bab 1 - bab 5

109
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan makin pesatnya pembangunan di berbagai bidang timbullah berbagai masalah lingkungan yang perlu ditangani secara serius yaitu diantaranya masalah peningkatan polusi udara yang banyak membawa dampak terhadap status kesehatan masyarakat. Peningkatan polusi udara ini menyebabkan banyak warga masyarakat yang dekat dengan sumber polusi tersebut rentan menderita penyakit saluran pernapasan baik yang menyebabkan timbulnya infeksi maupun yang menyebabkan iritasi terhadap saluran pernapasan. Di Indonesia dan sejumlah negara yang sedang dan belum berkembang, infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama. Diantara penyakit infeksi maka yang paling sering menyebabkan kematian adalah infeksi saluran 1

Upload: boy-fikes

Post on 06-Dec-2015

51 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

BAB 1 - bab 5

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 - bab 5

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan makin pesatnya pembangunan di berbagai bidang

timbullah berbagai masalah lingkungan yang perlu ditangani secara serius

yaitu diantaranya masalah peningkatan polusi udara yang banyak

membawa dampak terhadap status kesehatan masyarakat. Peningkatan

polusi udara ini menyebabkan banyak warga masyarakat yang dekat

dengan sumber polusi tersebut rentan menderita penyakit saluran

pernapasan baik yang menyebabkan timbulnya infeksi maupun yang

menyebabkan iritasi terhadap saluran pernapasan.

Di Indonesia dan sejumlah negara yang sedang dan belum

berkembang, infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

utama. Diantara penyakit infeksi maka yang paling sering menyebabkan

kematian adalah infeksi saluran pernapasan. Pembangunan kesehatan pada

hakekatnya adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa

Indonesia untuk mencapai hidup sehat bagi penduduk agar mewujudkan

kesehatan diselenggarakan dan dikembangkan secara terpadu dan secara

terpadu dan menyeluruh yaitu meliputi upaya yang bersifat promotif,

preventif , kuratif, rehabilitatif serta dapat diterima secara terjangkau oleh

seluruh masyarakat ( Depkes RI, 2000 )

1

Page 2: BAB 1 - bab 5

2

Salah satu penyakit pernapasan yang sering ditemukan adalah

Pneumotoraks, yang biasa disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan

ataupun akibat trauma. Penyakit Pneumotoraks mempunyai pengaruh yang

kuat dalam hal fisik, sosial maupun ekonomis. Dalam hal fisik dapat terjadi

perubahan-perubahan berbagai proses dalam tubuh sehingga

mengakibatkan sesak napas, kelemahan fisik dan keterbatasan gerak.

Dalam hal sosial interaksi dengan orang lain menjadi terganggu baik dalam

hal berkomunikasi maupun dalam pergaulan. Dalam hal ekonomi karena

tidak semua orang tidak dapat berobat ke pelayanan kesehatan dengan

alasan biaya, dapat menjadi beban bagi yang mengalami penyakit ini.

Berdasarkan data kunjungan pasien di Rumah Sakit Margono

Soekardjo dari awal Januari hingga akhir Juni 2011 khususnya diruang

Kenanga Rumah Sakit Margono Soekarjo ada 945 pasien bedah dan ada

11 orang pasien Pneumotoraks (Rekam Medik RSUD Prof. Margono

Soekarjo , 2011).

Meski Penyakit pneumotoraks mempunyai angka kejadian yang

rendah, namun tetap memerlukan perawatan dan pengobatan serius karena

Pneumotoraks bila tidak ditangani dapat mengakibatkan gangguan dalam

pemenuhan kebutuhan O2 yang akan berdampak besar terhadap kebutuhan

lainnya dan sistem di dalam tubuh.

Salah satu tindakan untuk pengobatan Pneumotoraks yaitu dengan

tindakan Water Seal Drainage (WSD) yang bertujuan untuk mengeluarkan

cairan dan udara yang terdapat dalam rongga pleura. Setelah dilakukan

Page 3: BAB 1 - bab 5

3

tindakan WSD biasanya timbul masalah nyeri akibat luka pemasangan

slang WSD dan resiko terjadinya infeksi.

Melihat fenomena di atas maka penulis tertarik untuk

melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif dengan

menggunakan proses keperawatan terhadap pasien dengan Pneumotoraks

dan menyusun laporannya dalam bentuk karya tulis ilmiah dengan judul

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. S DENGAN GANGGUAN

SISTEM PERNAFASAN : POST OPERASI PEMASANGAN WATER

SEAL DRAINAGE (WSD) HARI Ke-6 AKIBAT PNEUMOTORAKS

DEXTRA DI RUANG KENANGA RSUD Prof. Dr. MARGONO

SOEKARDJO PURWOKERTO“.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan dari laporan pengelolaan kasus ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Umum

Untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan post

pemasangan WSD pada kasus Pneumothoraks diruang Kenanga RSUD

Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto dengan menggunakan

pendekatan proses keperawatan.

2. Tujuan Khusus

Untuk mendapatkan pengalaman yang nyata tentang teknik :

a. Memberikan gambaran tinjauan teori secara medis dan tinjauan

asuhan keperawatan pada gangguan sistem pernafasan : post operasi

Page 4: BAB 1 - bab 5

4

pemasangan water seal drainage (WSD) hari ke-6 akibat

Pneumotoraks dextra diruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono

Soekardjo Purwokerto

b. Menggambarkan hasil asuhan keperawatan dari pengkajian sampai

dengan evaluasi pada klien dengan gangguan sistem pernafasan :

post operasi pemasangan water seal drainage (WSD) hari ke-6 akibat

Pneumotoraks dextra diruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono

Soekardjo Purwokerto

c. Membahas kesenjangan yang ada dalam melaksanakan asuhan

keperawatan pada klien dengan gangguan sistem pernafasan : post

operasi pemasangan water seal drainage (WSD) hari ke-6 akibat

Pneumotoraks dextra diruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono

Soekardjo Purwokerto

d. Menggambarkan faktor pendukung dan penghambat dalam

pengelolaan kasus dengan gangguan sistem pernafasan : post operasi

pemasangan water seal drainage (WSD) hari ke-6 akibat

Pneumotoraks dextra diruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono

Soekardjo Purwokerto.

B. Batasan Masalah

Mengingat banyaknya kasus di Ruang Kenanga maka dalam asuhan

keperawatan ini penulis mengambil salah satu kasus yang ada di Ruang

Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto yaitu Tn. S

Page 5: BAB 1 - bab 5

5

umur 65 tahun dengan diagnosa medis Tn.S dengan Post oprasi

pemasangan WSD hari ke- 6 dengan kasus Pneumothoraks, Pada saat

penulis melakukan pengkajian pasien, selama 1 hari penulis melakukan

tindakan keperawatan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah

penulis tetapkan, dan untuk hari berikutnya tindakan keperawatan penulis

didelegasikan pada perawat ruang keperawatan Kenanga RSUD Prof. Dr.

Margono Soekardjo Purwokerto.

C. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan karya tulis ilmiah ini disusun bedasarkan

ketentuan yang meliputi bagian awal, terdiri dari: :

1) halaman judul

2) lembar persetujuan pembimbing

3) lembar pengesahan penguji

4) lembar persembahan

5) kata pengantar

6) daftar isi

Bagian selanjutnya adalah isi , yang terdiri dari :

1. BAB I : PENDAHULUAN, yang berisi latar belakang, tujuan penulisan,

batasan masalah dan sistematika penulisan.

2. BAB II : KONSEP DASAR, terdiri dari :

a. konsep dasar medis yang terdiri dari pengertian, istilah, indikasi,

klasifikasi, komplikasi penatalaksanaan.

Page 6: BAB 1 - bab 5

6

b. konsep dasar keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa

keperawatan, fokus intervensi, evaluasi.

3. BAB III : RESUME KEPERAWATAN, berisi pengkajian, diagnosa

keperawatan, rencana tindakan keperawatan, tindakan keperawatan serta

evaluasi.

4. BAB IV : PEMBAHASAN, berisi pengkajian, diagnosa keperawatan,

rencana keperawatan, tindakan keperawatan, dan evaluasi.

5. BAB V : PENUTUP, berisi kesimpulan dan saran.

Selanjutnya bagian akhir adalah bagian penutup yang terdiri dari:

1) DAFTAR PUSTAKA

2) LAMPIRAN

Page 7: BAB 1 - bab 5

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR MEDIS

1. Pengertian

Pneumotoraks adalah adanya penimbunan udara atau gas di dalam

rongga pleura sebagai akibat dari proses penyakit atau cedera. Tekanan di

rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk dapat mempertahankan

paru dalam keadaan berkembang (inflasi). Tekanan pada rongga pleura

pada akhir inspirasi 4 s/d 8 cm H2O dan pada akhir ekspirasi 2 s/d 4 cm

H2O.yang menyebabkan paru untuk mengempis.

Pneumotoraks adalah pengumpulan udara dalam ruang potensial

antara pleura viseralis dan parietalis (Arif Mansjoer edisi 3 jilid 2 hal 295).

Pneumotoraks dibagi menjadi Tension Pneumotoraks dan non-tension

pneumotoraks. Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency

dimana akumulasi udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali

bernapas. Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya

organ mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang

mengalami tekanan. Non-tension pneumothorax tidak seberat Tension

pnemothorax karena akumulasi udara tidak makin bertambah sehingga

tekanan terhadap organ di dalam rongga dada juga tidak meningkat.

Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang

melapisi paru-paru dan rongga dada.

Page 8: BAB 1 - bab 5

8

2. Etiologi

Terdapat beberapa jenis pneumotoraks yang dikelompokkan

berdasarkan penyebabnya:

1) Pneumotoraks spontan

Terjadi tanpa penyebab yang jelas. Pneumotoraks spontan

primer terjadi jika pada penderita tidak ditemukan penyakit paru-

paru. Pneumotoraks ini diduga disebabkan oleh pecahnya kantung

kecil berisi udara di dalam paru-paru yang disebut bleb atau bulla.

Penyakit ini paling sering menyerang pria berpostur tinggi-kurus,

usia 20-40 tahun. Faktor predisposisinya adalah merokok sigaret dan

riwayat keluarga dengan penyakit yang sama. Pneumotoraks spontan

sekunder merupakan komplikasi dari penyakit paru-paru (misalnya

penyakit paru obstruktif menahun, asma, fibrosis kistik, tuberkulosis,

batuk rejan).

