bab 1 herpes zoster

30
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Definisi Herpes zoster merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus varisela zoster yang sifatnya localized, terutama menyerang orang dewasa dengan ciri khas berupa nyeri radikuler, unilateral dan vesikel yang bergerombol yang tersebar sesuai dermatom yang diinervasi oleh satu ganglion saraf sensoris (Murtiastutik D, 2005). Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela-zoster laten (Handoko R, 2009). Herpes zoster adalah radang kulit akut, mempunyai sifat khas yaitu vesikel-vesikel yang tersusun berkelompok sepanjang persyarafan sensorik kulit sesuai peta dermatom (Siregar R.S, 2004).

Upload: yeni-widayanti

Post on 01-Feb-2016

50 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

BAB 1 herpes zoster fika

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 herpes zoster

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Definisi

Herpes zoster merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus varisela

zoster yang sifatnya localized, terutama menyerang orang dewasa dengan ciri khas

berupa nyeri radikuler, unilateral dan vesikel yang bergerombol yang tersebar

sesuai dermatom yang diinervasi oleh satu ganglion saraf sensoris (Murtiastutik

D, 2005). Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela-zoster laten (Handoko R,

2009).

Herpes zoster adalah radang kulit akut, mempunyai sifat khas yaitu vesikel-

vesikel yang tersusun berkelompok sepanjang persyarafan sensorik kulit sesuai

peta dermatom (Siregar R.S, 2004).

1.2 Epidemiologi

Herpes zoster biasanya mengenai orang dewasa, kadang-kadang juga pada

anak-anak. Pada usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari

1000, semakin meningkat pada usia lebih tua (Jamez WD,2011). Insiden pada

pria dan wanita sama banyaknya. iklim dan suhu tidak mempengaruhi. Faktor

predisposisi terjadinya herpes zoster yaitu usia tua, keganasan,radioterapi,

pengobatan imunosupresi (Siregar R.S, 2004).

Page 2: BAB 1 herpes zoster

2

Insiden terjadinya herpes zoster berdasarkan usia

(Sumber: Fitzpatrick)

Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak

dipengaruhi oleh musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada

perbedaan morbiditas antara laki-laki dan perempuan, angka kesakitan

meningkat dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti Amerika,

penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun

sedangkan di Indonesia lebih kurang 1% per tahun. Herpes zoster terjadi

pada orang yang pernah menderita varisela sebelumnya. Setelah sembuh

dari varisela,virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam

keadaan tidak aktif dan aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun.

Lebih dari 2/3 usia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% usia di bawah 20

tahun (Siregar R.S, 2004).

Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien

imunosupresif memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes

zoster daripada individu imunokompeten pada usia yang sama.

Page 3: BAB 1 herpes zoster

3

Immunosupresif kondisi yang berhubungan dengan risiko tinggi dari

herpes zoster termasuk “human immunodeficiency virus” (HIV),

transplantasi sumsum tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan

kemoterapi pada kanker, dan penggunaan kortikosteroid. Herpes zoster

adalah infeksi oportunistik terkemuka dan awal pada orang yang terinfeksi

dengan HIV, dimana awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun.

Zoster mungkin merupakan tanda paling awal dari perkembangan penyakit

AIDS pada individual dengan resiko tinggi. Dengan demikian, infeksi HIV

harus dipertimbangkan pada individu yang terkena herpes zoster (Wolff,

2008).

Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko herpes zoster

termasuk jenis kelamin perempuan, trauma fisik pada dermatom yang

terkena, gen interleukin 10 polimorfisme, dan ras hitam, tapi konfirmasi

diperlukan. Paparan dari anak dan kontak dengan kasus varisela telah

dilaporkan untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit herpes

zoster. Episode kedua dari herpes zoster jarang terjadi pada orang

imunokompeten, dan serangan ketiga sangat jarang. Orang yang menderita

lebih dari satu episode mungkin immunocompromised. Pasien

imunokompeten menderita beberapa episode seperti penyakit herpes zoster

yang mungkin menderita infeksi virus herpes simpleks zosteriform (HSV)

yang berulang (Habif, 2011).

