ayu li lbm 2 sgd 17 penyakit tropis

36
Ayu Fitrotun Nisa 2010 1. Mengapa didapatkan Makula Hipopigmentasi? Di samping organela, di dalam sel saraf diketemukan pigmen yang fungsinya kurang jelas. Ada dua jenis pigmen dalam sel saraf, yaitu: pigmen lipokhrom yang berwarna kuning dan pigmen melanin yang berwarna coklat atau hitam. Kuman Morbus Hansen ini pertamakali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut,saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testiskecuali susunan saraf pusat. M. leprae ini merusak sel saraf dan menganggu pigmen melanin tersebut, sehingga membentuk lesi hipopigmentasi. Mikroorganisme masuk menghmbat kerja enzim tirokinase jumlah melanosit berkurang menghambat pembentukan melanosit hipopigmentasi bercak – bercak putih Sumber : Djuanda, Adhi. 2004. I lmu Penyakit Kulit dan Kelamin. JakartaFKUI 2. Mengapa didapatkan bercak2 mati rasa ditangan kirinya? Makula hipopigmentasi diakibatkan oleh terhambatnya sinar matahari masuk ke dalam lapisan kulit yang mengganggu pembentukan melanin. a. Efek langsung invasi Mycobacterium leprae ke dalam melanosit b. Digunakannya dopa sebagai substrat oleh enzim Mycobacterium leprae c. Perubahan pembuluh darah sehingga terjadi atrofi melanosit Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Jakarta: Medical Multimedia Indonesia, 2005, P. 33-4 Keterangan: Melanin terbentuk melalui rangkaian oksidasi dari asam amino tirosin dengan melibatkan enzim tirosinase. LI LBM 2 SGD 17 PENYAKIT TROPIS Page 1

Upload: ayunisaaa

Post on 04-Sep-2015

252 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Ayu Li Lbm 2 Sgd 17 Penyakit Tropis

TRANSCRIPT

Ayu Fitrotun Nisa

Ayu Fitrotun Nisa

2010

1. Mengapa didapatkan Makula Hipopigmentasi?

Di samping organela, di dalam sel saraf diketemukan pigmen yang fungsinya kurang jelas. Ada dua jenis pigmen dalam sel saraf, yaitu: pigmen lipokhrom yang berwarna kuning dan pigmen melanin yang berwarna coklat atau hitam.

Kuman Morbus Hansen ini pertamakali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut,saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testiskecuali susunan saraf pusat. M. leprae ini merusak sel saraf dan menganggu pigmen melanin tersebut, sehingga membentuk lesi hipopigmentasi.

Mikroorganisme masuk ( menghmbat kerja enzim tirokinase ( jumlah melanosit berkurang ( menghambat pembentukan melanosit ( hipopigmentasi ( bercak bercak putih

Sumber : Djuanda, Adhi. 2004. I lmu Penyakit Kulit dan Kelamin. JakartaFKUI

2. Mengapa didapatkan bercak2 mati rasa ditangan kirinya?

Makula hipopigmentasi diakibatkan oleh terhambatnya sinar matahari masuk ke dalam lapisan kulit yang mengganggu pembentukan melanin.

a. Efek langsung invasi Mycobacterium leprae ke dalam melanosit

b. Digunakannya dopa sebagai substrat oleh enzim Mycobacterium leprae

c. Perubahan pembuluh darah sehingga terjadi atrofi melanosit

Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Jakarta: Medical Multimedia Indonesia, 2005, P. 33-4

Keterangan:

Melanin terbentuk melalui rangkaian oksidasi dari asam amino tirosin dengan melibatkan enzim tirosinase. Tirosinase mengubah tirosin menjadi DOPA, kemudian dopa kuinon. Dopa kuinon diubah menjadi dopakrom melalui auto oksidasi sehingga menjadi dihidroksi indole (DHI) atau dihidroksi indole carboxy acid (DHICA) untuk membentuk eumelanin (pigmen berwarna coklat)

3. Mengapa ada kelmahan pd jari 1, 2 ,3 pada tangan kiri?

4. Mengapa dokter hanya memberikan terapi 2 dari 3 tanda cardinal?

Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda

pokok atau cardinal signs pada badan yaitu :

1. Kelainan kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan

hilang/mati rasa yang jelas.

2. Kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan

kelemahan otot tangan, kaki, atau muka.

3. Adanya kuman tahan asam di dalam korekan jaringan kulit (BTA

positif).

Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat

satu dari tanda-tanda pokok diatas.

Bila ragu-ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus dicurigai

(suspek) dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai diagnose dapat

ditegakkan kusta atau penyakit lain.

Untuk melakukan diagnose secara lengkap dilaksanakan hal-hal

sbb :

1. Anamnese.

2. Pemeriksaan klinis yaitu :

- Pemeriksaan kulit.

- Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.

3. Pemeriksaan bakteriologis.

4. Pemeriksaan hispatologis.

5. Immunologis.

Namun untuk diagnose kusta di lapangan cukup dengan anamnese

dan pemeriksaan klinis. Tekhnik pemeriksaan dilapangan lihat Bab

III dan IX. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaliknya

dilakukan pemeriksaan bakteriologis.

http://dinkes-sulsel.go.id/new/images/pdf/buku/kebijakan%20pemberantasan%20kusta.pdf

5. Apa yg menyebabkan kekeringan pada kulit lengan bawah kirinya?

Ganggguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :i.Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasaii.Gangguan fungsi motoris :kelemahan(parese) atau kelumpuhan /paralise)iii.Gangguan fungsi saraf otonom: kulit kering dan retak-retak.

1. (Dirjen PP & PL Depkes, 2005 ).

6. Mengapa didapatkan atrofi otot2 tenar?

Bila suatu otot kehilangan suplai sarafnya, otot tersebut tidak lagi menerima sinyal kontraksi yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran otot yang normal. Setelah sekitar 2 bulan, perubahan degenerative itu juga mulai tampak pada serabut otot itu sendiri. Jika inervasi saraf dalam otot itu tumbuh kembali dengan cepat, pengembalian seluruh fungsi otot secara sempurna dapat terjadi dalam waktu sekurang-kurangnya 3 bulan, namun bila lebih dari waktu tersebut (3 bulan), kemampuan fungsional otot menjadi berkurang, dan setelah 1 sampai 2 tahun tidak lagi terjadi pengembalian fungsi lebih lanjut.

Pada tahap akhir atrofi akibat denervasi, sebagian besar serabut otot akan rusak dan digantikan oleh jaringan fibrosa dan jaringan lemak. Serabut-serabut yang tersisa hanya terdiri dari membrane sel panjang dengan barisan inti sel otot tetapi dengan beberapa atau tanpa disertai sifat kontraksi dan sedikit atau tanpa kemampuan untuk membentuk kembali myofibril jika saraf tumbuh kembali.

Jaringan fibrosa yang menggantikan serabut-serabut otot selama atrofi akibat denervasi juga memiliki kecenderungan untuk terus memendek selama berbulan-bulan, yang disebut kontraktur. Karena itu, masalah yang paling penting dalam melakukan terapi fisik adalah mempertahankan otot yang sedang mengalami atrofi ini agar tidak mengalami kelemahan (debilitating) dan kontraktur yang merusak bentuk. Hal ini dicapai dengan melakukan peregangan otot-otot setiap hari atau dengan menggunakan alat-alat yang mempertahankan otot-otot agar tetap teregang selama proses atrofi berlangsung.

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kelima cetakan kedua. 2007. FKUI. Jakarta.

7. Mengapa pada sensibilitas didapatkan pada lesi anesthesia?

8. Apakah ada hubungannya jenis kelamin dengan keluhan diskenario?

a) Jenis kelamin, kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, menurut catatan sebagian besar negara didunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada wanita kemungkinan karena faktor lingkungan atau biologi seperti kebanyakan pada penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.

9. DD

KUSTA

DEFINISI

Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang terjadi pada kulit dan saraf tepi. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua bentuk klinis yaitu lepromatosa dan tuberkuloid. Pada penderita kusta tipe lepromatosa menyerang saluran pernafasan bagian atas dan kelainan kulit berbentuk nodula, papula, makula dan dalam jumlah banyak. Pada penderita kusta tipe tuberkuloid lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa.

