bab 1 pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
Bab 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang
“Tidakkah pernah kita pikir, bahwa para budak yang malang ini juga merindukan saat-saat seperti ini dimana mereka seperti kita, bisa merayakan kemerdekaan mereka? Atau apakah mungkin setetelah menjalankan kebijakan-kebijakan yang menghancurkan jiwa, kita menganggap semua jiwa manusia telah mati?? .....
Seandainya saya orang Belanda, saya tidak akan mengadakan pesta peringatan kemerdekaan di negeri yang rakyatnya telah kita rampas kemerdekaannya.”
*** Als Ik eens Nederlander was - De Express, 19 Juli 1913 *
Petikan artikel di atas adalah petikan dari Als ik een Nederlander Was, yang
ditulis oleh Soewardi Suryaningrat sebagai upaya menyindir secara satir rencana
pemerintah Hindia Belanda yang hendak merayakan peringatan 100 tahun
kemerdekaan negeri Belanda dari tangan Perancis. Artikel ini mengakibatkan Suwardi
Suryaningrat dan teman-temannya yang tergabung dalam Indische Partij ditangkap
dan diasingkan ke Belanda. Alih-alih menyurutkan nyali, pembuangan ini justru
membuat Soewardi makin keras terhadap pemerintah kolonial Belanda melalui
gerakan Perhimpunan Hindia atau Indische Vereniging di Belanda. Sekembalinya di
Indonesia dia melanjutkan gerakan non kooperatif dengan membangun sekolah
bumiputera bernama Taman Siswa yang menerapkan sistem pendidikan tersendiri
yang menolak sistem pendidikan kolonial. Atas kiprahnya di bidang pendidikan, ia
diangkat sebagai Menteri Pendidikan, dan dikenang sebagai bapak pendidikan
Indonesia.
Umumnya hanya sampai disitulah informasi sejarah yang disampaikan di bangku
sekolah, seputar kiprah Indische Partij dalam menyinggung perayaan 100 tahun
2
kemerdekaan Belanda di tanah jajahan. Kita tidak tahu tentang peringatan tersebut,
seberapa besar dan dimana, dan apa dampak pameran tersebut setelahnya. Saya baru
menyadari peristiwa ini setelah membaca artikel tua yang kemudian memperkenalkan
saya pada sebuah peristiwa Pameran Kolonial Sentiling yang pernah diselenggarakan
di Semarang, tepatnya di tempat dimana saya pernah sekolah selama 3 tahun,yaitu
SMA 1 Semarang. Ini mengejutkan saya.
Pameran yang dalam pelafalan masyarakat Semarang kemudian disebut
‘Sentiling’ yang merupakan verbastering dari Koloniale Tentoonstelling 1 , ini
berlangsung pada tanggal 20 Agustus hingga 22 November 1914 sebagai perhelatan
untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis. Acara ini bukan
pameran atau pasar malam biasa, namun merupakan ajang bergengsi yang ingin
ditunjukkan Belanda atas keberhasilan dalam pendudukannya di Nusantara.
Pameran ini dihelat di lahan seluas 26 hektar yang berisi puluhan paviliun stan
pameran yang mewakili kawasan administratif Belanda beserta kerajaan-kerajaan
Nusantara, perusahaan-perusahaan serta perkebunan besar di Hindia Belanda maupun
asing, serta stan-stan negara sahabat.2 Acara ini sangat besar sehingga diketegorikan
sebagai ekspo dunia yang tercatat dalam daftar ekspo terbesar dunia pada eranya.
Setelah Pameran Kolonial Sentiling. Hingga kini belum ada satu pameran besar di
Indonesia yang masuk dalam daftar tersebut.
Ironisnya, sebagai sebuah event besar yang pernah diselenggarakan, hingga saat
ini tidak ada catatan sejarah yang dapat diakses masyarakat. Tak heran jika peristiwa
1 Untuk selanjutnya Koloniale Tentoonsteling akan disebut sebagai Pameran Kolonial Sentiling, Untuk
membedakan dengan beberapa Koloniale Tentoonstelling yang pernah diselenggarakan di beberapa negara lain, juga membedakan dengan pameran-pameran dikota-kota lain, seperti Pasar Gambir atau Pasar malem Seteran di Semarang pada tahun-tahun berikutnya.
2 Pratiwo, 2004: 9-10
3
ini hilang dari ingatan masyarakat. Pengetahuan masyarakat pada umumnya atas
pameran ini hanya terbatas pada gugatan Soewardi Soerjaningrat seperti dalam petikan
di atas.
Kini setelah 100 tahun peristiwa itu berlangsung, karena berkonsep pasang
bongkar, di eks lokasi Pameran Kolonial Sentiling sudah tak ditemukan lagi satu
artefakpun yang dapat dijadikan pengingat atas peristiwa tersebut. Warga Semarang
pun kebanyakan sudah lupa pada peristiwa tersebut. Saat ini situs lokasi Pameran
Kolonial Sentiling telah berubah rupa. Hanya sebagian kecil dari lapangan utama plasa
pameran tersebut masih ada. Walau sempat dikenal dengan nama lapangan Sentiling,
namun pada tahun 1980an berganti nama menjadi Lapangan Tri Lomba Juang.
Sebagian lahan menjadi kawasan hunian, dan sebagian lain, karena dekat dengan
simpanglima -pusat perekonomian Semarang-, menjadi kawasan bisnis. Yang menarik
adalah sebagian besar eks area pameran berubah fungsi menjadi institusi pendidikan.
Setidaknya ada 9 lembaga pendidikan setingkat SMP hingga Perguruan Tinggi berada
di kawasan tersebut, termasuk sekolah saya, SMA Negeri 1 Semarang.
Membayangkan kembali situs tersebut dalam dua waktu yang berbeda
memunculkan dua lanskap visualitas, dulu dan sekarang. Lanskap pertama berlatar
belakang suasana kolonial, diawal politik ekonomi liberal sedang menjadi panglima,
sehingga ekspo tersebut memang dibutuhkan sebagai media untuk mempromosikan
Hindia Belanda di panggung ekonomi dunia. Sedangkan lanskap kedua berlatar
belakang pembangunan yang cukup masif di sekitar lokasi bekas pameran di kota
Semarang sebagai tuntutan atas arus globalisasi pasar yang kembali mengemuka dalam
beberapa tahun kedepan yang ditandai semakin masifnya pembangunan fisik yang
4
bertujuan melayani investasi atau modal. Beberapa institusi pendidikan yang berdiri di
lokasi tersebut seperti menjadi pelayan atas kebutuhan tersebut.
Mencermati lanskap dari lokasi Pameran Kolonial Sentiling 1914 dulu dan
sekarang merupakan sesuatu hal yang menarik. Kedua lanskap tersebut tumbuh
menjadi ruang-ruang yang didiami oleh sekelompok warga (baik berdomisili maupun
transit sebagai tempat kerja atau sekolah). Tentu saja masing-masing secara individu
maupun kelompok tentu memiliki pengetahuan, memori, prediksi maupun pandangan
dalam melihat perubahan lanskap di sekitarnya.
Penelitian ini mencoba memunculkan visualitas yang mengemuka tentang
peristiwa dan lanskap Pameran Kolonial Sentiling 100 tahun yang lalu, melalui alat
bantu visual berupa dokumentasi fotografi, dengan membandingkannya dengan situasi,
kondisi serta lanskap saat ini melalui kacamata pandang sivitas SMA 1 Semarang.
Sekolah ini dipilih karena berada pada salah satu venue Pameran Kolonial Sentiling
yaitu di kawasan kelurahan Mugasari kota Semarang, dan memiliki banyak kemiripan
ruang dengan Pameran Kolonial Sentiling 100 tahun lalu.
Penelitian ini diharapkan akan dapat menjadi sebuah media refleksi guna
membaca relasi-relasi dan ideologi yang bermain dalam perubahan lanskap saat ini.
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Pameran Kolonial3di Semarang adalah event yang diselenggarakan pemerintah
kolonial Belanda dengan tujuan mempromosikan Hindia Belanda ke pasar
Internasional. Hal ini terkait dengan program liberalisasi yang dijalankan pada masa
3 Mrazek, Rudolf. 2006. Enginers of Happyland: 66-69
5
tersebut, setelah program tanam paksa dianggap tidak lagi maksimal dalam
memberikan pemasukan dan mendapatkan kritik yang tajam akibat banyaknya
penyimpangan yang akhirnya merugikan pemerintah kolonial sendiri.
