bab 1-2 - teori

66
BAB 1 PENDAHULUAN Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes (1809-1894), yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. 1 Davy (1800), seorang ahli kimia yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat kimia tertentu seperti oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius. 2 Walaupun dokter yang pertama kali menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika Serikat, karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton karena Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit di depan umum pada tahun 1846. Pada tahun 1848, di Inggris tercatat J.Y. Simpson dan John Snow yang banyak mengembangkan anestesi. 3 Eter waktu itu banyak digunakan untuk membantu persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson dan asistennya banyak bereksperimen dengan bahan–bahan kimia untuk mencari anestesi yang efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri. Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya 1

Upload: mhd-fikri-awza

Post on 26-Jan-2016

251 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kedokteran

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1-2 - Teori

BAB 1

PENDAHULUAN

Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes (1809-1894), yang

menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat

dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.1 Davy (1800), seorang ahli

kimia yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat kimia tertentu seperti

oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius.2 Walaupun dokter yang pertama kali

menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika Serikat,

karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika menyebutkan

bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton karena Morton secara

demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit di depan umum pada tahun

1846.

Pada tahun 1848, di Inggris tercatat J.Y. Simpson dan John Snow yang banyak

mengembangkan anestesi.3 Eter waktu itu banyak digunakan untuk membantu

persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson dan asistennya

banyak bereksperimen dengan bahan–bahan kimia untuk mencari anestesi yang

efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri.

Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose

umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.10

Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang

memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada

kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-

lain. Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan

kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama

penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk

meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi

dilakukan.2

Secara garis besar ada empat hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca

anestesi, yaitu: masalah pernapasan, kardiovaskular, keseimbangan cairan, sistem

1

Page 2: Bab 1-2 - Teori

persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal. Harus diperhatikan bahwa komplikasi

anestesi yang tidak segera ditangani akan berdampak kematian bagi pasien. Beberapa

komplikasi lain yang mungkin terjadi antara lain: pernapasan tidak adekuat,

pneumotorakis, atelektasis, hipotensi, gagal jantung, embolisme pulmonal,

pemanjangan efek sedatif premedikasi, trombosis jantung, cedera kepala, sianosis,

konfulsi, mual muntah, embolisme lemak, dan keracunan barbiturat.3

Pasien yang baru saja menjalani tindakan operasi harus dirawat sementara di

PACU (Post Anesthesia Care Unit) atau ruang pemulihan (recovery room) untuk

perawatan post anestesi sampai kondisi pasien stabil. Kegiatan pemantauan anestesi

antara lain untuk mendapatkan informasi supaya anestesi dapat bekerja dengan aman

dan jika ada penyimpangan dapat segera dikembalikan ke keadaan yang normal.

Penatalaksanaan pasien pascaanestesi yaitu memperhatikan hal-hal yang terkait

dengan keadaan pasien pasca dilakukannya anestesi. Pemantauan yang optimal dan

penanganan pasien pasca anestesi yang dilakukan dengan baik dapat mencegah

terjadinya komplikasi pasca anestesi pada pasien. Sehingga peran pemantauan dan

penatalaksanaan pasien tersebut sangat penting dilakukan dengan baik oleh perawat.2

2

Page 3: Bab 1-2 - Teori

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pre operatif

Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh. Fase pre

operasi adalah. Fase pre operatif dimulai ketika keputusan untuk menjalankan operasi

dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi.4

Pemeriksaan preoperatif merupakan semua pemeriksaan (anamnesa,

pemeriksaan fisik, laboratorium, radiologi, dan lain – lain) dalam rangka

mempersiapkan pasien untuk dilakukan tindakan pembedahan dengan tujuan untuk

menjamin keselamatan pasien intraoperatif. Persiapan yang baik selama periode pre

operatif menurunkan risiko operasi dan meningkatkan pemulihan pasca bedah.5

Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status

kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan

masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status

hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik,

fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain.4

Selain itu pasien penilaian primer (primary survey), penilaian sekunder

(secondary survey), dan penilaian tersier (tertiary survey). Penilaian primer dilakukan

dalam 2-5 menit yang memuat ABCDE: airway, breathing, circulation, disability, dan

exposure. Apabila fungsi dari tiga sistem pertama mengalami gangguan, resusitasi

harus segera dilakukan. 5,6

Meskipun terdapat urutan ABCDE, tetapi penilaian ini harus dilakukan secara

simultan. Kemudian, monitoring dasar perlu dilakukan, termasuk elektrokardiograf

(EKG), pengukuran tekanan darah, serta saturasi O2. Setelah dilakukan penilaian

primer, maka dilanjutkan penilaian sekunder, kemudian penilaian tersier.6,7

Tujuan Pemeriksaan Prabedah :

1. Pengumpulan data pasien

2. Menentukan masalah yang ada

3. Meramalkan penyulit yang akan terjadi

4. Melakukan persiapan untuk mencegah penyulit yang mungkin terjadi

3

Page 4: Bab 1-2 - Teori

5. Menetukan status fisik pasien

6. Menentukan obat & teknik anestesi

7. Menentukan premedikasi9

2.1.1. Primary Survey

1. Airway

Stabilisasi dan mempertahankan jalan napas selalu menjadi prioritas utama.

Apabila pasien dapat berbicara, maka jalan napas biasanya bebas, tetapi pada pasien

yang tidak sadar, maka perlu dipastikan jalan napasnya. Tanda-tanda yang penting

pada obstruksi jalan napas meliputi snoring, gurgling, stridor, dan gerakan dada yang

paradoks. Adanya benda asing perlu dipikirkan pada pasien-pasien yang tidak sadar.

Penanganan jalan napas lanjutan (intubasi endotrakeal, krikotiroidotomi, serta

trakeostomi) diindikasikan apabila terdapat apnu, obstruksi yang persisten, luka kepala

berat, trauma maksilofasial, luka tembus di leher, atau luka pada dada yang hebat.7

Selain jalan napas, pada airway, perlu diperhatikan tentang kemungkinan luka

pada servikal. Terdapat lima kriteria yang meningkatkan kecurigaan akan adanya

fraktur servikal: (1) nyeri di leher, (2) nyeri hebat di tempat lain, (3) tanda atau gejala

neurologis, (4) intoksikasi, dan (5) hilangnya kesadaran di tempat kejadian. Fraktur

servikal harus dicurigai apabila terdapat salah satu dari kriteria tersebut, meskipun

tidak terdapat luka pada daerah di atas klavikula. Untuk manuver yang aman

dilakukan adalah dengan menggunakan manuver jaw-thrust untuk mencegah

hiperekstensi leher. Pasien-pasien yang tidak sadar disertai dengan trauma berat, maka

harus dipikirkan risiko terjadinya aspirasi, sehingga jalan napas harus segera

diamankan dengan menggunakan bantuan ETT maupun trakeostomi.7,8

Trauma pada daerah laring akan memperberat keadaan. Luka terbuka bisa

berhubungan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di daerah leher, obstruksi

dari hematoma maupun edema, emfisema subkutis, dan luka servikal. Trauma laring

tertutup lebih tidak jelas, tetapi dapat ditandai dengan adanya krepitasi pada daerah

leher, hematoma, disfagia, hemoptisis, atau kesulitan berbicara. Apabila sulit untuk

dilakukan ETT, maka trakeostomi dapat dipertimbangkan. 7,8

4

Page 5: Bab 1-2 - Teori

2. Breathing

Penilaian tentang ventilasi akan paling baik dilakukan dengan pendekatan look,

listen, and feel. Look, lihat tanda-tanda sianosis, penggunaan otot bantu pernapasan,

ketinggalan bernapas, atau luka tembus di dada. Listen, dengar ada atau tidaknya suara

napas. Feel, untuk emfisema subkutis, pendorongan trakea, maupun fraktur iga. Klinisi

wajib memiliki kecurigaan yang besar terhadap adanya pneumotoraks tension dan

hemotoraks, terutama pada pasien-pasien dengan distres nafas. Drainase pleura

mungkin diperlukan sebelum rontgen dada bisa didapatkan. 8

Sebagian besar pasien-pasien yang mengancam nyawa memerlukan bantuan

(atau kontrol) nafas. Bag-valve devices akan menyediakan ventilasi yang adekuat

segera setelah intubasi dan saat transportasi pasien. Penilaian tentang analisa gas darah

arteri (AGDA) diperlukan untuk menilai konsentrasi oksigen yang dikirimkan ke

jaringan. 8

3. Circulation

Penilaian untuk sirkulasi berdasarkan pada denyut nadi, tekanan/volume,

tekanan darah, dan tanda-tanda dari perfusi jaringan. Tanda-tanda yang bisa dijumpai

apabila terdapat sirkulasi yang tidak adekuat, antara lain: takikardi, pulsasi nadi yang

lemah hingga tidak teraba, hipotensi, serta ekstremitas yang pucat, dingin, atau

sianosis. Prioritas utama untuk mengembalikan sirkulasi yang adekuat adalah dengan

menghentikan perdarahan; kedua adalah dengan menggantikan volume intravaskular.

