ayam hutan 2
TRANSCRIPT
AYAM HUTAN MERAH NENEK MOYANG AYAM PELIHARAAN
Dalam dunia ilmu pengetahuan, ayam hutan digolongkan ke
dalam suku Phasianidae, suatu kelompok burung berbadan
besar yang banyak menghabiskan waktunya di permukaan
tanah. Jantan berbulu sangat indah. Sebaliknya, betina
berwarna suram. Saat musim berbiak, pejantan akan sibuk
berlenggak-lenggok, memperlihatkan keelokan bulunya
dengan gerakan tertentu, untuk memikat sang betina pujaan
hati.
Selain bulunya yang indah, burung dalam familia Phasianidae
juga sering mengeluarkan suara yang nyaring dan merdu. Kaki
dilengkapi taji yang runcing untuk mengais permukaan tanah
dan bertarung memperebutkan betina.
Sarang dibangun dari ranting dan daun-daun kering di atas
tanah. Saat senja, burung jantan dan betina yang tidak
mengeram, akan terbang ke atas pohon untuk tidur sekaligus
menghindari pemangsa. Kerabat dekat ayam hutan dalam suku
ini meliputi: burung Puyuh, Sempidan, Kuau dan Merak.
Saat ini terdapat 4 spesies ayam hutan yang semuanya hanya
tersebar di Asia (Gambar 1). Keempat jenis ayam hutan
tersebut adalah:
1. Ayam hutan merah/Red Junglefowl (Gallus gallus, Linnaeus,
1758)
2. Ayam hutan abu-abu/Grey Junglefowl (Gallus
sonneratii Temminck, 1813)
3. Ayam hutan Srilangka/Ceylon Junglefowl (Gallus lafayetii,
Lesson 1831)
4. Ayam hutan hijau/Green Junglefowl (Gallus varius Shaw,
1798)
Gambar 1. Jenis-jenis ayam hutan Jantan. Searah jarum jam:
Ayam hutan abu-abuGallus sonneratii (kiri atas), Ayam hutan
merah Gallus gallus (kanan atas), Ayam hutan Srilangka Gallus
lafayetii (kanan bawah) dan Ayam hutan hijau Gallus
varius (kiri bawah).
Ayam hutan jantan dan betina, mempunyai bentuk tubuh yang
sangat berbeda (sexual dimorfism). Untuk memikat betina saat
musim berbiak, jantan dilengkapi warna bulu dan ornamen
tubuh yang sangat indah oleh Sang Pencipta.
Kepala ayam hutan dilengkapi dengan jengger/pial beraneka
rupa bak mahkota raja. Satu atau dua gelambir tumbuh
menjuntai indah di bawah dagu yang menambah wibawa. Bulu
di leher, punggung dan sayap tumbuh memanjang dengan
kombinasi warna merah, kuning dan hijau yang sangat cerah.
Warna gelap yang berkilauan menjadi latar belakang,
mendominasi bagian bawah tubuh.
Bulu di ekor terbentuk sangat rapi, berwarna gelap dengan
deretan bulu besar yang tersusun sedemikian rupa. Dua bulu
yang berada di puncak ekor tumbuh sangat panjang dan
melengkung berbentuk bulan sabit yang indah. Sepasang taji
yang sangat runcing, tumbuh di kedua kaki sebagai senjata
andalan. Ayam betina pun, dijamin akan “klepek-klepek“ alias
terkesima, melihat penampilan sang pejantan yang demikian
tampan, seperti tampak pada Gambar 1 di atas.
Gambar 2. Jenis-jenis ayam hutan betina. Ayam hutan abu-
abu Gallus sonneratii (kiri) dan Ayam hutan merah Gallus
gallus (kanan).
Berbeda dengan jantan, tampilan ayam hutan betina terlihat
begitu suram. Warna tubuh didominasi oleh kombinasi warna
coklat, kuning gelap dengan sedikit campuran warna hitam
dan putih di sekujur tubuh.
Warna bulu betina yang suram ini, merupakan adaptasi untuk
memudahkan penyamaran (kamuflase), agar terhindar dari
predator seperti kucing hutan, musang, ular sanca dan
binatang buas lainnya. Warna bulu betina yang serupa warna
tanah ini sangatlah menguntungkan, terutama saat ayam
betina harus diam mengerami telurnya, dalam sarang yang
berada di atas tanah.
Gambar 3. Jenis-jenis ayam hutan betina. Ayam hutan
hijau Gallus varius (kiri) dan Ayam hutan Srilangka Gallus
lafayetii (kanan).
1. Ayam hutan Merah/Red Junglefowl (Gallus
gallus Linnaeus, 1758)
Ayam hutan merah adalah jenis ayam liar yang paling dikenal.
Daerah sebarannya sangat luas, mulai dari bagian timur
Pakistan, India utara dan timur, Myanmar, barat daya Yunnan
(RRC), Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Guangxi dan Pulau
Hainan (tenggara RRC) hingga Semenanjung Malaya,
Sumatera, Jawa dan Bali. Ayam ini kemudian diintroduksi ke
Kalimantan, Filipina, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Tepian
hutan dengan semak terbuka diselingi perdu, menjadi habitat
favorit bagi ayam hutan merah.
Gambar 4. Bagian-Bagian tubuh Ayam hutan merah yang Asli.
Bulu penutup ekor (lingkaran kuning) harus berjumlah 4.
Ayam hutan merah termasuk jenis burung berukuran sedang
hingga besar. Panjang total jantan berkisar antara 65-75 cm
dengan kisaran berat 0,7 kg – 1,5 kg. Sedangkan betina
memiliki panjang 40-45 cm dengan berat 0,5 – 1 kg.
Menurut MacKinnon et al. (2002), ciri-ciri ayam hutan merah
jantan adalah jengger, muka dan gelambir berwarna merah,
bulu leher terdiri dari kombinasi warna kuning, jingga, coklat
dengan strip hitam vertikal di tengah, bulu tengkuk (tidak
kelihatan diGambar 4), penutup ekor dan penutup sayap
berwarna hitam bercampur hijau atau biru perunggu.
Bulu mantel berwarna coklat berangan, bulu ekor panjang,
dengan warna hitam bercampur hijau berkilauan. Tubuh
bagian bawah juga berwarna hitam kehijauan. Kaki abu-abu
kebiruan dengan taji yang melengkung dan runcing. Secara
sederhana, bagian-bagian tubuh ayam merah dapat dilihat
pada Gambar 4 di atas.
Gambar 5. Sepasang Ayam hutan merah. Jantan (kiri) dan
betina (kanan).
Sumber:http://redjunglefowl.webs.com/idealspecimens.htm
Ayam hutan merah betina berwarna coklat suram. Bulu leher
kuning kecoklatan dengan coretan hitam vertikal di tengah
bulu. Ayam hutan betina yang masih asli sama sekali tidak
memiliki jengger, gelambir dan taji. Kalaupun ada, ukuran
jengger dan gelambirnya sangat kecil. Profil ayam hutan
merah jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 5 di atas.
Gambar 6. Ayam hutan merah jantan sedang berkokok di atas
pohon.
Sumber:http://redjunglefowl.webs.com/idealspecimens.htm
Kukuruyuuuuuuk….. Ayam hutan jantan akan berkokok
nyaring dari atas pohon, saat mentari mulai muncul di batas
cakrawala. Kokoknya keras tapi tidak sepanjang kokok ayam
kampung. Kokok ayam hutan juga tidak sepagi ayam kampung
yang mulai berkokok sejak dinihari. Hal ini untuk menghindari
datangnya hewan pemangsa, saat hari masih gelap. Jika tanah
sudah benar-benar terang, ayam hutan akan turun menuju
semak terbuka untuk mencari makan.
Ayam jantan memiliki beberapa macam suara kokokan dan
panggilan yang kompleks. Kokok yang nyaring berfungsi untuk
menegaskan kehadiran ayam jantan di tempat tertentu atau
sebagai peringatan terhadap ayam jantan lain agar tidak
melanggar batas teritorial. Saat menemukan makanan, ayam
jantan akan memanggil betinanya dengan suara tertentu untuk
mendekat agar lebih mudah dirayu. Jika melihat burung elang
atau hewan pemangsa lainnya, ayam jantan akan memekik
keras mengeluarkan nada peringatan.
Gambar 7. Ayam hutan merah jantan asli dengan tipe cuping
berwarna merah, sedang mengais tanah mencari makan.