1.3 Etiologi

Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk dua infeksi klinis

utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes

Page 4: BAB 1 herpes zoster

4

zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada

individu yang berkontak dengan virus varicella zoster. Virus varisela

zoster dapat mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang

dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles (Siregar R.S, 2004).

Disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster (VZV), kelompok

virus herpes termasuk virus berukuran 140-200 μ dan berinti DNA.

Virus ini menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivitas

virus yang terjadi setelah infeksi primer (Handoko R, 2009).

Herpes Zoster disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). Virus

Varicella Zoster (VZV) tergolong virus berinti DNA, virus ini berukuran

140-200nm yang termasuk sub family alfa herpes viridae. Berdasarkan

sifat biologisnya seperti siklus replikasi, penjamu, sifat sitotoksik dan sel

tempat hidup laten diklasifikasikan kedalam 3 sub family, yaitu alfa, beta,

dan gamma. VZV dalam subfamilia mempunyai sifat khas menyebabkan

infeksi primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya

setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya menetap

dalam bentuk laten didalam neuron dari ganglion. Virus yang laten inipada

saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodic. Secara in vitro

virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang relative luas dengan

siklus pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim yang penting

untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA polymerase dan virus spesifik

deoxypiridine (thymidine) kinase yang di sintesis didalam sel yang

terinfeksi (Brown, 2005).

1.4 Patogenesis

Page 5: BAB 1 herpes zoster

5

Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di

dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion

spinal atau ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varicella zoster

merupakan virus rantai ganda DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong

virus neuropatik atau neurodermatotropik. Reaktivasi virus varicella zoster dapat

dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan

keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang sedang dalam

pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik. Jika

virus ini menyerang ganglion anterior, maka menimbulkan gejala gangguan

motoric (Siregar R.S, 2004).

Virus Varisela zoster masuk melalui mukosa dan saluran nafas atas. Setelah

masuk virus tersebut berkembang biak serta disebarkan ke berbagai organ

terutama ke kulit dan selaput mukosa melalui sistem peredaran darah. Saat

pertama virus masuk ke dalam tubuh, terjadi infeksi primer pada kulit dan selaput

mukosa, gejala yang tampak pada kulit sering disebut sebagai cacar air atau

varisela. Setelah infeksi primer mereda, virus tidak hilang dari tubuh, melainkan

masuk ke ujung saraf sensoris dan menuju ke ganglion dorsalis saraf tepi dan

bersembunyi di sana dalam jangka waktu yang sangat lama. Pada saat ini orang

immunokompeten yang pernah mengalami cacar air menjadi kebal terhadap

serangan cacar air untuk kali yang kedua. Namun bila kekebalan tubuh kita

menurun maka virus ini mengalami reaktivasi. Virus varisela zoster berkembang

biak, merusak, menyebabkan peradangan dan kemudian menyebar menuju kulit

serta menimbulkan gangguan kulit yang lebih parah. Kondisi ini dikategorikan

sebagai herpes zoster. Alasan pasti mengapa VZV bisa reaktivasi kembali dari fase

Page 6: BAB 1 herpes zoster

6

latennya masih belum dimengerti sepenuhnya. Namun, dikatakan bahwa VZV-

cell mediated specific memiliki faktor mayor dalam kaitannya dengan reaktivasi

VZV. Cell mediated VZV specific menurun seiring umur dan pasien dengan

keganansan. Kelompok ini memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap herpes

zoster (Handoko R, 2009).