Henti jantung selama transportasi ke rumah sakit atau segera setelah luka tembus

maupun tumpul pada toraks merupakan suatu indikasi torakotomi emergensi. 8

Untuk kontrol perdarahan, harus diketahui asal perdarahan, kemudian lakukan

tekanan di daerah luka tersebut. Luka pada daerah ekstremitas biasanya dapat dengan

mudah dikontrol dengan melakukan penekanan. Pada pasien-pasien dengan trauma

berat, maka perlu dipikirkan tentang syok. Syok yang sering terjadi pada pasien

trauma adalah syok hipovolemik. Respon fisiologis yang dapat terjadi adalah

takikardi, perfusi jaringan yang kurang, dan penurunan dari tekanan nadi, hipotensi,

takipnu, serta delirium. Hematokrit dan hemoglobin bukanlah menjadi tolok ukur

utama untung menggambarkan jumlah perdarahan akut. Pada pasien dengan

hemodinamik yang tidak stabil seperti ini, perlu dipertimbangkan monitoring tekanan

5

Page 6: Bab 1-2 - Teori

darah arteri secara invasif. Pada hipovolemia berat, maka denyut nadi dapat terasa

hilang saat fase inspirasi. 7

Untuk kepentingan resusitasi dan cairan, maka diperlukan IV-kateter nomor

besar (14-16 G) pada vena yang mudah didapatkan. Meskipun terbukti bahwa

pemasangan jalur sentral akan memberikan informasi yang penting terkait status

volume pada pasien, mereka akan sangat memakan waktu dan memiliki risiko

komplikasi yang mengancam nyawa (pneumotoraks), sehingga jalur perifer menjadi

pilihan utama untuk resusitasi awal. 7

Untuk pemilihan cairan, kristaloid adalah cairan yang tersedia dengan cepat

dan lebih murah. Resusitasi memerlukan jumlah yang lebih banyak, karena sebagian

besar dari cairan kristaloid tidak bertahan lama di dalam kompartemen intravaskular.

Koloid jauh lebih mahal dibandingkan dengan kristaloid, tetapi lebih efektif dan lebih

cepat dalam mengembalikan volume intravaskular. Akan tetapi, defisit cairan

interstisial terkait dengan syok hipovolemik lebih baik diberikan cairan kristaloid, atau

kombinasi antara koloid dan kristaloid. Sedangkan untuk darah, akan cukup memakan

waktu untuk cross-match, yakni sekitar 45-60 menit, sehingga bukan menjadi pilihan

utama. 7

4. Disability

Evaluasi untuk disabilitas memerlukan penilaian neurologis yang cepat. Karena

tidak ada waktu untuk menggunakan sistem GCS, maka sistem AVPU lebih

digunakan, yaitu: Awake, Verbal response, Painful response, Unresponsive.7

5. Exposure

Buka pakaian pasien untuk memeriksa luka yang terdapat pada tubuhnya. In-

line immobilization harus digunakan jika terdapat kecurigaan adanya luka pada tulang

belakang. 7

2.1.2. Secondary Survey

Penilaian sekunder hanya dilakukan apabila ABC sudah dalam kondisi stabil.

Pada penilaian sekunder, pasien diperiksa dari ujung kepala hingga ujung kaki (head-

to-toe examination) dan pemeriksaan lainnya dilakukan (radiografi, laboratorium,

prosedur diagnostik lainnya). Pemeriksaan kepala meliputi luka pada kulit kepala,

6

Page 7: Bab 1-2 - Teori

mata, dan telinga. Pemeriksaan neurologis meliputi GCS dan evaluasi dari fungsi

motorik dan sensorik termasuk refleks-refleks. Pupil yang berdilatasi maksimal tidak

selamanya menandakan kerusakan otak yang ireversibel. Pemeriksaan dada, lakukan

auskultasi dan inspeksi kembali untuk melihat fraktur maupun fungsi dari

pernapasannya (ketinggalan bernapas). Hilangnya suara napas dapat dicurigai adanya

suatu pneumotoraks yang perlu dilakukan pemasangan chest tube. Hal yang serupa,

suara jantung yang menjauh, tekanan nadi yang sempit (narrow pulse pressure), serta

vena leher yang distensi dapat menunjukkan adanya tamponade jantung, yang perlu

dilakukan perikardiosentesis. Pemeriksaan abdomen meliputi inspeksi, auskultasi,

serta palpasi. Pemeriksaan ekstremitas meliputi fraktur, dislokasi, dan pulsasi perifer.

Pemasangan kateter serta NGT juga dilakukan.7,8

Analisis dasar laboratorium termasuk darah lengkap, elektrolit, gula darah,

blood urea nitrogen (BUN), serta kreatinin. AGDA juga sangat membantu. Foto toraks

harus segera dilakukan pada semua pasien dengan trauma hebat. Kecurigaan adanya

fraktur servikal harus dievaluasi dengan memeriksakan ketujuh vertebra servikalis.

Pemeriksaan lainnya berupa FAST dapat dilakukan untuk menilai adanya perdarahan

intraperitoneal maupun tamponade jantung. 9

2.1.3. Tertiary Survey

Beberapa pusat menyarankan adanya penilaian tersier untuk mencegah adanya

luka yang terlewatkan. Sekitar 2-50 % dari luka trauma dapat terlewatkan di penilaian

primer dan sekunder, terutama pada trauma multipel. Hal ini dapat dilakukan dalam 24

jam pertama. Evaluasi yang lebih lama ini dapat menyebabkan pasien menjadi lebih

sadar, sehingga dapat berkomunikasi dengan lebih baik, memberikan informasi yang

lebih detail tentang mekanisme injuri, serta penyakit-penyakit penyerta. 7,8

2.1.4. Penilaian ASA

Untuk menentukan prognosis, ASA (American Society of Anesthesiologists)

membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien

kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut:

- ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.

7

Page 8: Bab 1-2 - Teori

- ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena

penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan

hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris.

- ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan

karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia,

atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium.

- ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung

mengancam kehiduannya.

- ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau

tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena

ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan

mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.9

2.1.5. Premedikasi

Obat dan penerangan yang diberikan sebelum dilakukan tindakan anestesi.