Kosasih A., dkk. Kusta dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kelima cetakan kedua. 2007. FKUI. Jakarta. hal 73.

ETIOLOGI

Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang berbentuk batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 mikron x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak, tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok. Pada pemeriksaan langsung secara mikroskopis, tampak bentukan khas adanya basil yang mengerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi). Basil ini diduga berkapsul tetapi rusak pada pewarnaan menggunakan karbon fukhsin. Organisme tidak tumbuh pada perbenihan buatan.

Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun.

Kosasih A., dkk. Kusta dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kelima cetakan kedua. 2007. FKUI. Jakarta. hal 73.

KLASIFIKASI

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya menentukan tipe/klasifikasi penyakit kusta yang diderita. Penentuan tipe penyakit kusta pada seorang penderita disebut klasifikasi penyakit kusta. Klasifikasi penyakit kusta bertujuan untuk menentukan jenis dan lamanya pengobatan penyakit, waktu penderita dinyatakan Release from Treatment ( RFT)

a. Klasifikasi Internasional (Madrid,1953):

i. Indeterminate (I) Terdapat kelainan kulit berupa makula berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2. batas lokasi dipantat, kaki, lengan, punggung, dan pipi. Permukaan halus dan licin.

ii. Tuberkuloid (T)Terdapat makula atau bercak tipis bulat yang tidak teratur dengan jumlah lesi 1 atau beberapa. Batas lokasi terdapat di pantat,punggung, lengan, kaki, dan pipi. Permukaan kering, kasar sering dengan penyembuhan di tengah.

iii. Borderline (B)Kelainan kulit bercak agak menebal yang tidak teratur dan tersebar. Batas lokasi sama dengan Tuberkuloid (pantat,punggung, lengan, kaki, dan pipi.).

iv. Lepromatosa (L) Kelainan kulit berupa bercak-bercak menebal yang difus, bentuk tidak jelas. Berbentuk bintil-bintil (nodule), macula-makula tipis yang difus di badan, merata di seluruh badan, besar dan kecil bersambung simetrik.

b. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962) Klasifikasi ini banyak dipakai pada bidang penelitian yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologi, dan imunologis.

i. Tipe Tuberkuloid tuberkuloid (TT)Lesi berupa bercak makuloanestetik dan hipopigmentasi yang terdapat di semua tempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak, kulit kepala (scalp), perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit disekitarnya. Hipopigmentasi merupakan gejala yang menonjol. Lesi dapat mengalami penyembuhan spontan atau dengan pengobatan selama tiga tahun.

ii. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil, tidak disertai adanya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi pembengkakan.

iii. Tipe Mid Borderline (BB)Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes lepromin memberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yang mengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapat dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai adanya adenopathi regional.

iv. Tipe Borderline Lepromatous (BL)Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang cenderung asimetris. Kelainan syaraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yang terjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis, uslserasi maupun facies leonine.

v. Tipe Lepromatosa (LL)Lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada perubahan pada produksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut terjadi madarosis (rontok) dan wajah seperti singa, muka berbenjol-benjol (facies leonine ).

c. Klasifikasi WHO (1982) yaitu;

i. Tipe PB (Pausibasiler)Kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate), TT (tuberculoid) dan BT (borderline tuberculoid) menurut kriteria Ridley dan Jopling dan hanya mempunyai jumlah lesi antara 1-5 pada kulit. Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular.

ii. Tipe MB (Multibasiler) Kusta MB adalah semua penderita kuta tipe BB (mid borderline), BL (borderline lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Jopling dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smear positif. Kusta tipe MB adalah tipe yang dapat menular.

Kosasih A., dkk. Kusta dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kelima cetakan kedua. 2007. FKUI. Jakarta. hal 73.

