bab 1 - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/56129/3/bab i.pdf · 900 ha yang tersebar di tiga desa...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Pengantar
1.1.1 Latar Belakang
Pemanasan global dan efek rumah kaca menjadi salah satu
permasalahan lingkungan yang selalu berulang setiap tahunnya baik di
negara maju dan negara berkembang. Berbagai negara selalu melakukan
cara-cara untuk mengurangi permasalahan tersebut. Dewasa ini telah banyak
konferensi lingkungan internasional dan persetujuan difokuskan pada
fenomena mengenai perubahan iklim global. Perhatian yang tersebar luas
atas menurunnya kualitas udara dan potensi pemanasan global telah menjadi
acuan perhatian umum pada paru-paru dunia, yakni kondisi hutan. Media
telah memusatkan kerusakan hutan tropis sebagai simbol yang hidup dari
krisis ekosistem global. Misalnya, pertengahan bulan September 1989, baik
majalah Time maupun The Economist gambar covernya adalah kebakaran
tahunan dari hutan tropis basah Amazon. Sesungguhnya media Barat tidak
fair di dalam mempublikasi faktor-faktor utama pergantian iklim dalam hal
kerusakan hutan di ke-14 negara berkembang, dengan hutan tropis basah
memberi kontribusi untuk mengurangi produksi karbon dioksida (zat asam
arang) dibandingkan dengan negara-negara maju. Sekarang ini, negara
industri maju merupakan negara yang melepaskan jumlah karbondioksida,
yang kemudian menyebar luas melalui atmosphir yang mendorong bagian
problematik pemanasan global (Hidayat, Herman. 2008).
Salah satu cara untuk mengendalikan perubahan iklim adalah dengan
mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu dengan mempertahankan keutuhan
hutan alami dan meningkatkan kerapatan populasi pepohonan di luar hutan.
Tumbuhan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan menyerap gas asam
arang (CO) dari udara melalui proses fotosintesis, yang selanjutnya diubah
menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan
akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman. Proses penimbunan karbon (C)
2
dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C-
sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah karbon yang disimpan
dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat
menggambarkan banyaknya CO di atmosfer yang diserap oleh tanaman.
Pengukuran cadangan karbon yang masih tersimpan dalam bagian
tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung
menggambarkan CO yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran.
(Hairiah et all,. 2011).
Vegetasi yang tumbuh di atas permukaan tanah salah satunya adalah
hutan. Hutan memiliki peranan yang sangat penting dalam menyerap karbon
guna menghasilkan sebuah konsep perdagangan karbon. Perdagangan
karbon diawali dengan disepakatinya Kyoto Protocol bahwa negara-negara
penghasil emisi karbon harus menurunkan tingkat emisinya dengan
menerapkan teknologi tinggi dan juga menyalurkan dana kepada negara-
negara yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk mampu menyerap
emisi karbon secara alami misalnya melalui vegetasi (hutan). Indonesia
dengan luas hutan terbesar ketiga di dunia, bisa berperan aktif untuk
mengurangi emisi dunia melalui carbon sink. Hal ini bisa terjadi jika hutan
yang ada dijaga kelestariannya dan melakukan penanaman (afforestasi)
pada kawasan bukan hutan (degraded land). Serta melakukan perbaikan
kawasan hutan yang rusak (degraded forest) dengan cara penghutanan
kembali (reforestasi) (Suryatmojo, H. 2006).
Peran karbon pada tanaman, dapat digunakan untuk sumber
karbohidrat bagi kehidupan tanaman. Tanaman memiliki komponen
biomassa di atas dan di bawah permukaan tanah tetapi komponen biomassa
terbesar terdapat pada atas permukaan tanah (Hairiah dalam Arga P, 2011).
Pada bagian bawah permukaan tanaman akan menyimpan karbohidrat yang
akan diubah menjadi makanan untuk keberlangsungan hidup tanaman. Hal
ini akan baik terjadi apabila semakin banyak tanaman yang menyerap
karbon untuk diproses keberlangsungan hidup, proses fotosintesis yang
dihasilkan tanaman (tanaman hutan) akan sangat mempengaruhi jumlah
biomassa pada hutan. Jumlah biomassa pada tanaman ada yang diserap pada
3
tanaman atau dapat disebut juga simpanan karbon pada tanaman. , apabila
jumlah simpanan karbon pada tanaman semakin banyak yang dapat diserap,
maka karbon yang terlepas di udara tidak dapat langsung merusak lapisan
atmosfer hal ini dapat terjadi seiring pula dengan bertambahnya luas areal
tanaman. Kemampuan tanaman menyerap karbon dengan jumlah yang besar
seperti fungsi peran hutan secara alami yang dapat menyerap karbon, oleh
karena itu areal hutan yang luas perlu dipertahankan. Hal demikian
dimaksudkan supaya dapat mengurangi pemanasan global dan gas efek
rumah kaca yang terus menjadi problematik akibat karbon.
Berkaitan dengan hal tersebut maka patut dikhawatirkan keadaan
yang akan terjadi di planet ini seandainya pemanasan global terus berlanjut.
Salah satu alternatif yaitu dengan cara mempertahankan luas hutan yang ada
di permukaan bumi ini yang didasarkan pada fungsi ekologi hutan sebagai
penyangga kehidupan. Salah satu cara yang paling efektif dalam penurunan
emisi gas rumah kaca yaitu dengan memanfaatkan sifat alami pohon sebagai
penyerap C02 (Musdiyarso dalam Erwin, 2013).
Perubahan iklim yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem
merupakan salah satu permasalahan yang selalu dikaji agar kondisi
lingkungan tidak semakin memburuk. Efek rumah kaca yang berkaitan
dengan jumlah emisi karbon yang diserap dan disimpan oleh vegetasi di atas
permukaan tanah, belum keseluruhan terserap oleh vegetasi sehingga masih
ada yang terlepas ke atmosfer. Karbon yang terlepas tersebut dapat merusak
lapisan atmosfer jika terlalu banyak yang terlepas secara langsung ke
atmosfer.
Pentingnya menganalisis jumlah emisi cadangan karbon yang
tersimpan pada vegetasi dapat membantu mengurangi jumlah karbon yang
dapat terlepas secara langsung ke atmosfer. Salah satu manfaat hutan adalah
mampu mengikat karbon sebagai karbohidrat. Negara di Asia Tenggara
yang salah satunya kaya areal hutan merupakan Negara Indonesia.
Indonesia memiliki luas hutan yang tersebar di berbagai pulau. Pulau Jawa
merupakan salah satu pulau yang memiliki areal hutan rakyat serta memiliki
peran penting dalam mengikat karbon. Daerah Istimewa Yogyakarta
4
memiliki potensi dibudidayakan untuk memperluas areal hutan. Areal hutan
yang dilestarikan dan dibudidayakan salah satunya adalah hutan rakyat,
areal hutan rakyat sebagian besar tersebar di Kabupaten Gunungkidul
(42.569,96 ha) dan Kabupaten Bantul (8.595 ha). Karbon yang diikat pada
masing-masing vegetasi pada areal hutan rakyat tidak sama karena ada
berbagai jenis pohon yang tumbuh dan dilestarikan sebagai hutan rakyat,
seperti : kayu jati, pinus, mahoni, meranti, sengon, dan akasia. Jenis-jenis
pohon yang ditanam pada areal hutan rakyat masing-masing Kabupaten di
Daerah Istimewa Yogyakarta dapat di lihat pada Tabel 1.1 Data Sebaran
Vegetasi Hutan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tiap jenis pohon memiliki
jumlah cadangan karbon yang berbeda-beda, dimana semakin besar jumlah
cadangan karbon yang terikat oleh tanaman, maka semakin sedikit karbon
yang terlepas secara langsung ke atmosfer. Perkembangan hutan rakyat di
Pulau Jawa masih belum secara keseluruhan dapat dikelola oleh masyarakat
dengan standart pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari.
Tabel 1.1 Data Sebaran Vegetasi Hutan di Daerah Istimewa Yogyakarta
No Kabupaten Jenis Pohon
1 Kulonprogo
Jati
Mahoni
Sengon
Rimba
2 Bantul
Jati
Pinus
Mahoni
Sengon
Rimba
3 Sleman
Jati
Mahoni
Sengon
Rimba
4 Kota Yogyakarta -
5 Gunungkidul
Jati
Kayu Putih
Mahoni
Rimba (Sumber : LKPJ GUBERNUR DIY 2015)
5
Berdasarkan Tabel 1.1 Data Sebaran Vegetasi Hutan di Daerah
Istimewa Yogyakarta dapat diperoleh informasi bahwa Kabupaten Bantul
memiliki macam vegetasi yang beragam dibanding tiga kabupaten lainnya
yaitu sebanyak 5 jenis pohon antara lain: jati, pinus, mahoni, sengon dan
rimba. Informasi lain yang diperoleh dari Lembar Kerja Pertanggung
Jawaban (LKPJ) Gubernur DIY tahun 2015 adalah capaian peningkatan
produksi hasil hutan. Peningkatan luas hutan di DIY tahun 2015 terjadi
akibat bertambahnya luasan hutan rakyat, sejumlah 667,59 ha dibandingkan
tahun 2014. Peningkatan luas hutan rakyat tersebut juga memberikan
implikasi adanya penurunan luas lahan kritis. Luas lahan kritis di DIY tahun
2015 sebesar 25.378,25 ha dibandingkan tahun 2014. Peningkatan luas
hutan rakyat dan berkurangnya lahan kritis, menunjukkan bahwa kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya fungsi hutan lestari, semakin baik dari
waktu ke waktu. Berikut ini adalah tabel data perubahan lahan kritis yang
terus menurun luas arealnya diiringi penambahan luas areal hutan rakyat.
Informasi peningkatan luas hutan rakyat dan perubahan lahan kritis dapat
dilihat pada Tabel 1.1 Adapun Tentang Perubahan Areal Lahan Kritis dan
Hutan Rakyat di Daerah Yogyakarta tahun 2012 – tahun 2015.
Tabel 1.2 Perubahan Areal Lahan Kritis dan Hutan Rakyat di Daerah
Istimewa Yogyakarta tahun 2012 – tahun 2015
No Areal 2012 (ha) 2013 (ha) 2014 (ha) 2015 (ha)
1 Lahan Kritis 29,000 27.291,87 25.789,75 25.378,25
2 Hutan Rakyat 16.690,52 75.120,31 76.012,41 76.680,48
TOTAL 45.690,52 102.412,18 101.802,16 102.058,73
Sumber: Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur D.I.Y tahun 2012 –
tahun 2015
Luas hutan rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan data
LKPJ Gubernur adalah seluas 76.680,48 hektar atau setara dengan 24,07%
dan sisanya merupakan hutan negara seluas 18.715,06 hektar atau 5,87%.
