan Presiden RI No. 36 tahun 1990. Langkah selanjutnya, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 03 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang No. 05 tahun 1998 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Kemudian, Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan AnakKonvensi PBB tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) tahun 1989, telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai anggota PBB melalui keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Dengan Demikian, Konvensi PBB tersebut telah menjadi sumber hukum Negara Indonesia. Dan tema besar konvensi tersebut juga telah ada dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 telah memberikan perlindungan terhadap anak dan menyatakan bahwa Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. demikian juga telah diadopsi dalam beberapa undang-undang yang telah diberlakukan seperti yang telah disebutkan yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya juga mengatur tentang hak asasi anak melalui beberapa pasal. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). UUPA ini dimaksudkan sebagai undang-undang payung (umbrellas law) yang secara generis mengatur hak-hak anak.Kegagalan pencapaian tujuan dari sistem peradilan pidana, khususnya dalam penanganan perkara anak konflik hukum, dapat dilihat dari bukti-bukti yang menunjukkan tingginya angka kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Assistant Project Officer Unicef Bob T Mangun Widjojo pernah mengungkapkan dalam Lokakarya Restorative Justice. Pemulihan Keadilan bagi Anak yang berkonflik dengan hukum, korban, dan masyarakat, yang dilaksanakan pada tanggal 20 april 2006 di Bandung.Setiap tahun ada sekitar 4.000 anak yang dibawa ke pengadilan dan berakhir pada hilangnya kebebasan, yaitu penjara, mereka dicampur dengan orang dewasa. Secara psikologis, kondisi itu dapat mengganggu anak dan setelah keluar dari penjara, mereka pun tertekan karena stigma yang diberikan oleh masyarakat.[footnoteRef:13] [13: Kompas, Proyek Percontohan Restorative Justice, http://www.kompas.com/ download tanggal 11 maret 2012, jam 20.30 WIB.]

Tingginya kasus anak yang harus berakhir di penjara sepertinya tidak sebanding dengan keberhasilan model pemenjaraan menekan Juvenile deliquency. tidak aneh kalau kemudian bermunculan banyak kritik terhadap efektifitas pemenjaraan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana dalam menekan dan menangani kriminalitas, terlebih yang dilakukan oleh anak-anak, salah satu kritikan tersebut, diantaranya diungkap kan oleh M. Foucoult yang menyatakan bahwa:[footnoteRef:14] [14: Foucault, Michael, Disciplin and Punish. The Birth of The Prison, 1997. hal 265-8 dikutip dalam makalah Taufik Hidayat, Tawaran itu Bernama Restorative Justice; Beberapa Contoh Model, Bandung 2006, hlm 1.]

Pertama, penjara tidak mengurangi angka kriminalitas. Kedua, Penjara melahirkan residivisme. Ketiga, Penjara tidak pernah gagal melahirkan orang yang menyimpang. Keempat, Penjara memungkinkan, bahkan menyokong lahirnya organisasi penyimpang yang loyal antara satu dengan yang lainnya, terhirearki, siap untuk saling membatu tindakan kriminal di masa depan. Kelima, kondisi dimana narapidana yang telah dibebaskan acap kali dilabeli dengan residivisme. Terakhir, Penjara secara tidak langsung menghasilkan orang yang menyimpang dengan mengabaikan keluarga narapidana ke dalam lembah kemiskinan. Perkara pencurian dengan nilai barang relatif kecil yang diproses pidana hingga pengadilan dinilai oleh masyarakat sangat tidak adil jika diancam dengan hukuman hingga 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP, perkara-perkara tersebut juga membebani pengadilan, baik dari segi anggaran maupun dari segi perspektif publik terhadap pengadilan oleh karena itu Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP. Dalam Perma nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Rupiah disebutkan bahwa Nilai Rupiah dalam KUHP yang masih menggunakan sistem hukum kolonial sudah tidak sesuai dengan perkembangan Indonesia. oleh karena itu, Harifin Tumpa menyatakan : [footnoteRef:15] [15: Tribun, perma tipiring mampu memberi restorasi hukum, http://www.jakarta.tibunnews.com/ download tanggal 20 april 2012, jam 20.30 WIB.]

