bab 1 pendahuluan a. latar...

37
1 Bab 1 Pendahuluan A. Latar Belakang “Tidakkah pernah kita pikir, bahwa para budak yang malang ini juga merindukan saat-saat seperti ini dimana mereka seperti kita, bisa merayakan kemerdekaan mereka? Atau apakah mungkin setetelah menjalankan kebijakan- kebijakan yang menghancurkan jiwa, kita menganggap semua jiwa manusia telah mati?? ..... Seandainya saya orang Belanda, saya tidak akan mengadakan pesta peringatan kemerdekaan di negeri yang rakyatnya telah kita rampas kemerdekaannya.” *** Als Ik eens Nederlander was - De Express, 19 Juli 1913 * Petikan artikel di atas adalah petikan dari Als ik een Nederlander Was, yang ditulis oleh Soewardi Suryaningrat sebagai upaya menyindir secara satir rencana pemerintah Hindia Belanda yang hendak merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari tangan Perancis. Artikel ini mengakibatkan Suwardi Suryaningrat dan teman-temannya yang tergabung dalam Indische Partij ditangkap dan diasingkan ke Belanda. Alih-alih menyurutkan nyali, pembuangan ini justru membuat Soewardi makin keras terhadap pemerintah kolonial Belanda melalui gerakan Perhimpunan Hindia atau Indische Vereniging di Belanda. Sekembalinya di Indonesia dia melanjutkan gerakan non kooperatif dengan membangun sekolah bumiputera bernama Taman Siswa yang menerapkan sistem pendidikan tersendiri yang menolak sistem pendidikan kolonial. Atas kiprahnya di bidang pendidikan, ia diangkat sebagai Menteri Pendidikan, dan dikenang sebagai bapak pendidikan Indonesia. Umumnya hanya sampai disitulah informasi sejarah yang disampaikan di bangku sekolah, seputar kiprah Indische Partij dalam menyinggung perayaan 100 tahun

Upload: truongcong

Post on 04-Apr-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Bab 1

Pendahuluan

A. Latar Belakang

“Tidakkah pernah kita pikir, bahwa para budak yang malang ini juga merindukan saat-saat seperti ini dimana mereka seperti kita, bisa merayakan kemerdekaan mereka? Atau apakah mungkin setetelah menjalankan kebijakan-kebijakan yang menghancurkan jiwa, kita menganggap semua jiwa manusia telah mati?? .....

Seandainya saya orang Belanda, saya tidak akan mengadakan pesta peringatan kemerdekaan di negeri yang rakyatnya telah kita rampas kemerdekaannya.”

*** Als Ik eens Nederlander was - De Express, 19 Juli 1913 *

Petikan artikel di atas adalah petikan dari Als ik een Nederlander Was, yang

ditulis oleh Soewardi Suryaningrat sebagai upaya menyindir secara satir rencana

pemerintah Hindia Belanda yang hendak merayakan peringatan 100 tahun

kemerdekaan negeri Belanda dari tangan Perancis. Artikel ini mengakibatkan Suwardi

Suryaningrat dan teman-temannya yang tergabung dalam Indische Partij ditangkap

dan diasingkan ke Belanda. Alih-alih menyurutkan nyali, pembuangan ini justru

membuat Soewardi makin keras terhadap pemerintah kolonial Belanda melalui

gerakan Perhimpunan Hindia atau Indische Vereniging di Belanda. Sekembalinya di

Indonesia dia melanjutkan gerakan non kooperatif dengan membangun sekolah

bumiputera bernama Taman Siswa yang menerapkan sistem pendidikan tersendiri

yang menolak sistem pendidikan kolonial. Atas kiprahnya di bidang pendidikan, ia

diangkat sebagai Menteri Pendidikan, dan dikenang sebagai bapak pendidikan

Indonesia.

Umumnya hanya sampai disitulah informasi sejarah yang disampaikan di bangku

sekolah, seputar kiprah Indische Partij dalam menyinggung perayaan 100 tahun

2

kemerdekaan Belanda di tanah jajahan. Kita tidak tahu tentang peringatan tersebut,

seberapa besar dan dimana, dan apa dampak pameran tersebut setelahnya. Saya baru

menyadari peristiwa ini setelah membaca artikel tua yang kemudian memperkenalkan

saya pada sebuah peristiwa Pameran Kolonial Sentiling yang pernah diselenggarakan

di Semarang, tepatnya di tempat dimana saya pernah sekolah selama 3 tahun,yaitu

SMA 1 Semarang. Ini mengejutkan saya.

Pameran yang dalam pelafalan masyarakat Semarang kemudian disebut

‘Sentiling’ yang merupakan verbastering dari Koloniale Tentoonstelling 1 , ini

berlangsung pada tanggal 20 Agustus hingga 22 November 1914 sebagai perhelatan

untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis. Acara ini bukan

pameran atau pasar malam biasa, namun merupakan ajang bergengsi yang ingin

ditunjukkan Belanda atas keberhasilan dalam pendudukannya di Nusantara.

Pameran ini dihelat di lahan seluas 26 hektar yang berisi puluhan paviliun stan

pameran yang mewakili kawasan administratif Belanda beserta kerajaan-kerajaan

Nusantara, perusahaan-perusahaan serta perkebunan besar di Hindia Belanda maupun

asing, serta stan-stan negara sahabat.2 Acara ini sangat besar sehingga diketegorikan

sebagai ekspo dunia yang tercatat dalam daftar ekspo terbesar dunia pada eranya.

Setelah Pameran Kolonial Sentiling. Hingga kini belum ada satu pameran besar di

Indonesia yang masuk dalam daftar tersebut.

Ironisnya, sebagai sebuah event besar yang pernah diselenggarakan, hingga saat

ini tidak ada catatan sejarah yang dapat diakses masyarakat. Tak heran jika peristiwa

1 Untuk selanjutnya Koloniale Tentoonsteling akan disebut sebagai Pameran Kolonial Sentiling, Untuk

membedakan dengan beberapa Koloniale Tentoonstelling yang pernah diselenggarakan di beberapa negara lain, juga membedakan dengan pameran-pameran dikota-kota lain, seperti Pasar Gambir atau Pasar malem Seteran di Semarang pada tahun-tahun berikutnya.

2 Pratiwo, 2004: 9-10

3

ini hilang dari ingatan masyarakat. Pengetahuan masyarakat pada umumnya atas

pameran ini hanya terbatas pada gugatan Soewardi Soerjaningrat seperti dalam petikan

di atas.

Kini setelah 100 tahun peristiwa itu berlangsung, karena berkonsep pasang

bongkar, di eks lokasi Pameran Kolonial Sentiling sudah tak ditemukan lagi satu

artefakpun yang dapat dijadikan pengingat atas peristiwa tersebut. Warga Semarang

pun kebanyakan sudah lupa pada peristiwa tersebut. Saat ini situs lokasi Pameran

Kolonial Sentiling telah berubah rupa. Hanya sebagian kecil dari lapangan utama plasa

pameran tersebut masih ada. Walau sempat dikenal dengan nama lapangan Sentiling,

namun pada tahun 1980an berganti nama menjadi Lapangan Tri Lomba Juang.

Sebagian lahan menjadi kawasan hunian, dan sebagian lain, karena dekat dengan

simpanglima -pusat perekonomian Semarang-, menjadi kawasan bisnis. Yang menarik

adalah sebagian besar eks area pameran berubah fungsi menjadi institusi pendidikan.

Setidaknya ada 9 lembaga pendidikan setingkat SMP hingga Perguruan Tinggi berada

di kawasan tersebut, termasuk sekolah saya, SMA Negeri 1 Semarang.

Membayangkan kembali situs tersebut dalam dua waktu yang berbeda

memunculkan dua lanskap visualitas, dulu dan sekarang. Lanskap pertama berlatar

belakang suasana kolonial, diawal politik ekonomi liberal sedang menjadi panglima,

sehingga ekspo tersebut memang dibutuhkan sebagai media untuk mempromosikan

Hindia Belanda di panggung ekonomi dunia. Sedangkan lanskap kedua berlatar

belakang pembangunan yang cukup masif di sekitar lokasi bekas pameran di kota

Semarang sebagai tuntutan atas arus globalisasi pasar yang kembali mengemuka dalam

beberapa tahun kedepan yang ditandai semakin masifnya pembangunan fisik yang

4

bertujuan melayani investasi atau modal. Beberapa institusi pendidikan yang berdiri di

lokasi tersebut seperti menjadi pelayan atas kebutuhan tersebut.

Mencermati lanskap dari lokasi Pameran Kolonial Sentiling 1914 dulu dan

sekarang merupakan sesuatu hal yang menarik. Kedua lanskap tersebut tumbuh

menjadi ruang-ruang yang didiami oleh sekelompok warga (baik berdomisili maupun

transit sebagai tempat kerja atau sekolah). Tentu saja masing-masing secara individu

maupun kelompok tentu memiliki pengetahuan, memori, prediksi maupun pandangan

dalam melihat perubahan lanskap di sekitarnya.