Adapun tabel luas hutan rakyat dan hutan negara tiap kabupaten di DIY
pada tahun 2015.
6
Tabel 1.3 Luas Hutan di DIY Berdasarkan Status dan Kewilayahan Tahun
2015
No. Kabupaten Hutan Negara
(ha)
Hutan Rakyat
(ha)
Total Luas
Hutan (ha)
%Total Luas
Hutan
1 GunungkiduL 14.895,50 42.569,96 57.465,46 60,24
2 Bantul 1.052,60 8.595,00 9.647,60 10,11
3 Sleman 1.729,46 4.756,11 6.485,57 6,80
4 Kulon Progo 1.037,50 20,759,41 21.796,91 22,85
Hutan di D.I.Y 18.715,06 76.680,48 95.395,54 100,00 Sumber: Analisis data Dishutbun DIY & BPS DIY, 2016 dalam LKPJ Gubernur D.I.Y
Berdasarkan data Tabel 1.3 Luas Hutan di DIY berdasarkan status
dan kewilayahan tahun 2015 bahwa Kabupaten Bantul memiliki hutan
rakyat sebesar 8.595 ha dan luas hutan negara sebesar 1.052,60 ha.
Kecamatan - kecamatan di Kabupaten Bantul saat ini telah dapat bersaing
untuk tetap menjaga kelestarian areal hutan rakyat seperti di Kabupaten
Gunungkidul. Salah satu Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Pajangan.
Kecamatan Pajagan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bantul
yang mampu bersaing melestarikan areal hutan rakyat setelah kecamatan
Dlingo. Kecamatan Pajangan juga memiliki Unit Manajemen Hutan Rakyat
(UMHR) untuk mengelola areal hutan rakyat.
Tabel 1.4 Luas Hutan Rakyat di Kabupaten Bantul Tahun 2010 – Tahun
2013
No. Kecamatan
Luas Hutan
Rakyat (Ha)
th 2010
Luas Hutan
Rakyat (Ha) th
2011
Luas Hutan
Rakyat (Ha) th
2012
Luas Hutan
Rakyat (Ha)
th 2013
1 Sedayu 398 398 398 398
2 Pajangan 2.621 2.621 2.621 2.621
3 Kasihan 272 272 272 272
4 Srandakan 45 45 45 45
5 Pandak 75 75 75 75
6 Sanden 62.5 62.5 63 63
7 Bantul - - - -
8 Sewon - - - -
9 Jetis 18 18 18 18
10 Pundong 350 350 350 350
11 Kretek 115 115 140 140
12 Bambanglipuro 40 40 40 40
7
No. Kecamatan
Luas Hutan
Rakyat (Ha)
th 2010
Luas Hutan
Rakyat (Ha) th
2011
Luas Hutan
Rakyat (Ha) th
2012
Luas Hutan
Rakyat (Ha)
th 2013
13 Dlingo 1.598 1.598 1.598 1.598
14 Piyungan 415 395 395 395
15 Imogiri 2.180 2.180 2.180 2.180
16 Pleret 375 375 375 375
17 Banguntapan - - - -
Jumlah 8.502 8.482 8.570 8.570 Sumber: Data Dinas Pertanian Pangan Kelautan dan Perikanan Pemerintah Kabupaten Bantul
Tahun 2010- Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 1.4 Luas Hutan Rakyat di Kabupaten Bantul
Tahun 2010 – Tahun 2013 menunjukkan bahwa Kecamatan Pajangan
mampu bersaing mempertahankan areal hutan rakyat lebih besar dari
Kecamatan Dlingo dan lima belas kecamatan lainnya. Adapun luas areal
hutan rakyat di Kecamatan Pajangan dari tahun 2010 hingga tahun 2013
sebesar 2.621 hektare. Berbeda dengan kecematan lainnya yang mengalami
fluktuasi luas areal hutan rakyatnya, seperti Kecamatan Piyungan luas hutan
rakyat pada tahun 2010 sebesar 415 hektare kemudian mengalami
penurunan pada tahun 2011 sampai tahun 2013 menjadi sebesar 395
hektare. Kecamatan sanden mengalami kenaikan luas hutan rakyat sebesar
0,5 hektare pada tahun 2012 dan tahun 2013 menjadi sebesar 63 hektare.
Tiga unit manajemen hutan rakyat di Kecamatan Pajangan,
Kabupaten Bantul telah memiliki sertifikat pengelolaan hutan berbasis
masyarakat lestari menurut Pejabat Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Unit Manajemen Hutan
Rakyat (UMHR) tersebut yaitu UMHR Wono Lestari dengan hutan seluas
900 ha yang tersebar di tiga desa Kecamatan Pajangan, yaitu Desa
Sendangsari, Guwosari dan Triwidadi. Kemudian UMHR Jasema singkatan
dari jati sengon mahoni (jenis pohon) di Desa Terong Kecamatan Dlingo
seluas 500 ha, serta UMHR Wonorejo di Desa Argorejo Kecamatan Sedayu
dengan lahan seluas 250 ha. UMHR Wonorejo yang paling terakhir
(bersertifikasi), sementara yang UMHR Wono Lestari lokasinya lebih dari
satu desa, sehingga yang dibantu tidak kecil luasannya (Nusarinna, 2016).
Lanjutan Tabel 1.4 Luas Hutan Rakyat di Kabupaten Bantul
8
UMHR Wono Lestari di Kecamatan Pajangan memiliki hutan rakyat
yang telah dikelola oleh UMHR Wono Lestari dan bersertifikat pengelolaan
hutan berbasis masyarakat lestari. (BPS Kecamatan Pajangan dalam Angka
2015). Aspek kelembagaan pengelolaan hutan rakyat di kalangan
masyarakat belum tersebar secara merata di Pulau Jawa. Wilayah yang
memiliki areal hutan rakyat belum tentu mampu berkembang dengan baik
untuk pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Pengelolaan individual areal
hutan rakyat memiliki kecenderungan pengelolaan yang disesuaikan dengan
keinginan pemilik areal hutan rakyat, jika pemilik membutuhkan untuk
pemenuhan kebutuhan yang besar bisa menjual areal hutan yang dimiliki
atau menjual kayu hutan rakyat. Terdapat beberapa pola tanam yang dipilih
untuk mengelola areal hutan rakyat. Oleh karena itu menurut Suprapto
(2010), keputusan teknis pengelolaan hutan seperti penanaman,
pemeliharaan dan pemanenan bergantung pada keluarga yang pada
umumnya dengan pertimbangan kondisi ekonomi keluarga. Dalam sistem
hutan rakyat terkenal istilah „„tebang butuh‟‟ dimana kegiatan penebangan
menyangkut pohon mana yang ditebang dan berapa jumlahnya tergantung
pada kebutuhan masing-masing keluarga. Begitu juga dengan pilihan pola
tanam. Pada keluarga yang memiliki lahan pertanian cukup luas atau
memiliki berbagai sumber pendapatan selain menerapkan pola agroforestry
juga memungkinkan penanaman dengan pola monokultur.
Informasi yang diperoleh dari data statistik Kecamatan Pajangan
Tahun 2015 bahwa terdapat topografis yang bukit dan areal hutan rakyatnya
ditanami tanaman keras kehutanan seperti tanaman jati dan mahoni. Pola
tanam pada berbagai tipology hutan rakyat memiliki jenis tanaman yang
beragam pula. Masing-masing jenis tanaman memiliki kemampuan
menyerap karbon yang berbeda-beda. Perhitungan karbon yang diasumsikan
dari 50% emisi karbon, dapat mengetahui jumlah cadangan karbon pada
satu pola agroforestry hutan rakyat di Kecamatan Pajangan.
Petani hutan rakyat akan terbantu dengan informasi pola tanam
sesuai jenis tanaman hutan rakyat serta memperoleh informasi cadangan
9
karbon yang dapat diserap oleh areal hutan rakyat yang sedang dikelola.
Masyarakat mampu melestarikan lingkungan dan tetap meningkatkan taraf
hidup serta perekonomian dengan memanfaatkan kayu hutan rakyat dan
kemampuan alami penyarapan karbon pada hutan rakyat.
Satelit penginderaan jauh dan sensor-sensor yang bisa memberikan
informasi vegetasi diantaranya TM, SPOT, IRS, IKONOS, ASTER dan
lain-lain. Informasi vegetasi yang bisa didapatkan seperti konsentrasi
klorofil, biomassa, kandungan air, phytoplankton (Radiagita, 2006).
Penelitian ini menggunakan citra SPOT 6 dengan resolusi 5 meter, citra
yang digunakan merupakan hasil mozaik citra SPOT dari tahun 2013 hingga
tahun 2015. Penggunaan citra SPOT 6 dapat memetakan areal hutan, karena
memiliki resolusi spasial yang tinggi dan dapat digunakan untuk pemetaan
hingga skala 1:25.000 sedangkan untuk skala 1:10.000 resolusi spasial
satelit SPOT 6/7 dengan resolusi spasial 1,5 meter.
1.1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan
masalah yang penting untuk penelitian ini adalah:
1. Bagaimana potensi penyerapan emisi karbondioksida areal hutan
rakyat di Kecamatan Pajangan?
2. Berapa cadangan karbon areal hutan rakyat di Kecamatan
Pajangan ?
3. Berapa besar pengaruh pola tanaman terhadap penyerapan emisi
karbondioksida di areal hutan rakyat Kecamatan Pajangan?
4. Bagaimana peta cadangan karbon areal hutan rakyat di
Kecamatan Pajangan?
1.1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Menentukan potensi penyerapan emisi karbondioksida areal
hutan rakyat di Kecamatan Pajangan.
2. Menentukan cadangan karbon areal hutan rakyat di Kecamatan
Pajangan.
10
3. Menganalisis pengaruh pola tanaman terhadap penyerapan emisi
karbondioksida di areal hutan rakyat Kecamatan Pajangan.
4. Memetakan cadangan karbon areal hutan rakyat di Kecamatan
Pajangan.
1.1.4 Kegunaan Penelitian
Maksud dari kegiatan mengetahui analisis cadangan karbon pada
berbagai tipology hutan rakyat di Kecamatan Pajangan, ini adalah :
1. Mengetahui pemanfaatan data satelit SPOT 6 untuk mengetahui
cadangan karbon hutan rakyat.
2. Dapat memberikan informasi data spasial pemetaan areal hutan
rakyat yang telah bersertifikat dan telah memiliki informasi
cadangan karbon.
3. Membantu kelompok tani agar dapat memperoleh data cadangan
karbon serta menjaga keseimbangan cadangan karbon dari tiap
tipologi hutan rakyat pada masing-masing areal hutan rakyat di
Kecamatan Pajangan.
4. Dapat melengkapi data informasi mengenai jumlah cadangan
karbon hutan rakyat di Balai Pemantapan Kawasan Hutan
Wilayah XI Jawa-Madura (BPKH XI Jawa-Madura).
