bab 1-4 analisis kebijakan pbb migas
DESCRIPTION
tugas pengantar kebijakan pajak untuk membuat contoh proposal skripsi,. topik yang diangkat adalah pbb migasTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Manusia menggunakan berbagai sumber energi yang berbeda untuk
menjalankan aktivitas sehari-hari. Sumber energi di dunia diklasifikasikan
menjadi dua kelompok yaitu sumber energi yang dapat diperbarui dan tidak dapat
diperbarui. Penduduk di dunia paling banyak menggunakan sumber energi yang
tidak dapat diperbarui padahal sumber energi tersebut jumlah persediaannya
terbatas dan proses pembentukkannya membutuhkan waktu yang lama. Sumber
energi yang tidak dapat diperbarui antara lain batu bara, minyak bumi, gas alam,
propana dan uranium. Minyak bumi ditinjau dari manfaat hasil olahannya menjadi
salah satu komoditi hasil pertambangan yang memiliki nilai penting dalam
kehidupan suatu negara. Pemanfaatan minyak bumi sangat dekat dengan aktivitas
sehari-hari masyarakat baik dalam lingkung industri maupun rumah tangga.
Hasil olahan minyak bumi antara lain adalah naptha (petroleum eter),
gasolin (bensin), kerosin (minyak tanah), minyak solar, minyak pelumas serta
residu minyak bumi seperti parafin dan aspal. Hasil olahan berupa naptha
digunakan sebagai pelarut dalam industri. Gasolin dan solar digunakan sebagai
bahan bakar kendaraan bermotor, sedangkan minyak pelumas digunakan untuk
lubrikasi mesin-mesin. Residu minyak bumi berupa parafin dapat digunakan
dalam proses pembuatan obat-obatan, kosmetika, tutup botol, industri tenun,
korek api, lilin batik dan sebagainya. Penggunaan kerosin atau minyak tanah
sangat erat hubungannya dengan keperluan rumah tangga, misalnya sebagai bahan
bakar, pembasmi serangga, atau sebagai campuran dalam cairan pembasmi
serangga. Konsumsi minyak bumi dan gas alam cenderung terus meningkat setiap
tahun, yang dapat dilihat dalam tabel 1.1 berikut.
2
Tabel 1.1. Konsumsi Minyak Bumi dan Gas Alam di Dunia
Sumber : BP Statistical Review of World Energy 2012
Kebutuhan dan konsumsi setiap negara akan minyak bumi berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor perekonomian suatu
negara dimana semakin maju suatu negara maka semakin besar pula
ketergantungannya terhadap energi, termasuk minyak bumi. Setiap negara harus
dapat memenuhi kebutuhan minyak bumi tersebut. Hal ini dapat dilakukan
melalui produksi minyak bumi di dalam negeri atau dengan kegiatan impor.
Adanya peningkatan konsumsi minyak bumi di dunia setiap tahunnya serta
kebutuhan impor oleh negara-negara yang memiliki produksi minyak bumi yang
rendah, menjadi peluang bisnis bagi negara-negara penghasil minyak bumi yang
besar atau tinggi melalui perdagangan internasional dengan kegiatan ekspor.
Konsumsi Sepuluh negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia adalah Saudi
Arabia, Amerika Serikat, Rusia, China, Iran, Kanada, Uni Emirat Arab, Meksiko,
Brazil, dan Kuwait.1
Kegiatan bisnis energi minyak bumi memiliki karakteristik yaitu
ketidakpastian pasar karena adanya struktur permintaan yang dinamis dan
kompleks. Selain itu, ketepatan jumlah dan kondisi pasokan serta cadangan
minyak bumi yang merupakan energi tidak dapat diperbarui, sulit diprediksi.
Ketidakpastian pasar dapat dipengaruhi oleh karakter perilaku produsen dan
1 Ini Dia 10 Negara Penghasil Minyak Terbesar di Dunia. (2012). April 27, 2012.
http://finance.detik.com
Tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2012
Minyak
bumi* 78187 79686 82746 83925 84873 86321 85768 84631 87439 88034
Gas
alam** 2515,7 2599,3 2679,4 2766,7 2824,3 2930,4 3005,1 2930,6 3153,1 3222,9
* dalam ribuan barels per hari
** dalam jutaan m3
3
konsumen, kemajuan teknologi, struktur demografi dan geografi. Mayoritas
model-model ekonomi menggambarkan pasar energi secara sederhana dengan
cara mengobservasi variabel pokok seperti kapasitas produksi, pola konsumsi,
regulasi dan kebijakan, perilaku produsen dan konsumen. Persoalan
perekonomian berkaitan dengan bisnis energi dipicu oleh faktor kelangkaannya.
Kelangkaan minyak dunia disebabkan karena jumlah produksi minyak yang lebih
rendah dibandingkan dengan jumlah kebutuhan atau permintaan. Fenomena
kelangkaan minyak bumi dapat menyebabkan kenaikan harga minyak di dunia.
Kegiatan bisnis minyak bumi dilakukan melalui perdagangan internasional
dengan adanya ekspor dan impor. Hasil dari penjualan minyak bumi dapat
menjadi salah satu instrumen untuk mendapatkan sumber penerimaan atau devisa
negara, termasuk di Indonesia. Minyak bumi menjadi komoditas yang memiliki
peran penting dalam struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).
Hasil minyak bumi tersebut menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang
diandalkan yang besarnya mencapai 36% dari sektor penerimaan negara bukan
pajak dalam APBN 2013. Sedangkan apabila ditinjau dari penerimaan negara
secara keseluruhan maka minyak bumi berkontribusi sebesar 7,9%. Angka
tersebut menjadi jumlah terbesar dibandingkan dengan sumber penerimaan dari
sektor bukan pajak yang lain. Hal ini dapat dilihat dari bagian Pendapatan dan
Hibah Negara dalam Struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Tahun
2007-2013 berikut;
Tabel 1.2. Struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Tahun
2007-2013 (miliar rupiah)
Uraian 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P APBN
I.Penerimaan Dalam
Negeri
706.108 979.305 847.097 992.248 1.205.346 1.357.380 1.525.289
1. Penerimaan
Perpajakan
490.989 658.701 619.922 723.307 873.874 1.016.237 1.192.994
a.Pajak dalam
negeri
470.052 622.359 601.252 694.392 819.752 968.293 1.134.289
i. PPh 238.431 327.498 317.615 357.045 431.122 513.650 584.890
-PPh Migas 44.000 77.019 50.043 58.873 73.095 67.917 71.381
4
-PPh
Nonmigas
194.430 250.479 267.571 298.173 358.026 445.733 513.509
ii. PPN 154.527 209.647 193.067 230.605 277.800 336.057 423.708
iii. PBB 23.723 25.354 24.270 28.580 29.893 29.687 27.344
