bab 1-4 analisis kebijakan pbb migas

34
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia menggunakan berbagai sumber energi yang berbeda untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Sumber energi di dunia diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu sumber energi yang dapat diperbarui dan tidak dapat diperbarui. Penduduk di dunia paling banyak menggunakan sumber energi yang tidak dapat diperbarui padahal sumber energi tersebut jumlah persediaannya terbatas dan proses pembentukkannya membutuhkan waktu yang lama. Sumber energi yang tidak dapat diperbarui antara lain batu bara, minyak bumi, gas alam, propana dan uranium. Minyak bumi ditinjau dari manfaat hasil olahannya menjadi salah satu komoditi hasil pertambangan yang memiliki nilai penting dalam kehidupan suatu negara. Pemanfaatan minyak bumi sangat dekat dengan aktivitas sehari-hari masyarakat baik dalam lingkung industri maupun rumah tangga. Hasil olahan minyak bumi antara lain adalah naptha (petroleum eter), gasolin (bensin), kerosin (minyak tanah), minyak solar, minyak pelumas serta residu minyak bumi seperti parafin dan aspal. Hasil olahan berupa naptha digunakan sebagai pelarut dalam industri. Gasolin dan solar digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, sedangkan minyak pelumas digunakan untuk lubrikasi mesin-mesin. Residu minyak bumi berupa parafin dapat digunakan dalam proses pembuatan obat-obatan, kosmetika, tutup botol, industri tenun, korek api, lilin batik dan sebagainya. Penggunaan kerosin atau minyak tanah sangat erat hubungannya dengan keperluan rumah tangga, misalnya sebagai bahan bakar, pembasmi serangga, atau sebagai campuran dalam cairan pembasmi serangga. Konsumsi minyak bumi dan gas alam cenderung terus meningkat setiap tahun, yang dapat dilihat dalam tabel 1.1 berikut.

Upload: lulunurulj

Post on 26-Dec-2015

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tugas pengantar kebijakan pajak untuk membuat contoh proposal skripsi,. topik yang diangkat adalah pbb migas

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia menggunakan berbagai sumber energi yang berbeda untuk

menjalankan aktivitas sehari-hari. Sumber energi di dunia diklasifikasikan

menjadi dua kelompok yaitu sumber energi yang dapat diperbarui dan tidak dapat

diperbarui. Penduduk di dunia paling banyak menggunakan sumber energi yang

tidak dapat diperbarui padahal sumber energi tersebut jumlah persediaannya

terbatas dan proses pembentukkannya membutuhkan waktu yang lama. Sumber

energi yang tidak dapat diperbarui antara lain batu bara, minyak bumi, gas alam,

propana dan uranium. Minyak bumi ditinjau dari manfaat hasil olahannya menjadi

salah satu komoditi hasil pertambangan yang memiliki nilai penting dalam

kehidupan suatu negara. Pemanfaatan minyak bumi sangat dekat dengan aktivitas

sehari-hari masyarakat baik dalam lingkung industri maupun rumah tangga.

Hasil olahan minyak bumi antara lain adalah naptha (petroleum eter),

gasolin (bensin), kerosin (minyak tanah), minyak solar, minyak pelumas serta

residu minyak bumi seperti parafin dan aspal. Hasil olahan berupa naptha

digunakan sebagai pelarut dalam industri. Gasolin dan solar digunakan sebagai

bahan bakar kendaraan bermotor, sedangkan minyak pelumas digunakan untuk

lubrikasi mesin-mesin. Residu minyak bumi berupa parafin dapat digunakan

dalam proses pembuatan obat-obatan, kosmetika, tutup botol, industri tenun,

korek api, lilin batik dan sebagainya. Penggunaan kerosin atau minyak tanah

sangat erat hubungannya dengan keperluan rumah tangga, misalnya sebagai bahan

bakar, pembasmi serangga, atau sebagai campuran dalam cairan pembasmi

serangga. Konsumsi minyak bumi dan gas alam cenderung terus meningkat setiap

tahun, yang dapat dilihat dalam tabel 1.1 berikut.

Page 2: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

2

Tabel 1.1. Konsumsi Minyak Bumi dan Gas Alam di Dunia

Sumber : BP Statistical Review of World Energy 2012

Kebutuhan dan konsumsi setiap negara akan minyak bumi berbeda antara

satu dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor perekonomian suatu

negara dimana semakin maju suatu negara maka semakin besar pula

ketergantungannya terhadap energi, termasuk minyak bumi. Setiap negara harus

dapat memenuhi kebutuhan minyak bumi tersebut. Hal ini dapat dilakukan

melalui produksi minyak bumi di dalam negeri atau dengan kegiatan impor.

Adanya peningkatan konsumsi minyak bumi di dunia setiap tahunnya serta

kebutuhan impor oleh negara-negara yang memiliki produksi minyak bumi yang

rendah, menjadi peluang bisnis bagi negara-negara penghasil minyak bumi yang

besar atau tinggi melalui perdagangan internasional dengan kegiatan ekspor.

Konsumsi Sepuluh negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia adalah Saudi

Arabia, Amerika Serikat, Rusia, China, Iran, Kanada, Uni Emirat Arab, Meksiko,

Brazil, dan Kuwait.1

Kegiatan bisnis energi minyak bumi memiliki karakteristik yaitu

ketidakpastian pasar karena adanya struktur permintaan yang dinamis dan

kompleks. Selain itu, ketepatan jumlah dan kondisi pasokan serta cadangan

minyak bumi yang merupakan energi tidak dapat diperbarui, sulit diprediksi.

Ketidakpastian pasar dapat dipengaruhi oleh karakter perilaku produsen dan

1 Ini Dia 10 Negara Penghasil Minyak Terbesar di Dunia. (2012). April 27, 2012.

http://finance.detik.com

Tahun

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2012

Minyak

bumi* 78187 79686 82746 83925 84873 86321 85768 84631 87439 88034

Gas

alam** 2515,7 2599,3 2679,4 2766,7 2824,3 2930,4 3005,1 2930,6 3153,1 3222,9

* dalam ribuan barels per hari

** dalam jutaan m3

Page 3: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

3

konsumen, kemajuan teknologi, struktur demografi dan geografi. Mayoritas

model-model ekonomi menggambarkan pasar energi secara sederhana dengan

cara mengobservasi variabel pokok seperti kapasitas produksi, pola konsumsi,

regulasi dan kebijakan, perilaku produsen dan konsumen. Persoalan

perekonomian berkaitan dengan bisnis energi dipicu oleh faktor kelangkaannya.

Kelangkaan minyak dunia disebabkan karena jumlah produksi minyak yang lebih

rendah dibandingkan dengan jumlah kebutuhan atau permintaan. Fenomena

kelangkaan minyak bumi dapat menyebabkan kenaikan harga minyak di dunia.

Kegiatan bisnis minyak bumi dilakukan melalui perdagangan internasional

dengan adanya ekspor dan impor. Hasil dari penjualan minyak bumi dapat

menjadi salah satu instrumen untuk mendapatkan sumber penerimaan atau devisa

negara, termasuk di Indonesia. Minyak bumi menjadi komoditas yang memiliki

peran penting dalam struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).