I.2 Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya
I.2.1 Telaah Pustaka
1.2.1.1 Penggunaan Lahan
Pengertian penggunaan lahan oleh Arsyad (1989:207 dalam
Anggorowati, Fitri. 2010), “Penggunaan lahan (land use) adalah setiap
bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual”.
Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu
penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.
Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yakni
keadaan kenampakan penggunaan lahan dapat terjadi secara sistematik dan
11
non-sistematik. Perubahan sistematik terjadi dengan ditandai oleh fenomena
yang berulang, yakni tipe perubahan penggunaan lahan pada lokasi yang
sama. Kecenderungan perubahan ini dapat ditunjukkan dengan peta
multiwaktu. Fenomena yang ada dapat dipetakan berdasarkan seri waktu,
sehingga perubahan penggunaan lahan dapat diketahui. Perubahan non-
sistematik terjadi karena kenampakan luasan lahan yang mungkin
bertambah, berkurang, ataupun tetap. Perubahan ini pada umumnya tidak
linear karena kenampakannya berubah-ubah, baik penutup lahan maupun
lokasinya (Murcharke dalam Anggorowati, Fitri. 2010).
1.2.1.2 Pengertian Hutan
Berdasarkan UU No. 41/1999, hutan adalah suatu ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya
tidak dapat dipisahkan. Hutan merupakan sumber kekayaan alam yang
sangat berperan penting dalam pembangunan aspek kehidupan dan
peradapan manusia. Hutan memiliki berbagai aspek manfaat bagi kehidupan
berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung.
Manfaat hutan diperoleh bila manfaat dan fungsi hutan terjamin
eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi, yaitu fungsi
ekologi, ekonomi, dan sosial dari hutan akan memberikan peran nyata
apabila pengelolaan sumberdaya hutan seiring dengan upaya pelestarian
guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Dephut, 1989).
1.2.1.3 Pengertian Hutan Rakyat
Pengertian hutan rakyat pada dasarnya hutan milik baik secara
perorangan, kelompok, marga maupun badan hukum yang merupakan hutan
buatan yang terletak di luar kawasan hutan negara. Hutan rakyat adalah
hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik, baik secara
perorangan maupun kelompok dengan status di luar kawasan hutan Negara.
Biasanya luas minimum adalah 0,25 hektar dengan penutupan tajuk
tanaman kayu, yaitu kayuan lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun
pertama sebanyak minimal 500 tanaman. Menurut Undang- Undang Nomor
41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan hak adalah hutan yang berada pada
12
tanah yang dibebani hak atas tanah. Dengan demikian hutan hak dapat
disebut sebagai hutan rakyat atau tanaman rakyat (Dephut, 1989)
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan bahwa yang disebut
hutan rakyat mempunyai luas minimal 0,25 Ha atau setara dengan 4 piksel.
Level detil informasi yang digunakan adalah berasal dari citra revolusi
medium (citra landsat) sehingga untuk dapat membentuk satu poligon
terkecil diperlukan luasan minimum 0,27 Ha atau 4 piksel. (Is mugiono,
2009). Hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat yang luas
minimal 0,25 Ha, dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan atau jenis
lainnya, lebih dari 50% atau jumlah tanaman pada tahun pertama minimal
500 tanaman tiap Ha (Keputusan Menhut Nomor. 49/Kpts II/ 97 tanggal 20
Januari 1997).Adapun menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang kehutanan, yang termasuk ke dalam hutan rakyat adalah hutan yang
statusnya berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Batasan hutan rakyat tersebut diatas adalah batasan yang bersifat
induktif empiris. Artinya jauh sebelum tahun 1999, Undang-Undang
kehutanan, hutan rakyat sudah ada lebih dahulu. Batasan tersebut lebih
mengacu pada isi, luasan dan status hutan, bukan mengacu pada manfaat,
kegunaan bagi rakyat. Ada tiga hal yang mendorong masyarakat
membangun Hutan Rakyat, yaitu : Hutan Rakyat pada umumnya dibangun
pada lahan-lahan yang kritis, yang tidak baik untuk komoditi lain. Kondisi
sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan yang pada umumnya sangat
terbatas atau minim atau pendapatannya dari hasil usaha tani lainnya sangat
terbatas atau minim. Masyarakat setempat membutuhkan hasil hutan (kayu
bakar, kayu perkakas, dan hasil hutan lainnya seperti ketersediaan sumber
air, madu, binatang buruan, untuk pertahanan, komunitas dari serangan
musuh atau binatang buas dan lain-lain) (J. Herman, 2009 dalam Balai
Pemanfaatan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura ).
Pengertian hutan rakyat menurut Simon (2004) adalah hutan yang
dibangun pada lahan milik atau gabungan dari lahan milik yang ditanami
pohon, yang pembinaan dan pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau
13
suatu badan usaha seperti koperasi dengan berpedoman kepada ketentuan-
ketentuan yang digariskan oleh pemerintah.
1.2.1.4 Penggunaan Lahan Hutan Rakyat
UUPK No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, di
dalam undang-undang tersebut istilah yang digunakan adalah hutan milik,
yaitu lahan milik rakyat yang ditanami dengan pepohonan (Simon, 1998
dalam Arief,Mochamad et al. 2008). Definisi ini sesungguhnya hanyalah
untuk membedakan hutan yang tumbuh di lahan negara dan lahan milik
rakyat. Sedangkan menurut Kamus Kehutanan (1990 dalam
Arief,Mochamad et al. 2008), hutan rakyat adalah :“Lahan milik rakyat atau
milik adat atau ulayat yang secara terus menerus diusahakan untuk usaha
perhutanan yaitu jenis kayu-kayuan, baik tumbuh secara alami maupun
hasil tanaman”.
Tujuan penggunaan lahan hutan rakyat adalah : ( Jaffar, 1993 )
1. Meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak
produktif secara optimal dan lestari.
2. Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan
masyarakat.
3. Membantu masyarakat dalam penyediaan kayu dan bangunan
dan bahan baku industri serta kayu bakar.
4. Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan
sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.
1.2.1.5 Karakteristik Hutan Rakyat
Beberapa karakteristik hutan rakyat bila ditinjau dari aspek manjemen
hutan yaitu (Awang et. al., 2007):
a. Hutan rakyat berada di tanah milik dengan alasan tertentu, seperti
lahan yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga
kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan, dan faktor resiko
kegagalan yang kecil.
b. Hutan rakyat tidak mengelompok dan tersebar berdasarkan letak
dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada
berbagai topografi lahan.
14
c. Pengelolaan hutan rakyat berbasis keluarga yaitu masing-masing
keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara
terpisah.
d. Pemanenan hutan rakyat berdasarkan sistem tebang butuh,
sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas
hasil, yang dapat diperoleh dari perhitungan pemanenan yang
sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman.
e. Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan
pengelolaan hutan rakyat.
f. Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak
ada petani hutan rakyat yang berani memberikan jaminan
terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri.
g. Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan
rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari
pengelolaan hutan tidak dirasakan oleh petani hutan rakyat.
Karekter tersebut mengisyaratkan rentannya kelestarian hutan rakyat
akibat adanya peningkatan kebutuhan industri berbasis kehutanan, terutama
bahan baku kayu. Hal ini diperparah dengan menurunnya produktifitas kayu
dari hutan negara yang disebabkan oleh penebangan liar dan kegagalan
pembuatan tanaman. Secara lebih jelas permasalahan yang mengancam
kelestarian hutan rakyat digambarkan dalam pohon permasalahan hutan
rakyat oleh Awang et. al. (2007) seperti pada Gambar 1.1 Pohon
Permasalahan dalam Pengelolaan Hutan.
15
Sumber: Laporan Kebijakan Hutan Rakyat Pulau Jawa, Balai Pemantapan
Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura, 2009
Gambar 1.1 Pohon Permasalahan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
1.2.1.6 Pertumbuhan hutan tropis mempercepat biomassa
Fungsi hutan tropis ialah memproduksi „karbon sink‟ (zat asam). Ia
menyerap karbon dioksida dari atmosfer dan menghasilkan karbon. Hutan-
hutan tropis, dengan pertumbuhan yang cepat sebagai tanaman biomassa,
telah membuktikan efisiennya dalam proses pengganti yang lebih awal.
Ketika hutan dibakar, mereka melepas gudang karbon kembali ke dalam
atmosfer, mempercepat menghasilkan karbon dioksida, gas rumah kaca
yang menghasilkan pemanasan global (Wood, 1990:23 dalam Herman.
2008). Oleh karena ini, ilmuwan dunia dan pembuat kebijakan berada di
bagian terdepan untuk mengundang di dalam mengakhiri atas
penghancuran hutan tropis basah. Meskipun, pergantian iklim global hanya
hal salah satu kerusakan hutan yang sangat besar jumlahnya, dikatkan
dengan isu yang berlangsung, merupakan salah satu yang paling banyak
menarik perhatian. Sebaliknya, gas emisi yang menghasilkan karbon
dioksida di negara-negara idustri maju tidak memperhatikan akibat serius
seperti karbon dioksida pada pemanasan global. Negara Indonesia
16
merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki akibat dampak
buruk pergantian iklim global (Herman, 2008).
1.2.1.7 Pembangunan Hutan Rakyat
Pembangunan hutan rakyat merupakan salah satu bentuk nyata dari
mitigasi perubahan iklim yang sudah dilakukan oleh para petani hutan
rakyat. Hutan rakyat berperan penting untuk mengurani emisi gas rumah
kaca karena hutan dapat menyerap karbon dioksida di udara yang kemudian
disimpan dalam pohon. Namun petani hutan rakyat tidak menyadari betapa
pentingnya hutan rakyat dalam mitigasi perubahan iklim, mereka juga tidak
mengetahui berapa banyak kabon dioksida yang sudah terserap oleh hutan
rakyat mereka (ARuPA, 2014)
1.2.1.8 Hutan rakyat berdasar jenis tanaman
Menurut Lembaga Penelitian IPB (1983) dalam Nur A. 2013, hutan
rakyat dibagi kedalam tiga bentuk menurut jenis tanamannya, yaitu hutan
rakyat monokultur, hutan rakyat polikultur, dan hutan agroforestri.
a. Hutan Rakyat Monokultur
Hutan rakyat monokultur yaitu, hutan rakyat yang hanya terdiri satu
jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau
monokultur. Pola monokultur biasanya dikembangkan oleh petani
yang pendapatan utamanya bukan dari lahan yang ditanami pohon
hutan rakyat. Definisi lain dari monokultur yang dikemukakan Zain,
(2003) (dalam Nur A. 2013) adalah suatu kelompok hutan yang
hanya terdiri atas satu jenis tanaman pohon-pohonan tertentu.
b. Hutan Rakyat Polikultur
Hutan rakyat polikultur yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai
jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.
c. Hutan Rakyat Agroforestri
Hutan rakyat agroforestri yaitu, yang mempunyai bentuk usaha
kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya
seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan
lain-lainnya yang dikembangkan secara terpadu. Pola agroforestri
17
biasanya dikembangkan petani pada lahannya disamping sebagai
penghasil kayu juga digunakan untuk menghasilkan produk
pertanian untuk memenuhi kebutuhan industri atau kebutuhan makan
ternaknya.