Sumber:http://redjunglefowl.webs.com/idealspecimens.htm
Setelah turun dari pohon, ayam hutan akan segera sibuk
mengais tanah dan serasah dedaunan untuk mencari
serangga, biji-bijian, bunga, buah-buahan yang jatuh dari
pohon, pucuk rumput dan hewan kecil lainnya (Gambar 7).
Kadang-kadang, ayam hutan akan menelan beberapa butir
pasir, untuk membantu mencerna biji-bijian dalam
temboloknya.
Ayam jantan dewasa yang dominan, biasanya akan mencari
makan dengan beberapa selir betinanya. Ayam betina yang
memiliki anak yang baru menetas, cenderung agresif dan
sedikit menjaga jarak dari ayam dewasa lainnya. Sedangkan
pejantan dan betina muda, kadang-kadang soliter atau
berkelompok menurut jenis kelaminnya masing-masing.
Gambar 8. Dua ekor ayam hutan jantan sedang bertarung.
Sumber:http://redjunglefowl.webs.com/idealspecimens.htm.
Saat musim berbiak tiba, ayam jantan akan bertarung
memperebutkan betina atau mempertahankan daerah
teritorialnya (Gambar 8). Ayam jantan terkuat akan
mendapatkan daerah teritorial yang lebih baik dan menarik
perhatian beberapa ekor ayam betina.
Ayam jantan dominan akan lebih sering berkokok di daerah
kekuasaannya. Daerah teritorial ini berukuran antara 500 m²
hingga 1 km². Ayam jantan yang berpengalaman cenderung
menghindari perkelahian dan tidak akan melewati batas
teritori pejantan lainnya, meskipun itu hanya berjarak 1 m dari
batas daerah kekuasaannya.
Kemampuan berkelahi ayam hutan jantan tergolong sangat
baik. Serangannya cepat. Gerakan kakinya juga gesit saat
menghindar. Kelihaiannya dalam melompat dan bertempur di
udara, jauh di atas rata-rata ayam domestik. Gaya
bertarungnya sangat indah seperti ayam Filipina. Namun,
bobot tubuhnya yang ringan menyebabkan ayam hutan tidak
tahan pukul. Ayam hutan juga takut menghadapi ayam
domestik yang berukuran jauh lebih besar seperti ayam
kampung atau ayam Bangkok.
Perkelahian umumnya terjadi antara pejantan dominan dan
pejantan muda dari kelompok yang sama atau pejantan muda
dari luar kelompok saat musim kawin. Jika pejantan muda
mulai sering berkokok, pejantan dominan akan segera
mengusir pejantan muda dari daerah kekuasaannya. Jika
pejantan muda cukup kuat, akan terjadi perkelahian. Tidak
jarang, perkelahian ini akan berakhir dengan kematian salah
satu pejantan, akibat hujaman taji lawan.
Bagi ayam betina, memilih pejantan yang paling kuat adalah
syarat mutlak untuk hidup di alam liar. Pejantan terkuat akan
menghasilkan keturunan yang lebih baik, dapat memberikan
perlindungan dari predator karena tingkat kewaspadaannya
yang tinggi dan memperoleh akses bahan makanan yang lebih
banyak di daerah teritorial yang lebih luas.
Berdasarkan siklus reproduksinya, Ayam hutan merah
menjalani 3 fase berbiak. Fase pertama adalah musim kawin,
fase kedua musim bertelur/mengeram dan fase ketiga adalah
fase membesarkan anak.
Pada musim kawin, bulu tumbuh sempurna dan berwarna
indah. Konsentrasi hormon testoteron pejantan meningkat.
Ayam menjadi lebih agresif, sering berkokok untuk menarik
perhatian betina dan mudah terprovokasi pejantan lain. Pada
musim ini, ayam hutan jantan sangat mudah ditangkap dengan
umpan ayam pekatik.
Agresifitas pejantan akan menurun saat musim bertelur tiba.
Pejantan lebih sering mendampingi ayam betina menjelajah
daerah teritori, mengais tanah dan mencari makan. Seringkali,
pejantan mengabaikan provokasi pejantan lain, sehingga pada
fase ini para penangkap ayam hutan dengan umpan pekatik
akan pulang dengan tangan hampa.
Memasuki fase mengeram, ayam betina lebih banyak berdiam
di sarang. Sedangkan pejantan memasuki fase gugur bulu
pada bagian lehernya. Bulu-bulu leher yang panjang berwarna
kuning keemasan akan rontok digantikan bulu pendek
berwarna hitam. Pejantan jarang berkokok dan lebih banyak
mengawasi sarang dari kejauhan.
Gambar 9. Sarang ayam hutan merah di habitat aslinya.
Sumber:http://rimbundahan.org/(2005).
Ayam hutan merah membuat sarangnya di atas tanah
(Gambar 9). Sarang ini berada di dalam semak-semak,
tertutup oleh serasah daun dan ranting yang kering, agar
terlindung dari sengatan cahaya matahari dan hujan. Betina
akan bertelur sebanyak 2-12 butir setiap musim berbiak
(tergantung sub-spesiesnya). Telur ini akan dierami selama 21
hari atau lebih hingga menetas.
Gambar 10. Dua anak ayam hutan dan tiga anak ayam
kampung umur satu pekan. Perhatikan bulu sayap yang
tumbuh sangat cepat pada anak ayam hutan. Bulu sayap ini
berwarna putih abu-abu. Sayap anak ayam kampung tumbuh
lebih lambat dan tetap berwarna coklat.
Sumber: http://ayamhutan.tripod.com/junglefowl.html.
Anak ayam yang baru menetas berwarna kuning gelap dengan
garis coklat besar di punggung dan kepalanya untuk
berkamuflase. Bulu sayap tumbuh cepat berwarna coklat abu-
abu keputihan (Gambar 10). Anak ayam umur satu pekan
sudah mampu terbang dalam jarak pendek. Dalam beberapa
pekan, anak ayam ini dapat terbang dengan cepat untuk
menghindari pemangsa.
Menurut Dr. Shaik Mohamed Amin Babjee, seorang peneliti
ayam hutan dari Malaysia, anak ayam hutan sangat sensitif
terhadap gangguan sehingga mudah mengalami stress.
Ketahanan tubuh juga tidak sekuat anak ayam kampung
sehingga rentan terhadap berbagai macam penyakit.
Ayam hutan betina akan mengasuh anaknya hingga mampu
mandiri dan mencari makan sendiri. Ayam betina mencapai
umur dewasa dan siap kawin saat berumur 8-10 bulan.
Sedangkan ayam jantan, mencapai usia dewasa sepenuhnya
saat berumur sekitar 12 bulan. Dibandingkan jenis ayam
lainnya, ayam hutan memiliki laju pertumbuhan yang lambat.
Sub-spesies Ayam hutan Merah
Berdasarkan daerah sebaran dan morfologinya, William Beebe
(1877-1962), seorang naturalis asal New York, Amerika
Serikat, dalam publikasi risetnya A Monograph of the
Pheasants, ditambah dengan beberapa ahli burung lainnya,
membagi ayam hutan merah (Gallus gallus) menjadi 5-6 sub-
spesies yang berbeda:
-Ayam Hutan Cochin-China (Gallus gallus
gallus Linnaues, 1758), tersebar di Vietnam, Laos selatan dan
timur, Thailand timur. Ayam ini memiliki bulu leher yang
sangat panjang dengan warna merah-jingga hingga keemasan
dengan ujung bulu meruncing berwarna jingga. Di tengah bulu
terdapat strip tipis berwarna coklat. Cuping telinga umumnya
besar dan berwarna putih.
–Ayam Hutan Burma (Gallus gallus spadiceus Bonnaterre,
1792), tersebar mulai dari Yunnan barat daya (RRC), Burma,
Laos utara, Thailand, Semenanjung Malaya hingga Sumatera
bagian utara. Sub-spesies ini memiliki ciri yang sama dengan
sub-spesies sebelumnya dengan pengecualian pada bulu leher
dan cuping telinganya yang berukuran sedang sampai besar
berwarna putih atau merah.
–Ayam Hutan India (Gallus gallus murghi Robinson dan
Kloss, 1920), tersebar mulai dari Pakistan timur ke India
tengah dan hingga daerah Assam di timur India. Ciri khas dari
subspesies ini adalah adanya strip berwarna hitam yang lebar
di tengah bulu leher. Namun, seringkali ayam dengan ciri
seperti sub-spesies sebelumnya juga banyak ditemukan di
India. Bulu leher ayam hutan India juga sangat panjang,
berwarna merah jingga hingga keemasan dengan ujung
meruncing berwarna orange (jingga).