iv. BPHTB 5953 5.573 6.464 8.026 (0.7) - -
v. Cukai 44.679 51.252 56.718 66.166 77.010 83.266 92.004
vi. Pajak Lainnya 2.738 3.034 3.116 3.969 3.928 5.632 6.343
b.Pajak
Perdagangan
Internasional
20.937 36.342 18.670 28.914 54.121 47.944 58.705
i.Bea Masuk 16.699 22.764 18.105 20.017 25.266 24.738 27.003
ii.Bea Keluar 4.237 13.578 565 8.898 29.855 23.206 31.702
2.Penerimaan Negara
Bukan Pajak
213.120 320.605 227.174 268.942 331.472 341.143 332.195
a.Penerimaan
SDA
132.897 224.463 138.959 168.825 213.823 217.159 197.205
i. Migas 124.784 211.617 125.752 152.733 193.491 198.311 174.868
-Minyak Bumi 93.604 169.022 90.056 111.815 141.303 150.847 120.918
-Gas alam 31.179 42.595 35.696 40.918 52.187 47.464 53.950
ii. Non Migas 8.109 12.846 13.207 16.092 20.333 18.848 22.336
-Pertambangan
umum
5.878 9.511 10.369 12.646 16.370 15.272 17.599
-Kehutanan 2.115 2.315 2.345 3.010 3.216 3.075 4.154
-Perikanan 116 78 92 92 184 150 180
-pertambangan
Panas Bumi
- 941 400 344 563 349 403
b.Bagian Laba
BUMN
23.222 29.088 26.049 30.097 28.184 30.776 33.500
c.PNBP Lainnya 56.873 63.319 53.796 59.428 69.360 72.779 77.992
d.Pendapatan
BLU
2.131 3.743 8.369 10.591 20.104 20.408 23.499
II.Hibah 1.698 2.304 1666 3.023 5.254 825 4.483
Pendapatan Negara
dan Hibah
707.806 981.609 848.763 995.271 1.210.599 1.358.205 1.529.673
Keterangan :
LKPP : Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
APBN-P : Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara - Perubahan
APBN : Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara
Sumber :Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2013
Peran penting dari minyak bumi juga dapat dilihat dari Produk Domestik
Bruto (PDB) Indonesia. Hasil minyak dan gas bumi adalah sekitar 8,3% dari total
PDB keseluruhan yang dapat dilihat dari dua sektor yaitu dari sektor
pertambangan dan penggalian serta sektor industri pengolahan Penyumbang
terbesar bagi PDB adalah dari sektor industri pengolahan yang di dalamnya
5
termasuk pengolahan minyak dan gas bumi. Industri pengolahan minyak dan gas
bumi, besarnya mencapai 12,9% dari sektor tersebut (6,6% adalah dari
pengilangan minyak) atau 3,3% dari total PDB keseluruhan (1,7% adalah dari
pengilangan minyak). Sedangkan untuk sektor pertambangan dan penggalian,
subsektor minyak dan gas bumi mencapai 39% dari jumlah sektor tersebut atau
5% dari total PDB keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 1.3. berikut;
Tabel 1.3. Struktur Produk Domestik Bruto (PDB) menurut
Lapangan Usaha Tahun 2006-2012 (miliar rupiah)
Tahun
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pertanian,
peternakan,
kehutanan,
perikanan
433.233 541.931 716.656 857.197 985.470 1.091.447 1.190.412
Pertambangan
dan
penggalian
366.521 440.609 541.334 592.061 719.710 879.505 970.599
Minyak dan
gas bumi 200.082 234.162 283.283 254.948 290.467 371.823 382.697
Pertambangan
bukan migas 130.716 160.267 195.286 254.243 332.970 398.550 464.012
Penggalian 35.723 46.180 62.765 82.870 96.272 109.132 123.890
Industri
pengolahan 919.539 1.068.594 1.376.442 1.477.541 1.599.073 1.806.140 1.972.846
Industri migas 172.095 182.324 237.771 209.841 214.433 253.078 254.408
Pengilangan
minyak bumi 117.952 122.118 145.942 129.456 124.111 131.482 130.123
Gas alam cair 54.142 60.206 91.829 80.385 90.322 121.596 124.285
Industri bukan
migas 747.444 886.329 1.138.670 1.267.700 1.384.640 1.553.062 1.718.439
Listrik, gas
dan air bersih 30.355 34.724 40.888 46.680 49.119 56.789 65.124
Konstruksi 251.132 304.997 419.772 555.192 660.890 754.483 860.965
Perdagangan,
hotel dan
restoran
501.542 592.304 691.487 744.513 882.487 1.024.009 1.145.601
Pengangkutan
dan
komunikasi
231.523 264.263 312.190 353.740 423.172 491.283 549.115
Keuangan,
real estate dan
jasa
269.121 305.213 368.129 405.162 466.563 535.153 598.523
6
perusahaan
Jasa-jasa 336.259 398.197 481.848 574.116 660.365 783.970 886.676
Total PDB 2.967.040 3.534.406 4.427.633 5.141.414 5.941.952 6.797.879 7.604.759
Sumber: BPS, 2013
Struktur APBN Indonesia yang terlihat dalam tabel 1.2 menunjukkan
bahwa jumlah penerimaan negara yang fluktuatif, sedangkan dari tabel 1.3
mengenai PDB, jumlah dari subsektor minyak dan gas bumi terus mengalami
kenaikan. Hal ini bergantung pada faktor produksi (kelangkaan) minyak bumi
yang juga mempengaruhi harga minyak di dunia. Permasalahan mengenai energi
minyak bumi juga terjadi di Indonesia. Peningkatan konsumsi akan minyak bumi
baik dalam lingkup rumah tangga maupun industri, menuntut adanya peningkatan
produksi dengan cadangan minyak bumi yang tersedia di dalam negeri.
Kepentingan ekonomi atas energi minyak bumi, baik sebagai penghasil devisa
atau sumber penerimaan negara maupun pemasok kebutuhan energi dalam negeri
harus dapat terpenuhi. Pertumbuhan konsumsi energi rata-rata dalam sepuluh
tahun terakhir (hingga tahun 2009) mencapai 7% karena adanya pembangunan
prasarana dan industri yang terus berkembang. Peningkatan yang tinggi tersebut
menuntut Indonesia untuk menemukan cadangan minyak bumi yang baru, baik di
dalam negeri maupun dengan ekspansi ke luar negeri, serta memaksimalkan
potensi yang telah ada. Potensi sumber daya minyak bumi di Indonesia masihh
banyak yang dapat dikembangkan terutama di daerah-daerah terpencil, laut dalam,
sumur-sumur tua dan kawasan Indonesia Timur yang belum dieksplorasi secara
intensif.2 Kondisi perbandingan antara cadangan, produksi, dan konsumsi minyak
bumi di Indonesia dapat dilihat dalam tabel 1.4. berikut;
2 Biro Riset LM FEUI. Analisis Industri Minyak dan Gas di Indonesia : Masukan Bagi
Pengelola BUMN. http://lmfeui.com
7
Tabel 1.4. Kondisi Minyak Bumi di Indonesia Tahun 2006-2012
Sumber : Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, 2013
(diolah oleh Peneliti)
Tabel 1.4 di atas menunjukkan bahwa masih banyak cadangan minyak
yang dapat dimanfaatkan. Cadangan minyak dalam kelompok terbukti berupa
minyak bumi yang keberadaannya telah terbukti dan dapat dieksplorasi.