FAKTOR RESIKO

1. Faktor Internal.

b) UmurUmur dimana kejadian penyakit kusta sering terkait dengan umur pada saat ditemukan dari pada timbulnya penyakit, namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi, angka kejadian (Insidence Rate ) meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan puncak umur 30-50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.

c) Jenis kelamin Jenis kelamin, kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, menurut catatan sebagian besar negara didunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada wanita kemungkinan karena faktor lingkungan atau biologi seperti kebanyakan pada penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.

d) Daya tahan tubuh seseorangDaya tahan tubuh seseorang, apabila seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah akan rentan terjangkit bermacam-macam penyakit termasuk kusta, meskipun penularannya lama bila seseorang terpapar kuman penyakit sedangkan imunitasnya menurun bisa terinfeksi, misalnya: kurang gizi/malnutrisi berat, infeksi, habis sakit lama dan sebagainya.

e) Etnik/suku Etnik/suku, kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena perbedaan etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan etnik India, situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian lepromatosa lebih banyak pada etnik cina dibandingkan etnik Melayu atau India, demikian pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu.

2. Faktor Ekternal

a) Kepadatan hunianPenularan penyakit kusta bisa melalui droplet infeksi atau melalui udara, dengan penghuni yang padat maka akan mempengaruhi kualitas udara, hingga bila ada anggota keluarga yang menderita kusta maka anggota yang lain akan rentan tertular namun kuman kusta akan inaktif bila terkena cahaya matahari, sinar ultra violet yang dapat merusak dan mematikan kuman kusta. Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh Depkes (2000), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan di bagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur , kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Kondisi rumah didaerah yang padat penghuninya juga sangat berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang , oleh karena itu didalam membuat rumah harus memperhatikan persyaratan sebagai berikut :

1) Bahan bangunan memenuhi syarat :

i. Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan, karena lantai yang lembab merupakan sarang penyakit.

ii. Dinding tembok adalah baik, namun bila didaerah tropis dan ventilasi kurang lebih baik dari papa

iii. Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau esbes tidak cocok untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah.

2) Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela /ventilasi adalah 15 % dari luas Lantai karena ventilasi mempunyai fungsi menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum . Kelembaban yang optimal (sehat ) adalah sekitar 40 70 % kelembaban yang lebih dari 70 % akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah Kelembaban udara didalam ruangan naik terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan . Kelembaban yang tinggi akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri patogen(bakteri penyebab penyakit).

3) Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya Matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca,suhu udara yang ideal didalam rumah adalah 1830C.Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium Leprae tumbuh optimal pada suhu 37C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh Mycobacterium Leprae. Bacteri ini tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangan bacteri lebih banyak dirumah yang gelap.

4) Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ) .Rumah yang terlalu padat penghuninya tidak sehat , sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O juga bila salah satu anggota keluarganya ada yang sakit infeksi akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni ( sleeping density) dinyatakan baik bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7; cukup bila kepadatan antara 0,50,7; dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5. Didaerah pantura kabupaten Pekalongan tingkat kepadatan hunian lebih tinggi dibanding bagian selatan sehingga angka prevalensi lebih besar. Untuk wilayah kecamatan Tirto pada Tribulan II th 2010 tercatat 13/10.000 penduduk (Data Dinkes Kabupaten Pekalongan, 2010 ). Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang rentan ( susceptible) akan terpapar dengan penderita kusta menular lebih tinggi pada wilayah yang kepadatan hunian lebih tinggi.

b) PerilakuPengertian perilaku menurut skiner ( 1938 ) merupakan respon atau reaksi seseorang tehadap stimulus ( rangsangan dari luar ), dengan demikian perilaku terjadi melalui proses : Stimulus Organisme Respons, sehingga teori Skiner disebut juga teori S- O-R Sedangkan pengertian Perilaku Kesehatan ( health behavior ) menurut Skiner adalah Respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit ( kesehatan ) seperti lingkungan, makanan dan minuman yang tidak sehat, dan pelayanan kesehatan . Secara garis besar perilaku kesehatan dibagi dua, yakni :a. Perilaku sehat (healty behavior ) Yang mencakup perilaku-perilaku(overt dan covert behavior )dalam mencegah penyakit ( perilaku preventif ) dan perilaku dalam mengupayakan peningkatan kesehatan ( perilaku promotif ), contoh: Makan makanan bergizi, olah raga teratur, mandi pakai sabun mandi, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan dari pada yang sudah terlambat datang, karena kebanyakan pasien datang sudah stadium lanjut sehingga pengobatan lebih sulit dan resiko cacat lebih besar.

c) Sosial Ekonomi Menurut WHO(2005) menyebutkan bahwa sekitar 90 % penderita kusta menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, sosial ekonomi rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi buruknya lingkungan selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan yang sosial ekonominya rendah. Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi kebutuhan pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan mempunyai daya beli yang dapat di gunakan untuk menjamin ketahanan pangan keluarganya. tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan ) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akan Terganggu.