2) Pneumotoraks traumatik

a) Traumanya bisa bersifat menembus (luka tusuk, peluru) atau

tumpul (benturan pada kecelakaan kendaraan bermotor), trauma

benda tumpul atau tajam , meliputi gangguan salah satu pleura

visceral atau parietal dan sering dengan patah tulang rusuk (patah

tulang rusuk tidak menjadi hal yang penting bagi terjadinya

Tension Pneumotoraks).

b) Pneumotoraks juga bisa merupakan komplikasi dari tindakan

medis tertentu misalnya pemasangan kateter vena sentral (ke

Page 9: BAB 1 - bab 5

9

dalam pembuluh darah pusat), biasanya vena subclavia atau vena

jugular interna (salah arah kateter subklavia). Komplikasi

ventilator, pneumotoraks spontan, peumotoraks sederhana ke

tension pneumotoraks, tension pneumotoraks merupakan medical

emergency dimana akumulasi udara dalam rongga pleura akan

bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan tekanan intratoraks

mengakibatkan bergesernya organ mediastinum secara masif ke

arah berlawanan dari sisi paru yang mengalami tekanan.

c) Ketidakberhasilan mengatasi pneumotoraks terbuka ke

pneumotoraks sederhana di mana fungsi pembalut luka sebagai 1-

way katup

d) Akupunktur, baru-baru ini telah dilaporkan mengakibatkan

pneumotoraks.

3) Pneumotoraks karena tekanan

Terjadi jika paru-paru mendapatkan tekanan berlebihan

sehingga paru-paru mengalami kolaps. Tekanan yang berlebihan

juga bisa menghalangi pemompaan darah oleh jantung secara efektif

sehingga terjadi syok.

3. Patofisiologi

Normal tekanan negatif pada ruang pleura adalah -10 s/d -12

mmHg. Fungsinya membantu pengembangan paru selama ventilasi.

Pada waktu inspirasi tekanan intrapleura lebih negatif daripada tekanan

intra bronchial, maka paru akan berkembang mengikuti dinding thoraks

Page 10: BAB 1 - bab 5

10

sehingga udara dari luar dimana tekanannya nol (0) akan masuk

bronchus sampai ke alveoli. Pada waktu ekspirasi dinding dada

menekan rongga dada sehingga tekanan intra pleura akan lebih tinggi

dari tekanan di alveolus ataupun di bronchus sehingga udara ditekan

keluar melalui bronchus. Tekanan intra bronchial meningkat apabila

ada tahanan jalan napas. Tekanan intra bronchial akan lebih meningkat

lagi pada waktu batuk, bersin, atau mengejan, pada keadaan ini glottis

tertutup. Apabila di bagian perifer dari bronchus atau alveolus ada

bagian yang lemah maka akan pecah atau terobek. Pneumotoraks terjadi

disebabkan adanya kebocoran dibagian paru yang berisi udara melalui

robekan atau pecahnya pleura. Robekan ini akan berhubungan dengan

bronchus. Pelebaran dari alveoli dan pecahnya septa-septa alveoli yang

kemudian membentuk suatu bula di dekat suatu daerah proses non

spesifik atau granulomatous fibrosis adalah salah satu sebab yang sering

terjadi pneumotoraks, dimana bula tersebut berhubungan dengan

adanya obstruksi emfisema. Penyebab tersering adalah valve

mekanisme di distal dari bronchial yang ada keradangan atau jaringan

parut. Secara singkat penyebab terjadinya pneumotorak menurut

pendapat (MACKLIN : 2003) “ adalah sebagai berikut : Alveoli

disanggah oleh kapiler yang lemah dan mudah robek, udara masuk ke

arah jaringan peribronchovaskuler apabila alveoli itu menjadi lebar dan

tekanan didalam alveoli meningkat. Apabila gerakan napas yang kuat,

infeksi, dan obstruksi endobronchial merupakan fakltor presipitasi yang

Page 11: BAB 1 - bab 5

11

memudahkan terjadinya robekan. Selanjutnya udara yang terbebas dari

alveoli dapat menggoyakan jaringan fibrosis di peribronchovaskuler

kearah hilus, masuk mediastinum dan menyebabkan pneumotoraks atau

pneumomediastinum.

4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis atau tanda dan gejala yang muncul pada

tension pneumotoraks penting sekali untuk mendiagnosa dan

mengetahui kondisi pasien.

Manifestasi awal : Nyeri dada dirasakan pada sisi sakit terasa

lebih nyeri pada gerakan respirasi, terasanya berat (kemeng), dispnea

(sesak nafas) biasa disertai batuk-batuk, sesak ringan sampai berat,

napas tertinggal, senggal pendek-pendek, ansietas (cemas), takipnea

(nafas cepat), takikardi (nadi cepat ), hipersonor dinding dada dan tidak

ada suara napas pada sisi yang sakit, terasa tertekan,tanpa atau dengan

sianosis (warna kebiruan yang disebabkan oleh pengurangan dalam

tingkat-tingkat oksigen darah), tampak sakit ringan sampai berat, lemah

sampai shock, berkeringat dingin.

Manifestasi lanjut : Tingkat kesadaran menurun, trachea

bergeser menuju ke sisi kontralateral, hipotensi, pembesaran pembuluh

darah leher/ vena jugularis (tidak ada jika pasien sangat hipotensi) dan

sianosis (warna kebiruan yang disebabkan oleh pengurangan dalam

tingkat-tingkat oksigen darah), kelainan akibat trauma toraks yang

berbahaya dan mematikan bila tidak dikenali dan ditatalaksana dengan

Page 12: BAB 1 - bab 5

12

segera : dispnea, hilangnya bunyi napas, sianosis, asimetri toraks,

mediastinal shift.

5. Komplikasi

Komplikasi menurut Hudag 1997 dan Wikipedia adalah :

Atelektasis : pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat

penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus)

atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

ARDs : Sindroma Distres Pernafasan Dewasa ( SDPD ) adalah

kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk

kegagalan nafas berat, biasanya terjadi pada orang yang

sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai

penyebab pulmonal atau non-pulmonal.

Infeksi : kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap

organisme inang, dan bersifat pilang membahayakan

inang. Organisme penginfeksi, atau patogen,

menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat

memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan inang

.

Edema

pulmonary

: Oedema paru- paru

Emboli paru : penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh

suatu embolus, yang terjadi secara tiba-tiba.

Efusi pleura : pengumpulan cairan di dalam rongga pleura.

Page 13: BAB 1 - bab 5

13

Emfisema : penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan pada

jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya

Tension

Penumototrax

: Suatu keadaan dimana terjadi tekanan yang terus

meninggi di dalam rongga pleura, penderita akan sesak

nafas yang hebat, keringat dingin, gelisah.

6. Klasifikasi

Klasifikasi pneumotoraks berdasarkan terjadinya ada 3 yaitu

artifisial ,traumatik, spontan. Klasifikasi pneumotoraks berdasarkan

lokasinya ada 3 yaitu pneumotoraks parietalis, pneumotoraks

mediastinalis, pneumotoraks basalis, dan berdasarkan derajat kolaps ada

2 macam yaitu pneumotoraks totalis (keseluruhan ), pneumotoraks

partialis (sebagian), selanjutnya berdasarkan jenis fistel ada 3 yaitu

pneumotoraks terbuka : pneumotoraks dimana ada hubungan terbuka

antara rongga pleura dan bronchus yang merupakan dunia luar. Dalam

keadaan ini tekanan intra pleura sama dengan tekanan barometer (luar).

Tekanan intra pleura disekitar nol (0) sesuai dengan gerakan

pernapasan. Pada waktu inspirasi tekanannya negatif dan pada waktu

ekspirasi positif (+ 2 ekspirasi dan - 2 inspirasi). Yang kedua adalah

pneumotoraks tertutup : pneumotoraks dimna rongga pleura tertutup

tidak ada hubungan dengan dunia luar. Udara yang dulunya ada di

rongga pleura kemungkinan positif oleh karena diresorbsi dan tidak

adanya hubungan lagi dengan dunia luar, maka tekanan udara di rongga

Page 14: BAB 1 - bab 5

14

pleura menjadi negatif. Tetapi paru belum mau berkembang penuh.

Sehingga masih ada rongga pleura yang tampak meskipun tekanannya

sudah negative (- 4 ekspirasi dan - 12 inspirasi). Dan yang ke 3 adalah

pneumotoraks ventil merupakan pneumotoraks yang mempunyai

tekanan positif berhubung adanya fistel di pleura viseralis yang bersifat

ventil. Udara melalui bronchus terus ke percabangannya dan menuju ke

arah pleura yang terbuka. Pada waktu inspirasi udara masuk ke rongga

pleura dimana pada permulaan masih negatif. Pada waktu ekspirasi

udara didalam rongga pleura yang masuk itu tidak mau keluar melalui

lubang yang terbuka tadi bahkan udara ekspirasi yang mestinya

dihembuskan keluar dapat masuk ke dalam rongga pleura, apabila ada

obstruksi di bronchus bagian proksimal dari fistel tersebut. Sehingga

tekanan pleura makin lama makin meningkat sehubungan dengan

berulangnya pernapasan. Udara masuk rongga pleura pada waktu

ekspirasi oleh karena udara ekspirasi mempunyai tekanan lebih tinggi

dari rongga pleura, lebih-lebih kalau penderita batuk-batuk, tekanan

udara di bronchus lebih kuat lagi dari ekspirasi biasa.

7. Pemeriksaan Penunjang

1) Photo toraks (pengembangan paru-paru)

X Foto dada : Pada foto dada PA terlihat pinggir paru yang kolaps

berupa garis, mediastinal shift dapat dilihat pada foto PA atau

fluoroskopi pada saat penderita inspirasi atau ekspirasi.

2) Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup).

Page 15: BAB 1 - bab 5

15

3) Gas Darah arteri

4) Diagnosis fisik :

a) Bila pneumotoraks < 30% atau hematotorax ringan (300cc)

terap simtomatik, observasi.\

b) Bila pneumotoraks > 30% atau hematotorax sedang (300cc)

drainase cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk

melakukan drainase dengan continues suction unit.

c) Pada keadaan pneumotoraks yang residif lebih dari dua kali

harus dipertimbangkan thorakotomi

d) Pada hematotoraks yang massif terdapat perdarahan melalui

drain lebih dari 800 cc segera thorakotomi.