1.2.1.9 Kemampuan Tanaman sebagai Penyerap Emisi Karbon dan
Cadangan Karbon
Kemampuan secara alami yang dimiliki oleh tanaman memiliki peran
penting terkait jumlah emisi dan cadangan karbon dalam kehidupan.
Menurut Hairiah et al (2011), proses penyerapan gas CO2 dari udara dan
penimbunan karbon dalam tubuh tanaman. Proses penyerapan gas hidup
dinamakan proses sekuestrasi. Dengan demikian mengukur jumlah karbon
yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup dalam suatu lahan banyaknya
CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Semakin banyak dan semakin
lama karbon disimpan dalam tanaman maka sekuestrasi karbon akan
semakin besar. Sedangkan jumlah karbon yang hilang dari lahan kita karena
panen dan pembakaran dihitung sebagai misi. Keberadaan pohon besar
dalam suatu lahan dapat mempertahankan jumlah karbon yang disimpan,
namun demikian keradaan pohon yang berukuran kecil sampai sedang akan
membantu menyerap CO2 di atmosfir dan menjadi penyerap karbon dimasa
depan.
Kemamampuan tanaman secara alami tersebut dapat digambarkan pada
siklus karbon yang dapat dilihat pada Gambar 1.2 Siklus Karbon di Udara,
dalam Tanaman dan di dalam Tanah (Hairiah et al, 2011).
18
Gambar 1.2 Siklus Karbon di Udara, dalam Tanaman dan di dalam Tanah
(Hairiah et al, 2011)
1.2.1.10Biomassa Total
Biomassa suatu tanaman di atas permukaan tanah dapat dilakukan
pengukuran dengan dua metode, yaitu metode non-destructive dan
destructive. Penelitian ini menggunakan metode destructive, yaitu metode
pengukuran biomassa total pada jenis tanaman yang telah diukur sudah
diketahui rumus allometrik. Rumus allometrik yang dimaksud adalah
penggunaan rumus yang telah digunakan pada pengukuran peneliti
sebelumnya. Biomassa total tanaman dapat memberikan dugaan sumber
karbon, karena 50% biomassa adalah karbon.
1.2.1.11Cadangan Karbon
Cadangan karbon adalah kandungan karbon tersimpan, baik di atas
permukaan tanah dan di dalam tanah. Hutan memiliki peran penting sebagai
penyerap karbon yang disimpan pada organ-organ tanaman. Tanaman dapat
menyimpannya sebagai biomassa tanaman (biomassa vegetasi). Cadangan
19
karbon suatu tanaman dipengaruhi oleh cadangan karbon di atas tanah
(biomassa tanaman). Menurut Hairiah et al (2011) cadangan karbon
disimpan dalam tiga komponen pokok, yaitu biomassa, nekromassa dan
bahan organik tanah. Berdasarkan keberadaannya dibagi menjadi dua
kelompok yaitu di atas permukaan tanah dan di dalam tanah.
1.2.1.12Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh (Remote Sensing) merupakan ilmu dan seni untuk
memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan cara
menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat, tanpa kontak
langsung terhadap obyek, daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand dan
Kiefer dalam Sutanto, 1999). Komponen yang ada pada sistem
penginderaan jauh diantaranya yaitu sumber tenaga (aktif dan pasif),
panjang gelombang elektromagnetik yang digunakan, interaksi panjang
gelombang dengan obyek, obyek itu sendiri, atmosfer dan sensor satelit.
Setiap obyek di permukaan bumi akan memberikan reaksi yang
berbeda-beda terhadap sumber tenaga dalam salah satu komponen
penginderaan jauh. Ada obyek yang menyerap (absorption), memantulkan
(reflection) dan meneruskan (transmition) tenaga-tenaga tersebut. Sifat-sifat
obyek/interaksi terhadap gelombang elektromagnetik tersebutlah yang
ditangkap oleh sensor satelit penginderaan jauh untuk bisa dimanfaatkan
dalam berbagai bidang (Jatmiko dalam Diah, 2014).
Penggunaan kamera yang dipasang pada pesawat tanpa awak dalam
bidang penginderaan jauh telah banyak digunakan menjadi salah satu
alternatif dan kreatifitas yang digunakan untuk memudahkan pemotretan
objek lebih detail dan menghemat biaya serta waktu dibandingkan
penggunaan satelit.
Pengguna Unnamed Air Vehicle (UAV) pada bidang pemetaan atau
penginderaan jauh yang sering disebut dengan foto udara. Pesawat tanpa
awak dalam bidang foto udara telah terpasang kamera untuk memotret objek
yang berada pada jalur terbang pesawat tersebut. Berdasarkan arah sumbu
kamera, foto udara dibagi menjadi foto udara vertikal dan condong.
20
1.2.1.13SIG dan PJ untuk kehutanan
Potensi karbon hutan dapat juga ditaksir dengan menggunakan
instrumen penginderaan jauh (citra satelit), walaupun tidak ada satupun citra
penginderaan jauh yang dapat mengukur potensi karbon hutan secara
langsung, sehingga tetap memerlukan pengecekan atau pengukuran di
lapangan (Rosenqvist et al 2003a, Drake et al 2003 dalam Heru Santoso,
2008). Dengan adanya suatu pendekatan sampling bisa digunakan untuk
menaksir potensi karbon hutan pada seluruh areal. Pada bidang kehutanan,
SIG sangat diperlukan guna mendukung pengambilan keputusan untuk
memecahkan permasalahan keruangan, mulai dari tahap perencanaan,
pengelolaan sampai dengan pengawasan (Jaya dalam Heru, 2008).
1.2.1.14 Citra satelit SPOT 6 dalam monitoring hutan
Citra satelit SPOT mengikuti perkembangan teknologi, dapat
digunakan untuk monitoring hutan. Resolusi spasial 5 meter pada citra
satelit SPOT 6, mampu mengamati areal vegetasi lebih baik dibandingkan
citra resolusi menengah seperti Landsat resolusi 30 meter. Pengamatan
vegetasi tetap harus membutuhkan survei lapangan, supaya menilai tingkat
keakuratan vegetasi. Hal ini dikarenakan walaupun memiliki keunggulan
tetapi pengamatan vegetasi khususnya untuk menunjukkan besar cadangan
karbon, data vegetasi pada citra satelit hanya menunjukkan pemrosesan
secara pengolahan spasial. Perolehan data parameter untuk perhitungan
karbon tetap diperlukan kegiatan survei.
SPOT singkatan dari Systeme Pour I.Observation de la Terre.
SPOT-1 diluncurkan pada tahun 1986. SPOT dimiliki oleh konsorsium yang
terdiri dari Pemerintah Prancis, Swedia dan Belgia. SPOT pertama kali
beroperasi dengan pushbroom sensor CCD dengan kemampuan off-track
viewing di ruang angkasa. Saat itu, resolusi spasial 10 meter untuk
pankromatik dan 20 meter daerah tampak (visible). Pada Maret 1998 sebuah
kemajuan signifikan SPOT-4 diluncurkan: sensor HRVIR mempunyai 4 di
samping 3 band dan instumen VEGETATION ditambahkan.
VEGETATION didesain untuk hampir tiap hari dan akurat untuk
memonitor bumi secara global (Nana Suwargana, 2013). SPOT 4
21
diluncurkan pada 24 Maret 1998. Memiliki kemajuan yang cukup besar dari
satelit sebelumnya (SPOT1, 2, dan 3). Perubahan yang utama adalah
modifikasi dari HRV (High Resolution Visible) menjadi High Resolution
Visible and Infrared Instrument (HRVIR). Kemampuan tambahan yang
dimiliki dalam mendeteksi gelombang tengah inframerah adalah digunakan
untuk keperluan survei geologi, survei vegetasi dan survei tutupan salju.
SPOT 5 diluncurkan pada 4 Mei 2002 dengan kemampuan resolusi tinggi
yang berkisar pada level 2,5 meter, 5 meter, dan 10 meter (Fatma, 2014).
Penyajian data berupa tabel karakteristik citra satelit SPOT 6,
sebagai berikut:
Tabel 1.5 Karakteristik citra Satelit SPOT 6
No. Karakteristik Keterangan
1 Tanggal Peluncuran
9 September tahun 2012 bersamaan dengan
SPOT-7
2 Resolusi Spasial Pada Nadir dan
Jangkauan Spektral
1.5m GSD pada nadir (450 – 745 nm ); 5m
GSD pada nadir (Biru (455 – 525nm), Hijau
(530 – 590nm), Merah (625 – 695nm), IR dekat
(760 – 890nm))
3 Lebar Sapuan 60 km pada nadir
4 Pencitraan Off-Nadir
30 derajat (standar) - 40 derajat (extended);
Gyroscop dapat merekam berbagai arah sesuai
permintaan
5 Jangkauan Dinamik 12 bit per piksel
6 Masa Aktif Satelit ±10 tahun
7 Waktu Pengulangan 1-3 hari bersamaan dengan SPOT-7
8 Ketinggian Orbit 694 km
9 Waktu Lintasan Equatorial 10:00 A.M descending mode
10 Luas Pemesanan Arsip min.250 sq.km, Tasking min.100 sq.km,
Lebar area min.5km di setiap sisi
11 Tingkat Akurasi 35m CE 90 tanpa GCP (dengan sudut
perekaman 30 d
12 Penggunaan
Penggunaan lahan, perencanaan wilayah,
pemetaan, sumberdaya alam, pertambangan dan
eksplorasi, minyak dan gas, pertanian
13 skala pemetaan
akurasi lokasi yang lebih baik dari 10 meter
(CE90) dan resolusi 1,5 meter, SPOT 6 dan
SPOT 7 adalah solusi ideal untuk nasional 1:25
000 seri peta
22
14 Keunggulan
memiliki 4 fitur CMG (Control Moment
Gyroscope) pada sistem kontrol, sehingga
mampu melakukan manuver lebih cepat
dibanding satelit sebelumnya Sumber: Data Pusat Pemanfaatan Teknologi Dirgantara tahun 2015, LAPAN
1.2.1.15 Software ENVI 5.x
ENVI (The Environment For Visualizing Images) merupakan suatu
image processing sistem yang revolusioner yang dibuat oleh Research
System, Inc (RSI). Dari permulaannya ENVI dirancang untuk kebutuhan
yang banyak dan spesifik di mereka yang secara teratur menggunakan data
penginderaan jauh dari satelit dan pesawat terbang. ENVI menyediakan data
visualisasi yang menyuluruh dan analisa untuk citra dalam berbagai ukuran
dan npe, semuanya dalam suatu lingkungan yang mudah dioperasikan dan
inovatif untuk digunakan (Diah F, 2015).