Tujuan:

- Membuat penderita lebih tenang

- Mengurangi rasa nyeri

- Menambah efek obat anestesi (menurunkan dosis)

- Mencegah efek samping obat anestesi

Misal :

- Anestesi dengan Eter : Premed : DBHP (anti muntah), SA (Pengering)

- Anestesi dengan Halothane : Premed : narkotik

- Anestesi dengan Ketamin : Premed : Diazepam, SA.9

2.2. Teknik Anestesi General

2.2.1. Definisi

Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama

narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.10 Anestesi umum biasanya dimanfaatkan

untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu

8

Page 9: Bab 1-2 - Teori

pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu

empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain.11

Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan

kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama

penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk

meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi

dilakukan.9

Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama

narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.10 Anestesi umum biasanya dimanfaatkan

untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu

pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu

empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain.11

Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan

kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama

penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk

meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi

dilakukan.11

2.2.2. Tahapan Anestesi General

Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi

volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya

kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil,

dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai

dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II

terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur,

inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III

(pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan

pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-

abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva

dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola

9

Page 10: Bab 1-2 - Teori

mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III,

ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot

perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis), ditandai

dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan

gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal.12

2.2.3. Premedikasi

Tujuan utama terapi preanestesi adalah untuk menurunkan respon stress dengan

memelihara parameter hemodinamik, memfasilitasi induksi anestesi, dan

menghasilkan amnesia. Umur, berat badan, riwayat pengobatan, status alergi, dan

kondisi/ penyakit dasar pasien merupakan factor-faktor yang perlu dipertimbangkan

sebelum pemberian premedikasi. Pada kebanyakan kasus, pemberian obat tanpa jarum

lebih nyaman untuk anak-anak, keluarga, dan pelayan kesehatan. Rute pemberian obat

oral tidak meningkatkan risiko terjadinya pneumonia aspirasi.13

- Midazolam

Midazolam merupakan obat yang paling sering digunakan untuk anestesi anak-

anak. Anak-anak yang menjalani operasi sering tidak kooperatif akibat rasa nyeri,

lingkungan yang tidak akrab, dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Hal ini

dapat mengakibatkan munculnya kecemasan yang berkaitan dengan peningkatan

intensitas nyeri pasca operasi dan pelepasan hormon stress yang mengakibatkan

luaran buruk. Selain itu, sekitar separuh dari keseluruhan anak yang menjalani

pembedahan menunjukkan perilaku negatif pasca operasi, yang dapat diprediksi

dengan kecemasan pasien saat induksi dan riwayat rawatan pasien sebelumnya.

Midazolam merupakan golongan benzodiazepin dengan kerja yang paling cepat.

Efek yang ditimbulkan oleh midazolam antara lain: ansiolitik, relaksasi otot, amnesia

dengan dosis rendah; dan sedasi atau hipnosis dengan dosis yang lebih tinggi.

Midazolam tidak memiliki efek analgetik, namun memiliki efek pada nosisepsi

sentral (persepsi nyeri) yang, pada penggunaan klinik, sulit dibedakan dengan

analgetik. Efek samping yang ditimbulkan oleh midazolam antara lain adalah depresi

pernapasan. Midazolam merupakan kontraindikasi pada pasien-pasien dengan gagal

10

Page 11: Bab 1-2 - Teori

napas dan hiperkapnea.13

Tabel 2.1. Rute Pemberian Midazolam13

- Fentanil

Opioid dapat digunakan sebagai terapi preanestetik untuk anak dengan nyeri

perioperatif; tetapi efek samping perioperatif seperti depresi napas, disforia, pruritus,

dan nausea/vomitus harus dipertimbangkan sebelum pemberian opioid. Neonatus

sangat sensitive terhadap efek depresi saluran napas oleh opioid, sehingga jarang

diberikan pada neonatus.

Fentanil dapat diberikan melalui rute parenteral, transdermal, nasal, dan oral.

Pemberian dengan metode “lollipop”, oral transmucosal fentanyl citrate (OTCF)

dapat diterima oleh anak-anak dibandingkan melalui rute lain. Fentanil bersifat

lipofilik kuat, diabsorbsi oleh mukosa bukal dengan bioavailbility 30-50%. Dosis

optimal adalah 10-15μg/kg BB. Pemulihan efek anestesi fentanil oral 10-15μg/kg BB

sama dengan fentanil intravena sebanyak 2 μg/kg BB.14

2.2.4. Obat Anestesi General

Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan

utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa

11

Page 12: Bab 1-2 - Teori

pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,

dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1)

bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3)

batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan

obat yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau

tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan

bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP.12

Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O,

halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal

haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam darah,

tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak

dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien.10

1. Anestesi Cair yang Menguap

Tabel 2.2. Obat Anestesi Cair yang Menguap

Halotan

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh

a. Kardiovaskular

Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas sistem

konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus dari curah jantung

yang berkurang, serta pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia

12

Page 13: Bab 1-2 - Teori

yang diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya hipotensi untuk

menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi, yang dalam hal ini

perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin.10

b. Pernapasan

Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan menurunnya

volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh

CO2. Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi spasme

bronkus.10

c. Susunan Saraf Pusat

Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan tekanan

intrakranial menurun.10

d. Ginjal

Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal disebabkan oleh

curah jantung yang menurun.10

e. Hati

Aliran darah ke hati menurun.10

f. Uterus

Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam manipulasi kasus

obstetrik (misalnya penarikan plasenta).10

Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20% melalui

metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat.12

Potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan napas

tidak ada, serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkan kerugiannya adalah

depresi miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard terhadap aritmia yang

diinduksi oleh katekolamin, serta aliran darah serebral menurun yang dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.10 Halotan digunakan secara

ekstensif dalam anestesia anak karena ketidakmampuannya menginduksi

inhalasi secara cepat dan status asmatikus yang refraktur. Obat ini

dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial.10

Efek samping/ toksisitas

13

Page 14: Bab 1-2 - Teori

a. Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien yang mempunyai

resiko adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda lebih banyak

terjadi dengan periode waktu yang singkat; ditandai dengan nekrosis

sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat juga

terjadi dengan isofluran dan etran.10

b. Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan peningkatan suhu

tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta dijumpai asidosis

metabolik. Secara umum, hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan

dan trolen yang merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari retikulum

sarkoplasmik.10

Enfluran

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh

a. Kardiovaskular

Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator arterial, dan sensitisasi

ringan miokard terhadap katekolamin.10

b. Respirasi

Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia ablasia yang disebabkan

oleh bronkodilator.10

c. Susunan Saraf Pusat

Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan tekanan parsial

CO2 (PCO2) menurun (hipokarbia); vasodilatasi serebral dengan

meningkatnya tekanan intrakranial.10

d. Ginjal

Aliran darah ginjal dan GFR menurun.10

Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit utama, yaitu fluorida

mempunyai potensi untuk menimbulkan nefrotoksis (sangat jarang digunakan

secara klinis).10 Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik,

respons kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung minimal, dan tidak

mengiritasi saluran napas. Sedangkan kerugiannya adalah Enfluran mempunyai

potensi aktivitas kejang. Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial

14

Page 15: Bab 1-2 - Teori

yang meningkat disertai dengan gangguan patologik intrakranial.10

Isofluran

Efek terhadap sistem tubuh

a. Kardiovaskular

Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis, sedangkan

curah jantung biasanya normal disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi

miokard minimal terhadap katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal

oleh vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang berlebihan.10

b. Respirasi

Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia ventilasi,

bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas.10

c. Ginjal

Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal rendah disebabkan

tekanan arterial menengah yang menurun.10

d. Susunan Saraf Pusat

Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen metabolik serebral

menurun, dan merupakan obat pilihan untuk bedah.10

Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan pada

waktu ekspirasi dalam bentuk gas.10 Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak

bersifat aritmogenik, tekanan intrakranial tidak meningkat, bronkodilator.

Sedangkan kerugiannya adalah iritasi jalan napas sedang.10

Sevofluran

Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu menyengat,

dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya cepat. Indikasi

klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2 dan untuk

pemeliharaan umum.10

2. Anestesi intravena

Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi

15

Page 16: Bab 1-2 - Teori

cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu

anestesi umum per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium

anestesi, penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan.

Tabel 2.3. Obat Anestesi Intravena

- Propofol

Propofol (2,6-diisopropylophenol) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977,

dilarutkan dalam kremofor karena sifatnya yang tidak larut dalam air. Kemudian

propofol ini ditarik dari peredaran karena pernah dilaporkan terjadinya insiden reaksi

anafilaktik pada saat penyuntikan. Pelarut yang adekuat untuk propofol ditemukan

berdasarkan penelitian klinis pada tahun 1983 dan dipakai di seluruh dunia sampai

saat ini. Propofol menjadi obat pilihan induksi anestesia, khususnya ketika bangun

yang cepat dan sempurna diperlukan. Kecepatan onset sama dengan barbiturat

intravena, masa pemulihan lebih cepat dan pasien dapat pulang berobat jalan lebih

cepat setelah pemberian propofol. Kelebihan lainnya pasien merasa lebih nyaman

pada periode paska bedah dibanding anestesi intravena lainnya. Mual dan muntah

paska bedah lebih jarang karena propofol mempunyai efek anti muntah.