1.5 Gejala klinis

Gambaran perkembangan rash pada herpes zoster diawali dengan:

Page 7: BAB 1 herpes zoster

7

1. Munculnya lenting-lenting kecil yang berkelompok.

2. Lenting-lenting tersebut berubah menjadi bula-bula.

3. Bula-bula terisi dengan cairan limfe, bisa pecah.

4. Terbentuknya krusta (akibat bula-bula yang pecah).

5. Lesi menghilang.

(sekelompok vesikel – vesikel dalam bentuk bervariasi)

(vesikel berumbilikasi dan membentuk krusta)

(sekelompok vesikel – vesikel pada kasus inflamasi berat)

(vesikel pecah menjadi krusta dan mungkin dapat menjadi “scar atau jaringan

Page 8: BAB 1 herpes zoster

8

parut” jika inflamasi berat)

Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran

mukosa. Herpes zoster biasanya diawali dengan stadium prodromal selama 2-4

hari, yaitu sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal,

pegal) (Handoko R, 2009).

Setelah itu, pada stadium erupsi akan timbul eritema yang berubah menjadi

vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang edema dan eritematosa. Vesikel

tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan

krusta. Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Jika

disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder Masa tunas

dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap timbul,

berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu (Handoko R,

2009).

Selain gejala kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar.

Penyakit ini lokalisasinya unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang

paling sering terkena adalah nervus trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1,

dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, sedangkan pada

saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat struktur anatomisnya.

Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena. Frekuensi herpes

zoster menurut dermatom yang terbanyak pada dermatom torakal (55%), kranial

(20%), lumbal (15%), dan sakral (5%) (Straus SE, 2014).

Varisela biasanya dimulai dengan demam prodromal virus, nyeri otot, dan

kelelahan selama 1 sampai 2 hari sebelum erupsi kulit. Inisial lesi kutaneus sangat

gatal, makula dan papula eritematosa pruritus yang dimulai pada wajah dan

Page 9: BAB 1 herpes zoster

9

menyebar ke bawah. Papula ini kemudian berkembang cepat menjadi vesikel kecil

yang dikelilingi oleh halo eritematosa, yang dikenal sebagai “tetesan embun pada

kelopak mawar” ( “dew drop on rose petal” ). Setelah vesikel matang, pecah

membentuk krusta. Lesi pada beberapa tahapan evolusi merupakan karakteristik

dari varisela (Schalock, 2011). Nyeri prodormal : lamanya kira –kira 2 – 3 hari,

namun dapat lebih lama (Mandal, 2008).

Gejala lain dapat berupa rasa terbakar dangkal, malaise, demam, nyeri

kepala, dan limfadenopati, gatal, tingling. Lebih dari 80% pasien biasanya diawali

dengan prodormal, gejala tersebut umumnya berlangsung beberapa hari sampai 3

minggu sebelum muncul lesi kulit (Daili, 2002).

Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang

sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik

erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa (Schalock,

2011).

Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-5 Hari ke-6

Perkembangan rash pada herpes zoster

1.6 Klasifikasi Herpes Zoster

Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:

a. Herpes zoster oftalmikus

Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang

mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang

Page 10: BAB 1 herpes zoster

10

ophtalmicus saraf trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada

kulit.

Gejala diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai

gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1

sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak keluar air

mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.

.

b. Herpes zoster fasialis

Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang

mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis

(N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

c. Herpes zoster brakialis

Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang

mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada

kulit.

Page 11: BAB 1 herpes zoster

11

d. Herpes zoster torakalis

Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang

mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

e. Herpes zoster lumbalis

Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster mengenai

pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

f. Herpes zoster sakralis

Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang

mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Page 12: BAB 1 herpes zoster

12

1.7 Diagnosis

a. Anamnesis :

Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan

berupa neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan

timbulnya kelainan kulit (Sharlock, 2011). Adakalanya sebelum timbul

kelainan kulit didahului gejala prodromal seperti demam, pusing dan

malaise. Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema kemudian

berkembang menjadi papula dan vesikula yang dengan cepat membesar

dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih, setelah

beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika

absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi krusta (Sehgal, 2006).

b. Pemeriksaan fisik

Lokalisasi : bisa disemua tempat, paling sering pada servikal IV dan

lumbal II.