Dalam Perma tersebut, nominal denda maupun dalam Pasal pun diubah yaitu dengan melipatgandakan menjadi 10 ribu kali. Seperti pada Pasal Tipiring yaitu Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP terdapat nominal angka Rp 250,- kini dibaca menjadi Rp. 2.500.000,00.- (dua juta lima ratus ribu rupiah) karena dikalikan 10 ribu sehingga perkara tipiring dibawah 2,5 juta tidak perlu sampai kasasi, bahkan tidak dapat dipidana, namun tetap harus menjalani persidangan secara cepat yang dilakukan dalam waktu satu hari.Mahkamah Agung, Kementrian Hukum dam HAM, Kejaksaan Agung, dan Polri, membuat nota kesepahaman menyangkut penerapan batasan jumlah denda dalam tindak pidana ringan (Tipiring) seperti tertuang Perma No. 02 Tahun 2012. Pembahasan materi itu juga berkaitan dengan pembatasan perkara dalam tindak pidana anak, kerugian korban di bawah Rp 2.500.000,00,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) termasuk pembatasan perkara dalam perkara pengguna narkoba, selain perkara Tipiring berikut hukum acaranya. Termasuk tata cara penyelesaian perkara di luar pengadilan. Sehingga penyidik bisa tidak meneruskan perkara tersebut ke persidangan, kalau perkara dianggap masuk klasifikasi Tipiring, perkara anak-anak, perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Diharapkan implementasi Perma No. 02 Tahun 2012 dan (MoU) antara MA, Kemenkumham, Kejaksaan Agung, dan Polri menyangkut penerapan batasan jumlah denda dalam tindak pidana ringan (Tipiring) dapat mengimplementasikan Restorative Justice dalam menyelesaikan perkara-perkara tersebut.Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti merasa terdorong untuk mengadakan penelitian untuk skripsi yang berjudul PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP KASUS PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

B. Indentifikasi MasalahBerdasarkan pemaparan di atas, maka pembahasan dalam penelitian ini akan dibatasi pada permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut :1. Bagaimana kedudukan Restorative Justice menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ? 2. Apakah Restorative Justice dapat diterapkan sebagai alternatif dalam penanganan kasus pencurian yang dilakukan oleh anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ?3. Upaya apa yang harus dilakukan aparat penegak hukum agar Restorative Justice dapat diterapkan dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh anak ?

C. Tujuan PenelitianTujuan yang akan dicapai dari penelitian ini, adalah sebagai berikut :1. Untuk mengetahui dan mengkaji kedudukan Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana di indonesia. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji penerapan Restorative Justice sebagai alternatif dalam penanganan kasus pencurian yang dilakukan oleh anak.3. Untuk mengetahui dan mengkaji upaya yang harus dilakukan aparat penegak hukum agar Restorative Justice dapat diterapkan dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh anak.

D. Kegunaan Penelitian1. Kegunaan TeoritisPenelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum secara umum, terutama bagi perkembangan hukum pidana positif Indonesia baik dalam tataran pidana materiil maupun formil. Khususnya bagi perkembangan Sistem Peradilan Pidana Indonesia.2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan dan masukan kepada aparat penegak hukum sebagai komponen sistem peradilan pidana Indonesia sebagai suatu sumber informasi dan referensi mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak sebagai upaya penanggulangan tindak pidana pencurian ringan yang dilakukan oleh anak di Indonesia, serta dapat menjadi dasar-dasar atau landasan untuk penelitian lebih lanjut.E. Kerangka PemikiranPembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, menyatakan bahwa :[footnoteRef:16] [16: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat, Pembukaan Alinea Keempat, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006, hlm. 2.]

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat tersebut, terdapat dasar Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila. Berkaitan dengan hal itu, H. R. Otje Salman. mengatakan bahwa :[footnoteRef:17] [17: Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 158.]