Hasil minyak bumi tersebut menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang

diandalkan yang besarnya mencapai 36% dari sektor penerimaan negara bukan

pajak dalam APBN 2013. Sedangkan apabila ditinjau dari penerimaan negara

secara keseluruhan maka minyak bumi berkontribusi sebesar 7,9%. Angka

tersebut menjadi jumlah terbesar dibandingkan dengan sumber penerimaan dari

sektor bukan pajak yang lain. Hal ini dapat dilihat dari bagian Pendapatan dan

Hibah Negara dalam Struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Tahun

2007-2013 berikut;

Tabel 1.2. Struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Tahun

2007-2013 (miliar rupiah)

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P APBN

I.Penerimaan Dalam

Negeri

706.108 979.305 847.097 992.248 1.205.346 1.357.380 1.525.289

1. Penerimaan

Perpajakan

490.989 658.701 619.922 723.307 873.874 1.016.237 1.192.994

a.Pajak dalam

negeri

470.052 622.359 601.252 694.392 819.752 968.293 1.134.289

i. PPh 238.431 327.498 317.615 357.045 431.122 513.650 584.890

-PPh Migas 44.000 77.019 50.043 58.873 73.095 67.917 71.381

Page 4: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

4

-PPh

Nonmigas

194.430 250.479 267.571 298.173 358.026 445.733 513.509

ii. PPN 154.527 209.647 193.067 230.605 277.800 336.057 423.708

iii. PBB 23.723 25.354 24.270 28.580 29.893 29.687 27.344

iv. BPHTB 5953 5.573 6.464 8.026 (0.7) - -

v. Cukai 44.679 51.252 56.718 66.166 77.010 83.266 92.004

vi. Pajak Lainnya 2.738 3.034 3.116 3.969 3.928 5.632 6.343

b.Pajak

Perdagangan

Internasional

20.937 36.342 18.670 28.914 54.121 47.944 58.705

i.Bea Masuk 16.699 22.764 18.105 20.017 25.266 24.738 27.003

ii.Bea Keluar 4.237 13.578 565 8.898 29.855 23.206 31.702

2.Penerimaan Negara

Bukan Pajak

213.120 320.605 227.174 268.942 331.472 341.143 332.195

a.Penerimaan

SDA

132.897 224.463 138.959 168.825 213.823 217.159 197.205

i. Migas 124.784 211.617 125.752 152.733 193.491 198.311 174.868

-Minyak Bumi 93.604 169.022 90.056 111.815 141.303 150.847 120.918

-Gas alam 31.179 42.595 35.696 40.918 52.187 47.464 53.950

ii. Non Migas 8.109 12.846 13.207 16.092 20.333 18.848 22.336

-Pertambangan

umum

5.878 9.511 10.369 12.646 16.370 15.272 17.599

-Kehutanan 2.115 2.315 2.345 3.010 3.216 3.075 4.154

-Perikanan 116 78 92 92 184 150 180

-pertambangan

Panas Bumi

- 941 400 344 563 349 403

b.Bagian Laba

BUMN

23.222 29.088 26.049 30.097 28.184 30.776 33.500

c.PNBP Lainnya 56.873 63.319 53.796 59.428 69.360 72.779 77.992

d.Pendapatan

BLU

2.131 3.743 8.369 10.591 20.104 20.408 23.499

II.Hibah 1.698 2.304 1666 3.023 5.254 825 4.483

Pendapatan Negara

dan Hibah

707.806 981.609 848.763 995.271 1.210.599 1.358.205 1.529.673

Keterangan :

LKPP : Laporan Keuangan Pemerintah Pusat

APBN-P : Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara - Perubahan

APBN : Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara

Sumber :Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2013

Peran penting dari minyak bumi juga dapat dilihat dari Produk Domestik

Bruto (PDB) Indonesia. Hasil minyak dan gas bumi adalah sekitar 8,3% dari total

PDB keseluruhan yang dapat dilihat dari dua sektor yaitu dari sektor

pertambangan dan penggalian serta sektor industri pengolahan Penyumbang

terbesar bagi PDB adalah dari sektor industri pengolahan yang di dalamnya

Page 5: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

5

termasuk pengolahan minyak dan gas bumi. Industri pengolahan minyak dan gas

bumi, besarnya mencapai 12,9% dari sektor tersebut (6,6% adalah dari

pengilangan minyak) atau 3,3% dari total PDB keseluruhan (1,7% adalah dari

pengilangan minyak). Sedangkan untuk sektor pertambangan dan penggalian,

subsektor minyak dan gas bumi mencapai 39% dari jumlah sektor tersebut atau

5% dari total PDB keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 1.3. berikut;

Tabel 1.3. Struktur Produk Domestik Bruto (PDB) menurut

Lapangan Usaha Tahun 2006-2012 (miliar rupiah)

Tahun

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Pertanian,

peternakan,

kehutanan,

perikanan

433.233 541.931 716.656 857.197 985.470 1.091.447 1.190.412

Pertambangan

dan

penggalian

366.521 440.609 541.334 592.061 719.710 879.505 970.599

Minyak dan

gas bumi 200.082 234.162 283.283 254.948 290.467 371.823 382.697

Pertambangan

bukan migas 130.716 160.267 195.286 254.243 332.970 398.550 464.012

Penggalian 35.723 46.180 62.765 82.870 96.272 109.132 123.890

Industri

pengolahan 919.539 1.068.594 1.376.442 1.477.541 1.599.073 1.806.140 1.972.846

Industri migas 172.095 182.324 237.771 209.841 214.433 253.078 254.408

Pengilangan

minyak bumi 117.952 122.118 145.942 129.456 124.111 131.482 130.123

Gas alam cair 54.142 60.206 91.829 80.385 90.322 121.596 124.285

Industri bukan

migas 747.444 886.329 1.138.670 1.267.700 1.384.640 1.553.062 1.718.439

Listrik, gas

dan air bersih 30.355 34.724 40.888 46.680 49.119 56.789 65.124

Konstruksi 251.132 304.997 419.772 555.192 660.890 754.483 860.965

Perdagangan,

hotel dan

restoran

501.542 592.304 691.487 744.513 882.487 1.024.009 1.145.601

Pengangkutan

dan

komunikasi

231.523 264.263 312.190 353.740 423.172 491.283 549.115

Keuangan,

real estate dan

jasa

269.121 305.213 368.129 405.162 466.563 535.153 598.523

Page 6: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

6

perusahaan

Jasa-jasa 336.259 398.197 481.848 574.116 660.365 783.970 886.676

Total PDB 2.967.040 3.534.406 4.427.633 5.141.414 5.941.952 6.797.879 7.604.759

Sumber: BPS, 2013

Struktur APBN Indonesia yang terlihat dalam tabel 1.2 menunjukkan

bahwa jumlah penerimaan negara yang fluktuatif, sedangkan dari tabel 1.3

mengenai PDB, jumlah dari subsektor minyak dan gas bumi terus mengalami

kenaikan. Hal ini bergantung pada faktor produksi (kelangkaan) minyak bumi

yang juga mempengaruhi harga minyak di dunia. Permasalahan mengenai energi

minyak bumi juga terjadi di Indonesia. Peningkatan konsumsi akan minyak bumi

baik dalam lingkup rumah tangga maupun industri, menuntut adanya peningkatan

produksi dengan cadangan minyak bumi yang tersedia di dalam negeri.

Kepentingan ekonomi atas energi minyak bumi, baik sebagai penghasil devisa

atau sumber penerimaan negara maupun pemasok kebutuhan energi dalam negeri

harus dapat terpenuhi. Pertumbuhan konsumsi energi rata-rata dalam sepuluh

tahun terakhir (hingga tahun 2009) mencapai 7% karena adanya pembangunan

prasarana dan industri yang terus berkembang. Peningkatan yang tinggi tersebut

menuntut Indonesia untuk menemukan cadangan minyak bumi yang baru, baik di

dalam negeri maupun dengan ekspansi ke luar negeri, serta memaksimalkan

potensi yang telah ada. Potensi sumber daya minyak bumi di Indonesia masihh

banyak yang dapat dikembangkan terutama di daerah-daerah terpencil, laut dalam,

sumur-sumur tua dan kawasan Indonesia Timur yang belum dieksplorasi secara

intensif.2 Kondisi perbandingan antara cadangan, produksi, dan konsumsi minyak

bumi di Indonesia dapat dilihat dalam tabel 1.4. berikut;

2 Biro Riset LM FEUI. Analisis Industri Minyak dan Gas di Indonesia : Masukan Bagi

Pengelola BUMN. http://lmfeui.com

Page 7: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

7

Tabel 1.4. Kondisi Minyak Bumi di Indonesia Tahun 2006-2012

Sumber : Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, 2013

(diolah oleh Peneliti)

Tabel 1.4 di atas menunjukkan bahwa masih banyak cadangan minyak

yang dapat dimanfaatkan. Cadangan minyak dalam kelompok terbukti berupa

minyak bumi yang keberadaannya telah terbukti dan dapat dieksplorasi.