-Ayam Hutan Tonkin (Gallus gallus jabouillei, Delacour
dan Kinnear, 1928), tersebar di Guangxi, Kwangtung dan
Pulau Hainan (RRC) dan Vietnam bagian utara. Sub-spesies ini
dikenali dari bulu lehernya yang pendek, berwarna merah
jingga gelap dengan ujung meruncing dan ukuran jengger/pial
dan cuping telinga yang berwarna merah yang kecil.
–Ayam Hutan Jawa (Gallus gallus bankiva, Temminck,
1813) tersebar di Pulau Sumatera bagian selatan, Jawa dan
Bali. Ayam ini termasuk sub-spesies yang paling unik karena
bulu lehernya yang pendek, lebar, dengan ujung membulat.
Sayap berukuran besar. Bulu lehernya berwarna jingga gelap
dengan warna merah yang pendek dibandingkan warna
jingganya. Jengger dan cuping telinga berukuran kecil dan
berwarna merah. Analisis genetik menunjukkan ayam hutan
Jawa merupakan sub-spesies tertua dengan karakter gen yang
sangat berbeda dibandingkan dengan sub-spesies lainnya.
–Ayam Peliharaan (Gallus gallus domesticus, Linnaeus,
1758), dari nama ilmiahnya, ayam hutan merah dan ayam
peliharaan masih terhitung satu spesies, bukan 2 spesies yang
berbeda. Saat ini, terdapat ratusan kultivar atau varian ayam
peliharaan yang tersebar di seluruh dunia. Kultivar atau varian
tersebut muncul sebagai hasil seleksi dan budidaya manusia
selama ribuan tahun, untuk mendapatkan ayam dengan sifat-
sifat unggul yang diinginkan. Ratusan varietas ayam
peliharaan dari seluruh dunia, dapat dilihat di situs
web: http://www.feathersite.com/.
Penelitian filogenetik yang dilakukan terhadap 3 subspesies
ayam hutan merah (G. g. gallus, G. g. spadiceus dan G. g.
bankiva) yang dibandingkan dengan spesies ayam hutan
lainnya, mendapatkan hasil yang menarik. Ayam hutan merah,
ternyata memiliki hubungan yang lebih dekat dengan ayam
hutan hijau. Sedangkan ayam hutan abu-abu lebih dekat
kekerabatannya dengan ayam hutan Srilangka. Hal tersebut
diungkapkan oleh peneliti LIPI, Sulandari dkk (2006) dalam
Dywyanto dan Prijono (2007).
Kesimpulan ini, sesuai dengan kenyataan di lapangan yang
menunjukkan bahwa secara alami, ayam yang daerah
sebarannya lebih dekat, cenderung untuk memiliki hubungan
kekerabatan yang lebih erat pula.
Peneliti dari Jepang Fumihito dkk (1994) serta peneliti LIPI
Sulandari dkk (2006) dalam Dywyanto dan Prijono (2007),
menyatakan bahwa ayam hutan merah adalah nenek moyang
dari ayam peliharaan. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil
riset terhadap susunan DNA mitokondria ayam peliharaan
(ayam ras dan ayam kampung) yang lebih mirip dengan DNA
mitokondria ayam hutan merah dibandingkan spesies ayam
hutan lainnya. Salah satu berita yang memuat penemuan ini
dapat dilihat dihttp://www.antaranews. com/view/?
i=1201011680&c=TEK&s=
Hasil riset juga menunjukkan bahwa ayam kampung yang
tersebar luas di Indonesia, memiliki hubungan yang lebih
dekat dengan ayam hutan Cochin-China (G. g. gallus) dan
Ayam hutan Burma (G. g. spadiceus) dibandingkan dengan
ayam hutan Jawa (G. g. bankiva).
Gambar 11. Beberapa varietas ayam lokal nusantara (Gallus
gallus domesticus). Sumber:http://www.kaskus.us
Menurut LIPI, di Indonesia setidaknya terdapat 31 varietas
lokal ayam peliharaan. Beberapa varietas lokal yang terkenal,
diantaranya adalah: Ayam Kedu/Ayam Cemani (Magelang-
Temanggung), Ayam Pelung (Cianjur-Sukabumi), Ayam Sentul
(Ciamis), Ayam Banten, Ayam Ciparage (Karawang), Ayam
Bali, Ayam Wareng (Jateng-Jatim), Ayam Delona (Klaten),
Ayam Balenggek (Sumbar), Ayam Sumatera (populer di
Amerika), Ayam Merawang (Bangka), Ayam Gaok (Pulau
Puteran-Sumenep), Ayam Nunukan (Tarakan-Kaltim), Ayam
Sedayu (Bantul-Jateng), Ayam Tolaki (Kendari), Ayam Tukong
(Kalbar), Ayam Kalosi (Enrekang-Sulsel), Ayam Ketawa
(Sidrap-Sulsel) dan Ayam Ayunai (Merauke) (Gambar 11).
Analisis DNA dan analisis Filogenetik yang telah dilakukan
oleh Pusat Penelitian Biologi LIPI bekerja sama
dengan International Livestock Research Institute di Nairobi,
Kenya, menunjukkan, bahwa ayam lokal Indonesia memiliki
ciri dan karakter unik yang sangat berbeda dengan ayam dari
negara lain. Dengan demikian, Indonesia termasuk salah satu
area yang menjadi pusat domestikasi ayam di dunia, selain
China dan India.
Ciri-Ciri Ayam Hutan Merah yang Asli
Ayam hutan merah memiliki variasi ciri fisik yang sangat
beraneka ragam. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor
terutama faktor lingkungan seperti habitat, ketinggian, kondisi
geografis dan lain-lain.
Di India, ayam hutan merah (sub-spesies murghii) dari daerah
utara yang didominasi oleh pegunungan bersuhu dingin,
memiliki rata-rata ukuran tubuh yang lebih besar dengan bulu
leher yang lebih lebat dan panjang, dibandingkan dengan
ayam hutan merah (sub-spesies murghii), dari dataran yang
lebih rendah di selatan.
Satu-satunya sub-spesies ayam hutan merah yang paling kuat
karakter fisiknya, adalah ayam hutan merah subspesies
bankiva, dari Indonesia. Ciri fisik yang paling menonjol dari
ayam ini adalah bulu leher yang pendek, dengan ujung bulu
membulat (tidak runcing).
Akibat isolasi selama ribuan tahun, subspesies bankiva juga
memiliki komposisi genetik unik, yang agak jauh berbeda dari
subspesies ayam hutan lainnya. Di duga, subspesies bankiva
merupakan varian ayam hutan yang berumur lebih tua.
Salah satu kendala utama dalam usaha konservasi ayam hutan
merah, adalah makin langkanya ayam hutan yang masih benar-
benar berdarah murni atau asli. Hal ini disebabkan oleh
adanya kontaminasi genetik dari sub-spesies ayam yang lain,
terutama ayam kampung (Gallus gallus domesticus).
Perkawinan antara 2 subspesies ayam yang berbeda, dalam
hal ini: ayam hutan merah vs ayam kampung, sangat mungkin
terjadi, karena 2 ayam tersebut berasal dari satu spesies yang
sama (Gallus gallus). Ayam hasil perkawinan silang (hybrid)
ini, di Jawa dan Sumatera Selatan, dikenal sebagai
ayam Brugo atau Bruga atau Bruge (istilah ayam Brugo akan
terus kami gunakan dalam postingan kali ini).
Perkawinan silang (cross breeding) antara ayam hutan merah
dengan ayam kampung, seringkali terjadi secara alami di tepi
hutan yang berbatasan dengan pemukiman penduduk.
Dari sisi konservasi, “perselingkuhan” ini sangat merugikan,
karena akan menurunkan kualitas genetik dan menyebabkan
hilangnya sumber plasma nutfah asli, dari populasi ayam
hutan di daerah tersebut. Kontaminasi gen ayam hutan oleh
ayam kampung ini dikenal sebagai: polusi genetik.
Bagi kebanyakan orang, membedakan ayam jantan hasil kawin
silang (Brugo) dengan ayam hutan jantan yang asli, agak sulit
dilakukan, karena kedua ayam tersebut seringkali memiliki ciri
fisik yang nyaris serupa. Meskipun demikian, sebagai burung
liar, ayam hutan asli masih memiliki ciri khusus yang tidak
ditemukan pada ayam Brugo.