Penelitian ini mencoba memunculkan visualitas yang mengemuka tentang

peristiwa dan lanskap Pameran Kolonial Sentiling 100 tahun yang lalu, melalui alat

bantu visual berupa dokumentasi fotografi, dengan membandingkannya dengan situasi,

kondisi serta lanskap saat ini melalui kacamata pandang sivitas SMA 1 Semarang.

Sekolah ini dipilih karena berada pada salah satu venue Pameran Kolonial Sentiling

yaitu di kawasan kelurahan Mugasari kota Semarang, dan memiliki banyak kemiripan

ruang dengan Pameran Kolonial Sentiling 100 tahun lalu.

Penelitian ini diharapkan akan dapat menjadi sebuah media refleksi guna

membaca relasi-relasi dan ideologi yang bermain dalam perubahan lanskap saat ini.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Pameran Kolonial3di Semarang adalah event yang diselenggarakan pemerintah

kolonial Belanda dengan tujuan mempromosikan Hindia Belanda ke pasar

Internasional. Hal ini terkait dengan program liberalisasi yang dijalankan pada masa

3 Mrazek, Rudolf. 2006. Enginers of Happyland: 66-69

5

tersebut, setelah program tanam paksa dianggap tidak lagi maksimal dalam

memberikan pemasukan dan mendapatkan kritik yang tajam akibat banyaknya

penyimpangan yang akhirnya merugikan pemerintah kolonial sendiri.

Di sisi lain liberalisasi dapat dilihat sebagai tonggak berlangsungnya kapitalisasi

modal yang diterapkan secara resmi pada era modern di Hindia Belanda. Pada masa

tersebut, pemerintah Hindia Belanda menggenjot sebesar mungkin modal untuk

bekerja di tanah Hindia Belanda. Dampaknya selain banyak perusahaan swasta berdiri,

banyak juga modal asing masuk dalam berbagai sektor. Hal ini juga mengakibatkan

arus perdagangan umum lainnya meningkat, baik berupa barang konsumsi sehari-hari

maupun bahan dan alat produksi lainnya.

Dalam situasi seperti ini rakyat tidak lagi sekedar dilihat sebagai rakyat biasa

yang harus patuh pada penguasa, namun dilihat sebagai pasar, baik pasar yang

diharapkan menyerap hasil produksi, juga disisi lain berperan sebagai pasar tenaga

kerja. Rakyat dalam perspektif kapitalistik seperti ini tentu saja sudah bergeser dari

perspektif abdi.

Perbedaan cara pandang terhadap rakyat yang berubah seperti di atas tentu saja

berpengaruh pada cara penggunaan ruang. Penjualan dan belanja merupakan tujuan

dari produksi, membuat banyak hal harus dibingkai secara cantik, besar dan bergengsi

untuk menunjukkan citra bagian dari trend pasar. Tidak terkecuali dengan penggunaan

ruang pada saat Pameran Kolonial Sentiling maupun pada situs yang sama hingga saat

ini, display yang cantik, besar dan bergengsi. Saat ini sistem kapitalistik masih menjadi

sistem ekonomi yang dominan, dan kawasan dimana situs Pameran Kolonial Sentiling

pernah dilaksanakan telah menjadi kawasan pendidikan yang dikitari kawasan bisnis

6

utama di kota Semarang yang digerakkan oleh sistem ekonomi pasar. SMA 1

Semarang merupakan salah satu sekolah besar dan pertama di kota Semarang. Sebagai

situs yang berada di kawasan pasar kapitalisme, pandangan terhadap sekolah ini dalam

banyak hal tak dapat dilepaskan dari pencitraaan tentang kebesaran institusi, baik

dalam hal fisik sekolah, prestasi, maupun mitos-mitos yang dipercaya merupakan

warisan dari masa lalu yang pernah hidup bersamanya, termasuk momen Pameran

Kolonial Sentiling tahun 1914.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat visualitas warga SMA 1 Semarang terkait

dengan penggunaan ruang dan ideologi yang bermain diantara pengguna ruang-ruang

dalam kawasan tersebut. Penelitian ini akan mempertimbangkan lanskap serta praktik-

praktik penggunaan ruang yang terjadi pada arena Pameran Kolonial Sentiling di masa

lalu dan sebagai SMA 1 saat kini yang ditangkap melalui respon terhadap karya

dokumentasi fotografi pameran Sentiling.

Adapun untuk mempertajam penelitian ini, diformulasikan dalam pertanyaan

sebagai berikut:

Bagaimana ruang lanskap mewujudkan kontestasi Ideologi tertentu?

Dari pertanyaan tersebut digali beberapa pertanyaan turunan sebagai berikut.

1. Bagaimana praktik Ideologi Nama Besar bekerja dalam ruang lanskap

Pameran Kolonial dalam kurun waktu yang berbeda?

2. Apakah Ideologi Nama Besar pada lanskap tersebut bekerja dalam

kesadaran pada pengguna lanskap, dalam hal ini bagi sivitas akademi

SMA 1 Semarang?

7

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merefleksi peristiwa Pameran

Kolonial Sentiling dalam konteks kekinian dalam kaitannya dengan

konstetasi ideologi keruangan yang terdapat didalamnya.

2. Tujuan Khusus

a. Mendiskripsikan bagaimana kontestasi Ideologi Nama Besar tervisualkan

dalam dua lanskap yang telah berubah.

b. Mendiskripsikan praktik keseharian masyarakat yang tinggal di sekitar

lanskap Pameran Kolonial Sentiling yang mempengaruhi atau

dipengaruhi cara pandang mereka terhadap hegemoni dari praktek

Ideologi Nama Besar di lingkungan mereka.

c. Mengaplikasikan metode analisis visual menggunakan alat bantu

fotografi dalam mendiskripsikan ideologi dalam praktik keruangan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritik dan praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis

a. Riset ini diharapkan dapat membantu membangun pemahaman tentang

pengaruh ideologi dalam sebuah praktik sehari-hari pada suatu lanskap.

b. Membangun kembali jembatan pemahaman koneksi dan interkoneksi

ruang dan waktu melalui sebuah lanskap.

8

c. Dapat menjadi media refleksi antara sejarah dan realitas dalam praktik

sosial keseharian.

2. Manfaat Teoritik

a. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah penggunaan media

visual sebagai alat atau metode penelitian.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian tentang praktik keseharian

melalui metode visual dengan pendekatan lanskap.

E. TINJAUAN PUSTAKA

Catatan mengenai Pameran Kolonial Sentiling yang pernah diselenggarakan di

Semarang pada tahun 1914 bisa dikatakan sangat langka. Pengetahuan mengenai

perhelatan ini lain tidak saya dapatkan dari sumber pustaka melainkan melalui

beberapa foto yang dimuat dalam beberapa situs online, antara lain www.Semarang.nl,

kemudian sebuah situs yangsaat ini sudah tidak aktif di update lagi yaitu

www.messias.org.

www.Semarang.nl merupakan website yang dikelola oleh keluarga Oltman,

keluarga berkebangsaan Belanda yang nenek moyangnya pernah tinggal di Semarang

pada masa penjajahan Belanda. Beberapa halaman dalam situs tersebut menyajikan

foto-foto tentang Pameran Kolonial Sentiling yang pernah diselenggarakan di

Semarang. Dalam foto-foto tersebut saya dapat menggambarkan bahwa pameran itu

diselenggarakan di areal yang sangat luas, dengan suasana penataan ruang yang sangat

lega dan elegan. Setiap peserta pameran mendapatkan sebuah ruang paviliun dengan

desain yang sangat khas dan konstruksi sesungguhnya bukan sekedar sajian fasad

9

semata. Pendek kata, tampilan pameran ini bisa dikatakan masih sangat menarik dan

bergengsi walau dibandingkan pameran-pameran serupa di Indonesia saat ini.

Sedangkan www.messias.org merupakan situs yang dikelola diluar kampus oleh

mahasiswa-mahasiswa jurusan sejarah di Semarang yang aktif menelisik perjalanan

kesejarahan kota Semarang beberapa tahun yang lalu.

Catatan ilmiah mengenai perhelatan Pameran Kolonial Sentiling, sangat minim

disampaikan secara penuh. Sejauh ini saya belum menemukan sebuah penelitian yang

mengangkat isu Pameran Kolonial Sentiling tahun 1914 tersebut. Penerbitan ilmiah

yang ada tidak secara khusus membahas Pameran Kolonial Sentiling tersebut, namun

hanya sedikit memberikan informasi tentang peristiwa tersebut dikaitkan dengan

sejarah morfologi perancangan kota Semarang, terutama sebagai tonggak perancangan

perpindahan kota Semarang ke kawasan perbukitan Candi seperti tertulis dalam artikel

Semarang City Plan (Pratiwo, 2004: 9-10).