Propofol adalah modulator selektif dari reseptor gamma amino butiric acid

16

Page 17: Bab 1-2 - Teori

(GABAA) dan tidak terlihat memodulasi saluran ion ligand lainnya pada konsentrasi

yang relevan secara klinis. Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui

interaksi reseptor GABAA. GABA adalah neurotransmiter penghambat utama dalam

susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida

transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel

postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi propofol dengan

komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu meningkatkan laju disosiasi

dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampumeningkatkan lama waktu dari

pembukaan klorida yang diaktifkan oleh GABA dengan menghasilkan

hiperpolarisasi dari membran sel.

Dosis induksi dari propofol pada orang yang sehat adalah 1.5 hingga 2.5 mg/

kgBB IV, dengan kadar darah 2-6 μg/ ml yang menghasilkan ketidaksadaran 

tergantung pada pengobatan dan pada usia pasien. Onset hipnosis propofol sangat

cepat (one arm-brain circulation) dengan durasi hipnosis 5-10 menit. Seperti halnya

dengan barbiturat, anak membutuhkan dosis induksi dari propofol yang lebih tinggi

per kilogram badan, kemungkinan berhubungan dengan volume distribusi sentral

lebih besar dan juga angka bersihan yang tinggi. Pasien lansia membutuhkan dosis

induksi yang rendah (25% hingga 50% terjadi penurunan) akibat penurunan volume

distribusi sentral dan juga penurunan laju bersihan. Pasien sadar biasanya terjadi

pada konsentrasi propofol plasma 1,0 hingga 1,5 μg/ml. Dosis khusus dari propofol

untuk pemeliharan anestesia adalah 100-300 μg/ kgBB/

menit IV, seringkali dikombinasikan dengan opioid kerja jangka pendek.

Anestesia umum menggunakan propofol mempunyai efek mual dan muntah

paska operasi yang minimal dan kesadaran yang lebih cepat dengan efek residual

yang minimal. Propofol mengurangi laju metabolik otak untuk oksigen (CMRO2),

aliran darah ke otak (CBF), dan tekanan intrakranial (ICP). Pemberian propofol

untuk menghasilkan sedasi pada pasien dengan SOL (space occupying lesion)

intrakranial tidak meningkatkan ICP. Dosis yang besar dari propofol ini dapat

mengurangi tekanan darah sistemik dan juga mengurangi tekanan perfusi otak (CPP).

Autoregulasi serebrovaskular sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah

sistemik dan reaktivitas aliran darah ke otak untuk merubah PaCO2 tidak

17

Page 18: Bab 1-2 - Teori

dipengaruhi oleh propofol. Dalam hal ini kecepatan aliran darah ke otak akan

berubah seiring dengan perubahan pada PaCO2 dengan adanya propofol dan

midazolam. Propofol menimbulkan perubahan elektroensefalografi (EEG) sama

dengan tiopental, termasuk kemampuan untuk menghasilkan supresif penuh dengan

dosis tinggi. Bangkitan potensial somatosensori kortikal yang dimanfaatkan untuk

monitoring fungsi medula spinalis tidak begitu bermakna pada penggunaan propofol

tunggal tetapi penambahan nitro oksida atau anastesi inhalasi menghasilkan

penurunan amplitudo. Pada level sedasi yang sama, propofol menghasilkan

gangguan memori pada derajat yang sama seperti midazolam. Peningkatan toleransi

terhadap obat dalam menekan sistem saraf pusat sering terjadi pada pasien yang

sering menggunaan opioid, obat hipnotik sedatif, ketamin dan nitrous oksida.

Hipotensi merupakan komplikasi akibat pemberian propofol khususnya pada

orang tua, bahkan dapat menyebabkan hipotensi preintubasi paska induksi yang

sedang sampai berat. Hipotensi ini dapat menurunkan CBF dan menimbulkan

episode sekunder iskemi serebral yang dapat menyebabkan gejala sisa neurologi.

Propofol menghasilkan penurunan tekanan darah sistemik yang lebih besar

dibandingkan dosis tiopental pada saat induksi. Pada keadaan dimana tidak ada

gangguan kardiovaskuler, dosis induksi 2 - 2,5 mg/kgBB menyebabkan penurunan

tekanan darah sistolik sebesar 25-40%. Perubahan yang sama terlihat juga terhadap

tekanan arteri rerata (MAP) dan tekanan darah diastolik. Penurunan tekanan darah ini

mengikuti penurunan curah jantung sebesar 15% dan penurunan resistensi vaskular

sistemik sebesar 15-25 %. Relaksasi otot polos vaskular dihasilkan oleh propofol

adalah terutama berkaitan dengan hambatan aktivitas saraf simpatik. Menurut

Dhungana, propofol menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi perifer yang

diakibatkan oleh peningkatan produksi endothelial dan lepasnya nitric oxide.

Efek inotropik negatif dari propofol dapat dihasilkan dari penurunan kalsium

intraselular akibat hambatan influks kalsium trans sarkolema. Efek tekanan darah

akibat propofol dapat diperburuk pada pasien hipovolemi, pasien lanjut usia dan

pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri yang berkaitan dengan penyakit arteri

koroner. Di samping penurunan tekanan darah sistemik, peningkatan denyut jantung

seringkali tidak berubah secara nyata. Bradikardi dan asistol juga telah diamati

18

Page 19: Bab 1-2 - Teori

setelah induksi anestesia dengan propofol, yang menghasilkan rekomendasi dimana

obat antikolinergik diberikan ketika stimulasi vagal terjadi berkaitan dengan

pemberian propofol. Propofol dapat mengurangi aktivitas sistem saraf simpatik pada

cakupan yang lebih besar dibandingkan dengan aktivitas system saraf parasimpatik,

dengan menghasilkan dominasi aktivitas parasimpatik. Refleks baroreseptor yang

mengontrol denyut jantung juga didepresi oleh propofol sehingga mengurangi refleks

takikardia yang selalu mengikuti hipotensi. Hal ini yang menyebabkan laju jantung

tidak berubah secara bermakna setelah penyuntikan propofol.

Propofol menghasilkan depresi ventilasi tergantung pada dosis, kecepatan

pemberian dan premedikasi, dengan apnu yang berlangsung pada 25% hingga 35%

pasien setelah induksi dengan propofol. Pemberian opioid pada pengobatan

preoperatif dapat meningkatkan efek depresi ventilasi. Pemakaian infus rumatan

propofol akan mengurangi volume tidal dan frekwensi pernafasan. Propofol

mengurangi respon ventilasi pada karbon dioksida dan juga hipoksemia. Propofol

dapat mengakibatkan bronkodilatasi dan menurunkan insidensi sesak pada pasien

asma. Konsentrasi sedasi dari propofol akan menekan respon ventilasi terhadap

hiperkapnia disebabkan efek dari kemoreseptor sentral. Berbeda dengan anestesi

inhalasi dosis rendah, respon kemorefleks perifer pada karbon dioksida masih tetap

ada ketika dirangsang oleh karbon dioksida dengan adanya propofol.

Propofol tidak mempengaruhi fungsi ginjal atau hepar sebagaimana dinyatakan

oleh konsentrasi enzim transaminase liver atau kreatinin. Propofol tidak

mempengaruhi sintesis kortikosteroid atau mempengaruhi respon normal terhadap

stimulasi ACTH. Propofol dalam formula emulsi tidak mempengaruhi fungsi

hematologi atau fibrinolisis.

Propofol juga mempunyai efek antiemetik yang signifikan pada dosis

subhipnotik (10 mg) dan telah digunakan untuk mengatasi mual muntah paska

operasi (PONV). Peningkatan tekanan bola mata dicegah setelah pemberian

propofol, oleh sebab itu propofol ideal digunakan pada operasi mata.

3. Anestesi Gas

19

Page 20: Bab 1-2 - Teori

Tabel 2.4. Obat Anestesi Gas

2.2.5. Muscle Relaxant

Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yang mengurangi

ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnya kurare,

suksinilkolin) (Grace, 2006). Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi

kerjanya, obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot

depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi

(mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3

grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat

berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot

membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi, blokade saraf-otot fase II

depolarisasi atau nondepolarisasi.

1. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak

dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan

terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot

lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan

dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase

plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase

(prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.

20

Page 21: Bab 1-2 - Teori

- Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)

Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki

onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10

menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh

pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga

hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapaineuromuscular

junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan

metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase.

Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati,

gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen

pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang.

Ciri kelumpuhan:

a. Ada fasikulasi otot.

b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.

c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi dan

asidosis.

d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal maupun

tetanik.

e. Belum diatasi dengan obat spesifik

2. Muscle Relaxant Golongan Nondepolarizing

Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan

depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin

tidak dapat bekerja. Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung

setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari

plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti

penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi

dalam aliran darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali

pada farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi

volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh

21

Page 22: Bab 1-2 - Teori

penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk

menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila

volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau

perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih

tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot

tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai

injeksi cepat intravena.

Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan

menjadi:

1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium,

mivakurium.

2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.

3. Eter-fenolik : gallamin.

4. Nortoksiferin : alkuronium.

Ciri Kelumpuhan Otot

Non Depolarisasi

a. Tidak ada fasikulasi otot.

b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi (eter, halotan,

enfluran, isofluran)

c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan ßßtunggal atau

tetanik.

d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.

2.2.6. Bahaya Anestesi

Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab. Sebagian penyebab

pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya tersebut tidak diperhatikan sama sekali,

atau tidak diatasi dengan baik, maka bencana dapat terjadi. Bahaya lain mungkin tidak

berbahaya tetapi merupakan sumber utama ketidaknyamanan, nyeri, atau iritasi

terhadap penderita. Bahaya anestesi yang mungkin dapat terjadi antara lain:

22

Page 23: Bab 1-2 - Teori

1. Kematian “dalam keadaan” atau “akibat anestesi”

Kematian dalam keadaan “teranestesi” mungkin tidak sepenting kematian akibat

anestesi, atau komplikasinya. Jika perdarahan masif yang terjadi selama pembedahan

tidak dapat dikontrol, hal ini tentu saja termasuk kematian dalam keadaan teranestesi

tetapi bukan akibat anestesi walaupun ahli anestesi telah mempunyai peran yang

penting untuk berusaha mempertahankan hidup penderita dengan secepatnya

melakukan transfusi darah.

2. Bahaya anestesi yang dapat mematikan

Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh hipoksia dan henti jantung yang

saling terkait, pada kedua kasus kematian dapat disebabkan oleh gangguan penyediaan

oksigen otak dan /atau jantung baik primer (yang disebabkan oleh hipoksia

respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat terhentinya sirkulasi setelah henti

jantung). Bahaya lain akibat anestesi yang dapat mematikan karena anestesi adalah

anafilaksis akut karena obat yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang

ganas.

3. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi

Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat kegagalan sebagian atau total

maupun hambatan terhadap penyediaan oksigen ke otak. Keadaan seperti ini dapat

terjadi pada semua titik mulai dari sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran

pernapasan atas dan bawah, paru–paru, pembuluh darah utama sampai kapiler, dan

akhirnya sampai kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel. Sebagian sel akan

pulih dari hipoksia atau bahkan anoksia yang berlangsung dalam beberapa menit,

tetapi pada otak akan terjadi kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit kekurangan

oksigen, demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif (henti

jantung).

2.3. Perawatan Post Anestesia

23

Page 24: Bab 1-2 - Teori

Pemulihan dari anestesia umum dan pembedahan dapat disertai dengan

sejumlah perubahan fisiologis yang mempengaruhi beberapa sistem organ tubuh.

Beberapa keadaan yang mungkin timbul adalah mual muntah post anestesia (PONV),

hipoksia, hipotermia dan instabilitas kardiovaskuler.

Pada penelitian prospektif pada lebih dari 160 ribu perawatan di PACU

penyebarannya berupa 9.8% PONV, 6.8% memerlukan bantuan nafas mekanis

dan2.7% mengalami hipotensi. Angka komplikasi pada penelitiam tersebut ditemukan

sejumlah 24%.

Gangguan jalan nafas yang sering dijumpai segera setelah pembedahan adalah

hilangnya tonus otot faring pada pasien yang mengalami sedasi. Efek yang

berkepanjangan dari obat anestesi inhalasi maupun intravena, obat neuromuskular dan

opioid berperan pada hilangnya tonus otot faring pada pasien PACU.

Pada pasien yang menjalani operasi abdominal, 8% hingga 10% memerlukan

intubasi dan ventilasi mekanis di dalam PACU. Kegagalan sistem respirasi segera

setelah pembedahan dikarenakan oleh keadaan sementara dan reversibel meliputi

respon terhadap nyeri, disfungsi diafragma, kelemahan muskuler dan impuls

pernafasan yang tertekan karena agen farmakologis.

PONV dapat dicetuskan oleh berbagai jalur melalui reseptor perifer maupun

sentral dengan etiologi sebenarnya yang tidak diketahui. Beberapa faktor resiko yang

berhubungan dengan pasien, anestesia dan pembedahan diasosiasikan dengan PONV

tetapi bukan merupakan hubungan sebab akibat yang mutlak.

Resiko seseorang pasien untuk mengalami PONV dapat diprediksikan dengan

sistem scoring yang disederhanakan dengan menggunakan faktor prediktor

independen. Pada pasien dewasa yang menjalani anestesia inhalasi, penggunaan

scoring Apfel yang disedehanakan dapat memprediksikan resiko PONV pada pasien

dengan komponen jenis kelamin, status mmerokok, riwayat PONV sebelumnya dan

penggunaan opioid intravena postoperatif. Apabila terdapat 0, 1, 2, 3, 4 dari faktor ini

dijumpai maka resiko PONV adalah 10%, 20%, 40%, 60% dan 80%.

Pada anak-anak sistem scoring yang sama juga dapat dipergunakan dengan

prediktor independen meliputi durasi pembedahan diatas 30 menit, usia diatas tiga

tahun, operasi strabismus dan riwayat PONV pasien sebelumnya.

24

Page 25: Bab 1-2 - Teori

Pencegahan utama dari PONV meliputi pertimbangan menggunakan teknik

anestesi lain (regional) karena pencetus utama dari kejadian tersebut merupakan

anestesi inhalasi dan opioid. Pasien dengan resiko tinggi akan mengalami penurunan

resiko yang bermakna apabila diberikan terapi profilaksis.

Antiemetik yang dapat digunakan untuk mengurangi PONV meliputi, cydizine,

dimenhydrate, droperidol, deksametason, metoclopramide, ondansentron,

dolasetron,tropisentron dan granisetron. Resiko relatif dari antiemetik tersebut

dibandingkan dengan plasebo berada diantara 0.60 hingga 0.80.

Pada penggunaan ondansentron, dosis efektif untuk PONV hanya seperempat

dari dosis profilaksis yang dianjurkan sekitar 1 mg. Akan tetapi, pasien yang

memberikan respon terhadap terapi ondansentron tidak memberikan respon untuk

kedua kalinya sehingga pertimbangan untuk antiemetik lain dapat dilakukan.

Proses nocicepsi merupakan sebuah mekanisme yang plastik dan dinamis

dengan beberapa titik aktivasi dan modulasi. Input nyeri yang persisten dapat

menghasilkan sensitisasi neuronal yang cepat yang dapat berujung kepada nyeri

kronis. Nyeri postoperasi yang tidak dikontrol dengan baik dapat menghasilkan efek

yang akut (respons fisiologis abnormal) dan efek kronis (terhambatnya pemulihan dan

nyeri kronis).

Dengan mencegah sensitisasi sentral, nyeri akut dan kronis dapat dikurangi

dengan penggunaan analgesia awal. Penggunaan agen analgesia oleh pasien sendiri

memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode pemberian tradisional.

Insidensi depresi pernafasan dengan penggunaan analgesia opioid tidak

berbeda satu sama lain dengan metode pemberian yang berbeda. Oleh karena itu,

penggunaan agen analgetik opioid harus dimonitor secara ketat terhadap depresi

sistem respirasi.

