attachment 1434407001867 hendra okeee(1)
DESCRIPTION
attTRANSCRIPT
REFERAT
PNEUMOTHORAKS
DISUSUN OLEH :
Lalu Viska Suhendra, S.Ked
NIM : 030.11.162
PEMBIMBING :
dr. Daddy Samuel Carol, Sp.B
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KEPANITERAAN KLINIK BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
Periode 25 Mei 2015
i
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Lalu Viska Suhendra
NIM : 030. 11.162
Judul referat : Pneumothoraks
Referat ini telah diterima dan disetujui oleh dokter pembimbing dr. Daddy Samuel Carol, Sp.B
Pada :
Hari : Rabu
Tanggal : 10 Juni 2015
Sebagai salah satu syarat mengikuti dan meyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Umum RSUD
Kota Bekasi.
Bekasi, 10 Juni 2015
dr. Daddy Samuel Carol, Sp.B
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, atas berkahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Pneumothoraks” sebagai salah satu syarat dalam kepaniteraan klinik bagian bedah umum
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi tepat pada waktunya.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. Daddy Samuel Carol, Sp.B
atas segenap waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan selama pembuatan referat ini.
Juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih.
Akhir kata penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan referat ini.
Maka kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan guna penyusunan referat
yang lebih baik di kemudian hari nanti. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, dan khususnya bagi penulis sendiri yang masih dalam tahap belajar.
Bekasi, 10 Juni 2015
ii
DAFTAR ISI
1. LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………………… i
2. KATA PENGANTAR ……..……………………………………………………….. ii
3. DAFTAR ISI ……………………………….……………………………………….. iii
4. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang …………………………………………………………………… 1
b. Tujuan …………………………………………………………………………….. 1
5. TINJAUAN PUSTAKA
a. Anatomi dan fisiologi pleura ………………………………………………………
1
b. Definisi pneumotoraks …………………………………………………………….
5
c. Etiologi …………………………………………………………………………….
6
d. Klasifikasi …….……………………………………………………………………
7
e. Patofisiologi .……………………………………………………………………….
9
f. Diagnosis ……..……………………………………………………………………
12
g. Diagnosis banding ………………………………………………………………….
15
h. Tatalaksana …...……………………………………………………………………
16
i. Prognosis …………………………………………………………………………. 17
6. DAFTAR PUSTAKA ………………….……………………………………………. 19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Paru-paru merupakan unsur elastis yang dapat mngembang dan mengempis seperti
balon dan dapat mengeluarkan semua udaranya melalui trakea . Pneumotoraks adalah keadaan
dimana terdapatnya udara atau gas didalam rongga pleura. Pada keadaan normal rongga pleura
tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada.
Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik . Pneomotoraks spontan dibagi
menjadi primer dan sekunder, primer jika penyebabnya tidak diketahui, sedangkan sekunder
jika terdapat latar belakang penyakit paru. Sedangkan pneumotoraks traumatik dibagi lagi
menjadi dua yaitu pneumotoraks traumatic iatrogenic dan bukan iatrogenik.1
Secara epidemiologi, insiden pneumotoraks bervariasi di setiap negara, seperti Inggris,
insiden pneumotoraks spontan primer adalah 24/100.000 pria per tahunnya dan 6/100.000
wanita per tahunnya. Angka kejadian ini lebih sering terjadi pada usia ≥ 20 tahun, dan
pneumotoraks spontan primer jarang terjadi pada usia ≥ 40 tahun. Sedangkan, pneumotoraks
spontan sekunder tipikal terjadi antara umur 60 – 65 tahun. Meskipun, angka mortalitas
penyakit ini 0,99% (227 : 22749), pneumotoraks merupakan penyakit yang mengancam jiwa.2
Seluruh pembagian dari pneumotoraks memiliki manifestasi klinis yang berbeda, baik
asimptomatik, simptomatik dengan klinis stabil atau tidak stabil, dan mengancam jiwa.
Sehingga, manajemen terapi untuk pneumotoraks didasarkan pada derajat gejala, ukuran, dan
penyakit yang mendasari. Optional terapi untuk penyakit ini, yaitu observasi dengan atau
tanpa oksigenasi, simpel aspirasi, torakoskopi dengan atau tanpa pleurodesis, dan prosedur
pembedahan terbuka.