Di sisi lain liberalisasi dapat dilihat sebagai tonggak berlangsungnya kapitalisasi
modal yang diterapkan secara resmi pada era modern di Hindia Belanda. Pada masa
tersebut, pemerintah Hindia Belanda menggenjot sebesar mungkin modal untuk
bekerja di tanah Hindia Belanda. Dampaknya selain banyak perusahaan swasta berdiri,
banyak juga modal asing masuk dalam berbagai sektor. Hal ini juga mengakibatkan
arus perdagangan umum lainnya meningkat, baik berupa barang konsumsi sehari-hari
maupun bahan dan alat produksi lainnya.
Dalam situasi seperti ini rakyat tidak lagi sekedar dilihat sebagai rakyat biasa
yang harus patuh pada penguasa, namun dilihat sebagai pasar, baik pasar yang
diharapkan menyerap hasil produksi, juga disisi lain berperan sebagai pasar tenaga
kerja. Rakyat dalam perspektif kapitalistik seperti ini tentu saja sudah bergeser dari
perspektif abdi.
Perbedaan cara pandang terhadap rakyat yang berubah seperti di atas tentu saja
berpengaruh pada cara penggunaan ruang. Penjualan dan belanja merupakan tujuan
dari produksi, membuat banyak hal harus dibingkai secara cantik, besar dan bergengsi
untuk menunjukkan citra bagian dari trend pasar. Tidak terkecuali dengan penggunaan
ruang pada saat Pameran Kolonial Sentiling maupun pada situs yang sama hingga saat
ini, display yang cantik, besar dan bergengsi. Saat ini sistem kapitalistik masih menjadi
sistem ekonomi yang dominan, dan kawasan dimana situs Pameran Kolonial Sentiling
pernah dilaksanakan telah menjadi kawasan pendidikan yang dikitari kawasan bisnis
6
utama di kota Semarang yang digerakkan oleh sistem ekonomi pasar. SMA 1
Semarang merupakan salah satu sekolah besar dan pertama di kota Semarang. Sebagai
situs yang berada di kawasan pasar kapitalisme, pandangan terhadap sekolah ini dalam
banyak hal tak dapat dilepaskan dari pencitraaan tentang kebesaran institusi, baik
dalam hal fisik sekolah, prestasi, maupun mitos-mitos yang dipercaya merupakan
warisan dari masa lalu yang pernah hidup bersamanya, termasuk momen Pameran
Kolonial Sentiling tahun 1914.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat visualitas warga SMA 1 Semarang terkait
dengan penggunaan ruang dan ideologi yang bermain diantara pengguna ruang-ruang
dalam kawasan tersebut. Penelitian ini akan mempertimbangkan lanskap serta praktik-
praktik penggunaan ruang yang terjadi pada arena Pameran Kolonial Sentiling di masa
lalu dan sebagai SMA 1 saat kini yang ditangkap melalui respon terhadap karya
dokumentasi fotografi pameran Sentiling.
Adapun untuk mempertajam penelitian ini, diformulasikan dalam pertanyaan
sebagai berikut:
Bagaimana ruang lanskap mewujudkan kontestasi Ideologi tertentu?
Dari pertanyaan tersebut digali beberapa pertanyaan turunan sebagai berikut.
1. Bagaimana praktik Ideologi Nama Besar bekerja dalam ruang lanskap
Pameran Kolonial dalam kurun waktu yang berbeda?
2. Apakah Ideologi Nama Besar pada lanskap tersebut bekerja dalam
kesadaran pada pengguna lanskap, dalam hal ini bagi sivitas akademi
SMA 1 Semarang?
7
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merefleksi peristiwa Pameran
Kolonial Sentiling dalam konteks kekinian dalam kaitannya dengan
konstetasi ideologi keruangan yang terdapat didalamnya.
2. Tujuan Khusus
a. Mendiskripsikan bagaimana kontestasi Ideologi Nama Besar tervisualkan
dalam dua lanskap yang telah berubah.
b. Mendiskripsikan praktik keseharian masyarakat yang tinggal di sekitar
lanskap Pameran Kolonial Sentiling yang mempengaruhi atau
dipengaruhi cara pandang mereka terhadap hegemoni dari praktek
Ideologi Nama Besar di lingkungan mereka.
c. Mengaplikasikan metode analisis visual menggunakan alat bantu
fotografi dalam mendiskripsikan ideologi dalam praktik keruangan.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritik dan praktis sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
a. Riset ini diharapkan dapat membantu membangun pemahaman tentang
pengaruh ideologi dalam sebuah praktik sehari-hari pada suatu lanskap.
b. Membangun kembali jembatan pemahaman koneksi dan interkoneksi
ruang dan waktu melalui sebuah lanskap.
8
c. Dapat menjadi media refleksi antara sejarah dan realitas dalam praktik
sosial keseharian.
2. Manfaat Teoritik
a. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah penggunaan media
visual sebagai alat atau metode penelitian.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian tentang praktik keseharian
melalui metode visual dengan pendekatan lanskap.
E. TINJAUAN PUSTAKA
Catatan mengenai Pameran Kolonial Sentiling yang pernah diselenggarakan di
Semarang pada tahun 1914 bisa dikatakan sangat langka. Pengetahuan mengenai
perhelatan ini lain tidak saya dapatkan dari sumber pustaka melainkan melalui
beberapa foto yang dimuat dalam beberapa situs online, antara lain www.Semarang.nl,
kemudian sebuah situs yangsaat ini sudah tidak aktif di update lagi yaitu
www.messias.org.
www.Semarang.nl merupakan website yang dikelola oleh keluarga Oltman,
keluarga berkebangsaan Belanda yang nenek moyangnya pernah tinggal di Semarang
pada masa penjajahan Belanda. Beberapa halaman dalam situs tersebut menyajikan
foto-foto tentang Pameran Kolonial Sentiling yang pernah diselenggarakan di
Semarang. Dalam foto-foto tersebut saya dapat menggambarkan bahwa pameran itu
diselenggarakan di areal yang sangat luas, dengan suasana penataan ruang yang sangat
lega dan elegan. Setiap peserta pameran mendapatkan sebuah ruang paviliun dengan
desain yang sangat khas dan konstruksi sesungguhnya bukan sekedar sajian fasad
9
semata. Pendek kata, tampilan pameran ini bisa dikatakan masih sangat menarik dan
bergengsi walau dibandingkan pameran-pameran serupa di Indonesia saat ini.
Sedangkan www.messias.org merupakan situs yang dikelola diluar kampus oleh
mahasiswa-mahasiswa jurusan sejarah di Semarang yang aktif menelisik perjalanan
kesejarahan kota Semarang beberapa tahun yang lalu.
Catatan ilmiah mengenai perhelatan Pameran Kolonial Sentiling, sangat minim
disampaikan secara penuh. Sejauh ini saya belum menemukan sebuah penelitian yang
mengangkat isu Pameran Kolonial Sentiling tahun 1914 tersebut. Penerbitan ilmiah
yang ada tidak secara khusus membahas Pameran Kolonial Sentiling tersebut, namun
hanya sedikit memberikan informasi tentang peristiwa tersebut dikaitkan dengan
sejarah morfologi perancangan kota Semarang, terutama sebagai tonggak perancangan
perpindahan kota Semarang ke kawasan perbukitan Candi seperti tertulis dalam artikel
Semarang City Plan (Pratiwo, 2004: 9-10).
Dalam tulisannya Pratiwo mengatakan bahwa pameran dibangun sesuai standar
pameran di Eropa dan memiliki konsep serupa dengan Science Park yang dipenuhi
demo perangkat elektronik, permainan tata cahaya dan demo otomotif. Dalam sisi
kebudayaan pameran ini juga mengundang kerajaan Nusantara dan negara sahabat,
perusahaan perkebunan, perusahaan komersial asing dan pribumi sebagai peserta.
Lebih luas dari itu pameran ini membuat Semarang dipenuhi banyak fasilitas umum
yang dibangun untuk menyambut event ini, mulai dari hotel, restoran, hingga angkutan
umum seperti kereta api dan trem. Stasiun Poncol dan Tawang dan Jurnatan dibangun,
jalur trem dibangun menghubungkan kawasan jalan Bodjong ke lokasi pameran, dan
10
dari kawasan Oudestad (Kota Lama) ke lokasi pameran dibangun sebuah jalan baru
yang kini dikenal sebagai Jalan Gajahmada.
Setelah event ini berakhir, seluruh venue dibongkar tanpa menyisakan satu
artefakpun yang dapat digunakan sebagai pengingat perhelatan ini. Namun demikian
Pratiwo menyebutkan bahwa terselenggaranya perhelatan ini menjadi sebuah pemicu
bagi pengembangan kota Semarang kearah perbukitan. Kawasan ini kemudian dikenal
sebagai kawasan kota atas. Perubahan ini merupakan respon dari menurunnya kualitas
lingkungan di daerah perkotaan saat itu, antara lain terkait dengan memburuknya
kualitas drainase dan sanitasi.