Dalam tulisannya Pratiwo mengatakan bahwa pameran dibangun sesuai standar

pameran di Eropa dan memiliki konsep serupa dengan Science Park yang dipenuhi

demo perangkat elektronik, permainan tata cahaya dan demo otomotif. Dalam sisi

kebudayaan pameran ini juga mengundang kerajaan Nusantara dan negara sahabat,

perusahaan perkebunan, perusahaan komersial asing dan pribumi sebagai peserta.

Lebih luas dari itu pameran ini membuat Semarang dipenuhi banyak fasilitas umum

yang dibangun untuk menyambut event ini, mulai dari hotel, restoran, hingga angkutan

umum seperti kereta api dan trem. Stasiun Poncol dan Tawang dan Jurnatan dibangun,

jalur trem dibangun menghubungkan kawasan jalan Bodjong ke lokasi pameran, dan

10

dari kawasan Oudestad (Kota Lama) ke lokasi pameran dibangun sebuah jalan baru

yang kini dikenal sebagai Jalan Gajahmada.

Setelah event ini berakhir, seluruh venue dibongkar tanpa menyisakan satu

artefakpun yang dapat digunakan sebagai pengingat perhelatan ini. Namun demikian

Pratiwo menyebutkan bahwa terselenggaranya perhelatan ini menjadi sebuah pemicu

bagi pengembangan kota Semarang kearah perbukitan. Kawasan ini kemudian dikenal

sebagai kawasan kota atas. Perubahan ini merupakan respon dari menurunnya kualitas

lingkungan di daerah perkotaan saat itu, antara lain terkait dengan memburuknya

kualitas drainase dan sanitasi.

Buku yang menyertakan peristiwa Pameran Kolonial Sentiling juga tidak

banyak, antara lain buku-buku yang membahas tentang sejarah umum kota Semarang,

seperti Riwayat Semarang: Dari Sampo sampai Kongkoean, (Liem Thian Joe, 2004).

Buku ini merupakan catatan risalah dan arsip sejarah keturunan Tiong Hoa sejak jaman

kedatangan armada Sam Po Kong hingga dibentuknya komite kongkoean yaitu

pemerintah lokal kawasan Pecinan pada tahun 1930an. Buku lain adalah Semarang:

Beeld Van Een Stad4, terbitan Asia Mayor, yang berisi tentang peran Semarang dalam

periode tahun 1906 hingga akhir masa Koloni Belanda di Indonesia.

Sedangkan artikel yang secara khusus mengangkat Pameran Kolonial Sentiling

ini sebagai obyek kajian adalah artikel Joost Cote berjudul To See is to Know: the

Pedagogy of the Colonial Echibition, Semarang 1914. 5 Pada tulisannya Cote

menyampaikan tentang aspek pengajaran terkait dengan hubungan ras pada era

4 Brommer,Bea, 1995, Semarang: Beeld Van Een Stad, Purmerend:Asia Maior. 5 Cote, Joost, 2000: To See is to know: the Pedagogy of the Colonial Exhibition, Semarang 1914,

artikel pada Paedagogica Historica: International Journal of the History of Education, Vol 36 Issue 1.

11

kolonial pada akhir abad 19 dan awal abad 20 melalui ruang-ruang pameran dalam

event Pameran Kolonial Sentiling di Semarang beserta praktik pengajarannya di dalam

kelas. Cote ingin memperlihatkan bahwa ruang pameran pada Pameran Kolonial

Sentiling yang dapat dianggap sebagai salah satu sebuah ruang pengajaran tentang

hubungan antar bangsa atau ras.

Meskipun sulit mendapatkan penelitian, buku maupun artikel tentang Pameran

Kolonial Sentiling di Semarang, namun sungguh beruntung bahwa penerbitan lain

berupa laporan kegiatan, peringatan dan pamflet acara dapat diakses secara online.

Terbitan tersebut antara lain adalah laporan penyelenggaraan pameran yaitu

Gadenkboek Koloniale Tentoonstelling Semarang 1914, panduan atau brosur pameran

yaitu the Colonial and International Exhibition in Semarang, serta sebuah buku

peringatan penyelenggaraan pameran yaitu Hereneering de Koloniale Tentoonstelling

Semarang 1914 terbitan Koran de Lokomotief, beserta katalog pameran yaitu Officialle

Catalogus Koloniale Teentoonstelling Semarang 1914.

Selain itu didapatkan juga artikel tentang perancangan pameran tersebut yang

ditulis Maclaine Pont, sang arsitek dalam artikel De Koloniale Tentoonsteling

Semarang 1914(Pont:1914) yang dimuat pada jurnal NION.6 Dalam artikel berbahasa

Belanda ini, selain menyertakan peta tapak dan konsep perancangan penataan ruang

pamer dari event tersebut, yang kemudian saya sadari bahwa lokasi penyelenggaraan

Pameran Kolonial Sentiling berada di lokasi aekolah saya yaitu SMA 1 Semarang.

Dalam artikel itu, Pont menjelaskan tentang latar belakang pemilihan situs yang

ternyata terkait erat dengan kebutuhan bisnis saat itu. Pont menyebutkan bahwa lahan

6Netherlands Indie Oud en Niew merupakan Majalah terbitan Belanda yang berisi Jurnal-jurnal tentang

kehidupan masyarakat di Hindia Belanda.

12

yang digunakan untuk kebutuhan pameran tersebut adalah tanah yang dipinjamkan

oleh Oei Tiong Ham, jutawan Tionghoa yang saat itu dikenal sebagai raja gula dan

orang terkaya di kawasan antara Shanghai dan Australia. Oei meminjamkan lahannya

disebutnya tidak cuma-cuma. Ia berharap selepas acara tersebut berlangsung, dengan

dibukanya akses jalan menuju lokasi pameran, diharapkan nilai lahan yang dimilikinya

akan terangkat naik juga. Demikian artikel Pont cukup memberi gambaran lanskap

Semarang pada saat tersebut. Topik tentang kiprah Oei Tiong Ham dalam pergulatan

bisnisnya di pergantian abad 20 tersebut dapat kita temukan Tjwan Ling Liem dalam

Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang (2013)7.

Mengenai referensi atas ruang, praktik penggunaan ruang dan bagaimana ruang

mewujudkan diri sebagai simbol-simbol yang menjadi bagian keseharian dari praktik

memori dari masyarakat yang ada didalamnya, dibahas dalam beberapa buku antara

lain Cities Full of Symbol, tulisan Peter J M Nas (2011)8, yang didalamnya membahas

tentang simbol-simbol kota yang dibangun melalui praktik keruangan seperti lay out,

arsitektur, monumen, jalanan, nama tempat hingga ritual dan mitos lainnya yang secara

umum dibangun atas 4 tipe simbolis yaitu material, diskursif, ikonik dan behavioral.

Sedangkan sebuah buku lain berjudul Urban Memory: History and Amnesia in a

Modern Cities9, tulisan Mark Crimson yang banyak megupas bagaimana membangun

ide tentang memori melalui arsitektur dan ekspresi masyarakat-masyarakat kota yang

terbangun pada daerah-daerah industri maupun pasca industrialisasi. Hal ini tentu

serupa dengan apa yang teradi di kawasan dimana obyek penelitian ini dilakukan.

7 Liem, Tjwan Ling, 2013, Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia. 8 Nas, Peter J.M., 2011: Cities Full of Symbol, Leiden: Leiden University Press. 9 Crimson, Mark, 2005: Urban Memory: History and Amnesia in a Modern Cities, New York:

Routledge.

13

Sedikit bergeser dari pameran itu sendiri, tulisan Soewardi Soerjaningrat yang

sangat terkenal berjudul Als Ik een Nederlanders Was (Soerjaningrat: 1913) menjadi

sumber yang menarik. Soewardi yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hadjar

Dewantara dan diangkat sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, menuliskan rencana

perayaan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis dengan sangat

tajam. Dalam artikelnya yang ditulis pada tahun 1913 tersebut, Soewardi tidak secara

eksplisit menyebutkan bagaimana dan dimana perayaan itu akan dilangsungkan.

Namun demian, dalam artikel yang diterbitkan oleh surat kabar De Exspress ini, kita

dapat membaca betapa wacana kritis sangat berkembang saat itu ditengah represifitas

pemerintah kolonial. Dalam tulisannya yang singkat, Soewardi mengritik

penyelenggaraan perhelatan tersebut sebagai ironis yang menyakiti hati kaum pribumi.

Tidak saja karena peringatan perayaan kemerdekaan tersebut dilakukan di tanah

jajahan, namun juga disebabkan dalam perayaan tersebut orang pribumi diminta pula

untuk mengongkosi perayaan tersebut. Terlebih dari itu orang pribumi tidak diberi hak

politik untuk menyampaikan gagasan terkait dengan perayaan tersebut melalui

parlemen yang dibentuk secara politis oleh pemerintah Hindia Belanda sendiri.