8. Penatalaksanaan

Prinsip : Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan

pasien trauma secara umum (primary survey – secondary survey). Tidak

dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara

konsekutif (berturutan) Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya

bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah : portable x-ray, portable

blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan

melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang

emergency. Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan

tetapi terutama untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa

dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa. Pengambilan anamnesis

Page 16: BAB 1 - bab 5

16

(riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah

melakukan prosedur penanganan trauma. Penanganan pasien trauma

toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki sertifikasi

pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support). Oleh karena langkah-

langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation)

merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks

Kardiovaskular, sebaiknya setiap RS yang memiliki trauma unit/center

memiliki konsultan bedah toraks kardiovaskular.

1) Primary Survey

a. Airway

a) Assessment :

i. Perhatikan patensi airway

ii. Dengar suara napas

iii. Perhatikan retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada

b) Management :

i. inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh

ii. lakukan chin-lift dan jaw thrust

iii. hilangkan benda yang menghalangi jalan napas

iv. re-posisi kepala

Page 17: BAB 1 - bab 5

17

v. pasang collar-neck

vi. lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral /

nasal)

b. Breathing

a) Assesment:

i.Periksa frekwensi napas

ii.Perhatikan gerakan respirasi

iii.Palpasi toraks

iv.Auskultasi dan dengarkan bunyi napas

b) Management:

i. Lakukan bantuan ventilasi bila perlu

ii. Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks

c. Circulation

a) Assesment:

i.Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi

ii.Periksa tekanan darah

iii.Pemeriksaan pulse oxymetri

iv.Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)

b) Management

i.Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines

Page 18: BAB 1 - bab 5

18

ii.Torakotomi emergency bila diperlukan

iii.Operasi Eksplorasi vaskular emergency

Pada pneumotoraks ventil/ tension pneumotoraks, penderita

sering sesak napas berat dan keadaan ini dapat mengancam jiwa apabila

tidak cepat dilakukan tindakan perbaikan. Tekanan intrapleura tinggi, bisa

terjadi kolaps paru dan ada penekanan pada mediastinum dan jantung.

Himpitan pada jantung menyebabkan kontraksi terganggu dan “venous

return” juga terganggu. Jadi selain menimbulkan gangguan pada

pernapasan, juga menimbulkan gangguan pada sirkulasi darah

(hemodinamik). Penanganan segera terhadap kondisi yang mengancam

kehidupan meliputi dekompresi pada hemitoraks yang sakit dengan

menggunakan needle thoracostomy (ukuran 14 – 16 G) ditusukkan pada

ruang interkostal kedua sejajar dengan midclavicular line. Selanjutnya dapat

dipasang tube thoracostomy diiringi dengan control nyeri dan pulmonary

toilet (pemasangan selang dada) diantara anterior dan mid-axillaris.

Penanganan Diit dengan tinggi kalori tinggi protein 2300 kkal + ekstra putih

telur 3 x 2 butir / hari.

2) Bullow Drainage / WSD

Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :

a). Diagnostik : Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau

kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak,

sebelum penderita jatuh dalam shoks.

Page 19: BAB 1 - bab 5

19

b). Terapi : Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga

pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis

of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.

c). Preventive : Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga

pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik

3) Perawatan WSD dan pedoman latihanya :

a) Mencegah infeksi di bagian masuknya slang : Mendeteksi di bagian

dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan

perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya

slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.

b) Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit

yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.

c) Dalam perawatan yang harus diperhatikan :

Penetapan slang : Slang diatur senyaman mungkin, sehingga slang

yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien,

sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.

Pergantian posisi badan : Usahakan agar pasien dapat merasa enak

dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan

pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh

sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan

atas yang cedera.

d) Mendorong berkembangnya paru-paru dengan WSD/Bullow

drainage diharapkan paru mengembang, latihan napas dalam,

Page 20: BAB 1 - bab 5

20

latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan

batuk waktu slang diklem, kontrol dengan pemeriksaan fisik dan

radiologi.

e) Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.

Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc.

Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus

dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan

bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan

pernapasan.

f) Suction harus berjalan efektif : Perhatikan setiap 15 - 20 menit

selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam

setelah operasi. Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan,

keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi,

tekanan darah. Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap

sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi

pasien dari terlentang, ke ½ terlentang atau 1/2 duduk ke posisi

miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal :

slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat

rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di

dinding paru-paru.

g) Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage, cairan dalam

botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar

kalau ada dicatat. Setiap hendak mengganti botol dicatat

Page 21: BAB 1 - bab 5

21

pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari

bullow drainage.Penggantian botol harus "tertutup" untuk

mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat

dengan kocher. Setiap penggantian botol/slang harus

memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.

Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-

sendiri, dengan memakai sarung tangan. Cegah bahaya yang

menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang

terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.

h) Dinyatakan berhasil, bila : Paru sudah mengembang penuh pada

pemeriksaan fisik dan radiologi, darah cairan tidak keluar dari

WSD / Bullow drainage, tidak ada pus dari selang WSD.

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

Page 22: BAB 1 - bab 5

22

Fokus pengkajian pada klien pneumotoraks Doengoes (1999),

meliputi :

a. Wawancara

(Hal-hal yang perlu diketahiu dalam wawancara adalah): Klien terdapat

penyakit paru, bila ditemukan adanya iritan pada paru yang meningkat

maka mungkin terdapat riwayat merokok. Penyakit yang sering ditemukan

adalah pneumotoraks, hemotoraks, pleural effusion atau empiema. Klien

bisa juga ditemukan adanya riwayat trauma dada yang mendadak yang

memerlukan tindakan pembedahan.

1) Riwayat penyakitUmur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun.

2) Alergi terhadap obat, makanan tertentu.

3) Pengobatan terakhir.

4) Pengalaman pembedahan.

5) Riwayat penyakit dahulu.

6) Riwayat penyakit sekarang.

7) Dan Keluhan.

b. Pemeriksaan fisik

Doengoes (1999), berpendapat pada pemeriksaan fisik pada

Page 23: BAB 1 - bab 5

23

pasien gagal ginjal akan diperoleh data antara lain :

1) Sistem Pernapasan akan terkaji sesak napas, nyeri, batuk-batuk,

terdapat retraksi klavikula/dada, pengambangan paru tidak

simetris, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain,

pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani/

hematotraks (redup), pada asukultasi suara nafas menurun, bising

napas yang berkurang/menghilang, pekak dengan batas seperti

garis miring/tidak jelas, dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat,

gerakan dada tidak sama waktu bernapas.

2) Sistem Kardiovaskuler akan ditemukan : Nyeri dada meningkat

karena pernapasan dan batuk, takhikardia, lemah, pucat, Hb

turun /normal, hjipotensi.

3) Sistem Persyarafan : Tidak ada kelainan.

4) Sistem Perkemihan : idak ada kelainan.

5) Sistem Pencernaan : Tidak ada kelainan.

6) Sistem Muskuloskeletal ditemukan : Kemampuan sendi terbatas,

ada luka bekas tusukan benda tajam, terdapat kelemahan, kulit

pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.

7) Sistem Endokrine ditemukan : Terjadi peningkatan metabolisme,

kelemahan.

8) Sistem Sosial / Interaksi : idak ada hambatan.

9) Spiritual ditemukan : Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

Page 24: BAB 1 - bab 5

24

Pada Pola fungsional gordon meliputi :

a) Aktivitas / istirahat

Gejala : Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat

b) Sirkulasi

Tanda : takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama

jantung gallop, nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan

mediastinal, tanda homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan

jantung, menunjukkan udara dalam mediastinum).

c) Psikososial

Tanda : ketakutan, gelisah.

d) Makanan / cairan

Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.

e) Nyeri / kenyamanan

Tanda : Perilaku distraksi, mengerutkan wajah

Gejala : nyeri dada unilateral meningkat karena batuk, timbul tiba-tiba

gejala sementara batuk atau regangan, tajam atau nyeri menusuk yang

diperberat oleh napas dalam.

f) Pernapasan

Tanda : pernapasan meningkat / takipnea, peningkatan kerja napas,

penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat,

bunyi mengindikasikan bahwa paru tidaknapas menurun/ hilang

(auskultasi mengembang dalam rongga pleura), fremitus menurun, perkusi

dada : hipersonor diatas terisi udara, observasi dan palpasi dada : gerakan

Page 25: BAB 1 - bab 5

25

dada tidak sama bila trauma, kulit : pucat, sianosis, berkeringat, mental:

ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

Gejala : kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada / trauma : penyakit

paru kronis, inflamasi / infeksi paru (empiema / efusi), keganasan (mis.

Obstruksi tumor).

g) Keamanan

Gejala : adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.

c. Pemeriksaan Diagnostik

a) Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area

pleural; dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal.

b) GDA : variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang

dipengaruhi, gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan

mengkompensasi. Pa Co2 kadang-kadang menurun, Pa O2 normal /

menurun, saturasi O2 Menurun

c) Torasentesis : menyatakan darah / cairan sero sanguinosa.

d) Hb : mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah

2. Diagnosa Keperawatan

Page 26: BAB 1 - bab 5

26

1) Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya

ekspansi paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga

pleura

2) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan

kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membrane alveolar kapiler

3) Cemas berhubungan dengan Dipsnea berat/ketidakmampuan untuk

berbapas dengan normal, perubahan status kesehatan.

4) Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma

jaringan

5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidak nyamanan

sekunder akibat pemasangan WSD.

6) Gangguan integritas kulit beubungan dengan adanya luka pasca

pemasangan WSD

7) Resiko tinggi trauma pernapasan berhubungan dengan tidak optimalnya

drainage selang sekunder akibat pipa WSD terjepit

8) Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD

3. Fokus Intervensi

Diagnosa I

Page 27: BAB 1 - bab 5

27

Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya

ekspansi paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura

Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan

diharapkan pasien pola pernapasan klien kembali efektif

NOC : Respiratory Status : Ventilation

Kriteria Hasil

1. Menunjukan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu

(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah )

2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama

nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas

abnormal)

3. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat

menghambat jalan nafas

Indikator skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC : Respiratory monitoring

1. Identifikasi factor penyebab kolaps spontan, trauma keganasan, infeksi

komplikasi mekanik pernapasan

Page 28: BAB 1 - bab 5

28

2. Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap

perubahan yang terjadi

3. Baringkan klien dalam posisi yang nyaman, atau dalam posisi duduk.

4. Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR)

5.  Lakukan auskultasi suara napas setiap 2-4 jam

6. Bantu dan ajarkan klien untuk batuk dan napas dalam yang efektif

7. Kolaborasi untuk tindakan dekompresi dengan pemasangan WSD

Diagnosa II

Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan

kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membrane alveolar kapiler

Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan

diharapkan pasien menunjukkan perbaikan pertukaran gas

NOC : Respiratory Status

Kriteria Hasil

1. Tidal volume sesuai yang diharapkan

2. Kapasitas vital sesuai dengan yang diharapkan

3. Frekuensi pernafasan adekuat

4. Bernafas mudah

Indikator skala

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

Page 29: BAB 1 - bab 5

29

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC : Airway Management

1. Kaji frekuensi , kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori ,

nafas bibir, ketidakmampuan bicara/ berbincang.

2. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang

mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir

sesuai kebutuhan/toleransi individu.

3. Pertahankan istirahat tidur,dorong menggunakan teknik ralaksasi dan

aktivitas senggang

4. Kaji tingkat ansietas.

5. Dorong menyatakan masalah/perasaan. Jawab pertanyaan dengan jujur.

Kunjungi dengan sering, atur pertemuan/kunjungan oleh orang

terdekat/pengunjung sesuai indikasi

Diagnosa III

Cemas berhubungan dengan Dipsnea berat/ketidakmampuan untuk

berbapas dengan normal, perubahan status kesehatan.

Page 30: BAB 1 - bab 5

30

Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan

diharapkan Cemas yang dialami pasien berkurang

NOC : Kontrol cemas

Kriteria Hasil

1. Pasien mampu memonitor intensitas kecemasan

2. Menurunkan stimulasi ketika cemas

3. Menggunankan strategi koping efektif

4. Melaporkan cemas hilang atau menurun sampai tingkat yang dapat

ditangani

5. penampilan rileks dan istirahat/tidur dengan tepat

Indikator skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC : Cemas management

1. Catat derajat ansietas dan takut. Informasikan pasien/orang terdekat

bahwa perasaannya normal dan dorong mengekspresikan perasaan.

2. Jelaskan proses penyakit dan prosedur dalam tingkat kemampuan

pasien untuk memahami dan menangani informasi. Kaji situasi saat ini dan

tindakan yang diambil untuk mengatasi masalah.

Page 31: BAB 1 - bab 5

31

3. Berikan tindakan kenyamanan misalnya pijatan punggung, perubahan

posisi

4. Dukung pasien/orang terdekat dalam menerima realita situasi,

khususnya rencana untuk periode penyembuhan yang lama. Libatkan

pasien dalam perencanaan dan partisipasi dalam perawatan.

5. waspadai untuk perilaku diluar kontrol atau peningkatandisfungsi

kardiopulmonal, misal memburuknya dipsnea da takikardia.

Diagnosa IV

Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan

Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan

diharapkan Nyeri klien berkurang/hilang

NOC : Pain Level

Kriteria hasil :

1. Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi

2. dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan

nyeri

3. pasien tidak gelisah.

Indikator skala

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

Page 32: BAB 1 - bab 5

32

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC : monitor pain

1. Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi

dan non invasif.

2. Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot

rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan

relaksasi masase.

3. Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

4. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi

yang nyaman; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.

5.  Tingkatkan pengetahuan tentang: sebab-sebab nyeri, dan

menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.

6. Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.

7. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah

pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1

– 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 – 2 hari.

Diagnosa V

Gangguan  mobilitas fisik berhubungan dengan ketidak nyamanan

sekunder akibat pemasangan WSD.

Page 33: BAB 1 - bab 5

33

Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan

diharapkan pasien memiliki mobilitas fisik yang adekuat selama

pemasangan WSD

NOC : Mobilitas status

Kriteria hasil

1. Klien merasakan nyeri berkurang selama bernafas dan bergerak

2. klien memiliki range of motion optimal sesuai dengan kemampuannya

3. mobilitas fisik sehari–hari terpenuhi.

Indikator skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC : mobilitas monitoring

1. Kaji ROM pada ekstrimitas  atas tempat insersi WSD

2. Kaji tingkat nyeri dan pemenuhan aktifitas  sehari – hari

3. Dorong exercise ROM aktiif atau pasif ada lengan dan bahu dekat

tempat insersi.

4. Dorong klien untuk exercise ekstrimitas bawah dan bantu ambulansi

5. Berikan tindakan distraksi dan relaksasi

Diagnsa VI

Page 34: BAB 1 - bab 5

34

Gangguan integritas kulit beubungan dengan adanya luka pasca

pemasangan WSD

Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan

diharapkan integritas kulit kembali normal

NOC : Tissue Integrity : Skin and mucous Membrane

Kriteria Hasil

1. Menunjukkan waktu penyembuhan yang tepat tanpa komplikasi.

2. Menunjukkan teknik meningkatkan penyembuhan / mencegah

komplikasi.

3. Integritas kulit baik

4. Tidak ada lesi

5. Mampu menjaga kelembaban kulit

Indikator skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC :

1. Kaji warna kulit/ suhu dan pengisisan kapiler pada area operasi dan

tandur kulit.

Page 35: BAB 1 - bab 5

35

2. pertahankan kepala tempat tidur tinggi 30-45 derajat. Awasi edema

wajah (biasanya meningkat pada hari ketiga -kelimapascaoperasi).

3. lindungi lembaran kulit dan jahitan dari tegangan atau tekanan.

Berikan bantal/ gulungan dan anjurkan pasien untuk menyokong

kepala/ leher selama aktivitas

4. awasi drainase  berdarah dari sisi operasi, jahitan dan drein. Ukur

drainase  dari hemovak (bila digunakan).

5. catat atau laporkan adanya drainase seperti susu.

6. ganti balutansesuai indikasi bila digunakan.

7. bersihkan insisi dengan air garam faal steril dan peroksida setelah

balutan diangkat.

Diagnosa VII

Resiko tinggi trauma pernapasan berhubungan dengan tidak optimalnya

drainage selang sekunder akibat pipa WSD terjepit

Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan

diharapkan pasien tidak ada trauma pernafasan dan pernafasan adekuat

NOC : Risk Kontrol

Kriteria hasil

1. irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada dalam batas normal

2. pada pemeriksaan rontgen torak terlihat adanya pengembangan paru,

3. bunyi napas terdengar jelas.

NIC : risk management

Page 36: BAB 1 - bab 5

36

1. Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap

perubahan yang terjadi

2. Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR)

3.   Bariingkan klien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk.

4. Perhatikan undulasi pada selang WSD

5. Anjurkan klien untuk memegang selang apabila akan mengubang posisi

6. Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu

7. Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh

8. Beri penjelasan pada klien tentang perawatan WSD

9. Bantu dan ajarkan klien untuk melakukan batuk dan napas dalam

edektif

Diagnosa VIII

Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD

Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam proses keperawatan

diharapkan klien bebas dari infeksi pada lokasi insersi selama pemasangan

WSD,

NOC : Risk Detection

Kriteria hasil :

1. Bebas dari tanda–tanda infeksi

2. tidak ada kemerahan, purulent, panas, dan nyeri yang meningkat serta

fungsiolisa.

Page 37: BAB 1 - bab 5

37

3. Tanda – tanda vital dalam batas normal.

Indikator skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC :

1. Berikan pengertian dan motivasi tentang perawatan WSD

2. Kaji tanda – tanda infeksi

3. Monitor reukosit dan LED

4. Dorongan untuk nutrisi yang optimal

5. Berikan perawatan luka dengan teknik aseptic dan anti septic

6. Bila perlu berikan antibiotik sesuai advis

4. Evaluasi

Diagnosa I

1) Menunjukan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu

(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah )

2) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama

nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas

abnormal)

3) Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat

Page 38: BAB 1 - bab 5

38

menghambat jalan nafas

Diagnosa II

1) Tidal volume sesuai yang diharapkan

2) Kapasitas vital sesuai dengan yang diharapkan

3) Frekuensi pernafasan adekuat

4) Bernafas mudah

Diagnosa III

1) Pasien mampu memonitor intensitas kecemasan

2) Menurunkan stimulasi ketika cemas

3) Menggunankan strategi koping efektif

4) Melaporkan cemas hilang atau menurun sampai tingkat yang dapat

ditangani

5) penampilan rileks dan istirahat/tidur dengan tepat

Diagnosa IV

1) Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi

2) dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan

nyeri

3) pasien tidak gelisah.

Diagnosa V

1) Klien merasakan nyeri berkurang selama bernafas dan bergerak

2) klien memiliki range of motion optimal sesuai dengan kemampuannya

3) mobilitas fisik sehari–hari terpenuhi.

Page 39: BAB 1 - bab 5

39

Diagnosa VI

1) Menunjukkan waktu penyembuhan yang tepat tanpa komplikasi.

2) Menunjukkan teknik meningkatkan penyembuhan / mencegah

komplikasi.

3) Integritas kulit baik

4) Tidak ada lesi

5) Mampu menjaga kelembaban kulit

Diagnosa VII

1) irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada dalam batas normal

2) pada pemeriksaan rontgen torak terlihat adanya pengembangan paru,

3) bunyi napas terdengar jelas.

Diagnosa VIII

1) Bebas dari tanda–tanda infeksi

2) tidak ada kemerahan, purulent, panas, dan nyeri yang meningkat serta

fungsiolisa.

3) Tanda – tanda vital dalam batas normal.

BAB III

TINJAUAN KASUS

Page 40: BAB 1 - bab 5

40

Asuhan keperawatan pada Tn. S dengan ” Gangguan sistem

pernafasan : post WATER SEAL DRAINAGE (WSD) hari ke-6 akibat

Pneumothoraks di ruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto” , pada tanggal 12 Juli 2011 yang dilakukan oleh penulis, akan

penulis sajikan dalam bentuk resume keperawatan yang meliputi proses

pengkajian, penyusunan diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi

dan evaluasi.

1. Pengkajian

a. Identitas

Pengkajian dilakukan oleh penulis pada hari Selasa, 12 Juli

2011 pada pukul 08.00 WIB di ruang Cempaka RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo dengan sumber informasi keluarga pasien bernama

Ny. S. Dari informasi yang didapatkan, diketahui bahwa pasien

bernama Tn. S umur 63 tahun, jenis kelamin laki-laki, beragama islam,

pendidikan terakhir SD, seorang pedagang, dan beralamatkan di

Kalisari,cilongok. Tn.S masuk ke rumah sakit pada tanggal 4 Juli 2011

dengan nomor register 857887. Penanggung jawab pasien bernama Ny.