Buku yang menyertakan peristiwa Pameran Kolonial Sentiling juga tidak
banyak, antara lain buku-buku yang membahas tentang sejarah umum kota Semarang,
seperti Riwayat Semarang: Dari Sampo sampai Kongkoean, (Liem Thian Joe, 2004).
Buku ini merupakan catatan risalah dan arsip sejarah keturunan Tiong Hoa sejak jaman
kedatangan armada Sam Po Kong hingga dibentuknya komite kongkoean yaitu
pemerintah lokal kawasan Pecinan pada tahun 1930an. Buku lain adalah Semarang:
Beeld Van Een Stad4, terbitan Asia Mayor, yang berisi tentang peran Semarang dalam
periode tahun 1906 hingga akhir masa Koloni Belanda di Indonesia.
Sedangkan artikel yang secara khusus mengangkat Pameran Kolonial Sentiling
ini sebagai obyek kajian adalah artikel Joost Cote berjudul To See is to Know: the
Pedagogy of the Colonial Echibition, Semarang 1914. 5 Pada tulisannya Cote
menyampaikan tentang aspek pengajaran terkait dengan hubungan ras pada era
4 Brommer,Bea, 1995, Semarang: Beeld Van Een Stad, Purmerend:Asia Maior. 5 Cote, Joost, 2000: To See is to know: the Pedagogy of the Colonial Exhibition, Semarang 1914,
artikel pada Paedagogica Historica: International Journal of the History of Education, Vol 36 Issue 1.
11
kolonial pada akhir abad 19 dan awal abad 20 melalui ruang-ruang pameran dalam
event Pameran Kolonial Sentiling di Semarang beserta praktik pengajarannya di dalam
kelas. Cote ingin memperlihatkan bahwa ruang pameran pada Pameran Kolonial
Sentiling yang dapat dianggap sebagai salah satu sebuah ruang pengajaran tentang
hubungan antar bangsa atau ras.
Meskipun sulit mendapatkan penelitian, buku maupun artikel tentang Pameran
Kolonial Sentiling di Semarang, namun sungguh beruntung bahwa penerbitan lain
berupa laporan kegiatan, peringatan dan pamflet acara dapat diakses secara online.
Terbitan tersebut antara lain adalah laporan penyelenggaraan pameran yaitu
Gadenkboek Koloniale Tentoonstelling Semarang 1914, panduan atau brosur pameran
yaitu the Colonial and International Exhibition in Semarang, serta sebuah buku
peringatan penyelenggaraan pameran yaitu Hereneering de Koloniale Tentoonstelling
Semarang 1914 terbitan Koran de Lokomotief, beserta katalog pameran yaitu Officialle
Catalogus Koloniale Teentoonstelling Semarang 1914.
Selain itu didapatkan juga artikel tentang perancangan pameran tersebut yang
ditulis Maclaine Pont, sang arsitek dalam artikel De Koloniale Tentoonsteling
Semarang 1914(Pont:1914) yang dimuat pada jurnal NION.6 Dalam artikel berbahasa
Belanda ini, selain menyertakan peta tapak dan konsep perancangan penataan ruang
pamer dari event tersebut, yang kemudian saya sadari bahwa lokasi penyelenggaraan
Pameran Kolonial Sentiling berada di lokasi aekolah saya yaitu SMA 1 Semarang.
Dalam artikel itu, Pont menjelaskan tentang latar belakang pemilihan situs yang
ternyata terkait erat dengan kebutuhan bisnis saat itu. Pont menyebutkan bahwa lahan
6Netherlands Indie Oud en Niew merupakan Majalah terbitan Belanda yang berisi Jurnal-jurnal tentang
kehidupan masyarakat di Hindia Belanda.
12
yang digunakan untuk kebutuhan pameran tersebut adalah tanah yang dipinjamkan
oleh Oei Tiong Ham, jutawan Tionghoa yang saat itu dikenal sebagai raja gula dan
orang terkaya di kawasan antara Shanghai dan Australia. Oei meminjamkan lahannya
disebutnya tidak cuma-cuma. Ia berharap selepas acara tersebut berlangsung, dengan
dibukanya akses jalan menuju lokasi pameran, diharapkan nilai lahan yang dimilikinya
akan terangkat naik juga. Demikian artikel Pont cukup memberi gambaran lanskap
Semarang pada saat tersebut. Topik tentang kiprah Oei Tiong Ham dalam pergulatan
bisnisnya di pergantian abad 20 tersebut dapat kita temukan Tjwan Ling Liem dalam
Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang (2013)7.
Mengenai referensi atas ruang, praktik penggunaan ruang dan bagaimana ruang
mewujudkan diri sebagai simbol-simbol yang menjadi bagian keseharian dari praktik
memori dari masyarakat yang ada didalamnya, dibahas dalam beberapa buku antara
lain Cities Full of Symbol, tulisan Peter J M Nas (2011)8, yang didalamnya membahas
tentang simbol-simbol kota yang dibangun melalui praktik keruangan seperti lay out,
arsitektur, monumen, jalanan, nama tempat hingga ritual dan mitos lainnya yang secara
umum dibangun atas 4 tipe simbolis yaitu material, diskursif, ikonik dan behavioral.
Sedangkan sebuah buku lain berjudul Urban Memory: History and Amnesia in a
Modern Cities9, tulisan Mark Crimson yang banyak megupas bagaimana membangun
ide tentang memori melalui arsitektur dan ekspresi masyarakat-masyarakat kota yang
terbangun pada daerah-daerah industri maupun pasca industrialisasi. Hal ini tentu
serupa dengan apa yang teradi di kawasan dimana obyek penelitian ini dilakukan.
7 Liem, Tjwan Ling, 2013, Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. 8 Nas, Peter J.M., 2011: Cities Full of Symbol, Leiden: Leiden University Press. 9 Crimson, Mark, 2005: Urban Memory: History and Amnesia in a Modern Cities, New York:
Routledge.
13
Sedikit bergeser dari pameran itu sendiri, tulisan Soewardi Soerjaningrat yang
sangat terkenal berjudul Als Ik een Nederlanders Was (Soerjaningrat: 1913) menjadi
sumber yang menarik. Soewardi yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hadjar
Dewantara dan diangkat sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, menuliskan rencana
perayaan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis dengan sangat
tajam. Dalam artikelnya yang ditulis pada tahun 1913 tersebut, Soewardi tidak secara
eksplisit menyebutkan bagaimana dan dimana perayaan itu akan dilangsungkan.
Namun demian, dalam artikel yang diterbitkan oleh surat kabar De Exspress ini, kita
dapat membaca betapa wacana kritis sangat berkembang saat itu ditengah represifitas
pemerintah kolonial. Dalam tulisannya yang singkat, Soewardi mengritik
penyelenggaraan perhelatan tersebut sebagai ironis yang menyakiti hati kaum pribumi.
Tidak saja karena peringatan perayaan kemerdekaan tersebut dilakukan di tanah
jajahan, namun juga disebabkan dalam perayaan tersebut orang pribumi diminta pula
untuk mengongkosi perayaan tersebut. Terlebih dari itu orang pribumi tidak diberi hak
politik untuk menyampaikan gagasan terkait dengan perayaan tersebut melalui
parlemen yang dibentuk secara politis oleh pemerintah Hindia Belanda sendiri.
Berbeda dengan artikel Cote yang menyorot tentang ras, tulisan Suwardi lebih
menyorot tentang problem kelas dalam konteks ini.
Selain kepustakaan yang menyorot perihal Pameran Kolonial Sentiling sebagai
obyek penelitian, aspek kesejarahan terkait latar belakang peristiwa tersebut, antara
lain tentang sejarah situs, serta peristiwa yang melatar belakangi penyelenggaraan
event Pameran Kolonial Sentiling. Beberapa buku yang menjadi acuan sejarah seperti
buku Semarang Riwayatmu Dulu jilid 1 karangan Amen Budiman (1978). Dalam buku
14
ini dikisahkan tentang sejarah berdirinya kota Semarang secara komprehensif, baik
menurut data geografis, catatan sejarah dan catatan dari legenda yang hidup
menyertainya.
Selain menurut kacamata sejarah, buku Semarang Tempo Dulu, karangan
Wijanarka (2007) dapat memberi gambaran pada kita tentang sejarah perkembangan
kota dalam perspektif arsitektural. Buku ini berisi tentang sejarah,fungsi, tata letak
terbentuknya kawasan bersejarah di Semarang di awal berdirinya kota hingga
perkembangannya di awal abad 20 yaitu terbentuknya kawasan modern dengan
penekanan kawasan di sekitar Kota Lama Semarang dan kawasan Candi Baru.