Berbeda dengan artikel Cote yang menyorot tentang ras, tulisan Suwardi lebih

menyorot tentang problem kelas dalam konteks ini.

Selain kepustakaan yang menyorot perihal Pameran Kolonial Sentiling sebagai

obyek penelitian, aspek kesejarahan terkait latar belakang peristiwa tersebut, antara

lain tentang sejarah situs, serta peristiwa yang melatar belakangi penyelenggaraan

event Pameran Kolonial Sentiling. Beberapa buku yang menjadi acuan sejarah seperti

buku Semarang Riwayatmu Dulu jilid 1 karangan Amen Budiman (1978). Dalam buku

14

ini dikisahkan tentang sejarah berdirinya kota Semarang secara komprehensif, baik

menurut data geografis, catatan sejarah dan catatan dari legenda yang hidup

menyertainya.

Selain menurut kacamata sejarah, buku Semarang Tempo Dulu, karangan

Wijanarka (2007) dapat memberi gambaran pada kita tentang sejarah perkembangan

kota dalam perspektif arsitektural. Buku ini berisi tentang sejarah,fungsi, tata letak

terbentuknya kawasan bersejarah di Semarang di awal berdirinya kota hingga

perkembangannya di awal abad 20 yaitu terbentuknya kawasan modern dengan

penekanan kawasan di sekitar Kota Lama Semarang dan kawasan Candi Baru.

Selain terkait dengan sejarah kota, beberapa buku terkait dengan kondisi sosial

masyarakat Semarang juga dapat menjadi referensi penelitian ini. Buku Dewi Yulianti

(2000) berjudul Semaun, Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang

dapat memberi gambaran seberapa kuat tarik menarik ideologi politik dalam

kehidupan sosial masyarakat Semarang di awal abad 20. Selain itu buku Pecinan

Semarang dan Dar Der Dor Kota karya Tubagus Svarajati (2012) juga nenarik

dicermati terkait dengan perspektif kritisnya dalam melihat sebuah perubahan yang

terjadi di kawasan Pecinan Semarang, yang dalam beberapa esai dalam bukunya

dimodifikasikan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan-kepentingan

tertentu yang manfaatnya belum tentu dirasakan oleh masyarakat Semarang khususnya

masyarakat Pecinan. Hal ini dapat menjadi referensi bagaimana membaca perubahan

kawasan secara kritis, seperti yang terjadi dengan perubahan kawasan di ex venue

Pameran Kolonial Sentiling yang telah berubah saat ini.

15

Selain itu terkait latar belakang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari

Perancis yang menjadi tema dari pameran tersebut, maka catatan sejarah mengenai

penjajahan Belanda dan dampak penjajahan Perancis sebelumnya banyak diulas dalam

buku the Short History of Indonesia10 karangan Colin Brown dan A World History of

Nineteenth Century Archaeology, Nationalism, Colonialism and the Past 11 tulisan

Margarita deAz-Andreu.

F. KERANGKA TEORI

Secara garis besar penelitian ini, sebagaimana seperti pertanyaan yang hendak

dijawab, akan memfokuskan pada tiga persoalan, yaitu tentang ruang, memori dan

ideologi. Maka untuk menjawab ketiga persoalan besar tersebut dibutuhkan kerangka-

kerangka teori yang dapat menjembatani ketiga konsep tersebut untuk menjawab

pertanyaan penelitian ini, yaitu teori tentang ruang dan memori yang dapat ditukikan

melalui pemikiran De Carteau, sedangkan persoalan ideologi dalam penelitian ini

akan menggunakan pemikiran Ideologi dan Hegemoni menurut Gramsci. Namun

untuk menyusun kerangka teori tentag penelitian ini ada baiknya kita runut dari teori-

teori tentang Ideologi, yang kemudian akan kita kerucutkan dalam hal-hal yang lebih

detil mengenai ruang, politik bagaimana ruang digunakan dan bagaimana memori

muncul sebagai referensi dalam praktik edeologi.

Ideologi menurut Marx memiliki dua dimensi yang berfungsi untuk

melegitimasi kepentingan kelas dominan. Pertama, yaitu ide sebagai pernyataan

koheren tentang dunia dan dominannya ide-ide borjuis atau kapitalis, dan yang kedua

10 Brown, Colin, 2003: the Short History of Indonesia, Crows Nest: Allen&Unwin 11 Az Andreu, Margarita, 2007:A World History of Nineteenth Century Archaeology, Nationalism,

Colonialism and the Past. New York: Oxfrod

16

adalah pandangan dunia sebagai hasil sistematis dari struktur kapitalisme yang

mengarahkan kita kepada pemahaman yang tidak tepat tentang dunia sosial,

pemahaman kedua ini melahirkan konsepsi tentang kesadaran palsu.

Sebagaimana pemikiran Marx, dalam posisi dua kutub seperti itu, menurut

Gramsci, keduanya memiliki hubungan yang tidak setara. Kelompok berkuasa akan

menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas subordinat melalui

kombinasi antara kekuatan dan persetujuan. Dalam hal ini hegemoni menurut Gramsci

merupakan hasil dari perang wacana dari kelompok-kelompok yang yang ada didalam

sebuah kelompok masyarakat. Ketika salah satu kelompok kelas mampu melampaui

fase korporasinya dan berhasil menyatukan kepentingan kelas dan kekuatan sosial lain

dengan kepentingannya sendiri, dan berhasil menjadi representasi penuh dari kekuatan

sosial utama. (Simon, 1999: 38)

Sedangkan menurut Barker Hegemoni dalam konsepsi Gramsci dikatakan bukan

sebagai sesuatu entitas yang statis melainkan merupakan serangkaian diskursus dan

praktik yang terus berubah dan secara intrinsik menyatu dengan keku atan sosial.

Selanjutnya Gramsci mendifinisikan hegemoni sebagai:

“Proses berkelanjutan pembentukan dan penggulingan keseimbangan yang tidak stabil… antara kepentingan kelompok-kelompok fundamental dan kelompok subordinat...keseimbangan dimana kepentingan kelompok dominan hadir namun hanya pada batas-batas tertentu “(Gramsci dalam Barker 2006:64)

Atau secara sederhana menurut Barker, Gramsci mengatakan bahwa hegemoni

berurusan erat dengan dominasi yang dilakukan suatu kelompok pada kelompok lain

dengan menggunakan atau tanpa mengunakan kekerasan atau ancaman. Tujuannya

17

agar ide-ide dari kelompok dominan dapat diterima sebagai sebuah kewajaran karena

bernilai moral, budaya dan logis.

Ideologi sendiri bagi Gramsci lebih bersifat organik dan historis, yaitu ideologi

diperlukan dalam kondisi sosial tertentu. Ideologi menurutnya:

“…mengatur manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka, dan sebagainya” (SPN 347, Simon, 1999:83)

Lebih lanjut menurutnya, Ideologi bukanlah fantasi perorangan , melainkan

menjelma dalam cara hidup kolektif, sebagaimana menurut Marx disebut ‘solidaritas

keyakinan masyarakat’. Oleh sebab itu ideologi mempunyai eksistensi materialistisnya

dalam berbagai aktifitas praktis dalam masyarakat. (ibid: 84)

Bagi Gramsci ideologi menyuguhi orang-orang dengan aturan bagi tindakan

praktis dan perilaku moral. Ideologi adalah pengalaman yang hidup sekaligus

seperangkat ide sistematis yang perannya adalah untuk mengorganisasi dan mengikat

secara bersama-sama berbagai elemen sosial dalam satu wadah, yaitu dalam proses

penyatuan sosial Dalam proses tersebut, dari berbagai kelas yang menyatu bersama-

sama, satu kelas yang berhasil menyatukan kepentingan-kepentingannya, dari kelas,

kelompok atau gerakan-gerakan lain dalam kepentingannya dalam membangun

kehendak kolektif, menjadi kelas hegemonik. (ibid: 87). Proses penyatuan sosial

tersebut berlangsung dalam dua tataran kesadaran:

“Pertama kesadaran yang bersifat implisit dalam aktifitasnya dan yang dalam realitas menyatu dengan orang-orang lain dalam transformasi dunia nyata yang bersifat praktis, dan kedua bersifat eksplisit atau verbal, yang diwarisi manusia dari masa lampau tanpa sikap kritis’ (SPN 333, ibid: 92)

18

Adapun selain kelas hegemonik, dalam prakteknya juga terbentuk kelas

kontrahegemonik yang membentuk subkultur melalui perlawanan atau resistensi

sebagai reaksi atas budaya hegemonik. Bentuk resistensi ini terimplementasi sebagai

bentuk ketidakpatuhan terhadap rezim hegemonik, baik secara terang-terangan

maupun melalui cara lain yang lebih simbolis.