Gambar 12. Profil ayam hutan asli yang ideal. Bentuk kepala
kecil, jengger dan gelambir juga kecil, bulu lebat, mengkilap
dan tersusun rapi. Kaki ramping abu-abu kebiruan. Ayam
hutan tidak harus selalu bercuping putih. Pada gambar ayam
hutan di atas, cuping telinga berwarna merah.
Sumber: Burrard-Lucas.com
Berikut ini beberapa ciri-ciri ayam hutan asli yang kami kutip
darihttp://ayamhutan.tripod. com/junglefowl.html dan
beberapa website lainnya. Jika salah satu saja, dari ciri ayam
hutan yang diuraikan di bawah ini, tidak ditemukan pada
tubuh ayam yang diperiksa, maka hampir dapat dipastikan,
ayam tersebut adalah ayam Brugo .
a. Bentuk tubuh yang ramping
Ayam hutan yang masih berdarah murni (asli), memiliki bentuk
tubuh yang ramping. Rata-rata ukuran tubuhnya jauh lebih
kecil dibandingkan dengan ayam kampung.Gerakannya gesit
dan cepat. Memiliki kemampuan terbang yang baik.
Kewaspadaan nya tinggi. Kemampuan seperti ini sangat
penting bagi ayam hutan yang hidup di alam liar, karena
banyaknya ancaman dari hewan pemangsa.
Sebaliknya, ayam Brugo atau ayam kampung, memiliki tubuh
yang lebih gempal, lebih berotot dengan bobot yang lebih
berat.
Akibat proses domestikasi selama ratusan bahkan ribuan
tahun, ayam kampung sudah tidak lagi memiliki ciri-ciri
seperti ayam hutan. Ayam kampung boleh dikatakan, hidup di
habitat yang lebih nyaman dan “modern”.
Ayam kampung tidak perlu bersusah payah mencari makanan,
karena setidaknya pemiliknya akan memberi makan setiap
hari. Jika tidak diberi makan, makanan sisa yang dibuang atau
sumber makanan yang lain, juga masih dapat ditemukan
dengan mudah di sekitar perkampungan/pemukiman.
Ayam kampung juga merasa lebih aman hidup dekat dengan
manusia. Predator alami ayam hutan seperti kucing hutan,
burung elang, ular, musang dan lain-lain, nyaris tidak
ditemukan di sekitar perkampungan. Oleh sebab itu,
kewaspadaan dan kemampuan terbang yang baik juga tidak
diperlukan.
Banyaknya makanan dan kurangnya gerak, menyebabkan
ayam kampung bertubuh lebih gempal dan lamban. Jika ayam
kampung kawin dengan ayam hutan, gen gempal dari ayam
kampung akan diturunkan ke ayam brugo. Itulah sebabnya,
mengapa ayam Brugo tidak selangsing ayam hutan.
Gambar 13. Perbedaan bentuk tubuh dari pejantan ayam
kampung atau ayam Brugo (kiri) dengan ayam hutan merah
(kanan).
b. Kepala,Jengger/Pial dan Pial berukuran kecil
Ayam hutan merah yang asli memiliki bentuk kepala yang
kecil. Jenggernya selalu berpial bilah atau pial tunggal
bergerigi yang tipis. Sepasang gelambir yang menggantung di
dagu berukuran kecil. Cuping telinga juga kecil atau sedang,
berwarna putih atau merah. Ayam hutan yang asli, tidak harus
selalu bercuping putih (Gambar 12). Bulu leher ayam hutan
sangat lebat dan berwarna lebih cerah. Warna jengger,
gelambir dan muka terlihat agak pucat (merah jambu
atau pink) di luar musim berbiak. Sedangkan saat musim
kawin tiba, bagian muka, jengger dan gelambirnya berwarna
merah cerah. Kemungkinan konsentrasi hormon reproduksi
berpengaruh terhadap warna jengger ini.
Ayam kampung atau ayam Brugo, sebaliknya memiliki kepala,
pial dan gelambir yang besar dan kasar. Bulu leher lebat
dengan warna yang agak kusam. Perbedaan kepala ayam
hutan jantan yang asli dengan ayam jantan Brugo dapat dilihat
pada Gambar 14 di bawah ini.
Gambar 14. Perbedaan kepala Ayam hutan jantan (kiri)
dengan ayam kampung jantan atau ayam Brugo (kanan).
Ayam hutan betina yang asli, tidak pernah memiliki jengger
dan gelambir sedikit pun.Kalaupun ada, ukurannya sangat
kecil. Wajah berwarna merah jambu (pink) dengan warna bulu
coklat kuning keemasan yang melingkar di sekeliling wajah.
Bulu leher berwarna hitam dengan tepi bulu berwarna kuning
emas yang tipis. Penutup telinga berwarna kuning kecoklatan.
Bulu dada berwarna coklat emas kemerahan. Kepala ayam
hutan betina yang asli dapat dilihat pada Gambar 15 (kiri) di
bawah ini.
Gambar 15. Ciri spesifik ayam hutan betina. Kepala ayam
hutan betina yang asli (kiri), kepala betina Brugo dengan
warna bulu berwarna putih keperakan (tengah), kepala betina
Brugo dengan jengger/pial dan sepasang gelambir serta warna
bulu leher yang lebih cerah (kanan).
Sumber: http://ayamhutan.tripod.com/junglefowl.html
c. Terjadinya gugur bulu (moulting) di leher
Salah satu perbedaan yang paling menyolok dan sangat jelas
antara ayam hutan asli dengan ayam hasil silangan (Brugo)
adalah adanya periode gugur bulu ( moulting ) di leher , yang
hanya ditemukan pada jenis ayam hutan asli.
Sebagai burung liar, ayam hutan jantan hanya memiliki bulu
leher yang sangat lebat, selama musim berbiak/musim kawin
saja. Selain musim itu, ayam hutan hanya memiliki bulu leher
pendek berwarna hitam (Gambar 16 kiri). Ayam Brugo atau
ayam kampung tidak pernah mengalami periode gugur bulu
leher seperti ini.
Gambar 16. Pertumbuhan bulu leher pada ayam hutan asli.
Ayam hutan jantan dengan bulu leher pendek berwarna hitam
(kiri). Bulu leher yang mulai tumbuh (tengah). Bulu leher yang
sudah tumbuh sempurna pada musim kawin (kanan). Ketiga
ayam jantan di atas adalah ayam yang sudah dewasa
sepenuhnya (bukan ayam muda). Perhatikan bentuk kepala
dan jengger kecil yang menjadi ciri khas ayam hutan asli.
Sumber:http://redjunglefowl.webs.com/idealspecimens.htm
d. Bulu tubuh dan bulu ekor yang tersusun sangat rapi
Ayam hutan jantan yang asli memiliki susunan bulu ekor yang
sangat rapi, teratur dan mengkilap. Hal ini sangat penting
bagi pejantan, sebagai modal untuk menarik hati betina. Saat
musim berbiak, betina biasanya akan jual mahal dan berusaha
mencari pejantan berpenampilan paling trendy dan paling kuat
untuk menjamin masa depannya.
Bulu tubuh jantan selalu ditelisik dengan teratur agar tetap
rapi dan bersih bebas dari kutu. Warna bulu ekor pun selalu
hitam bercampur hijau berkilauan. Bulu di pangkal ekor
berwarna putih dan tumbuh lebih lebat.
Pada ayam hutan jantan, 4 pasang bulu penutup ekor yang
paling luar (Gambar 4 yang dilingkari garis kuning) akan
selalu tumbuh lebih kecil dan selalu lebih pendek
dibandingkan bulu ekor utama. Sepasang bulu ekor yang
paling atas, akan selalu tumbuh paling panjang dan
melengkung, membentuk formasi bulan sabit yang indah.
Berbeda dengan ekor ayam hutan, ekor ayam jantan hasil
silangan (ayam Brugo) atau ekor ayam kampung memiliki
susunan yang tidak jelas, bahkan cenderung berantakan. Bulu
penutup ekor yang terletak paling luar, seringkali tumbuh
lebih panjang dari bulu ekor utama. Perbedaan bentuk ekor ini
dapat dilihat pada Gambar 17 di bawah ini.