S berusia 60 tahun. Ny. S adalah istri dari Tn.S dan tinggal bersama di

kalisari,cilongok.

b. Riwayat kesehatan

Pasien datang ke UGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto, rujukan dari RSUD Ajibarang post kecelakaan lalu lintas

Page 41: BAB 1 - bab 5

41

sepeda motor yang dinaikinya masuk jurang dengan ketinggian kurang

lebih 3 meter. Saat tiba di RSUD Ajibarang pasien sadar, sampai

dengan dibawa ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo diketahui

glasgow coma scale (GCS) = 15 dengan E4M6V5, kesadaran compos

mentis, terdapat luka pada dada dan lebam di kelopak mata kiri,

kompresi vertebrae servikal iv- v . Kecelakaan terjadi pada tanggal 4

Juli 2011, dilakukan operasi pemasangan WSD tanggal 6 Juli 2011

kemudian dirawat di Ruang Kenanga hingga tanggal 12 Juli sampai

pada saat penulis melakukan pengkajian.

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit menurun atau menular

berbahaya, dan sebelumnya tidak pernah dirawat di rumah sakit,

begitupun dengan keluarga pasien yang lainnya.

c. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik kondisi pasien secara umum dalam

keadaan cukup. Kesadaran pasien compos mentis (E4V5M6), dan pada

pemeriksaan tanda-tanda vital, tekanan darah (TD) pasien 120/80

mmHg, nadi perifer (N) 78 x/menit, respirasi (R) 27 x/menit, suhu

tubuh (S) pasien 37 ºC, terdapat luka post WSD (WATER SEAL

DRAINAGE) hari ke-6 di bagian paru-paru dextra, pupil isokor 3 mm,

lebam dan oedema pada mata kiri, terpasang oksigen (O2) via nasal

kanul 3 L/menit, tidak ada perdarahan pada hidung dan telinga, mulut

dan gigi kotor, mukosa kering, serta terpasang intravenous fluid device

(IVFD) di tangan kiri

Page 42: BAB 1 - bab 5

42

d. Pemeriksaan penunjang

Data penunjang, pasien mendapatkan terapi injeksi Cefotaxime

3x500mg perhari intravena; Dexametasone 3x1amp perhari; ketorolak

2x1amp perhari; infuse RL 500ml 20 tetes permenit (tpm),

Hasil pemeriksaan foto thoraks pada tanggal 06 Juli 2010

terdapat gambaran emfisema subkutis lateral himitothoraks kanan dan

kiri.

Pemeriksaan laboratorium pasien post operasi WSD (WATER

SEAL DRAINAGE) pada tanggal 11 juli 2011, didapatkan hasil

Hemoglobin 11,2 g/dl, Leukosit 7950 /ul, Hematokrit 34%, Eritrosit 4,1

10^/ul, Trombosit 226.000/ul, MCV 83,67 fl, MCH 27,6 pg, MCHC

32,9%, RDW 14,2%, MPV 9,7 fl, Basofil 0,1%, Eosinofil 4,7%, Batang

0%, Segmen 82,4%, Limfosit 5,9 %, Monosit 6,9%, SGOT 36 u/L.

e. Pola fungsional Gordon

Berdasarkan pengkajian 11 pola fungsional Gordon, terdapat

masalah yang menonjol yaitu pada pola persepsi dan kognitif, pola

aktivitas/latihan, pola istirahat tidur, dan pola eliminasi, sedangkan 7

fungsional yang lain dalam batas normal.

Pada pola persepsi pasien mengatakan kurang begitu paham

tentang penyakit yang di deritanya,dan tindakan keperawatan yang di

berikan kepada pasien.

Page 43: BAB 1 - bab 5

43

Pola latihan dan aktivitas pasien selalu dibantu keluarga dan

perawat. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien hanya tiduran.

Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran dengan keadaan umum

sedang / compos mentis (E4M6V5) dan ada kompresi vertebrae servikal

iv- v. Berdasarkan skala tingkat ketergantungan, pasien termasuk

kriteria ketergantungan sedang / dengan pengawasan hingga total oleh

pemberi asuhan keperawatan dan keluarga..

Pola eliminasi BAK pasien dibantu dengan dower cateter (DC)

atau kateter dan pasien sama sekali belum pernah BAB sejak 6 hari

yang lalu saat kecelakaan terjadi sampai saat dilakukan pengkajian oleh

penulis.

Page 44: BAB 1 - bab 5

44

2. Analisa Data

Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada Tn. S dengan post

operasi pemasangan WSD (WATER SEAL DRAINAGE) tanggal 6 Juli 2011

didapatkan data subyektif dan data obyektif, kemudian dilakukan analisa

data sebagai berikut:

Tabel 3.1 Analisa data Ny. S dengan post operasi pemasangan WSD

(WATER SEAL DRAINAGE)

NO DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM

1. DS : Pasien mengatakan nyeri

pada punggung

belakang ,dada sebelah kiri

atas dan luka WSD

DO : P : nyeri pada punggung post

jatuh dari motor dan masuk

jurang denan kedalaman

kurang lebih 3 meter

Q : nyeri seperti dipukul-

pukul

R : nyeri di punggung,dada kiri

atas dan luka post oprasi

WSD

S : skala nyeri 6

T : saat digerakkan

Agen injuri fisik Nyeri akut

Page 45: BAB 1 - bab 5

45

2. DS : Pasien mengatakan sesak

nafas

DO : Terpasang O2 : 3 liter/menit

RR :27X/Menit

Ekspansi paru tidak

maksimal karena

akumulasi udara dan

cairan

Ketidakefektifan pola

nafas

3. DS : Pasien mengatakan

punggung dan dada kiri

atas nyeri , dan ada luka

post pemasangan

WSD ,lebam disekitar

bawah clavikula kiri

DO : Pasien terlihat tidak

mampu melakukan

aktivitas mandiri

Kerusakan mobilitas

fisik

Intoleransi aktifitas

3. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan hasil pengkajian, penulis dapat mengumpulkan

beberapa masalah keperawatan yang dialami pasien diantaranya :

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak

maksimal karena akumulasi udara dan cairan dalam rongga pleura

c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik

Page 46: BAB 1 - bab 5

46

4. Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi

Berikut merupakan intervensi, implementasi, dan evaluasi guna

pemecahan masalah keperawatan di atas :

a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses

keperawatan diharapkan nyeri berkurang/ hilang dengan kriteria hasil,

mampu mengontrol nyeri, menyampaikan bahwa nyeri berkurang, mampu

mengendalikan gejala- gejala nyeri, menyatakan nyaman setelah nyeri

berkurang, tanda- tanda vital dalam batas normal.

1) Intervensi

Rencana tindakan untuk mengatasi nyeri antara lain : kaji nyeri

sevara komprehensif, kurangi faktor penyebab nyeri, berikan therapi

nafas dalam jika nyeri, control lingkungan yang dapat mempengaruhi

nyeri.

2) Implementasi

Implementasi yang telah dilakukan yaitu mengkaji kondisi umum dan

kesadaran pasien, memantau tanda-tanda vital, memberikan therapy

nafas dalam saat pasian merasa nyeri, dan memberikan lingkungan

yang tenang, memberikan therapy analgesic ( ketorolak 2x1 amp).

3) Evaluasi

Evaluasi yang didapatkan selama 4 jam memberikan asuhan

keperawatan yaitu pasien dalam kesadaran baik mampu mengikuti

therapy nafas dalam yang di ajarkan perawat, dan bisa

Page 47: BAB 1 - bab 5

47

menggunakannya saat pasien measa nyeri muncul, pasien megatakan

nyeri berkurang.

b) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru

yang tidak maksimal karena akumulasi udara dan cairan dalam

rongga pleura.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses

keperawatan diharapkan pola nafas menjadi efektif dengan kriteria

hasil, frekuensi pernafasan dalam batas normal, irama nafas dalam

batas normal, ekspansi dada simetris, pasien mampu bernafas dengan

mudah.

1) Intervensi

Rencana tindakan untuk mengatasi ketidakefektifan pola nafas

antara lain : memo nitor frekuensi, ritmen kedalaman pernafasan

pasien, monitor pernafasan hidung, monitor pola nafas, monitor

adanya krepitasi, posisikan pasien yang nyaman, auskultasi suara

nafas, palpasi ekspansi paru, beri O2 : 3 liter / menit dan beri obat

antibiotik sesuai indikasi.

2) Implementasi

Implementasi yang telah dilakukan yaitu memonitor frekuensi,

ritmen kedalaman pernafasan pasien, monitor pernafasan hidung,

monitor pola nafas, monitor adanya krepitasi, memposisikan pasien

yang nyaman, auskultasi suara nafas, palpasi ekspansi paru, beri O2

Page 48: BAB 1 - bab 5

48

: 3 liter / menit dan ganti balut WSD, mengobservasi daerah kulit

yang terinvasi dan terdapat luka jahitan, dan memberi obat

antibiotik cefrotaxime.

3) Evaluasi

Evaluasi yang didapatkan selama 4 jam memberikan asuhan

keperawatan yaitu pola nafas tidak efektif teratasi sebagian namun

pasien masih merasa sesak. Pasien masih terpasang IVFD RL

20tpm, dan DC, tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada luka jahit

post WSD (WATER SEAL DRAINAGE), TD = 120/80 mmHg, N

= 78 x/menit, R = 27 x/menit, S = 37oC.

c) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 7 jam

diharapkan aktifitas pasien kembali lancar dengan kriteria hasil

keseimbangan penampilan, memposisikan tubuh,, gerakan endi,

ambulasi duduk.

1) Intervensi keperawatan

Rencana tindakan untuk mengatasi intoleransi aktifitas antara lain :

tempatkan tempat idur yang mudah di jangkau pasienm motivasi

pasien untuk tirah baring, monitor kekuatan otot dan kemampuan

gerak.

2) Implementasi

Page 49: BAB 1 - bab 5

49

Implementasi yang telah dilakukan yaitu menempatkan tempat

tidur yang mudah di jangkau pasienm , memotivasi pasien untuk

tirah baring, memonitor kekuatan otot dan kemampuan gerak.

3) Evaluasi

Evaluasi yang didapatkan selama 7 jam memberikan asuhan

keperawatan yaitu pasien mengatakan sdah mampu tirah baring

sederhana.