Sedangkan cadangan minyak dalam kelompok potensi masih berupa lokasi yang

diyakini ada cadangan minyak namun belum ditemukan. Pada faktanya, cadangan

minyak yang berstatus potensi dapat mengalami perubahan menjadi status

terbukti. Pengelolaan ladang minyak bumi di dalam negeri menjanjikan

keuntungan yang tinggi. Akan tetapi untuk dapat mengetahui potensi dan

mengelolanya diperlukan teknologi yang mahal, modal yang besar, faktor waktu

yang memadai dan memerlukan efisiensi yang maksimal serta ahli atau sumber

daya manusia terbaik.3

Tantangan untuk dapat mengolah dan mengelola cadangan minyak di

dalam negeri tersebut membutuhkan peran serta dari investor sebagai pemodal

dan pemerintah sebagai pembuat regulasi. Saat ini, Peraturan Pemerintah

mengenai usaha minyak dan gas bumi baik di sektor hulu maupun hilir belum

dapat menjamin investor untuk berinvestasi di dalam negeri. Hal ini disebabkan

karena masih ada permasalahan yang menjadi hambatan untuk berinvenstasi

antara lain lingkungan hidup, otonomi daerah dan peraturan perpajakan yang

3 Ibid.

Tahun

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Cadangan* 8,93 8,40 8,22 8,00 7,76 7,73 7,40

Terbukti 4,37 4,56 3,75 4,30 4,23 4,04 3,74

Potensial 3,99 4,41 4,47 3,70 3,53 3,69 3,66

Produksi ** 322.350 305.137 314.221 301.663 300.923 289.899 279.412

Konsumsi*** 386.148 423.326 515.151 397.366 397.318 - -

Ekspor ** 134.960 135.267 134.872 133.282 121.000 100.744 -

Impor** 116.232 115.812 92.175 120.119 101.093 96.039 -

* dalam milyar barel

** dalam ribu barel

*** dalam ribu Setara Barel Minyak (SBM); (BBM dan non-BBM)

Page 8: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

8

menyulitkan perusahaan untuk beroperasi. Padahal, konsumsi minyak bumi (BBM

dan non-BBM), sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 1.4, telah melebihi

kapasitas produksi. Data menunjukkan bahwa penyediaan minyak bumi dalam

negeri tidak dapat sepenuhnya dipenuhi oleh produksi dalam negeri segera harus

mengimpor dari negara lain. Selain itu, seiring dengan berjalannya waktu,

kebutuhan konsumsi minyak bumi akan terus meningkat, sedangkan ladang

minyak akan terus menua dan produksi menurun. Oleh karena itu, sangat

diperlukan kilang minyak baru yang harus dibangun dalam waktu dekat untuk

memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Salah satu alasan keengganan investor untuk berinvestasi adalah karena

adanya peraturan perpajakan yang dirasa memberatkan. Beban pajak yang

ditanggung oleh investor dalam kegiatan eksplorasi minyak bumi diantaranya

adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PPB). Peraturan mengenai Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) untuk industri minyak dan gas bumi saat ini menyatakan bahwa

keseluruhan Wilayah Kerja yang mencakup wilayah eksplorasi dan eksploitasi

dalam wilayah hukum pertambangan dikenakan PBB. Insentif yang diberikan saat

ini hanya sebatas pengecualian cara penentuan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)

untuk wilayah yang belum atau tidak meghasilkan yang berbeda dengan cara

penentuan NJOP untuk wilayah lainnya.

1.2. Pokok Permasalahan

Penentuan NJOP untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di daerah

pertambangan minyak bumi dilakukan dengan dibagi menjadi dua bagian yaitu

untuk permukaan bumi dan tubuh bumi. NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

untuk permukaan bumi ditentukan melalui harga rata-rata yang diperoleh dari

transaksi jual beli yang terjadi secara wajar atau perbandingan dengan obyek lain

yang sejenis. Sedangkan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk tubuh

bumi ditentukan dengan nilai jual pengganti yang dhitung berdasarkan hasil

perkalian angka kapitalisasi dengan hasil produksi minyak bumi dan harga

minyak bumi. Berdasarkan PMK 76/PMK.03/2013 , penentuan NJOP tersebut

tidak berlaku bagi wilayah yang belum atau tidak menghasilkan. Peraturan

perpajakan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sektor pertambangan

Page 9: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

9

minyak bumi saat ini belum memperhatikan kondisi penerimaan Kontraktor dari

usaha eksplorasi minyak bumi. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dikenakan atau ditanggung oleh KKKS

meskipun terdapat lahan atau sumur yang tidak menghasilkan. Selain itu, KKKS

harus menanggung beban PBB seluas Wilayah Kerja padahal dalam wilayah

tersebut belum tentu seluruhnya menghasilkan minyak bumi. Di dalam Wilayah

Kerja terdapat bangunan-bangunan lain yang digunakan untuk kegiatan selain

sektor pertambangan minyak bumi, seperti rumah sakit, perkebunan, sekolah dan

lain-lain, yang bukan merupakan kepentingan pemilik Wilayah Kerja tersebut.

Kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di wilayah eksplorasi

minyak bumi tidak sejalan dengan kebutuhan negara untuk meningkatkan

produksi dengan mengolah kilang minyak baru agar permintaan akan minyak

terpenuhi. Beban PBB di sektor minyak dan gas bumi, selain menyebabkan

keengganan investor untuk berinvestasi di Indonesia dirasa dapat mematikan

perusahaan yang telah ada saat ini. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan

perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan penerimaan

negara. Berdasarkan uraian tersebut, maka pokok permasalahan yang diangkat

oleh peneliti dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana implementasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor

pertambangan minyak dan gas bumi dalam kegiatan eksplorasi ?

2. Apa yang menjadi pertimbangan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) atas satu Wilayah Kerja?

3. Bagaimana implikasi pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

atas seluruh Wilayah Kerja terhadap industri minyak dan gas bumi

Nasional?

4. Apa alternatif kebijakan sebagai bentuk insentif pajak terhadap Pajak

Bumi dan Bangunan (PBB) Industri minyak dan gas bumi di

Indonesia?

Page 10: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

10

BAB II

KAJIAN LITERATUR

2.1. Kerangka Teori

2.1.1. Kebijakan Pajak

Menurut Mansury, kebijakan pajak merupakan pengertian kebijakan

fiskal dalam arti sempit. Hal ini juga terlihat dalam definisi kebijakan

fiskal atau fiscal policy menurut International Tax Glossary. International

Tax Glossary menyatakan bahwa fiscal policy is part of economic policy

which relates to taxation and public expenditure. Hal ini menunjukkan

bahwa kebijakan pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal.

Tujuan kebijakan perpajakan sama dengan tujuan kebijakan publik

pada umumnya, yaitu mempunyai tujuan pokok: peningkatan

kesejahteraan dan kemakmuran, distribusi penghasilan yang lebih adil, dan

stabilitas.4

Michael P. Devereux dalam Rosdiana mengatakan bahwa terdapat

isu-isu penting dalam kebijakan pajak adalah sebagai berikut,

a. What should the tax base be; or income, expenditure, or a

hybrid?

b. What should the tax rate schedule be?

c. How should international income flows be taxed?

d. How should environmental taxes be designed?5

Selain berbicara tentang tax base dan tax rates, isu yang juga harus

diperhatikan dari kebijakan pajak adalah tentang bagaimana mengukur

4 R. Mansury. Kebijakan Perpajakan. (Jakarta : Yayasan Pengembangan dan Penyebaran

Pengetahuan Perpajakan (YP4), 2000) h.5

5 Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. Perpajakan Teori dan Aplikasi. ( Jakarta : PT

RajaGrafindo Persada, 2005) h. 94

Page 11: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

11

kemampuan (ability to pay atau faculty to pay) dari Wajib Pajak, hak Wajib

Pajak serta kewajiban dari Wajib Pajak.6

Terlaksananya suatu kebijakan pajak tidak terlepas dari dua fungsi yang

dimiliki oleh pajak itu sendiri yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerend.

Fungsi budgetair atau yang dikenal sebagai fungsi mengisi kas negara

merupakan fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi kas negara

untuk pembiayaan kegiatan pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun

pembiayaan pembangunan. Fungsi ini pada hakikatnya merupakan fungsi

utama pajak.Fungsi regulerend atau yang dikenal sebagai fungsi mengatur

merupakan upaya pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu di luar bidang

keuangan, terutama banyak ditujukan terhadap sektor swasta. Kedua fungsi

pajak di atas merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan tidak

dapat dipisahkan satu sama lain. 7

2.1.2 Asas Perpajakan

Banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang asas-asas

perpajakan yang harus dilaksanakan.Salah satunya adalah pendapat dari

Adam Smith (1723-1790) yang merupakan bapak aliran ekonomi klasik,

menuliskan mengenai empat kaidah yang perlu diperhatikan dalam

pemungutan pajak. Dalam buku An Inquiry Into the Nature and Causes of

the Wealth of Nations atau sering disingkat The Wealth of Nations yang

ditulis pada tahun 1976, empat kaidah pemungutan pajak yang disebut four

maxims atau four canons, yaitu:

Asas equality, yang menekankan pada pentingnya keseimbangan

berdasarkan kemampuan masing-masing subjek pajak. Artinya, dalam

pemungutan pajak tidak ada hal diskriminasi antara sesama Wajib

Pajak.

