ayam buras

9
Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 75 A yam buras merupakan salah satu unggas lokal yang umumnya di- pelihara petani di pedesaan sebagai peng- hasil telur tetas, telur konsumsi, dan daging. Selain dapat diusahakan secara sambilan, mudah dipelihara dengan teknologi sederhana, dan sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan mendesak (Rasyid 2002; Mardiningsih et al. 2004), unggas ini mempunyai prospek yang menjanjikan, baik secara ekonomi maupun sosial, karena merupakan bahan pangan bergizi tinggi (Gunawan dan Sundari 2003) serta permintaannya cukup tinggi (Bakrie et al. 2003). Pangsa pasar nasional untuk daging dan telur ayam buras masing- masing mencapai 40% dan 30%. Hal ini dapat mendorong peternak kecil dan menengah untuk mengusahakan ayam buras sebagai penghasil daging (Iskandar et al. 1998) dan telur (Rohaeni et al. 2004). Produktivitas ayam buras yang di- pelihara secara tradisional masin rendah, antara lain karena tingkat mortalitas tinggi, pertumbuhan lambat, produksi telur rendah, dan biaya pakan tinggi (Ariani 1999; Hastono 1999; Gunawan 2002; Zakaria 2004a). Produksi telur ayam buras yang dipelihara secara tradisional berkisar antara 4045 butir/ekor/tahun, karena ada- nya aktivitas mengeram dan mengasuh anak yang lama, yakni 107 hari (Biyatmoko 2003; Sartika 2005; Sulandari et al. 2007). Untuk meningkatkan populasi, pro- duksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani ayam buras, pemeliharaannya perlu ditingkatkan dari tradisional ke arah agri- bisnis (Zakaria 2004b; Yudohusodo dalam Iriyanti et al. 2005). Pengembangan ayam buras secara semiintensif dan intensif dengan pemberian pakan yang berkualitas serta pencegahan dan pengendalian pe- nyakit, terutama tetelo (ND), cacingan, dan kutu, cukup menguntungkan (Muryanto et al. 1995; Gunawan 2002; Usman 2007). Perbaikan tata laksana pemeliharaan dari tradisional ke intensif dapat meningkatkan daya tetas sampai 80%, frekuensi bertelur menjadi 7 kali/tahun, dan menurunkan ke- matian hingga 19% (Hastono 1999; Sartika 2005). Permasalahan dalam pengembangan ayam buras di pedesaan antara lain adalah skala usaha kecil (pemilikan induk betina kurang dari 10 ekor), produksi telur rendah, berkisar antara 3040 butir/tahun, pertum- buhan lambat, mortalitas tinggi akibat USAHA TANI AYAM BURAS DI INDONESIA: PERMASALAHAN DAN TANTANGAN Suryana dan Agus Hasbianto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Jalan Panglima Batur Barat No. 4, Banjarbaru 70711 ABSTRAK Ayam buras merupakan salah satu jenis unggas lokal yang berpotensi sebagai penghasil telur dan daging. Di Indonesia, populasi ayam buras tersebar di seluruh pelosok pedesaan dengan pola pemeliharaan umumnya bersifat ekstensif-tradisional. Produktivitas ayam buras umumnya rendah karena sistem pemeliharaan secara ekstensif, pemberian pakan yang belum memperhatikan kualitas dan kuantitas nutriennya, tingkat mortalitas tinggi terutama pada Day Old Chicken (DOC), serta keragaman individu yang cukup besar. Upaya meningkatkan produktivitas ayam buras dapat dilakukan dengan introduksi teknologi pemeliharaan dari ekstensif-tradisional menjadi semiintensif hingga intensif yang didukung dengan perbaikan teknologi perbibitan, pakan, produksi, dan pengendalian penyakit, terutama penyakit tetelo (ND). Tersedianya teknologi usaha tani ayam buras spesifik lokasi diharapkan akan mendukung pengembangan ayam buras yang lebih menguntungkan. Kata kunci: Ayam buras, usaha tani, produktivitas, kendala, Indonesia ABSTRACT The local chicken farming in Indonesia: its constraints and challenges Local chicken is one of the poultry which is potential as meat and egg producer. In Indonesia, local chicken population is distributed especially in rural areas and commonly raised extensively or traditionally. Productivity of local chicken is low due to extensive-traditional raising system, using low quality and quantity feed, high mortality mainly on Day Old Chicken (DOC), and high variation amongst the individual. Increasing local chicken productivity could be conducted with introduction of simple technology to change raising system from traditional to semiintensive or intensive including improvement of breeding technology, feeding management, and disease control mainly New Castle Disease (ND). Availability of the location specific technologies will support local chicken development as a profitable farming. Keywords: Local chickens, farming systems, productivity, constraints, Indonesia

Upload: muhammad-rizal

Post on 27-Jun-2015

910 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 75

Ayam buras merupakan salah satuunggas lokal yang umumnya di-

pelihara petani di pedesaan sebagai peng-hasil telur tetas, telur konsumsi, dandaging. Selain dapat diusahakan secarasambilan, mudah dipelihara denganteknologi sederhana, dan sewaktu-waktudapat dijual untuk keperluan mendesak(Rasyid 2002; Mardiningsih et al. 2004),unggas ini mempunyai prospek yangmenjanjikan, baik secara ekonomi maupunsosial, karena merupakan bahan panganbergizi tinggi (Gunawan dan Sundari 2003)serta permintaannya cukup tinggi (Bakrieet al. 2003). Pangsa pasar nasional untukdaging dan telur ayam buras masing-masing mencapai 40% dan 30%. Hal inidapat mendorong peternak kecil danmenengah untuk mengusahakan ayam

buras sebagai penghasil daging (Iskandaret al. 1998) dan telur (Rohaeni et al. 2004).

Produktivitas ayam buras yang di-pelihara secara tradisional masin rendah,antara lain karena tingkat mortalitas tinggi,pertumbuhan lambat, produksi telurrendah, dan biaya pakan tinggi (Ariani1999; Hastono 1999; Gunawan 2002;Zakaria 2004a). Produksi telur ayam burasyang dipelihara secara tradisional berkisarantara 40−45 butir/ekor/tahun, karena ada-nya aktivitas mengeram dan mengasuhanak yang lama, yakni 107 hari (Biyatmoko2003; Sartika 2005; Sulandari et al. 2007).

Untuk meningkatkan populasi, pro-duksi, produktivitas, dan efisiensi usahatani ayam buras, pemeliharaannya perluditingkatkan dari tradisional ke arah agri-bisnis (Zakaria 2004b; Yudohusodo dalam

Iriyanti et al. 2005). Pengembangan ayamburas secara semiintensif dan intensifdengan pemberian pakan yang berkualitasserta pencegahan dan pengendalian pe-nyakit, terutama tetelo (ND), cacingan, dankutu, cukup menguntungkan (Muryantoet al. 1995; Gunawan 2002; Usman 2007).Perbaikan tata laksana pemeliharaan daritradisional ke intensif dapat meningkatkandaya tetas sampai 80%, frekuensi bertelurmenjadi 7 kali/tahun, dan menurunkan ke-matian hingga 19% (Hastono 1999; Sartika2005).

