bab 1-2 - teori
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes (1809-1894), yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat
dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.1 Davy (1800), seorang ahli
kimia yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat kimia tertentu seperti
oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius.2 Walaupun dokter yang pertama kali
menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika Serikat,
karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika menyebutkan
bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton karena Morton secara
demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit di depan umum pada tahun
1846.
Pada tahun 1848, di Inggris tercatat J.Y. Simpson dan John Snow yang banyak
mengembangkan anestesi.3 Eter waktu itu banyak digunakan untuk membantu
persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson dan asistennya
banyak bereksperimen dengan bahan–bahan kimia untuk mencari anestesi yang
efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri.
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose
umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.10
Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang
memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada
kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-
lain. Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan
kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama
penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk
meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi
dilakukan.2
Secara garis besar ada empat hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca
anestesi, yaitu: masalah pernapasan, kardiovaskular, keseimbangan cairan, sistem
1
persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal. Harus diperhatikan bahwa komplikasi
anestesi yang tidak segera ditangani akan berdampak kematian bagi pasien. Beberapa
komplikasi lain yang mungkin terjadi antara lain: pernapasan tidak adekuat,
pneumotorakis, atelektasis, hipotensi, gagal jantung, embolisme pulmonal,
pemanjangan efek sedatif premedikasi, trombosis jantung, cedera kepala, sianosis,
konfulsi, mual muntah, embolisme lemak, dan keracunan barbiturat.3
Pasien yang baru saja menjalani tindakan operasi harus dirawat sementara di
PACU (Post Anesthesia Care Unit) atau ruang pemulihan (recovery room) untuk
perawatan post anestesi sampai kondisi pasien stabil. Kegiatan pemantauan anestesi
antara lain untuk mendapatkan informasi supaya anestesi dapat bekerja dengan aman
dan jika ada penyimpangan dapat segera dikembalikan ke keadaan yang normal.
Penatalaksanaan pasien pascaanestesi yaitu memperhatikan hal-hal yang terkait
dengan keadaan pasien pasca dilakukannya anestesi. Pemantauan yang optimal dan
penanganan pasien pasca anestesi yang dilakukan dengan baik dapat mencegah
terjadinya komplikasi pasca anestesi pada pasien. Sehingga peran pemantauan dan
penatalaksanaan pasien tersebut sangat penting dilakukan dengan baik oleh perawat.2
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pre operatif
Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh. Fase pre
operasi adalah. Fase pre operatif dimulai ketika keputusan untuk menjalankan operasi
dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi.4
Pemeriksaan preoperatif merupakan semua pemeriksaan (anamnesa,
pemeriksaan fisik, laboratorium, radiologi, dan lain – lain) dalam rangka
mempersiapkan pasien untuk dilakukan tindakan pembedahan dengan tujuan untuk
menjamin keselamatan pasien intraoperatif. Persiapan yang baik selama periode pre
operatif menurunkan risiko operasi dan meningkatkan pemulihan pasca bedah.5
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status
kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan
masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status
hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik,
fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain.4
Selain itu pasien penilaian primer (primary survey), penilaian sekunder
(secondary survey), dan penilaian tersier (tertiary survey). Penilaian primer dilakukan
dalam 2-5 menit yang memuat ABCDE: airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure. Apabila fungsi dari tiga sistem pertama mengalami gangguan, resusitasi
harus segera dilakukan. 5,6
Meskipun terdapat urutan ABCDE, tetapi penilaian ini harus dilakukan secara
simultan. Kemudian, monitoring dasar perlu dilakukan, termasuk elektrokardiograf
(EKG), pengukuran tekanan darah, serta saturasi O2. Setelah dilakukan penilaian
primer, maka dilanjutkan penilaian sekunder, kemudian penilaian tersier.6,7
Tujuan Pemeriksaan Prabedah :
1. Pengumpulan data pasien
2. Menentukan masalah yang ada
3. Meramalkan penyulit yang akan terjadi
4. Melakukan persiapan untuk mencegah penyulit yang mungkin terjadi
3
5. Menetukan status fisik pasien
6. Menentukan obat & teknik anestesi
7. Menentukan premedikasi9
2.1.1. Primary Survey
1. Airway
Stabilisasi dan mempertahankan jalan napas selalu menjadi prioritas utama.
Apabila pasien dapat berbicara, maka jalan napas biasanya bebas, tetapi pada pasien
yang tidak sadar, maka perlu dipastikan jalan napasnya. Tanda-tanda yang penting
pada obstruksi jalan napas meliputi snoring, gurgling, stridor, dan gerakan dada yang
paradoks. Adanya benda asing perlu dipikirkan pada pasien-pasien yang tidak sadar.
Penanganan jalan napas lanjutan (intubasi endotrakeal, krikotiroidotomi, serta
trakeostomi) diindikasikan apabila terdapat apnu, obstruksi yang persisten, luka kepala
berat, trauma maksilofasial, luka tembus di leher, atau luka pada dada yang hebat.7
Selain jalan napas, pada airway, perlu diperhatikan tentang kemungkinan luka
pada servikal. Terdapat lima kriteria yang meningkatkan kecurigaan akan adanya
fraktur servikal: (1) nyeri di leher, (2) nyeri hebat di tempat lain, (3) tanda atau gejala
neurologis, (4) intoksikasi, dan (5) hilangnya kesadaran di tempat kejadian. Fraktur
servikal harus dicurigai apabila terdapat salah satu dari kriteria tersebut, meskipun
tidak terdapat luka pada daerah di atas klavikula. Untuk manuver yang aman
dilakukan adalah dengan menggunakan manuver jaw-thrust untuk mencegah
hiperekstensi leher. Pasien-pasien yang tidak sadar disertai dengan trauma berat, maka
harus dipikirkan risiko terjadinya aspirasi, sehingga jalan napas harus segera
diamankan dengan menggunakan bantuan ETT maupun trakeostomi.7,8
Trauma pada daerah laring akan memperberat keadaan. Luka terbuka bisa
berhubungan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di daerah leher, obstruksi
dari hematoma maupun edema, emfisema subkutis, dan luka servikal. Trauma laring
tertutup lebih tidak jelas, tetapi dapat ditandai dengan adanya krepitasi pada daerah
leher, hematoma, disfagia, hemoptisis, atau kesulitan berbicara. Apabila sulit untuk
dilakukan ETT, maka trakeostomi dapat dipertimbangkan. 7,8
4
2. Breathing
Penilaian tentang ventilasi akan paling baik dilakukan dengan pendekatan look,
listen, and feel. Look, lihat tanda-tanda sianosis, penggunaan otot bantu pernapasan,
ketinggalan bernapas, atau luka tembus di dada. Listen, dengar ada atau tidaknya suara
napas. Feel, untuk emfisema subkutis, pendorongan trakea, maupun fraktur iga. Klinisi
wajib memiliki kecurigaan yang besar terhadap adanya pneumotoraks tension dan
hemotoraks, terutama pada pasien-pasien dengan distres nafas. Drainase pleura
mungkin diperlukan sebelum rontgen dada bisa didapatkan. 8
Sebagian besar pasien-pasien yang mengancam nyawa memerlukan bantuan
(atau kontrol) nafas. Bag-valve devices akan menyediakan ventilasi yang adekuat
segera setelah intubasi dan saat transportasi pasien. Penilaian tentang analisa gas darah
arteri (AGDA) diperlukan untuk menilai konsentrasi oksigen yang dikirimkan ke
jaringan. 8
3. Circulation
Penilaian untuk sirkulasi berdasarkan pada denyut nadi, tekanan/volume,
tekanan darah, dan tanda-tanda dari perfusi jaringan. Tanda-tanda yang bisa dijumpai
apabila terdapat sirkulasi yang tidak adekuat, antara lain: takikardi, pulsasi nadi yang
lemah hingga tidak teraba, hipotensi, serta ekstremitas yang pucat, dingin, atau
sianosis. Prioritas utama untuk mengembalikan sirkulasi yang adekuat adalah dengan
menghentikan perdarahan; kedua adalah dengan menggantikan volume intravaskular.