Dalam pola seperti ini kelompok-kelompok dominan berada dalam posisi

yang stabil dan tak memberi peluang bagi kelompok-kelompok sub dominan untuk

dapat mengembangkan perannya sebagai penyeimbang sebagaimana dalam konsepsi

Gramsci, sekalipun sebetulnya usaha untuk itu ada.

Dalam penelitian ini kita akan melihat bagaimana hegemoni bekarja dalam

praktik Ideologi Nama Besar pada dua lanskap yang telah berubah. Pertama adalah

lanskap Pameran Kolonial Sentiling yang memang ditujukan sebagai sebuah event

dalam rangka membangun sebuah sistem kapitalisasi global di awal abad XX, dan

kedua adalah lanskap lembaga pendidikan SMA 1 Semarang, yaitu lembaga yang

seharusnya berperan sebagai institusi sosial yang disediakan negara dalam mencapai

tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai amanat Undang-Undang Dasar 45.

Dalam praktiknya kita akan melihat bagaimana apakah praktik hegemoni ideologi

kebesaran bekerja di kedua ranah lanskap tersebut serta bagaimana proses tersebut

bekerja sebagai praktik keseharian dengan dilihat dalam kerangka keruangan dan

visual.

Adapun sebagai media utama penelitian berupa karya dokumentasi foto

Pameran Kolonial Sentiling maka yang terlintas di benak saya bahwa rangkaian foto-

foto tersebut seperti mengajak kita untuk berjalan-jalan mengelilingi seluruh kawasan

19

Pameran Kolonial Sentiling. Hal ini disebabkan karena foto-foto tersebut banyak

mengeksplorasi lanskap-lanskap pada ruang-ruang maupun kawasan pameran, baik

yang diambil dalam sudut-sudut yang luas, juga beberapa lainnya yang diambil lebih

dekat bahkan close up. Berjalan-jalan secara visual melalui rangkaian foto-foto

tersebut saya seperti mengalami perjalanan tersebut, menjelajahi ruang dan mencerap

berbagai hal yang patut menjadi perhatian. Hal ini seperti yang saya rasakan ketika

mengunjungi langsung bekas lokasi pameran tersebut, menjelajahi ruang dan mencoba

mencerap banyak hal yang menarik perhatian saya, baik yang kemudian dirasakan

sama, berbeda, atau mungkin dapat juga dipersamakan dengan apapun.

Penjelajahan atas ruang seperti yang saya rasakan, membawa saya untuk

mencermati teori lain yang akan memperkaya penelitian ini menurut konsepsi de

Certeau dalam bukunya The Practice of Everiday Life (De Certeau, 1984) bahwa

pengalaman mencerap ruang tidak hanya sebatas teritori tertentu namun berkaitan erat

dengan cerita atau pandangan. Certeau dalam bab Spatial Stories (ibid:115-130) dalam

bukunya mengatakan bahwa cerita berkait erat dengan tempat dan ruang. Ruang

dalam pengertian place menurutnya

A place ( lieu) is the order (of whatever kind) in accord with which elements are distributed in relationships of coexistence. It thus excludes the possibility of two things being in the same location (place). The law of the "proper" rules in the place: the elements taken into consideration are beside one another, each situated in its own "proper" and distinct location, a location it defines. (ibid:117)

Yaitu berkaitan dengan lokasi yang berkait dengan keberadaan, lokasi ataupun

tempat. Di sisi lain, ruang juga memiliki pengertian space:

a space exists when one take into consideration vectors of direction, velocities, and time variables. … Space occurs asthe effect produced by the operations that orient it, situate it, temporalize it … space is like the

20

word when it is spoken, that is, when it is caught in the ambiguity of an actualization … In contradistinction to the place, it has thus none of the univocity or stability of a “proper”(ibid)

Di sini ditegaskan bahwa space lebih bersifat praktik, yaitu berkait dengan aktivitas

yang dilakukan orang dalam suatu ruang. Ruang dengan demikian selain berkaitan

dengan batas teritori juga memiliki batas-batas kontrak budaya yang disertai tindakan

atau aktivitas masyarakat dalam praktik kesehariannya. Paradok ini akan membuat

semacam titik kontak, komunikasi serta cara pandang manusia terhadap tempat.

Pemikiran de Certeau ini kemudian dapat diartikan bahwa persoalan spatial

merupakan ruang yang unik, karena dapat berfungsi dalam membangun sebuah kisah

atau bayangan visual yang dapat membangun relasi dalam mengorganisasi ruang (ibid:

130). Dengan cara ini lanskap terbentuk tidak sekedar oleh keberadaan individu,

namun bagaimana individu melebur dalam sebuah sistem sosial dan ruang dalam hal

ini berupa lanskap yang dibangun secara bersama-sama dalam sebuah praktik sosial.

Kemudian De Certeau dalam bab lainnya, yaitu Walking in the City (ibid:91)

menyampaikan bahwa pejalan kaki merupakan subyek yang mengalami segala macam

elemen yang dapat terindera disepanjang jalanan kota yang hadir hadir dalam sebuah

lanskap yang dapat menjadi media untuk membuka visualitas. Pejalan kaki, dalam bab

tersebut dikatakan, atas keinginannya juga dapat memutuskan untuk melihat atau tidak

dan terlibat atau tidak dengan segala apapun yang mereka temui di jalan, dan

mencerapnya. Hal ini membuat pesan atau cerita atau bayangan visual yang

disampaikan oleh kota, dapat membangun relasi dengan subyek dalam mengorganisasi

ruang melalui apapun yang terindera sehingga subyek mendapatkan sebuah visi atas

ruang dari sebuah kota atau menjadi seseorang yang visioner.

21

Visi dengan demikian setidaknya berurusan dengan daya jelajah ruang yang

dibantu dengan cara pandang sebagai sebuah aktifitas terlibat pada “praktik budaya”

dan bukan oleh “aturan budaya” untuk membentuk cerita yang dicerap melalui seluruh

indera yang dimiliki manusia juga melibatkan visi sebagai cara pandang maupun visi

sebagai tujuan yang keduanya menghubungkan antara memori masa lalu yang buram

dan masa depan yang pasti.

Menilik dengan dokumentasi foto dalam event Pameran Kolonial Sentiling

yang dikaji dalam penelitian ini selain bicara atas konteks ruang tentu tak dapat

dilepaskan pula dari konteks waktu. Waktu dalam penelitian ini akan dititik beratkan

pada memori yang menurut Crimson adalah:

“… residu dari pengalaman di masa lalu yang tertinggal dan menjadi bagian dari ingatan, dan yang kedua adalah kemampuan untuk mengingat masa lalu.” (Crimson, 2005:vii)

Menukik pada memori tentang kota, sebagaimana hendak dikaji dalam

penelitian ini, Crimson berpendapat bahwa secara umum bersifat merujuk kota

sebagai lanskap fisik dan kumpulan obyek-obyek dan praktik yang memungkinkan

menghadirkan ingatan pada masa lalu yang mewujudkan masa lalu melalui jejak

urutan bangunan kota maupun pembangunan selanjutnya. Sebagai sebuah proses hal

ini akan menghadirkan kembali ingatan-ingatan, yang tentu saja hal akan lebih bersifat

otentik, personal, pinggiran, auratis dan manusiawi yang sehingga berlawanan dengan

media masa dan globalisasi yang dianggap sebagai agen amnesia. (Crimson,2005:xii)

Dengan demikian memori perkotaan merujuk pada kehidupan masyarakat yang hidup

dan pernah hidup dan masih dirasakan diluar wacana arsitek, pengembang maupun

perencana perkotaan.

22

Yang menarik dari event Pameran Kolonial Sentiling pada tahun 1914 yang

menjadi latar dari penelitian ini adalah tujuannya yang dengan sengaja digunakan

untuk memperkenalkan Hindia Belanda dalam sebuah bagian dari ruang global

ekonomi dan politik. Dalam perjalanannya, saat ini ruang dimana event tersebut

digelar berkembang sebagai pusat bisnis dari kota Semarang. Tidak dapat ditolak

memori yang dibangun dari ruang ini awalnya memang merupakan sebuah ruang

kontestasi. Banyak perubahan kemudian terjadi di ruang tersebut, Sebuah alun-alun

dibangun sebagai ruang publik, namun akhirnya berubah fungsi sebagai pusat bisnis.

Sebuah bulevar besar dibangun menjadi pusat pemerintahan yang baru, sebuah

universitas besar dan beberapa sekolah dibangun sebagai pusat pendidikan dan

seterusnya hingga mengukuhkan kawasan di sekitar lokasi Pameran Kolonial Sentiling

100 tahun yang lalu menjadi ruang paling sibuk di kota Semarang yang sarat dengan

banyak kepentingan.

Sebagai kawasan tersibuk di kota Semarang, kawasan ini mengalami perubahan

lanskap yang sangat dinamis. Tentu saja ini membuat kita berfikir wajar jika tempat ini

kemudian menjadi ruang berkumpulnya banyak orang dalam berbagai praktik

kesehariannya dalam merespon keseharian mereka alami, termasuk diantaranya siswa,

guru atau alumni yang sedang atau pernah sekolah atau mengajar di SMA 1 Semarang.