Gambar 17. Bulu ekor ayam hutan asli (kiri) memiliki susunan
yang teratur dan sangat rapi. Bulu penutup ekor terluar (yang
tumbuh dekat bulu pangkal ekor yang putih) hanya berjumlah
4 dan tidak pernah tumbuh melewati bulu utama. Bulu pangkal
ekor yang putih pada ayam hutan asli juga lebih lebat. Pada
ayam kampung (kanan), bulu ekor biasanya tumbuh tidak
beraturan. Bulu penutup ekor terluar, seringkali tumbuh lebih
panjang dari bulu ekor utama.
e. Kaki lebih ramping berwarna abu-abu kebiruan
Ayam hutan jantan yang asli memiliki kaki yang ramping,
selalu berwarna abu-abu gelap kebiruan, dengan taji yang
meruncing alami dan melengkung indah. Sisik juga lebih
halus. Pada ayam hasil silangan (Brugo) atau ayam kampung,
kaki umumnya lebih besar dengan sisik yang kasar berwarna
kekuningan atau kehitaman. Taji besar dan tumbuh tidak
beraturan (Gambar 18).
Gambar 18. Kaki ayam hutan yang asli (kiri). Kaki ayam hasil
silangan (Brugo) atau ayam kampung (kanan).
Sumber: http://ayamhutan.tripod.com/junglefowl.html
f. Warna bulu yang lebih cerah dan mengkilap
Keindahan bulu bagi ayam hutan jantan sangatlah penting,
dan menjadi salah satu modal utama untuk memikat betina.
Warna ayam hutan yang sangat cerah ini, dapat ditemukan
selama musim kawin atau musim berbiak.
Berbeda dengan ayam hutan, ayam kampung (ayam domestik)
tidak mengenal musim berbiak. Unggas peliharaan ini dapat
kawin setiap saat, kapan saja, dimana saja dan dengan siapa
saja . Mungkin karena sifatnya inilah, sehingga selama ribuan
tahun proses budidaya, dapat dihasilkan ratusan varian ayam
dengan berbagai fungsi (petelur, pedaging, ayam hias) yang
tersebar di seluruh dunia (bisa dilihat di
dihttp://www.feathersite.com).
Terjaminnya suplai makanan, rasa aman dari pemangsa serta
hilangnya sifat mengeram pada sebagian ras ayam domestik,
memungkinkan ayam betina untuk bertelur nyaris setiap hari,
sepanjang tahun. Ayam betina di dalam kandang sudah tak
peduli lagi, apakah pejantan pasangannya termasuk ayam
yang ganteng atau tidak, yang penting bisa “melaksanakan
tugas” dengan baik. Jadi, dalam hal kawin mawin, bulu yang
indah bagi pejantan ayam domestik, sudah tidak diperlukan
lagi. Periode moulting atau rontoknya bulu leher pun, tidak
dikenali lagi oleh ayam domestik.
Gambar 19. Ayam hutan yang sedang minum ini sangat
waspada dengan kondisi sekitar. Perhatikan bulu ekornya yang
tersusun rapi, serta bulu lehernya yang lebat dan mengkilap
(Gambar 12). Foto: Giovani M.
Beberapa Contoh Ayam hasil silangan (Brugo)
Dari Gambar 20 di bawah ini, dapat dilihat beberapa jenis
ayam yang kemungkinan besar adalah hasil persilangan antara
ayam hutan dengan ayam peliharaan. Ayam pada gambar di
sebelah kiri memiliki pola warna yang menyerupai ayam
hutan, namun bentuk tubuh yang gempal dan kakinya yang
besar menunjukkan bahwa ayam ini adalah ayam silangan.
Ayam di bagian tengah, juga memiliki postur yang menyerupai
ayam hutan, tetapi keberadaan pola totol-totol putih di sekujur
tubuhnya menunjukkan, bahwa kemungkinan besar, ayam ini
juga termasuk hasil kawin silang.
Gambar 20. Beberapa contoh ayam hasil silangan (Brugo).
Ayam di sebelah kanan pada Gambar 20 di atas, merupakan
salah satu ayam hias dari Jepang. Kadang-kadang, ayam Brugo
dengan pola warna kuning seperti ini, juga ditemukan pada
populasi ayam liar di tepi hutan yang berbatasan dengan
pemukiman penduduk.
Ayam Hutan Feral
Di Kepulauan Hawaii dan Cook Island (Pasifik Tenggara), juga
ditemukan populasi ayam hutan merah peliharaan yang
terlepas dari kandang, dan kemudian hidup liar (feral) di
daerah pedalaman. Ciri fisik ayam ini sangat mirip dengan
ayam hutan asli. Kemungkinan, dahulunya ayam peliharaan
yang terlepas adalah ayam hutan asli yang kemudian kawin
dengan ayam setempat, hingga berkembang menjadi populasi
ayam liar, seperti yang ditemukan saat ini.
Gambar 21. Populasi ayam hutan feral di Kepulauan Cook.
Oleh peneliti, ayam hutan ini disimpulkan telah terkontaminasi
genetik ayam domestik setempat sehingga dikategorikan
sebagai ayam silangan (Crossbred/Brugo).
Dari Gambar 21 di atas, dapat dilihat bentuk fisik ayam liar
yang sangat mirip sekali dengan ayam hutan asli. Bentuk
tubuh yang sedikit gempal pada ayam kiri, jengger yang besar
pada ayam jantan sebelah kanan dan adanya jengger pada
ayam betina (inset), menunjukkan bahwa ayam hutan ini telah
terkontaminasi oleh gen ayam setempat, sehingga sudah tidak
murni lagi.
Berburu ayam hutan merah
Ayam hutan merah biasanya ditangkap dengan menggunakan
jerat atau ditembak dengan senapan angin. Untuk menjerat
ayam hutan, digunakan umpan berupa ayam jantan yang
sudah jinak (ayam Brugo) sebagai ayam pemikat atau pekatik.
Di sekitar ayam hutan pemikat di pasang jerat dari benang
atau bahan lainnya.
Cara lain untuk menjerat ayam hutan adalah dengan
menaburkan makanan berupa gabah, beras atau biji-bijian di
sekitar perangkap. Alat ini haruslah di pasang di tempat yang
biasa dilewati ayam hutan merah. Bekas cakaran ayam di
tanah saat mencari makan, dapat menjadi pedoman untuk
memperkirakan tempat yang baik untuk memasang
perangkap.
Jebakan tanpa umpan yang mengandalkan daya tarik pohon
yang dibuat melengkung, juga dapat dipasang di lokasi yang
diperkirakan sering dilalui ayam hutan. Untuk lebih jelasnya,
dapat dilihat di situs: http://ayam kasintu.blogspot.com.
Gambar 22. Contoh jerat ayam hutan (kiri atas).
Sumber: http://ayamkasintu.blogspot.com. Seorang pemburu
di Jawa Barat dengan ayam hutan hasil buruannya. Dari warna
bulu lehernya yang pendek dan membulat, kemungkinan besar
ayam hutan ini adalah ayam hutan Jawa Gallus gallus
bankiva (kanan).
Sumber: http://paningaransniper.blogspot.com/2010/01/p-g-o-l-
b-ayam-hutan-merah-kasintu.html. Ayam Brugo yang menjadi
ayam pemikat (ayam pekatik) untuk memancing ayam hutan
merah di Sumatera Selatan (kiri bawah).
Sumber: http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/815/.
Budidaya ayam hutan merah
Ayam hutan yang baru ditangkap dari alam, sangat sulit
dijinakkan, karena sifatnya yang liar. Ayam ini juga mudah
mengalami stress, karena tidak terbiasa dengan suara yang
ramai atau gaduh. Jika stress ini berlanjut, nafsu makan ayam
hutan menurun drastis. Ayam pun akan semakin lemah karena
tidak mau makan dan rentan terhadap penyakit.
Saat panik atau terkejut, ayam hutan yang biasanya
ditempatkan di dalam kandang yang sempit, akan berusaha
keluar dengan menabrak dinding kandang. Seringkali,
benturan yang terjadi menimbulkan luka di kepala dan sayap.
Jika tidak ditangani dengan segera, luka ini dapat berkembang
menjadi infeksi. Ayam hutan pun, bisa jadi almarhum
dibuatnya.
Menjinakkan ayam hutan liar dari alam, jelas membutuhkan
kesabaran dan ketekunan yang tinggi. Diperlukan waktu yang
lama, untuk membuat ayam hutan menjadi lebih jinak dan
menurut. Melakukan penangkaran terhadap ayam hutan juga
bukan perkara mudah, karena harus memenuhi bermacam
persyaratan agar ayam hutan merasa nyaman dan mau
bereproduksi.
Menurut pihak Taman burung TMII, penangkaran ayam hutan
merah di kandang besar dan luas yang didesain khusus,
seperti di habitat aslinya akan memberikan hasil yang lebih
baik. Ayam merah yang dipelihara di kubah burung TMII,
dilaporkan dapat berbiak sepanjang tahun tanpa mengenal
musim. Hal ini diduga terkait dengan kenyamanan dan
kecukupan bahan makanan yang diperoleh ayam hutan di
dalam kubah.