Penggunaan ENVI dalam penelitian ini, terdapat pemrosesan
pengolahan citra satelit menjadi hitam putih proses NDVI (Normalized
Difference Vegetation Index), masking citra dan pengklasifikasian citra hasil
NDVI. Pemilhan klasifikasi citra secara supervised mampu mempermudah
proses pembagian kerapatan vegetasi. Tiga kelas kerapatan yaitu rendah,
sedang, dan tinggi. Penggunaan ENVI menjadi pilihan karena sering
digunakan pada penelitian yang berkaitan dengan pengolahan data hutan
khususnya pemrosesan NDVI.
1.2.1.16 Klasifikasi Citra
Klasifikasi citra penginderaan jauh (inderaja) bertujuan untuk
menghasilkan peta tematik, dimana tiap warna mewakili sebuah objek,
misalkan hutan laut, sungai, sawah dan lain-lain (Agus zainal Anggorowati,
Fitri. 2010). Klasifikasi citra digital merupakan proses pengelompokan
piksel ke dalam kelas-kelas tertentu. Hal ini sesuai dengan asumsi yang
digunakan dalam klasifikasi multispektral ialah bahwa setiap objek dapat
dibedakan dari yang lainnya berdasarkan nilai spektralnya (Projo
Danoedoro dalam Anggorowati, Fitri. 2010). Pada umumnya klasifikasi
citra digital yang digunakan adalah klasifikasi supervised. Menurut Projo
Lanjutan Tabel 1.5 Karakteristik Citra SPOT 6
23
Danoedoro dalam Anggorowati, Fitri (2010) adalah klasifikasi supervised
ini melibatkan interaksi analisis secara intensif, dimana analis meuntun
proses klasifikasi dengan identifikasi objek pada citra (training area)
(Ike,2011).
1.2.1.17 Interpretasi Citra
Interpretasi citra pada dasarnya terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu
1) penyadapan data dari citra dan 2) penggunaan data tersebut untuk tujuan
tertentu. Penyadapan data dari citra berupa pengenalan objek yang
tergambar pada citra serta penyajiannya ke tabel, grafik, dan peta tematik.
Urutan pekerjaannya dimulai dari menguraikan atau memisahkan objek
yang rona atau warnanya berbeda, diikuti oleh delineasi atau penarikan garis
batas bagi objek yang memiliki rona atau warna sama. Objek yang telah
dikenali jenisnya kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tujuan
interpretasi dan digambarkan pada peta (Sutanto, 1999).
Interpretasi visual yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan sistem Klasifikasi Penutup Lahan (23 klas) yang digunakan
dalam juknis penafsiran Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa Madura
Wilayah XI. Lihat pada tabel 1.5 Sistem Klasifikasi Penutup Lahan (23
klas):
Tabel 1.6 Sistem Klasifikasi Penutupan Lahan (23 klas)
No Kode Klasifikasi
1 Hp/2001 Hutan Lahan Kering Primer
2 Hs/2002 Hutan Lahan Kering Sekunder
3 Hrp/2005 Hutan Rawa Primer
4 Hrs/20051 Hutan Rawa Sekunder
5 Hmp/2004 Hutan Mangrove Primer
6 Hms/20041 Hutan Mangrove Sekunder
7 Ht/2006 Hutan Tanaman
8 Pk/2010 Perkebunan
9 B/2007 Semak Belukar
10 Br/20071 Semak Belukar Rawa
11 S/3000 Savanna / Padang rumput
12 Pt/20091 Pertanian Lahan Kering
24
No Kode Klasifikasi
13 Pc/20092 Pertanian Lahan Kering Campur Semak
14 Sw/20093 Sawah
15 Tm/20094 Tambak
16 Pm/2012 Permukiman
17 Tr/20122 Transmigrasi
18 T/2014 Lahan Terbuka
19 Tb/20141 Pertambangan
20 A/5001 Tubuh Air
21 Rw/50011 Rawa
22 Aw/2500 Awan
23 Bdr/Plb/20121 Bandara / Pelabuhan Sumber : juknis penafsiran dengan Arcgis, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa Madura Wilayah XI.
1.2.1.18 Klasifikasi Terselia (supervised classification)
Pendekatan yang diterapkan dalam klasifikasi terselia, pertama-tama
obyek dipilih menurut tujuan studi, informasi dari pengetahuan yang
dimiliki untuk daerah tersebut. Pengetahuan tentang obyek-obyek yang
terdapat dalam citra sangat bermanfaat untuk mempelajari obyek di daerah
tersebut dengan menggunakan teknik penjamanan dan analisis kluster.
Hasilnya dapat digunakan untuk menetapkan ulang kelas-kelas yang dipilih.
Penetapan kelas spektral yang memuaskan, termasuk uji histogram untuk
setiap kelas, menunjukkan bahwa kelas-kelas tersebut telah siap untuk
diproses dalam langkah selanjutnya yakni klasifikasi (Howard, 1996).
1.2.1.19 Transformasi NDVI
Penelitian ini menggunakan transformasi indeks vegetasi yaitu
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) (Rouse et al dalam Prima
2012), dengan rumus :
(
)
NDVI mempunyai nilai berkisar antara -1 hingga +1 (Danoedoro
dalam Prima 2012)
Pembedaan kerapatan hutan rakyat dengan menggunakan analisis
indeks vegetasi (Normalized Difference Vegetation Index/NDVI) (Balai
Lanjutan Tabel 1.6 Sistem Klasifikasi Penutupan Lahan (23 klas)
25
Pemantapan Kawasan Hutan dalam Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat
di Pulau Jawa tahun 1990-2008). Secara umum rumus NDVI yang
diterapkan adalah sebagai berikut :
NDVI = (NP inframerah – NP merah) / (NP inframerah dekat + NP merah)
`
Hasil dari proses NDVI merupakan citra dengan range -1 sampai
dengan +1. Nilai antara -1 sampai dengan 0 selanjutnya dapat di-elimnir
karena rentang nilai ini sesuai teori merupakan rentang nilai areal tak
bervegtasi atau penonjolan informasi areal terbuka (tanah terbuka).
Klasifikasi selanjutnya lebih difokuskan untuk rentang nilai 0 – 1. Kelas
klasifikasi yang dibangun dilakukan dengan melakukan deteksi ulang
kawasan berair untuk dihilangkan sehingga diperoleh citra dengan rentang
0,n – 1 dimana merupakan rentang nilai tanpa kawasan berair yang
kemudian dikelaskan dengan kelas equal interval.
Adapun kelas yang digunakan untuk analisis kerapatan dapat
disajikan pada Tabel 1.6 Kelas Kerapatan dan Nilai NDVI untuk Analisis
Kerapatan. Strata kerapatan yang digunakan terdiri dari kerapatan vegetasi
rendah, sedang dan tinggi. Masing-masing strata kerapatan menyajikan
informasi tipe hutan rakyat yang berbeda-beda. Tipe hutan rakyat alami atau
alas maksud dalam tipe strata kerapatan tinggi yaitu penggunaan lahan
hanya digunakan ditanami tanaman hutan rakyat.
Tabel 1.7 Kelas Kerapatan dan Nilai NDVI untuk Analisis Kerapatan
Kelas
Kerapatan Nilai NDVI
Nilai NDVI dikonversi
ke integer Keterangan
Rendah 0,0 - 0,35 128-163
Hutan rakyat
bercampur dengan
permukiman
Sedang 0,36 - 0,6 164-210
Hutan rakyat
bercampur dengan
tegalan/pertanian dan
permukiman
26
Kelas
Kerapatan Nilai NDVI
Nilai NDVI dikonversi
ke integer Keterangan
Tinggi >0,6 211-255 Hutan rakyat murni
tipe alas (full tress)
Sumber : Laporan Hutan Rakyat BPKH wilayah XI Jawa dan Madura, 2009
1.2.2 Penelitian Sebelumnya
1.2.2.1 Deskripsi Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang berikaitan dengan karbon telah banyak
dilakukan. Obyek karbon dapat diteliti untuk berbagai kepentingan,
salah satunya untuk lingkungan hidup. Penelitiam yang berkaitan
dengan karbon diantaranya pernah dilakukan oleh Erwin (2013),
untuk mengetahui potensi cadangan karbon permukaan pada masing-
masing jenis pola tanam pohon jati monokultur, agroforestry dan
hutan rakyat campuran. Penelitian dilakukan di lokasi Desa Labuaja,
Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros. Penelitian yang berlangsung
dari bulan Februari sampai bulan Maret tahun 203, menggunakan
metode non destructive sampling.
Pengambilan data yang dibutuhkan dalam penelitian Erwin
(2013), menggunakan teknik survei lapangan sehingga data yang
digunakan sebagai data primer. Data diameter pohon digunakan
untuk pengukuran biomassa dengan design plot 20 x 20 meter.
Pembuatan plot tersebut menggunakan metode purposive sampling
berdasarkan pertimbangan tingkat kerapatan (rapat, sedang dan
jarang) pada beberapa jenis pola tanam. Pengambilan data seresah
dan tumbuhan bawah menggunakan sub plot ukuran 1 m x 1 m yang
berada dalam design plot 20m x 20m. Kemudian data hasil
pengukuran biomassa akan dibawa ke laboratorium untuk dioven,
dilakukan pengukuran kadar air hingga mengkonversi berat bersih ke
berat kering. Jika proses tersebut sudah selesai dilakukan ke tahap
akhir yaitu menghitung cadangan karbon menggunakan persamaan
allometrik yang sudah ada.
Lanjutan Tabel 1.7 Kelas Kerapatan ..
27
Penelitian Erwin (2013) menunjukkan bahwa pola tanam
memiliki pengaruh terhadap potensi dan cadangan karbon di hutan
rakyat. Potensi biomassa dan cadangan karbon di hutan rakyat pada
pola tanam agroforestry merupakan paling tinggi dibandingkan pola
tanam campuran dan monokultur sebagai berikut : potensi karbon
(104,41 ; 103,02 ; 74,34 ton/ha), dan cadangan karbon (49,07 ; 48,42
; 34,94 ton/ha).