Effloresensi : lesi biasanya berupa kelompok-kelompok vesikel sampai

bula di atas daerah eritematosa. lesi yang khas bersifat unilateral pada

dermatom yang sesuai dengan letak saraf yang terinfeksi virus (Siregar R.S,

2004).

Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf

spinalis. Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang

Page 13: BAB 1 herpes zoster

13

dipersarafinya ke otak. Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan

cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang

lengan dan kaki, dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota

badan. Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk

menemukan tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi

saraf tulang belakang seperti infeksi herpes zoster (shingles), dapat

mengungkapkan sumbernya dengan muncul sebagai lesi pada dermatom

tertentu (Duus, 2005).

Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia (Sumber: Duus)

c. Pemeriksaan penunjang

Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck

membantu menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti

banyak. Demikian pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi

dengan mikroskop elektron, serta tes serologik. Pada pemeriksaan

histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel

Page 14: BAB 1 herpes zoster

14

dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil, hemoragi

fokal dan inflamasi bungkus ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan

mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara

imunofluoresensi (Sehgal, 2006).

Diagnosis klinis dibuat dalam kebanyakan kasus, sehingga

konfirmasi laboratorium biasanya tidak perlu. Pemeriksaan laboratorium

direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren, dermatom yang

terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila

lesi pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster

atau herpes simpleks. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan

adalah PCR yang berguna pada lesi krusta, imunoflouresensi direk dari

spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang tidak efektif karena

membutuhkan waktu 1-2 minggu (Dworkin RH, 2007).

Selain itu pemeriksaan sitologi yaitu Tzanck smear juga dapat

dilakukan untuk menemukan sek raksasa yang multilokuker dan sel-sel

akantolitik dari VVZ. Biasanya digunakan pada tes awal pilihan minggu

(Dworkin RH, 2007).

1.8 Diagnosis banding

Herpes simpleks zosteriform : karena herpes zoster dapat muncul di

daerah genital.

Selulitis.

Erisipelas.

Eritema gangrenosum : bentuk atipikal.

Infeksi jamur diseminata.

Page 15: BAB 1 herpes zoster

15

Infeksi mikobakterium diseminata.

Dermatitis kontak.

Drug eruptions.

Pemphigus dan bulosa lainnya yang melepuh tapi tidak ada

distribusi dermatomal klasik.

Molluscum contagiosum dengan papul putih atau kuning dengan

umbilikasi sentral yang disebabkan oleh pox virus. Lesinya lebih lunak

dan tidak ada dasar eritem seperti zoster.

Scabies dapat muncul dengan rash pustul yang tidak tebatas pada

dermatom dan mengikuti jaringan laba – laba.

Gigitan serangga (Insect bite).

Folikulitis.

1.8 Penatalaksanaan

1. Pengobatan Umum

Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat

menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan

orang dengan defisiensi imun (Schalock, 2011).

Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai

baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.

(Schalock, 2011).

2. Pengobatan Khusus

A. Sistemik

A.1. Obat Antivirus

Page 16: BAB 1 herpes zoster

16

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya,

misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai

inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan

peroral ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama

sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah

5×800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui intravena

biasanya hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise

atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat

digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah valasiklovir.

Valasiklovir diberikan 3×1000 mg/hari selama 7 hari, karena

konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat

dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA

polimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama 7 hari

(Schalock, 2011).

A.2. Analgetik

Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan

oleh virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam

mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan

sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri

muncul (Schalock, 2011).

A.3. Kortikosteroid

Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom Ramsay

Hunt. Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya

Page 17: BAB 1 herpes zoster

17

paralisis. Yang biasa diberikan ialah prednison dengan dosis 3×20

mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap.

Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan

sehingga lebih baik digabung dengan obat antivirus (Schalock,

2011).