Beberapa penangkar burung di Malaysia dan Thailand sudah
menangkarkan ayam hutan murni, untuk menghindari polusi
genetik ini. Penangkaran ini dilakukan dengan memelihara
ayam dalam kandang besar dari kawat berukuran 3 x 3 x 4
meter yang ditempatkan di tepi hutan yang tidak ada
bangunan sama sekali di sekitarnya. Kondisi kandang dibuat
semirip mungkin dengan habitat asli. Kandang tersebut
beralas tanah dengan serasah yang dilengkapi tempat
bersarang dan kayu atau cabang pohon sebagai tenggeran.
Harga ayam hutan bersertifikat hasil penangkaran yang
dijamin keasliannya ini, cukup mahal dan diekspor, untuk
memenuhi kebutuhan pasar Eropa dan Amerika.
Cara lain yang lebih mudah untuk membudidayakan ayam
hutan merah adalah dengan mengambil telur ayam hutan dari
sarangnya, kemudian ditetaskan di mesin tetas atau dititipkan
pada induk ayam kampung yang sedang bertelur/mengeram.
Anak ayam hutan yang ditetaskan dengan cara ini, setelah
dewasa, biasanya lebih mudah beradaptasi dengan manusia.
Meskipun demikian, karakter dan nalurinya sebagai burung
liar masih tetap ada.
Informasi lebih lanjut tentang budidaya ayam hutan dapat
dilihat dihttp://omkicau.com/2009/12/22/pelestarian-ayam-
hutan-melalui-pembentukan-ayam-bekisar-untuk-ternak-
kesayangan-bagian2/
Pasar ayam hutan merah
Proses budidaya yang sulit, birokrasi yang rumit (untuk
ekspor) serta nilai ekonomi yang belum menjanjikan, membuat
penangkaran ayam hutan yang asli/murni/bersertifikat untuk
tujuan komersial, tidak populer di Indonesia. Dapat dipastikan,
sebagian besar ayam hutan merah yang ada di pasaran di
Indonesia, merupakan hasil tangkapan dari alam atau ayam
hutan hasil silangan (Brugo).
Menjual ayam hutan hasil silangan (Brugo) di pasaran, jauh
lebih mudah, karena selain jinak, juga tahan terhadap tekanan
lingkungan. Seringkali, ayam Brugo ini diberi label “ayam
hutan asli yang sudah jinak“, untuk mendongkrak harga dan
memanfaatkan ketidaktahuan konsumen akan ciri ayam hutan
yang asli.
Gambar-gambar ayam hutan merah yang asli dapat dilihat
di:http://ayamhutan.tripod.com/junglefowl.html da
nhttp://redjunglefowl.webs.com/idealspecimens.htm.
Memasarkan ayam hutan hasil tangkapan dari alam jauh lebih
beresiko, karena ayam hutan mudah stress dan rentan
terhadap penyakit. Pembeli tentu tidak mau membeli ayam
hutan yang kelihatan pucat, lemah dan sakit. Membuat ayam
hutan menjadi lebih jinak juga membutuhkan waktu yang
lama, sehingga tidak ekonomis. Ayam hutan hasil tangkapan
dari alam pun, belum tentu ayam hutan asli, sebab
kemungkinan kontaminasi dari ayam domestik seperti telah
diceritakan di atas, juga cukup besar. Jadi, bagi sobat-sobat
yang ingin membeli dan memelihara ayam hutan yang asli,
kami harap untuk berhati-hati…
Dari hasil diskusi dengan beberapa narasumber yang pernah
memelihara ayam hutan merah dan ayam Brugo, penulis
memperoleh beberapa informasi menarik. Sebagian besar
narasumber, menyarankan untuk memelihara ayam Brugo,
karena pemeliharaannya lebih mudah, karakternya lebih jinak
dan daya tahan tubuhnya kuat. Ayam Brugo juga berkokok
lebih nyaring, lebih panjang dan lebih sering dibandingkan
dengan ayam hutan merah.
Memelihara ayam hutan asli bagi hobiis yang belum
berpengalaman sangatlah tidak dianjurkan, karena sifat ayam
hutan yang rentan terhadap stress dan penyakit.
Hubungan ayam hutan merah dengan manusia
Bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa ayam hutan merah
telah didomestikasi sejak 6000 tahun yang lalu di Henan
(China). Stempel kerajaan bergambar ayam juga ditemukan di
Mohenjo-daro yang diperkirakan berasal dari rentang waktu
3000-2000 tahun sebelum masehi.
Awalnya, ayam hanya dipelihara sebagai hewan aduan.
Selanjutnya, didomestikasi untuk diambil daging dan telurnya.
Di Mesir, ayam telah diintroduksi oleh pedagang dari timur
sejak zaman Fir’aun dan dikenal sebagai “burung yang dapat
bertelur setiap hari”. Sekitar tahun 600 SM, ayam memasuki
Eropa dan menjadi salah satu dewa untuk pemujaan yang
melambangkan kesuburan, keperkasaan dan kemakmuran
(Diwyanto dan Prijono, 2007).
Boleh dikata, ayam hutan merah yang menjadi nenek moyang
ayam peliharaan, adalah spesies burung yang paling berjasa.
Ayam hutan ini bersama dengan seluruh varian turunannya
telah lama menjadi salah satu sumber protein utama bagi
manusia. Selain itu, ayam dengan berbagai bentuk, gerak-
geriknya yang lucu dan suara kokoknya yang unik, juga
menjadi satwa “penawar duka” bagi manusia yang kerap
dirundung nestapa.
Ayam adalah salah satu menu makanan favorit masyarakat
dunia. Hal ini dapat dilihat dari sebaran jaringan restoran
fastfood global yang dapat ditemukan dengan mudah di kota-
kota besar, seperti: Mc Donald, Kentucky Fried Chicken
(KFC), Texas Fried Chicken, Kamerun Fried Chicken (?) dan
FC FC lainnya. Adapula yang sifatnya lokal seperti CFC, Mbok
Berek, Warung Pecel Lele, Warung Sari Laut, Sate Ayam
Madura, Ayam Goreng Kalasan, Ayam Goreng Sulawesi dan
lain-lain. Saat hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha,
hidangan dari daging ayam berjaya mendampingi ketupat di
meja makan.
Ayam hutan merah jantan menampilkan kesan yang gentle,
gagah, berani dan pantang menyerah. Di Indonesia, beberapa
institusi menggunakan ayam hutan merah jantan sebagai
lambang. Salah satunya adalah Universitas Hasanuddin,
sebuah perguruan tinggi negeri di Makassar, Sulawesi
Selatan, Indonesia.
Gambar 23. Lambang Universitas Hasanuddin (kiri),
perangko bergambar Sultan Hasanuddin (kiri tengah), France
Cock (kanan tengah) dan lambang tim nasional Perancis
(Kanan).
Lambang ayam jantan tersebut digunakan untuk mengenang
pahlawan Nasional, Sultan Hasanuddin (1631-1670) yang
berjuang dengan gigih, menentang penjajah. Belanda pun
kagum dengan keberanian Sultan Hasanuddin, sehingga
menggelari Raja Gowa ke-16 tersebut dengan sebutan, “De
Haantjes van Het Oosten” atau ayam jantan dari benua timur.
Ayam hutan merah jantan juga dikenal sebagai lambang
nasional negara Perancis. Jika sobat penggemar fanatik sepak
bola, cobalah tengok lambang di dada pemain timnas Perancis,
akan nampak sesosok ayam jantan, berdiri dengan gagah di
sana (Wikipedia).
Status Konservasi
Populasi ayam hutan di berbagai negara di Asia cenderung
terus menurun akibat perburuan dan degradasi habitat.
Namun, ancaman paling utama terhadap populasi ayam hutan
adalah munculnya polusi genetik yang diakibatkan oleh
terjadinya kawin silang secara alami, antara ayam hutan
dengan ayam domestik atau ayam hutan dengan ayam
peliharaan yang tidak dikandangkan.
Oleh IUCN, status ayam hutan merah masih digolongkan
sebagai Least Concern dalam daftar merah atau beresiko
rendah dari kepunahan, karena daerah sebarannya yang luas
dan populasinya yang masih cukup besar. Dalam bahasa
daerah setempat, ayam hutan disebut Kasintu (Sunda), Ayam
alas (Jawa), Ajem alas (Madura), Manuk Kalek (Bugis).