Permasalahan dalam pengembanganayam buras di pedesaan antara lain adalahskala usaha kecil (pemilikan induk betinakurang dari 10 ekor), produksi telur rendah,berkisar antara 30−40 butir/tahun, pertum-buhan lambat, mortalitas tinggi akibat

USAHA TANI AYAM BURAS DI INDONESIA:PERMASALAHAN DAN TANTANGAN

Suryana dan Agus Hasbianto

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Jalan Panglima Batur Barat No. 4, Banjarbaru 70711

ABSTRAK

Ayam buras merupakan salah satu jenis unggas lokal yang berpotensi sebagai penghasil telur dan daging. DiIndonesia, populasi ayam buras tersebar di seluruh pelosok pedesaan dengan pola pemeliharaan umumnya bersifatekstensif-tradisional. Produktivitas ayam buras umumnya rendah karena sistem pemeliharaan secara ekstensif,pemberian pakan yang belum memperhatikan kualitas dan kuantitas nutriennya, tingkat mortalitas tinggi terutamapada Day Old Chicken (DOC), serta keragaman individu yang cukup besar. Upaya meningkatkan produktivitasayam buras dapat dilakukan dengan introduksi teknologi pemeliharaan dari ekstensif-tradisional menjadi semiintensifhingga intensif yang didukung dengan perbaikan teknologi perbibitan, pakan, produksi, dan pengendalian penyakit,terutama penyakit tetelo (ND). Tersedianya teknologi usaha tani ayam buras spesifik lokasi diharapkan akanmendukung pengembangan ayam buras yang lebih menguntungkan.

Kata kunci: Ayam buras, usaha tani, produktivitas, kendala, Indonesia

ABSTRACT

The local chicken farming in Indonesia: its constraints and challenges

Local chicken is one of the poultry which is potential as meat and egg producer. In Indonesia, local chickenpopulation is distributed especially in rural areas and commonly raised extensively or traditionally. Productivity oflocal chicken is low due to extensive-traditional raising system, using low quality and quantity feed, high mortalitymainly on Day Old Chicken (DOC), and high variation amongst the individual. Increasing local chicken productivitycould be conducted with introduction of simple technology to change raising system from traditional to semiintensiveor intensive including improvement of breeding technology, feeding management, and disease control mainly NewCastle Disease (ND). Availability of the location specific technologies will support local chicken development asa profitable farming.

Keywords: Local chickens, farming systems, productivity, constraints, Indonesia

76 Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

penyakit ND, biaya pakan tinggi, dan di-usahakan secara perorangan denganpemeliharaan tradisional (Muryanto et al.1994b; Gunawan 2002; Biyatmoko 2003;Rohaeni et al. 2004; Sapuri 2006). Pe-ningkatan produktivitas ayam buras dapatdilakukan melalui perbaikan pakan danpeningkatan mutu genetik (Setioko danIskandar 2005; Sapuri 2006), serta pe-ngendalian penyakit secara periodik,terutama ND, cacingan, dan kutu (Lestari2000; Gunawan 2002; Usman 2007).Makalah ini menyajikan gambaran usahatani ayam buras oleh petani-peternak dipedesaan, termasuk permasalahan, ke-untungan, dan manfaat pada berbagaisistem pemeliharaan.

KERAGAAN DAN POTENSIAYAM BURAS

Produktivitas danReproduktivitas

Ayam buras memiliki kebiasaan berkeli-aran sepanjang hari di pekarangan, kebunmaupun di jalanan, dan mencari makanpada timbunan sampah, selokan, tepisaluran air dan jalan (Mansjoer dalamLestari (2000). Produktivitas ayam burasumumnya rendah karena pemeliharaanmasih sederhana dan belum memperha-tikan tata laksana yang baik (Muryanto etal. 1994b; 1994c), pemberian pakan tidakseimbang baik kualitas maupun kuantitas-nya (Muryanto et al. 1994a; Suryana danRohaeni 2006; Septiwan 2007; Usman2007), dan pencegahan penyakit belumoptimal (Lestari 2000; Gunawan 2002).Penurunan produktivitas ayam burasberkaitan erat dengan kinerja reproduksi,yang menurun secara nyata akibat per-kawinan in breeding secara terus-menerus(Sastrodihardjo dan Resnawati dalamTagama 2003).

Sartika (2005) menyatakan produkti-vitas ayam buras beragam, bergantungpada sistem pemeliharaan dan keragamanindividu. Upaya meningkatkan produk-tivitas ayam buras dapat dilakukan melaluiintroduksi teknologi pemeliharaan dariekstensif-tradisional menjadi semiintensifatau intensif (Zakaria 2004b). Upaya ter-sebut dapat dilakukan dengan melaksana-kan "Sapta Usaha” ayam buras, yang meli-puti pemilihan bibit, pencegahan penyakit,perkandangan, pemberian pakan dengan

gizi seimbang, sistem reproduksi, pasca-panen, pemasaran, dan manajemen usaha(Sartika 2005).

Peningkatan produksi dan reproduksiayam buras antara lain dipengaruhi olehpakan yang diberikan (Muryanto et al.1994c; 1995; 2002; Gunawan 2002; Usman2007), terutama kandungan asam lemakesensial yang berhubungan denganintegritas struktur membran mitokondriadalam organ-organ reproduksi dan fosfo-lipid sebagai prekusor pembentukankolesterol (Tranggono 2001). Perkem-bangan populasi ayam buras di Indonesiarelatif lamban. Pada tahun 2006 populasi-nya tercacat 298.431.917 ekor denganproduksi daging dan telur masing-masing322.780 ton dan 181.095 butir (Tabel 1).

Karakteristik umum ayam buras ada-lah bobot badannya ringan, hidup soliter,dan sikapnya cepat stres (Tagama 2003).Ayam buras yang dipelihara secara eksten-sif umumnya mencapai dewasa kelaminpada umur 6−7 bulan, bobot badan dewasa1.400−1.600 g/ekor, produksi telur 40−45butir/ekor/tahun, bobot telur 40 g, persen-tase karkas 75%, mortalitas anak (DOC)31%, daya tetas 86,65%, dan lama meng-eram 21 hari (Biyatmoko 2003). Ciri-cirikuantitatif ayam buras antara lain bobotbadan rata-rata jantan umur 5 bulan 1.222g, betina 916 g, bertelur pertama pada

umur 6,37 bulan, bobot telur 41,60 g, dandaya tetas telur 84,60% (Septiwan 2007).Produksi telur ayam buras yang dipeliharasecara intensif mencapai 151 butir/tahun,bahkan setelah mengalami seleksi yangketat, produksi telur meningkat menjadi170−230 butir/tahun (Syamsari 1997).Bobot potong dan persentase karkas ayamburas jantan umur 12 minggu masing-masing mencapai 713,70 g dan 60,05%.Karkas meliputi punggung 11%, sayap15,81%, dada 24,20%, paha atas 19%, danpaha bawah 18% (Muryanto et al. 2002).Iskandar et al. (1998) menyatakan per-tambahan bobot badan dan persentasekarkas ayam buras pada umur 12 minggumasing-masing sebesar 704 g dan 62,89%,lebih rendah dibanding silangannya yangmencapai masing-masing 844 g dan64,93%. Soeparno (1992) mengemukakanbobot potong dan persentase karkas ayamburas jantan umur 6−7 bulan masing-masing 1.264,88 g dan 65,18%.

Produktivitas ayam buras berdasar-kan umur induk berbeda nyata (Tabel 2).Induk berumur 6−12 bulan menghasilkantelur dengan fertilitas dan daya tetas yanglebih tinggi dibanding induk berumur 18bulan, tetapi bobot telur dan bobot tetastelur yang dihasilkan induk berumur 18bulan lebih tinggi, masing-masing 42,47g/butir dan 30,48 g/ekor.

Tabel 2. Produktivitas ayam buras berdasarkan umur induk.

ParameterUmur ayam

Muda Sedang Tua(6 bulan) (12 bulan) (18 bulan)

Produksi telur (butir/ekor/minggu) 3,24 2,21 1,78Bobot telur (g/butir) 37,04 41,12 42,47Indeks telur (%) 76,04 75,12 75,21Konsumsi pakan (g/ekor/minggu) 575,51 598,24 533,34Konversi pakan 4,48 6,99 7,34Fertilitas telur (%) 90,20 86,02 77,59Daya tetas/telur fertil (%) 93,34 93,86 88,21Daya tetas/telur masuk (%) 84,25 80,99 68,35Bobot tetas (g/ekor) 26,22 28,28 30,48

Sumber: Septiwan (2007).