Siregar R.S, Atlas Bewarna Saripati Penyakit Kulit, EGC, 1996.

MANIFESTASI KLINIS

Untuk mendiagnosa penyakit kusta perlu dicari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit. Untuk itu dalam menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu mencari tanda-tanda utama atau Cardinal Sign, yaitu :

a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasaKelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (Eritemtous) yang mati rasa (anestesi).

b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi sarafGanggguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :i.Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasaii.Gangguan fungsi motoris :kelemahan(parese) atau kelumpuhan /paralise)iii.Gangguan fungsi saraf otonom: kulit kereing dan retak-retak.

c. Adanya kuman tahan asam didalam kerokan jaringan kulit (BTA+), pemeriksaan ini hanya dilakukan pada kasus yang meragukan

(Dirjen PP & PL Depkes, 2005 ).

PATOGENESIS

Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M.Leprae ke dalam telapak kaki mencit yang telah diambil tymusnya dengan diikuti iradiasi (900 r), sehingga kehilangan respon imun sellulernya akan menghasilkan granuloma- granuloma penuh basil yang menyeluruh, terutama di daerah yang dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki, dan ekor. Sebenarnya M.Leprae mempunyai patogenitas dan daya invasif yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman jauh lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik, gejala-gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada intensitas infeksinya

( Marwali Harahap, 2000).

Mycobacterium Leprae menginvasi tubuh

Akan berusaha dihadang oleh Sistem Imun Seluler

SIS baik SIS buruk

Histiosit mampu memfagosit histiosit tdk mampu fagosit

Namun bila histiosit yg dtg >> justru dijadikan tmp kmbgbiak

Sebagian justru akan berubah sel Virchow

Mjd sel epiteliod

Yg jg akan mjd massa epiteloid

Yg kemudian dikelilingi

oleh sel MN dikelilingi oleh sel MN

TUBERKEL GRANULOMA

Kerusakan saraf tepi yg nyata

gg.vaskularisasi kehilangan fungsi sensoris&motoris

atrofi otot

nekrosis jaringan

mutilasi

PENEGAKAN DIAGNOSIS

a. Anamnese: 1). Keluhan yang ada/kapan timbul bercak2). Apakah ada riwayat kontak3). Riwayat pengobatan sebelumnya