2. Ayam hutan abu-abu/Grey Junglefowl (Gallus
sonneratii Temminck, 1813)
Ayam hutan abu-abu adalah jenis ayam hutan endemik yang
memiliki daerah sebaran terbatas di India. Ayam jantan
memiliki warna dasar tubuh hitam dengan bintik berwarna
merah tanah. Bulu di bagian punggung dan dada tumbuh
memanjang seperti bulu ayam bekisar, didominasi warna abu-
abu dengan pola yang indah. Bulu leher tidak sepanjang bulu
ayam hutan merah, berwarna lurik hitam dan kuning.
Sebagaimana ayam hutan merah, ayam hutan abu-abu juga
menggugurkan bulu lehernya, setelah lewatnya musim
berbiak. Nama ilmiah ayam hutan merah, didedikasikan oleh J.
C. Temminck, direktur Museum sejarah alam Leiden yang
pertama, untuk menghormati penjelajah Perancis, Pierre
Sonnerat.
Susunan bulu ekor sama dengan ayam hutan merah, kecuali
bentuk bulunya yang lebih lebar dengan ujung yang tumpul.
Jengger berwarna merah berpial bilah dengan gerigi yang
halus. Muka juga berwarna merah dengan sepasang gelambir
di bawah dagu. Kaki berwarna merah.
Berbeda dengan ayam hutan merah, ayam hutan abu-abu ini
tidak mengepakkan sayapnya sebelum berkokok. Profil ayam
hutan abu-abu dapat dilihat pada Gambar 24di bawah ini :
Gambar 24. Ayam hutan abu-abu.
Sumber: http://www.clementsfrancis.com-2007
Ayam betina memiliki warna yang lebih suram. Pial/jengger
dan gelambir di kepala tidak ditemukan, sebagaimana ayam
hutan merah betina. Bulu bagian atas berwarna kuning
kecoklatan bercampur merah tanah, ekornya berwarna coklat
kuning kehitaman.
Ciri yang paling menyolok adalah bulu dadanya yang tumbuh
memanjang dan melebar berwarna putih dengan ring hitam
menitari tepi bulu. Pola dan warna bulu dada ini menjadikan
ayam hutan abu-abu betina sebagai ayam betina terindah
dibandingkan dengan spesies ayam hutan betina lainnya. Profil
ayam ini dapat dilihat pada Gambar 25berikut ini.
Gambar 25. Ayam hutan abu-abu betina.
Ayam hutan abu-abu menyukai habitat hutan yang tidak terlalu
lebat dengan rumput yang sedikit atau tidak ada rumput sama
sekali. Makanannya terdiri dari berbagai macam biji-bijian,
buah hutan dan serangga terutama rayap.
Musim berbiak berkisar bulan Pebruari hingga Mei. 4 hingga 7
butir telur dierami betina di dalam sarang selama 21 hari.
Masyarakat lokal menyebut ayam ini Komri dalam bahasa
Rajasthan, Geera kur atauParda komri dalam bahasa
Gondi, Jangli Murghi dalam bahasa Hindi, Raan kombdidalam
bahasa Marathi, Kattu Kozhi dalam bahasa Tamil and
Malayalam, Kaadu kolidalam bahasa Kannada dan Tella adavi
kodi dalam bahasa Telugu.
Status Konservasi
Ayam hutan abu-abu dalam daftar merah IUCN, dikategorikan
berisiko rendah (Least Concern) dari kepunahan. Ancaman
utama adalah perburuan untuk diambil dagingnya. Bulu ayam
yang indah juga dijadikan sebagai umpan untuk memancing
ikan oleh penduduk setempat. Bulu ayam akan dibentuk
sedemikian rupa sehingga menyerupai serangga atau lalat
yang sangat disukai ikan. Umpan ini didesain untuk
mengapung di atas permukaan air. Contoh umpan dari bulu
dapat dilihat pada Gambar 26 di bawah ini
Gambar 26. Umpan pancing dari bulu ayam hutan abu-abu
yang dibentuk mirip serangga. Sumber: Wikipedia.
3. Ayam hutan Srilangka/Ceylon Junglefowl (Gallus
lafayetii, Lesson 1831)
Ayam hutan Srilangka adalah burung endemik yang memiliki
daerah sebaran terbatas di Pulau Srilangka. Nama ilmiah
ayam ini, didedikasikan oleh Rene Lesson, seorang ahli bedah
angkatan laut dan naturalis berkebangsaan Perancis, untuk
menghormati seorang bangsawan di negaranya, Gilbert du
Motier-Marquis de La Fayette. Rene Lesson tercatat
sebagai ilmuwan Eropa pertama yang melihat burung
Cendrawasih di habitat aslinya, di Maluku dan Papua.
Ayam hutan Srilangka memiliki warna dasar hitam, dengan
warna kuning keemasan di leher dan warna jingga gelap di
sekitar punggung. Wajah berwarna merah dengan jengger
merah berbentuk bilah besar yang bergerigi. Bagian tengah
jengger berwarna kuning. Sepasang gelambir cukup besar
menggantung di bawah dagu. Kaki berwarna kuning
kemerahan dengan taji yang agak lurus dan runcing. Ekor
memiliki warna hitam hijau keunguan dengan susunan yang
serupa dengan ayam hutan merah.
Panjang ayam jantan berkisar 66-73 cm dengan berat 0,8-1,2
kg. Betina jauh lebih kecil, dengan panjang 30-35 cm dan
berat 0,5-0,6 kg. Ukuran jengger akan mengecil setelah
melewati musim kawin. Profil ayam hutan Srilangka dapat
dilihat pada Gambar 27. berikut ini.
Gambar 27. Ayam hutan Srilangka. Sumber: Wikipedia.
Ayam betina memiliki warna tubuh coklat yang suram. Bulu
dada agak besar dengan warna dasar coklat. Tepi bulu dada
berwarna putih. Ciri khas dari ayam hutan Srilangka betina
terletak pada bulu sayapnya yang berwarna belang antara
coklat dan putih (Gambar 28). Betina bersarang di tanah
dengan 2-4 telur berwarna krem atau coklat.
Ayam hutan Srilangka memiliki perilaku bersarang yang unik
dibandingkan ayam hutan lainnya. Ayam hutan betina
cenderung bersifat polyandri dan berhubungan dengan
beberapa pejantan yang masih bersaudara.
Pejantan paling dominan (pejantan alfa), bertugas mengawini
betina dan siaga melindungi betina. Pejantan alfa memiliki
bunyi kokok tertentu yang berfungsi seperti alarm, jika
sesuatu yang berpotensi bahaya mendekati sarang.
Pejantan Beta yang lebih inferior, bertugas menjaga dan
berpatroli agak jauh dari sarang betina untuk melindungi
sarang dari predator atau pemangsa seperti ular dan musang.
Telur akan menetas setelah dierami selama 20 hari.
Gambar 28. Ayam hutan Srilangka Betina. Sumber:
Wikipedia.
Sebagaimana ayam hutan lainnya, ayam hutan Srilangka
bersifat terestrial. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk
mencari makanan dengan mengais tanah di lantai hutan untuk
mencari biji-bijian, buah yang jatuh dan serangga. Anak ayam
yang masih muda sangat membutuhkan asupan makanan
hidup, berupa berbagai jenis serangga dan juvenil kepiting
darat. Sedangkan ayam dewasa memiliki menu yang lebih
bervariasi.
Ayam jutan Srilangka sangat peka terhadap penyakit yang
menyerang ayam ras atau ayam kampung pada umumnya.
Ayam ini juga terbiasa memakan mangsa yang hidup, sehingga
tidak bisa mengkonsumsi makanan buatan pabrik. Oleh karena
itu, ayam hutan Srilangka sangat sulit dipelihara di
penangkaran.
Status Konservasi
Populasi ayam hutan Srilangka yang masih banyak ditemukan
di habitatnya, membuat IUCN memasukkan ayam ini dalam
kategori Least Concern atau berisiko rendah untuk mengalami
kepunahan. Jika populasi ayam ini dalam kondisi kritis di
habitat aslinya, akan sangat sulit mencegahnya dari
kepunahan, sebab ayam hutan Srilangka ini cukup sulit
dikembangbiakkan di penangkaran. Wali Kukula, demikian
masyarakat setempat memberi nama ayam hutan ini, juga
dikenal sebagai burung nasional Srilangka.