Henti jantung selama transportasi ke rumah sakit atau segera setelah luka tembus
maupun tumpul pada toraks merupakan suatu indikasi torakotomi emergensi. 8
Untuk kontrol perdarahan, harus diketahui asal perdarahan, kemudian lakukan
tekanan di daerah luka tersebut. Luka pada daerah ekstremitas biasanya dapat dengan
mudah dikontrol dengan melakukan penekanan. Pada pasien-pasien dengan trauma
berat, maka perlu dipikirkan tentang syok. Syok yang sering terjadi pada pasien
trauma adalah syok hipovolemik. Respon fisiologis yang dapat terjadi adalah
takikardi, perfusi jaringan yang kurang, dan penurunan dari tekanan nadi, hipotensi,
takipnu, serta delirium. Hematokrit dan hemoglobin bukanlah menjadi tolok ukur
utama untung menggambarkan jumlah perdarahan akut. Pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil seperti ini, perlu dipertimbangkan monitoring tekanan
5
darah arteri secara invasif. Pada hipovolemia berat, maka denyut nadi dapat terasa
hilang saat fase inspirasi. 7
Untuk kepentingan resusitasi dan cairan, maka diperlukan IV-kateter nomor
besar (14-16 G) pada vena yang mudah didapatkan. Meskipun terbukti bahwa
pemasangan jalur sentral akan memberikan informasi yang penting terkait status
volume pada pasien, mereka akan sangat memakan waktu dan memiliki risiko
komplikasi yang mengancam nyawa (pneumotoraks), sehingga jalur perifer menjadi
pilihan utama untuk resusitasi awal. 7
Untuk pemilihan cairan, kristaloid adalah cairan yang tersedia dengan cepat
dan lebih murah. Resusitasi memerlukan jumlah yang lebih banyak, karena sebagian
besar dari cairan kristaloid tidak bertahan lama di dalam kompartemen intravaskular.
Koloid jauh lebih mahal dibandingkan dengan kristaloid, tetapi lebih efektif dan lebih
cepat dalam mengembalikan volume intravaskular. Akan tetapi, defisit cairan
interstisial terkait dengan syok hipovolemik lebih baik diberikan cairan kristaloid, atau
kombinasi antara koloid dan kristaloid. Sedangkan untuk darah, akan cukup memakan
waktu untuk cross-match, yakni sekitar 45-60 menit, sehingga bukan menjadi pilihan
utama. 7
4. Disability
Evaluasi untuk disabilitas memerlukan penilaian neurologis yang cepat. Karena
tidak ada waktu untuk menggunakan sistem GCS, maka sistem AVPU lebih
digunakan, yaitu: Awake, Verbal response, Painful response, Unresponsive.7
5. Exposure
Buka pakaian pasien untuk memeriksa luka yang terdapat pada tubuhnya. In-
line immobilization harus digunakan jika terdapat kecurigaan adanya luka pada tulang
belakang. 7
2.1.2. Secondary Survey
Penilaian sekunder hanya dilakukan apabila ABC sudah dalam kondisi stabil.
Pada penilaian sekunder, pasien diperiksa dari ujung kepala hingga ujung kaki (head-
to-toe examination) dan pemeriksaan lainnya dilakukan (radiografi, laboratorium,
prosedur diagnostik lainnya). Pemeriksaan kepala meliputi luka pada kulit kepala,
6
mata, dan telinga. Pemeriksaan neurologis meliputi GCS dan evaluasi dari fungsi
motorik dan sensorik termasuk refleks-refleks. Pupil yang berdilatasi maksimal tidak
selamanya menandakan kerusakan otak yang ireversibel. Pemeriksaan dada, lakukan
auskultasi dan inspeksi kembali untuk melihat fraktur maupun fungsi dari
pernapasannya (ketinggalan bernapas). Hilangnya suara napas dapat dicurigai adanya
suatu pneumotoraks yang perlu dilakukan pemasangan chest tube. Hal yang serupa,
suara jantung yang menjauh, tekanan nadi yang sempit (narrow pulse pressure), serta
vena leher yang distensi dapat menunjukkan adanya tamponade jantung, yang perlu
dilakukan perikardiosentesis. Pemeriksaan abdomen meliputi inspeksi, auskultasi,
serta palpasi. Pemeriksaan ekstremitas meliputi fraktur, dislokasi, dan pulsasi perifer.
Pemasangan kateter serta NGT juga dilakukan.7,8
Analisis dasar laboratorium termasuk darah lengkap, elektrolit, gula darah,
blood urea nitrogen (BUN), serta kreatinin. AGDA juga sangat membantu. Foto toraks
harus segera dilakukan pada semua pasien dengan trauma hebat. Kecurigaan adanya
fraktur servikal harus dievaluasi dengan memeriksakan ketujuh vertebra servikalis.
Pemeriksaan lainnya berupa FAST dapat dilakukan untuk menilai adanya perdarahan
intraperitoneal maupun tamponade jantung. 9
2.1.3. Tertiary Survey
Beberapa pusat menyarankan adanya penilaian tersier untuk mencegah adanya
luka yang terlewatkan. Sekitar 2-50 % dari luka trauma dapat terlewatkan di penilaian
primer dan sekunder, terutama pada trauma multipel. Hal ini dapat dilakukan dalam 24
jam pertama. Evaluasi yang lebih lama ini dapat menyebabkan pasien menjadi lebih
sadar, sehingga dapat berkomunikasi dengan lebih baik, memberikan informasi yang
lebih detail tentang mekanisme injuri, serta penyakit-penyakit penyerta. 7,8
2.1.4. Penilaian ASA
Untuk menentukan prognosis, ASA (American Society of Anesthesiologists)
membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien
kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut:
- ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.
7
- ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
- ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan
karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia,
atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium.
- ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehiduannya.
- ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau
tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena
ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.9
2.1.5. Premedikasi
Obat dan penerangan yang diberikan sebelum dilakukan tindakan anestesi.
Tujuan:
- Membuat penderita lebih tenang
- Mengurangi rasa nyeri
- Menambah efek obat anestesi (menurunkan dosis)
- Mencegah efek samping obat anestesi
Misal :
- Anestesi dengan Eter : Premed : DBHP (anti muntah), SA (Pengering)
- Anestesi dengan Halothane : Premed : narkotik
- Anestesi dengan Ketamin : Premed : Diazepam, SA.9
2.2. Teknik Anestesi General
2.2.1. Definisi
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama
narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.10 Anestesi umum biasanya dimanfaatkan
untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu
8
pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu
empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain.11
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan
kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama
penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk
meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi
dilakukan.9
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama
narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.10 Anestesi umum biasanya dimanfaatkan
untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu
pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu
empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain.11
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan
kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama
penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk
meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi
dilakukan.11
2.2.2. Tahapan Anestesi General
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi
volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya
kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil,
dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai
dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II
terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur,
inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III
(pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan
pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-
abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva
dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola
9
mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III,
ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot
perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis), ditandai
dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan
gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal.12
2.2.3. Premedikasi
Tujuan utama terapi preanestesi adalah untuk menurunkan respon stress dengan
memelihara parameter hemodinamik, memfasilitasi induksi anestesi, dan
menghasilkan amnesia. Umur, berat badan, riwayat pengobatan, status alergi, dan
kondisi/ penyakit dasar pasien merupakan factor-faktor yang perlu dipertimbangkan
sebelum pemberian premedikasi. Pada kebanyakan kasus, pemberian obat tanpa jarum
lebih nyaman untuk anak-anak, keluarga, dan pelayan kesehatan. Rute pemberian obat
oral tidak meningkatkan risiko terjadinya pneumonia aspirasi.13
- Midazolam
Midazolam merupakan obat yang paling sering digunakan untuk anestesi anak-
anak. Anak-anak yang menjalani operasi sering tidak kooperatif akibat rasa nyeri,
lingkungan yang tidak akrab, dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Hal ini
dapat mengakibatkan munculnya kecemasan yang berkaitan dengan peningkatan
intensitas nyeri pasca operasi dan pelepasan hormon stress yang mengakibatkan
luaran buruk. Selain itu, sekitar separuh dari keseluruhan anak yang menjalani
pembedahan menunjukkan perilaku negatif pasca operasi, yang dapat diprediksi
dengan kecemasan pasien saat induksi dan riwayat rawatan pasien sebelumnya.