Page 50: BAB 1 - bab 5

50

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas asuhan keperawatan pada Tn. S

dengan ” Gangguan sistem pernafasan : post WATER SEAL DRAINAGE

(WSD) hari ke-6 akibat Pneumothoraks dextra di ruang Kenanga RSUD

Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto”, selama satu hari yaitu pada

tanggal 12 Juli 2011, di rumah sakit Margono Soekarjo untuk memberikan

gambaran terhadap asuhan keperawatan yang telah penulis berikan.

Pembahasan asuhan keperawatan tersebut akan dilaksanakan

berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditegakkan oleh penulis, dengan

memperhatikan tahapan proses keperawatan, dimulai dari pengkajian

hingga evaluasi. Pembahasan juga menyangkut beberapa kesenjangan

antara teori dan asuhan keperawatan yang penulis berikan pada pasien di

lapangan.

A. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian dilakukan penulis pada hari Senin, 12 Juli 2010 pukul

08.00 WIB di ruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, dengan

sumber informasi dari wawancara dengan keluarga, pemeriksaan fisik,

catatan keperawatan didapatkan identitas pasien bernama Tn. S, umur 63

tahun. Penanggung jawab pasien bernama Ny. S, berusia 60 tahun, yang

merupakan istri dari Tn. S.

Page 51: BAB 1 - bab 5

51

Pada pemeriksaan fisik kondisi pasien secara umum dalam keadaan

cukup. Kesadaran pasien compos mentis (E4V5M6), dan pada pemeriksaan

tanda-tanda vital, tekanan darah (TD) pasien 120/80 mmHg, nadi perifer

(N) 78 x/menit, respirasi (R) 27 x/menit, suhu tubuh (S) pasien 37 ºC,

terdapat luka post WSD (WATER SEAL DRAINAGE) hari ke-6 di bagian

paru-paru dextra, lebam dan oedema pada mata kiri, terpasang oksigen

(O2) via nasal kanul 3 L/menit, tidak ada perdarahan pada hidung dan

telinga, mulut dan gigi kotor, mukosa kering, serta terpasang intravenous

fluid device (IVFD) di tangan kiri

Data penunjang, pasien mendapatkan terapi injeksi Cefotaxime

3x500mg perhari intravena; Dexametasone 3x1amp perhari; ketorolak

2x1amp perhari; infuse RL 500ml 20 tetes permenit (tpm),

Hasil pemeriksaan foto thoraks pada tanggal 06 Juli 2010 terdapat

gambaran emfisema subkutis lateral himitothoraks kanan dan kiri.

Pemeriksaan laboratorium pasien post operasi WSD (WATER SEAL

DRAINAGE) pada tanggal 11 juli 2011, didapatkan hasil Hemoglobin

11,2 g/dl, Leukosit 7950 /ul, Hematokrit 34%, Eritrosit 4,1 10^/ul,

Trombosit 226.000/ul, MCV 83,67 fl, MCH 27,6 pg, MCHC 32,9%, RDW

14,2%, MPV 9,7 fl, Basofil 0,1%, Eosinofil 4,7%, Batang 0%, Segmen

82,4%, Limfosit 5,9 %, Monosit 6,9%, SGOT 36 u/L.

Berdasarkan pengkajian pola fungsional Gordon, didapatkan masalah

yang menonjol yaitu pada pola persepsi dan kognitif, pola latihan dan

aktivitas,pola tidur, serta pola eliminasi. Sedangkan menurut Doenges,

Page 52: BAB 1 - bab 5

52

Moorhouse, dan Geissler (2000) yaitu neurosensori, aktivitas/istirahat, dan

eliminasi. Pengkajian berdasarkan pola fungsional Gordon, 7 pola

fungsional yang lain dalam batas normal.

Pada keluhan utama dan keluhan tambahan ditemukan bahwa pasien

mengalami gangguan pola nafas tidak efektif karena adanya penumpukan

udara dan cairan dalam rongga pleura yang menyebabkan menurunnya

ekspansi paru, serta keluhan ketidaknyamanan disebabkan nyeri post

pemasangan slang WSD.

Pengkajian menurut Doenges, Moorhouse, dan Geissler (2000)

menyebutkan gejala pada neurosensori meliputi : kehilangan kesadaran

sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinnitus, kehilangan

pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas, perubahan dalam

penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang

pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman. Sedangkan

tandanya yaitu perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status

mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan

masalah, pengaruh emosi/tingkah laku, dan memori), perubahan pupil

(respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan

mengikuti, kehilangan pengindraan, seperti pengecapan, penciuman, dan

pendengaran, wajah tidak simetri, genggaman lemah, tidak seimbang,

refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese,

quadriplegia, postur (dekortikasi, desebrasi), kejang, sangat sensitif dengan

Page 53: BAB 1 - bab 5

53

sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam

menentukan posisi tubuh.

Sedangkan pada kasus ditemukan data : kesadaran baik dengan

keadaan umum baik / compos mentis (E4M6V5). Pasien sadar sejak

kecelakaan dan pascaoperasi dan merintih. Berdasarkan data pasien

diatas, antara kasus dilapangan dengan teori terdapat kesamaan, yaitu

sangat sensitif dengan sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian

tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh karena ada cidera di

toraks dan ada kompresi di vertebrae clavikula iv-v . Sehingga penulis

menyimpulkan Tn. S memiliki masalah pada pola persepsi dan kognitif.

Pengkajian pada aktivitas/istirahat menurut Doenges, Moorhouse,

dan Geissler (2000) tanda dan gejalanya yaitu merasa lemah, lelah, kaku,

hilang keseimbangan, perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,

quadriplegia, ataksia cara berjalan tidak tegap, masalah dalam

keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot

spastik. Pada pasien ditemukan adanya kesulitan tidur saat malam hari

selain di karenakan lingkungan yang terlalu berisik selain itu juga karena

nyeri post operasi pemasangan WSD , keluarga pasien mengatakan bahwa

pasien hanya tiduran dan menggeliat gelisah. Selain itu terdapat kompresi

vetebrae servikal iv-v dextra, berdasarkan skala tingkat ketergantungan,

pasien termasuk kriteria ketergantungan sedang / pengawasan hingga total

oleh pemberi asuhan keperawatan dan keluarga. Berdasarkan data pasien

antara kasus dilapangan dan teori terdapat kesamaan yaitu adanya cedera

Page 54: BAB 1 - bab 5

54

(trauma) ortopedi dan luka insisi operasi pemasangan WSD dan sering

mengeluh tidak bisa tidur karena nyeri yang dirasakannya sehingga

penulis menyimpulkan, Tn. S memiliki masalah dalam pola

aktivitas/istirahat.

Doenges, Moorhouse, dan Geissler (2000) menyebutkan gejala

pada eliminasi meliputi : Inkontinensia kandung kemih/usus atau

mengalami gangguan fungsi. Pada kasus ditemukan data : BAK pasien

dibantu dengan dower cateter (DC) atau kateter dan pasien sama sekali

belum pernah BAB sejak 6 hari yang lalu saat kecelakaan terjadi sampai

saat dilakukan pengkajian oleh penulis. Berdasarkan data pasien diatas,

antara kasus dilapangan dengan teori terdapat kesamaan, yaitu adanya

inkontinensia usus. Sehingga penulis menyimpulkan, Tn. S memiliki

masalah pada pola eliminasi.

Pada keluhan utama jelas disebutkan bahwa pasien mengeluh nyeri

dan sesak nafas , ini membuat penulis mengangkat diagnosa utamya adalah

nyeri akibat agen injuri fisik dalam hal ini adalah luka post pemasangan

selang WSD, dan diagnosa prioritas ke dua adalah ketidakefektifan pola

nafas berhubungan dengan ketidak efektifan ekspansi paru karena

penumpukan cairan dan udara dalam rongga pleura.

Page 55: BAB 1 - bab 5

55

B. Diagnosa Keperawatan yang Muncul berdasarkan Prioritas

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

Menurut NANDA (2005), nyeri akut adalah pengalaman emosional

dan sensori yang tidak menyenangkan dan muncul dari kerusakan jaringan

secara aktual atau potensial atau menunjukkan adanya kerusakan, serangan

mendadak atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat yang dapat

diantisipasi atau diprediksi durasi nyeri kurang dari 6 bulan.

Batasan karakteristik mayor nyeri yaitu adanya laporan secara

verbal maupun non verbal, gerakan melindungi, tingkah laku berhati-hati,

muka topeng dan tingkah laku ekspresif, posisi untuk mengurangi nyeri

(NANDA, 2005).

Diagnosa ini ditegakkan atas dasar pasien mengatakan nyeri pada

luka post operasi pada perut bagian kanan bawah sampai simfisis yang

diekspresikan dengan wajah menyeringai menahan sakit, pengkajian skala

nyeri 6, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 78 kali per menit, respirasi 27

kali per menit dan menurunnya aktivitas yang dilakukan karena pasien

merasa nyeri pada luka post operasi apabila bergerak.

Masalah keperawatan ini diprioritaskan pada urutan pertama karena

merupakan masalah aktual yang harus segera ditangani karena dalam

penyusunan diagnosis keperawatan dapat diurutkan dengan prioritas tinggi,

sedang dan rendah. Masalah dengan prioritas tinggi mencerminkan situasi

yang mengancam kehidupan dan memerlukan penanganan segera. Masalah

dengan prioritas sedang berhubungan dengan situasi yang tidak gawat dan

Page 56: BAB 1 - bab 5

56

tidak mengancam kehidupan pasien. Masalah dengan prioritas rendah yaitu

masalah yang tidak mengancam kehidupan dan tidak memerlukan

penanganan segera. Pada kasus yang dikelola pasien, nyeri dengan skala 6

termasuk dalam skala sedang yang disertai ekspresi wajah menahan nyeri

dan merasa nyeri bila bergerak dapat digolongkan dalam masalah dengan

prioritas tinggi karena dapat mengancam kehidupan pasien. Terbebas dari

rasa nyeri merupakan kebutuhan rasa aman dan nyaman, dimana

kebutuhan rasa aman dan nyaman merupakan kebutuhan dasar manusia

kedua setelah kebutuhan fisiologis (Hirarki maslow: 2000)

Menurut Wilkinson (2000), intervensi prioritas dari diagnosa nyeri

akut antara lain lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi,

skala dan intensitas), observasi ketidaknyamanan non verbal, gunakan

pendekatan yang positif terhadap pasien (hadir dekat pasien untuk

memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara massase, perubahan

posisi, berikan perawatan yang tidak terburu-buru), kendalikan faktor

lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap

ketidaknyamanan, anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan teknik

relaksasi, kolaborasi medis dalam pemberian analgetik.