Perubahan lanskap yang terjadi tentu saja bukan sesuatu yang terjadi secara alami

dan di luar kuasa warga yang sehari-hari beraktifitas di tempat tersebut.. Kebutuhan

atas ruang-ruang baru yang semakin tinggi membuat pembangunan di kawasan

tersebut berlangsung cukup cepat. Diciptakan sebagai ruang utama atau etalase kota

tentu saja kekuatan-kekuatan besarlah yang menentukan tumbuhnya lanskap yang

23

membawa perubahan seiring perjalanan waktu. Kekuatan-kekuatan besar ini yang

dimaksud adalah, pertama yaitu negara yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah

kota yang diwakili oleh membangun banyak gedung-gedung perkantoran dan

mengembangkan fasilitas publik di sekitar area terutama taman Simpanglima dan

jalan-jalan protokol, dan yang kedua, adalah pasar atau swasta yang ditunjukkan

melalui maraknya pembangunan pusat-pusat ekonomi seperti hotel, pusat

perbelanjaan, ruang retail dan perkantoran di sekitar area. 12

SMA 1 sendiri merupakan awal pelopor pembentukan kembali lanskap

kawasan sekitar venue Pameran Kolonial Sentiling yang telah dibongkar pasca

Pameran Kolonial Sentiling. SMA 1 boleh dikata merupakan bangunan pertama yang

didirikan di kawasan tersebut setelah pameran berlangsung. Tidak hanya besar, SMA 1

dibangun dengan fasilitas yang paling lengkap dan lanskap yang luas dan megah.

Selanjutnya beberapa bangunan lain dibangun, misalnya fasilitas kolam renang,

fasilitas perkantoran seperti Ruang Tata Usaha, Perpustakaan serta Ruang Guru

maupun gapura sekolah yang megah dibangun untuk mencitrakan sekolah sebagai

sekolah besar dan penting. Saya melihat dalam konteks ini teori keruangan de Certeau

dapat digunakan dalam menghimpun pengalaman akan ruang bagi warga SMA 1

Semarang tentang konteks ideologi kebesaran yang diwarisi sivitas SMA 1 Semarang

dalam lanskap sekolah maupun sejarah dan beberapa praktik keruangan yang yang

identik event Pameran Kolonial Sentiling.

12 Pratiwo, Semarang City Plan: 2004

24

G. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan

visualitas dengan medium dokumentasi fotografi. Foto dalam penelitian ini akan

menjadi pusat perhatian sehingga proses melihat melalui foto menjadi sesuatu yang

penting untuk membuka pandangan dalam melihat peristiwa ini. Visualitas menjadi

sangat relevan digunakan sebagai acuan dasar dalam penelitian ini. Pertama karena

foto-foto tersebut memberi ruang bagi kita sebuah pengalaman tentang melihat masa

lalu, dan kedua bahwa foto-foto tersebut memberi peluang membuka kesadaran ruang

atmosferik dari lanskap yang berbeda di lokasi yang sama pada saat ini. Hal ini

membuka sebuah peluang sebuah upaya membaca dan membayangkan sebuah proses

yang tidak terputus tentang melihat sebuah kawasan dalam konteks kesejarahan yang

dibangun oleh masyarakatnya melalui perangkat visual melalui media yang dapat

diindera, yaitu foto.

Foto dokumentasi Pameran Kolonial Sentiling dalam penelitian ini akan

mendapatkan perhatian utama karena akan dikaitkan dengan lanskap sosial serta

pertumbuhan kawasan pada masa lalu yang kemudian terus berkembang hingga saat

ini. Di dalamnya tentu saja akan terkait dengan memori serta visi pada masyarakat

yang hidup di dalamnya pada saat penelitian ini dibuat. Maka peran foto dalam

penelitian ini akan ditempatkan sebagai suatu mesin mimetic yang dapat mengungkap

pengetahuan melalui kedekatan, dan bukan dengan jarak dan penguasaan, sehingga

mengetahui sesuatu berganti menjadi berhubungan dengan sesuatu (Taussig 1993:26

via Fauzanafi, 2013:12)

Dalam pengertian tersebut maka foto menjadi sebuah alat untuk melahirkan

visualitas sebagaimana pendapat Fauzanafi yang menyatakan bahwa hal-hal dalam

25

foto seperti yaitu emosi, ekspresi, indra, relasi keruangan, identitas individual

merupakan aspek yang luput dari rezim kata-kata, dan karenanya media visual dalam

hal ini foto mempunyai kapasitas menciptakan metafora dan sinestesia (ibid:11)

Materi koleksi foto-foto Pameran Kolonial Sentiling di Semarang tahun 1914

serta dan lokasi situs ex Pameran Kolonial di SMA 1 Semarang, dalam penelitian ini

menjadi material utama penelitian. Dari dua kategori foto-foto yang digunakan dalam

penelitian ini, keduanya akan saya letakkan dalam 3 fungsi yang masing-masing

bekerja pada tahapannya masing-masing:

Dalam tahap pertama, foto-foto dokumentasi peristiwa Pameran Kolonial

Sentiling tahun 1914, akan menjadi media untuk melihat kontestasi ideologi di

dalamnya. Kemudian tahap kedua, foto-foto dokumentasi peristiwa Pameran Kolonial

Sentiling tahun 1914, yang digunakan sebagai materi diskusi kelompok terarah, untuk

melihat memori dan punctum yang mungkin hadir melalui partisipan. Pada akhirnya,

ketiga, foto-foto saat ini yang akan digunakan sebagai bukti visual untuk melihat

bagaimana ideologi terkontestasi pada saat ini.

Untuk itu buku Visual Antropology: Photography as Research Method

(Collier,1986:2-3) sangat membantu sebagai acuan dasar dari penelitian ini, dengan

menawarkan langkah-langkah metodik dengan pendekatan fotografi terbagi dalam 5

tahap pendekatan:

Tahap pertama adalah survey dan orientasi foto. Tahap ini dilakukan untuk

menguji informasi dari pemetaan foto sebagai orientasi penelitian lapangan. Beberapa

yang disurvey antara lain kaitan geografis dengan foto, desain lingkungan maupun

peran fotografi dan orientasi penggunaan foto sebagai media orientasi sosial. Pada

26

penelitian ini tahapan ini dilakukan dengan melakukan observasi visual, dengan

membandingkan foto-foto yang ditelitii dengan tempat-tempat pada saat ini yang

memiliki kedekatan sebagai place atapun space dengan foto arsip kolonial dari

Pameran Kolonial Sentiling.

Tahap kedua adalah melakukan inventarisasi foto, yaitu dengan menekankan

sebuah proses pembahasan pada isi material foto dan beberapa faktor lingkungan lain

sebagai kunci untuk memahami personal maupun budaya. Pada penelitian ini, tahapan

kedua dilakukan bersama partisipan untuk menyeleksi serta mereduksi foto-foto yang

hendak dibahas dalam penelitian ini. Hasilnya 7 pasang foto (dalam konteks dahulu

dan sekarang) diteliti dalam penelitian ini.

Tahap ketiga adalah menilik studi teknologi. Pada tahap ini akan dibahas tentang

bagaimana foto tersebut dibuat, dan bagaimana pelibatan orang dalam dalam berbagi

pengetahuan melalui media penelitian yaitu foto, dalam hal ini pada partisipan. Dalam

penelitian ini, tahapan ini dilakukan secara inheren dalam proses diskusi atau

wawancara.

Tahap keempat adalah merekam atau melakukan pemotretan atas interaksi dan

keadaan sosial, pada tahap ini mengulas perilaku dan kualitas komunikasi para

partisipan dalam berbagai seting, dan mengkaji perilaku dan interaksi menurut waktu

dapat menjadi focus utama.

Tahap kelima ini merupakan tahapan terpenting dari penelitian ini yaitu

melakukan wawancara dengan menggunakan material fotografi untuk memperkuat

dan membuktikan informasi, melalui diskusi yang mengajak partisipan. Cara ini

27

dilakukan dengan melakukan alih pengetahuan antara peneliti dengan peneliti sendiri

maupun dengan partisipan.

Terkait dengan posisi saya sebagai peneliti yang merupakan almamater dari

subyek penelitian, maka tentu saja akan sangat mempengaruhi subyektifitas dalam

penelitian ini, maka saya mengambil posisi sekaligus sebagai subyek penelitian,

sehingga penelitian ini berlangsung interaktif dan hasil penelitian dapat sekaligus

bersifat reflektif.

1. Teknik Pengumpulan data

a. Pengorganisasian data visual

Materi visual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data visual

mengenai foto dokumentasi tentang Pameran Kolonial Sentiling yang tidak

banyak ditemukan dalam penerbitan secara umum. Sebagian besar data visual

merupakan file yang tersimpan pada lembaga arsip Belanda, yang dapat

diakses melalui media online melalui lembaga KITLV dan Tropen Museum.