Sedangkan cadangan minyak dalam kelompok potensi masih berupa lokasi yang
diyakini ada cadangan minyak namun belum ditemukan. Pada faktanya, cadangan
minyak yang berstatus potensi dapat mengalami perubahan menjadi status
terbukti. Pengelolaan ladang minyak bumi di dalam negeri menjanjikan
keuntungan yang tinggi. Akan tetapi untuk dapat mengetahui potensi dan
mengelolanya diperlukan teknologi yang mahal, modal yang besar, faktor waktu
yang memadai dan memerlukan efisiensi yang maksimal serta ahli atau sumber
daya manusia terbaik.3
Tantangan untuk dapat mengolah dan mengelola cadangan minyak di
dalam negeri tersebut membutuhkan peran serta dari investor sebagai pemodal
dan pemerintah sebagai pembuat regulasi. Saat ini, Peraturan Pemerintah
mengenai usaha minyak dan gas bumi baik di sektor hulu maupun hilir belum
dapat menjamin investor untuk berinvestasi di dalam negeri. Hal ini disebabkan
karena masih ada permasalahan yang menjadi hambatan untuk berinvenstasi
antara lain lingkungan hidup, otonomi daerah dan peraturan perpajakan yang
3 Ibid.
Tahun
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Cadangan* 8,93 8,40 8,22 8,00 7,76 7,73 7,40
Terbukti 4,37 4,56 3,75 4,30 4,23 4,04 3,74
Potensial 3,99 4,41 4,47 3,70 3,53 3,69 3,66
Produksi ** 322.350 305.137 314.221 301.663 300.923 289.899 279.412
Konsumsi*** 386.148 423.326 515.151 397.366 397.318 - -
Ekspor ** 134.960 135.267 134.872 133.282 121.000 100.744 -
Impor** 116.232 115.812 92.175 120.119 101.093 96.039 -
* dalam milyar barel
** dalam ribu barel
*** dalam ribu Setara Barel Minyak (SBM); (BBM dan non-BBM)
8
menyulitkan perusahaan untuk beroperasi. Padahal, konsumsi minyak bumi (BBM
dan non-BBM), sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 1.4, telah melebihi
kapasitas produksi. Data menunjukkan bahwa penyediaan minyak bumi dalam
negeri tidak dapat sepenuhnya dipenuhi oleh produksi dalam negeri segera harus
mengimpor dari negara lain. Selain itu, seiring dengan berjalannya waktu,
kebutuhan konsumsi minyak bumi akan terus meningkat, sedangkan ladang
minyak akan terus menua dan produksi menurun. Oleh karena itu, sangat
diperlukan kilang minyak baru yang harus dibangun dalam waktu dekat untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Salah satu alasan keengganan investor untuk berinvestasi adalah karena
adanya peraturan perpajakan yang dirasa memberatkan. Beban pajak yang
ditanggung oleh investor dalam kegiatan eksplorasi minyak bumi diantaranya
adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PPB). Peraturan mengenai Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) untuk industri minyak dan gas bumi saat ini menyatakan bahwa
keseluruhan Wilayah Kerja yang mencakup wilayah eksplorasi dan eksploitasi
dalam wilayah hukum pertambangan dikenakan PBB. Insentif yang diberikan saat
ini hanya sebatas pengecualian cara penentuan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
untuk wilayah yang belum atau tidak meghasilkan yang berbeda dengan cara
penentuan NJOP untuk wilayah lainnya.
1.2. Pokok Permasalahan
Penentuan NJOP untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di daerah
pertambangan minyak bumi dilakukan dengan dibagi menjadi dua bagian yaitu
untuk permukaan bumi dan tubuh bumi. NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
untuk permukaan bumi ditentukan melalui harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar atau perbandingan dengan obyek lain
yang sejenis. Sedangkan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk tubuh
bumi ditentukan dengan nilai jual pengganti yang dhitung berdasarkan hasil
perkalian angka kapitalisasi dengan hasil produksi minyak bumi dan harga
minyak bumi. Berdasarkan PMK 76/PMK.03/2013 , penentuan NJOP tersebut
tidak berlaku bagi wilayah yang belum atau tidak menghasilkan. Peraturan
perpajakan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sektor pertambangan
9
minyak bumi saat ini belum memperhatikan kondisi penerimaan Kontraktor dari
usaha eksplorasi minyak bumi. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dikenakan atau ditanggung oleh KKKS
meskipun terdapat lahan atau sumur yang tidak menghasilkan. Selain itu, KKKS
harus menanggung beban PBB seluas Wilayah Kerja padahal dalam wilayah
tersebut belum tentu seluruhnya menghasilkan minyak bumi. Di dalam Wilayah
Kerja terdapat bangunan-bangunan lain yang digunakan untuk kegiatan selain
sektor pertambangan minyak bumi, seperti rumah sakit, perkebunan, sekolah dan
lain-lain, yang bukan merupakan kepentingan pemilik Wilayah Kerja tersebut.
Kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di wilayah eksplorasi
minyak bumi tidak sejalan dengan kebutuhan negara untuk meningkatkan
produksi dengan mengolah kilang minyak baru agar permintaan akan minyak
terpenuhi. Beban PBB di sektor minyak dan gas bumi, selain menyebabkan
keengganan investor untuk berinvestasi di Indonesia dirasa dapat mematikan
perusahaan yang telah ada saat ini. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan
perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan penerimaan
negara. Berdasarkan uraian tersebut, maka pokok permasalahan yang diangkat
oleh peneliti dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana implementasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor
pertambangan minyak dan gas bumi dalam kegiatan eksplorasi ?
2. Apa yang menjadi pertimbangan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) atas satu Wilayah Kerja?
3. Bagaimana implikasi pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
atas seluruh Wilayah Kerja terhadap industri minyak dan gas bumi
Nasional?
4. Apa alternatif kebijakan sebagai bentuk insentif pajak terhadap Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) Industri minyak dan gas bumi di
Indonesia?
10
BAB II
KAJIAN LITERATUR
2.1. Kerangka Teori
2.1.1. Kebijakan Pajak
Menurut Mansury, kebijakan pajak merupakan pengertian kebijakan
fiskal dalam arti sempit. Hal ini juga terlihat dalam definisi kebijakan
fiskal atau fiscal policy menurut International Tax Glossary. International
Tax Glossary menyatakan bahwa fiscal policy is part of economic policy
which relates to taxation and public expenditure. Hal ini menunjukkan
bahwa kebijakan pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal.
Tujuan kebijakan perpajakan sama dengan tujuan kebijakan publik
pada umumnya, yaitu mempunyai tujuan pokok: peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran, distribusi penghasilan yang lebih adil, dan
stabilitas.4
Michael P. Devereux dalam Rosdiana mengatakan bahwa terdapat
isu-isu penting dalam kebijakan pajak adalah sebagai berikut,
a. What should the tax base be; or income, expenditure, or a
hybrid?
b. What should the tax rate schedule be?
c. How should international income flows be taxed?
d. How should environmental taxes be designed?5
Selain berbicara tentang tax base dan tax rates, isu yang juga harus
diperhatikan dari kebijakan pajak adalah tentang bagaimana mengukur
4 R. Mansury. Kebijakan Perpajakan. (Jakarta : Yayasan Pengembangan dan Penyebaran
Pengetahuan Perpajakan (YP4), 2000) h.5
5 Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. Perpajakan Teori dan Aplikasi. ( Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2005) h. 94
11
kemampuan (ability to pay atau faculty to pay) dari Wajib Pajak, hak Wajib
Pajak serta kewajiban dari Wajib Pajak.6
Terlaksananya suatu kebijakan pajak tidak terlepas dari dua fungsi yang
dimiliki oleh pajak itu sendiri yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerend.
Fungsi budgetair atau yang dikenal sebagai fungsi mengisi kas negara
merupakan fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi kas negara
untuk pembiayaan kegiatan pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun
pembiayaan pembangunan. Fungsi ini pada hakikatnya merupakan fungsi
utama pajak.Fungsi regulerend atau yang dikenal sebagai fungsi mengatur
merupakan upaya pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu di luar bidang
keuangan, terutama banyak ditujukan terhadap sektor swasta. Kedua fungsi
pajak di atas merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. 7
2.1.2 Asas Perpajakan
Banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang asas-asas
perpajakan yang harus dilaksanakan.Salah satunya adalah pendapat dari
Adam Smith (1723-1790) yang merupakan bapak aliran ekonomi klasik,
menuliskan mengenai empat kaidah yang perlu diperhatikan dalam
pemungutan pajak. Dalam buku An Inquiry Into the Nature and Causes of
the Wealth of Nations atau sering disingkat The Wealth of Nations yang
ditulis pada tahun 1976, empat kaidah pemungutan pajak yang disebut four
maxims atau four canons, yaitu:
Asas equality, yang menekankan pada pentingnya keseimbangan
berdasarkan kemampuan masing-masing subjek pajak. Artinya, dalam
pemungutan pajak tidak ada hal diskriminasi antara sesama Wajib
Pajak.
6 Thuronyi, Victor. Tax Law Design and Drafting. (Washigton DC : International
Monetary Fund, 1998) h. 2
7 R. Mansury, Kebijakan Fiskal (Tangerang: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran
Pengetahuan Perpajakan, 1999), h. 2-3
12
Asas certainty, yang ditekankan dalam asas ini adalah mengenai
kepastian pemungutan pajak yaitu kepastian mengenai hukum yang
mengaturnya, subjek pajak, objek pajak, dan kepastian mengenai tata
cara pemungutannya.