6 Thuronyi, Victor. Tax Law Design and Drafting. (Washigton DC : International

Monetary Fund, 1998) h. 2

7 R. Mansury, Kebijakan Fiskal (Tangerang: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran

Pengetahuan Perpajakan, 1999), h. 2-3

Page 12: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

12

Asas certainty, yang ditekankan dalam asas ini adalah mengenai

kepastian pemungutan pajak yaitu kepastian mengenai hukum yang

mengaturnya, subjek pajak, objek pajak, dan kepastian mengenai tata

cara pemungutannya.

Asas convenience of payment, dalam asas ini ditekankan mengenai

pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi Wajib Pajak dalam

memenuhi kewajiban perpajakannya.

Asas Efficiency, asas ini menekankan pentingnya efisiensi pemungutan

pajak, artinya biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan

pajak tidak boleh lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut. Dalam

asas ini diberikan pengertian bahwa pemungutan pajak sebaiknya

memperhatikan mekanisme yang dapat mendatangkan pemasukan pajak

yang sebesar-besarnya dan biaya sekecil-kecilnya. 8

2.1.3 Konsep Property Tax

2.1.2.1 Pengertian Property tax

Property tax adalah salah satu pajak yang tertua dan lebih dikenal

terlebih dahulu di seluruh dunia.Property Tax sudah dikenal sejak Tahun

1800an. Jika dilihat dari sejarah dipungutnya property tax, pajak ini

didesain sebagai pajak atas penghasilan. Property tax juga merupakan

pajak yang lazim dipungut di berbagai negara di seluruh dunia. Definisi

mengenai property taxes mungkin dapat dilhat dari penjabaran Watkin

mengenai dasar pengenaan pajak dari property tax. Weston mengatakan

bahwa “a tax upon property becomes indirectly a tax upon persons, upon

personal productive capacity and ability, upon the economic means of

satisfying personal wants, and thus upon the entire personality of the

taxpayer” 9 Jika dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh Weston,

property tax dapat dikatakan bahwa pemajakan atas property sama halnya

8 Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis, Cetakan Keempat (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2005) h. 10-11.

9 Weston, Stephen F. Principle of Justice in Taxation. (New York : Columbia University

Press, 1903) h.47

Page 13: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

13

dengan pemajakan atas perseorangan secara tidak langsung. Pemajakan

atas perseorangan tersebut berdasarkan kapasitas produksi dan

kemampuan Wajib Pajak. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan atas

property tax harus juga memperhatikan kondisi subjektif dari Wajib Pajak.

Stotsky dan Yocelik mengatakan bahwa the taxation of land and

property may be justified on the grounds of both the benefits and ability to

pay principles of taxation .10

Bahkan, antara ability to pay atau faculty to

pay dengan property adalah suatu hal yang dapat dipertukarkan sejak

ability dijadikan dasar pemajakan.11

Property tax harus memiliki basis

pemajakan atau justifikasi. Berdasarkan justifikasi property tax yang

diungkapkan Stotsky dan Yocelik, dapat dilihat terdapat dua indikator

yang harus dipenuhi dalam property tax, yaitu : benefit dan ability to pay.

Sommerfeld mengatakan bahwa benefit principle dapat dilihat dari

manfaat yang disediakan pemerintah terkait barang publik. Semakin

banyak menikmati barang publik, semakin besar pajak yang harus

dibayar.12

Benefit Beberapa ahli yang mengikuti aliran Adam Smith

mengatakan bahwa benefit principle dapat diukur melalui penghasilan

yang didapatkan di bawah perlindungan negara.13

. Pada umumnya, benefit

principle dapat dikatakan sebagai prinsip kesetaraan antara manfaat yang

diterima oleh orang banyak (publik) dengan penerimaan yang didapatkan

dari pajak. Shome mengatakan bahwa benefit principle adalah generally,

however, the application of the benefit principle of taxation is justified

when it can be shown that the value of the benefits of publicly provided

goods equals the tax yield 14

10

Shome, Prathasarathi. Tax Policy Handbook. (Washington DC : Fiscal Affairs

Department International Monetary Fund, 1995), h. 185

11 Op.cit, h.176

12 Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan; edisi 3. (Jakarta : Granit Kelompok Yayasan Obor Indonesia, 2005) h.23

13 Op.cit, h.169

14 Shome, h. 185

Page 14: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

14

Indikator dari property tax yang kedua menurut Stotsky dan Yocelik

adalah ability to pay. International Tax Glossary menyatakan bahwa

“Ability to pay or taxable capacity (also known as the accretion

principle) is the theoritical amount of tax which each individual

taxpayer is able to contribute to his government and is based on

the principle that individuals with the higher income or greater

wealth should pay more tax that those with lower income or lesser

wealth. Ability to pay thus relates to the economic capacity of each

tax-payer as compare to the economic capacity of individuals in

different circumstances. In other word, ability to pay is more a

matter of a equitable distribution of the tax burden among

taxpayers then a tool to determine the actual amount that can be

paid by each individual taxpayer” 15

Konsep ability to pay berkaitan dengan kemampuan ekonomi dari tiap-tiap

Wajib Pajak. Berdasarkan definisi tersebut jelas terlihat kemampuan untuk

membayar ditentukan oleh seberapa besarnya penghasilasn atau

pendapatan yang didapat. Secara tidak langsung, prinsip ability to pay

terkait prinsip benefit. Benefit turut menentukan ability to pay, bukan

ability to pay yang menentukan benefit.

Pengenaan atas property tax bergantung pada penilaian atas property

berupa tanah, bangunan dan sebagainya. Akan tetapi, sebelum berbicara

mengenai bagaimana suatu property dinilai, hal yang lebih utama adalah

membahas kriteria property yang dikenakan pemajakan. Terdapat dua

kondisi dimana suatu property dapat dikenakan pajak, yaitu :

Pertama, property yang terpillih untuk dipajaki harus

mengindikasikan adanya pendapatan/penghasilan

15

Nurmantu, h. 23

Page 15: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

15

Kedua, tingkatan kepastian dari nilai atau value dapat dipastikan,

sementara penghasilan tidak sebanding dengan nilai property 16

Kondisi pertama yang dikatakan oleh Weston senada dengan justifikasi

property tax yang dikatakan oleh Stotstky dan Yocelik. Adanya benefit

dan ability to pay principle dapat dilihat dari penghasilan sehingga

pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dijalankan.

2.1.2.2 Penilaian (Valuation) Property Tax

Property tax memiliki tiga jenis dasar bentuk pemajakan. Ketiga

jenis pemajakan ini menentukan apa yang menjadi dasar pengenaan pajak

atau base. Setidaknya terdapat tiga jenis property tax yang nantinya akan

menentukan jenis properti dan dasar pengenaan pajaknya. Bahl

mengungkapkan bahwa the property tax may be levied on the annual or

rental value of the property, the capital value of land and improvements,

or the site value land.17

Pembedaan jenis property tax juga akan

menentukan sistem perpajakan yang mencakup perbedaan struktur tarif

dan yang paling terpenting adalah praktik penilaian atau assessment.