Midazolam merupakan golongan benzodiazepin dengan kerja yang paling cepat.
Efek yang ditimbulkan oleh midazolam antara lain: ansiolitik, relaksasi otot, amnesia
dengan dosis rendah; dan sedasi atau hipnosis dengan dosis yang lebih tinggi.
Midazolam tidak memiliki efek analgetik, namun memiliki efek pada nosisepsi
sentral (persepsi nyeri) yang, pada penggunaan klinik, sulit dibedakan dengan
analgetik. Efek samping yang ditimbulkan oleh midazolam antara lain adalah depresi
pernapasan. Midazolam merupakan kontraindikasi pada pasien-pasien dengan gagal
10
napas dan hiperkapnea.13
Tabel 2.1. Rute Pemberian Midazolam13
- Fentanil
Opioid dapat digunakan sebagai terapi preanestetik untuk anak dengan nyeri
perioperatif; tetapi efek samping perioperatif seperti depresi napas, disforia, pruritus,
dan nausea/vomitus harus dipertimbangkan sebelum pemberian opioid. Neonatus
sangat sensitive terhadap efek depresi saluran napas oleh opioid, sehingga jarang
diberikan pada neonatus.
Fentanil dapat diberikan melalui rute parenteral, transdermal, nasal, dan oral.
Pemberian dengan metode “lollipop”, oral transmucosal fentanyl citrate (OTCF)
dapat diterima oleh anak-anak dibandingkan melalui rute lain. Fentanil bersifat
lipofilik kuat, diabsorbsi oleh mukosa bukal dengan bioavailbility 30-50%. Dosis
optimal adalah 10-15μg/kg BB. Pemulihan efek anestesi fentanil oral 10-15μg/kg BB
sama dengan fentanil intravena sebanyak 2 μg/kg BB.14
2.2.4. Obat Anestesi General
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
11
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,
dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1)
bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3)
batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan
obat yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau
tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan
bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP.12
Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O,
halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal
haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam darah,
tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak
dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien.10
1. Anestesi Cair yang Menguap
Tabel 2.2. Obat Anestesi Cair yang Menguap
Halotan
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
a. Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas sistem
konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus dari curah jantung
yang berkurang, serta pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia
12
yang diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya hipotensi untuk
menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi, yang dalam hal ini
perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin.10
b. Pernapasan
Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan menurunnya
volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh
CO2. Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi spasme
bronkus.10
c. Susunan Saraf Pusat
Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan tekanan
intrakranial menurun.10
d. Ginjal
Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal disebabkan oleh
curah jantung yang menurun.10
e. Hati
Aliran darah ke hati menurun.10
f. Uterus
Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam manipulasi kasus
obstetrik (misalnya penarikan plasenta).10
Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20% melalui
metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat.12
Potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan napas
tidak ada, serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkan kerugiannya adalah
depresi miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard terhadap aritmia yang
diinduksi oleh katekolamin, serta aliran darah serebral menurun yang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.10 Halotan digunakan secara
ekstensif dalam anestesia anak karena ketidakmampuannya menginduksi
inhalasi secara cepat dan status asmatikus yang refraktur. Obat ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial.10
Efek samping/ toksisitas
13
a. Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien yang mempunyai
resiko adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda lebih banyak
terjadi dengan periode waktu yang singkat; ditandai dengan nekrosis
sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat juga
terjadi dengan isofluran dan etran.10
b. Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan peningkatan suhu
tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta dijumpai asidosis
metabolik. Secara umum, hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan
dan trolen yang merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari retikulum
sarkoplasmik.10
Enfluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
a. Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator arterial, dan sensitisasi
ringan miokard terhadap katekolamin.10
b. Respirasi
Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia ablasia yang disebabkan
oleh bronkodilator.10
c. Susunan Saraf Pusat
Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan tekanan parsial
CO2 (PCO2) menurun (hipokarbia); vasodilatasi serebral dengan
meningkatnya tekanan intrakranial.10
d. Ginjal
Aliran darah ginjal dan GFR menurun.10
Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit utama, yaitu fluorida
mempunyai potensi untuk menimbulkan nefrotoksis (sangat jarang digunakan
secara klinis).10 Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik,
respons kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung minimal, dan tidak
mengiritasi saluran napas. Sedangkan kerugiannya adalah Enfluran mempunyai
potensi aktivitas kejang. Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial
14
yang meningkat disertai dengan gangguan patologik intrakranial.10
Isofluran
Efek terhadap sistem tubuh
a. Kardiovaskular
Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis, sedangkan
curah jantung biasanya normal disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi
miokard minimal terhadap katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal
oleh vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang berlebihan.10
b. Respirasi
Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia ventilasi,
bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas.10
c. Ginjal
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal rendah disebabkan
tekanan arterial menengah yang menurun.10
d. Susunan Saraf Pusat
Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen metabolik serebral
menurun, dan merupakan obat pilihan untuk bedah.10
Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan pada
waktu ekspirasi dalam bentuk gas.10 Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak
bersifat aritmogenik, tekanan intrakranial tidak meningkat, bronkodilator.
Sedangkan kerugiannya adalah iritasi jalan napas sedang.10
Sevofluran
Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu menyengat,
dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya cepat. Indikasi
klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2 dan untuk
pemeliharaan umum.10
2. Anestesi intravena
Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi
15
cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu
anestesi umum per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium
anestesi, penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan.
Tabel 2.3. Obat Anestesi Intravena
- Propofol
Propofol (2,6-diisopropylophenol) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977,
dilarutkan dalam kremofor karena sifatnya yang tidak larut dalam air. Kemudian
propofol ini ditarik dari peredaran karena pernah dilaporkan terjadinya insiden reaksi
anafilaktik pada saat penyuntikan. Pelarut yang adekuat untuk propofol ditemukan
berdasarkan penelitian klinis pada tahun 1983 dan dipakai di seluruh dunia sampai
saat ini. Propofol menjadi obat pilihan induksi anestesia, khususnya ketika bangun
yang cepat dan sempurna diperlukan. Kecepatan onset sama dengan barbiturat
intravena, masa pemulihan lebih cepat dan pasien dapat pulang berobat jalan lebih
cepat setelah pemberian propofol. Kelebihan lainnya pasien merasa lebih nyaman
pada periode paska bedah dibanding anestesi intravena lainnya. Mual dan muntah
paska bedah lebih jarang karena propofol mempunyai efek anti muntah.
Propofol adalah modulator selektif dari reseptor gamma amino butiric acid
16
(GABAA) dan tidak terlihat memodulasi saluran ion ligand lainnya pada konsentrasi
yang relevan secara klinis. Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui
interaksi reseptor GABAA. GABA adalah neurotransmiter penghambat utama dalam
susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida
transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel
postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi propofol dengan
komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu meningkatkan laju disosiasi
dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampumeningkatkan lama waktu dari
pembukaan klorida yang diaktifkan oleh GABA dengan menghasilkan
hiperpolarisasi dari membran sel.