Selain terkait dengan sejarah kota, beberapa buku terkait dengan kondisi sosial
masyarakat Semarang juga dapat menjadi referensi penelitian ini. Buku Dewi Yulianti
(2000) berjudul Semaun, Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang
dapat memberi gambaran seberapa kuat tarik menarik ideologi politik dalam
kehidupan sosial masyarakat Semarang di awal abad 20. Selain itu buku Pecinan
Semarang dan Dar Der Dor Kota karya Tubagus Svarajati (2012) juga nenarik
dicermati terkait dengan perspektif kritisnya dalam melihat sebuah perubahan yang
terjadi di kawasan Pecinan Semarang, yang dalam beberapa esai dalam bukunya
dimodifikasikan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan-kepentingan
tertentu yang manfaatnya belum tentu dirasakan oleh masyarakat Semarang khususnya
masyarakat Pecinan. Hal ini dapat menjadi referensi bagaimana membaca perubahan
kawasan secara kritis, seperti yang terjadi dengan perubahan kawasan di ex venue
Pameran Kolonial Sentiling yang telah berubah saat ini.
15
Selain itu terkait latar belakang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari
Perancis yang menjadi tema dari pameran tersebut, maka catatan sejarah mengenai
penjajahan Belanda dan dampak penjajahan Perancis sebelumnya banyak diulas dalam
buku the Short History of Indonesia10 karangan Colin Brown dan A World History of
Nineteenth Century Archaeology, Nationalism, Colonialism and the Past 11 tulisan
Margarita deAz-Andreu.
F. KERANGKA TEORI
Secara garis besar penelitian ini, sebagaimana seperti pertanyaan yang hendak
dijawab, akan memfokuskan pada tiga persoalan, yaitu tentang ruang, memori dan
ideologi. Maka untuk menjawab ketiga persoalan besar tersebut dibutuhkan kerangka-
kerangka teori yang dapat menjembatani ketiga konsep tersebut untuk menjawab
pertanyaan penelitian ini, yaitu teori tentang ruang dan memori yang dapat ditukikan
melalui pemikiran De Carteau, sedangkan persoalan ideologi dalam penelitian ini
akan menggunakan pemikiran Ideologi dan Hegemoni menurut Gramsci. Namun
untuk menyusun kerangka teori tentag penelitian ini ada baiknya kita runut dari teori-
teori tentang Ideologi, yang kemudian akan kita kerucutkan dalam hal-hal yang lebih
detil mengenai ruang, politik bagaimana ruang digunakan dan bagaimana memori
muncul sebagai referensi dalam praktik edeologi.
Ideologi menurut Marx memiliki dua dimensi yang berfungsi untuk
melegitimasi kepentingan kelas dominan. Pertama, yaitu ide sebagai pernyataan
koheren tentang dunia dan dominannya ide-ide borjuis atau kapitalis, dan yang kedua
10 Brown, Colin, 2003: the Short History of Indonesia, Crows Nest: Allen&Unwin 11 Az Andreu, Margarita, 2007:A World History of Nineteenth Century Archaeology, Nationalism,
Colonialism and the Past. New York: Oxfrod
16
adalah pandangan dunia sebagai hasil sistematis dari struktur kapitalisme yang
mengarahkan kita kepada pemahaman yang tidak tepat tentang dunia sosial,
pemahaman kedua ini melahirkan konsepsi tentang kesadaran palsu.
Sebagaimana pemikiran Marx, dalam posisi dua kutub seperti itu, menurut
Gramsci, keduanya memiliki hubungan yang tidak setara. Kelompok berkuasa akan
menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas subordinat melalui
kombinasi antara kekuatan dan persetujuan. Dalam hal ini hegemoni menurut Gramsci
merupakan hasil dari perang wacana dari kelompok-kelompok yang yang ada didalam
sebuah kelompok masyarakat. Ketika salah satu kelompok kelas mampu melampaui
fase korporasinya dan berhasil menyatukan kepentingan kelas dan kekuatan sosial lain
dengan kepentingannya sendiri, dan berhasil menjadi representasi penuh dari kekuatan
sosial utama. (Simon, 1999: 38)
Sedangkan menurut Barker Hegemoni dalam konsepsi Gramsci dikatakan bukan
sebagai sesuatu entitas yang statis melainkan merupakan serangkaian diskursus dan
praktik yang terus berubah dan secara intrinsik menyatu dengan keku atan sosial.
Selanjutnya Gramsci mendifinisikan hegemoni sebagai:
“Proses berkelanjutan pembentukan dan penggulingan keseimbangan yang tidak stabil… antara kepentingan kelompok-kelompok fundamental dan kelompok subordinat...keseimbangan dimana kepentingan kelompok dominan hadir namun hanya pada batas-batas tertentu “(Gramsci dalam Barker 2006:64)
Atau secara sederhana menurut Barker, Gramsci mengatakan bahwa hegemoni
berurusan erat dengan dominasi yang dilakukan suatu kelompok pada kelompok lain
dengan menggunakan atau tanpa mengunakan kekerasan atau ancaman. Tujuannya
17
agar ide-ide dari kelompok dominan dapat diterima sebagai sebuah kewajaran karena
bernilai moral, budaya dan logis.
Ideologi sendiri bagi Gramsci lebih bersifat organik dan historis, yaitu ideologi
diperlukan dalam kondisi sosial tertentu. Ideologi menurutnya:
“…mengatur manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka, dan sebagainya” (SPN 347, Simon, 1999:83)
Lebih lanjut menurutnya, Ideologi bukanlah fantasi perorangan , melainkan
menjelma dalam cara hidup kolektif, sebagaimana menurut Marx disebut ‘solidaritas
keyakinan masyarakat’. Oleh sebab itu ideologi mempunyai eksistensi materialistisnya
dalam berbagai aktifitas praktis dalam masyarakat. (ibid: 84)
Bagi Gramsci ideologi menyuguhi orang-orang dengan aturan bagi tindakan
praktis dan perilaku moral. Ideologi adalah pengalaman yang hidup sekaligus
seperangkat ide sistematis yang perannya adalah untuk mengorganisasi dan mengikat
secara bersama-sama berbagai elemen sosial dalam satu wadah, yaitu dalam proses
penyatuan sosial Dalam proses tersebut, dari berbagai kelas yang menyatu bersama-
sama, satu kelas yang berhasil menyatukan kepentingan-kepentingannya, dari kelas,
kelompok atau gerakan-gerakan lain dalam kepentingannya dalam membangun
kehendak kolektif, menjadi kelas hegemonik. (ibid: 87). Proses penyatuan sosial
tersebut berlangsung dalam dua tataran kesadaran:
“Pertama kesadaran yang bersifat implisit dalam aktifitasnya dan yang dalam realitas menyatu dengan orang-orang lain dalam transformasi dunia nyata yang bersifat praktis, dan kedua bersifat eksplisit atau verbal, yang diwarisi manusia dari masa lampau tanpa sikap kritis’ (SPN 333, ibid: 92)
18
Adapun selain kelas hegemonik, dalam prakteknya juga terbentuk kelas
kontrahegemonik yang membentuk subkultur melalui perlawanan atau resistensi
sebagai reaksi atas budaya hegemonik. Bentuk resistensi ini terimplementasi sebagai
bentuk ketidakpatuhan terhadap rezim hegemonik, baik secara terang-terangan
maupun melalui cara lain yang lebih simbolis.
Dalam pola seperti ini kelompok-kelompok dominan berada dalam posisi
yang stabil dan tak memberi peluang bagi kelompok-kelompok sub dominan untuk
dapat mengembangkan perannya sebagai penyeimbang sebagaimana dalam konsepsi
Gramsci, sekalipun sebetulnya usaha untuk itu ada.
Dalam penelitian ini kita akan melihat bagaimana hegemoni bekarja dalam
praktik Ideologi Nama Besar pada dua lanskap yang telah berubah. Pertama adalah
lanskap Pameran Kolonial Sentiling yang memang ditujukan sebagai sebuah event
dalam rangka membangun sebuah sistem kapitalisasi global di awal abad XX, dan
kedua adalah lanskap lembaga pendidikan SMA 1 Semarang, yaitu lembaga yang
seharusnya berperan sebagai institusi sosial yang disediakan negara dalam mencapai
tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai amanat Undang-Undang Dasar 45.
Dalam praktiknya kita akan melihat bagaimana apakah praktik hegemoni ideologi
kebesaran bekerja di kedua ranah lanskap tersebut serta bagaimana proses tersebut
bekerja sebagai praktik keseharian dengan dilihat dalam kerangka keruangan dan
visual.