Penelitian lainnya yang sejenis diantaranya, dilakukan oleh
Ris Hadi dkk (2012) yaitu potensi biomassa dan simpanan karbon
jenis-jenis tanaman berkayu di hutan rakyat. Lokasi penelitian di
Desa Nglanggeran, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jenis-jenis tanaman berkayu penyusun hutan rakyat yang digunakan
pada penelitian ini adalah jenis tanaman mahoni, sonokeling, jati,
sengon dan akasia. Lokasi hutan rakyat di daerah penelitian
memanfaatkan lahan yang telah disesuaikan dengan jarak lokasi
hutan rakyat dengan tempat tinggalnya, yakni pekarangan, tegalan
dan alas.
Ris Hadi dkk (2012) menentukan cara pengumpulan data
dengan cara survei. Pemilihan responden digunakan untuk
memperoleh data lahan milik petani sampel dan potensi kayu (sensus
untuk fase tiang dan pohon). Batas administrasi terkecil wilayah desa
atau dusun menjadi unit pencatatan, pengambilan data juga
dilakukan sevara acak atau random untuk menghindari unsur
subjectivitas peneliti. Peroleh data lainnya seperti luas areal, jenis
tanaman berkayu tingkat tiang, pohon hingga diameter batang
setinggi dada serta tinggi diperoleh di lapangan.
Analisis yang digunakan ada dua yaitu analisis kandungan
biomassa dan analisis kandungan karbon. Analisis biomassa untuk
menghitung seluruh organ tanaman hiduo yang berada di atas
permukaan tanah seperti organ batang, cabang atau ranting dan daun.
Pengukuran organ tanaman disebut juga pengukuran biomassa
pohon. Analisis kandungan karbon pada penelitian ini melakukan
28
perhitungan berdasarkan tiap jenis tanaman di hutan rakyat
menggunakan rumus allometrik yang diacu dari author yang
menggunakan pada penelitian sebelumnya.
Menurut Ris dkk (2012), hasil dari inventarisasi menunjukkan
terdapat 25 jenis berkayu yang dikembangkan oleh masyarakat
petani yang terdiri dari jenis tanaman mahoni (41,70 %), akasia
(23.23 %), sonokeling (15,33 %), jati (5,56 %), semgom (1,87 %)
dan jenis lain (12,32 %). Perhitungan stock karbon di hutan rakyat
tergolong stock rendah yaitu sebesar 19,053 ton C/ha, hal ini karena
perhitungan stock karbon hanya terfokus pada pertmbuhan berkayu
yang memiliki diameter batang di atas atau sama dengan 10 cm,
sedangkan untuk sumber karbon lainnya tidak dihitung maka
hasilnya akan tetap under estimated.
Penelitian lainnya yang pernah dilakukan oleh Ahadiati
(2015), untuk mengetahui pendugaan, kandungan biomassa dan
karbon hutan tanaman jati hutan rakyat dalam mengabsorbsi
karbondioksida. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kare,
Kecamatan Kare, Madiun. Kemampuan satu pohon dalam
mengarbosrsi dapat diamati dari beberapa organ (parameter) yaitu
akar, batang, cabang dan daun. Teknik pengambilan sampel yang
dilakukan adalah survei lapangan untuk mendapatkan data primer,
dimana sampel pohon ditebang selanjutnya di bawa ke laboratorium,
kemudian dilakukan pengukuran pada masing-masing organ
(parameter) . untuk mengetahui biomassa batang, biomassa cabang
(dahan dan ranting pohon). Hasil dari laboratorium akan digunakan
pada pembuatan persamaan allometrik pada masing-masing organ
(parameter). Selain data tersebut, terdapat data primer yang dipeoleh
yaitu: volume pohon berdiri, luas bidang dasar, diameter pohon
(Dbh), dan tinggi pohon.
Penggunaan rumus allometrik digunakan oleh Ahadiati
(2015) untuk mengetahui bentuk model hubungan antara Dbh
dengan potensi biomassa dari masing-masing organ (parameter).
29
Ahadiati (2015) membuat model hubungan antara Dbh dengan
potensi biomassa komponen pohon dan Dbh dengan total potensi
biomassa pohon. Dbh yang digunakan sebagai variabel pembuka
(dependent). Hubungan korelasi dapat diperjelas menggunakan garis
regresi dengan data hasil pengukuran untuk total biomassa terhadap
diameter setinggi dada (Dbh) menggunakan SPSS. Gambaran visual
hasil pengolahan data menggunakan SPSS berupa bentuk grafik atau
diagram pencar (scatter plot) pada Gambar 1.3 Grafik Hubungan
Dbh dengan Total Potensi Biomassa. Biomassa yang dimaksud
adalah biomassa total organ-organ pohon (cabang, batang, daun) dan
Dbh yang terkait adalah untuk menentukan karakteristik pohon
seperti volume kayu.
Gambar 1.3 Grafik Hubungan Dbh dengan Total Potensi Biomassa
Menurut penelitian Ahadiati (2015), estimasi potensi
penyerapan karbondioksida tanaman jati hutan rakyat Desa Kare
memiliki potensi yang besar, serta sangat dipengaruhi oleh
kemampuan daun menyerap karbondioksidan di dalam proses
fotosintesis. Hasil yang diperoleh yaitu kandungan C pohon 131,31
Kg, potensi penyerapan karbondioksida sebesar 3,67 dengan potensi
penyerapan karbondioksida sekitar 11.656 ton. Hasil angka potensi
tersebut apabila dikonversikan ke jumlah tanaman sebanyak 24
pohon.
30
Penelitian lainnya dilakukan oleh Evi (2012) dengan tujuan
penelitian adalah menganalisis secara ex ante terhadap besarnya
peluang partisipasi petani dalam suatu proyek hutan rakyat setidaknya
dapat mengurangi kegagalan proyek. Penelitian tersebut dilakukan di
Desa Tempurejo, Kabupaten Wonosobo menggunakan data survei
ebanyak 117 orang petani hutan rakyat. Besarnya tingkat partisipasi
petani berpengaruh besar untuk hasil yang dicapai pada penelitian ini,
karena dapat menunjukkan tingkat kegagalan dan keberhasilan program
yang akan dilaksanakan pemerintah kepada masyarakat desa pada
umunya dan petani hutan rakyat pada khususnya.
Analisis yang digunakan adalah analisis ex ante partisipasi
dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain: umur,
penguasaan lahan dan pekerjaan. Metode penelitian menggunakan data
hasil survei yang dilakukan oada bulan Juni Tahun 2010 terhadap 117
orang petani hutan rakyat. Pengambilan sampel dilakukan dengan
metode acak sederhana (simple random sampling method).
Hutan rakyat menurut Evi (2010) umumnya diusahakan dengan
pola campuran (polyculture) dan menggunakan sistim wanatani
(agroforestry). Petani biasanya memanen tanaman kayu ketika
umumnya telah mencapai 5 tahun atau lebih setelah itu ditebang. Hasil
survei menunjukkan bahwa terdapat 3 sistim penebangan kayu hutan
rakyat yaitu sistim tebang habis, sistim tebang pilih dan sistim tebang
butuh. Sebagian besar petani di daerah penelitian menerapkan sistim
tebang butuh (73%), sementara sisanya menerapkan sistim tebang pilih
(15%) dan sistim tebang habis (12%). Pada sistim yang digunakan
memiliki kriteria yang berbeda-beda, antara lain: sistim tebang butuh
dari kriteria kebutuhan keuangan (ekonomi), sistim tebang pilih dari
kriteria umur dan volume kayu (diameter dan tinggi pohon).
Hasil dari penelitian Evi (2010) mengenai partisipasi petani
hutan rakyat yaitu menunjukkan bahwa dari 117 petani hutan rakyat
yang menjadi responden, 97 orang menyatakan bersedia berpatisipasi
dan sisanya menolak berpatisipasi dalam proyek hutan rakyat untuk
mitigasi perubahan iklim. Perbandingan antara karakteristik petani yang
31
tidak berpatisipasi dikarenakan pertimbangan dari faktor ekonomi,
karena apabila dalam proyek tersebut belum ada konpensasi yang pasti
untuk mejamin kehidupan sehari –hari dan stabilitas ekonomi rumah
tangga maka kemungkinan besar akan enggan berpatisipasi. Hasil
analisis berdasarkan variabel umur, jumlah anggota keluarga
pendidikan, dan pengalaman usaha hutan rakyat yaitu bahwa
peningkatan umur petani akan cenderung meningkatkan peluang untuk
berpartisipasi sama dengan variabel pendidikan yang akan
meningkatkan tingkat partisipasi petani, tetapi perlu dipertimbangkan
lebih teliti, rerata umur petani responden lebih dari 40 tahun maka
peningkatan pendidikan melalui pendidikan formal barangkali bukanlah
kebijakan yang tepat, sebaiknya lebih banyak dilakukan penyuluhan
yang dapat diterima baik dan mudah dipahami untuk di realisasikan
oleh petani hutan rakyat serta masyarakat desa pada umunya.
Penelitian lainnya pernah dilakukan oleh Athar (2016),
pendugaan cadangan karbon di atas permukaan pada hutan rakyat
dengan memanfaatkan data synthetic aperture radar sentinel-1.
Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Sukoharjo. Metode yang
digunakan adalah metode survei dengan teknik purposive sampling
untuk melengkapi data penginderaan jauh terkait biomassa dan
cadangan karbon. Perhitungan biomassa dan cadangan karbon akan
diolah lebih lanjut menggunakan persamaan allometrik. Pemilihan
analisis yang digunakan adalah analisis statistic untuk memperoleh
persamaan pendugaan cadangan karbon berdasarkan data SAR dan
data lapangan. Penyajian data hasil penelitian menggunakan Sistem
Informasi Geografi (SIG) untuk menyajikan data secara spasial serta
memberikan informasi jumlah cadangan karbon di atas permukaan
tanah.
Penelitian Athar (2016), menunjukkan bahwa nilai hamburan
balik data SAR (Synthetic Aperture Radar) Sentinel-1 polarisasi VV
dan VH dengan nilai cadangan karbon di atas permukaan pada hutan
rakyat memiliki hubungan yang signifikan dan berbanding terbalik,
sehingga semakin tinggi nilai backscatter semakin rendah nilai
32
cadangan karbon di atas permukaan pada hutan rakyat hasil pendugaan.
Adapun keeratan hubungan nilai hamburan balik polarisasi VH lebih
tinggi dibanding backscatter polarisasi VV. Citra SAR Sentinel-1 dapat
dimanfaatkan untuk menduga agihan cadangan karbon di atas
permukaan pada hutan rakyat Kabupaten Sukoharjo dengan cara
menggunakan persamaan regresi linear sederhana Y = -493,268 + -
61,499 X berdasarkan nilai backscatter polarisasi VH dengan nilai
RMSE yang lebih kecil dibanding berdasarkan nilai backscatter
polarisasi VV ataupun rasio (VV/VH). Hasil jumlah cadangan karbon
di atas permukaan hasil estimasi yang diperoleh dari penelitiannya yaitu
sebesar 228.456,36 Ton pada 7.738,287 Ha hutan rakyat.