Pembukaan alinea keempat menjelaskan tentang Pancasila yang terdiri dari lima sila. Pancasila secara substansial merupakan konsep yang luhur dan murni; Luhur, karena mencerminkan nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena kedalaman substansi yang menyangkut beberapa aspek pokok, baik agamis, ekonomi, ketahanan, sosial, dan budaya yang memiliki corak partikular.Status konstitusi sebagai suatu formal rule yang tertinggi dan sebagai the formal main standard bagi segala aturan serta kehidupan bangsa dan negara.[footnoteRef:18] Berkaitan dengan hal tersebut maka penulis sependapat dengan Padmo Wahjono. yang mengatakan bahwa :[footnoteRef:19] [18: Kosasih Djahri, A., Ilmu Politika, Parmaco, Bandung, 1971, hlm. 49.] [19: Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill-Co., Jakarta, 1989, hlm. 63.]

Undang-undang dasar suatu negara selain merupakan dasar dari semua peraturan (tertulis) yang ada (Grundnorm), maka ia merupakan pula sumber mengalirnya peraturan perundangan terutama apabila kita lihat dari segi materi yang diaturnya. Ringkasnya ia merupakan sumber hukum (Ursprungsnorm)Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan suatu hukum dasar bagi negara (Grundnorm) dijadikan suatu acuan dalam pembentukan hukum selanjutnya, yaitu seperti dalam pembentukan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan seterusnya.Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen kedua, berbunyi : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal ini merupakan suatu asas dan landasan dalam Perlindungan Anak dalam berbagai aspeknya di Indonesia, dan sebagai landasan konstitusional yang dituangkan dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen kedua. Sebagai pelaksanaan dari Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen kedua tersebut, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai salah satu korelasi visi konstitusi atau dengan kata lain sebagai pelaksanan dari Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen kedua, yang di dalamnya Undang-undang menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Pasal 1 butir 2 mendefinisikan perlindungan anak sebagai, Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kedua, dalam pasal 16 ayat (1) : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. ayat (2) : setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Dan ayat (3) : Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Ketiga, Pasal 17: ayat (1): Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. Sedangkan ayat (2) menegaskan, Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Keempat, Pasal 18: Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Kelima, Pasal 59: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusu kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotoprika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Keenam, Pasal 64: ayat (1): Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Sedangkan ayat (2) menegaskan, Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui: a. Perlakuan atas anak; b. Penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini; c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus; d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melaulia media massa dan untuk menghindari labelisasi. Dan ayat (3) berbunyi: Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui: a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga; b. Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial dan d. Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Selain sebagai perangkat yang melaksanakan dari Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut merupakan perangkat yang digunakan untuk melaksanakan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Children) terdapat empat Prinsip yang terkandung di dalam Konvensi Hak Anak, yakni : Pertama, Prinsip Non-Diskriminasi artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Kedua, Prinsip yang Terbaik bagi Anak (Best Interest of The Child) yaitu bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau badan legislatif. Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Ketiga, Prinsip atas Hak Hidup, Kelangsungan dan Perkembangan (The Rights to Life, Survival and Development) yakni bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan, disebutkan juga bahwa negara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Keempat, Prinsip Penghargaan terhadap pendapat anak (Respect for The Views of The Child) maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Kemudian dari pada itu dalam Pasal 37 huruf (B) resolusi no.109, dan peraturan minimum standar PBB tentang The Beijing rules, resolusi No.40/33, tanggal 29 November 1985, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Kepres No.36 tahun 1990. Dinyatakan penangkapan, penahanan dan penghukuman/ pemenjaraan harus menjadi langkah terakhir yang diambil dalam penanganan anak yang berkonflik dengan humum dan untuk jangka waktu yang paling pendek/ waktu yang sesingkat-singkatnya. Khusus untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan anak dan hukum acara dalam proses peradilannya maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.Undang-Undang No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan/Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan (Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).Dalam persfektif hukum positif yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pengertian Strafbaar Feit menurut Simons yaitu:[footnoteRef:20] [20: P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 176]