Tindakan yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah ini antara

lain:

a. Mengkaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, skala

nyeri dan intensitas nyeri.

b. Mengobservasi ketidaknyamanan non verbal.

Page 57: BAB 1 - bab 5

57

c. Menggunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat

pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara

massase, mengatur posisi senyaman mugkin dan memberikan

perawatan yang tidak terburu-buru.

d. Mengendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon

pasien terhadap ketidaknyamanan.

e. Menganjurkan pasien untuk istirahat dan mengajarkan teknik relaksasi

dengan cara menarik nafas dalam dan menghembuskannya secara

perlahan-lahan.

f. Mengkaji tanda-tanda vital dan keadaan umum,

g. Berkolaborasi medis dalam memberikan ketorolac 2x1 amp per IV.

Penulisan intervensi mengacu pada NIC NOC. Pada penulisan

tujuan intervensi tidak memenuhi pedoman SMART, dibuktikan dalam

penulisan intervensi tidak dicantumkan batasan waktu sehingga data

kurang tepat. Seharusnya penulisan tujuan intervensi pada diagnosa

pertama yaitu: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x30 menit

diharapkan nyeri berkurang atau hilang (Johnson dan Maas :2004).

Pada intervensi dicantumkan skala awal dan skala yang diharapkan

dari semua kriteria hasil sehingga tidak ada acuan dalam menentukan

evaluasi dan tidak ada data yang muncul secara tiba-tiba. Seperti pada tabel

sebagai berikut:

Page 58: BAB 1 - bab 5

58

Tabel 4.1 kriteria hasil yang benar pada Dx I

Kriteria hasil Skala awal Skala akhir

a. Pasien mengatakan nyeri

berkurang

b. Ekspresi wajah rileks

c. Skala nyeri 0-3 dari 10

d. Menunjukan teknik

relaksasi yang efektif

untuk mencapai

kenyamanan.

3

3

4

4

4

4

3

4

Kekuatan dalam mengatasi masalah ini adalah pasien kooperatif

dan mau melaksanakan anjuran yang diberikan penulis. Sedangkan kendala

yang dialami penulis adalah pada saat jam besuk, ruangan agak ramai

sehingga pasien tidak dapat istirahat dan pasien masih takut nyeri bila

bergerak. Adapun data yang menunjang dari diagnosis diatas secara teori

yaitu adanya perilaku melindungi diri, memfokuskan pada diri sendiri dan

perubahan pada tekanan darah (NANDA, 2005).

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu hari, maka

penulis melakukan evaluasi tindakan yang telah dilakukan dan didapatkan

data bahwa pasien mengatakan nyeri berkurang, pasien terlihat sedikit

rileks, skala nyeri 5. Berdasarkan data yang diperoleh penulis, maka

masalah keperawatan nyeri belum teratasi. Rencana tindakan tetap

Page 59: BAB 1 - bab 5

59

melanjutkan rencana tindakan yang telah dilakukan sebelumnya yaitu kaji

skala nyeri, anjurkan teknik relaksasi dengan cara menarik nafas dalam dan

menghembuskannya secara perlahan-lahan, atur posisi pasien senyaman

mungkin, ciptakan lingkungan yang tenang dan kolaborasi medis

pemberian analgetik sesuai indikasi. Tindakan selanjutnya penulis

mendelegasikan kepada perawat ruangan. Dalam penulisan evaluasi hanya

dicantumkan skala akhir dan skala awal, sedangkan tujuan dari skala yang

diharapkan tidak dicantumkan, sehingga penulisan evaluasi kurang tepat

(Stuart dan Laraisa : 2001)

2. Intoleransi Aktifitas berhubungan dengan kerusakan mobilitas

fisik

Menurut Carpenito (2000) kerusakan mobilitas fisik adalah

keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami

keterbatasan gerakan fisik, tetapi bukan imobil. Kerusakan mobilitas fisik

adalah keterbatasan dalam pergerakan fisik pada bagian tubuh tertentu atau

pada satu atau lebih ekstremitas (NANDA, 2005).

Batasan karakteristiknya adalah postur tubuh tidak stabil selama

melakukan aktivitas rutin, keterbatasan kemampuan motorik kasar dan

halus, tak ada koordinasi gerak, keterbatasan ROM, perubahan gaya

berjalan, penurunan waktu reaksi, dan gerak lambat. (NANDA, 2005)

Pada pengkajian pada Tn. S ditemukan data-data yang mendukung

untuk memunculkan diagnosa tersebut. Tn. S mempunyai pola latihan dan

Page 60: BAB 1 - bab 5

60

aktivitas yang selalu dibantu keluarga dan perawat. Keluarga pasien

mengatakan bahwa pasien hanya tiduran dan menggeliat gelisah. Pasien

mengalam kelemahan dalam beraktivitas karena adanya slang WSD dan

nyeri jika bergerak, sehingga pasein lebi memilih meminta bantuan

keluarga dn perawat untuk membantu aktivitas nya seperti BAB, Makan,

tirah baring ringan dan kompresi vertebrae servikal iv-v dextra.

Berdasarkan skala tingkat ketergantungan, pasien termasuk kriteria

ketergantungan sedang / dengan pengawasan hingga total oleh pemberi

asuhan keperawatan dan keluarga (Tamsuri :2007)

3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan

dengan dengan ekspansi paru tidak maksimal karena akumulasi

udara dan cairan dalam rongga pleura

Ketidakefektifan pola nafas merupakan Pertukaran udara inspirasi

dan/atau ekspirasi tidak adekuat, dalam hal ini adalah karena adanya

akumulasi udara dan cairan dalam ronga pleura yang menyebabkan

ekspansi paru tidak efektif,

Disebutkan di teori bahwa batasan karakteristiknya adalah

penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi, penurunan pertukaran udara per

menit, menggunakan otot pernafasan tambahan, nasal flaring, dyspnea,

orthopnea, perubahan penyimpangan dada, nafas pendek, assumption of 3-

point position, pernafasan pursed-lip ,tahap ekspirasi berlangsung sangat

lama, peningkatan diameter anterior-posterior, pernafasan

Page 61: BAB 1 - bab 5

61

rata-rata/minimal : Bayi : < 25 atau > 60,Usia 1-4 : < 20 atau > 30,Usia 5-

14 : < 14 atau > 25,Usia > 14 : < 11 atau > 24 dengan Kedalaman

pernafasan Dewasa volume tidalnya 500 ml saat istirahat ,bayi volume

tidalnya 6-8 ml/Kg,Timing rasio ,penurunan kapasitas vital dan semua hal

itu karena ada Faktor yang berhubungan diantaran ya: Hiperventilasi,

deformitas tulang, kelainan bentuk dinding dada, penurunan

energi/kelelahan ,perusakan/pelemahan muskulo-skeletal, obesitas, posisi

tubuh, kelelahan otot pernafasan, hipoventilasi sindrom, nyeri, kecemasan,

disfungsi neuromuskuler, kerusakan persepsi/kognitif, perlukaan pada

jaringan syaraf tulang belakang, imaturitas neurologis

Kenyataan yang ditemukan pada pasien yaitu Tn. S adalah pasiem

mengalami benturan keras pada dadanya yang menyebabkan adanya

robekan di bronkus yang menghubungkannya dengan rongga pleura

sehingga udara luar yang masuk ke paru- paru sebagian masuk ke dalam

rongga pleura karena tekanan di rongga pleura lebih kecil ,karena robekan

pembuluh darah juga menyebabkan adanya penumpukan cairan darah

dalam rongga pleura selain udara dan akhirnya menumpuk banyak udara

dan cairan di rongga pleura yang menyebabkan paru- paru terdesak ke

mediastinum,hal ini menyebabkan pasien tidak mampu bernafas secara

maksimal karena ekspansi paru yang terganggu sebab adanya penumpukan

udara dan cairan dalam rongga pleura,selain itu ada kesamaan antara tanda

– tanda yang disebutkan di teori dengan yang ada dalam kenyataan yaitu

pasien mengalami nafas pendek- pendek dan RR : 27, Pada kedalaman

Page 62: BAB 1 - bab 5

62

pernafasan ditemukan penurunan kapasitas vital, tahap ekspirasi

berlangsung lambat. karena alasan inilah pasien mengambil diagnosa

ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru tidak

maksimal karena akumulasi udara dan cairan dalam rongga pleura.

Tindakan yang sudah dilakukan untuk mengatasi masalah

keperawtan ketidakefektifan pola nafas ini adalah memonitor frekuensi ,

ritme dan kedalaman pernafasan, memonitor pernafasan hidung,

memnacatat pergerakan dada, kesimetrisan, peggunaan otot tambahan dan

retraksi otot intracostal, memonitor pola nafas dan ditemukan pola nafas

belum efektif karena kedalaman nafas

C. Diagnosa Keperawatan yang tidak Muncul

1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan

penurunan kemampuan ekspansi paru dan kerusakan

membrane alveolar kapiler

Gangguan pertukaran gas adalah pertukaran inspirasi dan

ekspirasi tidak adekuat (NANDA, 2001), batasan karakteristik

ditegakkannya diagnosa ini menurut NANDA (2001) adalah

penurunan, menggunakan otot pernafasan tambahan, dipacu, nafas

pendek, orthopneu.

Pada Tn. S memang ditemukan karakteritik yang telah

disebutkan oleh NANDA di atas. Pasien mengeluh sesak nafas,

frekuensi nafas pasien tidak dalam batas normal, ada retraksi dada

Page 63: BAB 1 - bab 5

63

dan pasien mengalami sesak nafas bila mengganti posisi namun

untuk keluhan ini harus didukukng dengan pemeriksaan penunjang

yaitu pemeriksaan AGD yang penulis tidak temukan di status

pasien saat penulis mengkaji,jadi penulis memilih untuk tidak

mengangkat diagnosa ini (NIC NOC )

2. Cemas berhubungan dengan Dipsnea berat/ketidakmampuan

untuk berbapas dengan normal, perubahan status kesehatan.

Cemas menurut (NANDA : 2005 )Perasaan gelisah yang tak

jelas dari ketidaknyamanan atau ketakutan yang disertai respon

autonom (sumner tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu);

perasaan keprihatinan disebabkan dari antisipasi terhadap bahaya.