B. TUJUAN
Tujuan untuk penulisan tinjauan pustaka (referat) ini adalah untuk mengetahui definisi
dari pneumotoraks serta cara menegakkan diagnosa pneumotoraks secara tepat sesuai jenis
dan luasnya pneumotoraks, karena hal tersebut akan berpengaruh pada penanganannya.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Pleura merupakan membrane serosa
yang melingkupi parenkim paru,
mediastinum, diafragma serta tulang iga;
terdiri dari pleura viseral dan pleura
parietal.3,4 Rongga pleura terisi sejumlah
tertentu cairan yang memisahkan kedua
pleura tersebut sehingga memungkinkan
pergerakan kedua pleura tanpa hambatan
selama proses respirasi.3,5 Cairan pleura
berasal dari pembuluh pembuluh kapiler
pleura, ruang interstitial paru, kelenjar getah
bening intratoraks, pembuluh darah
intratoraks dan rongga peritoneum. Jumlah
cairan pleura dipengaruhi oleh perbedaan
tekanan antara pembuluh-pembuluh kapiler
pleura dengan rongga pleura sesuai hukum Starling serta kemampuan eliminasi cairan oleh
system penyaliran limfatik pleura parietal.
Pleura merupakan membrane serosa yang tersusun dari lapisan sel yang embriogenik berasal
dari jaringan selom intraembrional dan bersifat memungkinkan organ yang diliputinya mampu
berkembang, mengalami tretraksi atau deformasi sesuai dengan proses perkembangan anatomis dan
fisiologis suatu organisme. Pleura viseralis membatasi permukaan luar parenkim paru termasuk
fisura interlobaris, sementara pleura parietalis membatasi dinding dada yang tersusun dari otot dada
dan tulang dada, serta diafragma, mediastinum dan struktur servikal. Pleura viseral dan parietal
memiliki perbedaan inervasi dan vaskularisasi. Pleura viseralis diinervasi saraf-saraf otonom dan
mendapat aliran darah dari sirkulasi pulmoner, sementara pleura parietal diinervasi saraf- saraf
2
interkostalis dan nervus frenikus serta mendapat aliran darah sistemik. Pleura visceral dan pleura
parietal terpisah oleh rongga pleura yang mengandung sejumlah tertentu cairan pleura.
Pleura terbagi menjadi lima lapisan, yaitu lapisan selapis mesotel, lamina basalis, lapisan
elastik superfi sial, lapisan jaringan ikat longgar dan lapisan jaringan fibroelastik dalam.6
Kolagen tipe I dan III yang diproduksi oleh lapisan jaringan ikat merupakan komponen utama
penyusun matriks ekstraseluler pleura dan merupakan 80% berat kering struktur ini.6 Lapisan
jaringan fibroelastik dalam menempel erat pada iga, otot-otot dinding dada, diafragma,
mediastinum dan paru.4 Lapisan jaringan ikat longgar tersusun atas jaringan lemak, fibroblas,
monosit, pembuluh darah, saraf dan limfatik.4,6 Proses inflamasi mengakibatkan migrasi sel-
sel inflamasi harus melewati lapisan jaringan ikat longgar menuju lamina basalis kemudian
menuju rongga pleura setelah melewati mesotel. Mesotel berdasarkan pengamatan mikroskop
elektron berbentuk gepeng, berbenjol-benjol dan berukuran sekitar 4 μm.5,6 Mesotel memiliki
retikulum endoplasma kasar dan halus, mitokondria dan beberapa jenis vesikel
mikropinositotik terikat membran sehingga memiliki fungsi fagositik dan eritrofagositik saat
terlepas dari tautan antarsel. Mikrovili mesotel mensekresi asam hialuronat untuk mengurangi
friksi antara paru, dinding dada dan diafragma saat proses respirasi.3,4 Senyawa ini juga
berfungsi sebagai sawar selektif pertukaran ion-ion dan molekul kecil antara alveolus,
jaringan interstitial paru dan rongga pleura, pengaturan respons inflamasi, penyembuhan
pleura, fagositosis bakteri dan partikel mineral seperti serat asbestos, lateks dan quartz.2,9
Cairan pleura mengandung 1.500 – 4.500 sel/ mL, terdiri dari makrofag (75%), limfosit
(23%), sel darah merah dan mesotel bebas.2 Cairan pleura normal mengandung protein 1 – 2
g/100 mL.9 Elektroforesis protein cairan pleura menunjukkan bahwa kadar protein cairan
pleura setara dengan kadar protein serum, namun kadar protein berat molekul rendah seperti
albumin, lebih tinggi dalam cairan pleura.4
Struktur Makroskopis Pleura Pleura normal memiliki permukaan licin, mengkilap dan