Pada annual value atau rental value, dapat dikatakan sebagai

pemajakan atas penghasilan tahunan dari properti. Under the annual value

system, the tax is based on an estimate of the annual net rental value from

the use of the property. Net rental value is usually derived from income

flows, with some adjustments, or from capital values. 18

Pada capital value

system, penilaian atau assessment bergantung pada perubahan atau

perbaikan terhadap tanah dan bangunan (properti). Pada beberapa negara,

assessment terhadap perubahan atau perbaikan tanah dan bangunan

(properti) dilakukan secara terpisah. Namun pada beberapa negara lain,

assessment antara perubahan tanah dan bangunan (properti) dijadikan satu

16

Weston, h.268

17 Bahl, Roy W. dan Johannes F. Linn. Urban Public Finance in Developing Countries.

(New York : Oxford University Press Inc, 1992) h.83

18 Shome, h.185

Page 16: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

16

kesatuan. Pada capital value system, terdapat pengklasifikasian dari tanah

yang ada. Hal ini terlihat pada pendapat Bahl yang menyatakan bahwa the

process typically starts with a classification of land according to location,

amenities, and/or use.19

Pada capital value system, adanya klasifikasi dan

dua cara lainnya membuat metode assessment lebih rumit jika

dibandingkan rental value system. Capital value system menggunakan

beberapa sumber informasi untuk menilai sebuah properti. Capital value

system menggunakan sistem assessment yang terpusat.

Site valuation merupakan bagian dari capital value system.

Assessment pada site valuation hanya dilakukan pada bangunan atau tanah

yang menjadi dasar pengenaan pajak. Site valuation mendorong adanya

penggunaan tanah dengan efisien. Hal ini senada dengan yang

diungkapkan oleh Bahl bahwa this form of taxation is straightforward : if

only the land is taxed, the owner will have no disincentive to developing

the land to its most efficient use. 20

2.1.3 Tax Incentives

Kebijakan perpajakan di berbagai negara ditentukan dengan

mempertimbangkan banyak sektor, termasuk adanya kemudahan bagi

Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Stotsky dalam

Easson mengemukakan bahwa tax incentives adalah

“a special tax provision granted to qualified investment projects

(however determined) that represents a statutorily favorable

deviation from a corresponding provision applicable to investment

project in general (i.e projects that receive no special tax provision).

An implication of this definition is that any tax provision that is

applicable to all investment projects does not constitute a tax

incentive ... In effective term, a tax incentive would be a special tax

19

Op.Cit, h.95

20 Op.Cit, h. 96

Page 17: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

17

provision granted to qualified investment projects that has the effect

of lowering the effective tax burden – measured in some way – on

those projects, relative to effective tax burden that would be borne

by investors in the absence of the special tax provision” 21

Dalam definisi di atas disebutkan bahwa tax incentives memiliki dua

definisi dalam statutory dan effective term. Kedua definisi tersebut

mengungkapkan bahwa tax incentive merupakan pengurangan beban pajak

dari beban pajak yang seharusnya. Dalam konferensi berbagai negara di

New York dan Jenewa, tax incentives didefinisikan sebagai “as any

incentives that reduce the tax burden of enterprises in order to induce

them to invest in particular projects or sectors. 22

Tax incentives dapat

memiliki berbagai bentuk atau model, misalnya tax holiday, zero rated

atau exemption, dan investment allowances.

2.2. Tinjauan Literatur Internasional

Peningkatan konsumsi dan kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak dan

bentuk lain dari berbagai energi menyebabkan Pemerintah membuat insentif pajak

agar dapat meingkatkan upaya penggunaan energi alternatif. Garrison

mengungkapkan bahwa terdapat beberapa tipe insentif pajak yang dapat diberikan

antara lain :

a. Insentif Pajak Badan/ Perusahaan (Corporate Tax Incentives)

Corporate Tax Incentives termasuk di dalamnya adalah tax

deductions (pengurangan pajak), tax credits (kredit pajak), dan tax

exemptions (pengeculian pajak).

b. Insentif Pajak Perorangan (Personal Tax Incentives)

21

Easson, Alex. Tax Incentives For Foreign Direct Investment. (CN The Haque : Kluwer

Law International, 2004) h. 2

22 UNCTAD. (2000). Tax incentives and foreign direct investment, a global survey.

United Nations. Febuari 6, 2012. http://www.unctad.org.en

Page 18: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

18

Personal Tax Incentives sama seperti dengan Corporate Tax

Incentives, yaitu di dalamnya terdapat tax deductions (pengurangan

pajak), tax credits (kredit pajak), dan tax ecemptions (pengeculian

pajak).

c. Insentif Pajak Properti (Property Tax Incentives)

Insentif Pajak Properti dapat diberikan dalam bentuk exemptions,

exclusions, dan credits.

d. Insentif Pajak Penjualan (Sales Tax Incentives)

Insentif Pajak Penjualan dapat diberikan dalam bentuk tax

exemptions.

e. Insentif lainnya (Other Incentives)

Insentif pajak ini termasuk mengenai hibah, pinjaman, atau dalam hal

produksi.

Dalam jurnal ini, Larry membandingkan berbagai tax incentives yang

diberikan oleh Pemerintah di negara-negara bagian Amerika untuk menunjang

produksi energi alternatif. 23

23

Larry R. Garrison. (2013). Going ‘Green’: State Tax Incentives and Alternative Energy-

An Update. Januari- Februari 2013.

Page 19: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

19

BAB III

PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum

Industri Migas merupakan sebuah usaha yang memiliki tahapan yang

panjang dan terintegrasi penuh (fulli intergrated oil company). Tahapan usaha

tersebut dibagi menjadi tujuh tahap sesuai dengan teknik produksinya yaitu

eksplorasi, eksploitasi (produksi), pengilangan (Pengolahan), penimbunan,

transportasi, pemasaran, dan distribusi. Kegiatan di industri migas dibedakan

menjadi kegiatan hulu (upstream) yang merupakan jenis usaha pertambangan,

meliputi eksplorasi dan eksploitasi serta kegiatan hilir (downstream) yang

merupakan jenis usaha Industri, meliputi pengolahan, penyulingan, pemasaran

dan distribusi.

Usaha hulu migas di Indonesia, yaitu eksplorasi dan eksploitasi, sering

dikelola bersama sebagai usaha terintegrasi yang dapat dipisahkan dari tahapan

usaha migas yang lainnya. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di sektor usaha

hulu merupakan tahapan usaha yang memiliki tingkat resiko usaha paling tinggi.

Perusahaan sumber daya alam biasanya terlibat dalam empat aktivitas, yaitu24

:

a. Penguasaan tanah yang mengandung sumber daya alam (mineral

property acquisition)

b. Eksplorasi sumber daya alam yang terkandung di dalam tanah yang

dikuasai (exploration for oil and gas/steam reserves on the property)

c. Pengeboran dan pembangunan sarana untuk mengeskploitasi sumber

daya alam (drilling and development of properties)

d. Produksi/ekstraksi sumber daya alam (production.extraction of the

minerals)

24

Grace. F. Johnson, Oil and gas Producing Companies, dalam Tom M. Plank and Louis R. Plank, Encyclopedia of accounting systems (2nd Eddition) Vol.2, Pentice Hall,

Englewood Cliffs, New Jersey, 1994, h.891

Page 20: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

20

Kegiatan eksplorasi adalah kegiatan usaaha mencari cadanagan migas

yang ada dalam perut bumi. Kegiatan eksplorasi ditujukan untuk mendapatkan

penemuan cadangan minyak baru sebagai hidro karbon yang telah diproduksi.

Eksplorasi dilakukan dengan cara mempelajari suatu wilayah untuk menemukan

kemungkinannya yang dilanjutkan dengan penelitian yang lebih detail, kemudian

dilakukan pemetaan perut bumi. Setelah tahap tersebut, maka dilanjutkan dengan

pengeboran untuk mengetahui contoh lapisan tanah untuk dapat memperkirakan

resiko dan jumlah cadangan minyak dan gas bumi di dalamnya. Apabila cadangan

minyak bumi dianggap mencukupi, baru kemudian dilakukan kegiatan produksi

atau eksploitasi. Kegagalan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas sangat

mungkin dan sering terjadi meskipun telah menghabiskan modal yang besar.

kegiatan eksplorasi dan eksplotasi di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah melalui

Pertamina yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan cara

operasi sendiri dan kerjasama dengan pihak ketiga. Kerjasama dalam bidang

migas berupa Kontrak Production Sharing memiliki variasi antara lain:25

a. JOB (Joint Operation Body), yaitu kerjasama anatara Pertamina dan

perusahaan swasta dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi migas serta

panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik.

b. (technical Assistance Contract), yaitu kerjasama antara Pertamina dan

perusahaan swasta dalam rangka merehabilitasi sumur-sumur lama

atau lapangan yang ditinggalkan dalam wilayah kuasa pertambangan

Pertamina.

c. (Enhanced Oil Recovery, yaitu kerjasama antara Pertamina dan

perusahaan swasta dalam rangka meningkatkan produksi minyak pada

sumur dan laoangan yang masih dioperasikan Pertamina tetapi sudah

menglami penurunan produksidengan menggunakan teknologi tinggi

mepliputi usaha secondary dan tertiary recovery.