Tabel 1.7 menyajikan ringkasan dari 4 penelitian sebelumnya
dengan penelitian ini sehingga dapat dilihat persamaan dan
perbedaannya. Secara umum persamaan pada masing-masing peneliti
menggunakan persamaan allometrik untuk menurunkan informasi
biomassa dan cadangan karbon, dan obyek tanaman yang menjadi
penelitian yaitu hutan rakyat. Perbedaan pada masing-masing penelitian
adalah penggunaan analisis yang digunakan untuk memperkuat hasil
penelitian dan teknik survei yang digunakan untuk melengkapi
informasi data yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan masing-masing
peneliti, karena data-data yang dibutuhkan selain data biomassa dan
cadangan karbon terdapat data yang terkait lainnya seperti penelitian
Athar (2016) menggunakan data SAR (Synthetic Aperture Radar),
penelitian Erwin (2013) menggunakan data jenis pola tanam.
33
1.8 Tabel Ringkasan Penelitian Sebelumnya
Nama
Penelitian
Judul
Penelitian
Tujuan
Penelitian
Metode
Penelitian
Hasil
Penelitian
RIS Hadi
Purwanto,
Rohman,
Ahmad
Maryudi, Teguh,
Dwiko,Makmun
(2012)
Potensi
biomassa dan
simpanan
karbon jenis-
jenis tanaman
berkayu di
hutan rakyat
Desa
Nglanggeran,
Gunungkidul,
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Untuk
mengetahui jenis-
jenis tanaman
Berkayu,
karakteristik
pertumbuhan
tanaman berkayu
dan kandungan
biomasa dan
Karbon hutan
rakyat.
Penelitian ini
menggunakan
metode survei
secara random
untuk
menghindari
unsur
subjektivitas dari
peneliti. metode
allometrik dalam
penentuan
biomasa pohon,
perhitungan
karbon
menerapkan
menggunakan
angka asumsi
50%
untuk menaksir
kandungan
karbon dari berat
biomasanya.
Menunjukkan
ada 25 jenis
tanaman
berkayu yang
ditanam,
jumlah pohon
terdapat 162
pohon per
hektar, dan
hasil simpanan
biomassa,
cadangan
karbon di hutan
rakyat Desa
Ngalanggeran.
Erwin Eka
Saputra (2013)
Potensi
Cadangan
Karbon
Permukaan
Pada Berbagai
Jenis Pola
Tanam di
Hutan Rakyat
Desa Labuaja
Kecamatan
Cenrana
Kabupaten
Maros
Mengetahui
potensi cadangan
karbon
permukaan pada
masing jenis pola
tanam pada jati
monokultur,
agroforestry dan
hutan rakyat
campuran
Penelitian
menggunakan
metode survei dan
metode non
destructive
sampling (tidak
melakukan
penebangan).
Perhitungan
pendugaan
biomassa total
pohon di atas
permukaan tanah
dilakukan dengan
menggunakan
persamaan
allometrik.
Menunjukan
bahwa pola
tanam
berpengaruh
terhadap
potensi dan
cadangan
karbon di
Hutan Rakyat
Desa Labuaja,
Potensi
biomassa dan
cadangan
karbon pada
Hutan Rakyat
pada pola
agroforestry
lebih tinggi
dibandingkan
dengan pola
campuran dan
monokultur.
34
Ahadiati
Rohmatiah
(2015)
Pendugaan,
Biomassa Dan
Karbon
Tanaman Jati
Hutan Rakyat
Dalam
Mengabsorsi
Karbondioksida
(CO2) Desa
Kare
Kecamatan
Kare
Kabupaten
Madiun
Untuk
mengetahui
volume pohon,
potensi biomassa,
mengetahui
kemampuan hutan
sebagai penyerap
atau
mengabsorbsi
karbondioksida,
serta menentukan
persamaan
alometri biomassa
dan karbon.
Melakukan
survei
pengukuran
lapanan dan
pengukuran
biomassa dengan
metode
pengukuran tidak
langsung dengan
metode konversi
biomassa.
Menunjukkan
potensi
penyerapan
CO2 tanaman
jati hutan
rakyat Desa
Kare
Kecamatan
Kare
Kabupaten
Madiun, Data
hasil hubungan
biomassa dan
kandungan
Karbon dengan
diameter
setinggi dada
(Dbh).
Athar
Abdurrahman
Bayanuddin
(2016)
Pendugaan
cadangan
karbon di atas
permukaan
pada hutan
rakyat dengan
memanfaatkan
data synthetic
aperture radar
sentinel-1
(studi kasus di
kabupaten
sukoharjo)
mengetahui
cadangan karbon
di atas permukaan
pada hutan rakyat
di Kabupaten
Sukoharjo
Metode yang
digunakan dalam
penelitian ini
adalah metode
survei dengan
teknik purposive
sampling,
perhitungan
biomassa dan
cadangan karbon
menggunakan
persamaan
alometrik.
cadangan
karbon
diperoleh dari
data SAR
Sentinel-1
menggunakan
polarisasi VH
dengan
persamaan
regresi linear
sederhana
terpilih (R2=
0,375;
RMSE=101,16
48) yaitu Y = -
493,268 + -
61,499 X; 3).
Jumlah
cadangan
karbon di atas
permukaan di
Kabupaten
Sukoharjo yaitu
sebesar
228.456,36 Ton
pada 7.738,287
Ha hutan rakyat
serta memiliki
Lanjutan Tabel 1.8 Tabel Ringkasan Penelitian Sebelumnya
35
pola agihan
menyebar
secara acak dan
mengelompok.
Evi Irawan
(2010)
Prospek
Partisipasi
Petani dalam
Program
Pembangunan
HUtan Rakyat
untuk Mitigasi
Perubahan
Iklim di
Wonosobo
Menganalisis
secara ex ante
faktor-faktor yang
mempengaruhi
keputusan petani
dalam
berpatisipasi
suatu proyek
hutan rakyat
untuk mitigasi
perubahan iklim
Penelitian ini
menggunakan
metode survei
dengan teknik
simple random
sampling.
Pengambilan
sampling
dilakukan melalui
wawancara
langsung
Menunjukkan
sebanyak 97
orang
responden
petani hutan
rakyat ikut
berpartisipasi
dan sisanya
tidak
berpartiipasi,
Kecenderungan
petani ikut
berpartisipasi
dipengaruhi
oleh umur,
pendidikan,
jumlah anggota
keluarga dan
pengalaman
usaha hutan
rakyat.
Diah Fitriyani
Witanti (2017)
Analisis
Cadangan
Karbon Pada
Berbagai
Tipology Hutan
Rakyat Di
Kecamatan
Pajangan,
Kabupaten
Bantul Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Tahun 2017
Mengetahui
potensi
penyerapan emisi
karbondioksida
pada berbagai
tipologi hutan
rakyat,
Mengetahui
simpanan karbon
pada berbagai
tipologi hutan
rakyat,
Menganalisis
seberapa besar
pengaruh pola
tanaman terhadap
penyerapan emisi
karbondioksida di
areal hutan
rakyat
Penelitian ini
menggunakan
metode survei
dengan teknik
purposive
sampling.
Pengambilan
sampling dengan
metode non
destructive
sampling (tidak
melakukan
penebangan).
Perhitungan
biomassa dan
cadangan karbon
menggunakan
persamaan
allometrik.
Menunjukkan
jumlah
cadangan
karbon pada
berbagai
tipology hutan
rakyat,
mengetahui
berbagai
tipology hutan
rakyat yang ada
di Kecamatan
Pajangan.
Sumber: Jurnal Penelitian Internasional dan jurnal ilmu kehutanan
Lanjutan Tabel 1.8 Tabel Ringkasan Penelitian Sebelumnya
36
1.2.3 Kerangka Penelitian
Menurunnya kualitas udara dan pemanasan global mengakibatkan
perubahan iklim yang ekstrim. Pemanasan global, kualitas udara tercemar
dan efek rumah kaca merupakan permaslahan yang sering diungkit akibat
dari perubahan iklim tersebut. Karbon menjadi salah satu faktor yang
mengakibatkan ekosistem tidak seimbang dan mengakibatkan siklus iklim
berubah ekstrim. Suhu panas pada siang hari mampu membuat kulit iritasi
merupakan salah satu akibat lapisan atmosfer yang menipis. Bertambah
jumlah karbon yang terlepas bebas di atmosfer akan mengakibatkan dampak
negatif bagi kehidupan dan membuat lapisan atmosfer menipis. Lahan kritis
dapat memperburuk keadaan iklim dan tidak memberikan manfaat bagi
kehidupan di sekelilingnya. Penanaman vegetasi seperti hutan rakyat dapat
memberikan manfaat bagi kehidupan dan alam. Potensi alami hutan
menyerap karbon dapat mengolah karbon sebagai bahan karbohidrat
makanan untuk tanaman. Sehingga hutan merupakan salah satu obyek di
atas permukaan bumi yang dapat dijadikan salah satu alternative mitigasi
untuk mengurangi jumlah karbon. Hutan juga memiliki fungsi lain, yaitu
menjaga kualitas udara tetap baik dikonsumsi oleh makhluk hidup
disekelilingnya. Melestarikan hutan juga dapat membantu memperbaiki
ekosistem dan mengurangi lahan kritis.
Hutan rakyat yang ada di Kecamatan Pajangan merupakan hutan rakyat
yang memiliki areal yang paling luas dari 16 kecamatan lainnya di
Kabupaten Bantul. Hutan rakyat di Kecamatan Pajangan juga telah memiliki
sertifikat pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari, Kabupaten Bantul
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Antusias masyarakat yang tinggi
untuk mengurangi lahan kritis di Kecamatan Pajangan dengan menanami
tanaman hutan rakyat mengakibatkan bertambah luas areal hutan rakyat,
sehingga menurunkan tingginya lahan kritis.
Hutan rakyat akan menghasilkan salah satu jenis biomassa yaitu biasa
disebut sebagai biomassa diatas permukaan, maka jumlah karbon yang
tersimpan pada jenis biomassa ini disebut cadangan karbon di atas
permukaan. Perhitungan cadangan karbon akan diperoleh dari data-data
hasil lapangan seperti data diameter batang, tinggi total pohon, jenis pohon
37
yang dibudidayakan. Sebelum dapat dilakukan perhitungan ke dalam rumus
allometrik, perhitungan biomassa menjadi langkah awal sebagai tahap yang
berkaitan untuk mengetahui besar emisi pada tiap pohon. Kemudian
hasilnya akan dihitung dan menghasilkan besarnya cadangan karbon dalam
ton/ha.