Asas convenience of payment, dalam asas ini ditekankan mengenai
pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.
Asas Efficiency, asas ini menekankan pentingnya efisiensi pemungutan
pajak, artinya biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan
pajak tidak boleh lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut. Dalam
asas ini diberikan pengertian bahwa pemungutan pajak sebaiknya
memperhatikan mekanisme yang dapat mendatangkan pemasukan pajak
yang sebesar-besarnya dan biaya sekecil-kecilnya. 8
2.1.3 Konsep Property Tax
2.1.2.1 Pengertian Property tax
Property tax adalah salah satu pajak yang tertua dan lebih dikenal
terlebih dahulu di seluruh dunia.Property Tax sudah dikenal sejak Tahun
1800an. Jika dilihat dari sejarah dipungutnya property tax, pajak ini
didesain sebagai pajak atas penghasilan. Property tax juga merupakan
pajak yang lazim dipungut di berbagai negara di seluruh dunia. Definisi
mengenai property taxes mungkin dapat dilhat dari penjabaran Watkin
mengenai dasar pengenaan pajak dari property tax. Weston mengatakan
bahwa “a tax upon property becomes indirectly a tax upon persons, upon
personal productive capacity and ability, upon the economic means of
satisfying personal wants, and thus upon the entire personality of the
taxpayer” 9 Jika dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh Weston,
property tax dapat dikatakan bahwa pemajakan atas property sama halnya
8 Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis, Cetakan Keempat (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2005) h. 10-11.
9 Weston, Stephen F. Principle of Justice in Taxation. (New York : Columbia University
Press, 1903) h.47
13
dengan pemajakan atas perseorangan secara tidak langsung. Pemajakan
atas perseorangan tersebut berdasarkan kapasitas produksi dan
kemampuan Wajib Pajak. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan atas
property tax harus juga memperhatikan kondisi subjektif dari Wajib Pajak.
Stotsky dan Yocelik mengatakan bahwa the taxation of land and
property may be justified on the grounds of both the benefits and ability to
pay principles of taxation .10
Bahkan, antara ability to pay atau faculty to
pay dengan property adalah suatu hal yang dapat dipertukarkan sejak
ability dijadikan dasar pemajakan.11
Property tax harus memiliki basis
pemajakan atau justifikasi. Berdasarkan justifikasi property tax yang
diungkapkan Stotsky dan Yocelik, dapat dilihat terdapat dua indikator
yang harus dipenuhi dalam property tax, yaitu : benefit dan ability to pay.
Sommerfeld mengatakan bahwa benefit principle dapat dilihat dari
manfaat yang disediakan pemerintah terkait barang publik. Semakin
banyak menikmati barang publik, semakin besar pajak yang harus
dibayar.12
Benefit Beberapa ahli yang mengikuti aliran Adam Smith
mengatakan bahwa benefit principle dapat diukur melalui penghasilan
yang didapatkan di bawah perlindungan negara.13
. Pada umumnya, benefit
principle dapat dikatakan sebagai prinsip kesetaraan antara manfaat yang
diterima oleh orang banyak (publik) dengan penerimaan yang didapatkan
dari pajak. Shome mengatakan bahwa benefit principle adalah generally,
however, the application of the benefit principle of taxation is justified
when it can be shown that the value of the benefits of publicly provided
goods equals the tax yield 14
10
Shome, Prathasarathi. Tax Policy Handbook. (Washington DC : Fiscal Affairs
Department International Monetary Fund, 1995), h. 185
11 Op.cit, h.176
12 Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan; edisi 3. (Jakarta : Granit Kelompok Yayasan Obor Indonesia, 2005) h.23
13 Op.cit, h.169
14 Shome, h. 185
14
Indikator dari property tax yang kedua menurut Stotsky dan Yocelik
adalah ability to pay. International Tax Glossary menyatakan bahwa
“Ability to pay or taxable capacity (also known as the accretion
principle) is the theoritical amount of tax which each individual
taxpayer is able to contribute to his government and is based on
the principle that individuals with the higher income or greater
wealth should pay more tax that those with lower income or lesser
wealth. Ability to pay thus relates to the economic capacity of each
tax-payer as compare to the economic capacity of individuals in
different circumstances. In other word, ability to pay is more a
matter of a equitable distribution of the tax burden among
taxpayers then a tool to determine the actual amount that can be
paid by each individual taxpayer” 15
Konsep ability to pay berkaitan dengan kemampuan ekonomi dari tiap-tiap
Wajib Pajak. Berdasarkan definisi tersebut jelas terlihat kemampuan untuk
membayar ditentukan oleh seberapa besarnya penghasilasn atau
pendapatan yang didapat. Secara tidak langsung, prinsip ability to pay
terkait prinsip benefit. Benefit turut menentukan ability to pay, bukan
ability to pay yang menentukan benefit.
Pengenaan atas property tax bergantung pada penilaian atas property
berupa tanah, bangunan dan sebagainya. Akan tetapi, sebelum berbicara
mengenai bagaimana suatu property dinilai, hal yang lebih utama adalah
membahas kriteria property yang dikenakan pemajakan. Terdapat dua
kondisi dimana suatu property dapat dikenakan pajak, yaitu :
Pertama, property yang terpillih untuk dipajaki harus
mengindikasikan adanya pendapatan/penghasilan
15
Nurmantu, h. 23
15
Kedua, tingkatan kepastian dari nilai atau value dapat dipastikan,
sementara penghasilan tidak sebanding dengan nilai property 16
Kondisi pertama yang dikatakan oleh Weston senada dengan justifikasi
property tax yang dikatakan oleh Stotstky dan Yocelik. Adanya benefit
dan ability to pay principle dapat dilihat dari penghasilan sehingga
pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dijalankan.
2.1.2.2 Penilaian (Valuation) Property Tax
Property tax memiliki tiga jenis dasar bentuk pemajakan. Ketiga
jenis pemajakan ini menentukan apa yang menjadi dasar pengenaan pajak
atau base. Setidaknya terdapat tiga jenis property tax yang nantinya akan
menentukan jenis properti dan dasar pengenaan pajaknya. Bahl
mengungkapkan bahwa the property tax may be levied on the annual or
rental value of the property, the capital value of land and improvements,
or the site value land.17
Pembedaan jenis property tax juga akan
menentukan sistem perpajakan yang mencakup perbedaan struktur tarif
dan yang paling terpenting adalah praktik penilaian atau assessment.
Pada annual value atau rental value, dapat dikatakan sebagai
pemajakan atas penghasilan tahunan dari properti. Under the annual value
system, the tax is based on an estimate of the annual net rental value from
the use of the property. Net rental value is usually derived from income
flows, with some adjustments, or from capital values. 18
Pada capital value
system, penilaian atau assessment bergantung pada perubahan atau
perbaikan terhadap tanah dan bangunan (properti). Pada beberapa negara,
assessment terhadap perubahan atau perbaikan tanah dan bangunan
(properti) dilakukan secara terpisah. Namun pada beberapa negara lain,
assessment antara perubahan tanah dan bangunan (properti) dijadikan satu
16
Weston, h.268
17 Bahl, Roy W. dan Johannes F. Linn. Urban Public Finance in Developing Countries.
(New York : Oxford University Press Inc, 1992) h.83
18 Shome, h.185
16
kesatuan. Pada capital value system, terdapat pengklasifikasian dari tanah
yang ada. Hal ini terlihat pada pendapat Bahl yang menyatakan bahwa the
process typically starts with a classification of land according to location,
amenities, and/or use.19
Pada capital value system, adanya klasifikasi dan
dua cara lainnya membuat metode assessment lebih rumit jika
dibandingkan rental value system. Capital value system menggunakan
beberapa sumber informasi untuk menilai sebuah properti. Capital value
system menggunakan sistem assessment yang terpusat.