Tabel 1. Populasi dan produksi ayam buras di Indonesia, 2003−−−−−2006.

Uraian 2003 2004 2005 2006

Populasi (ekor) 275.291.873 277.357.037 276.989.054 298.431.917Produksi daging (t) 298.516 296.421 301.427 322.780Produksi telur (butir) 177.015 172.147 175.428 181.095

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2006).

Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 77

Peran Ayam Buras

Ayam buras memiliki peran cukup pentingbagi masyarakat pedesaan, yaitu sebagaipenghasil telur, daging, anak, kotoran, danbulu (Lestari 2000), serta sumber tambahanpenghasilan dan sebagai tabungan hidupyang sewaktu-waktu dapat dijual (Syamsari1997; Sapuri 2006). Menurut Nurmanafdan Nasution dalam Fuadi (1996), usahabeternak ayam buras di daerah trans-migrasi Provinsi Jambi dapat memberikantambahan pendapatan rumah tanggapetani, walaupun dilakukan secaratradisional.

Pemeliharaan ayam buras dalamkandang baterai dan diumbar secaraterbatas, dengan menerapkan teknologiperbaikan pakan, perlakuan fisik, insemi-nasi buatan, dan penetasan mampu me-ningkatkan keuntungan 2−2,70 kali lebihtinggi dibanding model pemeliharaanyang hanya memproduksi telur konsumsi.Jumlah telur yang ditetaskan mencapai50% dari seluruh telur yang dihasilkan(Muryanto et al. 1995). Motivasi utamapetani memelihara ayam buras adalahsebagai tabungan tidak terurus, artinyapetani hanya bertujuan untuk memperolehhasil tanpa ada tindakan meningkatkannilai ternak (Wihandoyo dan Mulyadi1986).

Sistem Pemeliharaan

Ayam buras mempunyai potensi besaruntuk dikembangkan, terutama di pede-saan, karena mampu memanfaatkan limbahpertanian dan limbah dapur, serta sebagaipengendali serangga. Ayam buras meru-pakan bagian dari usaha tani di pedesaan,sehingga dapat membuka lapangan kerjadan dikembangkan dengan modal kecil(Gunawan 2002).

Setiadi et al. (1986) menyatakan,ayam buras dapat berkembang pada ber-bagai tipologi lahan. Ayam buras dapatberkembang dengan baik ada lahangambut dan pasang surut, karena padalahan tersebut tersedia pakan berupaserangga dan cacing sebagai sumberprotein. Produktivitas ayam buras tidakberbeda pada berbagai tipologi lahan,karena lebih banyak dipengaruhi olehmanajemen pemeliharaan. Produksi telurrata-rata berkisar antara 6−14 butir/periodebertelur (clutch) dan daya tetas 20−100%(Desmayati dan Supriadi dalam Suria-dikarta dan Sutriadi 2007).

Seperti halnya ayam buras yang di-pelihara petani di Pulau Jawa, produksitelur masih rendah, berkisar antara 30−50butir/tahun. Rendahnya produksi disebab-kan oleh lamanya periode mengasuh anakdan istirahat bertelur (Biyatmoko 2003).Periode istirahat bertelur sekitar 3−4 kali/tahun, dengan produksi telur tiap periodebertelur 10−15 butir. Di Kabupaten HuluSungai Utara, Kalimantan Selatan, peme-liharaan ayam buras secara intensif padakandang baterai, skala pemeliharaan 50−100 ekor, dan dengan tata laksana pem-berian pakan yang baik, mampu meng-hasilkan telur 20−30 butir/periode bertelur.

Ketinggian tempat atau topografimempengaruhi produktivitas ayam buras(Nataamidjaja et al. 1990; Lestari 2000;Khalil et al. 2001; Zakaria 2004a). Padadataran rendah dengan suhu lingkungantinggi, produksi telur dan konsumsi pakanmenurun. Produksi telur tertinggi dicapaipada suhu lingkungan yang optimal,karena energi yang dikeluarkan untukpengaturan panas menjadi minimal.Produksi telur ayam buras di datarantinggi rata-rata mencapai 607,60 butir/tahun, bobot telur 42,70 g, daya tetas76,80%, bobot badan 197,90 g, dan bobotkarkas 60,40% (Nataamidjaja et al. 1990).Di dataran rendah, produktivitasnya lebihrendah, yaitu produksi telur rata-rata455,50 butir/tahun, bobot telur 38,80 g,daya tetas 79,20%, bobot badan sampaiumur 6 minggu 177,29 g, dan persentasekarkas 53,70%. Lestari (2000) dan Khalil et

al. (2001) mengemukakan, di datarantinggi (680 m dpl.) ayam buras mampumenghasilkan telur 10,15 butir/periodebertelur, dengan daya tetas 92,20%, bobotbadan anak 108,71 g, serta bobot badanjantan dan betina muda masing-masing530,06 g dan 470,09 g. Pada dataran rendah(190 m dpl.), produksi telur 10,22 butir/periode bertelur, daya tetas 78%, bobotbadan anak 91,26 g, serta bobot badanjantan dan betina muda masing-masing508,07 g dan 496,56 g.

Penampilan ayam buras yang dipeli-hara secara tradisional, semiintensif, danintensif disajikan pada Tabel 3. Pemeliha-raan secara intensif memberikan hasil lebihbaik, yang ditunjukkan oleh bobot badanjantan dan betina umur 5 bulan, produksitelur, frekuensi bertelur, daya tunas, dandaya tetas yang lebih tinggi, sementarakonversi pakan dan mortalitas lebihrendah dibanding cara tradisional dansemiintensif.

Pemeliharaan ayam buras secaraintensif di Desa Bollangi, KabupatenGowa Sulawesi Selatan oleh 30 peternakdengan skala pemeliharaan 125 ekor, dan50 peternak semiintensif dengan jumlah150 ekor, lebih menguntungkan dibandingcara tradisional. Keuntungan yang diper-oleh masing-masing adalah Rp1.118.625dan Rp872.912 (Rasyid 2002) (Tabel 4).Pada pemeliharaan ayam buras sistemeram asuh dan eram pisah selama 6 bulan,keuntungan yang diperoleh masing-masing sebesar Rp16.887,90 dan

Tabel 3. Penampilan ayam buras yang dipelihara secara tradisional, semi-intensif, dan intensif.

ParameterSistem pemeliharaan

Tradisional Semiintensif Intensif

Jumlah ayam yang dipelihara (ekor/peternak)1 20,20 33,50 104Bobot badan umur 5 bulan

Jantan (kg)1 − 636 734Betina (kg)1 − 583 680

Umur pertama bertelur (bulan)1 − 8,50 7,50Produksi telur (butir/induk/tahun)1 30,20 59,10 80,30Produksi telur (%)2 13 29 44Frekuensi bertelur (kali/tahun)2 2,50 6 7,50Bobot telur (g/butir)2 39−48 39−48 39−43Daya tetas (%)1 78,20 78,10 83,70Mortalitas hingga umur 6 minggu (%)1 50,30 42,60 27,20Mortalitas mulai produktif hingga afkir (%)2 >15 15 < 27Konversi pakan2 >10 8−10 4,90−6,40Konsumsi pakan (g/ekor/hari)2 < 60 60−80 80−100

Sumber: 1Sinurat dalam Lestari (2000); 2Diwyanto et al. dalam Sulandari et al. (2007).

78 Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

Rp20.762,90/7 ekor/6 bulan (Muryanto etal. 1994c), serta Rp76.385/50 ekor/6 bulan(Muryanto et al. 1994b).