25

The Indonesia Production Sharing Contract, Directorate E&P Pertamina, p.14 dalam

Shinta Nurzana Permata Irwandy, (2005). Pengenaan Pajak Atas Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia (Analisis Pasal 31 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

Tentang Minyak dan Gas Bumi). Skripsi Program Sarjana FISIP UI. Tidak Diterbitkan

Page 21: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

21

Pelaksanaan pola kontrak production saring dalam pertambangan minyak

dan gas bumi diatur dalam Pasal 6 ayat 1 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan gas bumi yang menyebutkan bahwa kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan

dikendalikan melalui kontrak kerja sama, yaitu kontrak production sharing.

Kontrak production sharing merupakan kontrak perjanjian kerja sama natara

pemerintah melalui Badan Pelaksana Migas dengan perusahaan asing selakuu

kontrakyor untk melaksanakan usaha eksplorasi dan ekploitasi bahan galian migas

berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi. Dalam penjelasan Undang-Undang

tersebur, kontrak production sharing harus memuat persyaratan berupa:

a. Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai

pada titik penyerahan penjualan migas

b. Pengendalian manajemen operasi yang berupa persetujuan atas rencana

dan anggaran, rencana pengembangan lapangan serta pengawasan dari

realisasi rencana berada pada Badan Pelaksana

c. Modal dan resiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau

Bentuk Usaha tetap.

Berdasarkan konsep kontrak production sharing, maka hasil produksi

migas di Indonesia adalah hasil usaha Pertamina dalam kegiatan ekplorasi dan

eksploitasi yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan usaha sendiri atau

dengan kerjasama yaitu kontrak production sharing. Dengan adanya pola kontrak

production sharing, maka mengindarkan beban resiko investasi dari Pertamina

dan diharapkan dapat menarik swasta untuk berinvestasi dengan adanya

pembagian hasil produksi.

Dasar hukum yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi adalah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan

kegiatan usaha minyak bumi berdasarkan asas ekonomi kerakyatan yang

membawa kemakmuran bersama serta berwawasan lingkungan. Tujuan usaha

minyak dan gas bumi adalah untuk menjamin efisiensi dan efektivitas serta

mengembangkan kemampuan nasional untuk menyediakan minyak dan gas bumi

Page 22: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

22

baik sebagai sumber energi maupun bahan baku. Dalam menjalankan usaha

minyak dan gas bumi bahwa kekayaan nasional atas sumber daya tersebut

menjadi kuasa negara dimana kegiatan usaha hulunya dilakukan dengan melalui

Kontrak Kerja Sama. Kontrak Kerja Sama menyebutkan bahwa kepemilikan

sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan,

pengendalian manajemen operasi pada Badan Pelaksana dari Pemerintah serta

modal dan risiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha

Tetap. Usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan melalui kontrak kerjasama

dalam hal usaha hulu dan izin usaha dalam hal usaha hilir. Berkaitan dengan Pasal

31 tentang penerimaan negara menyebutkan bahwa Badan Usaha atau Bentuk

Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha hulu wajib membayar

penerimaan negara berupa pajak dan Penerimaan negara bukan pajak.

4.2. Analisis Kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Daerah

Pertambangan dalam Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi

Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam kegiatan Usaha hulu

minyak dan gas bumi atau dapat berupa kontraktor memiliki kewajiban yang

harus dipenuhi terkait dengan penerimaan negara sebagaimana telah dijelaskan

dalam sub bab gambaran umum. Kewajiban Badan Usaha atau Bentuk Usaha

Tetap dalam Penerimaan negara berupa pajak adalah termasuk pajak-pajak, bea

masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah.

Sedangkan kewajiban atas penerimaan negara bukan pajak antara lain adalah

bagian negara atas usaha minyak dan gas bumi, pungutan negara yang berupa

iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi, serta bonus-bonus. Kewajiban

Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam kegiatan usaha hilir minyak dan gas

bumi pun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001. Badan Usaha

yang melaksanakan kegiatan usaha hilir diwajibkan membayar pajak, bea masuk

dan pungutan lain atas impor, cukai, pajak daerah dan retribusi daerah, serta

kewajiban lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Penerimaan pajak yang merupakan komponen penerimaan negara

tersebut merupakan salah satu bentuk fungsi pajak yaitu fungsi budgetair. Namun,

pemenuhan fungsi pajak tersebut tetap harus memerhatikan prinsip pemungutan

Page 23: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

23

pajak yaitu adequacy. Prinsip pemungutan pajak tersebut mengungkapkan bahwa

pemungutan pajak harus dapat mencapai kecukupan untuk memenuhi pengeluaran

negara. Namun, pemenuhan kecukupan tersebut juga harus memerhatikan prinsip

yang lain yaitu elasticity agar dapat menghadapi tantangan perubahan dan

perkembangan ekonomi.

Kewajiban perpajakan bagi Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam

kegiatan usaha minyak dan gas bumi salah satunya adalah Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) yang merupakan salah satu bentuk property tax. Meskipun

kepemilikan lahan yang menjadi tempat kegiatan usaha adalah tetap menjadi milik

Pemerintah Indonesia, namun penguasaan dilakukan oleh Badan Usaha atau

Bentuk Usaha Tetap. Sehingga pembebanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

ditanggung oleh badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Pemungutan Pajak Bumi

dan Bangunan (PBB) ini merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kas negara

atau penerimaan negara. Namun, apabila penerapannya tidak dilakukan dengan

memerhatikan kondisi Wajib Pajak yang diseimbangkan dengan ekonomi negara

dapat berakibat justru kekosongan atau kehilangan potensi penerimaan kas negara

dari sektor tersebut. Pemerintah dalam menerapkan pajak tidak hanya fokus pada

penerimaan pajak yang sebesar-besarnya namun juga kondisi Wajib Pajak. Jika

fokus Penerimaan pajak yang sebesar-besarnya tersebut justru dapat

mengakibatkan Wajib Pajaknya ‘mati’. Sehingga konsekuensinya justru

belawanan dengan tujuan pemungutan pajak yaitu hilangnya penerimaan dari

sektor pajak tersebut karena Wajib Pajaknya tidak mampu mempertahankan

eksistensi.

Di sisi lain, dengan hilangnya atau tidak adanya Badan Usaha atau

Bentuk Usaha Tetap yang mengusahakan kegiatan pertambangan minyak dan gas

bumi, Indonesia akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan minyak

dan gas bumi serta hilangnya juga potensi penerimaan negara bukan pajak dari

sektor minyak dan gas bumi akibat tidak adanya perdagangan atas komoditi

tersebut. Neraca perdagangan internasional pun menjadi semakin tidak seimbang

karena adanya pembengkakan impor minyak dan gas bumi. Konsekuensinya,

penerimaan negara turun namun terjadi peningkatan pengeluaran negara. Artinya,

Page 24: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

24

penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari sektor minyak dan gas bumi

menjadi tidak sebanding dengan dampak ekonomi yang ditimbulkan seperti

turunya produksi, investasi dan ekspor serta penambahan impor. Implikasi

pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang besar tersebut dijelaskan oleh

Gde Pradyana sebagai berikut;

“Jadi begini, jangan kita berpikir secara sektoral. Kami mengerti bahwa

teman-teman dari pajak menginginkan penerimaan pajak sebesar-

besarnya. Tapi kalau penerimaan pajak sebesar-besarnya tadi malah

mengakibatkan wajib pajaknya mati, ya pajaknya akhirnya tidak dapat

juga. “26

Penerapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan yaitu

untuk sektor minyak dan gas bumi saat ini pelaksanaannya diatur berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 76/PMK.03/2013 jo. PMK 15/PMK.03/2012.

Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan minyak dan

gas bumi dengan melihat kepada masing-masing area yaitu area produktif, area

belum atau tidak produktif dan area emplasemen. Berikut contoh penghitungan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan minyak dan gas bumi;27

Contoh :

PT. Mutiara, sebuah usaha tambang minyak bumi yang beroperasi di pedalaman

Kalimantan menguasai atau memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan dengan

rincian sbb:

A. Bumi (Tanah )

a.Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp300,-/M2

b.Areal Belum Produktif : 300 Ha; Nilai = Rp200,-/M2

c.Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp150,-/M2

26

Tarik Ulur Pembebasan Pajak Eksplorasi Migas. (2013). Februari 11, 2013.

http://migasreview.com

27 Darwin, Pengenaan PBB Pertambangan Minyak dan Gas Bumi .(2012). Widyasiswara

Utama Pusdiklat Pajak. http:// bppk.depkeu.go.id

Page 25: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

25

d.Areal Pengaman: 1 Ha; Nilai = Rp150,-/M2

e.Areal Emplasemen :

1.Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp900,-/M2

2.Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp900,-/M2

3.Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp1.000,-/M2

4.Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp1.100,-/M2

B. Bangunan :

1. Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2

2. Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp429.000,-/M2

3. Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp505.000,-/M2

4. Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp595.000,-/M2

C. Hasil penjualan minyak bumi setahun sebagai berikut:

1. Triwulan pertama produksi sebesar: 25.000 barrel dengan harga US $45

per barrel

2. Triwulan kedua produksi sebesar: 30.000 barrel dengan harga US $46 per

barrel

3. Triwulan ketiga produksi sebesar 33.000 barrel dengan harga US $45,5 per

barrel

4. Triwulan keempat produksi sebesar 34.000 barrel dengan harga US $46

per barrel.

Angka Kapitalisasi = 9,5

Kurs yang berlaku: 1 US $ = Rp9.150,00

Hitung Pajak Bumi dan Banguna (PBB) yang menjadi kewajiban PT.Mutiara

tersebut apabila NJOPTKP ditentukan sebesar Rp12.000.000,00

Maka, penghitungan Pajak Bumi dan Bangunannya adalah sebagai berikut:

Page 26: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

26

Hasil Penjualan minyak bumi setahun sebagai berikut:

Triwulan pertama: 25.000 x 45 x 9.150 = Rp10.293.750.000,-

Triwulan kedua: 30.000 x 46 x 9.150 = Rp12.627.000.000,-

Triwulan ketiga: 33.000 x 45,5 x 9.150 = Rp13.738.725.000,-

Triwulan keempat: 34.000 x 46 x 9.150 = Rp14.310.600.000,- +

Total hasil penjualan setahun = Rp50.970.075.000,-

A. NJOP Bumi:

a. Tubuh bumi eksploitasi = 9,5 x 50.970.075.000 = Rp484.215.713.000,-

b. Areal Produktif = 200 x 10.000 x 300,- = Rp 600.000.000,-

c. Areal Belum Produktif = 300 x 10.000 x 200 = Rp 600.000.000,-

d. Areal Tidak Produktif: 100 x 10.000 x 150 = Rp 150.000.000,-

e. Areal Pengaman = 1 x 10.000 x 150 = Rp 1.500.000,-

f. Areal Emplasemen:

1. Pabrik: 20 x 10.000 x 900 = Rp 180.000.000,-

2. Gudang: 2 x 10.000 x 900 = Rp 18.000.000,-

3. Kantor: 10.000 x 1.000 = Rp 10.000.000,-

4. Perumahan: 5 x 10.000 x 1.100 = Rp 55.000.000,-

Jumlah Nilai Bumi: = Rp485.830.213.000,-

Nilai Bumi/M2 = 485.830.213.000/6.290.000 = Rp77.238,51

Hasil konversi: Kelas 105 = Rp78.000,-/M2

NJOP Bumi seluruhnya = 6.290.000 x Rp78.000 = Rp490.620.000.000,-

Page 27: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

27

B. NJOP Bangunan:

1. Pabrik: 50.000 x 365.000 = Rp 18.250.000.000,-

2. Gudang: 5.000 x 429.000 = Rp 2.145.000.000,-

3. Kantor: 2.000 x 505.000 = Rp 1.010.000.000,-

4. Perumahan: 10.000 x 595.000 = Rp 5.950.000.000,-

Jumlah Nilai Bangunan: = Rp 27.355.000.000,-

Nilai Bangunan/M2 = 27.355.000.000/67.000 = Rp408.283,58

Hasil konversi: Kelas 082 = Rp408.000,-/M2

NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x Rp408.000,- = Rp27.336.000.000,-

Jumlah total NJOP Bumi dan Bangunan: = Rp517.956.000.000,-

NJOPTKP: = Rp 12.000.000,- -

NJOP untuk perhitungan PBB: = Rp517.944.000.000,-

PBB= 0,5% x 40% x 517.944.000.000 = Rp1.035.888.000,-

Contoh penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) minyak dan gas bumi

tersebut menunjukkan bahwa beban Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) masih

cukup besar yang harus ditanggung oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.

Insentif Pajak untuk sektor pertambangan minyak dan gas bumi pada

dasarnya telah diberikan oleh Pemerintah. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah

dalam bentuk pengembalian biaya operasional yang dikeluarkan oleh industri hulu

minyak dan gas bumi. Insentif pajak tersebut berkaitan dengan Pajak Penghasilan

Page 28: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

28

yang dipungut berdasarkan penghasilan netto yaitu penghasilan setelah dikurangi

oleh biaya. Biaya operasional yang dapat dikembalikan, dalam arti mendapat

pengembalian dari Pemerintah, berlaku bagi kontrak bagi hasil dan kontrak jasa di

bidang usaha hulu minyak dan gas bumi. Peraturan yang mengatur mengenai cost

recovery atau biaya yang dapat diganti tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan

Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Berdasarkan peraturan tersebut, dalam Pasal 11 menerangkan mengenai biaya

operasi yang dapat dikembalikan yaitu antara lain adalah biaya umum dan

administrasi termasuk di dalamnya pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak. Namun,

pajak yang dapat dikembalikan hanya pajak tidak langsung, pajak daerah, dan

retribusi daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor

28 Tahun 2009, pajak daerah yang dipungut pemerintah daerah antara lain Pajak

Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor(PBBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak

Air Permukaan, Pajak Rokok, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak

Reklame, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air

Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan

Perkotaan (PBB P2) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Maka,

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah Pertambangan bukan merupakan Pajak

Daerah, melainkan Pajak Pusat yang dipungut oleh pemerintah pusat. Sehingga

insentif pajak yang diberikan oleh Pemerintah masih berupa insentif Pajak

Penghasilan, belum mencakup Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah

pertambangan. Hal ini menunjukkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

masih menjadi beban bagi pengusaha atau kontraktor minyak dan gas bumi di

Indonesia.

Perumusan kebijakan pajak dengan memerhatikan asas-asas pajak

sebagaimana yang diungkapkan oleh Adam Smith yang salah satunya adalah asas

convenience yaitu di mana pemungutan pajak dilakukan di saat yang baik.

Berdasarkan asas ini, maka pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) harus

Page 29: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

29

memerhatikan kondisi Wajib Pajak. Sedangkan dalam Undang-Undang

menyebutkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tetap dipungut meskipun

masih dalam kegiatan eksplorasi yaitu usaha untuk mencari minyak dan gas bumi.

Pengecualian hanya diberikan untuk penetapan NJOP selama daerah tersebut

belum atau tidak menghasilkan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelunnya, bahwa

pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah pertambangan dikenakan

untuk seluruh wilayah kerja, termasuk yang tidak berkaitan dengan kegiatan

utama pertambangan. Padahal, dengan adanya sumur yang tidak atau belum

menghasilkan maka ada potensi penghasilan yang hilang. Kondisi tersebut

menjadi salah satu kondisi buruk dari kontraktor. Ditinjau dari asas convenience,

pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) daerah Pertambangan belum

memerhatikan kondisi Wajib Pajak. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) semakin

dirasa menjadi beban bagi para kontraktor dalam menjalankan usaha hulu minyak

dan gas bumi di Indonesia, sehingga hal ini dapat menjadi hambatan dalam

mengembangkan industri minyak dan gas bumi nasional.

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi merupakan usaha jangka panjang

yang membutuhkan modal besar dan berisiko tinggi. Sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya bahwa proses industri hulu minyak dan gas bumi harus

melalui beberapa tahapan yang penuh ketelitian. Tahapan yang dilalui

membutuhkan modal uang, tenaga, dan alat yang banyak namun hasilnya masih

belum dapat dipastikan. Risiko kegagalan dalam menemukan ladang minyak yang

mana masih dalam tahapan eksplorasi menjadi beban tersendiri bagi kontraktor.