Site valuation merupakan bagian dari capital value system.
Assessment pada site valuation hanya dilakukan pada bangunan atau tanah
yang menjadi dasar pengenaan pajak. Site valuation mendorong adanya
penggunaan tanah dengan efisien. Hal ini senada dengan yang
diungkapkan oleh Bahl bahwa this form of taxation is straightforward : if
only the land is taxed, the owner will have no disincentive to developing
the land to its most efficient use. 20
2.1.3 Tax Incentives
Kebijakan perpajakan di berbagai negara ditentukan dengan
mempertimbangkan banyak sektor, termasuk adanya kemudahan bagi
Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Stotsky dalam
Easson mengemukakan bahwa tax incentives adalah
“a special tax provision granted to qualified investment projects
(however determined) that represents a statutorily favorable
deviation from a corresponding provision applicable to investment
project in general (i.e projects that receive no special tax provision).
An implication of this definition is that any tax provision that is
applicable to all investment projects does not constitute a tax
incentive ... In effective term, a tax incentive would be a special tax
19
Op.Cit, h.95
20 Op.Cit, h. 96
17
provision granted to qualified investment projects that has the effect
of lowering the effective tax burden – measured in some way – on
those projects, relative to effective tax burden that would be borne
by investors in the absence of the special tax provision” 21
Dalam definisi di atas disebutkan bahwa tax incentives memiliki dua
definisi dalam statutory dan effective term. Kedua definisi tersebut
mengungkapkan bahwa tax incentive merupakan pengurangan beban pajak
dari beban pajak yang seharusnya. Dalam konferensi berbagai negara di
New York dan Jenewa, tax incentives didefinisikan sebagai “as any
incentives that reduce the tax burden of enterprises in order to induce
them to invest in particular projects or sectors. 22
Tax incentives dapat
memiliki berbagai bentuk atau model, misalnya tax holiday, zero rated
atau exemption, dan investment allowances.
2.2. Tinjauan Literatur Internasional
Peningkatan konsumsi dan kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak dan
bentuk lain dari berbagai energi menyebabkan Pemerintah membuat insentif pajak
agar dapat meingkatkan upaya penggunaan energi alternatif. Garrison
mengungkapkan bahwa terdapat beberapa tipe insentif pajak yang dapat diberikan
antara lain :
a. Insentif Pajak Badan/ Perusahaan (Corporate Tax Incentives)
Corporate Tax Incentives termasuk di dalamnya adalah tax
deductions (pengurangan pajak), tax credits (kredit pajak), dan tax
exemptions (pengeculian pajak).
b. Insentif Pajak Perorangan (Personal Tax Incentives)
21
Easson, Alex. Tax Incentives For Foreign Direct Investment. (CN The Haque : Kluwer
Law International, 2004) h. 2
22 UNCTAD. (2000). Tax incentives and foreign direct investment, a global survey.
United Nations. Febuari 6, 2012. http://www.unctad.org.en
18
Personal Tax Incentives sama seperti dengan Corporate Tax
Incentives, yaitu di dalamnya terdapat tax deductions (pengurangan
pajak), tax credits (kredit pajak), dan tax ecemptions (pengeculian
pajak).
c. Insentif Pajak Properti (Property Tax Incentives)
Insentif Pajak Properti dapat diberikan dalam bentuk exemptions,
exclusions, dan credits.
d. Insentif Pajak Penjualan (Sales Tax Incentives)
Insentif Pajak Penjualan dapat diberikan dalam bentuk tax
exemptions.
e. Insentif lainnya (Other Incentives)
Insentif pajak ini termasuk mengenai hibah, pinjaman, atau dalam hal
produksi.
Dalam jurnal ini, Larry membandingkan berbagai tax incentives yang
diberikan oleh Pemerintah di negara-negara bagian Amerika untuk menunjang
produksi energi alternatif. 23
23
Larry R. Garrison. (2013). Going ‘Green’: State Tax Incentives and Alternative Energy-
An Update. Januari- Februari 2013.
19
BAB III
PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum
Industri Migas merupakan sebuah usaha yang memiliki tahapan yang
panjang dan terintegrasi penuh (fulli intergrated oil company). Tahapan usaha
tersebut dibagi menjadi tujuh tahap sesuai dengan teknik produksinya yaitu
eksplorasi, eksploitasi (produksi), pengilangan (Pengolahan), penimbunan,
transportasi, pemasaran, dan distribusi. Kegiatan di industri migas dibedakan
menjadi kegiatan hulu (upstream) yang merupakan jenis usaha pertambangan,
meliputi eksplorasi dan eksploitasi serta kegiatan hilir (downstream) yang
merupakan jenis usaha Industri, meliputi pengolahan, penyulingan, pemasaran
dan distribusi.
Usaha hulu migas di Indonesia, yaitu eksplorasi dan eksploitasi, sering
dikelola bersama sebagai usaha terintegrasi yang dapat dipisahkan dari tahapan
usaha migas yang lainnya. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di sektor usaha
hulu merupakan tahapan usaha yang memiliki tingkat resiko usaha paling tinggi.
Perusahaan sumber daya alam biasanya terlibat dalam empat aktivitas, yaitu24
:
a. Penguasaan tanah yang mengandung sumber daya alam (mineral
property acquisition)
b. Eksplorasi sumber daya alam yang terkandung di dalam tanah yang
dikuasai (exploration for oil and gas/steam reserves on the property)
c. Pengeboran dan pembangunan sarana untuk mengeskploitasi sumber
daya alam (drilling and development of properties)
d. Produksi/ekstraksi sumber daya alam (production.extraction of the
minerals)
24
Grace. F. Johnson, Oil and gas Producing Companies, dalam Tom M. Plank and Louis R. Plank, Encyclopedia of accounting systems (2nd Eddition) Vol.2, Pentice Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey, 1994, h.891
20
Kegiatan eksplorasi adalah kegiatan usaaha mencari cadanagan migas
yang ada dalam perut bumi. Kegiatan eksplorasi ditujukan untuk mendapatkan
penemuan cadangan minyak baru sebagai hidro karbon yang telah diproduksi.
Eksplorasi dilakukan dengan cara mempelajari suatu wilayah untuk menemukan
kemungkinannya yang dilanjutkan dengan penelitian yang lebih detail, kemudian
dilakukan pemetaan perut bumi. Setelah tahap tersebut, maka dilanjutkan dengan
pengeboran untuk mengetahui contoh lapisan tanah untuk dapat memperkirakan
resiko dan jumlah cadangan minyak dan gas bumi di dalamnya. Apabila cadangan
minyak bumi dianggap mencukupi, baru kemudian dilakukan kegiatan produksi
atau eksploitasi. Kegagalan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas sangat
mungkin dan sering terjadi meskipun telah menghabiskan modal yang besar.
kegiatan eksplorasi dan eksplotasi di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah melalui
Pertamina yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan cara
operasi sendiri dan kerjasama dengan pihak ketiga. Kerjasama dalam bidang
migas berupa Kontrak Production Sharing memiliki variasi antara lain:25
a. JOB (Joint Operation Body), yaitu kerjasama anatara Pertamina dan
perusahaan swasta dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi migas serta
panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik.
b. (technical Assistance Contract), yaitu kerjasama antara Pertamina dan
perusahaan swasta dalam rangka merehabilitasi sumur-sumur lama
atau lapangan yang ditinggalkan dalam wilayah kuasa pertambangan
Pertamina.
c. (Enhanced Oil Recovery, yaitu kerjasama antara Pertamina dan
perusahaan swasta dalam rangka meningkatkan produksi minyak pada
sumur dan laoangan yang masih dioperasikan Pertamina tetapi sudah
menglami penurunan produksidengan menggunakan teknologi tinggi
mepliputi usaha secondary dan tertiary recovery.