Adapun sebagai media utama penelitian berupa karya dokumentasi foto
Pameran Kolonial Sentiling maka yang terlintas di benak saya bahwa rangkaian foto-
foto tersebut seperti mengajak kita untuk berjalan-jalan mengelilingi seluruh kawasan
19
Pameran Kolonial Sentiling. Hal ini disebabkan karena foto-foto tersebut banyak
mengeksplorasi lanskap-lanskap pada ruang-ruang maupun kawasan pameran, baik
yang diambil dalam sudut-sudut yang luas, juga beberapa lainnya yang diambil lebih
dekat bahkan close up. Berjalan-jalan secara visual melalui rangkaian foto-foto
tersebut saya seperti mengalami perjalanan tersebut, menjelajahi ruang dan mencerap
berbagai hal yang patut menjadi perhatian. Hal ini seperti yang saya rasakan ketika
mengunjungi langsung bekas lokasi pameran tersebut, menjelajahi ruang dan mencoba
mencerap banyak hal yang menarik perhatian saya, baik yang kemudian dirasakan
sama, berbeda, atau mungkin dapat juga dipersamakan dengan apapun.
Penjelajahan atas ruang seperti yang saya rasakan, membawa saya untuk
mencermati teori lain yang akan memperkaya penelitian ini menurut konsepsi de
Certeau dalam bukunya The Practice of Everiday Life (De Certeau, 1984) bahwa
pengalaman mencerap ruang tidak hanya sebatas teritori tertentu namun berkaitan erat
dengan cerita atau pandangan. Certeau dalam bab Spatial Stories (ibid:115-130) dalam
bukunya mengatakan bahwa cerita berkait erat dengan tempat dan ruang. Ruang
dalam pengertian place menurutnya
A place ( lieu) is the order (of whatever kind) in accord with which elements are distributed in relationships of coexistence. It thus excludes the possibility of two things being in the same location (place). The law of the "proper" rules in the place: the elements taken into consideration are beside one another, each situated in its own "proper" and distinct location, a location it defines. (ibid:117)
Yaitu berkaitan dengan lokasi yang berkait dengan keberadaan, lokasi ataupun
tempat. Di sisi lain, ruang juga memiliki pengertian space:
a space exists when one take into consideration vectors of direction, velocities, and time variables. … Space occurs asthe effect produced by the operations that orient it, situate it, temporalize it … space is like the
20
word when it is spoken, that is, when it is caught in the ambiguity of an actualization … In contradistinction to the place, it has thus none of the univocity or stability of a “proper”(ibid)
Di sini ditegaskan bahwa space lebih bersifat praktik, yaitu berkait dengan aktivitas
yang dilakukan orang dalam suatu ruang. Ruang dengan demikian selain berkaitan
dengan batas teritori juga memiliki batas-batas kontrak budaya yang disertai tindakan
atau aktivitas masyarakat dalam praktik kesehariannya. Paradok ini akan membuat
semacam titik kontak, komunikasi serta cara pandang manusia terhadap tempat.
Pemikiran de Certeau ini kemudian dapat diartikan bahwa persoalan spatial
merupakan ruang yang unik, karena dapat berfungsi dalam membangun sebuah kisah
atau bayangan visual yang dapat membangun relasi dalam mengorganisasi ruang (ibid:
130). Dengan cara ini lanskap terbentuk tidak sekedar oleh keberadaan individu,
namun bagaimana individu melebur dalam sebuah sistem sosial dan ruang dalam hal
ini berupa lanskap yang dibangun secara bersama-sama dalam sebuah praktik sosial.
Kemudian De Certeau dalam bab lainnya, yaitu Walking in the City (ibid:91)
menyampaikan bahwa pejalan kaki merupakan subyek yang mengalami segala macam
elemen yang dapat terindera disepanjang jalanan kota yang hadir hadir dalam sebuah
lanskap yang dapat menjadi media untuk membuka visualitas. Pejalan kaki, dalam bab
tersebut dikatakan, atas keinginannya juga dapat memutuskan untuk melihat atau tidak
dan terlibat atau tidak dengan segala apapun yang mereka temui di jalan, dan
mencerapnya. Hal ini membuat pesan atau cerita atau bayangan visual yang
disampaikan oleh kota, dapat membangun relasi dengan subyek dalam mengorganisasi
ruang melalui apapun yang terindera sehingga subyek mendapatkan sebuah visi atas
ruang dari sebuah kota atau menjadi seseorang yang visioner.
21
Visi dengan demikian setidaknya berurusan dengan daya jelajah ruang yang
dibantu dengan cara pandang sebagai sebuah aktifitas terlibat pada “praktik budaya”
dan bukan oleh “aturan budaya” untuk membentuk cerita yang dicerap melalui seluruh
indera yang dimiliki manusia juga melibatkan visi sebagai cara pandang maupun visi
sebagai tujuan yang keduanya menghubungkan antara memori masa lalu yang buram
dan masa depan yang pasti.
Menilik dengan dokumentasi foto dalam event Pameran Kolonial Sentiling
yang dikaji dalam penelitian ini selain bicara atas konteks ruang tentu tak dapat
dilepaskan pula dari konteks waktu. Waktu dalam penelitian ini akan dititik beratkan
pada memori yang menurut Crimson adalah:
“… residu dari pengalaman di masa lalu yang tertinggal dan menjadi bagian dari ingatan, dan yang kedua adalah kemampuan untuk mengingat masa lalu.” (Crimson, 2005:vii)
Menukik pada memori tentang kota, sebagaimana hendak dikaji dalam
penelitian ini, Crimson berpendapat bahwa secara umum bersifat merujuk kota
sebagai lanskap fisik dan kumpulan obyek-obyek dan praktik yang memungkinkan
menghadirkan ingatan pada masa lalu yang mewujudkan masa lalu melalui jejak
urutan bangunan kota maupun pembangunan selanjutnya. Sebagai sebuah proses hal
ini akan menghadirkan kembali ingatan-ingatan, yang tentu saja hal akan lebih bersifat
otentik, personal, pinggiran, auratis dan manusiawi yang sehingga berlawanan dengan
media masa dan globalisasi yang dianggap sebagai agen amnesia. (Crimson,2005:xii)
Dengan demikian memori perkotaan merujuk pada kehidupan masyarakat yang hidup
dan pernah hidup dan masih dirasakan diluar wacana arsitek, pengembang maupun
perencana perkotaan.
22
Yang menarik dari event Pameran Kolonial Sentiling pada tahun 1914 yang
menjadi latar dari penelitian ini adalah tujuannya yang dengan sengaja digunakan
untuk memperkenalkan Hindia Belanda dalam sebuah bagian dari ruang global
ekonomi dan politik. Dalam perjalanannya, saat ini ruang dimana event tersebut
digelar berkembang sebagai pusat bisnis dari kota Semarang. Tidak dapat ditolak
memori yang dibangun dari ruang ini awalnya memang merupakan sebuah ruang
kontestasi. Banyak perubahan kemudian terjadi di ruang tersebut, Sebuah alun-alun
dibangun sebagai ruang publik, namun akhirnya berubah fungsi sebagai pusat bisnis.
Sebuah bulevar besar dibangun menjadi pusat pemerintahan yang baru, sebuah
universitas besar dan beberapa sekolah dibangun sebagai pusat pendidikan dan
seterusnya hingga mengukuhkan kawasan di sekitar lokasi Pameran Kolonial Sentiling
100 tahun yang lalu menjadi ruang paling sibuk di kota Semarang yang sarat dengan
banyak kepentingan.
Sebagai kawasan tersibuk di kota Semarang, kawasan ini mengalami perubahan
lanskap yang sangat dinamis. Tentu saja ini membuat kita berfikir wajar jika tempat ini
kemudian menjadi ruang berkumpulnya banyak orang dalam berbagai praktik
kesehariannya dalam merespon keseharian mereka alami, termasuk diantaranya siswa,
guru atau alumni yang sedang atau pernah sekolah atau mengajar di SMA 1 Semarang.