Selain itu foto dokumentasi juga didapatkan melalui beberapa materi buku

arsip elektronik terkait keperluan promosi dan laporan pelaksanaan serta

peliputan event Pameran Kolonial Sentiling. Data visual lain didapatkan dari

penerbitan beberapa buku yang mengangkat tema sejarah kota Semarang, juga

dari beberapa kolektor antik. Namun selain tidak banyak, secara kualitas materi

yang ada tidak sebaik dan selengkap yang dimiliki oleh lembaga arsip.

Selain berupa foto-foto dokumentasi Pameran Kolonial Sentiling,

penelitian ini juga menggunakan foto-foto dalam kurun waktu saat penelitian

28

ini dilakukan, yaitu pada tahun 2013. Adapun foto-foto tersebut juga

didapatkan dari berbagai sumber, baik berupa koleksi saya pribadi maupun

sumber-sumber foto-foto dari media online.

b. Presentasi

Metode presentasi dilakukan dengan 2 cara. Cara pertama dengan

melakukan pameran terbuka di lokasi penelitian. Pameran ini diselenggarakan

pada tanggal 10-12 Desember 2012, di lokasi penelitian yaitu di SMA 1

Semarang, sebelum penelitian dilangsungkan. Pada pameran ini disajikan foto-

foto, artikel serta bahan referensi lain yang mungkin dapat diakses oleh

pengunjung. Foto ditata dalam display yang lega dan pengunjung mendapatkan

arahan dari pemandu untuk menikmati pameran foto tersebut. Selesai

menikmati seluruh rangkaian visual, partisipan diminta untuk mengikuti diskusi

kelompok terarah. Cara kedua dilakukan pada pertemuan yang lain, dengan

partisipan yang berbeda. Pada tahap ini tidak dilakukan dalam situasi

penyelenggaraan pameran. Saya hanya menghadirkan beberapa foto terseleksi

dan kemudian meminta respon partisipan dalam diskusi kelompok terarah

maupun wawancara mendalam.

c. Diskusi Kelompok Terarah dan Wawancara Mendalam

Data lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah data verbal yang

didapatkandengan melakukan serangkaian wawancara mendalam terhadap

beberapa narasumber terkait dengan tujuannya untuk menyusun suatu

29

penstrukturan dari dunia tampak, (Fauzanafi, 2012:16) dengan menggunakan

bantuan dokumentasi-dokumentasi visual terkait event Pameran Kolonial

Sentiling di Semarang pada tahun 1914 dengan membandingkan dengan foto-

foto lain di lokasi yang sama pada saat ini.

Metode ini bertujuan untuk mendapatkan pandangan-pandangan dari

narasumber berkait materi visual yang diajukan serta untuk mengetahui praktik

keseharian partisipan terkait dengan foto-foto yang menjadi materi visual. Hal

utama yang ingin didapatkan dari pengumpulan data ini adalah untuk

mendapatkan informasi tentang memori atau ingatan yang dimiliki olah

partisipan berkait dengan foto yang disajikan. Data lain yang hendak dicari

pada tahap ini adalah mencari kesan, harapan dan opini maupun hal yang

mungkin hadir ketika partisipan dalam merespon materi visual.

Dengan metode ini, data primer yang akan dihimpun dalam penelitian

ini akan mengkaji rekaman visual yang dilakukan melalui serangkaian Diskusi

Kelompok Terarah dan wawancara mendalam. Adapun untuk melakukan

penelitian dengan menggunakan pendekatan wawancara dan diskusi kelompok

terarah, dibutuhkan beberapa partisipan sebagai narasumber. Adapun partisipan

utama yang dipilih dalam penelitian adalah anggota dari keluarga SMA 1

Semarang, baik siswa, guru maupun alumni. Adapun diluar itu, penelitian ini

juga melibatkan partisipan dari pemerhati sejarah yang memberikan gambaran

dari latar belakang terselenggaranya Pameran Kolonial Sentiling di Semarang

ini. Diskusi Kelompok Terarah dan wawancara mendalam dilaksanakan dalam

beberapa sessi dalam kurun waktu Desember 2012 hingga Maret 2013.

30

d. Sumber Data dan Referensial Lain

Sumber data referensi lain didapatkan dari studi pustaka yang diambil

dari beberapa buku maupun artikel-artikel yang memiliki tema-tema seputar

sejarah umum dan perkembangan kota Semarang, sejarah umum kolonisasi

Hindia Belanda di Nusantara dan khususnya di Semarang, sejarah lokasi

penelitian, sejarah Pameran Kolonial Sentiling. Sumber-sumber data tersebut

bermanfaat dalam upaya menggambarkan situasi-situasi dan lanskap diseputar

kawasan venue Pameran Kolonial Sentiling. Sedangkan data-data pendamping

akan didapatkan melalui studi pustaka, pengambilan footage visual melalui

internet baik berupa foto maupun video, dan sumber-sumber lain.

2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam rentang Junuari 2013-Desember 2013

dengan lokasi penelitian adalah SMA Negeri 1 Semarang. Sekolah ini dipilih

karena dianggap memiliki lanskap keruangan yang cukup kompleks dan,

sekalipun pasti berbeda dengan lanskap event Pameran Kolonial Sentiling,

namun setidaknya lanskap sekolah ini memiliki kemiripan paling mendekati

event tersebut. Beberapa kesamaan lanskap yang dimaksud antara lain fisik

bangunan yang megah berlanggam arsitektur kolonial, masterplan sekolah

berupa tataruang kawasan, dan status sekolah umum negeri yang menyerupai

kontestasi umum yang terwakili dalam Pameran Kolonial Sentiling.

31

Kesulitan yang mungkin dihadapi adalah bagaimana menerjemahkan

praktik sosial kedalam lanskap yang sudah tidak dapat ditemukan lagi, seperti

lanskap Pameran Kolonial Sentiling yang sesungguhnya. Oleh karena itu

diperlukan sebuah model untuk mendiskusikan kembali lanskap yang ada pada

partisipan. Model seperti ini dapat dilakukan dengan mengonversi ruang yang

dianggap satu tipikal dengan lanskap kekinian yang masih bisa didapati. Salah

satu contoh adalah visualitas tentang mobilitas. Dalam event Pameran Kolonial

Sentiling, untuk menuju lokasi pameran, pemerintah kolonial membangun trem

khusus yang disediakan gratis. Sedangkan saat ini, konsep perpindahan ruang

dari rumah ke sekolah dapat dimunculkan dari pola bagaimana siswa, misalnya,

datang ke sekolah. Siapakah yang menggunakan mobil pribadi ke sekolah dan

siapa yang menggunakan kendaraan umum, dan bagaimana pola interaksi kuasa

diantaranya.

3. Analisis Visual

Merupakan hal yang lumrah menggunakan foto menjadi bagian

terpenting dalam sajian-sajian laporan, baik laporan jurnalistik, maupun

sekedar kegiatan dari aktifitas, baik yang bersifat personal maupun resmi. Foto-

foto tersebut kemudian menjadi alat untuk menunjukkan secara obyektif bahwa

peristiwa tersebut benar-benar telah terjadi dan pernah terselenggara, termasuk

diantaranya dalam Pameran Kolonial Sentiling di Semarang tahun 1914. Hal ini

sesuai dengan pendapat Ajidarma (2007:1), ketika membaca pandangan dari

Alfred Stieglitz yang menunjuk kepada suatu asumsi: fotografi dipercaya

32

dipercaya tanpa syarat sebagai pencerminan kembali realitas, memang

menunjukkan pada rujukannya tentang kehadiran teknologi ini dalam memburu

obyektivitas untuk menggambarkan kembali realitas dalam tingkat obyektivitas

yang tinggi.

Namun demikian, fotografi ternyata bukan semata melihat obyektifitas

saja. Fauzanafi (2012: 22) menyitir pendapat Barthes dalam Camera Lucida

yang kurang lebih mempertanyakan apakah foto bisa berbicara tentang sesuatu

yang lain, yaitu sesuatu yang di luar dirinya. Pertanyaan ini dijawab oleh

Barthes dengan ketidakyakinan:

“I wanted to learn at all costs what Photography was "in itself," by what essential feature it was to be distinguished from the community of images. Such a desire really meant that beyond the evidence provided by technology and usage, and despite its tremendous contemporary expansion, I wasn't sure that Photography existed, that it had a "genius" of its own“ (Barthes, 1981: 1) Menurut Fauzanafi, foto yang telah merekam sebuah peristiwa di masa

lalu, tak bisa dibantah, hanya hadir sekali dan tentu tak bisa terulang lagi.

Secara mekanis atau kimiawi, foto memang mampu merekam sebuah kejadian

secara persis. (Fauzanafi, 2012:23). Pada pengertian ini foto bisa dikatakan

sebagai bentuk dokumentasi obyektif dan bukti kehadiran sang pemotret.