25
The Indonesia Production Sharing Contract, Directorate E&P Pertamina, p.14 dalam
Shinta Nurzana Permata Irwandy, (2005). Pengenaan Pajak Atas Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia (Analisis Pasal 31 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi). Skripsi Program Sarjana FISIP UI. Tidak Diterbitkan
21
Pelaksanaan pola kontrak production saring dalam pertambangan minyak
dan gas bumi diatur dalam Pasal 6 ayat 1 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan gas bumi yang menyebutkan bahwa kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan
dikendalikan melalui kontrak kerja sama, yaitu kontrak production sharing.
Kontrak production sharing merupakan kontrak perjanjian kerja sama natara
pemerintah melalui Badan Pelaksana Migas dengan perusahaan asing selakuu
kontrakyor untk melaksanakan usaha eksplorasi dan ekploitasi bahan galian migas
berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi. Dalam penjelasan Undang-Undang
tersebur, kontrak production sharing harus memuat persyaratan berupa:
a. Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai
pada titik penyerahan penjualan migas
b. Pengendalian manajemen operasi yang berupa persetujuan atas rencana
dan anggaran, rencana pengembangan lapangan serta pengawasan dari
realisasi rencana berada pada Badan Pelaksana
c. Modal dan resiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau
Bentuk Usaha tetap.
Berdasarkan konsep kontrak production sharing, maka hasil produksi
migas di Indonesia adalah hasil usaha Pertamina dalam kegiatan ekplorasi dan
eksploitasi yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan usaha sendiri atau
dengan kerjasama yaitu kontrak production sharing. Dengan adanya pola kontrak
production sharing, maka mengindarkan beban resiko investasi dari Pertamina
dan diharapkan dapat menarik swasta untuk berinvestasi dengan adanya
pembagian hasil produksi.
Dasar hukum yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi adalah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan
kegiatan usaha minyak bumi berdasarkan asas ekonomi kerakyatan yang
membawa kemakmuran bersama serta berwawasan lingkungan. Tujuan usaha
minyak dan gas bumi adalah untuk menjamin efisiensi dan efektivitas serta
mengembangkan kemampuan nasional untuk menyediakan minyak dan gas bumi
22
baik sebagai sumber energi maupun bahan baku. Dalam menjalankan usaha
minyak dan gas bumi bahwa kekayaan nasional atas sumber daya tersebut
menjadi kuasa negara dimana kegiatan usaha hulunya dilakukan dengan melalui
Kontrak Kerja Sama. Kontrak Kerja Sama menyebutkan bahwa kepemilikan
sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan,
pengendalian manajemen operasi pada Badan Pelaksana dari Pemerintah serta
modal dan risiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap. Usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan melalui kontrak kerjasama
dalam hal usaha hulu dan izin usaha dalam hal usaha hilir. Berkaitan dengan Pasal
31 tentang penerimaan negara menyebutkan bahwa Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha hulu wajib membayar
penerimaan negara berupa pajak dan Penerimaan negara bukan pajak.
4.2. Analisis Kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Daerah
Pertambangan dalam Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam kegiatan Usaha hulu
minyak dan gas bumi atau dapat berupa kontraktor memiliki kewajiban yang
harus dipenuhi terkait dengan penerimaan negara sebagaimana telah dijelaskan
dalam sub bab gambaran umum. Kewajiban Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap dalam Penerimaan negara berupa pajak adalah termasuk pajak-pajak, bea
masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah.
Sedangkan kewajiban atas penerimaan negara bukan pajak antara lain adalah
bagian negara atas usaha minyak dan gas bumi, pungutan negara yang berupa
iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi, serta bonus-bonus. Kewajiban
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam kegiatan usaha hilir minyak dan gas
bumi pun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001. Badan Usaha
yang melaksanakan kegiatan usaha hilir diwajibkan membayar pajak, bea masuk
dan pungutan lain atas impor, cukai, pajak daerah dan retribusi daerah, serta
kewajiban lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penerimaan pajak yang merupakan komponen penerimaan negara
tersebut merupakan salah satu bentuk fungsi pajak yaitu fungsi budgetair. Namun,
pemenuhan fungsi pajak tersebut tetap harus memerhatikan prinsip pemungutan
23
pajak yaitu adequacy. Prinsip pemungutan pajak tersebut mengungkapkan bahwa
pemungutan pajak harus dapat mencapai kecukupan untuk memenuhi pengeluaran
negara. Namun, pemenuhan kecukupan tersebut juga harus memerhatikan prinsip
yang lain yaitu elasticity agar dapat menghadapi tantangan perubahan dan
perkembangan ekonomi.
Kewajiban perpajakan bagi Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam
kegiatan usaha minyak dan gas bumi salah satunya adalah Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) yang merupakan salah satu bentuk property tax. Meskipun
kepemilikan lahan yang menjadi tempat kegiatan usaha adalah tetap menjadi milik
Pemerintah Indonesia, namun penguasaan dilakukan oleh Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap. Sehingga pembebanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
ditanggung oleh badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Pemungutan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) ini merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kas negara
atau penerimaan negara. Namun, apabila penerapannya tidak dilakukan dengan
memerhatikan kondisi Wajib Pajak yang diseimbangkan dengan ekonomi negara
dapat berakibat justru kekosongan atau kehilangan potensi penerimaan kas negara
dari sektor tersebut. Pemerintah dalam menerapkan pajak tidak hanya fokus pada
penerimaan pajak yang sebesar-besarnya namun juga kondisi Wajib Pajak. Jika
fokus Penerimaan pajak yang sebesar-besarnya tersebut justru dapat
mengakibatkan Wajib Pajaknya ‘mati’. Sehingga konsekuensinya justru
belawanan dengan tujuan pemungutan pajak yaitu hilangnya penerimaan dari
sektor pajak tersebut karena Wajib Pajaknya tidak mampu mempertahankan
eksistensi.
Di sisi lain, dengan hilangnya atau tidak adanya Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap yang mengusahakan kegiatan pertambangan minyak dan gas
bumi, Indonesia akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan minyak
dan gas bumi serta hilangnya juga potensi penerimaan negara bukan pajak dari
sektor minyak dan gas bumi akibat tidak adanya perdagangan atas komoditi
tersebut. Neraca perdagangan internasional pun menjadi semakin tidak seimbang
karena adanya pembengkakan impor minyak dan gas bumi. Konsekuensinya,
penerimaan negara turun namun terjadi peningkatan pengeluaran negara. Artinya,
24
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari sektor minyak dan gas bumi
menjadi tidak sebanding dengan dampak ekonomi yang ditimbulkan seperti
turunya produksi, investasi dan ekspor serta penambahan impor. Implikasi
pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang besar tersebut dijelaskan oleh
Gde Pradyana sebagai berikut;
“Jadi begini, jangan kita berpikir secara sektoral. Kami mengerti bahwa
teman-teman dari pajak menginginkan penerimaan pajak sebesar-
besarnya. Tapi kalau penerimaan pajak sebesar-besarnya tadi malah
mengakibatkan wajib pajaknya mati, ya pajaknya akhirnya tidak dapat
juga. “26
Penerapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan yaitu
untuk sektor minyak dan gas bumi saat ini pelaksanaannya diatur berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 76/PMK.03/2013 jo. PMK 15/PMK.03/2012.
Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan minyak dan
gas bumi dengan melihat kepada masing-masing area yaitu area produktif, area
belum atau tidak produktif dan area emplasemen. Berikut contoh penghitungan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan minyak dan gas bumi;27
Contoh :
PT. Mutiara, sebuah usaha tambang minyak bumi yang beroperasi di pedalaman
Kalimantan menguasai atau memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan dengan
rincian sbb:
A. Bumi (Tanah )
a.Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp300,-/M2
b.Areal Belum Produktif : 300 Ha; Nilai = Rp200,-/M2
c.Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp150,-/M2
26
Tarik Ulur Pembebasan Pajak Eksplorasi Migas. (2013). Februari 11, 2013.
http://migasreview.com
27 Darwin, Pengenaan PBB Pertambangan Minyak dan Gas Bumi .(2012). Widyasiswara
Utama Pusdiklat Pajak. http:// bppk.depkeu.go.id
25
d.Areal Pengaman: 1 Ha; Nilai = Rp150,-/M2
e.Areal Emplasemen :
1.Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp900,-/M2
2.Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp900,-/M2
3.Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp1.000,-/M2
4.Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp1.100,-/M2
B. Bangunan :
1. Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
2. Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp429.000,-/M2
3. Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp505.000,-/M2
4. Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp595.000,-/M2
C. Hasil penjualan minyak bumi setahun sebagai berikut:
1. Triwulan pertama produksi sebesar: 25.000 barrel dengan harga US $45
per barrel
2. Triwulan kedua produksi sebesar: 30.000 barrel dengan harga US $46 per
barrel
3. Triwulan ketiga produksi sebesar 33.000 barrel dengan harga US $45,5 per
barrel
4. Triwulan keempat produksi sebesar 34.000 barrel dengan harga US $46
per barrel.
Angka Kapitalisasi = 9,5
Kurs yang berlaku: 1 US $ = Rp9.150,00
Hitung Pajak Bumi dan Banguna (PBB) yang menjadi kewajiban PT.Mutiara
tersebut apabila NJOPTKP ditentukan sebesar Rp12.000.000,00
Maka, penghitungan Pajak Bumi dan Bangunannya adalah sebagai berikut:
26
Hasil Penjualan minyak bumi setahun sebagai berikut:
Triwulan pertama: 25.000 x 45 x 9.150 = Rp10.293.750.000,-
Triwulan kedua: 30.000 x 46 x 9.150 = Rp12.627.000.000,-
Triwulan ketiga: 33.000 x 45,5 x 9.150 = Rp13.738.725.000,-
Triwulan keempat: 34.000 x 46 x 9.150 = Rp14.310.600.000,- +
Total hasil penjualan setahun = Rp50.970.075.000,-
A. NJOP Bumi:
a. Tubuh bumi eksploitasi = 9,5 x 50.970.075.000 = Rp484.215.713.000,-
b. Areal Produktif = 200 x 10.000 x 300,- = Rp 600.000.000,-
c. Areal Belum Produktif = 300 x 10.000 x 200 = Rp 600.000.000,-
d. Areal Tidak Produktif: 100 x 10.000 x 150 = Rp 150.000.000,-
e. Areal Pengaman = 1 x 10.000 x 150 = Rp 1.500.000,-
f. Areal Emplasemen:
1. Pabrik: 20 x 10.000 x 900 = Rp 180.000.000,-
2. Gudang: 2 x 10.000 x 900 = Rp 18.000.000,-
3. Kantor: 10.000 x 1.000 = Rp 10.000.000,-
4. Perumahan: 5 x 10.000 x 1.100 = Rp 55.000.000,-
Jumlah Nilai Bumi: = Rp485.830.213.000,-
Nilai Bumi/M2 = 485.830.213.000/6.290.000 = Rp77.238,51
Hasil konversi: Kelas 105 = Rp78.000,-/M2
NJOP Bumi seluruhnya = 6.290.000 x Rp78.000 = Rp490.620.000.000,-
27
B. NJOP Bangunan:
1. Pabrik: 50.000 x 365.000 = Rp 18.250.000.000,-
2. Gudang: 5.000 x 429.000 = Rp 2.145.000.000,-
3. Kantor: 2.000 x 505.000 = Rp 1.010.000.000,-
4. Perumahan: 10.000 x 595.000 = Rp 5.950.000.000,-
Jumlah Nilai Bangunan: = Rp 27.355.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 27.355.000.000/67.000 = Rp408.283,58
Hasil konversi: Kelas 082 = Rp408.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x Rp408.000,- = Rp27.336.000.000,-
Jumlah total NJOP Bumi dan Bangunan: = Rp517.956.000.000,-
NJOPTKP: = Rp 12.000.000,- -
NJOP untuk perhitungan PBB: = Rp517.944.000.000,-
PBB= 0,5% x 40% x 517.944.000.000 = Rp1.035.888.000,-
Contoh penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) minyak dan gas bumi
tersebut menunjukkan bahwa beban Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) masih
cukup besar yang harus ditanggung oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
Insentif Pajak untuk sektor pertambangan minyak dan gas bumi pada
dasarnya telah diberikan oleh Pemerintah. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah
dalam bentuk pengembalian biaya operasional yang dikeluarkan oleh industri hulu
minyak dan gas bumi. Insentif pajak tersebut berkaitan dengan Pajak Penghasilan
28
yang dipungut berdasarkan penghasilan netto yaitu penghasilan setelah dikurangi
oleh biaya. Biaya operasional yang dapat dikembalikan, dalam arti mendapat
pengembalian dari Pemerintah, berlaku bagi kontrak bagi hasil dan kontrak jasa di
bidang usaha hulu minyak dan gas bumi. Peraturan yang mengatur mengenai cost
recovery atau biaya yang dapat diganti tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan
Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Berdasarkan peraturan tersebut, dalam Pasal 11 menerangkan mengenai biaya
operasi yang dapat dikembalikan yaitu antara lain adalah biaya umum dan
administrasi termasuk di dalamnya pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak. Namun,
pajak yang dapat dikembalikan hanya pajak tidak langsung, pajak daerah, dan
retribusi daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor
28 Tahun 2009, pajak daerah yang dipungut pemerintah daerah antara lain Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor(PBBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak
Air Permukaan, Pajak Rokok, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak
Reklame, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air
Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan (PBB P2) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Maka,
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah Pertambangan bukan merupakan Pajak
Daerah, melainkan Pajak Pusat yang dipungut oleh pemerintah pusat. Sehingga
insentif pajak yang diberikan oleh Pemerintah masih berupa insentif Pajak
Penghasilan, belum mencakup Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah
pertambangan. Hal ini menunjukkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
masih menjadi beban bagi pengusaha atau kontraktor minyak dan gas bumi di
Indonesia.
Perumusan kebijakan pajak dengan memerhatikan asas-asas pajak
sebagaimana yang diungkapkan oleh Adam Smith yang salah satunya adalah asas
convenience yaitu di mana pemungutan pajak dilakukan di saat yang baik.
Berdasarkan asas ini, maka pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) harus
29
memerhatikan kondisi Wajib Pajak. Sedangkan dalam Undang-Undang
menyebutkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tetap dipungut meskipun
masih dalam kegiatan eksplorasi yaitu usaha untuk mencari minyak dan gas bumi.
Pengecualian hanya diberikan untuk penetapan NJOP selama daerah tersebut
belum atau tidak menghasilkan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelunnya, bahwa
pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan dikenakan
untuk seluruh wilayah kerja, termasuk yang tidak berkaitan dengan kegiatan
utama pertambangan. Padahal, dengan adanya sumur yang tidak atau belum
menghasilkan maka ada potensi penghasilan yang hilang. Kondisi tersebut
menjadi salah satu kondisi buruk dari kontraktor. Ditinjau dari asas convenience,
pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah Pertambangan belum
memerhatikan kondisi Wajib Pajak. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) semakin
dirasa menjadi beban bagi para kontraktor dalam menjalankan usaha hulu minyak
dan gas bumi di Indonesia, sehingga hal ini dapat menjadi hambatan dalam
mengembangkan industri minyak dan gas bumi nasional.
Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi merupakan usaha jangka panjang
yang membutuhkan modal besar dan berisiko tinggi. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa proses industri hulu minyak dan gas bumi harus
melalui beberapa tahapan yang penuh ketelitian. Tahapan yang dilalui
membutuhkan modal uang, tenaga, dan alat yang banyak namun hasilnya masih
belum dapat dipastikan. Risiko kegagalan dalam menemukan ladang minyak yang
mana masih dalam tahapan eksplorasi menjadi beban tersendiri bagi kontraktor.