semitransparan. Luas permukaan pleura viseral sekitar 4.000 cm2 pada laki-laki dewasa
dengan berat badan 70 kg. Pleura parietal terbagi dalam beberapa bagian, yaitu pleura kostalis
yang berbatasan dengan iga dan otot-otot interkostal, pleura diafragmatik, pleura servikal atau
skapula sepanjang 2-3 cm menyusur sepertiga medial klavikula di belakang otot-otot
sternokleidomastoid dan pleura mediastinal yang membungkus organ-organ mediastinum.1,2
3
Bagian inferior pleura parietal dorsal dan ventral mediastinum tertarik menuju rongga toraks
seiring perkembangan organ paru dan bertahan hingga dewasa sebagai jaringan ligamentum
pulmoner, menyusur vertikal dari hilus menuju diafragma membagi rongga pleura menjadi
rongga anterior dan posterior. Pleura kostalis mendapat sirkulasi darah dari arteri mammaria
interkostalis dan internalis. Pleura mediastinal mendapat sirkulasi darah dari arteri bronkialis,
diafragmatik superior, mammaria interna dan mediastinum. Pleura servikalis mendapat
sirkulasi darah dari arteri subklavia. Pleura diafragmatik mendapat sirkulasi darah dari
cabang-cabang arteri mammaria interna serta aorta toraksika dan abdominis. Vena pleura
parietal mengikut jalur arteri dan kembali menuju vena kava superior melalui vena azigos.
Pleura viseral mendapat sirkulasi darah dari arteri bronkialis menuju vena pulmonaris.
Ujung saraf sensorik berada di pleura parietal kostalis dan diafragmatika. Pleura kostalis
diinervasi oleh saraf interkostalis, bagian tengah pleura diafragmatika oleh saraf frenikus.
Stimulasi oleh inflamasi dan iritasi pleura parietal menimbulkan sensasi nyeri dinding dada
dan nyeri tumpul pada bahu ipsilateral. Tidak ada jaras nyeri pada pleura viseral walaupun
secara luas diinervasi oleh nervus vagus dan trunkus simpatikus.4,5
FISIOLOGI PLEURA
Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang ditimbulkan oleh
rongga pleura. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas akan menimbulkan tekanan
transpulmoner yang selanjutnya akan memengaruhi pengembangan paru dalam proses
respirasi.7 Pengembangan paru terjadi bila kerja otot dan tekanan transpulmoner berhasil
mengatasi recoil elastik (elastic recoil) paru dan dinding dada sehingga terjadi proses
respirasi.8 Jumlah cairan rongga pleura diatur keseimbangan Starling yang ditimbulkan oleh
tekanan pleura dan kapiler, kemampuan sistem penyaliran limfatik pleura serta keseimbangan
elektrolit.9
Fisiologi tekanan pleura
Tekanan pleura secara fisiologis memiliki dua pengertian yaitu tekanan cairan pleura dan
tekanan permukaan pleura.10 Tekanan cairan pleura mencerminkan dinamik aliran cairan
melewati membran dan bernilai sekitar -10 cm H2O. Tekanan permukaan pleura
mencerminkan keseimbangan elastik rekoil dinding dada ke arah luar dengan elastik rekoil
paru ke arah dalam. Nilai tekanan pleura tidak serupa di seluruh permukaan rongga pleura;
4
lebih negatif di apeks paru dan lebih positif di basal paru. Perbedaan bentuk dinding dada
dengan paru dan faktor gravitasi menyebabkan perbedaan tekanan pleura secara vertikal;
perbedaan tekanan pleura antara bagian basal paru dengan apeks paru dapat mencapai 8 cm
H2O. Tekanan alveolus relatif rata di seluruh jaringan paru normal sehingga gradien tekanan
resultan di rongga pleura berbeda pada berbagai permukaan pleura. Gradien tekanan di apeks
lebih besar dibandingkan basal sehingga formasi bleb pleura terutama terjadi di apeks paru
dan merupakan penyebab pneumotoraks spontan.10,11 Gradien ini juga menyebabkan variasi
distribusi ventilasi.10
Pleura viseral dan parietal saling tertolak oleh gaya potensial molekul fosfolipid yang
diabsorpsi permukaan masing-masing pleura oleh mikrovili mesotel sehingga terbentuk
lubrikasi untuk mengurangi friksi saat respirasi.10 Proses tersebut bersama tekanan permukaan
pleura, keseimbangan tekanan oleh gaya Starling dan tekanan elastik rekoil paru mencegah
kontak antara pleura viseral dan parietal walaupun jarak antarpleura hanya 10 μm.4,11 Proses
respirasi melibatkan tekanan pleura dan tekanan jalan napas. Udara mengalir melalui jalan