Penggunaan obat antiinflamsi non steroid sebagai adjuvan dapat mengurangi

nyeri pasca operasi dan mengurangi efek samping akibat pengunaan analgetik.

Penggunaan analgetik epidural perioperatif memiliki beberapa keunggulan

dibandingkan dengan opioid sistemik seperti memfasilitasi pemulihan fungsi

gastrointestinal dan mengurangi efek samping komplikasi pulmoner, gangguan

pembekuan darah dan kejadian kardiovaskuler.

25

Page 26: Bab 1-2 - Teori

Manajemen nyeri pasca operasi harus disesuaikan dengan kebutuhan dari

populasi khusus seperti orang tua, anak-anak, obesitas, sleep apnea, toleran opioid dan

pembedahan ambulatory yang mungkin memiliki perbedaan anatomis, fisiologis dan

respon farmakologis.

Manajemen cairan pasca operasi bertujuan untuk menyediakan jumlah dan

jenis cairan yang optimal kepada pasien dan agar pasien berada dalam keadaan

euvolemik dan distribusi elektrolit yang normal. Pemantauan hemodinamik pasien

dapat dilakukan selain pemeriksaan fisik dan monitoring rutin, dengan pemeriksaan

invasif seperti kateterisasi.

Manajemen cairan pasca operasi memiliki prinsip mengganti cairan dan

elektrolit yang hilang pada kondisi yang fisiologis untuk menjaga keseimbangan air

dan elektrolit. Defisit cairan dan elektrolit yang terjadi pra dan pasca operasi berasal

dari pendarahan, perpindahan cairan ke ekstraseluler, penguapan, keringat dan dari

sistem gastrointestinal.

Terapi cairan harus disesuaikan dengan kebutuhan setiap individu terhadap

resiko dan keuntungan pemberian cairan intravaskuler. Oleh karena itu, karakteristik

pasien dan prosedur yang dilakukan mempengaruhi pemilihan terapi cairan kearah

liberal atau restriktif.

Untuk mengoptimalisasi status cairan dan menghindari kelebihan cairan,

evaluasi ulang secara rutin diperlukan, terutama pada saat “fluid trial” yaitu pemberian

cairan intravena dengan jumlah tertentu pada waktu yang singkat.

Jenis cairan yang dapat digunakam meliputi larutan elektrolit ( kristaloid)

maupun suspensi dengan tekanan onkotik tertentu (koloid).

BAB 3

LAPORAN KASUS

Tanggal Masuk 17 Agustus 2014

26

Page 27: Bab 1-2 - Teori

Waktu 23.00

Nama MCS

R.M. 00.61.22.59

3.1. Anamnesis

Identitas Pribadi

Nama : MCS

Jenis Kelamin : Laki - laki

Usia : 12 tahun

Suku Bangsa : Batak

Agama : Kristen

Alamat : Jalan Pondok Surya Gg. Selaras Kel.Helvetia

Status : Belum Menikah

Pekerjaan : Siswa

Tanggal Masuk : 17 Agustus 2014

3.2. Riwayat Perjalanan Penyakit

Jenis Kelamin, Umur, Berat Badan : Laki - laki, 12 tahun, 40 kg

Keadaan Umum : Nyeri seluruh lapangan perut

Telaah : Hal ini dialami pasien ± sejak 4 hari sebelum

masuk RSHAM. Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati kemudian menyebar ke

perut kanan bawah dan kemudian menjalar ke seluruh lapangan perut. Riwayat demam

(+) ± 4 hari SMRS, demam bersifat naik-turun dan turun dengan obat penurun

panas.Riwayat mual dan muntah (+), frekuensi 2-3x/hari, isi apa yang dimakan dan

diminum. Riwayat mencret (+), frekuensi 2-3x/hari, cair, lendir (-), darah (-). BAK (+)

normal.

Riwayat Penyakit Terdahulu : -.

Riwayat Penggunaan Obat : paracetamol

3.3. Patient Assessment

27

Page 28: Bab 1-2 - Teori

1. Primary Survey

Sign Diagnosis Treatment Hasil WaktuAirway Clear O2 2 L/i Jalan Nafas

Aman00.20

Look : Obstruksi (-), debris (-)Listen : Snoring (-), Gargling (-), crowing (-) Feel : gerakan udara (+)

Breathing Adekuat - Sat O2 : 99%RR : 28 x/i

00.21Look : gerakan dinding dada (+)Listen : aus. vesikuler (+), Suara Tambahan (-)Feel : hipersonor (-), hiposonor (-)

Ciculation Takikardi IVFD RL 20 gtt/i

Sirkulasi Aman

00.22Pulsasi karotis : (+) HR : 112 x/i(PP) Akral : Hangat/Merah/KeringT/V : kuat/cukup , CRT : < 2

detik.TD: 110/70 mmHg

Disabilty Compos Mentis

- - 00.23Kesadaran : Compos mentisGSC E4V5M6,

Pupil : isokor ø 3mm/3mmRc : + / +

Exposure - - - ---

2. Secondary SurveySign Diagnose Treatment Result Time

Breathing Clear O2 2 L/i Breathing 00.28

28

Page 29: Bab 1-2 - Teori

Establish

Sat O2 : 99%

RR : 20 x/i

Inspeksi : Obstruksi (-), debris (-), gerakan dinding dada (+), simetris (+). SP: vesikuler, ST: RR: 26 x/i. MLP: 1 GL: bebas, alergi/asma/batuk/sesak: -/-/-/-, Perkusi: Sonor Palpasi : EufremitusAuskultasi : Vesikuler (+), suara tambahan: snoring/gargling/crowing:-/-/-Riwayat : Asma(-) sesak(-), batuk(-) alergi (-)

Blood & Circulation Takikardi IVFD RL 20 gtt/i

Circulation Establish

00.30HR : 112 x/i RegulerAkral : Hangat/Merah/KeringT/V : kuat/cukup , CRT : < 2 detik.TD : 110/70 mmHgTemp : 38,0 o

Brain ComposMentis

- - 00.35Kesadaran : compos mentisGCS : 15Pupil : isokor ø 3mm/3mm

Bladder Normal Kateter Monitoring UOP (+)UOP : (+)

kateter : (-)Bowel Diffuse

Peritonitis- -

Defans muscular (+), nyeri tekan seluruh lapangan perut, peristaltik (+), MMT: 19.00 WIB 17/08/2014

Bone & Ekstremities Normal - -Oedem (-)Fraktur (-)

29

Page 30: Bab 1-2 - Teori

3.4. Terapi Emergensi

Informed Consent untuk anestesi

Puasa dilanjutkan

Pasang IV line : abocath 20 G dan threeway

Medikasi

Site of Entry Obat

Oral -

Enteral (NGT) -

Intravenous IVFD RL 30 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1 gr/iv

Inj. Ranitidin 50 mg/ iv

Inj. Ketorolac 30 mg/iv

Intramuskular -

Rektal -

3.5. Time Sequence

30

17/08/2014

- Pasien datang ke RSUP HAM pada pukul 23.00 WIB

17/08/2014

- Pasien dikonsulkan ke Depatemen Anestesi pada pukul 23.50 WIB

18/08/2014

- Operasi mulai pukul 02.10 WIB- Selesai pukul 05.15 WIB (3 jam 5 menit)

Page 31: Bab 1-2 - Teori

3.6. Laboratorium & Tes Diagnostik Lain

1. Darah Lengkap (17 Agustus 2014)

- Hb/Ht/Leu/Tromb : 11.8/33.9/18.540/142.000

- PT/aPTT/TT/INR : 13.5(13.8)/ 36 (36.8)/ 14.5(17)/ 0.97

- KGD ad Random : 113,3

- Na/K/Cl : 132/5.1/103

- Albumin : 3.3

- Ureum/ Kreatinin : 19/0,5

2. AGDA

pH/ PCO2/ PO2/ HCO3/ TCO2/ BE/ SaO2

7,509/ 24,3/179.8 /18,9 / 19,7 /-3,0/ 99,6

3.7. Radiologi

Foto Toraks

Interpretasi :

Position PA, klavikula simetris, trakea medial, skapula normal, inspirasi maksimal

kosta depan 5-6, kedua sudut Costophrenicus & cadiorphrenicus tajam, effusi pleural

& perikardial (-), CTR : + 48 %.