Jika pada akhirnya, dalam suatu wilayah belum menghasilkan minyak dan gas

bumi, maka ada penghasilan yang belum atau tidak diterima. Hal ini

menyebabkan beban kontraktor semakin bertambah disamping modal dan risiko

yang besar.

Pertimbangan rencana insentif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga

berkaitan dengan adanya kemungkinan terjadinya overlapping pemungutan pajak.

Suatu wilayah kerja yang digunakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap

dapat mencakup perkebunan, sekolah, dan lainnya selain sumur minyak dan

wilayah yang memang digunakan untuk kegiatan pertambangan. Wilayah selain

Page 30: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

30

sumur yang berkaitan dengan kegiatan minyak dan gas bumi telah dipungut

pajaknya, oleh sebab itu jika perusahaan minyak dan gas bumi harus

membayarkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam satu wilayah kerja dapat

menimbulkan pemungutan pajak berlapis sebagaimana diungkapkan oleh Gde

Prayana, Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak

dan Gas Bumi (SKK Migas), sebagai berikut;

“Aturan yang sekarang menyebutkan bahwa seluruh WK dikenai pajak.

Contohnya begini, ada perusahaan migas memiliki 1 hektare WK. Tapi,

di atas WK tersebut ada kegiatan lain selain sektor migas, seperti rumah

sakit, perkebunan, sekolah, dan lain sebagainya. Apakah si pemilik WK

harus membayar pajak atas kegiatan yang tidak ada hubungan dengan

kepentingannya? Satu blok WK bisa ribuan kilometer atau bisa seluas

DKI Jakarta padahal lahan yang perlu dibebaskan hanya seluas whale

pen (kepala sumur pengeboran) sekitar 1-2 hektare. Kalau ditambah

dengan fasilitas produksi lainnya bisa mencapai 10-15 hektare. Sehingga,

itu saja yang perlu dibayarkan pajaknya.. Selama fasilitas tersebut

digunakan untuk kepentingan migas, maka harus dibayarkan pajaknya.

Yang terjadi sekarang adalah over lapping pajak, di mana perusahaan

migas membayar satu WK, yang mana di atas lahan tersebut, misalnya,

ada kegiatan perkebunan dan lain-lainnya. Padahal, yang punya

perkebunan dan kegiatan lainnya tersebut juga sudah bayar

pajak. Kan jadi dobel pajaknya” 28

Insentif pajak yang diharapkan atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

masih dipertimbangkan dengan berbagai alternatif. Apabila dilakukan dengan

kebijaka zero rate maka Wajib Pajak masih harus mengurus mengenai masalah

administrasi dengan tetap melaporkan pajaknya meskipun tarifnya o%. Atau dapat

dilakukan pula dengan tax excemption. Hal ini dapat dilakukan dengan

mengecualikan daerah yang tidak berkaitan dengan usaha eksplorasi minyak dan

gas bumi dalam penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Maka,

perusahaan akan tetap menanggung beban Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

hanya dari lahan sumur-sumur minyak saja. Selain itu, Pemerintah juga dapat

mengambil kebijakan yaitu berupa penghapusan Pajak eksplorasi yang termasuk

di dalamnya adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

28

Ibid.

Page 31: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

31

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan

Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk sektor

pertambangan minyak dan gas bumi di wilayah eksplorasi masih dengan

menghitung daerah tersebut sebagai obyek Pajak. Pemungutan Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) dikenakan dalam satu wilayah kerja yang terdiri atas wilayah-

wilayah untuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi maupun wilayah lain yang tidak

berkaitan dengan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.pengenaan pajak

bumi dan bangunan (PBB) atas satu wilayah kerja dilakukan atas dasar

pemenuhan fungsi pajak yaitu fungsi budgetair. Fungsi budgetair adalah fungsi

pajak untuk memenuhi kas negara (penerimaan negara). Pengenaan Pajak Bumi

dan Bangunan (PBB) atas satu wilayah kerja menjadi beban pajak yang cukup

besar bagi perusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia. Hal ini dapat

berimplikasi terhadap keengganan kontraktor atau investor untuk melakukan

usaha di bidang minyak dan gas bumi. Akibatnya, dapat terjadi penurunan jumlah

produksi minyak dan gas bumi nasional padahal konsumsi terus meningkat.

Kelangkaan minyak dan gas bumi nasional akan berpengaruh terhadap harga

minyak nasional dan pembengkakan impor serta penurunan ekspor. Negara akan

mengalami dampak ekonomi yaitu hilangnya potensi Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) itu sendiri dan dari sektor non pajak atas minyak dan gas bumi akibat

penurunan jumlah investor. Insentif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diperlukan

agar produksi minyak dapat digenjot. Alternatif kebijakan yang dapat diambil

adalah zero rate, tax excemption, atau penghapusan pajak.

4.2. Saran

Untuk pemerintah, insentif pajak diharapkan dapat segera diberikan atau

diterapkan dalam hal pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari sektor

pertambangan minyak dan gas bumi sehingga dapat menjadi salah satu daya tarik

bagi investor untuk bekerja sama dalam hal produksi minyak dan gas bumi.

Page 32: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

32

DAFTAR REFERENSI

Buku

Bahl, Roy W. dan Johannes F. Linn. (1992). Urban Public Finance in Developing

Countries. New York : Oxford University Press Inc

Easson, Alex. (2004). Tax Incentives For Foreign Direct Investment. CN The

Haque : Kluwer Law International

Johnson, Grace. F. (1994). Oil and gas Producing Companies, dalam Tom M.

Plank and Louis R. Plank, Encyclopedia of accounting systems (2nd

Eddition) Vol.2, Pentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Mansury, R. (2000). Kebijakan Perpajakan. Jakarta : Yayasan Pengembangan dan

Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4)

Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan; edisi 3. Jakarta : Granit

Kelompok Yayasan Obor Indonesia

Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. (2005). Perpajakan Teori dan Aplikasi.

Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Shome, Prathasarathi. (1995). Tax Policy Handbook. Washington DC : Fiscal

Affairs Department International Monetary Fund

Thuronyi, Victor. (1998). Tax Law Design and Drafting. Washigton DC :

International Monetary Fund

Weston, Stephen F. (1903). Principle of Justice in Taxation. New York :

Columbia University Press

Jurnal

Garrison , Larry R. (2013). Going ‘Green’: State Tax Incentives and Alternative

Energy-An Update. Januari- Februari 2013., 27-54.

http://deepwebaccessui.ui.ac.id

Page 33: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

33

Karya Akademis

Irwandy, Shinta Nurzana Permata. (2005). Pengenaan Pajak Atas Industri Hulu

Minyak dan Gas Bumi di Indonesia (Analisis Pasal 31 Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi). Skripsi Program

Sarjana FISIP UI. Tidak Diterbitkan.

Lainnya

Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan

Bangunan.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya

Operasi yang Dapat Dikembalikan

Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013

tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan

Untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi dan Panas Bumi.

Internet

Biro Riset LM FEUI. Analisis Industri Minyak dan Gas di Indonesia : Masukan

Bagi Pengelola BUMN. http://lmfeui.com

BP. (2012). Statistical Reciew of World Energy 2012. http://bp.com

Darwin. Pengenaan PBB Pertambangan Minyak dan Gas Bumi .(2012).

Widyasiswara Utama Pusdiklat Pajak. http://bppk.depkeu.go.id

Ini Dia 10 Negara Penghasil Minyak Terbesar di Dunia. (2012). April 27, 2012.

http://finance.detik.com

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2012).

Statistik Minyak Bumi. Agustus, 2012. http://esdm.go.id

Page 34: Bab 1-4 Analisis Kebijakan Pbb Migas

34

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2013). Data Pokok APBN 2007-

2013. http://depkeu.go.id

Tarik Ulur Pembebasan Pajak Eksplorasi Migas. (2013). Februari 11, 2013.

http://migasreview.com

BPS. (2013). Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha.

http://www.bps.go.id

UNCTAD. (2000). Tax incentives and foreign direct investment, a global survey.

United Nations. Febuari 6, 2012. http://www.unctad.org.en