Merleu Ponty mengatakan bahwa: dibalik yang tampak dari sebuah foto ada

sesuatu yang tak nampak dan tidak terlihat, itulah sebenarnya yang membuat

sesuatu jadi terlihat (ibid). Namun sesuatu yang tidak bisa dijawab oleh foto itu

sendiri merupakan kekuatan dari foto itu sendiri.

Dalam bahasa yang lain, Ajidarma berpendapat dalam buku Kisah Mata

(Ajidarma, 2007:141), bahwa tindakan memotret merupakan pengambilalihan

33

dunia sekaligus melahirkan dunia yang baru. Dalam tindakan memotret

terakumulasi seluruh pengalaman subyek pemotret dengan seluruh

historisitasnya yang menjadi keputusan final dalam melakukan penekanan

tombol pelepas rana (shutter). Setelah tombol pelepas rana (shutter) ditekan

terjadi ketergandaan, baik ketergandaan dunia, maupun ketergandaan makna.

Dalam proses yang berlangsung singkat tersebut, bermukim segala

kemungkinan yang ditumbuhkan oleh waktu. Masa lalu yang terekam dalam

foto hanya terhidupkan dalam masa ke-kini-an pemandangnya. Tentu saja

ketika pemotret menggunakan historiositasannya dalam mengambil keputusan

untuk menekan tombol shutter, maka dengan demikian historiositas juga

digunakan oleh pemandang dalam menghidupkan kembali foto dalam

pandangan kekiniannya. Kurang lebih demikian yang dimaksud Ajidarma

tentang dunia-dunia yang melahirkan dunia-dunia. (ibid:141-144)

Demikian juga foto-foto dokumentasi dari Pameran Kolonial Sentiling

di Semarang pada tahun 1914 dapat dikaji melalui proses visualitas yang terkait

erat dengan lanskap, historisitas atau memori pemandang terhadap foto sebagai

sebuah obyek pandang. Dari cara pandang pemandang yang kemudian menjadi

unik ini diharapkan analisa ini dapat melihat ideologi yang melekat pada citra

tersebut menurut visualitas pemandang.

Sumber utama kajian ini adalah foto-foto dokumentasi yang telah

berusia hampir 100 tahun, tanpa keterangan pembuat foto, dan tidak ada

partisipan diskusi yang mengalami peristiwa tersebut. Oleh karena itu, kajian

34

ini hanya mungkin dilakukan dalam sisi pemandang terhadap foto melalui

seluruh proses visualitas yang dilakukan.

Untuk dapat melihat hubungan dan keterkaitan keduanya, hubungan

pemotret, foto dan pemandang foto, serta lanskap, memori dan hegemoni

ideologi nama besar, maka kita menggunakan konsep studium dan punctum

yang diperkenalkan oleh Roland Barthes sebagai metode analisis pada

penelitian ini. Pada prinsipnya, menurut Barthes (1981: 9), sebuah foto

merupakan obyek dari 3 praktik yang terjadi yaitu melakukan, mengalami, dan

melihat dengan masing-masing aktornya adalah Operator yaitu fotografer,

Spectrum yaitu sesuatu yang difoto, dan Spectator yaitu yang melihat foto.

Foto adalah sesuatu yang dihasilkan fotografer setelah melakukan serangkaian

keputusan dalam mengamati spectrum. Hasilnya adalah membekukan waktu

dalam sebuah gambar yang dicitrakan secara teknik sesuai dengan aslinya. Foto

ini kemudian disajikan kepada penonton foto atau spectator untuk kemudian

diindera oleh mata penonton dalam suatu pandangan. Pandangan ini menurut

Barthes dipilah dalam 2 kategori, yaitu studium dan punctum. Studium adalah:

“… application to a thing, taste far someone, a kind of general, enthusiastic commitment, of course but without special acuity…” (Barthes,1981:26).

yaitu sebuah aplikasi tentang sesuatu, selera bagi seseorang, sesuatu yang

bersifat umum, memiliki komitmen antusias yang umum, namun tanpa

ketajaman spesial. Dalam hal ini studium dapat diartikan sebagai pemaparan dari

apa yang tercitra dalam foto secara umum dan sebagai apa adanya.

35

Sedangkan punctum adalah sesuatu yang seringkali keluar, atau mencuat

dari foto tanpa disadari dengan membawa pada perasaan tertentu. Barthes

mengatakan:

“this time it is not I who seek it out... (as I invest the field of the studium with my sovereign consciousness) it is this element which rises from the scene, shoot out of it like an arrow, and pierces me.(ibid)

Punctum seperti sesuatu yang menyeruak dari gambar yang dengan tiba-

tiba melukai atau menusuk si pemandang tanpa disadari. Kehadiran punctum

dengan demikian sangat bersifat personal bagi setiap pemandang. Pada bagian

lain Barthes melanjutkan:

The punctum should be revealed only after the fact, when the photograph is no Ionger in front of me and I think back on it. I may know better a photograph I remember than a photograph I am looking at, as if direct vision oriented its language wrongly… Ultimately-or at the limit-in order to see a photograph well, it is best to look away or close your eyes (Ibid: 53)

Punctum menurutnya terungkap hanya setelah fakta, saat sebuah foto tak

lagi di depan mata dan kita memikirkannya lagi. Suatu foto mungkin diketahui

dengan lebih baik ketika foto tersebut mengingatkan akan suatu hal daripada suatu

foto yang sekedar dilihat, seperti halnya penunjuk arah yang disampaikan dengan

bahasa yang tidak tepat. Selanjutnya Barthes mengumpamakan bahwa cara

terbaik melihat foto adalah dengan menutup mata.

Dalam hal ini Fauzanafi mengatakan bahwa punctum muncul tidak secara

gamblang saat memandang foto, namun melalui momen yang sangat personal,

yang digambarkan Barthes dengan menutup mata. Tentu saja memori dari

masing-masing pemandang foto akan membuat punctum yang didapatkan oleh

seseorang pada sebuah foto bisa jadi berbeda dengan seorang pemandang yang

36

lain. Namun hadirnya perbedaaan diantara keduanya tidak perlu dipermasalahkan

karena dengan demikian dualitas punctum dan studium ini justru menghadirkan

apa yang tidak bisa dihadirkan oleh operator (Fauzanafi, 2012: 32). Oleh karena

itu, salah satu hal yang menarik dari konsep studium dan punctum adalah

bagaimana foto memberi kemungkinan lahirnya keberagaman cara pandang dan

impresi personal spectator dalam menangkap sebuah obyek melalui foto. Impresi

khas yang melekat dengan memori personal yang dibentuk dari praktik keseharian

diharapkan juga dapat dikuak dengan metode ini. Keberagaman ini akan

memberikan ruang pengayaan terhadap pembermaknaan dari suatu peristiwa yang

telah dibekukan dalam foto, dan tentunya memberikan pula pemahaman yang

lebih luas tentang bagaimana sebuah dunia dalam kenangan masa lalu, realita

kekinian, dan harapan di masa depan dari suatu peristiwa di masa lalu.

Kemudian, dengan menggunakan analisa ini atas foto-foto dokumentasi

peristiwa Pameran Kolonial Sentiling di Semarang maupun foto site yang sama

pada saat ini, diharapkan dapat membantu kita dalam melihat punctum yang hadir

melalui foto-foto tersebut dari masing-masing partisipan. Selanjutnya dapat

menjadi sebuah bahan diskusi dalam melihat kontestasi ideologi yang hidup dalam

lanskap SMA 1 Semarang.

4. Skema Pemikiran

Gambar 1. G1. Skema Pemikiran

37

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dalam laporan ini adalah disusun sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini akan membahas latar belakang penelitian, pertanyaan, kerangka

teori, tinjauan pustaka, dan metodologi penelitian.

Bab II : Semarang di Awal Abad ke-20

Bab ini membahas latar belakang sejarah dari peristiwa Pameran

Kolonial Sentiling di Semarang tahun 1914.

Bab III : Pameran Kolonial Sentiling, Acara Besar dan Peristiwa Besar Disekitarnya

Bab ini akan membahas bagaimana peristiwa Pameran Kolonial

Sentiling berlangsung, beserta peristiwa-peristiwa lain yang terkait, baik

ketika pameran berlangsung maupun setelahnya. Pada bab ini juga akan

dipaparkan bagaimana ideologi nama besar dipraktikkan dalam dokumentasi

fotografi.

Bab IV: Menengok 100 Tahun yang Lalu dan Memandang 100 Tahun Kemudian

Bab ini akan berisi pemaparan data serta pembahasan analitik dari

penelitian ini dengan penajaman bahasan tentang penggunaan memori,

praktik ruang dalam ideologi nama besar, dan melihat bagaimana ideologi

bekerja sebagai hegemoni dalam praktik ideologi nama besar.

BaB V: Kesimpulan dan Rekomendasi