4. Ayam hutan hijau/Green Junglefowl (Gallus varius Shaw,
1798)
Ayam hutan hijau adalah ayam hutan endemik Indonesia yang
tersebar di Pulau Jawa, Bali, Lombok, Komodo, Flores, Rinca
dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Ayam ini termasuk
burung berukuran besar, dengan ukuran panjang jantan
berkisar antara 70-75 cm. Sedangkan betina, berukuran lebih
kecil, yaitu berkisar 40-45 cm.
Ayam hutan hijau memiliki bentuk dan warna yang paling unik
di antara semua jenis ayam hutan, karena ciri-cirinya yang
lebih menyerupai burung pheasant.
Gambar 29. Ayam hutan hijau. Sumber: Flickr
Pial/jengger dan gelambir ayam hutan hijau memiliki ukuran
paling besar dibandingkan dengan jengger dan gelambir dari
spesies ayam hutan lainnya. Jengger ayam hutan hijau
berbentuk bilah yang sangat besar, berwarna merah muda
dengan tepi membulat tanpa gerigi. Bagian tengah jengger
berwarna biru muda dan kuning.
Gelambir yang menggantung di bawah dagu juga sangat lebar,
berwarna merah muda. Tepi gelambir bagian bawah berwarna
biru muda, sedangkan tepi gelambir bagian dalam berwarna
kuning.
Gambar 30. Kepala dan dada ayam hutan hijau. Sumber:
Flickr
Berbeda dengan bulu leher ayam hutan pada umumnya yang
tumbuh memanjang dan sempit, bulu leher, tengkuk dan
mantel ayam hutan hijau, tumbuh pendek, membulat atau
sedikit meruncing dan tumpang tindih seperti sisik ikan. Bulu
leher ini berwarna hijau, yang bisa berubah-ubah seperti
warna minyak tanah di atas air (iridescent). Tepian bulu leher
berwarna hitam. Fenomena gugur bulu (moulting) di bagian
leher, tidak ditemukan pada ayam hutan hijau.
Bulu sayap atas tumbuh sempit memanjang, berwarna hitam
dengan tepian berwarna jingga. Bulu pinggul juga berbentuk
sama, hanya saja tepiannya berwarna kuning keemasan.
Bagian bawah tubuh dan ekor berwarna hitam bercampur
ungu dan hijau berkilauan.
Ayam hutan betina berwarna kuning kecoklatan, dengan garis-
garis dan bintik hitam. Iris merah, paruh abu-abu keputihan.
Jengger dan gelambir tidak ada. Kaki kekuningan atau agak
kemerahan tanpa taji.
Gambar 31. Ayam hutan hijau betina. Sumber: Wikipedia
Ayam hutan hijau menyukai daerah terbuka, tepi hutan,
padang rumput dan daerah berbukit dekat pantai. Ayam ini
cenderung hidup berkelompok dengan anggota 2-7 ekor. Saat
pagi dan sore hari, ayam hutan jantan akan memimpin
beberapa ekor betina beserta anaknya, menuju padang rumput
atau daerah terbuka untuk mencari makan atau menuju
sumber air untuk minum. Makanannya terdiri dari biji-bijian,
serangga, pucuk rumput dan daun serta hewan kecil seperti
jangkrik, lipan, kadal dan katak kecil.
Seringkali, ayam hutan hijau akan bergabung dengan banteng,
sapi, rusa dan kerbau, untuk menangkap serangga yang
beterbangan, karena terusik oleh pergerakan hewan besar
yang sedang merumput itu. Kadang-kadang, ayam ini juga
akan mengais kotoran hewan besar tadi, untuk mencari biji-
bijian yang masih tersisa atau menangkap serangga yang
mengerumuni kotoran tersebut.
Saat terik mulai menyengat di siang hari, ayam hutan hijau
akan segera kembali, memasuki keremangan tajuk hutan,
untuk berlindung. Saat senja menjelang, kelompok ayam ini
akan terbang ke atas rumpun bambu, perdu dan palem pada
ketinggian 2-8 meter untuk beristirahat melewatkan malam.
Gambar 32. Ayam hutan hijau di Taman Nasional Bali Barat.
Sumber: Wikipedia.
Musim berbiak terjadi pada bulan Oktober dan Nopember di
Jawa Barat dan Maret-Juli di Jawa Timur. Pada musim ini,
pejantan akan sibuk memikat betina dengan tarian dan
peragaan bulunya yang indah. Seringkali, pejantan muda yang
sudah dewasa dan belum memiliki pasangan akan menantang
pejantan dominan untuk memperebutkan betina. Pertarungan
sengit pun tak dapat dihindari lagi. Pemenangnya akan
menjadi pemimpin kelompok dan berhak mengawini betina.
Sarang ayam hutan hijau terbuat dari rumput, daun dan
ranting kering yang sederhana dan berada di atas tanah.
Sarang ini umumnya berada dalam semak yang rapat atau
rumput yang tinggi. Telur berwarna putih, berjumlah 3-4 butir
dan akan dierami selama 21-26 hari. Di antara semua jenis
ayam hutan, ayam ini memiliki masa pengeraman yang paling
lama. Anak ayam yang telah menetas akan cepat mandiri dan
memiliki kemampuan terbang yang baik hanya dalam
beberapa minggu saja.
Status Konservasi
IUCN menyatakan, populasi ayam hutan hijau masih berisiko
rendah (Least Concern) untuk punah. Akan tetapi, degradasi
habitat dan perburuan liar tetap mengancam kelestarian ayam
ini. Ayam hutan hijau, sangat populer di Jawa Timur, sebagai
induk jantan yang disilangkan dengan ayam kampung betina,
untuk menghasilkan ayam hibrid eksotis yang disebut Ayam
Bekisar. Artikel tentang ayam bekisar ini dapat dilihat
di:http://pakarbisnisonline.blogspot.com/2010/03/bisnis-
budidaya-ayam-bekisar.html
Gambar 33. Ayam Bekisar Multiwarna.
Sumber: http://lulubekisar.files.wordpress.com.
Gambar 34. Ayam Bekisar kuning/jingga.
Ayam Bekisar jantan umumnya fertil (subur). Sedangkan
ayam bekisar betina selalusteril (tidak subur), sehingga tidak
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Perkawinan silang ini
dapat menurunkan keragaman genetik ayam hutan hijau,
sebab kegiatan ini tidak diikuti dengan upaya pelestarian,
yaitu: mengawinkan ayam hutan hijau jantan dengan betina
dari spesiesnya sendiri. Ayam hutan hijau juga dikenal sebagai
fauna identitas Propinsi Jawa Timur.
Gambar 35. Ayam Bekisar Merah. Sumber: bejubel.com
Indonesia adalah negara yang dianugerahi kekayaan alam
yang luar biasa oleh sang Pencipta. Mari kita lindungi, kita
lestarikan dan kita manfaatkan anugerah tersebut dengan cara
yang bijak. Semoga tulisan ini bermanfaat (D-094).
Referensi Utama :
Diwyanto, K dan Prijono, S. N (eds). 2007. Keanekaragaman
Sumberdaya Hayati Ayam Lokal Indonesia. Pusat Penelitian
Biologi. LIPI. 212 pp.
Mac. Kinnon, et al. 2002. Seri Panduan Lapangan. Burung-
Burung Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Birdlife dan
LIPI.
Rahayu, Iman. 2001. Karakteristik dan Tingkah Laku Ayam
Hutan Merah (Galllus gallus spadiceus) di dalam Kurungan.
Med. Pet. Vol.24. No.2.
http://ayamhutan.tripod.com/junglefowl.html
(direkomendasikan mengunjungi website ini).
http://redjunglefowl.webs.com/idealspecimens.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Gallus_%28biology%29
http://www.feathersite.com/
Gambar 9.Sarang ayam hutan merah.
Sumber:http://rimbundahan.org/(2005).Share this:
Berbagi
Terkait
Burung-burung terindahdalam "Fauna"
Kalkun Asli Indonesia Terancam Punahdalam "Fauna"
Burung-burung Halmahera (5)dalam "Fauna"
Tulisan ini dipublikasikan di Fauna dan tag ayam hutan, ayam hutan merah, cock, red junglefowl.
Tandai permalink.
← Daftar spesies ikan air tawar endemik Indonesia
Kima: kerang raksasa yang semakin langka →
4 Balasan ke Ayam hutan merah: nenek moyang ayam peliharaan
1. agustiyar berkata:
7 April 2011 pukul 1:03 pm
wow..informasi yang sangat lengkap. sangat membantu sekali.
terima kasih.
https://dody94.wordpress.com/2011/04/01/ayam-hutan-merah-nenek-moyang-ayam-peliharaan/ diakses tgl. 14 April 2015