Sinyal ini merupakan peringatan adanya ancaman yang akan datang

dan memungkinkan individu untuk mengambil langkah untuk

menyetujui terhadap tindakan

Ditandai dengan :Gelisah, insomnia ,resah, ketakutan, sedih,

fokus pada diri, kekhawatiran,cemas.

Pada pasien memang ditemukan kegelisahan karena pasien

ingin beraktifitas namun tidak mampu, dan pada kondisi ini pasien

masih bisa mentolelir dengan pasien bisa mengatur kegelisahannya,

pasien kadang terlihat tenang jika aktivitas ada yang menbantu

yaitu keluarganya. Untuk itu penulis merasa tidak perlu

mengangkat diagnosa ini menjadi prioritas maslah ,namun penulis

Page 64: BAB 1 - bab 5

64

tetap melakukan tindakan keperawatan yaitu memberikan terapi

nafas dalam saat pasien mulai gelisah.

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka

pasca pemasangan WSD

Gangguan integritas kulit adalah suatu kondisi dimana

seoran mengalami atau berada pada resiko kerusakan jaringan

epidermis dan dermis (Carpenito : 2000)

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka

pemasangan pasca WSD adalah Perubahan pada epidermis dan

dermis karena post insisi pemasangan slang WSD dengan batasan

karakteristik : Gangguan pada bagian tubuh, Kerusakan lapisa kulit

(dermis), gangguan permukaan kulit (epidermis). Faktor yang

berhubungan dari factor Eksternal : Hipertermia atau hipotermia

substansi kimia, kelembaban udara, faktor mekanik (misalnya : alat

yang dapat menimbulkan luka, tekanan, restraint) . Internal :

Perubahan status metabolic, tulang menonjol ,defisit

imunologi ,faktor yang berhubungan dengan perkembangan,

perubahan sensasi, perubahan status nutrisi (obesitas, kekurusan),

perubahan status cairan ,perubahan pigmentasi, perubahan

sirkulasi, perubahan turgor , (Carpenito :2001).

Pada pasien memang ditemukan perubahan bentuk pada

kulit post pemasangan slang WSD namun tidak ditemukan

Page 65: BAB 1 - bab 5

65

perubahan pigmentasi atau perubahan warna kulit post pemasangan

slang WSD karena saat penulis mengkaji luka post pemasangan

WSD keadaanya baik. Itulah alasan mengapa penulis tidak

menegakkan diagnosa ini.

4. Resiko tinggi trauma pernapasan berhubungan dengan tidak

optimalnya drainage selang sekunder akibat pipa WSD terjepit

Pada resiko tinggi trauma pernafasan berhubungan dengan

tidak optimalnya drainage selang sekunder pipa WSD ( Wikinson

2007) adalah resiko kesulitan atau gangguan pernafasan jika ada

gangguan pada selang WSD, namun penulis tidak menemukan

adanya kerusakan pada selang WSD jadi penulis merasa tidak perlu

menegakkan diagnosa ini, akan tetapi penulis tetap melakukan

tindakan keperawatan yaitu pengawasan slang WSD dan menjaga

kebersihannya dengan mengganti balutanya 1x sehari untuk

mengurangi resiko gangguan pernafasan karena kerusakan selang

WSD.

5. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD

Resiko infeksi adalah peningkatan resiko untuk terinvasi

oleh organisme patogen (NANDA, 2005). Menurut Carpenito

(2000) Resiko terhadap infeksi adalah keadaan dimana seorang

individu beresiko terserang agen patogenik atau oportunistik (virus,

Page 66: BAB 1 - bab 5

66

jamur, bakteri, protozoa, atau parasit lain) dari sumber-sumber

eksternal, sumber-sumber endogen atau eksogen.

Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD

adalah pningkatan resiko masuknya organisme pathogen kedalam

tubuh karena adanya luka yang menghubungkan udara luar dengan

organ dalam tubuh, adapun factor resikonya antara lain : posedur

Infasif. Pada pasien ditemukan luka insisi post pemasangan WSD

namun pada luka pasien tertutup dengan kasa steril sehingga

kemungkinan terpaparnya kuman untuk masuk kedalam tubuh

melalaui luka insisi kecil, alasan ini memmbuat penulis tidak

menegakkan diagnosa ini.

Data yang ditemukan pada pasien adalah TD = 120/80

mmHg, N = 76 x/menit, R = 27 x/menit, S = 37 oC, terdapat luka

jahit post WSD di area dada yang terbungkus kasa steril, dan

terpasang IVFD RL 20tpm, leukositnya 7950, dari data yang

ditemukan masih dibilang nomal, sehingga penulis tidak

mengakngkat diagnosa resiko infeksi. Resiko infeksi juga bukan

merupakan diagnose prioritas karena masih tergolong resiko, jadi

harus lebih diutamakan yang diagnose actual ( NANDA : 2005)

Page 67: BAB 1 - bab 5

67

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Setelah melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif

dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. S DENGAN

GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN : POST OPERASI

PEMASANGAN WATER SEAL DRAINAGE (WSD) HARI Ke-6

AKIBAT PNEUMOTORAKS DEXTRA DI RUANG KENANGA

RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO”,

selama satu hari yaitu tanggal 12 Juli 2011, dengan melakukan pendekatan

keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi mendapatkan

beberapa kesimpulan serta akan memberikan beberapa saran sebagai

berikut:

A. Simpulan

1. Asuhan keperawatan dari pengkajian sampai dengan evaluasi pada klien

dengan post pemasangan WATER SEAL DRAINAGE ke-6 di ruang

Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, yaitu :

e. Perawatan post WSD adalah bentuk pelayanan perawatan yang

diberikan kepada psien – pasien yang telah menjalani operasai

pemasangan selang di pleura. Yang terpenting dari penatalaksanaan

dari perawatnan WSD adalah mencegah komplikas pemasangan, dan

menjaga kesterilan dalam rindakan untuk mengurangi resiko infeksi,

mempercepat penyambuhan luka dan mempersiapkan pasien pulang.

Page 68: BAB 1 - bab 5

68

f. Setelah dilakukakan tahap – tahap pengkajian , pengumpulan data ,

pengelompokan dan analisa data pada pasien Tn. S post pemasangan

selang WSD hari ke-6 yaitu didapatkan diagnose keperawatan nyeri

akur berhubungan dengan agen cidera fisik,ketidakefektifan pola

nafas berhubungan dengan ekspansi paru tidak maksimal karana

akumulasi udara udara dan cairan dalam rongga pleua, kerusakan

mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktifitas.

Penatalaksanaan pasien dengan post pemasangan WSD bertujuan

untuk mengeluarkan akumulasi udara dan cairan dalam rongga

pleura, tindakan yang dilakukan mencakup perawatan balutan pada

lubang WSD dengan menggunakan prinsio steril dan managemen

nyeri serta tindakan untuk mencegah komplikasi,. Setelah dilakukan

tindakan keperrawatan masalah yang belum tteratasi diantaranya

nyeri akut, intoleransi aktivitas dan ketidakefektifan pola nafas,

karena keterbatasan waktu asuhan keperawatan ehingga perlu

perawatan tindak lanjut.

g. Kesenjangan yang muncul dalam pengelolaan kasus dilapangan

dengan konsep yang ada berkaitan dengan penegakan diagnosa . Ada

beberapa diagnosa yang ada dalam konsep namun tidak dimunculkan

pada Tn. S antara lain : gangguan pertukaran gas berhubungan

dengan penurunan kemampuan ekspansi paru, cemas berhubungan

dengan dipsnea, gangguan integritas kulit berhubungan dengan

adanya luka pasca pemasangan WSD, resiko tinggi trauma

Page 69: BAB 1 - bab 5

69

pernafasan berubungan dengan tidak optimalnya drainage selang

ekunder akibat pipa WSD terjepit, resiko tinggi imfeksi berhubungan

dengan inserdi WSD. Hali itu dikarenakan tidak ada data penunjang

yang mendukung dia ngkatnya diagnosa tersebut.

h. Dalam pengelolaan kasus pada Tn. S ada beberapa factor pendukung

dan penghambat dalam menentukan keberhasilan tindakan Faktor

pendukungnya meliputi : pasien dan keluarga sangat bekerja sama

dalam pelaksanaan tindakan serta pihak rumahsakit ikut membantu

dalam pengadaan alat- alat steril yang digunakan dalam melakukan

tindakan ke pasien. Sedangkan , faktor penghambat dari pengelolaan

kasus itu sendiri adalah keterbatasan waktu dalam melakukan

tindakan keperawatan maupun pendokumenasian keperawatan.

B. Saran

Dari kesimpulan yang penulis peroleh dan telah dijabarkan diatas, dengan

tujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas serta mutu asuhan

keperawatan pada waktu yang akan datang , maka penulis berkesempatan

untuk menyampaikan beberapa saran dan rekomendasi yang dijabarkan

sebagai berikut :

1. Dalam pengkajian sebaiknya perawat dapat lebih memfokuskan pada

masalah post pemasangan water seal drainage hari ke-6 antara lain saat

terjadinya keluhan nyeri karena post pemaangan WSD biasanya

menimbulkan raa nyeri. Selain itu, observasi terhadap luka post operasi

Page 70: BAB 1 - bab 5

70

pemasangan water seal drainage secara berkala perlu dilakukan untuk

mengantisipasi adanya infeksi. Sedangkan pada pola fungsional Gordon

difokuskan pada pola persepsi dan kognitif, pola aktivitas/latihan, pola

tidur, dan pola eliminasi agar nantinya dapat mempermudah dalam

penentuan diagnosa prioritas keperawatan dan selanjutnya menentukan

intervensi serta melakukan implementasi yang tepat demi keberhasilan

dalam evaluasi sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan.

2. Dalam melakukan asuhan keperawatan sebaiknya menggunakan

referensi yang pas, dan melihat kondisi pasien, sehingga mampu

melakukan asuhan keperawatan secara maksimal.

3. Dalam pelaksanaan asuhan keperawatan terdapat faktor- faktor

pendukung dan faktor penghambat yang sebaiknya dapat di

pertimbangkan sebelumnya agar dapat terselesaikan optimal.

4. Perawat diharapkan dapat memberikan pendidikan kesehatan pada

pasien, hal ini dieperlukan karena kebanyakan pasien masih awam

dengan penyakit yang dideritanya, supaya pasien mampu koopeatif

dalam semua tindakan keperawatan dan menimbulkan hubungan

terapeutik yang lebih dalam antara perawat dan pasien.