Introduksi paket teknologi yang ter-diri atas tata laksana pemeliharaan induk,pemisahan anak ayam setelah menetas,vaksinasi ND secara teratur, dan IB mampumeningkatkan pendapatan peternak ayamburas di daerah pasang surut KabupatenPontianak Kalimantan Barat sebesarRp353.500/tahun. Kontribusi pendapatandari usaha ayam buras ini meningkat dari1,60% menjadi 25,10% terhadap total pen-dapatan peternak (Togatorop dan Juarini1993). Di Jawa Barat, pemeliharaan ayamburas dengan perbaikan teknologi me-ningkatkan pendapatan Rp327.322/tahun(Soepeno et al. 1993).

Jalur Pemasaran

Telur dan daging ayam buras memilikipangsa pasar tersendiri. Hal ini ditunjuk-kan oleh harganya yang melebihi telur dandaging ayam ras serta konsumennyabanyak (Prahmadiyan 1999; Lestari 2000).Ayam buras yang diperdagangkan sebagi-an besar (70−90%) merupakan ayam burasmuda (Yuwono et al. dalam Zakaria2004b). Menurut Iskandar et al. dalamGunawan (2002), pemasaran anak ayamburas di Kabupaten Ciamis, Jawa Barathanya dilakukan bila ada pemesanan,dengan harga telur dan ayam di tingkatpeternak masing-masing 10−20% dan 5−10% lebih murah dari harga pasar. Jalur

pemasaran ayam buras di kabupaten ter-sebut adalah dari peternak → pedagangkeliling → pedagang pengumpul → pe-dagang besar/poultry shop → konsumen(Juarini et al. dalam Gunawan 2002).Sementara Prahmadiyan (1999) menyata-kan, jalur pemasaran ayam buras di DesaWangunjaya, Kecamatan Cisaga, Kabu-paten Ciamis dimulai dari peternak (100%)→ pengumpul desa (70%) → pengumpulwilayah (49%) → pengumpul antarwilayah(49%) → pengencer atau pengumpul desa(30%).

KETERSEDIAAN DANKEBUTUHAN TEKNOLOGI

Teknologi pemeliharaan merupakan faktoryang menentukan dalam usaha tani ayamburas secara keseluruhan. Teknologi pro-duksi tersebut antara lain meliputi: tekno-logi perbibitan, pakan, dan pengendalianpenyakit.

Teknologi Perbibitan

Usaha peningkatan produktivitas ayamburas dapat dilakukan melalui perbaikansistem pemeliharaan, pakan, pengendalianpenyakit, dan perbaikan mutu genetik.Secara sederhana, perbaikan mutu genetikdapat dilakukan dengan melakukan seleksiterhadap sifat-sifat yang dikehendaki dankawin silang (crossing) (Iskandar et al.

dalam Lestari 2000). Pemanfaatan kera-gaman genetik dilakukan untuk me-ningkatkan produksi telur dan mengurangisifat mengeram (Sartika 2005), sedangkanpenyilangan dapat meningkatkan produksitelur dan mempercepat pertumbuhandaging. Persilangan antara ayam pelungjantan (F3) dan ayam buras betina umur15 minggu menghasilkan bobot badan1.700 g/ekor, lebih tinggi dibanding ayamburas dan pelung pada umur yang sama,masing-masing 875 g dan 1.460 g/ekor(Iskandar et al. 1998).

Menurut Iriyanti et al. (2007), tolokukur keberhasilan usaha perbibitan ayamburas adalah fertilitas, daya tetas telur, dankualitas anak ayam yang dihasilkan.Kualitas telur yang baik akan meng-hasilkan daya tetas dan kualitas tetasyang tinggi. Tri-Yuwanta (1997) mengemu-kakan bahwa keberhasilan perbibitan ayamburas, selain ditentukan oleh kualitasinduk dan telur tetas yang dihasilkan, sertagizi yang dikonsumsi induk, juga oleh nilaigravitasi spesifik. Nilai gravitasi spesifikdiharapkan dapat menjadi parameterseleksi terhadap telur sebelum ditetaskan,sehingga daya tetasnya tinggi dan me-ningkatkan efisiensi ekonomi telur. Teluryang tidak menetas dapat digunakansebagai telur konsumsi. Nilai gravitasispesifik yang tinggi meningkatkan dayatetas telur rata-rata menjadi 91,67%,sedangkan pada nilai gravitasi spesifikyang rendah, daya tetas telur rata-ratahanya 53,05% (Tri-Yuwanta 1997).

Suryana dan Rohaeni (2006) mem-bandingkan perkawinan alami dan IB padaayam buras yang dipelihara secara semi-intensif dan intensif di Desa RumintinKabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.Hasilnya menunjukkan bahwa produksitelur, fertilitas, daya tetas, dan mortalitasDOC hasil lB berturut-turut mencapai23,35%, 80,90%, 45,94%, dan 13,70%,sedangkan melalui perkawinan alamiproduksi telur, fertilitas, daya tetas danmortalitas DOC, masing-masing 21,73%,76,30%, 27,28%, dan 27,10%. PenggunaanIB pada ayam merawang dengan ulanganwaktu IB yang berbeda dilaporkan Iman-Rahayu et al. (2005). Ulangan waktu IByang lebih cepat (4 hari) menghasilkanfertilitas dan daya tetas rata-rata masing-masing 85,02% dan 79,27%, lebih tinggidibanding ulangan waktu IB 7 dan 10 hari(Tabel 5). Hal ini sesuai dengan yang di-laporkan Suryana dan Rohaeni (2006),bahwa fertilitas telur hasil lB lebih tinggidibanding perkawinan alami.

Tabel 4. Perbandingan keuntungan beternak ayam buras denganpemeliharaan semiintensif dan intensif.

KomponenSistem pemeliharaan

Intensif Semiintensif

Penerimaan (Rp) 2.050.000 1.530.000Penjualan 25 ekor ayam @ Rp40.000 (Rp) 1.000.000 750.000Penjualan telur (Rp) 1.050.000 780.000

Pengeluaran (Rp) 931.375 657.088Biaya bibit (Rp) 400.000 400.000Biaya pakan (Rp) 276.375 202.088Biaya obat-obatan (Rp) 50.000 25.000Biaya listrik (Rp) 25.000 −Biaya tenaga kerja (Rp) 150.000 −Lain-lain (Rp) 30.000 30.000

Keuntungan bersih (Rp) 1.118.625 872.912

B/C ratio 1,73 1,75

Sumber: Rasyid (2002).

Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 79

Teknologi Pakan

Faktor utama penyebab kegagalan modelpengembangan ternak ayam buras adalahrendahnya kandungan protein pakan dankurangnya kesadaran peternak dalammelaksanakan pengendalian penyakit, ter-utama ND, cacingan, dan kutu (Gunawan2002). Upaya optimalisasi produksi ayamburas salah satunya dapat dilakukandengan perbaikan pakan dan membuatpakan murah dengan tetap memperhatikankandungan zat-zat nutrien di dalamnya(Muryanto et al. 1994c).

Penyusunan pakan ayam buras padaprinsipnya sama dengan pakan ayam ras,yaitu membuat pakan dengan kandungangizi sesuai dengan kebutuhan ayam agarpertumbuhan daging dan produksi telursesuai dengan yang diharapkan (Sinurat1991; 1999). Pemberian pakan dengantingkat protein kasar 17% dan energi meta-bolis 2.900 kkal/kg, menghasilkankonsumsi pakan 64,629 g/ekor/90 hari,pertambahan bobot badan 92,25 g/ekor,bobot telur 40,02 g, konversi pakan 6,43,dan hen day production 30,64%, denganIncome Over Feed Cost (IOFC)Rp18.068,196 (Lumentha 1997), sertaRp14.770−Rp25.094 (Hartati 1997).Kandungan zat-zat nutrien pakan ayamburas disajikan pada Tabel 6.