bahwa pencurian bisa dikatakan tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum dan hukum positif Indonesia telah mengatur dan menyatakan tindak pidana ini sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.Dapat dipidananya seseorang tidak terlepas dari suatu tindakan melanggar hukum, baik dilakukannya dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja. Tindakan melanggar hukum itu menunjukan kepada sifat perbuatannya, yaitu sifat yang dilarang dengan ancaman pidana apabila melanggar suatu aturan yang berlaku. Dalam hal ini, apakah orang yang sudah diancamkan, itu tergantung kepada keadaan bathinnya dan hubungan bathinnya dengan tindakannya yaitu kesalahan.Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, No. 166/KMA/SKB/XII/2009, No. 148/A/A/JA/12/2009, No. B/45/XII/2009, No. M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, No. 10/PRS-2/KPTS/2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Dalam SKB ini dalam Pasal 13 butir a: penyidik melakukan upaya penangan perkara anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif untuk kepentingan terbaik bagi anak wajib melibatkan Balai Pemasyarakatan, orang tua dan/atau keluarga korban dan pelaku tindak pidana serta tokoh masyarakat setempat. SKB ini bertujuan agar terwujudnya persamaan persepsi diantara jejaring kerja dalam Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum, dan meningkatkan koordinasi dan kerjasama dalam upaya menjamin perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum serta meningkatkan efektivitas Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan, dan terpadu. Kemudian hal ini dipertegas oleh Susan Sharpe yang menyatakan 5 prinsip kunci dari restorative justice yaitu :[footnoteRef:21] [21: Susan Sharpe, Restorative Justice: A vision for Hearring and Change, Edmonton Victim Offender Mediation Society, Edmonto, 1998. Seperti dikutip oleh Damang, Keadilan Restorasi, www.negarahukum.com, diakses pada tanggal 20 mei 2012, pukul 14:58 WIB.]

1. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;2. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;3. Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari pelaku secara utuh;4. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal;5. Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.Pedoman yang dikeluarkan oleh Kapolri dalam melaksanakan tugas bagi penyidik Polri melalui telegram Kapolri tertanggal 11 November 2006 dengan No.Pol : TR/1124/XI/2006, yang isinya katagori tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang diancam dengan sanksi pidana sampai dengan 1 tahun dapat diterapkan diversi, katagori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana diatas 1 tahun dapat dipertimbangan untuk menerapkan diversi, dan anak kurang dari 12 tahun dilarang untuk di tahan, dan penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum harus mengedepankan konsep restorative justice. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.F. Metode PenelitianUntuk dapat mengetahui dan membahas suatu permasalahan maka diperlukan adanya pendekatan dengan mempergunakan metode-metode tertentu yang bersifat ilmiah. Metode yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :1. Spesifikasi PenelitianDi dalam Penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian hukum yang bersifat deskriptif-analitis, dimaksudkan untuk menggambarkan fakta berupa data realita lapangan dan analisis dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang ada di perpustakaan.a. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan;b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang membantu penganalisaan bahan hukum primer, berupa buku-buku, makalah, artikel berita, serta karya ilmiah lainnya yang relevan dengan masalah yang diteliti;c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia.

2. Metode Pendekatan Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan yuridis normatif. Yuridis normatif yaitu hukum dikonsepsikan sebagai norma, kaidah, asas, dogma, ataupun dalam peraturan perundang-undangan

3. Tahap PenelitianDalam usulan penelitian ini, peneliti menggunakan dua tahap penelitian, antara lain :a. Studi KepustakaanTahapan ini melakukan pengkajian terhadap data sekunder yang teratur sistematis menyelenggarakan pengumpulan data.b. Studi LapanganBerdasarkan kepada metode yuridis-sosiologis, mengumpulkan data-data permasalahan berupa studi kasus, tabel perkembangan kasus dari tahun ke tahun dilakukan dengan cara melakukan studi kasus dan wawancara.