Kesan foto toraks : Normal

31

Page 32: Bab 1-2 - Teori

3.8. Kronologi Operasi

3.8.1. Problem List

Preoperasi:

• Pasien anak àsesuaikan dosis berdasarkan berat badan dan sesuaikan alat2

intubasi dan airway sesuai ukuran anak

• Pasien emergensi, tidak dipersiapkan seperti halnya pasien elektif, puasa tidak

cukup, dianggap lambung penuh + gangguan motilitas/pasase isi ususà transit

time memanjang à waktu pengosongan terganggu

• Pasien gangguan pasase isi ususà dehidrasi sedang à pastikan iv line lancar,

dilakukan rehidrasi, monitoring hemodinamik dan urine output

• Perforasi àkemungkinan sudah ada perlengketan, operasi lama à teknik

anestesi GA-ETT + RSI

Intra operasi:

- Pasien dengan tindakan laparatomy à Penguapan besar à Hipothermia

- Pasien dilakukan tindakan GA dengan explorasi laparatomi à kemungkinan

perdarahan banyak

- Pasien dengan obstruksi usus

- Pemberian cairan durante operasi

Post operasi:

• Insisi tinggi à nyeri akut post op

• Potensial infeksi post operasi

• Malnutrisi pasca operasi

• Dehidrasi pasca operasi

32

Diagnosis : Diffuse Peritonitis d/t appendicitis perforation

Tindakan : Laparotomi Eksplorasi

PS ASA : 2E

Teknik Anestesia : GA-ETT

Posisi : Supine

Page 33: Bab 1-2 - Teori

3.8.2. Persiapan Alat-Alat dan Obat-Obat

Suction

33

Page 34: Bab 1-2 - Teori

3.8.3. Teknik Anestesi

Dilakukan suction aktif à NGT dicabut

Preoksigenisasi O2 100 % 3-5 menit, sungkup ketat

Premedikasi midazolam 2,5 mg, fentanyl 50 mcg

Sellick manuver à Induksi Propofol 80 mg à eye lid refleks (-) (sleep

non apnea)

inj. Rocuronium 40 mg à sleep apnea à intubasi ETT no. 6.5 cuff (+) à

SP ka = ki à Fiksasi eksternal à sellick dihentikan

Maintenance : Isoflurane 0.8 - 1.5 %, Air : 02 2l/i:2l/i

Relaksan Rocuronium 10 mg/ 20 menit, Fentanyl 50 mcg/jam

3.8.4. Monitoring Pre-operasi

B1: airway: clear, RR: 26 x/mnt, SP: ves, ST:-, snoring/gargling/crowing: -/-/-,

MLP:1, GL: bebas, alergi/asma/batuk/sesak: -/-/-/-

B2: akral: H/M/K, TD: 110/70 mmHg, HR: 106 x/mnt, T/V: kuat/cukup, turgor

normal

B3: sens: CM, pupil isokor Ø: 3 mm/3mm RC:+/+

B4: kateter urin terpasang , UOP: 0.5 cc/kgBB/jam, warna kuning

B5: defans muscular (+), nyeri tekan seluruh lapangan perut, peristaltik (+), MMT:

19.00 WIB 17/08/2014

B6: oedem (-), fraktur (-)

34

Page 35: Bab 1-2 - Teori

3.8.5. Monitoring durante OP

Durante Operasi

• Lama operasi : 3 jam 5 menit

• TD : 80-110/40-80 mmHg

• HR : 80-120 x/i

• SpO2 : 99 – 100 %

• Cairan : PO = RL 1000 cc

DO = RL 1500 cc

• Perdarahan + 100 cc

• Maintenance + penguapan = 500 cc/jam

• UOP : 75 cc/jam kuning

Gambar : Apendiks hiperemis

35

Page 36: Bab 1-2 - Teori

B1 : Airway clear, terintubasi dengan Tpiece 6L/I RR:24 x/i SP: vesikuler, ST (-),

SpO2 99%

B2 : Akral : H/M/K, TD 110/80 mmHg, HR : 112 x/i, T/V: Kuat/ cukup, reguler

B3 : Sens : DPO, pupil isokor Ø 3mm/3mm, RC +/+

B4 : UOP (+), volume 75 cc , warna kuning.

B5 : Soepel, Luka Operasi tertutup verban

B6 : oedem pretibial (-), fraktur (-)

2.8.6. Monitoring Post-Operasi

B1: Airway clear, terpasang nasal cannul 1-2 l/i RR:24 x/i SP: vesikuler, ST(-), SpO2

99%

B2: Akral : H/M/K, TD 110/80 mmHg, HR : 112 x/i, T/V: Kuat/ cukup, reguler,

temp 38 C

B3: Sens : CM, pupil isokor Ø 3mm/3mm, RC +/+

B4: UOP (+), volume 50 cc , warna kuning.

B5: Soepel, Luka Operasi tertutup verban

B6: Oedem pretibial (-), fraktur (-)

POST OPERATION

36

Page 37: Bab 1-2 - Teori

Terapi Post Operasi

• Bed Rest, Head Up 30o

• Diet MB setelah peristaltic (+)

• O2 2L/I via nasal cannule

• IVFD RL 20 gtt/i

37

Page 38: Bab 1-2 - Teori

• Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam/ iv

• Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam

• Inj. Metronidazole 1500 mg/24 jam/IV

• Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam

3.9. Follow up:

Tgl S O A PHasil

Pemeriksaan Laboratorium

13 Agustus 2014

Nyeri Perut

B1:Airway:clear,

terpasang nasal

cannul 1-2 l/i,

pernafasan spontan

SpO2100%

Sp:Vesikuler

B2:Akral:H/M/K,

TD115/75mmHg,

HR:112x/i,T/V: Kuat/

cukup, reguler, temp

38

B3:Sens:CM,pupil

isokor Ø 3mm/3mm,

RC +/+

B4:UOP(+),volume

50cc,warna kuning.

B5:abdomen kesan

distensi, peristaltik

(-), luka operasi

tertutup verban

B6: oedem

pretibial(-) , fraktur

(-)

Post laparotomy d/t appendicitis perforasi

• Bed Rest,

Head Up

30o

• Diet MB

setelah

peristaltic

(+)

• O2 2L/I

via nasal

cannule

• IVFD RL

20 gtt/i

• Inj.

Ceftriaxon

1 gr/12

jam

• Inj.

Metronida

zole 1500

mg/24

jam/IV

• Inj.

Ranitidin

38

Page 39: Bab 1-2 - Teori

50 mg/12

jam

• Paracetam

ol

500mg/8ja

m (k/p)

-14 Agustus 2014

Nyeri Perut

B1:Airway:clear,

terpasang nasal

cannul 1-2l/I

pernafasan spontan

SpO2100%

Sp:Vesikuler

B2:Akral:H/M/K,

TD110/72mmHg,

HR:108x/i,T/V:Kuat/

cukup, reguler, temp

37.5 C

B3:Sens:CM,pupil

isokor Ø 3mm/3mm,

RC +/+

B4:UOP(+),volume

50cc,warna kuning.

B5:kesan distensi,

peristaltik (+), luka

operasi tertutup

perban, kesan kering

darah(-), pus(-)

B6: oedem

pretibial(-) , fraktur

(-)

Blunt Abdominal d/t Jejenum Perforasi

• Bed Rest,

Head Up

30o

• Diet MB

setelah

peristaltic

(+)

• O2 2L/I

via nasal

cannule

• IVFD RL

20 gtt/i

• Inj.

Ceftriaxon

1 gr/12

jam

• Inj.

Metronida

zole 1500

mg/24

jam/IV

• Inj.