Dosis induksi dari propofol pada orang yang sehat adalah 1.5 hingga 2.5 mg/
kgBB IV, dengan kadar darah 2-6 μg/ ml yang menghasilkan ketidaksadaran
tergantung pada pengobatan dan pada usia pasien. Onset hipnosis propofol sangat
cepat (one arm-brain circulation) dengan durasi hipnosis 5-10 menit. Seperti halnya
dengan barbiturat, anak membutuhkan dosis induksi dari propofol yang lebih tinggi
per kilogram badan, kemungkinan berhubungan dengan volume distribusi sentral
lebih besar dan juga angka bersihan yang tinggi. Pasien lansia membutuhkan dosis
induksi yang rendah (25% hingga 50% terjadi penurunan) akibat penurunan volume
distribusi sentral dan juga penurunan laju bersihan. Pasien sadar biasanya terjadi
pada konsentrasi propofol plasma 1,0 hingga 1,5 μg/ml. Dosis khusus dari propofol
untuk pemeliharan anestesia adalah 100-300 μg/ kgBB/
menit IV, seringkali dikombinasikan dengan opioid kerja jangka pendek.
Anestesia umum menggunakan propofol mempunyai efek mual dan muntah
paska operasi yang minimal dan kesadaran yang lebih cepat dengan efek residual
yang minimal. Propofol mengurangi laju metabolik otak untuk oksigen (CMRO2),
aliran darah ke otak (CBF), dan tekanan intrakranial (ICP). Pemberian propofol
untuk menghasilkan sedasi pada pasien dengan SOL (space occupying lesion)
intrakranial tidak meningkatkan ICP. Dosis yang besar dari propofol ini dapat
mengurangi tekanan darah sistemik dan juga mengurangi tekanan perfusi otak (CPP).
Autoregulasi serebrovaskular sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah
sistemik dan reaktivitas aliran darah ke otak untuk merubah PaCO2 tidak
17
dipengaruhi oleh propofol. Dalam hal ini kecepatan aliran darah ke otak akan
berubah seiring dengan perubahan pada PaCO2 dengan adanya propofol dan
midazolam. Propofol menimbulkan perubahan elektroensefalografi (EEG) sama
dengan tiopental, termasuk kemampuan untuk menghasilkan supresif penuh dengan
dosis tinggi. Bangkitan potensial somatosensori kortikal yang dimanfaatkan untuk
monitoring fungsi medula spinalis tidak begitu bermakna pada penggunaan propofol
tunggal tetapi penambahan nitro oksida atau anastesi inhalasi menghasilkan
penurunan amplitudo. Pada level sedasi yang sama, propofol menghasilkan
gangguan memori pada derajat yang sama seperti midazolam. Peningkatan toleransi
terhadap obat dalam menekan sistem saraf pusat sering terjadi pada pasien yang
sering menggunaan opioid, obat hipnotik sedatif, ketamin dan nitrous oksida.
Hipotensi merupakan komplikasi akibat pemberian propofol khususnya pada
orang tua, bahkan dapat menyebabkan hipotensi preintubasi paska induksi yang
sedang sampai berat. Hipotensi ini dapat menurunkan CBF dan menimbulkan
episode sekunder iskemi serebral yang dapat menyebabkan gejala sisa neurologi.
Propofol menghasilkan penurunan tekanan darah sistemik yang lebih besar
dibandingkan dosis tiopental pada saat induksi. Pada keadaan dimana tidak ada
gangguan kardiovaskuler, dosis induksi 2 - 2,5 mg/kgBB menyebabkan penurunan
tekanan darah sistolik sebesar 25-40%. Perubahan yang sama terlihat juga terhadap
tekanan arteri rerata (MAP) dan tekanan darah diastolik. Penurunan tekanan darah ini
mengikuti penurunan curah jantung sebesar 15% dan penurunan resistensi vaskular
sistemik sebesar 15-25 %. Relaksasi otot polos vaskular dihasilkan oleh propofol
adalah terutama berkaitan dengan hambatan aktivitas saraf simpatik. Menurut
Dhungana, propofol menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi perifer yang
diakibatkan oleh peningkatan produksi endothelial dan lepasnya nitric oxide.
Efek inotropik negatif dari propofol dapat dihasilkan dari penurunan kalsium
intraselular akibat hambatan influks kalsium trans sarkolema. Efek tekanan darah
akibat propofol dapat diperburuk pada pasien hipovolemi, pasien lanjut usia dan
pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri yang berkaitan dengan penyakit arteri
koroner. Di samping penurunan tekanan darah sistemik, peningkatan denyut jantung
seringkali tidak berubah secara nyata. Bradikardi dan asistol juga telah diamati
18
setelah induksi anestesia dengan propofol, yang menghasilkan rekomendasi dimana
obat antikolinergik diberikan ketika stimulasi vagal terjadi berkaitan dengan
pemberian propofol. Propofol dapat mengurangi aktivitas sistem saraf simpatik pada
cakupan yang lebih besar dibandingkan dengan aktivitas system saraf parasimpatik,
dengan menghasilkan dominasi aktivitas parasimpatik. Refleks baroreseptor yang
mengontrol denyut jantung juga didepresi oleh propofol sehingga mengurangi refleks
takikardia yang selalu mengikuti hipotensi. Hal ini yang menyebabkan laju jantung
tidak berubah secara bermakna setelah penyuntikan propofol.
Propofol menghasilkan depresi ventilasi tergantung pada dosis, kecepatan
pemberian dan premedikasi, dengan apnu yang berlangsung pada 25% hingga 35%
pasien setelah induksi dengan propofol. Pemberian opioid pada pengobatan
preoperatif dapat meningkatkan efek depresi ventilasi. Pemakaian infus rumatan
propofol akan mengurangi volume tidal dan frekwensi pernafasan. Propofol
mengurangi respon ventilasi pada karbon dioksida dan juga hipoksemia. Propofol
dapat mengakibatkan bronkodilatasi dan menurunkan insidensi sesak pada pasien
asma. Konsentrasi sedasi dari propofol akan menekan respon ventilasi terhadap
hiperkapnia disebabkan efek dari kemoreseptor sentral. Berbeda dengan anestesi
inhalasi dosis rendah, respon kemorefleks perifer pada karbon dioksida masih tetap
ada ketika dirangsang oleh karbon dioksida dengan adanya propofol.
Propofol tidak mempengaruhi fungsi ginjal atau hepar sebagaimana dinyatakan
oleh konsentrasi enzim transaminase liver atau kreatinin. Propofol tidak
mempengaruhi sintesis kortikosteroid atau mempengaruhi respon normal terhadap
stimulasi ACTH. Propofol dalam formula emulsi tidak mempengaruhi fungsi
hematologi atau fibrinolisis.
Propofol juga mempunyai efek antiemetik yang signifikan pada dosis
subhipnotik (10 mg) dan telah digunakan untuk mengatasi mual muntah paska
operasi (PONV). Peningkatan tekanan bola mata dicegah setelah pemberian
propofol, oleh sebab itu propofol ideal digunakan pada operasi mata.
3. Anestesi Gas
19
Tabel 2.4. Obat Anestesi Gas
2.2.5. Muscle Relaxant
Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yang mengurangi
ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnya kurare,
suksinilkolin) (Grace, 2006). Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi
kerjanya, obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot
depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi
(mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3
grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat
berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot
membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi, blokade saraf-otot fase II
depolarisasi atau nondepolarisasi.
1. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak
dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan
terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot
lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan
dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase
plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase
(prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
20
- Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki
onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10
menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga
hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapaineuromuscular
junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan
metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase.
Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati,
gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen
pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang.
Ciri kelumpuhan:
a. Ada fasikulasi otot.
b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.
c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi dan
asidosis.
d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal maupun
tetanik.
e. Belum diatasi dengan obat spesifik
2. Muscle Relaxant Golongan Nondepolarizing
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin
tidak dapat bekerja. Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung
setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari
plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti
penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi
dalam aliran darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali
pada farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi
volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh
21
penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila
volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau
perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih
tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot
tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai
injeksi cepat intravena.
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan
menjadi:
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium,
mivakurium.
2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.
Ciri Kelumpuhan Otot
Non Depolarisasi
a. Tidak ada fasikulasi otot.
b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi (eter, halotan,
enfluran, isofluran)
c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan ßßtunggal atau
tetanik.
d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.
2.2.6. Bahaya Anestesi
Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab. Sebagian penyebab
pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya tersebut tidak diperhatikan sama sekali,
atau tidak diatasi dengan baik, maka bencana dapat terjadi. Bahaya lain mungkin tidak
berbahaya tetapi merupakan sumber utama ketidaknyamanan, nyeri, atau iritasi
terhadap penderita. Bahaya anestesi yang mungkin dapat terjadi antara lain:
22
1. Kematian “dalam keadaan” atau “akibat anestesi”
Kematian dalam keadaan “teranestesi” mungkin tidak sepenting kematian akibat
anestesi, atau komplikasinya. Jika perdarahan masif yang terjadi selama pembedahan
tidak dapat dikontrol, hal ini tentu saja termasuk kematian dalam keadaan teranestesi
tetapi bukan akibat anestesi walaupun ahli anestesi telah mempunyai peran yang
penting untuk berusaha mempertahankan hidup penderita dengan secepatnya
melakukan transfusi darah.
2. Bahaya anestesi yang dapat mematikan
Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh hipoksia dan henti jantung yang
saling terkait, pada kedua kasus kematian dapat disebabkan oleh gangguan penyediaan
oksigen otak dan /atau jantung baik primer (yang disebabkan oleh hipoksia
respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat terhentinya sirkulasi setelah henti
jantung). Bahaya lain akibat anestesi yang dapat mematikan karena anestesi adalah
anafilaksis akut karena obat yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang
ganas.
3. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi
Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat kegagalan sebagian atau total
maupun hambatan terhadap penyediaan oksigen ke otak. Keadaan seperti ini dapat
terjadi pada semua titik mulai dari sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran
pernapasan atas dan bawah, paru–paru, pembuluh darah utama sampai kapiler, dan
akhirnya sampai kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel. Sebagian sel akan
pulih dari hipoksia atau bahkan anoksia yang berlangsung dalam beberapa menit,
tetapi pada otak akan terjadi kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit kekurangan
oksigen, demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif (henti
jantung).
2.3. Perawatan Post Anestesia
23
Pemulihan dari anestesia umum dan pembedahan dapat disertai dengan
sejumlah perubahan fisiologis yang mempengaruhi beberapa sistem organ tubuh.
Beberapa keadaan yang mungkin timbul adalah mual muntah post anestesia (PONV),
hipoksia, hipotermia dan instabilitas kardiovaskuler.
Pada penelitian prospektif pada lebih dari 160 ribu perawatan di PACU
penyebarannya berupa 9.8% PONV, 6.8% memerlukan bantuan nafas mekanis
dan2.7% mengalami hipotensi. Angka komplikasi pada penelitiam tersebut ditemukan
sejumlah 24%.
Gangguan jalan nafas yang sering dijumpai segera setelah pembedahan adalah
hilangnya tonus otot faring pada pasien yang mengalami sedasi. Efek yang
berkepanjangan dari obat anestesi inhalasi maupun intravena, obat neuromuskular dan
opioid berperan pada hilangnya tonus otot faring pada pasien PACU.
Pada pasien yang menjalani operasi abdominal, 8% hingga 10% memerlukan
intubasi dan ventilasi mekanis di dalam PACU. Kegagalan sistem respirasi segera
setelah pembedahan dikarenakan oleh keadaan sementara dan reversibel meliputi
respon terhadap nyeri, disfungsi diafragma, kelemahan muskuler dan impuls
pernafasan yang tertekan karena agen farmakologis.
PONV dapat dicetuskan oleh berbagai jalur melalui reseptor perifer maupun
sentral dengan etiologi sebenarnya yang tidak diketahui. Beberapa faktor resiko yang
berhubungan dengan pasien, anestesia dan pembedahan diasosiasikan dengan PONV
tetapi bukan merupakan hubungan sebab akibat yang mutlak.
Resiko seseorang pasien untuk mengalami PONV dapat diprediksikan dengan
sistem scoring yang disederhanakan dengan menggunakan faktor prediktor
independen. Pada pasien dewasa yang menjalani anestesia inhalasi, penggunaan
scoring Apfel yang disedehanakan dapat memprediksikan resiko PONV pada pasien
dengan komponen jenis kelamin, status mmerokok, riwayat PONV sebelumnya dan
penggunaan opioid intravena postoperatif. Apabila terdapat 0, 1, 2, 3, 4 dari faktor ini
dijumpai maka resiko PONV adalah 10%, 20%, 40%, 60% dan 80%.
Pada anak-anak sistem scoring yang sama juga dapat dipergunakan dengan
prediktor independen meliputi durasi pembedahan diatas 30 menit, usia diatas tiga
tahun, operasi strabismus dan riwayat PONV pasien sebelumnya.
24
Pencegahan utama dari PONV meliputi pertimbangan menggunakan teknik
anestesi lain (regional) karena pencetus utama dari kejadian tersebut merupakan
anestesi inhalasi dan opioid. Pasien dengan resiko tinggi akan mengalami penurunan
resiko yang bermakna apabila diberikan terapi profilaksis.
Antiemetik yang dapat digunakan untuk mengurangi PONV meliputi, cydizine,
dimenhydrate, droperidol, deksametason, metoclopramide, ondansentron,
dolasetron,tropisentron dan granisetron. Resiko relatif dari antiemetik tersebut
dibandingkan dengan plasebo berada diantara 0.60 hingga 0.80.
Pada penggunaan ondansentron, dosis efektif untuk PONV hanya seperempat
dari dosis profilaksis yang dianjurkan sekitar 1 mg. Akan tetapi, pasien yang
memberikan respon terhadap terapi ondansentron tidak memberikan respon untuk
kedua kalinya sehingga pertimbangan untuk antiemetik lain dapat dilakukan.
Proses nocicepsi merupakan sebuah mekanisme yang plastik dan dinamis
dengan beberapa titik aktivasi dan modulasi. Input nyeri yang persisten dapat
menghasilkan sensitisasi neuronal yang cepat yang dapat berujung kepada nyeri
kronis. Nyeri postoperasi yang tidak dikontrol dengan baik dapat menghasilkan efek
yang akut (respons fisiologis abnormal) dan efek kronis (terhambatnya pemulihan dan
nyeri kronis).
Dengan mencegah sensitisasi sentral, nyeri akut dan kronis dapat dikurangi
dengan penggunaan analgesia awal. Penggunaan agen analgesia oleh pasien sendiri
memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode pemberian tradisional.
Insidensi depresi pernafasan dengan penggunaan analgesia opioid tidak
berbeda satu sama lain dengan metode pemberian yang berbeda. Oleh karena itu,
penggunaan agen analgetik opioid harus dimonitor secara ketat terhadap depresi
sistem respirasi.
Penggunaan obat antiinflamsi non steroid sebagai adjuvan dapat mengurangi
nyeri pasca operasi dan mengurangi efek samping akibat pengunaan analgetik.