napas dipengaruhi tekanan pengembangan jalan napas yang mempertahankan saluran napas
tetap terbuka serta tekanan luar jaringan paru (tekanan pleura) yang melingkupi dan menekan
saluran napas. Perbedaan antara kedua tekanan (tekanan jalan napas dikurangi tekanan pleura)
disebut tekanan transpulmoner. Tekanan transpulmoner memengaruhi pengembangan paru
sehingga memengaruhi jumlah udara paru saat respirasi.
B. DEFINISI
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas didalam pleura yang
menyebabkan kolapsnya paru-paru yang terkena. Pneumotoraks merupakan suatu kondisi
dimana terdapat udara pada kavum pleura.2 Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi
udara sehingga paru – paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam
kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :
5
1. Robeknya pleura viseralis
sehingga saat inspirasi udara
yang berasal dari alveolus akan
memasuki kavum pleura.
Pneumotoraks jenis ini disebut
sebagai closed pneumotoraks.
Apabila kebocoran pleura
viseralis berfungsi sebagai katup,
maka udara yang masuk saat
inspirasi tak akan dapat keluar
dari kavum pleura pada saat
ekspirasi. Akibatnya, udara
semakin lama semakin banyak
sehingga mendorong
mediastinum ke arah kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension pneumotoraks.
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan antara
kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3
diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding
traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga dada
menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan
menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada
meningkat akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi
ini disebut open pneumotoraks.
C. ETIOLOGI
Pneumotoraks dapat disebabkan oleh berbagai hal, di antara lainnya 1:
1. Rupturnya jalan napas :
- Idiopatik (ruptur bula atau kista)
- Robekan mediastinum atau esofagus
- Penyakit paru kronik
- Ventilasi tekanan positif
6
- Infeksi, tumor atau benda asing yang menyebabkan adanya hubungan antara
rongga pleura dengan udara luar.
2. Rupturnya dinding dada :
- Trauma
- Torakosintesis atau biopsi pleura
- Pemasangan CVP
D. KLASIFIKASI
Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan ataupun traumatik. Sehingga klasifikasi dari
pneumotoraks dapat di bagi berdasarkan luas paru yang kolaps, penyebabnya. Berdasarkan
luas paru yang kolaps (berdasarkan roentgen dada) :
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru
(<50% volume paru).
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (>50%
volume paru)
7
Ada beberapa cara untuk menentukan luasnya kolaps paru, yaitu :
a. Rasio antara volume paru yang tersisa (T) dengan volume hemitoraks (H),
dimana masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume
kubus.
Rumus : T3 (8)3 512 50%H3 (10)3 1000
b. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertical, ditambah
dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah
dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian
dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh.
Berdasarkan penyebabnya yakni dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Pneumotorkas Spontan
Pneumotoraks spontan adalah setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa
adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenic), ada 2 jenis yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer
Pneumotoraks spontan primer merupakan suatu pneumotoraks yang terjadi tanpa
ada riwayat penyakit paru yang mendasari sebelumnya, umumnya pada individu
yang sehat, dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktivitas fisik yang berat
tetapi justru terjadi pada saat istirahat dan sampai sekarang tidak diketahui
penyebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder
Pneumotoraks spontan sekunder adalah pneumotoraks yang terjadi karena penyakit
paru yang mendasarinya (tuberculosis paru, PPOK, asma bronchial, pneumonia,
tumor paru dan sebagainya).