Perubahan lanskap yang terjadi tentu saja bukan sesuatu yang terjadi secara alami
dan di luar kuasa warga yang sehari-hari beraktifitas di tempat tersebut.. Kebutuhan
atas ruang-ruang baru yang semakin tinggi membuat pembangunan di kawasan
tersebut berlangsung cukup cepat. Diciptakan sebagai ruang utama atau etalase kota
tentu saja kekuatan-kekuatan besarlah yang menentukan tumbuhnya lanskap yang
23
membawa perubahan seiring perjalanan waktu. Kekuatan-kekuatan besar ini yang
dimaksud adalah, pertama yaitu negara yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah
kota yang diwakili oleh membangun banyak gedung-gedung perkantoran dan
mengembangkan fasilitas publik di sekitar area terutama taman Simpanglima dan
jalan-jalan protokol, dan yang kedua, adalah pasar atau swasta yang ditunjukkan
melalui maraknya pembangunan pusat-pusat ekonomi seperti hotel, pusat
perbelanjaan, ruang retail dan perkantoran di sekitar area. 12
SMA 1 sendiri merupakan awal pelopor pembentukan kembali lanskap
kawasan sekitar venue Pameran Kolonial Sentiling yang telah dibongkar pasca
Pameran Kolonial Sentiling. SMA 1 boleh dikata merupakan bangunan pertama yang
didirikan di kawasan tersebut setelah pameran berlangsung. Tidak hanya besar, SMA 1
dibangun dengan fasilitas yang paling lengkap dan lanskap yang luas dan megah.
Selanjutnya beberapa bangunan lain dibangun, misalnya fasilitas kolam renang,
fasilitas perkantoran seperti Ruang Tata Usaha, Perpustakaan serta Ruang Guru
maupun gapura sekolah yang megah dibangun untuk mencitrakan sekolah sebagai
sekolah besar dan penting. Saya melihat dalam konteks ini teori keruangan de Certeau
dapat digunakan dalam menghimpun pengalaman akan ruang bagi warga SMA 1
Semarang tentang konteks ideologi kebesaran yang diwarisi sivitas SMA 1 Semarang
dalam lanskap sekolah maupun sejarah dan beberapa praktik keruangan yang yang
identik event Pameran Kolonial Sentiling.
12 Pratiwo, Semarang City Plan: 2004
24
G. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan
visualitas dengan medium dokumentasi fotografi. Foto dalam penelitian ini akan
menjadi pusat perhatian sehingga proses melihat melalui foto menjadi sesuatu yang
penting untuk membuka pandangan dalam melihat peristiwa ini. Visualitas menjadi
sangat relevan digunakan sebagai acuan dasar dalam penelitian ini. Pertama karena
foto-foto tersebut memberi ruang bagi kita sebuah pengalaman tentang melihat masa
lalu, dan kedua bahwa foto-foto tersebut memberi peluang membuka kesadaran ruang
atmosferik dari lanskap yang berbeda di lokasi yang sama pada saat ini. Hal ini
membuka sebuah peluang sebuah upaya membaca dan membayangkan sebuah proses
yang tidak terputus tentang melihat sebuah kawasan dalam konteks kesejarahan yang
dibangun oleh masyarakatnya melalui perangkat visual melalui media yang dapat
diindera, yaitu foto.
Foto dokumentasi Pameran Kolonial Sentiling dalam penelitian ini akan
mendapatkan perhatian utama karena akan dikaitkan dengan lanskap sosial serta
pertumbuhan kawasan pada masa lalu yang kemudian terus berkembang hingga saat
ini. Di dalamnya tentu saja akan terkait dengan memori serta visi pada masyarakat
yang hidup di dalamnya pada saat penelitian ini dibuat. Maka peran foto dalam
penelitian ini akan ditempatkan sebagai suatu mesin mimetic yang dapat mengungkap
pengetahuan melalui kedekatan, dan bukan dengan jarak dan penguasaan, sehingga
mengetahui sesuatu berganti menjadi berhubungan dengan sesuatu (Taussig 1993:26
via Fauzanafi, 2013:12)
Dalam pengertian tersebut maka foto menjadi sebuah alat untuk melahirkan
visualitas sebagaimana pendapat Fauzanafi yang menyatakan bahwa hal-hal dalam
25
foto seperti yaitu emosi, ekspresi, indra, relasi keruangan, identitas individual
merupakan aspek yang luput dari rezim kata-kata, dan karenanya media visual dalam
hal ini foto mempunyai kapasitas menciptakan metafora dan sinestesia (ibid:11)
Materi koleksi foto-foto Pameran Kolonial Sentiling di Semarang tahun 1914
serta dan lokasi situs ex Pameran Kolonial di SMA 1 Semarang, dalam penelitian ini
menjadi material utama penelitian. Dari dua kategori foto-foto yang digunakan dalam
penelitian ini, keduanya akan saya letakkan dalam 3 fungsi yang masing-masing
bekerja pada tahapannya masing-masing:
Dalam tahap pertama, foto-foto dokumentasi peristiwa Pameran Kolonial
Sentiling tahun 1914, akan menjadi media untuk melihat kontestasi ideologi di
dalamnya. Kemudian tahap kedua, foto-foto dokumentasi peristiwa Pameran Kolonial
Sentiling tahun 1914, yang digunakan sebagai materi diskusi kelompok terarah, untuk
melihat memori dan punctum yang mungkin hadir melalui partisipan. Pada akhirnya,
ketiga, foto-foto saat ini yang akan digunakan sebagai bukti visual untuk melihat
bagaimana ideologi terkontestasi pada saat ini.
Untuk itu buku Visual Antropology: Photography as Research Method
(Collier,1986:2-3) sangat membantu sebagai acuan dasar dari penelitian ini, dengan
menawarkan langkah-langkah metodik dengan pendekatan fotografi terbagi dalam 5
tahap pendekatan:
Tahap pertama adalah survey dan orientasi foto. Tahap ini dilakukan untuk
menguji informasi dari pemetaan foto sebagai orientasi penelitian lapangan. Beberapa
yang disurvey antara lain kaitan geografis dengan foto, desain lingkungan maupun
peran fotografi dan orientasi penggunaan foto sebagai media orientasi sosial. Pada
26
penelitian ini tahapan ini dilakukan dengan melakukan observasi visual, dengan
membandingkan foto-foto yang ditelitii dengan tempat-tempat pada saat ini yang
memiliki kedekatan sebagai place atapun space dengan foto arsip kolonial dari
Pameran Kolonial Sentiling.
Tahap kedua adalah melakukan inventarisasi foto, yaitu dengan menekankan
sebuah proses pembahasan pada isi material foto dan beberapa faktor lingkungan lain
sebagai kunci untuk memahami personal maupun budaya. Pada penelitian ini, tahapan
kedua dilakukan bersama partisipan untuk menyeleksi serta mereduksi foto-foto yang
hendak dibahas dalam penelitian ini. Hasilnya 7 pasang foto (dalam konteks dahulu
dan sekarang) diteliti dalam penelitian ini.
Tahap ketiga adalah menilik studi teknologi. Pada tahap ini akan dibahas tentang
bagaimana foto tersebut dibuat, dan bagaimana pelibatan orang dalam dalam berbagi
pengetahuan melalui media penelitian yaitu foto, dalam hal ini pada partisipan. Dalam
penelitian ini, tahapan ini dilakukan secara inheren dalam proses diskusi atau
wawancara.
Tahap keempat adalah merekam atau melakukan pemotretan atas interaksi dan
keadaan sosial, pada tahap ini mengulas perilaku dan kualitas komunikasi para
partisipan dalam berbagai seting, dan mengkaji perilaku dan interaksi menurut waktu
dapat menjadi focus utama.
Tahap kelima ini merupakan tahapan terpenting dari penelitian ini yaitu
melakukan wawancara dengan menggunakan material fotografi untuk memperkuat
dan membuktikan informasi, melalui diskusi yang mengajak partisipan. Cara ini
27
dilakukan dengan melakukan alih pengetahuan antara peneliti dengan peneliti sendiri
maupun dengan partisipan.
Terkait dengan posisi saya sebagai peneliti yang merupakan almamater dari
subyek penelitian, maka tentu saja akan sangat mempengaruhi subyektifitas dalam
penelitian ini, maka saya mengambil posisi sekaligus sebagai subyek penelitian,
sehingga penelitian ini berlangsung interaktif dan hasil penelitian dapat sekaligus
bersifat reflektif.
1. Teknik Pengumpulan data
a. Pengorganisasian data visual
Materi visual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data visual
mengenai foto dokumentasi tentang Pameran Kolonial Sentiling yang tidak
banyak ditemukan dalam penerbitan secara umum. Sebagian besar data visual
merupakan file yang tersimpan pada lembaga arsip Belanda, yang dapat
diakses melalui media online melalui lembaga KITLV dan Tropen Museum.
Selain itu foto dokumentasi juga didapatkan melalui beberapa materi buku
arsip elektronik terkait keperluan promosi dan laporan pelaksanaan serta
peliputan event Pameran Kolonial Sentiling. Data visual lain didapatkan dari
penerbitan beberapa buku yang mengangkat tema sejarah kota Semarang, juga
dari beberapa kolektor antik. Namun selain tidak banyak, secara kualitas materi
yang ada tidak sebaik dan selengkap yang dimiliki oleh lembaga arsip.