b. Pemeriksaan fisik 1) Pemeriksaan kulit / rasa raba. Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang dilancipkan kemudian disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai, sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disentuh bagian tubuh dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya, menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya. Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada tidaknya anestesi. Pada telapak tangan dan kaki memakai bolpoin karena pada tempat ini kulit lebih tebal.2) Pemeriksaan saraf (nervus )Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering diutamakan pada saraf ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat kusta mengikuti kerusakan pada saraf-saraf utama. i. Saraf Ulnaris.Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus nervi Ulnaris yaitu lekuken diantara tonjolan tulang siku dan tonjolan kecil di bagian medial (epicondilus medialis ). Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil digulirkan dan menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik / reaksi penderita adakah tampak kesakitan atau tidak . ii. Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis)- Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi dll ) dengan kaki dalam keadaan rilek- Pemeriksa duduk didepan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan- Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan benjolan tulang (caput fibula )setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm kearah belakang. - Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian kekanan dan kiri sambil melihat mimik / reaksi penderita. iii. Saraf Tibialis Posterior - Penderita masih duduk dalam posisi rileks- Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis Posterior dibagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam(maleolus medialis)dengan tangan menyilang (tangan kiri memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posteior kanan pasien )- Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik / reaksi dari penderita.iv. Pemeriksaan Gangguan Fungsi SarafUntuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa adalah Mata, Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot. Alat yang diperlukan : ballpoin yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk penderita. Cara pemeriksaan Fungsi Saraf. Periksa secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki. *Mataa) Fungsi Motorik (Saraf Facialis )- Penderita diminta memejamkan mata- Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna / tidak, apakah ada celah- Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat, misal lagofthalmus 3 mm, mata kiri atau kanan. Catatan : Untuk fungsi sensorik mata (pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan.* Tangana) Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus )- Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa, sehingga semua ujung jari tersangga- Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoin pada lengannya dan satu atau dua titik pada telapak tangan- Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain- Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif- Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan yang diperiksa- Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh- Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan- Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cmb) Fungsi Motorik (Kekuatan Otot)Saraf Ulnaris ,Medianus dan Radialis*Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking)- Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan penderita dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan posisi ektensi (jari kelingking /5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan pemeriksa- Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-jari lainnya,bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya , dan kemudian ibu jari pemeriksa mendorong pada bagian pangkal kelingking.Penilaian :>Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh berarti dari jari lainnya berarti lumpuh>Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa berarti lemah>Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa ibu jari bisa maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih kuat>Bila masih ragu , penderita diminta menjepit sehelai kertas yang diletakkan diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa menarik kertas tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan / jepitan terhadap kertas tesebut>Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah>Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat*Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari )- Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking tangan kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap keatas,dan dalam posisi ekstensi- Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap telapak tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung) dan penderita diminta untuk mempertahankan posisi tersebut- Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian batas antara punggung dengan telapak mendekati telapak tangan. Penilaian :> Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat> Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah> Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh*Saraf Radialis ( Kekuatan otot Pergelangan tangan )- Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan penderita- Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang terkepal keatas (ektensi )- Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi ( keatas) lalu dengan tangan kanan pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah fleksi.Penilaian : > Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat> Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah> Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh ( pergelangan tangan tidak bisa digerakkan keatas)*Kakia) Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior )- Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki menghadap keatas- Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita- Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan- Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan berdiameter 1cm.- Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm.b) Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis )- Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki dengan tumit tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan dengan tumit)- Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita kebawah /lantai.Keterangan:> Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat> Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah> Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan keatas)

Siregar R.S, Atlas Bewarna Saripati Penyakit Kulit, EGC, 1996.

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan Ziehl Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae.

2. Pemeriksaan histopatologik

Pemeriksaan histopatologik pada penyakit kusta biasanya dilakukan untuk memastikan gambaran klinik, misalnya kusta indeterminate atau penentuan klasifikasi kusta. Disini umumnya dilakukan pewarnaan Hematoxylin-Eosin (H.E) dan pengecatan tahan asam untuk mencari basil tahan asam (BTA).

3. Pemeriksaan serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Jenis antibodi yang terbentuk bermacam-macam, karena terdapat berbagai jenis antigen, misalnya antigen golongan lipopolisakarida yang berasal dari kapsul kuman, antigen protein yang berasal dari inti sel dan lain lain. Antibodi yang terbentuk bersifat spesifik dan non-spesifik.

a. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)

Tekhnik ini dikembangkan oleh Izumi dkk. Dengan dasar reaksi antigen-antibodi yang akan menyebabkan pengendapan (aglutinasi) partikel yang terikat akibat reaksi tersebut. Karena mudah dilaksanakan dan cepat diketahui hasilnya (hanya diperlukan waktu sekitar 2 jam), tekhnik ini banyak dipakai untuk skrining mencari kasus kusta subklinik di daerah endemik kusta.

b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)

Uji ini merupakan uji laboratorik yang memerlukan peralatan khusus serta keterampilan tinggi, sehingga dalam penyakit kusta hanya dilakukan untuk keperluan khusus, misalnya untuk penelitian atau kasus tertentu. Keuntungan uji ELISA ini ialah sangat sensitif, sehingga dapat mendeteksi antibodi dalam jumlah yang sangat sedikit.

Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen-antibodi yang terbentuk dengan memberi label pada ikatan tersebut. Bila uji ini digunakan untuk memantau hasil pengobatan penyakit kusta, penurunan antibodi spesifik bisa terlihat jelas dengan memeriksa serum penderita secara berkala setiap 3 bulan sekali.

c. ML dipstick

Pemeriksaan serologik dengan menggunakan Micobacterium leprae dipstick (ML dipstick) ditujukan untuk mendeteksi antibodi IgM yang spesifik terhadap M. leprae. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis terutama untuk kusta stadium awal, pemantauan hasil pengobatan dan deteksi adanya relaps serta membedakannya dengan reaksi reversal.

4. Pemeriksaan reaksi rantai polimerase (Polimerase chain reaction/PCR)

Prinsip PCR ini adalah menggandakan suatu potongan rantai DNA tertentu dari DNA kuman, sehingga jumlahnya berlipat ganda dan bisa dilihat sebagai pita protein pada medan elektroforesa. Pemeriksaan PCR pada penyakit kusta sangat berguna dalam mendeteksi adanya basil kusta di jaringan, apabila gejala klinis maupun histopatologis tidak menyokong diagnosis kusta. Pemeriksaan ini jauh lebih sensitif dari pengecatan Ziehl Neelsen maupun Wade Fite/ Fite Faraco untuk mendeteksi basil tahan asam (BTA).

Agusni I, Menaldi SL. Beberapa prosedur diagnostik baru pada penderita kusta. 2003: 59-65

PENATALAKSANAANTujuan Pengobatan adalah;

a. Memutus mata rantai penularan

b. Menyembuhkan penyakit Penderita

c. Mencegah Terjadinya cacat

Regimen Pengobatan MDT(Multi Drug Therapie).

WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan menggunakan regimen MDT Yaitu :

1. Penderita Pauci Baciler ( PB ) lesi 2-5 DewasaPengobatan bulanan: hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas.a) Satu capsul Rifampicin @300 mg ( 600 mg )b) Satu tab Dapson /DDs 100 mgPengobatan harian : hari ke 2-28 (1 tab dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk satu bulan) lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan.

2. Penderita Multi-Basiler ( MB ) DewasaPengobatan bulanan :hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas )a)Tiga capsul Rifampicin @300 mg ( 600 )b) Tiga Tablet Lampren @100 mg ( 300 )c)Satu tablet Dapsone @100 mgPengobatan harian : hari ke 2-28 ( 1 tablet Lamprene 50 mg, 1 table Dapsone/DDS 100 mg ) 1 blister untuk satu bulan lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12-18 bulan.

3. Dosis MDT menurut Umur, lihat Bagan sebagai berikut : a) Type PB

Jenis obat

< 5 th

5-9 th

10-14 th

>15 th

Keterangan

Rifampicin

Berdasarkan berat badan

300 mg/bl

450 mg/bl

600 mg/bl

Minum di depan petugas

25 mg/bl

50 mg/bl

100 mg/bl

Minum di depan petugas

DDS

25 mg/hr

50 mg/hr

100 mg/hr

Minum di rumah

b) Type MB

Jenis obat

< 5 th

5-9 th

10-14 th

>15 th

Keterangan

Rifampicin

Berdasarkan berat badan

300 mg/bl

450 mg/bl

600 mg/bl

Minum di depan petugas

25 mg/bl

50 mg/bl

100 mg/bl

Minum di depan petugas

DDS (Diamino Difenil Sulfon)

25 mg/hr

50 mg/hr

100 mg/hr

Minum di rumah

Clofazimin

100 mg/ bl

150 mg/bl

300 mg/bl

Minum di depan petugas

50 mg 2xseminggu

50 mg/2 hr

50 mg/hr

Minum di rumah

Bagi anak di bawah usia 10 th dengan BB kurang ,dosis MDT diberikan

Berdasarkan BB:

a.Rifampicin : 10-15 mg / kg BB.

b.DDS : 1-2 mg / kg BB.

c.Clofazimin : 1mg /kg BB.Nonmedikamentosa

Non-medikamentosa

Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil obat di puskesmas dan tidak boleh putus obat.

Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi demam, nyeri di seluruh tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus segera mencari pertolongan ke saranan pelayanan kesehatan.

Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan terjadi kecacatan jika tidak ada tindakan pencegahan. Pencegahan :

Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama yang banyak mengandung pelembab, bukan detergen.

Rendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila kulit sudah lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas.

Untuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil).

Secara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan segera mencari pertolongan medis.

Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh atau menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam

Siregar R.S, Atlas Bewarna Saripati Penyakit Kulit, EGC, 1996.

KOMPLIKASI

Komplikasi jaringan akibat invasi masif M. leprae

Komplikasi akibat reaksi

Komplikasi akibat imunitas yang menurun

Komplikasi akibat kerusakan saraf

Komplikasi disebabkan resisten terhadap obat antikusta.

Ada dua tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya:

a. Reaksi lepra tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas selular. Menurut Jopling reaksi lepra tipe 1 merupakan delayed hipersensitivity reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs dan Gell. Sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/ reversal apabila menuju kearah bentuk tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS), atau down grading apabila menuju kebentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS).

b. Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral yang dikenal dengan nama eritema nodosum leprosum (ENL). ENL merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coombs dan Gell. Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi membentuk kompleks Ag-Ab. Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks imun.

No.

Gejala / Tanda

Tipe 1

Tipe2

1

Kondisi umum

Baik atau demam ringan

Buruk, disertai malaise dan febris

2

Peradangan di kulit

Bercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), dapat timbul bercak baru.

Timbul nodul kemerahan, lunak dan nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah (ulserasi)

3

Waktu terjadi

Awal pengobatan MDT

Biasanya setelah pengobatan yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan

4

Tipe Kusta

Dapat tipe PB dan MB

Hanya terjadi pada MB

5

Saraf

Sering terjadi, umumnya berupa nyeri tekan saraf dan/atau gangguan fungsi saraf

Dapat terjadi

6

Peradangan pada organ lain

Hampir tidak ada

Terjadi pada mata, KGB, sendi, ginjal, testis, dll

Siregar RS. Saripati penyakit kulit. Edisi II. Jakarta: EGC, 2005

TBC KUTIS

EPIDEMIOLOGI

Negara barat : Lupus vulgaris

Daerah tropis (Indonesia) tersering : skrofuloderma

dan tuberkulosis kutis verukosa

Anak dan dewasa muda

Penularan : inhalasi, inokulasi langsung pada kulit

ETIOLOGI

Mycobacterium tuberculosis : 91,5%

M. atipikal : 8,5%

BAKTERIOLOGI

Mycobacterium tuberculosis

Sifat :

Bentuk batang tahan asam

Tidak bergerak

Aerob

Suhu pertumbuhan optimal : 37C

Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas:

Sediaan mikroskopik (pewarnaan Ziehl Neelsen)

Kultur (Media Lowenstein Jensen)

Binatang percobaan

Tes biokimia

Percobaan resistensi

KLASIFIKASI

1. Tuberkulosis kulit sejati

kuman penyebab terdapat pada kelainan kulit

disertai gbrn histopatologi khas

Tuberkulosis kutis primer

- Inokulasi TB primer / Tuberculosis chancre

- Tuberkulosis kutis miliaris

Tuberkulosis kutis sekunder

- Skrofuloderma

- Tuberkulosis kutis verukosa

- Tuberkulosis kutis gumosa

- Tuberkulosis kutis orifisialis

- Lupus vulgaris

2. Tuberkulid

merupakan reaksi Id pada kelainan kulit

tidak ditemukan kuman penyebab, kuman

terdapat pada tempat lain didalam tubuh (paru)

Bentuk papul

- Tuberkulosis papulonekrotika

- Liken sklofulosorum

Bentuk granuloma dan ulseronodulus

- Eritema nodosum

- Eritema induratum bazin

PATOGENESIS

Penjalaran langsung ke kulit dari organ dibawah

kulit yang telah terinfeksi tuberkulosis

(skrofuloderma)

Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium

(tuberculosis kutis orifisialis)

Penjalaran secara hematogen (TB kutis miliaris)

Penjalaran secara limfogen (Lupus vulgaris)

Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah

diserang penyakit TB (Lupus vulgaris)

Kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi

lokalnya telah menurun (TB kutis verukosa)

LI LBM 2 SGD 17 PENYAKIT TROPISPage 23