Penggunaan analgetik epidural perioperatif memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan opioid sistemik seperti memfasilitasi pemulihan fungsi
gastrointestinal dan mengurangi efek samping komplikasi pulmoner, gangguan
pembekuan darah dan kejadian kardiovaskuler.
25
Manajemen nyeri pasca operasi harus disesuaikan dengan kebutuhan dari
populasi khusus seperti orang tua, anak-anak, obesitas, sleep apnea, toleran opioid dan
pembedahan ambulatory yang mungkin memiliki perbedaan anatomis, fisiologis dan
respon farmakologis.
Manajemen cairan pasca operasi bertujuan untuk menyediakan jumlah dan
jenis cairan yang optimal kepada pasien dan agar pasien berada dalam keadaan
euvolemik dan distribusi elektrolit yang normal. Pemantauan hemodinamik pasien
dapat dilakukan selain pemeriksaan fisik dan monitoring rutin, dengan pemeriksaan
invasif seperti kateterisasi.
Manajemen cairan pasca operasi memiliki prinsip mengganti cairan dan
elektrolit yang hilang pada kondisi yang fisiologis untuk menjaga keseimbangan air
dan elektrolit. Defisit cairan dan elektrolit yang terjadi pra dan pasca operasi berasal
dari pendarahan, perpindahan cairan ke ekstraseluler, penguapan, keringat dan dari
sistem gastrointestinal.
Terapi cairan harus disesuaikan dengan kebutuhan setiap individu terhadap
resiko dan keuntungan pemberian cairan intravaskuler. Oleh karena itu, karakteristik
pasien dan prosedur yang dilakukan mempengaruhi pemilihan terapi cairan kearah
liberal atau restriktif.
Untuk mengoptimalisasi status cairan dan menghindari kelebihan cairan,
evaluasi ulang secara rutin diperlukan, terutama pada saat “fluid trial” yaitu pemberian
cairan intravena dengan jumlah tertentu pada waktu yang singkat.
Jenis cairan yang dapat digunakam meliputi larutan elektrolit ( kristaloid)
maupun suspensi dengan tekanan onkotik tertentu (koloid).
BAB 3
LAPORAN KASUS
Tanggal Masuk 17 Agustus 2014
26
Waktu 23.00
Nama MCS
R.M. 00.61.22.59
3.1. Anamnesis
Identitas Pribadi
Nama : MCS
Jenis Kelamin : Laki - laki
Usia : 12 tahun
Suku Bangsa : Batak
Agama : Kristen
Alamat : Jalan Pondok Surya Gg. Selaras Kel.Helvetia
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Siswa
Tanggal Masuk : 17 Agustus 2014
3.2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Jenis Kelamin, Umur, Berat Badan : Laki - laki, 12 tahun, 40 kg
Keadaan Umum : Nyeri seluruh lapangan perut
Telaah : Hal ini dialami pasien ± sejak 4 hari sebelum
masuk RSHAM. Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati kemudian menyebar ke
perut kanan bawah dan kemudian menjalar ke seluruh lapangan perut. Riwayat demam
(+) ± 4 hari SMRS, demam bersifat naik-turun dan turun dengan obat penurun
panas.Riwayat mual dan muntah (+), frekuensi 2-3x/hari, isi apa yang dimakan dan
diminum. Riwayat mencret (+), frekuensi 2-3x/hari, cair, lendir (-), darah (-). BAK (+)
normal.
Riwayat Penyakit Terdahulu : -.
Riwayat Penggunaan Obat : paracetamol
3.3. Patient Assessment
27
1. Primary Survey
Sign Diagnosis Treatment Hasil WaktuAirway Clear O2 2 L/i Jalan Nafas
Aman00.20
Look : Obstruksi (-), debris (-)Listen : Snoring (-), Gargling (-), crowing (-) Feel : gerakan udara (+)
Breathing Adekuat - Sat O2 : 99%RR : 28 x/i
00.21Look : gerakan dinding dada (+)Listen : aus. vesikuler (+), Suara Tambahan (-)Feel : hipersonor (-), hiposonor (-)
Ciculation Takikardi IVFD RL 20 gtt/i
Sirkulasi Aman
00.22Pulsasi karotis : (+) HR : 112 x/i(PP) Akral : Hangat/Merah/KeringT/V : kuat/cukup , CRT : < 2
detik.TD: 110/70 mmHg
Disabilty Compos Mentis
- - 00.23Kesadaran : Compos mentisGSC E4V5M6,
Pupil : isokor ø 3mm/3mmRc : + / +
Exposure - - - ---
2. Secondary SurveySign Diagnose Treatment Result Time
Breathing Clear O2 2 L/i Breathing 00.28
28
Establish
Sat O2 : 99%
RR : 20 x/i
Inspeksi : Obstruksi (-), debris (-), gerakan dinding dada (+), simetris (+). SP: vesikuler, ST: RR: 26 x/i. MLP: 1 GL: bebas, alergi/asma/batuk/sesak: -/-/-/-, Perkusi: Sonor Palpasi : EufremitusAuskultasi : Vesikuler (+), suara tambahan: snoring/gargling/crowing:-/-/-Riwayat : Asma(-) sesak(-), batuk(-) alergi (-)
Blood & Circulation Takikardi IVFD RL 20 gtt/i
Circulation Establish
00.30HR : 112 x/i RegulerAkral : Hangat/Merah/KeringT/V : kuat/cukup , CRT : < 2 detik.TD : 110/70 mmHgTemp : 38,0 o
Brain ComposMentis
- - 00.35Kesadaran : compos mentisGCS : 15Pupil : isokor ø 3mm/3mm
Bladder Normal Kateter Monitoring UOP (+)UOP : (+)
kateter : (-)Bowel Diffuse
Peritonitis- -
Defans muscular (+), nyeri tekan seluruh lapangan perut, peristaltik (+), MMT: 19.00 WIB 17/08/2014
Bone & Ekstremities Normal - -Oedem (-)Fraktur (-)
29
3.4. Terapi Emergensi
Informed Consent untuk anestesi
Puasa dilanjutkan
Pasang IV line : abocath 20 G dan threeway
Medikasi
Site of Entry Obat
Oral -
Enteral (NGT) -
Intravenous IVFD RL 30 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 gr/iv
Inj. Ranitidin 50 mg/ iv
Inj. Ketorolac 30 mg/iv
Intramuskular -
Rektal -
3.5. Time Sequence
30
17/08/2014
- Pasien datang ke RSUP HAM pada pukul 23.00 WIB
17/08/2014
- Pasien dikonsulkan ke Depatemen Anestesi pada pukul 23.50 WIB
18/08/2014
- Operasi mulai pukul 02.10 WIB- Selesai pukul 05.15 WIB (3 jam 5 menit)
3.6. Laboratorium & Tes Diagnostik Lain
1. Darah Lengkap (17 Agustus 2014)
- Hb/Ht/Leu/Tromb : 11.8/33.9/18.540/142.000
- PT/aPTT/TT/INR : 13.5(13.8)/ 36 (36.8)/ 14.5(17)/ 0.97
- KGD ad Random : 113,3
- Na/K/Cl : 132/5.1/103
- Albumin : 3.3
- Ureum/ Kreatinin : 19/0,5
2. AGDA
pH/ PCO2/ PO2/ HCO3/ TCO2/ BE/ SaO2
7,509/ 24,3/179.8 /18,9 / 19,7 /-3,0/ 99,6
3.7. Radiologi
Foto Toraks
Interpretasi :
Position PA, klavikula simetris, trakea medial, skapula normal, inspirasi maksimal
kosta depan 5-6, kedua sudut Costophrenicus & cadiorphrenicus tajam, effusi pleural
& perikardial (-), CTR : + 48 %.