Selain berupa foto-foto dokumentasi Pameran Kolonial Sentiling,
penelitian ini juga menggunakan foto-foto dalam kurun waktu saat penelitian
28
ini dilakukan, yaitu pada tahun 2013. Adapun foto-foto tersebut juga
didapatkan dari berbagai sumber, baik berupa koleksi saya pribadi maupun
sumber-sumber foto-foto dari media online.
b. Presentasi
Metode presentasi dilakukan dengan 2 cara. Cara pertama dengan
melakukan pameran terbuka di lokasi penelitian. Pameran ini diselenggarakan
pada tanggal 10-12 Desember 2012, di lokasi penelitian yaitu di SMA 1
Semarang, sebelum penelitian dilangsungkan. Pada pameran ini disajikan foto-
foto, artikel serta bahan referensi lain yang mungkin dapat diakses oleh
pengunjung. Foto ditata dalam display yang lega dan pengunjung mendapatkan
arahan dari pemandu untuk menikmati pameran foto tersebut. Selesai
menikmati seluruh rangkaian visual, partisipan diminta untuk mengikuti diskusi
kelompok terarah. Cara kedua dilakukan pada pertemuan yang lain, dengan
partisipan yang berbeda. Pada tahap ini tidak dilakukan dalam situasi
penyelenggaraan pameran. Saya hanya menghadirkan beberapa foto terseleksi
dan kemudian meminta respon partisipan dalam diskusi kelompok terarah
maupun wawancara mendalam.
c. Diskusi Kelompok Terarah dan Wawancara Mendalam
Data lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah data verbal yang
didapatkandengan melakukan serangkaian wawancara mendalam terhadap
beberapa narasumber terkait dengan tujuannya untuk menyusun suatu
29
penstrukturan dari dunia tampak, (Fauzanafi, 2012:16) dengan menggunakan
bantuan dokumentasi-dokumentasi visual terkait event Pameran Kolonial
Sentiling di Semarang pada tahun 1914 dengan membandingkan dengan foto-
foto lain di lokasi yang sama pada saat ini.
Metode ini bertujuan untuk mendapatkan pandangan-pandangan dari
narasumber berkait materi visual yang diajukan serta untuk mengetahui praktik
keseharian partisipan terkait dengan foto-foto yang menjadi materi visual. Hal
utama yang ingin didapatkan dari pengumpulan data ini adalah untuk
mendapatkan informasi tentang memori atau ingatan yang dimiliki olah
partisipan berkait dengan foto yang disajikan. Data lain yang hendak dicari
pada tahap ini adalah mencari kesan, harapan dan opini maupun hal yang
mungkin hadir ketika partisipan dalam merespon materi visual.
Dengan metode ini, data primer yang akan dihimpun dalam penelitian
ini akan mengkaji rekaman visual yang dilakukan melalui serangkaian Diskusi
Kelompok Terarah dan wawancara mendalam. Adapun untuk melakukan
penelitian dengan menggunakan pendekatan wawancara dan diskusi kelompok
terarah, dibutuhkan beberapa partisipan sebagai narasumber. Adapun partisipan
utama yang dipilih dalam penelitian adalah anggota dari keluarga SMA 1
Semarang, baik siswa, guru maupun alumni. Adapun diluar itu, penelitian ini
juga melibatkan partisipan dari pemerhati sejarah yang memberikan gambaran
dari latar belakang terselenggaranya Pameran Kolonial Sentiling di Semarang
ini. Diskusi Kelompok Terarah dan wawancara mendalam dilaksanakan dalam
beberapa sessi dalam kurun waktu Desember 2012 hingga Maret 2013.
30
d. Sumber Data dan Referensial Lain
Sumber data referensi lain didapatkan dari studi pustaka yang diambil
dari beberapa buku maupun artikel-artikel yang memiliki tema-tema seputar
sejarah umum dan perkembangan kota Semarang, sejarah umum kolonisasi
Hindia Belanda di Nusantara dan khususnya di Semarang, sejarah lokasi
penelitian, sejarah Pameran Kolonial Sentiling. Sumber-sumber data tersebut
bermanfaat dalam upaya menggambarkan situasi-situasi dan lanskap diseputar
kawasan venue Pameran Kolonial Sentiling. Sedangkan data-data pendamping
akan didapatkan melalui studi pustaka, pengambilan footage visual melalui
internet baik berupa foto maupun video, dan sumber-sumber lain.
2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam rentang Junuari 2013-Desember 2013
dengan lokasi penelitian adalah SMA Negeri 1 Semarang. Sekolah ini dipilih
karena dianggap memiliki lanskap keruangan yang cukup kompleks dan,
sekalipun pasti berbeda dengan lanskap event Pameran Kolonial Sentiling,
namun setidaknya lanskap sekolah ini memiliki kemiripan paling mendekati
event tersebut. Beberapa kesamaan lanskap yang dimaksud antara lain fisik
bangunan yang megah berlanggam arsitektur kolonial, masterplan sekolah
berupa tataruang kawasan, dan status sekolah umum negeri yang menyerupai
kontestasi umum yang terwakili dalam Pameran Kolonial Sentiling.
31
Kesulitan yang mungkin dihadapi adalah bagaimana menerjemahkan
praktik sosial kedalam lanskap yang sudah tidak dapat ditemukan lagi, seperti
lanskap Pameran Kolonial Sentiling yang sesungguhnya. Oleh karena itu
diperlukan sebuah model untuk mendiskusikan kembali lanskap yang ada pada
partisipan. Model seperti ini dapat dilakukan dengan mengonversi ruang yang
dianggap satu tipikal dengan lanskap kekinian yang masih bisa didapati. Salah
satu contoh adalah visualitas tentang mobilitas. Dalam event Pameran Kolonial
Sentiling, untuk menuju lokasi pameran, pemerintah kolonial membangun trem
khusus yang disediakan gratis. Sedangkan saat ini, konsep perpindahan ruang
dari rumah ke sekolah dapat dimunculkan dari pola bagaimana siswa, misalnya,
datang ke sekolah. Siapakah yang menggunakan mobil pribadi ke sekolah dan
siapa yang menggunakan kendaraan umum, dan bagaimana pola interaksi kuasa
diantaranya.
3. Analisis Visual
Merupakan hal yang lumrah menggunakan foto menjadi bagian
terpenting dalam sajian-sajian laporan, baik laporan jurnalistik, maupun
sekedar kegiatan dari aktifitas, baik yang bersifat personal maupun resmi. Foto-
foto tersebut kemudian menjadi alat untuk menunjukkan secara obyektif bahwa
peristiwa tersebut benar-benar telah terjadi dan pernah terselenggara, termasuk
diantaranya dalam Pameran Kolonial Sentiling di Semarang tahun 1914. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ajidarma (2007:1), ketika membaca pandangan dari
Alfred Stieglitz yang menunjuk kepada suatu asumsi: fotografi dipercaya
32
dipercaya tanpa syarat sebagai pencerminan kembali realitas, memang
menunjukkan pada rujukannya tentang kehadiran teknologi ini dalam memburu
obyektivitas untuk menggambarkan kembali realitas dalam tingkat obyektivitas
yang tinggi.
Namun demikian, fotografi ternyata bukan semata melihat obyektifitas
saja. Fauzanafi (2012: 22) menyitir pendapat Barthes dalam Camera Lucida
yang kurang lebih mempertanyakan apakah foto bisa berbicara tentang sesuatu
yang lain, yaitu sesuatu yang di luar dirinya. Pertanyaan ini dijawab oleh
Barthes dengan ketidakyakinan:
“I wanted to learn at all costs what Photography was "in itself," by what essential feature it was to be distinguished from the community of images. Such a desire really meant that beyond the evidence provided by technology and usage, and despite its tremendous contemporary expansion, I wasn't sure that Photography existed, that it had a "genius" of its own“ (Barthes, 1981: 1) Menurut Fauzanafi, foto yang telah merekam sebuah peristiwa di masa
lalu, tak bisa dibantah, hanya hadir sekali dan tentu tak bisa terulang lagi.
Secara mekanis atau kimiawi, foto memang mampu merekam sebuah kejadian
secara persis. (Fauzanafi, 2012:23). Pada pengertian ini foto bisa dikatakan
sebagai bentuk dokumentasi obyektif dan bukti kehadiran sang pemotret.
Merleu Ponty mengatakan bahwa: dibalik yang tampak dari sebuah foto ada
sesuatu yang tak nampak dan tidak terlihat, itulah sebenarnya yang membuat
sesuatu jadi terlihat (ibid). Namun sesuatu yang tidak bisa dijawab oleh foto itu
sendiri merupakan kekuatan dari foto itu sendiri.