Data-data berkaitan dengan data diameter batang, tinggi total pohon,
nama jenis pohon, dan diameter setinggi dada (dbh) akan diperoleh
dilapangan berdasarkan sampel plot. Pengambilan sampel disesuaikan
dengan design sampel seluas 5 m x 5 m di lapangan. Penggunaan luas areal
5 meter dikarenakan resolusi citra satelit SPOT 6 yang digunakan penelitian
ini sebesar 5 meter. Pengambilan areal 5m x 5m mewakili satu pixel untuk
dilakukan survei lapangan.
Salah satu cara yang digunakan untuk memperoleh nilai biomassa
adalah cara non-destructive kemudian pengolahan data hasil survei
menggunakan persamaan Allometrik sesuai dengan jenis pohon. Teknologi
penginderaan jauh menggunakan citra satelit untuk kegiatan monitoring
objek hutan. Citra SPOT 6 memiliki resolusi spasial 5 meter, sehingga lebih
baik jika digunakan untuk kegiatan monitoring hutan dibandingkan
penggunaan citra satelit menengah seperti Landsat8. Balai Pemantapan
Kawasan Hutan di wilayah Jawa-Madura menggunakan citra SPOT 6 untuk
membantu memperoleh informasi keperluan monitoring dan inventarisasi
hutan.
Penyerapan karbon pada tanaman hutan rakyat akan dikaitkan dengan
pola tanam berbagai tipology yang diterapkan oleh petani hutan rakyat.
Penggunaan analisis yang digunakan untuk memperoleh hasil korelasi yaitu
analisis statistik, analisis akurasi dan analisis spasial serta analisis deskriptif
kuantitaf. Penggunaan statistik diharapkan mampu memberikan hubungan
keeratan antara variabel pola tanam sebagai variabel independen terhadap
variabel cadangan karbon sebagai variabel dependen.apakah kedua variabel
tersebut memberikan hasil nilai positif atau negatif. Penggunaan analisis
korelasi pada analisis statistic diharapkan mampu memberikan pengaruh
dari kedua variabel yakni apakah pola tanam dari berbagai tipology hutan
38
rakyat berpengaruh terhadap jumlah cadangan karbon yang diserap
tanaman. Analisis akurasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar
akurasi data hasil survei dengan klasifikasi NDVI (Normalized Difference
Vegetation Index) pengolahan data software ENVI. Penggunaan analisis
spasial, diharapkan mampu memberikan persebaran agihan yang mampu
menyerap jumlah cadangan karbon serta membantu mengetahui letak
wilayah penelitian. Penggunaan analisis deskriptif kuantitatif, diharapkan
mampu memberikan informasi lebih jelas dan detail mengenai besar jumlah
cadangan karbon yang diserap, persebaran tipology tanaman yang
digunakan, serta informasi jenis tanaman yang paling banyak menyerap
cadangan karbon.
Gambar 1.4 Alur Kerangka Penelitian yang dapat dibuat alur kerangka
penelitian dalam cadangan karbon pada berbagai hutan rakyat di atas
permukaan :
Perubahan iklim ekstrim
Pemanasan Global, Efek Rumah
Kaca, Kualitas udara
Kerusakan Alam (ekosistem
diatas permukaan bumi)
Lahan kritis akibat vegetasi
berkurang
Potensi hutan rakyat untuk
menyerap karbon
Biomassa diatas permukaan
Cadangan karbon
Cadangan karbon pada berbagai
tipology hutan rakyat Analisis
Penginderaan Jauh (Citra Satelit
SPOT6)
Pemrosesan digital
Band Komposit
Jumlah Cadangan Karbon Berbagai Tipology Hutan Rakyat
Gambar 1.4 Alur Kerangka Penelitian
39
1.2.4 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Potensi penyerapan emisi karbondioksida areal hutan rakyat di
Kecamatan Pajangan akan memiliki Hubungan positif kaitannya
antara variable jumlah emisi karbon terhadap semakin besar
jumlah cadangan karbon pada hutan rakyat. Besaran yang
dimaksud adalah potensi kemampuan tanaman dalam menyerap
emisi karbondioksida. Kemungkinan adanya hubungan positif
antara jumlah cadangan karbon tanaman di atas permukaan
dengan besar ukuran diameter pohon yang berbeda-beda.
Diameter pohon yang berbeda-beda akan memengaruhi
kemampuan penyerapan jumlah biomassa total tiap pohon.
2. Jumlah cadangan karbon areal hutan rakyat di Kecamatan
Pajangan diperoleh berdasarkan hasil pengolahan data lapangan
tergantung dari pengolahan rumus allometrik tiap jenis pohon
akan menghasilkan besar emisi karbon yang berbeda begitu pula
jumlah besar cadangan karbon.
3. Pengaruh pola tanaman terhadap penyerapan emisi
karbondioksida di areal hutan rakyat Kecamatan Pajangan
memiliki pengaruh yang kuat terkait jumlah cadangan karbon
yang dihasilkan dari turunan emisi karbondioksida pola tanaman
monokultur akan memiliki jumlah cadangan karbon yang lebih
besar disbanding pola tanaman polikultur dan agroforestri.
4. Peta cadangan karbon areal hutan rakyat di Kecamatan
Pajangan memiliki infromasi yang dapat menyajikan data
persebaran cadangan karbon dengan berdasarkan stratifikasi
pertimbangan kerapatan vegeatsi (tinggi, sedang, rendah).
40
ENVI
ARCGIS
Peta Cadangan Karbon Hutan
Rakyat
Data Raster Data Vector
Citra SPOT 6 Kab.
Bantul
Shp Admin Kec.
Pajangan
Masking Citra
Perhitungan NDVI
Tampilan Histogram
Density slice
(klasifikasi)
Peta Indeks Kerapatan Vegetasi
Citra SPOT 6 Kab. Bantul
Komposit
Data Shp Kec. Pajangan
Pengaturan Sistem Proyeksi
Proses Clip (Geoprocessing)
Penafsiran
Citra SPOT 6 Kab. Bantul
Pengaturan Sistem Proyeksi
Definition Query
Export Data
Proses Clip (Geoprocessing)
Membangun Geodatabase
Topology
Peta Tentatif Hutan Rakyat (HR) Peta Tentatif Penggunaan Lahan
Cek Lapangan
Reinterpretasi dan reklasifikasi
Peta Kerapatan
Vegetasi HR
Peta Hutan Rakyat
Kec. Pajangan
Peta Penggunaan
Lahan HR dan NON-HR
Peta Citra Cadangan Karbon pada Hutan Rakyat di Kec. Pajangan
Peta Tentatif
Kerapatan Vegetasi HR
Perhitungan Karbon menggunakan rumus
Allometrik
Pengambilan Sampel Survei (Purposive
Sampling)
Keterangan:
Input/output
Proses
Arah Aliran
Gambar 1.5 Diagram Alir Penelitian
41
1.3 Batasan Operasional
Biomassa merupakan jumlah total bahan organik hidup di atas tanah pada
pohon (ranting, cabang, batang utama, dan kulit) yang dinyatakan dalam berat
kering ton per unit area (Brown dalam Athar, 2016).
Biomassa tumbuhan merupakan jumlah berat kering dari seluruh bagian
tumbuhan yang hidup dan untuk memudahkannya kadang-kadang dibagi
menjadi biomassa di atas permukaan tanah (daun, bunga, buah, ranting, cabang
dan batang) dan biomassa di bawah permukaan tanah (akar) (Anwar et al
dalam Hania, 2011).
Cadangan karbon di atas permukaan adalah karbon yang tersimpan dalam
biomassa tegakan pohon bagian atas (Athar, 2016).
Carbon sink yaitu istilah yang digunakan pada bidang perubahan iklim
mengenai fungsi hutan, dimana hutan berfungsi sebagai penyerap (sink) karbon
(Hania, 2011).
Diameter setinggi dada (dbh/diameter at breast height) adalah diameter
pohon yang diukur pada ketinggian 1.3 m di atas permukaan tanah atau sesuai
kaidah pengukuran yang ditentukan (SNI 7724:2011 dalam Athar, 2016).
GIS (Geographic Information System) merupakan sebagai suatu sistem
berbasis komputer untuk menangkap, menyimpan, memanggil kembali,
menganalisis, dan mendisplay data spasial, sehingga efektif dalam menangani
permasalahan yang kompleks baik untuk kepentingan penelitian, perencanaan,
pelaporan, maupun untuk pengelolaan sumber daya dan lingkungan (Star
dalam Taufik, 2005 ).
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang-
Undang No 41 Tahun 1999 BAB I Pasal 1 Ayat 2).
Hutan Rakyat dikaitkan dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999, istilah
yang bisa dikaitkan dengan hutan rakyat adalah Hutan Hak yang merupakan
hutan yang dibebani hak atas tanah. Pengertian semacam itu kurang
mempertimbangkan keadaan yang berkembang di lapangan. Hutan rakyat tidak
bisa hanya dimaknai sebagai kumpulan tanaman berkayu semata tetapi harus
mempertimbangkan kondisi dan pengetahuan lokal. Tidak ada definisi tunggal
terhadap pemahaman tentang hutan rakyat (Suprapto,2010).
42
Karbon merupakan unsur kimia dengan nomor atom 6 dan unsur bukan
logam. Jika terlepas di udara dan terikat dengan oksigen maka karbon akan
menjadi CO2 (TimARuPA, 2014).
Metode Non-destructive merupakan metode pengukuran biomassa karbon
pada vegetasi hutan menggunakan pendekatan kerapatan jenis kayu dan
volume kayu pada rumus allometrik yang telah ada untuk tiap jenis tanaman
hutan (pohon) (I Wayan, 2014).
Simpanan karbon dalam hutan yaitu Karbon yang disimpan di tanaman
(pohon) hutan dalam bentuk : (1) biomassa dalam tanaman hidup yang terdiri
dari kayu dan non-kayu, (2) massa mati (kayu mati dan serasah) dan (3) tanah
dalam bahan organic dan humus (Wahyuningrum dalam Hania,2011).
Persamaan Allometrik adalah persamaan regresi yang menyatakan hubungan
antara dimensi pohon dengan biomassa dan digunakan untuk menduga
biomassa pohon (I Wayan,2014).
Penginderaan Jauh merupakan ilmu, seni, dan teknologi mengenai proses
memperoleh informasi tentang objek area, atau fenomena melalui analisis data
yang diakuisisi oleh suatu alat tanpa adanya kontak langsung dengan objek,
area, atau fenomena tersebut (Lillesand dan Kiefer dalam Sutanto,1999).
Tegakan adalah komunitas tumbuhan (pohon) pada area tertentu (Peraturan
Kepala badan peneitian dan pengembangan Kehutanan Nomor: P.01/VII-
P3KR/201 dalam Athar, 2016).
Tinggi Total Pohon yaitu tinggi dari pangkal pohon di permukaan tanah
sampai puncak pohon (Athar, 2016)..