Kesan foto toraks : Normal
31
3.8. Kronologi Operasi
3.8.1. Problem List
Preoperasi:
• Pasien anak àsesuaikan dosis berdasarkan berat badan dan sesuaikan alat2
intubasi dan airway sesuai ukuran anak
• Pasien emergensi, tidak dipersiapkan seperti halnya pasien elektif, puasa tidak
cukup, dianggap lambung penuh + gangguan motilitas/pasase isi ususà transit
time memanjang à waktu pengosongan terganggu
• Pasien gangguan pasase isi ususà dehidrasi sedang à pastikan iv line lancar,
dilakukan rehidrasi, monitoring hemodinamik dan urine output
• Perforasi àkemungkinan sudah ada perlengketan, operasi lama à teknik
anestesi GA-ETT + RSI
Intra operasi:
- Pasien dengan tindakan laparatomy à Penguapan besar à Hipothermia
- Pasien dilakukan tindakan GA dengan explorasi laparatomi à kemungkinan
perdarahan banyak
- Pasien dengan obstruksi usus
- Pemberian cairan durante operasi
Post operasi:
• Insisi tinggi à nyeri akut post op
• Potensial infeksi post operasi
• Malnutrisi pasca operasi
• Dehidrasi pasca operasi
32
Diagnosis : Diffuse Peritonitis d/t appendicitis perforation
Tindakan : Laparotomi Eksplorasi
PS ASA : 2E
Teknik Anestesia : GA-ETT
Posisi : Supine
3.8.2. Persiapan Alat-Alat dan Obat-Obat
Suction
33
3.8.3. Teknik Anestesi
Dilakukan suction aktif à NGT dicabut
Preoksigenisasi O2 100 % 3-5 menit, sungkup ketat
Premedikasi midazolam 2,5 mg, fentanyl 50 mcg
Sellick manuver à Induksi Propofol 80 mg à eye lid refleks (-) (sleep
non apnea)
inj. Rocuronium 40 mg à sleep apnea à intubasi ETT no. 6.5 cuff (+) à
SP ka = ki à Fiksasi eksternal à sellick dihentikan
Maintenance : Isoflurane 0.8 - 1.5 %, Air : 02 2l/i:2l/i
Relaksan Rocuronium 10 mg/ 20 menit, Fentanyl 50 mcg/jam
3.8.4. Monitoring Pre-operasi
B1: airway: clear, RR: 26 x/mnt, SP: ves, ST:-, snoring/gargling/crowing: -/-/-,
MLP:1, GL: bebas, alergi/asma/batuk/sesak: -/-/-/-
B2: akral: H/M/K, TD: 110/70 mmHg, HR: 106 x/mnt, T/V: kuat/cukup, turgor
normal
B3: sens: CM, pupil isokor Ø: 3 mm/3mm RC:+/+
B4: kateter urin terpasang , UOP: 0.5 cc/kgBB/jam, warna kuning
B5: defans muscular (+), nyeri tekan seluruh lapangan perut, peristaltik (+), MMT:
19.00 WIB 17/08/2014
B6: oedem (-), fraktur (-)
34
3.8.5. Monitoring durante OP
Durante Operasi
• Lama operasi : 3 jam 5 menit
• TD : 80-110/40-80 mmHg
• HR : 80-120 x/i
• SpO2 : 99 – 100 %
• Cairan : PO = RL 1000 cc
DO = RL 1500 cc
• Perdarahan + 100 cc
• Maintenance + penguapan = 500 cc/jam
• UOP : 75 cc/jam kuning
Gambar : Apendiks hiperemis
35
B1 : Airway clear, terintubasi dengan Tpiece 6L/I RR:24 x/i SP: vesikuler, ST (-),
SpO2 99%
B2 : Akral : H/M/K, TD 110/80 mmHg, HR : 112 x/i, T/V: Kuat/ cukup, reguler
B3 : Sens : DPO, pupil isokor Ø 3mm/3mm, RC +/+
B4 : UOP (+), volume 75 cc , warna kuning.
B5 : Soepel, Luka Operasi tertutup verban
B6 : oedem pretibial (-), fraktur (-)
2.8.6. Monitoring Post-Operasi
B1: Airway clear, terpasang nasal cannul 1-2 l/i RR:24 x/i SP: vesikuler, ST(-), SpO2
99%
B2: Akral : H/M/K, TD 110/80 mmHg, HR : 112 x/i, T/V: Kuat/ cukup, reguler,
temp 38 C
B3: Sens : CM, pupil isokor Ø 3mm/3mm, RC +/+
B4: UOP (+), volume 50 cc , warna kuning.
B5: Soepel, Luka Operasi tertutup verban
B6: Oedem pretibial (-), fraktur (-)
POST OPERATION
36
Terapi Post Operasi
• Bed Rest, Head Up 30o
• Diet MB setelah peristaltic (+)
• O2 2L/I via nasal cannule
• IVFD RL 20 gtt/i
37
• Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam/ iv
• Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam
• Inj. Metronidazole 1500 mg/24 jam/IV
• Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
3.9. Follow up:
Tgl S O A PHasil
Pemeriksaan Laboratorium
13 Agustus 2014
Nyeri Perut
B1:Airway:clear,
terpasang nasal
cannul 1-2 l/i,
pernafasan spontan
SpO2100%
Sp:Vesikuler
B2:Akral:H/M/K,
TD115/75mmHg,
HR:112x/i,T/V: Kuat/
cukup, reguler, temp
38
B3:Sens:CM,pupil
isokor Ø 3mm/3mm,
RC +/+
B4:UOP(+),volume
50cc,warna kuning.
B5:abdomen kesan
distensi, peristaltik
(-), luka operasi
tertutup verban
B6: oedem
pretibial(-) , fraktur
(-)
Post laparotomy d/t appendicitis perforasi
• Bed Rest,
Head Up
30o
• Diet MB
setelah
peristaltic
(+)
• O2 2L/I
via nasal
cannule
• IVFD RL
20 gtt/i
• Inj.
Ceftriaxon
1 gr/12
jam
• Inj.
Metronida
zole 1500
mg/24
jam/IV
• Inj.
Ranitidin
38
50 mg/12
jam
• Paracetam
ol
500mg/8ja
m (k/p)
-14 Agustus 2014
Nyeri Perut
B1:Airway:clear,
terpasang nasal
cannul 1-2l/I
pernafasan spontan
SpO2100%
Sp:Vesikuler
B2:Akral:H/M/K,
TD110/72mmHg,
HR:108x/i,T/V:Kuat/
cukup, reguler, temp
37.5 C
B3:Sens:CM,pupil
isokor Ø 3mm/3mm,
RC +/+
B4:UOP(+),volume
50cc,warna kuning.
B5:kesan distensi,
peristaltik (+), luka
operasi tertutup
perban, kesan kering
darah(-), pus(-)
B6: oedem
pretibial(-) , fraktur
(-)
Blunt Abdominal d/t Jejenum Perforasi
• Bed Rest,
Head Up
30o
• Diet MB
setelah
peristaltic
(+)
• O2 2L/I
via nasal
cannule
• IVFD RL
20 gtt/i
• Inj.
Ceftriaxon
1 gr/12
jam
• Inj.
Metronida
zole 1500
mg/24
jam/IV
• Inj.