B. Pengobatan topical

Terapi topikal seperti krim EMLA, lidokain patches, dan krim

capsaicin dapat digunakan untuk neuralgia paska herpes. Solutio Burrow

dapat digunakan untuk kompres basah/ Kompres diletakkan selama 20

menit beberapa kali sehari, untuk maserasi dari vesikel, membersihkan

serum dan krusta, dan menekan pertumbuhan bakteri.7 Solutio Povidone-

iodine sangat membantu membersihkan krusta dan serum yang muncul

pada erupsi berat dari orang tua. Acyclovir topikal ointment diberikan 4

kali sehari selama 10 hari untuk pasien imunokompromised yang

memerlukan waktu penyembuhan jangka pendek (Schalock, 2011).

Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan

terapi kombinasi atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut (Handoko,

2009) :

1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari

pada malam hari

2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin

100-300mg per hari

3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan

gabapentin atau antidepresan trisiklik saja;

Page 18: BAB 1 herpes zoster

18

4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya

dapat menimbulkan sensasi terbakar

1.10 Komplikasi

1. Postherpetic neuralgia

Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia

herpetik akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia

herpetik subakut (30-120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), dan

postherpetic neuralgia (di defenisikan sebagai rasa sakit yang terjadi

setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit). Postherpetic

neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes zoster

akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang

disebabkan oleh replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam

ganglia yang ditemukan selama masa laten. Oleh karena itu,

mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut syaraf sensoris yang

berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau impuls

abnormal, serabut saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor

hilang atau rusak dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls

nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang

hebat (Straus SE, 2007).

2. Herpes Zoster Oftalmikus

Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama

nervus trigeminus sehingga manifestasinya pada mata, selain itu juga

memengaruhi cabang kedua dan ketiga. Jika cabang nasosiliar bagian luar

Page 19: BAB 1 herpes zoster

19

terlibat, dengan vesikel pada ujung dan tepi hidung (Hutchinson’s sign),

maka keterlibatan mata dapat jelas terlihat. Vesikel pada margo palpebra

juga harus diperhatikan. Kelainan pada mata yang sering terjadi adalah

uveitis dan keratitis, akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis

optik, ensefalitis, hemiplegia, dan nekrosis retina akut (Straus SE, 2007).

3. Paralisis Motorik

Paralisis terdapat pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat penjalaran

virus secara per kontinuitatum dari ganglion sensirik ke sistem saraf yang

berdekatan. Paralisis biasanya timbul dalam 2 minggu sejak awitan

munculnya lesi. berbagai paralisis dapat terjadi, misalnya dimuka,

diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya

akan sembuh spontan (Straus SE, 2007).

4. Infeksi sekunder

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa

komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi

H.I.V., keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel

sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik (Straus SE, 2007)..

5. Sindrom Ramsay Hunt

Terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan otikus, sehingga

memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang

sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran,

nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.

Page 20: BAB 1 herpes zoster

20

.

Komplikasi lain dari herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick)

1.11 Prognosis

Prognosis pada herpes zoster umumnya baik. Namun, pada herpes

zoster oftalmikus prognosis tergantung pada tindakan perawatan secara

dini (Handoko R, 2009).

1.12 Pencegahan

Herpes zoster dapat dicegah dengan cara pemberian imunisasi aktif

maupun pasif. Imunisasi pasif yang diberikan yaitu VZIG, yang banyak

diberikan pada pasien-pasien dengan imunocompromised, ibu hamil dan bayi

baru lahir yang terpajan terhadap varisela ibu. Sedangkan imunisasi aktif

yaitu dengan memberikan vaksin yang berisi virus varisella Zoster yang

dilemahkan. The American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan

anak-anak mendapatkan 2 dosis vaksin varicella. Pertama pada umur 12-15

bulan dan dosis kesua pada umur 4-6 tahun (Fitzpatrick, 2007).