Penggunaan probiotik dalam pakanmenghasilkan tingkat produksi telur 1.089butir/50 ekor/10 minggu, konsumsi ransum286 kg 150 ekor/10 minggu, konversi pakan6,10−7,30, dan pendapatan atas biayapakan Rp153.000 (Gunawan dan Sundari2003). Menurut Iskandar et al. dalam

Nasution (2000), ayam buras tergolongefisien dalam menggunakan imbanganenergi metabolis, masing-masing 3.200kkal/kg dan protein kasar 17%. Pemberianpakan dengan kandungan protein kasar14,60% dan 18% tidak berpengaruh nyataterhadap produksi telur. Pemberian pakandengan energi metabolis 2.800−2.900 kkal/kg dan protein kasar 17% pada ayam burasumur 16−18 bulan selama pemeliharaan 90hari, menghasilkan konsumsi pakan63.717−64.692 g/ekor, bobot telur 40,02−41,57 g, konversi pakan 4,87−6,43, hen dayproduction 30,69−35,47%, dan IOFCRp18.068−Rp48.899 (Lumentha 1997).

Pemberian campuran pollard 5% danduckweed 15% dalam pakan ayam burasumur 6−12 minggu dapat meningkatkanbobot badan akhir (780,44−906,53 g), bobotkarkas (501,67−563,33 g), dan persentasekarkas 66,49−69,35% (Arief 2000).Sementara suplementasi 4% minyak ikandan 2% minyak jagung dengan 200 ppmZnCO3 dalam pakan memberikan efek

terbaik terhadap produksi dan imbanganasam omega 3 dan 6 dalam telur (Rusmanaet al. 2002). Rizal et al. (2003) mengemuka-kan bahwa pemberian ampas sagu daneceng gondok yang difermentasi denganTrichoderma harzianum sebanyak 7,50−30% dalam pakan ayam buras betina umur14 minggu, menghasilkan pertambahanbobot badan 425,99−514,60 g, konversipakan 9,11−9,84, bobot hidup 807,67−898,21 g, dan persentase karkas 52,77−62,67%. Penggunaan ampas tahu kering5−10% menghasilkan bobot badan akhir1.370−1.380 g, pertambahan bobot badan99,28−113,75 g/ekor/minggu, konsumsipakan 454,87−468,07 g/ekor/minggu,konversi pakan 4,41−4,70, dan mortalitas6,67−13,33% (Usman 2007). Uhi danUsman (2007) mengemukakan bahwapaket teknologi integrasi ayam buras danjagung dalam rangka meningkatkanketersediaan pakan di Koya Tengah,Kecamatan Muaratami, Kota Jayapuralebih menguntungkan dibanding paketteknologi nonintegrasi (Tabel 7).

Teknologi PengendalianPenyakit

Penyakit yang sering menyerang ayamburas adalah tetelo, gumboro, fowl fox,snot, CRD, avian influenza, pulorum, dankoksidiosis (Zainuddin dan Wibawan2007). Penyakit tetelo pada ayam burasdapat mencapai tingkat morbiditas danmortalitas 80−100%. Tingkat mortalitaspada anak ayam umur 0−2 bulan mencapai53,80%, umur 0−1 bulan 29,40%, dan umur1−2 bulan 24,40% (Subiharta et al. dalamSinuraya 2001). Pada pemeliharaan secaratradisional, mortalitasnya mencapai 56%(Sinurat et al. dalam Lestari 2000). Tinggi-nya mortalitas salah satunya disebabkanoleh tata laksana pemeliharaan DOC yang

Tabel 5. Pengaruh pengulangan inseminasi buatan terhadap kualitas dankeragaan telur tetas ayam merawang.

ParameterUlangan inseminasi buatan (hari)

4 7 1 0

Bobot telur (g/butir) 44,71 45,77 44,38Bobot tetas (g/ekor) 30,17 30,16 29,29Indeks telur tetas (%) 78,09 77,60 77,02Kebersihan telur tetas (%) 70,58 70,96 69,72Fertilitas I (%) 85,02 68,37 68,69Fertilitas II (%) 79,34 58,99 57,35Daya tetas I (%) 67,44 62,07 67,54Daya tetas II (%) 75,70 62,09 60,82Daya tetas III (%) 79,27 67,26 67,54Viabilitas DOC (%) 83,93 90,37 90,63

Sumber: Iman-Rahayu et al. (2005).

Tabel 6. Kandungan zat nutrien dalam pakan ayam buras.

Zat nutrienUmur (minggu)

0−12 12−22 > 22 (dewasa)

Energi metabolis (kkal/kg) 2.600 2.400 2.400−2.600Protein kasar (%) 15−17 14 14Kalsium (%) 0,90 1 3,40Fosforus tersedia (%) 0,45 0,40 0,34Metionin (%) 0,37 0,21 0,22−0,30Lisin (%) 0,87 0,45 0,68

Sumber: Sinurat (1999).

80 Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

kurang baik, dan petani jarang melakukanvaksinasi penyakit ND secara teratur.Mortalitas ayam buras selama 24 minggupada kandang baterai berkisar antara7,60%−9,30%, sedangkan pada kandangumbaran 6,30−7,30%. Vaksinasi ND secarateratur 3 bulan sekali serta pengendalianpenyakit cacingan dan desinfeksi kan-dang dapat menurunkan mortalitas hingga50%/tahun (Gunawan 2002). Nataamidjajaet al. (1990) menyatakan tingkat mortalitasayam buras pada umur 6 minggu mencapai68% akibat serangan penyakit menular,pemberian pakan dengan jumlah dankualitas rendah, kecelakaan, dan seranganpredator.

Mortalitas ayam buras umur 4 mingguyang dipelihara secara ekstensif umumnyadisebabkan oleh serangan kucing danmusang (35,80%), kelemahan fisik(19,70%), masuk kolam (15,20%), sakitmata (13,50%), dipatuk induknya (9,10%),dan tidak diketahui penyebabnya (10,60%)(Lulusno 1991). Sinuraya (2001) melapor-kan bahwa mortalitas ayam buras di DesaCileuteuh Ilir dan Cengal, KabupatenBogor disebabkan penyakit berkisarantara 32,25−54,38%, kecelakaan 10,53−29,03%, dan manajemen 20,03−35,08%.Sinurat dalam Gunawan (2002) menge-mukakan, pemeliharaan ayam buras secaraintensif mampu menekan mortalitas anakayam umur 6 minggu hingga 50,30%, danpada sistem pemeliharaan ekstensif se-besar 27,20%. Sementara vaksinasi NDsecara teratur mampu menurunkan mortali-tas ayam dewasa dari 23,60% menjadi9,50% (Prabowo et al. 1992).

Ada dua cara mengatasi penyakitpada ayam buras, yaitu dengan programpengendalian dan pembasmian. Program

pengendalian meliputi: 1) menjauhkanternak dari kemungkinan tertular penyakityang berbahaya, 2) meningkatkan dayatahan tubuh ternak dengan vaksinasi, pe-ngelolaan dan pengawasan yang baik, dan3) melakukan diagnosis dini secara cepatdan tepat. Program pembasmian penyakitdapat dilakukan melalui: 1) test andslaughter, yaitu apabila ternak dicurigaipositif menderita penyakit pulorum, CRDatau lainnya harus dimusnahkan, 2) testand treatment, bila diketahui ada penyakitdilakukan pengobatan, dan 3) stampingout, yaitu bila terjadi kasus penyakit me-nular dan menyerang seluruh ayam dipeternakan, maka ayam, kandang, danperalatan harus dimusnahkan (Zainuddindan Wibawan 2007).