Ranitidin
50 mg/12
Albumin 2 g/dLUreum 53 mg/dLKreatinin 0,74 mg/dLNa/K/Cl 143/4,1/116Procalcitonin 12,53 ng/mL
39
jam
• Paracetam
ol 500
mg/8jam
(K/p)
15 Agustus 2014
Nyeri Perut
B1:Airway:clear,
terintubasi CMV TV
370, FiO2 40% PEEP
5 SpO2100%
Sp:Vesikuler
B2:Akral:H/M/K,
TD111/65mmHg,
HR:112x/i,T/V: Kuat/
cukup, reguler
B3:Sens:DPO,pupil
isokor Ø 3mm/3mm,
RC +/+
B4:UOP(+),volume
30cc,warnakuningpek
at
B5:Soepel,peristaltik(
+) lemah,drainage(+)
warna kehitaman
B6: oedem
pretibial(-) , fraktur
(-)
Blunt Abdominal d/t Jejenum Perforasi
- Tirah baring, head up 30°
- Diet TPN- IVFD RL 30 gtt/i- Inj. Meropenem
1gr/ 8 jam
- Inj. Omeprazole
40mg/ 12jam
- Inj. Vit C 1gr/
24jam
- Inj. Vit E 100
IU / 24 jam
- Inj. Mo 10 mg +
15mg MiLoz à
4cc / jam
Hb 9,8 g%RBC 6,29x106mm3
WBC 18,34x103mm3
Tromb89x103/mm3
Glukosa darah (sewaktu) 115 mg/dLUreum 49 mg/dLKreatinin 0,63 mg/dLNa/K/Cl 140/2,6/115
16 Agustus 2014
Nyeri Perut
B1:Airway:clear,
terintubasi CMV TV
370, FiO2 40% PEEP
5 SpO2100%
Sp:Vesikuler
Blunt Abdominal d/t Jejenum Perforasi
- Tirah baring, head up 30°
- Diet TPN- IVFD RL 30 gtt/i- Inj. Meropenem
40
B2:Akral:H/M/K,
TD113/67mmHg,
HR:109x/i,T/V: Kuat/
cukup, reguler
B3:Sens:DPO,pupil
isokor Ø3mm/3mm,
RC +/+
B4:UOP(+),volume
30cc,warnakuningpek
at
B5:Soepel,peristaltik(
+) lemah,drainage(+)
warna kehitaman
B6: oedem
pretibial(-) , fraktur
(-)
1gr/ 8 jam
- Inj. Omeprazole
40mg/ 12jam
- Inj. Vit C 1gr/
24jam
- Inj. Vit E 100
IU / 24 jam
- Inj. Mo 10 mg + 15mg MiLoz à 4cc / jam
17 Agustus 2014
Nyeri Perut
B1:Airway:clear,
terintubasi CMV TV
370, FiO2 40% PEEP
5 SpO2100%
Sp:Vesikuler
B2:Akral:H/M/K,
TD115/65mmHg,
HR:114x/i,T/V: Kuat/
cukup, reguler
B3:Sens:DPO,pupil
isokor Ø 3mm/3mm,
RC +/+
B4:UOP(+),volume
30cc,warnakuningpek
at
Blunt Abdominal d/t Jejenum Perforasi
- Tirah baring, head up 30°
- Diet TPN- IVFD RL 30 gtt/i- Inj. Meropenem
1gr/ 8 jam
- Inj. Omeprazole
40mg/ 12jam
- Inj. Vit C 1gr/
24jam
- Inj. Vit E 100
IU / 24 jam
- Inj. Mo 10 mg + 15mg MiLoz à 4cc / jam
41
B5:Soepel,peristaltik(
+) lemah,drainage(+)
warna kehitaman
B6: oedem
pretibial(-) , fraktur
(-)
BAB 4
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Dilaporkan seorang anak laki – laki, usia 12 tahun, datang ke RSUP HAM
dengan keluhan nyeri seluruh lapangan perut. Hal ini dialami pasien ± sejak 4 hari
42
sebelum masuk RSHAM. Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati kemudian
menyebar ke perut kanan bawah dan kemudian menjalar ke seluruh lapangan perut.
Riwayat demam (+) ± 4 hari SMRS, demam bersifat naik-turun dan turun dengan obat
penurun panas.Riwayat mual dan muntah (+), frekuensi 2-3x/hari, isi apa yang
dimakan dan diminum. Riwayat mencret (+), frekuensi 2-3x/hari, cair, lendir (-), darah
(-). BAK (+) normal.
Saat datang ke RSUP HAM, airway clear, breathing adekuat dengan laju napas
26 x/i, circulation stabil dengan CRT <2 detik, akral teraba hangat, merah, dan kering,
pasien mengalami takikardi dengan frekuensi nadi 112 x/i, tekanan/volume kuat dan
cukup, tekanan darah 110/70 mmHg, disability kesadaran baik, dan no exposure.
Pasien dikonsulkan untuk tindakan anestesi dan pemasangan cvc untuk persiapan
eksplorasi laparatomy.
Pasien didagnosis dengan diffuse Peritonitis ec. appendicitis perforation,
dimana pada pasien dijumpai keluhan utama nyeri seluruh lapangan perut, dan pada
pemeriksaan fisik abdomen dijumpai defans muskular dan dijumpai peristaltik.
Setelah dilakukan penanganan awal yang meliputi primary survey, secondary
survey, dan tertiary survey, pasien kemudian dilakukan tindakan eksporasi
laparotomy, kemudian pasien di pindahkan ke ruangan bedah RB2 kamar III-1 untuk
pemantuan lebih lanjut, berdasarkan follow up kondisi pasien baik namun temperatur
pasien masih tinggi dan direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium
ulang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief, S,A, Surjadi K, Dachlan R., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h 41 – 9.
2. Nainggolan, I.B., 2011. Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi
43
Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Tesis Akhir
Penelitian. Medan.
3. Campbell., 2002. Anesthesia. Blackwell scientific publication.Smeltzer, S.C.,
Bare, B.G., 2002. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC
4. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., 2002. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2.
Jakarta: EGC
5. Brunner and Suddart. 2005.Buku Ajar Keperawatan Bedah. Edisi 8. Jakarta:
EGC.
6. Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J.. 2006. Clinical Anesthesiology, 4th
Ed. United States of America: Lange.
7. Hughes, S.C.A., 2006. ATLS secondary survey mnemonic: Has My Critical Care
Assessed Patient’s Priorities or Next Management Decision? Emerg Med J. Aug
2006; 23(8): 661–662. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2564187/ [Accessed on August,
14th 2014]
8. Carter, E.A., Waterhouse, L.J., Kovler, M.L., 2012. Adherence to ATLS primary
and secondary surveys during pediatric trauma resuscitation. Available from:
http://www.resuscitationjournal.com/article/S0300-
9572%2812%2900317-6/fulltext [Accessed on: August, 14th 2014]
9. Yogaswara, D. 2011. Pemeriksaan Pra Bedah. Available from:
http://www.academia.edu/2245795/Examination_before_Surgery [Diakses 21
Agustus 2014]
10. Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC.
11. Miller, R.D., Eriksson, L.I., Fleisher, L.A., Wiener-Kronish, J.P., Young, W.L.,
2005. Miller’s Anesthesia 7th ed. USA: Elsevier
12. Admin. (2007) . Pemantauan anestesi. Dibuka pada tanggal 22 Agustus 2014
dari http://admin manajemen blogspot.com
13. Schou, John. 2—4. Clinical use of midazolam. Germany. Alix Publishing.
Dibuka tanggal 22 Agustus 2014, dari:
http://www.bbraun.be/documents/Knowledge/Booklet_Midazolam-
_Clinical_Use_of_Midazolam.pdf
44
14. Abdallah, C & Hannallah, R. 2011. Premedication of The Child Undergoing
Surgery. M.E.J. Anesth. USA. Dibuka pada tanggal 22 Agustus 2014 dari
http://www.meja.aub.edu.lb/downloads/21_2/165.pdf
15. Kumala. (2008). Bius total: Adakah efek sampingnya. Dibuka pada tanggal 22
Agustus 2014, dari http://www.tanyadokteranda.com
45