Dalam bahasa yang lain, Ajidarma berpendapat dalam buku Kisah Mata
(Ajidarma, 2007:141), bahwa tindakan memotret merupakan pengambilalihan
33
dunia sekaligus melahirkan dunia yang baru. Dalam tindakan memotret
terakumulasi seluruh pengalaman subyek pemotret dengan seluruh
historisitasnya yang menjadi keputusan final dalam melakukan penekanan
tombol pelepas rana (shutter). Setelah tombol pelepas rana (shutter) ditekan
terjadi ketergandaan, baik ketergandaan dunia, maupun ketergandaan makna.
Dalam proses yang berlangsung singkat tersebut, bermukim segala
kemungkinan yang ditumbuhkan oleh waktu. Masa lalu yang terekam dalam
foto hanya terhidupkan dalam masa ke-kini-an pemandangnya. Tentu saja
ketika pemotret menggunakan historiositasannya dalam mengambil keputusan
untuk menekan tombol shutter, maka dengan demikian historiositas juga
digunakan oleh pemandang dalam menghidupkan kembali foto dalam
pandangan kekiniannya. Kurang lebih demikian yang dimaksud Ajidarma
tentang dunia-dunia yang melahirkan dunia-dunia. (ibid:141-144)
Demikian juga foto-foto dokumentasi dari Pameran Kolonial Sentiling
di Semarang pada tahun 1914 dapat dikaji melalui proses visualitas yang terkait
erat dengan lanskap, historisitas atau memori pemandang terhadap foto sebagai
sebuah obyek pandang. Dari cara pandang pemandang yang kemudian menjadi
unik ini diharapkan analisa ini dapat melihat ideologi yang melekat pada citra
tersebut menurut visualitas pemandang.
Sumber utama kajian ini adalah foto-foto dokumentasi yang telah
berusia hampir 100 tahun, tanpa keterangan pembuat foto, dan tidak ada
partisipan diskusi yang mengalami peristiwa tersebut. Oleh karena itu, kajian
34
ini hanya mungkin dilakukan dalam sisi pemandang terhadap foto melalui
seluruh proses visualitas yang dilakukan.
Untuk dapat melihat hubungan dan keterkaitan keduanya, hubungan
pemotret, foto dan pemandang foto, serta lanskap, memori dan hegemoni
ideologi nama besar, maka kita menggunakan konsep studium dan punctum
yang diperkenalkan oleh Roland Barthes sebagai metode analisis pada
penelitian ini. Pada prinsipnya, menurut Barthes (1981: 9), sebuah foto
merupakan obyek dari 3 praktik yang terjadi yaitu melakukan, mengalami, dan
melihat dengan masing-masing aktornya adalah Operator yaitu fotografer,
Spectrum yaitu sesuatu yang difoto, dan Spectator yaitu yang melihat foto.
Foto adalah sesuatu yang dihasilkan fotografer setelah melakukan serangkaian
keputusan dalam mengamati spectrum. Hasilnya adalah membekukan waktu
dalam sebuah gambar yang dicitrakan secara teknik sesuai dengan aslinya. Foto
ini kemudian disajikan kepada penonton foto atau spectator untuk kemudian
diindera oleh mata penonton dalam suatu pandangan. Pandangan ini menurut
Barthes dipilah dalam 2 kategori, yaitu studium dan punctum. Studium adalah:
“… application to a thing, taste far someone, a kind of general, enthusiastic commitment, of course but without special acuity…” (Barthes,1981:26).
yaitu sebuah aplikasi tentang sesuatu, selera bagi seseorang, sesuatu yang
bersifat umum, memiliki komitmen antusias yang umum, namun tanpa
ketajaman spesial. Dalam hal ini studium dapat diartikan sebagai pemaparan dari
apa yang tercitra dalam foto secara umum dan sebagai apa adanya.
35
Sedangkan punctum adalah sesuatu yang seringkali keluar, atau mencuat
dari foto tanpa disadari dengan membawa pada perasaan tertentu. Barthes
mengatakan:
“this time it is not I who seek it out... (as I invest the field of the studium with my sovereign consciousness) it is this element which rises from the scene, shoot out of it like an arrow, and pierces me.(ibid)
Punctum seperti sesuatu yang menyeruak dari gambar yang dengan tiba-
tiba melukai atau menusuk si pemandang tanpa disadari. Kehadiran punctum
dengan demikian sangat bersifat personal bagi setiap pemandang. Pada bagian
lain Barthes melanjutkan:
The punctum should be revealed only after the fact, when the photograph is no Ionger in front of me and I think back on it. I may know better a photograph I remember than a photograph I am looking at, as if direct vision oriented its language wrongly… Ultimately-or at the limit-in order to see a photograph well, it is best to look away or close your eyes (Ibid: 53)
Punctum menurutnya terungkap hanya setelah fakta, saat sebuah foto tak
lagi di depan mata dan kita memikirkannya lagi. Suatu foto mungkin diketahui
dengan lebih baik ketika foto tersebut mengingatkan akan suatu hal daripada suatu
foto yang sekedar dilihat, seperti halnya penunjuk arah yang disampaikan dengan
bahasa yang tidak tepat. Selanjutnya Barthes mengumpamakan bahwa cara
terbaik melihat foto adalah dengan menutup mata.
Dalam hal ini Fauzanafi mengatakan bahwa punctum muncul tidak secara
gamblang saat memandang foto, namun melalui momen yang sangat personal,
yang digambarkan Barthes dengan menutup mata. Tentu saja memori dari
masing-masing pemandang foto akan membuat punctum yang didapatkan oleh
seseorang pada sebuah foto bisa jadi berbeda dengan seorang pemandang yang
36
lain. Namun hadirnya perbedaaan diantara keduanya tidak perlu dipermasalahkan
karena dengan demikian dualitas punctum dan studium ini justru menghadirkan
apa yang tidak bisa dihadirkan oleh operator (Fauzanafi, 2012: 32). Oleh karena
itu, salah satu hal yang menarik dari konsep studium dan punctum adalah
bagaimana foto memberi kemungkinan lahirnya keberagaman cara pandang dan
impresi personal spectator dalam menangkap sebuah obyek melalui foto. Impresi
khas yang melekat dengan memori personal yang dibentuk dari praktik keseharian
diharapkan juga dapat dikuak dengan metode ini. Keberagaman ini akan
memberikan ruang pengayaan terhadap pembermaknaan dari suatu peristiwa yang
telah dibekukan dalam foto, dan tentunya memberikan pula pemahaman yang
lebih luas tentang bagaimana sebuah dunia dalam kenangan masa lalu, realita
kekinian, dan harapan di masa depan dari suatu peristiwa di masa lalu.
Kemudian, dengan menggunakan analisa ini atas foto-foto dokumentasi
peristiwa Pameran Kolonial Sentiling di Semarang maupun foto site yang sama
pada saat ini, diharapkan dapat membantu kita dalam melihat punctum yang hadir
melalui foto-foto tersebut dari masing-masing partisipan. Selanjutnya dapat
menjadi sebuah bahan diskusi dalam melihat kontestasi ideologi yang hidup dalam
lanskap SMA 1 Semarang.
4. Skema Pemikiran
Gambar 1. G1. Skema Pemikiran
37
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dalam laporan ini adalah disusun sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini akan membahas latar belakang penelitian, pertanyaan, kerangka
teori, tinjauan pustaka, dan metodologi penelitian.
Bab II : Semarang di Awal Abad ke-20
Bab ini membahas latar belakang sejarah dari peristiwa Pameran
Kolonial Sentiling di Semarang tahun 1914.
Bab III : Pameran Kolonial Sentiling, Acara Besar dan Peristiwa Besar Disekitarnya
Bab ini akan membahas bagaimana peristiwa Pameran Kolonial
Sentiling berlangsung, beserta peristiwa-peristiwa lain yang terkait, baik
ketika pameran berlangsung maupun setelahnya. Pada bab ini juga akan
dipaparkan bagaimana ideologi nama besar dipraktikkan dalam dokumentasi
fotografi.
Bab IV: Menengok 100 Tahun yang Lalu dan Memandang 100 Tahun Kemudian
Bab ini akan berisi pemaparan data serta pembahasan analitik dari
penelitian ini dengan penajaman bahasan tentang penggunaan memori,
praktik ruang dalam ideologi nama besar, dan melihat bagaimana ideologi
bekerja sebagai hegemoni dalam praktik ideologi nama besar.
BaB V: Kesimpulan dan Rekomendasi