PROSPEKPENGEMBANGAN AYAMBURAS

Model pengembangan usaha ayam burasmerupakan suatu perangkat pengembang-an yang dapat diintroduksikan dan di-kembangkan oleh petani-peternak dipedesaan. Perangkat tersebut terdiri atasmasukan, luaran, hasil, dampak, danfaktor-pendukung (Gunawan 2002).Pengembangan ayam buras terutamadiprioritaskan untuk peternakan rakyat,karena teknologinya sederhana, dapatdilaksanakan secara sambilan, mudahdipelihara, cocok untuk skala usahakeluarga di pedesaan, daya adaptasinyatinggi, serta lebih tahan terhadap penyakitdibanding ayam ras (Mardiningsih et al.2004). Namun, pengembangan ayam buras

skala pedesaan menghadapi beberapakendala, antara lain skala kepemilikanrelatif kecil (5−10 ekor/KK), modal petani-peternak terbatas, akses untuk meminjammodal dalam pengembangan skala usahaterbatas, belum adanya standardisasipakan, dan mortalitas akibat penyakittinggi. Menurut Gunawan (2002) danRohaeni et al. (2004), skala pemeliharaanayam buras yang menguntungkan adalahlebih dari 50 ekor/KK.

Di Jawa Barat dan Jawa Timur, pe-meliharaan ayam buras berkembangdengan pesat karena berbagai faktor,antara lain: 1) kesesuaian lokasi geografis,2) petani-peternak menyenangi memeli-hara ayam buras, 3) cara pemeliharaannyamudah dan tidak membutuhkan modalbesar, dan 4) pemeliharaan merupakanusaha sampingan atau tabungan (Seha-buddin dan Agustian 2001). Pengem-bangan ayam buras dengan pola pe-meliharaan intensif melalui programpemerintah, seperti Sentra PengembanganAgribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU),Program Pertanian Rakyat Terpadu (PRT),dan Usaha Khusus (UPSUS), menunjuk-kan hasil yang baik, walaupun produksitelur lebih rendah dibanding pemeliharaanyang dilakukan oleh peternak tanpabantuan pemerintah (Gunawan 2002). Halini menunjukkan bahwa ayam buras me-miliki potensi dan prospek yang besaruntuk dikembangkan dalam rangka me-ningkatkan pendapatan petani-peternak dipedesaan.

Di Kabupaten Hulu Sungai Utara,Kalimantan Selatan, pemeliharaan ayamburas secara intensif pada kandang bateraidengan skala pemilikan 200−2.000 ekor/KK, memberikan kontribusi terhadappendapatan keluarga hingga 100%,sementara di Kabupaten Tapin denganskala pemeliharaan 10−100 ekor/KKkontribusinya sebesar 8,65% (Rohaeni etal. 2004). Di Jawa Barat dan Jawa Timur,usaha peternakan ayam buras memberikankontribusi terhadap total pendapatanrumah tangga peternak, masing-masingsebesar 14,90% dan 12,90% (Sehabuddindan Agustian 2001). Pemeliharaan ayamburas secara intensif sebanyak 44 ekor/KK selama 24 minggu mampu meningkat-kan pendapatan petani-peternak dari40,90% menjadi 48,47% atau dariRp360.000 menjadi Rp917.000/tahun(Gunawan 2002).

Petani-peternak banyak yang me-melihara ayam buras karena mampu

Tabel 7. Keragaan ayam buras secara integrasi dan nonintegrasi dengantanaman jagung.

UraianPaket teknologi

Sistem integrasi Nonintegrasi

Bobot badan awal (g/ekor) 520 550Bobot badan akhir (g/ekor) 1.490 720Pertambahan bobot badan harian (g/ekor) 970 170Konsumsi pakan (g/ekor) 410 −Konversi pakan 4,23 −Mortalitas (%) 6,67 48,88Pupuk kandang (g/ekor) 39,86 −

Sumber: Uhi dan Usman (2007).

Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 81

memberikan kontribusi yang cukup besardalam menopang perekonomian keluarga.Telur dan daging ayam buras mampu ber-saing dengan ayam ras dan harganyarelatif stabil serta konsumennya luas.Ayam buras tersebar luas dan sebagianbesar masyarakat di pedesaan memiliki danmemeliharanya, sehingga sangat men-dukung untuk dikembangkan dalammenunjang peningkatan pendapatankeluarga petani-peternak di pedesaan(Syamsari 1997), serta cocok untuk usahasampingan selain bercocok tanam(Mardiningsih et al. 2004). Mengingatpersepsi masyarakat yang positif terhadapayam buras dan produknya, maka perluadanya dorongan dari berbagai instansiterkait dalam rangka mewujudkan salahsatu program pemerintah yaitu ketahanan

pangan dan kecukupan daging pada tahun2010 mendatang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Produktivitas ayam buras beragam, ber-gantung pada sistem pemeliharaan dankeragaman individu baik produksi telur,pertambahan bobot badan, dan tingkatmortalitas yang tinggi terutama pada DOCdan ayam muda. Pola pemeliharaan ayamburas pada umumnya masih dilakukansecara ekstensif-tradisional, dengan skalapemeliharaan 5−10 ekor/KK dan pemberianpakan seadanya. Pemeliharaan ayam burassecara semiintensif dan intensif, denganskala kepemilikan lebih dari 50 ekor/KKlebih menguntungkan dibanding peme-

DAFTAR PUSTAKA

Ariani. 1999. Perspektif pengembangan ayamburas di Indonesia (Tinjauan dari aspek kon-sumsi daging ayam). hlm. 700−705. ProsidingSeminar Nasional Peternakan dan Veteriner.Bogor, 1−2 Desember 1998. Pusat Penelitiandan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Arief, D.A. 2000. Evaluasi ransum yang meng-gunakan kombinasi pollard dan duckweedterhadap persentase berat karkas, bulu, organdalam, lemak abdomminal, panjang usus dansekum ayam kampung. Skripsi. FakultasPeternakan Institut Pertanian Bogor.

Bakrie, B., D. Andayani, M. Yanis, dan D.Zainuddin. 2003. Pengaruh penambahanjamu ke dalam air minum terhadap preferensikonsumen dan mutu karkas ayam buras. hlm.490−495. Prosiding Seminar Nasional Tekno-logi Peternakan dan Veteriner “Iptek untukMeningkatkan Kesejahteraan Petani melaluiAgribisnis Peternakan yang Berdaya Saing”.Bogor, 29−30 September 2003. Pusat Pene-litian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Biyatmoko, D. 2003. Permodelan usaha pengem-bangan ayam buras dan upaya perbaikannyadi pedesaan. Makalah disampaikan padaTemu Aplikasi Paket Teknologi PertanianSubsektor Peternakan. Banjarbaru, 8−9Desember 2003. Balai Pengkajian TeknologiPertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru.hlm. 1−10.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. StatistikPeternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Fuadi, A. 1996. Analisis Permintaan Ayam Kam-pung oleh Restoran di Kotamadya Ponti-anak. Skripsi. Fakultas Peternakan InstitutPertanian Bogor.

Gunawan. 2002. Evaluasi Model PengembanganUsaha Ternak Ayam Buras dan Upaya Per-baikannya. Disertasi. Program PascasarjanaInstitut Pertanian Bogor.

Gunawan dan M.M.S. Sundari. 2003. Pengaruhpenggunaan probiotik dalam ransum ter-hadap produktivitas ayam. Wartazoa 13(3):92−98.

Hartati, R. 1997. Penampilan Ayam KampungUmur 20−22 Bulan dengan Frekuensi Pem-berian Pakan yang Berbeda. Skripsi. FakultasPeternakan Institut Pertanian Bogor.

Hastono. 1999. Peluang pengembangan ayamburas di lahan pasang surut Karang AgungUlu, Sumatera Selatan. hlm. 691−699. Pro-siding Seminar Nasional Peternakan danVeteriner. Bogor, 1−2 Desember 1998. PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan,Bogor.

Iman-Rahayu, H.S., Suherlan, dan I. Supriyatna.2005. Kualitas telur tetas ayam merawangdengan waktu pengulangan inseminasi buatanyang berbeda. J. lndon. Trop. Anim. Agric.30(3): 142−150.