Jika pada akhirnya, dalam suatu wilayah belum menghasilkan minyak dan gas
bumi, maka ada penghasilan yang belum atau tidak diterima. Hal ini
menyebabkan beban kontraktor semakin bertambah disamping modal dan risiko
yang besar.
Pertimbangan rencana insentif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga
berkaitan dengan adanya kemungkinan terjadinya overlapping pemungutan pajak.
Suatu wilayah kerja yang digunakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
dapat mencakup perkebunan, sekolah, dan lainnya selain sumur minyak dan
wilayah yang memang digunakan untuk kegiatan pertambangan. Wilayah selain
30
sumur yang berkaitan dengan kegiatan minyak dan gas bumi telah dipungut
pajaknya, oleh sebab itu jika perusahaan minyak dan gas bumi harus
membayarkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam satu wilayah kerja dapat
menimbulkan pemungutan pajak berlapis sebagaimana diungkapkan oleh Gde
Prayana, Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi (SKK Migas), sebagai berikut;
“Aturan yang sekarang menyebutkan bahwa seluruh WK dikenai pajak.
Contohnya begini, ada perusahaan migas memiliki 1 hektare WK. Tapi,
di atas WK tersebut ada kegiatan lain selain sektor migas, seperti rumah
sakit, perkebunan, sekolah, dan lain sebagainya. Apakah si pemilik WK
harus membayar pajak atas kegiatan yang tidak ada hubungan dengan
kepentingannya? Satu blok WK bisa ribuan kilometer atau bisa seluas
DKI Jakarta padahal lahan yang perlu dibebaskan hanya seluas whale
pen (kepala sumur pengeboran) sekitar 1-2 hektare. Kalau ditambah
dengan fasilitas produksi lainnya bisa mencapai 10-15 hektare. Sehingga,
itu saja yang perlu dibayarkan pajaknya.. Selama fasilitas tersebut
digunakan untuk kepentingan migas, maka harus dibayarkan pajaknya.
Yang terjadi sekarang adalah over lapping pajak, di mana perusahaan
migas membayar satu WK, yang mana di atas lahan tersebut, misalnya,
ada kegiatan perkebunan dan lain-lainnya. Padahal, yang punya
perkebunan dan kegiatan lainnya tersebut juga sudah bayar
pajak. Kan jadi dobel pajaknya” 28
Insentif pajak yang diharapkan atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
masih dipertimbangkan dengan berbagai alternatif. Apabila dilakukan dengan
kebijaka zero rate maka Wajib Pajak masih harus mengurus mengenai masalah
administrasi dengan tetap melaporkan pajaknya meskipun tarifnya o%. Atau dapat
dilakukan pula dengan tax excemption. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengecualikan daerah yang tidak berkaitan dengan usaha eksplorasi minyak dan
gas bumi dalam penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Maka,
perusahaan akan tetap menanggung beban Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
hanya dari lahan sumur-sumur minyak saja. Selain itu, Pemerintah juga dapat
mengambil kebijakan yaitu berupa penghapusan Pajak eksplorasi yang termasuk
di dalamnya adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
28
Ibid.
31
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk sektor
pertambangan minyak dan gas bumi di wilayah eksplorasi masih dengan
menghitung daerah tersebut sebagai obyek Pajak. Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) dikenakan dalam satu wilayah kerja yang terdiri atas wilayah-
wilayah untuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi maupun wilayah lain yang tidak
berkaitan dengan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.pengenaan pajak
bumi dan bangunan (PBB) atas satu wilayah kerja dilakukan atas dasar
pemenuhan fungsi pajak yaitu fungsi budgetair. Fungsi budgetair adalah fungsi
pajak untuk memenuhi kas negara (penerimaan negara). Pengenaan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) atas satu wilayah kerja menjadi beban pajak yang cukup
besar bagi perusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia. Hal ini dapat
berimplikasi terhadap keengganan kontraktor atau investor untuk melakukan
usaha di bidang minyak dan gas bumi. Akibatnya, dapat terjadi penurunan jumlah
produksi minyak dan gas bumi nasional padahal konsumsi terus meningkat.
Kelangkaan minyak dan gas bumi nasional akan berpengaruh terhadap harga
minyak nasional dan pembengkakan impor serta penurunan ekspor. Negara akan
mengalami dampak ekonomi yaitu hilangnya potensi Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) itu sendiri dan dari sektor non pajak atas minyak dan gas bumi akibat
penurunan jumlah investor. Insentif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diperlukan
agar produksi minyak dapat digenjot. Alternatif kebijakan yang dapat diambil
adalah zero rate, tax excemption, atau penghapusan pajak.
4.2. Saran
Untuk pemerintah, insentif pajak diharapkan dapat segera diberikan atau
diterapkan dalam hal pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari sektor
pertambangan minyak dan gas bumi sehingga dapat menjadi salah satu daya tarik
bagi investor untuk bekerja sama dalam hal produksi minyak dan gas bumi.
32
DAFTAR REFERENSI
Buku
Bahl, Roy W. dan Johannes F. Linn. (1992). Urban Public Finance in Developing
Countries. New York : Oxford University Press Inc
Easson, Alex. (2004). Tax Incentives For Foreign Direct Investment. CN The
Haque : Kluwer Law International
Johnson, Grace. F. (1994). Oil and gas Producing Companies, dalam Tom M.
Plank and Louis R. Plank, Encyclopedia of accounting systems (2nd
Eddition) Vol.2, Pentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Mansury, R. (2000). Kebijakan Perpajakan. Jakarta : Yayasan Pengembangan dan
Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4)
Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan; edisi 3. Jakarta : Granit
Kelompok Yayasan Obor Indonesia
Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. (2005). Perpajakan Teori dan Aplikasi.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Shome, Prathasarathi. (1995). Tax Policy Handbook. Washington DC : Fiscal
Affairs Department International Monetary Fund
Thuronyi, Victor. (1998). Tax Law Design and Drafting. Washigton DC :
International Monetary Fund
Weston, Stephen F. (1903). Principle of Justice in Taxation. New York :
Columbia University Press
Jurnal
Garrison , Larry R. (2013). Going ‘Green’: State Tax Incentives and Alternative
Energy-An Update. Januari- Februari 2013., 27-54.
http://deepwebaccessui.ui.ac.id
33
Karya Akademis
Irwandy, Shinta Nurzana Permata. (2005). Pengenaan Pajak Atas Industri Hulu
Minyak dan Gas Bumi di Indonesia (Analisis Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi). Skripsi Program
Sarjana FISIP UI. Tidak Diterbitkan.
Lainnya
Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya
Operasi yang Dapat Dikembalikan
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013
tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan
Untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi dan Panas Bumi.
Internet
Biro Riset LM FEUI. Analisis Industri Minyak dan Gas di Indonesia : Masukan
Bagi Pengelola BUMN. http://lmfeui.com
BP. (2012). Statistical Reciew of World Energy 2012. http://bp.com
Darwin. Pengenaan PBB Pertambangan Minyak dan Gas Bumi .(2012).
Widyasiswara Utama Pusdiklat Pajak. http://bppk.depkeu.go.id
Ini Dia 10 Negara Penghasil Minyak Terbesar di Dunia. (2012). April 27, 2012.
http://finance.detik.com
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2012).
Statistik Minyak Bumi. Agustus, 2012. http://esdm.go.id
34
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2013). Data Pokok APBN 2007-
2013. http://depkeu.go.id
Tarik Ulur Pembebasan Pajak Eksplorasi Migas. (2013). Februari 11, 2013.
http://migasreview.com
BPS. (2013). Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha.
http://www.bps.go.id
UNCTAD. (2000). Tax incentives and foreign direct investment, a global survey.
United Nations. Febuari 6, 2012. http://www.unctad.org.en