Ranitidin

50 mg/12

Albumin 2 g/dLUreum 53 mg/dLKreatinin 0,74 mg/dLNa/K/Cl 143/4,1/116Procalcitonin 12,53 ng/mL

39

Page 40: Bab 1-2 - Teori

jam

• Paracetam

ol 500

mg/8jam

(K/p)

15 Agustus 2014

Nyeri Perut

B1:Airway:clear,

terintubasi CMV TV

370, FiO2 40% PEEP

5 SpO2100%

Sp:Vesikuler

B2:Akral:H/M/K,

TD111/65mmHg,

HR:112x/i,T/V: Kuat/

cukup, reguler

B3:Sens:DPO,pupil

isokor Ø 3mm/3mm,

RC +/+

B4:UOP(+),volume

30cc,warnakuningpek

at

B5:Soepel,peristaltik(

+) lemah,drainage(+)

warna kehitaman

B6: oedem

pretibial(-) , fraktur

(-)

Blunt Abdominal d/t Jejenum Perforasi

- Tirah baring, head up 30°

- Diet TPN- IVFD RL 30 gtt/i- Inj. Meropenem

1gr/ 8 jam

- Inj. Omeprazole

40mg/ 12jam

- Inj. Vit C 1gr/

24jam

- Inj. Vit E 100

IU / 24 jam

- Inj. Mo 10 mg +

15mg MiLoz à

4cc / jam

Hb 9,8 g%RBC 6,29x106mm3

WBC 18,34x103mm3

Tromb89x103/mm3

Glukosa darah (sewaktu) 115 mg/dLUreum 49 mg/dLKreatinin 0,63 mg/dLNa/K/Cl 140/2,6/115

16 Agustus 2014

Nyeri Perut

B1:Airway:clear,

terintubasi CMV TV

370, FiO2 40% PEEP

5 SpO2100%

Sp:Vesikuler

Blunt Abdominal d/t Jejenum Perforasi

- Tirah baring, head up 30°

- Diet TPN- IVFD RL 30 gtt/i- Inj. Meropenem

40

Page 41: Bab 1-2 - Teori

B2:Akral:H/M/K,

TD113/67mmHg,

HR:109x/i,T/V: Kuat/

cukup, reguler

B3:Sens:DPO,pupil

isokor Ø3mm/3mm,

RC +/+

B4:UOP(+),volume

30cc,warnakuningpek

at

B5:Soepel,peristaltik(

+) lemah,drainage(+)

warna kehitaman

B6: oedem

pretibial(-) , fraktur

(-)

1gr/ 8 jam

- Inj. Omeprazole

40mg/ 12jam

- Inj. Vit C 1gr/

24jam

- Inj. Vit E 100

IU / 24 jam

- Inj. Mo 10 mg + 15mg MiLoz à 4cc / jam

17 Agustus 2014

Nyeri Perut

B1:Airway:clear,

terintubasi CMV TV

370, FiO2 40% PEEP

5 SpO2100%

Sp:Vesikuler

B2:Akral:H/M/K,

TD115/65mmHg,

HR:114x/i,T/V: Kuat/

cukup, reguler

B3:Sens:DPO,pupil

isokor Ø 3mm/3mm,

RC +/+

B4:UOP(+),volume

30cc,warnakuningpek

at

Blunt Abdominal d/t Jejenum Perforasi

- Tirah baring, head up 30°

- Diet TPN- IVFD RL 30 gtt/i- Inj. Meropenem

1gr/ 8 jam

- Inj. Omeprazole

40mg/ 12jam

- Inj. Vit C 1gr/

24jam

- Inj. Vit E 100

IU / 24 jam

- Inj. Mo 10 mg + 15mg MiLoz à 4cc / jam

41

Page 42: Bab 1-2 - Teori

B5:Soepel,peristaltik(

+) lemah,drainage(+)

warna kehitaman

B6: oedem

pretibial(-) , fraktur

(-)

BAB 4

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Dilaporkan seorang anak laki – laki, usia 12 tahun, datang ke RSUP HAM

dengan keluhan nyeri seluruh lapangan perut. Hal ini dialami pasien ± sejak 4 hari

42

Page 43: Bab 1-2 - Teori

sebelum masuk RSHAM. Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati kemudian

menyebar ke perut kanan bawah dan kemudian menjalar ke seluruh lapangan perut.

Riwayat demam (+) ± 4 hari SMRS, demam bersifat naik-turun dan turun dengan obat

penurun panas.Riwayat mual dan muntah (+), frekuensi 2-3x/hari, isi apa yang

dimakan dan diminum. Riwayat mencret (+), frekuensi 2-3x/hari, cair, lendir (-), darah

(-). BAK (+) normal.

Saat datang ke RSUP HAM, airway clear, breathing adekuat dengan laju napas

26 x/i, circulation stabil dengan CRT <2 detik, akral teraba hangat, merah, dan kering,

pasien mengalami takikardi dengan frekuensi nadi 112 x/i, tekanan/volume kuat dan

cukup, tekanan darah 110/70 mmHg, disability kesadaran baik, dan no exposure.

Pasien dikonsulkan untuk tindakan anestesi dan pemasangan cvc untuk persiapan

eksplorasi laparatomy.

Pasien didagnosis dengan diffuse Peritonitis ec. appendicitis perforation,

dimana pada pasien dijumpai keluhan utama nyeri seluruh lapangan perut, dan pada

pemeriksaan fisik abdomen dijumpai defans muskular dan dijumpai peristaltik.

Setelah dilakukan penanganan awal yang meliputi primary survey, secondary

survey, dan tertiary survey, pasien kemudian dilakukan tindakan eksporasi

laparotomy, kemudian pasien di pindahkan ke ruangan bedah RB2 kamar III-1 untuk

pemantuan lebih lanjut, berdasarkan follow up kondisi pasien baik namun temperatur

pasien masih tinggi dan direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium

ulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, S,A, Surjadi K, Dachlan R., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi

Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h 41 – 9.

2. Nainggolan, I.B., 2011. Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi

43

Page 44: Bab 1-2 - Teori

Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Tesis Akhir

Penelitian. Medan.

3. Campbell., 2002. Anesthesia. Blackwell scientific publication.Smeltzer, S.C.,

Bare, B.G., 2002. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC

4. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., 2002. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2.

Jakarta: EGC

5. Brunner and Suddart. 2005.Buku Ajar Keperawatan Bedah. Edisi 8. Jakarta:

EGC.

6. Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J.. 2006. Clinical Anesthesiology, 4th

Ed. United States of America: Lange.

7. Hughes, S.C.A., 2006. ATLS secondary survey mnemonic: Has My Critical Care

Assessed Patient’s Priorities or Next Management Decision? Emerg Med J. Aug

2006; 23(8): 661–662. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2564187/ [Accessed on August,

14th 2014]

8. Carter, E.A., Waterhouse, L.J., Kovler, M.L., 2012. Adherence to ATLS primary

and secondary surveys during pediatric trauma resuscitation. Available from:

http://www.resuscitationjournal.com/article/S0300-

9572%2812%2900317-6/fulltext [Accessed on: August, 14th 2014]

9. Yogaswara, D. 2011. Pemeriksaan Pra Bedah. Available from:

http://www.academia.edu/2245795/Examination_before_Surgery [Diakses 21

Agustus 2014]

10. Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC.

11. Miller, R.D., Eriksson, L.I., Fleisher, L.A., Wiener-Kronish, J.P., Young, W.L.,

2005. Miller’s Anesthesia 7th ed. USA: Elsevier

12. Admin. (2007) . Pemantauan anestesi. Dibuka pada tanggal 22 Agustus 2014

dari http://admin manajemen blogspot.com

13. Schou, John. 2—4. Clinical use of midazolam. Germany. Alix Publishing.

Dibuka tanggal 22 Agustus 2014, dari:

http://www.bbraun.be/documents/Knowledge/Booklet_Midazolam-

_Clinical_Use_of_Midazolam.pdf

44

Page 45: Bab 1-2 - Teori

14. Abdallah, C & Hannallah, R. 2011. Premedication of The Child Undergoing

Surgery. M.E.J. Anesth. USA. Dibuka pada tanggal 22 Agustus 2014 dari

http://www.meja.aub.edu.lb/downloads/21_2/165.pdf

15. Kumala. (2008). Bius total: Adakah efek sampingnya. Dibuka pada tanggal 22

Agustus 2014, dari http://www.tanyadokteranda.com

45