Iriyanti, N., Zuprizal, Tri-Yuwanta, dan S.Keman. 2005. Pengaruh penggunaan minyakikan lemuru dan minyak kelapa sawit dalampakan terhadap profil metabolisme lemakpada darah ayam kampung jantan. J. Anim.Prod. 7(2): 59−66.

Iriyanti, N., Zuprizal, Tri-Yuwanta, dan S.Keman. 2007. Penggunaan vitamin E dalampakan terhadap fertilitas, daya tetas danbobot tetas telur ayam kampung. J. Anim.Prod. 9(1): 36−39.

Iskandar, S., D. Zainuddin, S. Sastrodihardjo, T.Sartika, P. Setiadi, dan T. Susanti. 1998.Respons pertumbuhan ayam kampung danayam persilangan pelung terhadap ransumberbeda kandungan protein. Jurnal IlmuTernak dan Veteriner 3(1): 8−14.

Khalil, I.D., Afrianis, dan S. Jalaluddin. 2001.Performans ayam buras yang dipeliharasecara ekstensif pada dua daerah dengan

agroekosistem yang berbeda di KabupatenTanah Datar. Media Peternakan. Jurnal IlmuPengetahuan dan Teknologi Peternakan 24(2): 34−37.

Lestari, S. 2000. Produktivitas Ayam Kampungdi Dua Desa yang Berbeda Topografinya diKabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Peternak-an Institut Pertanian Bogor.

Lulusno. 1991. Pengaruh Periode Bertelur ter-hadap Pertambahan Bobot Badan dan Mor-talitas Anak Ayam Kampung pada Peme-liharaan Ekstensif. Skripsi. Fakultas Peter-nakan Institut Pertanian Bogor.

Lumentha, L. 1997. Beberapa Faktor yang Mem-pengaruhi Perkembangan Usaha TernakAyam Kampung di Kecamatan Cijeruk, Kabu-paten Bogor. Skripsi. Fakultas PeternakanInstitut Pertanian Bogor.

Mardiningsih, D., T.M. Rahayuning, W. Roesali,dan D.J. Sriyanto. 2004. Tingkat produktivi-tas dan faktor-faktor yang mempengaruhitenaga kerja wanita pada peternakan ayamlokal intensif di Kecamatan Ampal Gading,Kabupaten Pemalang Jawa Tengah. hlm.548−554. Prosiding Seminar Nasional Tek-nologi Peternakan dan Veteriner 2004. BukuII. Bogor, 4−5 Agustus 2004. Pusat Peneliti-an dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Muryanto, W. Dirdjopranoto, Subiharta, danD.M. Juwono. 1994a. Rakitan hasil-hasilpenelitian ayam buras di Sub Balai PenelitianTernak Klepu. Usaha ternak skala kecil se-bagai basis industri peternakan di daerahpadat penduduk. hlm. 98−114. ProsidingPertemuan Nasional Pengolahan dan Komu-nikasi Hasil-Hasil Penelitian. Semarang, 8−9 Februari 1994. Sub Balai Penelitian TernakKlepu, Semarang.

Muryanto, Subiharta, dan D.M. Juwono. 1994b.Studi manajemen produksi telur tetas pada

liharaan secara tradisional. Ketersediaandan dukungan teknologi spesifik lokasi,antara lain teknologi perbibitan, pakan,dan pengendalian penyakit, diharapkandapat meningkatkan produksi dan pro-duktivitas ayam buras.

Untuk meningkatkan efisiensi usahatani ayam buras, sebaiknya pemeliharaan-nya dilakukan secara semiintensif atauintensif, perbaikan kualitas dan kuantitaspakan, dengan skala pemeliharaan di-tingkatkan, vaksinasi ND dan pencegahanpenyakit lainnya secara teratur, sertasanitasi kandang dan lingkungan. Sanitasikandang dan lingkungannya dapat dilaku-kan dengan desinfeksi dan fumigasisecara teratur untuk mencegah timbulnyapenyakit yang dapat merugikan dan me-nimbulkan mortalitas yang lebih tinggi.

82 Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

pemeliharaan ayam buras di pedesaan. JurnalIImiah Penelitian Ternak Klepu 1(2): 1−8.

Muryanto, Subiharta, D.M. Juwono, dan W.Dirdjopranoto. 1994c. Optimalisasi produksitelur ayam buras melalui perbaikan pakandan tata laksana pemeliharaan. Jurnal IlmiahPenelitian Ternak Klepu 1(2): 9−14.

Muryanto, Subiharta, D.M. Juwono, dan W.Dirdjopranoto. 1995. Studi manajemen pe-meliharaan ayam buras untuk memproduksianak ayam umur sehari (DOC). Jurnal IlmiahPenelitian Ternak Klepu (3): 1−7.

Muryanto, P.S. Hardjosworo, R. Herman, dan H.Setijanto. 2002. Evaluasi karkas hasil per-silangan antara ayam kampung jantan denganayam ras petelur betina. J. Anim. Prod. 4(2):71−76.

Nasution, W.R. 2000. Evaluasi Nilai EnergiMetabolis Ransum yang Mengandung KulitBuah Kopi pada Ayam Kampung. Skripsi.Fakultas Peternakan Institut PertanianBogor.

Nataamidjaja, G., H. Resnawati, T. Antawijaya,I. Barehilla, dan D. Zainuddin. 1990. Produk-tivitas ayam buras di dataran tinggi dandataran rendah. Jurnal Ilmu dan Peternakan4(3): 283−286.

Prabowo, A. Tikupandang, M. Sabrani, dan U.Kusnadi. 1992. Tingkat adopsi teknologioleh peternak dan potensi produksi ayamburas di daerah transmigrasi Kabupaten Luwu,Sulawesi Selatan. hlm. 116−120. ProsidingPengolahan dan Komunikasi Hasil-HasilPenelitian Unggas dan Aneka Ternak. Bogor,20−22 Februari 1992. Balai PenelitianTernak, Bogor.

Prahmadiyan, D. 1999. Analisis Pemasaran AyamBuras di Kabupaten Ciamis (Studi kasus dikelompok peternak “Wangi Saluyu” DesaWangunjaya Kecamatan Cisaga). Skripsi.Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Rasyid, T.G. 2002. Analisis perbandingan ke-untungan peternak ayam buras dengan sistempemeliharaan yang berbeda. Bulletin Nutrisidan Makanan Ternak 3(1): 15−22.

Rizal, M., Nuraini, H. Abbas, Sabrina, dan E.Martinelly. 2003. Respons ayam buras perio-de pertumbuhan terhadap ransum yang me-ngandung campuran ampas sagu, ecenggondok yang difermentasi dengan Tricodermaharzianum. Jurnal Ilmiah IImu-lImu Peter-nakan VIII(3): 201−211.

Rohaeni, E.S., D. Ismadi, A. Darmawan, Suryana,dan A. Subhan. 2004. Profil usaha peternak-an ayam lokal di Kalimantan Selatan (Studikasus di Desa Murung Panti KecamatanBabirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara danDesa Rumintin Kecamatan Tambarangan,Kabupaten Tapin). hlm. 555−562. ProsidingSeminar Nasional Teknologi Peternakan danVeteriner 2004. Buku II. Bogor, 4−5 Agustus2004. Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor.

Rusmana, D., A. Budiman, dan D. Latifudin. 2002.Pengaruh suplementasi minyak ikan, minyakjagung dan ZnCO3 dalam ransum terhadap

produksi telur dan kandungan asam omega 3dan 6 PUFA telur ayam kampung. Jurnal IImuTernak 2(1): 1−7.