4. Teknik Pengumpulan Dataa. Studi KepustakaanTekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara menganalisis data dan mengkaji beberapa peraturan perundang-undangan yang dikaji terhadap Undang-undang Perlindungan Anak maupun literatur berupa buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji oleh penulis yang akan dicatat secara sistematis sehingga mendapatkan pembahasan terhadap identifikasi masalah yang sudah dibuat.b. Studi LapanganData penelitian lapangan mempelajari penanganan dan penerapan Restorative Justice dalam tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak, yang dilakukan instansi pemerintah yaitu Pengadilan Negeri serta pihak-pihak terkait lainnya, kemudian kendala yang terjadi saat proses penanganan dan penerapan Restorative Justice dalam tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dan wawancara dengan instansi-instansi serta institusi terkait tentang masalah-masalah yang ditemui dalam proses penanganan dan penerapan Restorative Justice.

5. Alat Pengumpul Dataa. Studi KepustakaanAlat yang digunakan adalah alat tulis berupa bolpoin, pensil, buku catatan dan peneliti mempelajari bahan-bahan dari berbagai literatur berupa buku-buku serta perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji oleh penulis dan juga didapatkan dari internet yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas oleh peneliti.b. Studi LapanganDi dalam teknik pengumpil data, peneliti melakukan wawancara dengan instansi-instansi terkait mengenai permasalahan yang dikaji oleh peneliti dan juga mengumpulkan bahan-bahan sebagai pelengkap dari studi kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas oleh peneliti dan di dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan alat perekam berupa tape recorder.

6. Analisis DataAnalisis yang diterapkan sesuai dengan metode pendekatan, maka data yang diperoleh dianalisis secara yuridis-kualitatif. Secara yuridis karena penelitian ini bertitik tolak pada peraturan perundang-undangan yang berfungsi sebagai asas-asas serta hukum positif. Bahan hukum sekunder maupun primer dianalisis dan dihubungkan dengan fakta-fakta di lapangan sehingga dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan secara kualitatif merupakan data dari hasil penelitian kepustakaan maupun lapangan yang disusun dengan baik tanpa menggunakan rumus matematika atau data statistik.

7. Lokasi PenelitianPenelitian ini secara umum dilakukan di bukan hanya di wilayah Bandung dan sekitarnya yang meliputi :a. Perpustakaan1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, beralamat di Jalan Lengkong Dalam No. 17 Bandung;2) Perpustakaan Universitas Pasundan Bandung, beralamat di Jalan Taman Sari No. 6-8 bandung;3) Perpusatakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, beralamat di Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung;b. Instansi1) Pengadilan Negeri Depok Jl. Boulevard, Sektor Anggrek, Komplek Perkantoran Kota Kembang No. 7 Depok, Telp 021 77829167 Fax 021 778291692) Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat, Jl. Karang Tinggal No. 33 Bandung.3) Lembaga Advokasi Hak-hak Anak (LAHA), Jl. Demak No. 5 Antapani, Bandung.Lokasi Penelitian ini dipilih dengan alasan bahwa instansi dan lokasi tersebut memiliki keterkaitan terhadap penelitian yang dilakukan oleh penulis yang mengangkat tema mengenai peranan badan keluarga berencana dan pemberdayaan perempuan Kabupaten Bandung dalam pencegahan dan penanganan kasus tindak pidana perdagangan orang sehingga Institusi tersebut dirasa sangat terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis.

8. Jadwal Penelitian HukumNoJENIS KEGIATANTAHUN 2012

FebMarAprMeiJunJulAgsSepOkt

1Persiapan Judul & Acc. Judul

2Persiapan Studi Kepustakaan

3Bimbingan, UP, Koreksi, Revisi dan Acc untuk diseminarkan

4Seminar UP

5Pelaksanaan Penelitian

6Penyusunan data Bab I sampai dengan Bab V, Bimbingan dan Acc untuk sidang Komprehensif

7Sidang Komprehensif

8Perbaikan, Penjilidan dan Pengesahan, Pengadaan

1