Sartika. T. 2005. Peningkatan Mutu Bibit AyamKampung melalui Seleksi dan PengkajianPenggunaan Penanda Genetik PromotorProlaktin dalam MAS/Marker AssiatedSelection untuk Mempercepat Proses Seleksi.Disertasi. Sekolah Pascasarjana InstitutPertanian Bogor.

Sapuri, A. 2006. Evaluasi Program IntensifikasiPenangkaran Bibit Ternak Ayam Buras diKabupaten Pandeglang. Skripsi. FakultasPeternakan Institut Pertanian Bogor.

Sehabuddin, U. dan A. Agustian. 2001. Karakte-ristik dan kontribusi usaha tani ternak ayamburas terhadap pendapatan rumah tanggapeternak serta alternatif pola pengembang-annya. Media Peternakan. Jurnal Ilmu Pe-ngetahuan dan Teknologi Peternakan 24(1):111−118.

Setiadi, B., A. Semali, M.H. Togatorop, dan P.Sitorus. 1986. Peranan usaha ternak dalammenunjang sistem usaha tani terpadu lahanpasang surut dan rawa di Sumatera Selatan.hlm. 191−201. Prosiding Seminar NasionalPengembangan Peternakan di Sumateradalam Menyongsong Era Tinggal Landas.Padang, 14−15 September 1986. FakultasPeternakan Universitas Andalas, Padang.

Setioko, A.R. dan S. Iskandar. 2005. Review hasil-hasil penelitian dan dukungan teknologidalam pengembangan ayam lokal. hlm.10−19. Prosiding Lokakarya Nasional InovasiTeknologi Pengembangan Ayam Lokal. Se-marang, 25 September 2005. Pusat Peneliti-an dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Septiwan, R. 2007. Respons Produktivitas danReproduktivitas Ayam Kampung denganUmur Induk yang Berbeda. Skripsi. FakultasPeternakan Institut Pertanian Bogor.

Sinurat, A.P. 1991. Penyusunan ransum ayamburas. Wartazoa 2(1−2): 1−4.

Sinurat, A.P. 1999. Penggunaan bahan pakanlokal dalam pembuatan ransum ayam buras.Wartazoa 9(1): 12−20.

Sinuraya, D.S. 2001. Produktivitas Ayam Kam-pung di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang,Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Peter-nakan Institut Pertanian Bogor.

Soeparno. 1992. Komposisi tubuh dan evaluasidaging dada sebagai pedoman penilaiankualitas produk ayam kampung jantan.Bulletin Peternakan 16: 7−14.

Soepeno, A. Semali, B. Setiadi, dan S.O. Sidabutar.1993. Peranan perbaikan teknologi terhadappeningkatan produktivitas ayam buras se-bagai usaha sambilan di Jawa Barat. hlm.196−203. Prosiding Seminar Nasional Pe-ngembangan Ternak Ayam Buras melaluiWadah Koperasi Menyongsong PJPT II.Bandung, 13−15 Juli 1993. Fakultas Peter-nakan Universitas Padjadjaran, Bandung.

Sulandari, S., M.S.A. Zein, S. Priyanti, T. Sartika,M. Astuti, T. Widjastuti, E. Sujana, S. Darana,I. Setiawan, dan G. Garnida. 2007. Sumber

daya genetik ayam lokal Indonesia. hlm. 45−104. Dalam Keanekaragaman Sumber DayaHayati Ayam Lokal lndonesia: Manfaat danPotensi. Pusat Penelitian Biologi, LembagaIImu Pengetahuan Indonesia, Bogor.

Suriadikarta, A.D. dan M.T. Sutriadi. 2007. Jenis-jenis lahan berpotensi untuk pengembanganpertanian di lahan rawa. Jurnal Penelitiandan Pengembangan Pertanian 26(3): 115−122.

Suryana dan E.S. Rohaeni. 2006. Upaya per-baikan sistem usaha tani ayam buras denganteknologi inseminasi buatan di lahan kering(Desa Rumintin, Kabupaten Tapin, Kaliman-tan Selatan). hlm. 65−70. Prosiding SeminarNasional Lahan Kering. BPTP KalimantanSelatan bekerjasama dengan Balai BesarPengkajian dan Pengembangan TeknologiPertanian, Bogor.

Syamsari. 1997. Produksi dan Mortalitas AyamKampung, Ayam Pelung, dan Ayam Kedu diDesa Karacak. Skripsi. Fakultas PeternakanInstitut Pertanian Bogor.

Tagama, T.R. 2003. Performans organ reproduksiprimer ayam lokal (Gallus domesticus) jantandengan introduksi hormon gonadotropin. J.Anim. Prod. 5(3): 87−92.

Togatorop, M.H. dan E. Juarini. 1993. Responspetani-peternak ayam buras terhadap inovasiteknologi di daerah pasang surut KabupatenPontianak Kalimantan Barat. hlm. 166−178. Prosiding Seminar Nasional Pengem-bangan Ternak Ayam Buras melalui WadahKoperasi Menyongsong PJPT II. Bandung,13−15 Juli 1993. Fakultas Peternakan Uni-versitas Padjadjaran, Bandung.

Tranggono. 2001. Lipid dalam perspektif ilmudan teknologi pangan. Pidato PengukuhanGuru Besar Fakultas Teknologi PertanianUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tri-Yuwanta. 1997. Hubungan nilai gravitasispesifik terhadap kualitas dan daya tetas telurayam kampung. Bulletin Peternakan 21(2):88−95.

Uhi, T.H. dan Usman. 2007. Integrasi ternakayam buras-jagung: Suatu alternatif untukmeningkatkan ketersediaan pakan. hlm.262−268. Prosiding Seminar Nasional danEkspose. Percepatan Inovasi Teknologi Per-tanian Spesifik Lokasi Mendukung Keman-dirian Masyarakat Kampung di Papua.Jayapura, 5−6 Juni 2007. Balai PengkajianTeknologi Pertanian Papua bekerjasamadengan Balai Besar Pengkajian dan Pengem-bangan Teknologi Pertanian Bogor dan Pe-merintah Provinsi Papua, ACIAR, ESEAP-CIP.

Usman. 2007. Potensi ampas tahu sebagai pakanternak pada usaha pembesaran ayam burasberorientasi agribisnis. hlm. 253−261. Prosi-ding Seminar Nasional dan Ekspose. Per-cepatan Inovasi Teknologi Pertanian SpesifikLokasi Mendukung Kemandirian MasyarakatKampung di Papua. Jayapura, 5−6 Juni 2007.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papuabekerja sama dengan Balai Besar Pengkajiandan Pengembangan Teknologi Pertanian

Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 83

Bogor dan Pemerintah Provinsi Papua,ACIAR, ESEAP-CIP.

Wihandoyo dan H. Mulyadi. 1986. Ayam buraspada kondisi pedesaan (tradisional) danpemeliharaan yang memadai. Temu TugasSubsektor Peternakan. Balai InformasiPertanian Ungaran bekerja sama dengan SubBalai Penelitian Ternak Klepu dan DinasPeternakan Provinsi Jawa Tengah.

Zakaria, S. 2004a. Pengaruh luas kandang ter-hadap produksi dan kualitas telur ayam burasyang dipelihara dengan sistem litter. BulletinNutrisi dan Makanan Ternak 5(1): 1−11.

Zakaria, S. 2004b. Performans ayam buras fasedara yang dipelihara secara intensif dan semi-intensif dengan tingkat kepadatan kandangyang berbeda. Bulletin Nutrisi dan MakananTernak 5(1): 41−45.

Zainuddin, D. dan I.W.T. Wibawan. 2007.Biosekuriti dan manajemen penangananpenyakit ayam lokal. Sumber daya genetikayam lokal Indonesia. hlm. 159−182. DalamKeanekaragaman Sumber Ddaya HayatiAyam Lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi.Pusat Penelitian Biologi, Lembaga IImuPengetahuan Indonesia, Cibinong.