2. Pneumotoraks Traumatik
- Pneumotoraks traumatik non iatrogenik
8
Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang merusak
pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara
dapat masuk ke rongga pleura langsung ke dinding toraks atau menuju pleura
viseralis melalui cabang – cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka tembak
secara langsung melukai paru – paru perifer menyebabkan terjadinya
hemothoraks dan pneumotoraks lebih dari 80% lesi di dada akibat benda tajam.
Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis terobek oleh
fraktur atau dislokasi kosta. Kompresi dada tiba – tiba menyebabkan
peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli.
Saat ruptur alveoli udara masuk ke rongga intersisiel dan terjadi diseksi menuju
pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks terjadi saat ruptur pada pleura
viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke rongga pleura. Manifestasi
klinisnya dapat berupa Fallen Lung sign/peptic lung sign di mana hilus paru
terletak lebih rendah dari normal atau terdapat pneumotoraks persisten dengan
chest tube terpasang dan berfungsi dengan baik.
- Pneumotoraks iatrogenik
Pneumotoraks iatrogenik terjadi akibat kesalahan suatu tindakan medis,
misalnya tindakan seperti torakosintesis, biopsi pleura, pemasangan kateter
vena sentral, biopsi paru perkutan, bronkoskopi dengan biopsi transbronkial,
aspirasi transtoracic dan ventilasi tekanan positif. Pneumotorak iatrogenik juga
dapat terjadi akibat barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara
berbanding terbalik dengan tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada
ketinggian 3050 m, volume udara yang tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5
kali lipat daripada saat di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan
tersebut, udara yang terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan
menyebabkan pneumotoraks. Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat
terbang. Sedangkan pada penyelam, udara yang terkompresi dialirkan ke paru –
paru harus melalui regulator dan sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat
9
terjadi seiring dengan penurunan tekanan secara cepat shingga udara yang
terdapat di paru – paru dapat menyebabkan pneumotorks.
3. Pneumotoraks dari jenis fistulanya dibagi menjadi :
Pneumotoraks tertutup (Simple pneumotoraks)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding
dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga
pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif
karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya.
Pneumotoraks terbuka atau open pneumotoraks
Adanya hubungan langsung antara rongga pleura dan bronkus yang merupakan
bagian dari dunia luar karena terdapat luka terbuka pada dada. Pada saat inspirasi
tekanan menajdi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain
itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat
ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka.
Pneumotoraks dengan mekanisme ventil atau tension pneumotoraks
Kebocoran seolah –olah mempunyai mekanisme ventil yang dibentuk oleh sobekan
pleura, sehingga udara dari luar bisa masuk ke dalam rongga pleura pada saat
inspirasi, tetapi pada saat ekspirasi tak semuanya dapat dikeluarkan kembali,
dengan demikian tekanan udara dalam rongga pleura akan meningkat terus –
menerus dan mediastinum terdorong ke sisi yang sehat.
E. PATOFISIOLOGI
Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik, iatrogenik.
Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ paru dan pneumotoraks
iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi diagnostik maupun terapeutik.
10
Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru yang
mendasarinya, hal ini terjadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura viseralis. Pada
sebuah penelitian dilaporkan bahwa bleb dan bulla subpleural ditemukan pada 76-100%
pasien pneumotoraks spontan primer dengan tindakan video-assisted thorascoscopic surgery
dan torakotomi. Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh pleura fibrotic
yang menebal, sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh jaringan paru
emfisematous. Bleb terbentuk dari suatu alveoli yang pecah melalui jaringan interstitial ke
dalam lapisan fibrosa tipis pleura viseralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista.
Kasus pneumotoraks spontan primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang
mendasari pembentukan bula subpleural, namun pada sebuah penelitian dengan CT-scan
menunjukkan bahwa 89% kasus dengan bula subpleural adala perokok berbanding dengan
81% kasus adalah bukan perokok.15
Mekanisme pembentukan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah teori
menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh rokok yang
kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses ini menyebabkan
ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan-antioksidan serta menginduksi
teradinya obstruksi saluran napas akibat proses inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan
alveolar sehingga terjadi kebocoran udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan
menyebabkan pneumomediastinum. Tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura
parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks.
Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh udara
akibat rupturnya bula subpleural, paru – paru akan kolaps sampai tercapainya keseimbangan
tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru – paru akan bertambah kecil
dengan bertambah luasnya pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya sesak
akibat berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2. Sebuah penelitian lain
menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis terjadinya pneumotoraks
spontan primer. Beberapa kasus pneumotoraks spontan primer ditemukan pada kelainan
genetik tertentu, seperti: sindrom marfan, homosisteinuria serta sindrom Birt-Hogg-Dube.
Pneumotoraks spontan sekunder terjadi akibat kelainan/ penyakit paru yang sudah
ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan alveolar yang
11
melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan berpindah ke interstitial menuju
hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Selanjutnya udara akan berpindah melalui
pleura viseralis pars mediastinal ke rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks. Beberapa
penyebab terjadinya pneumotoraks spontan sekunder adalah:
Penyakit saluran napas
- PPOK
- Kistik fibrosis
- Asma bronkial
Penyakit infeksi paru
- Pneumocystic carinii pneumonia
- Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerob, bakteri gram negatif atau
staphylococcus)
Penyakit paru interstitial
- Sarkoidosis
- Fibrosis paru idiopatik
- Granulomatosis sel langerhans
- Limfangioleimiomatous
- Sklerosis tuberus
Penyakit jaringan penyambung
- Atritis reumatoid
- Spondilitis ankilosing
- Skleroderma
- Sindroma marfan
Kanker
- Sarkoma
- Kanker paru
Endometriosis toraksis
12
1.1 Skema terjadinya pneumotoraks spontan:1
Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun non
penetrasi. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan
pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan mengempes karena tidak ada lagi tarikan
ke luar dinding dada. Pengembangan dinding dada pada saat inspirasi tidak diikuti dengan
pengembangan paru yang baik atau bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan
pleura yang normalnya negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi pada
bagian yang mengalami pneumotoraks.
13
Tanpa sebab yang pasti, faktor resiko merokok
Karena penyakit paru yang mendasarinya
Terjadi perubahan tekananTekanan alveolar tinggi dan tekanan pleura lebih negatif
Timbul peradangan pada saluran napas kecil
Penumpukan mucus padan bronkioli
Obstruksi check-valve sehingga terjadi distensi ruang terutama
apeks
Alveoli pecah sehingga timbul bleb dan lalu bulla
Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis atau bedah.
Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi trastorakik, torakosintesis, biopsi
transbronkial, ventilasi tekanan positif. Angka kejadian kasus pneumotoraks meningkat
apabila dilakukan oleh klinisi yang tidak berpengalaman.
Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks) terjadi akibat cedera pada parenkim
paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah. Katup ini mengakibatkan udara
bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi adanya alirann balik dari udara tersebut.
Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada perawatn intensif yang dapat menyebabkan
terperengkapnya udara ventilator (ventilasi mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpa
adanya aliran udara balik1,15.
Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga pleura
sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantungserta paru ke arah kontralateral. Hal
ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya hipoksia. Curah jantung turun karena
venous return ke jantung berkurang, sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran
udara pada paru yang kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan
turunnya curah jantung akan mengganggu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal
jika tidak ditangani secara tepat.
F. DIAGNOSIS
Diagnosis pneumotoraks dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dimana dipaparkan sebagai berikut 1,15 :
a. Manifestasi klinis
Adanya keluhan – keluhan dan gejala - gejala klinis pneumotoraks amat
tergantung pada besarnya lesi pneumotoraks dan ada tidaknya komplikasi penyakit
paru. Beberapa pasien menunjukkan keadaan asimptomatik dan kelainan hanya
ditemukan pada pemeriksaan foto dada rutin.
Gejala yang utama adalah berupa nyeri dada hebat yang tiba – tiba dan
bersifat unilateral saat bernapas dalam atau dalam keadaan batuk serta diikuti sesak
14
napas. Sesak napas ini kadang bisa hilang dalam 24 jam, apabila sebagian paru
yang kolaps sudah mengembang kembali. Kelainan ini ditemukan pada 80% - 90%
kasus. Gejala – gejala ini lebih mudah ditemukan bila penderita melakukan
aktivitas berat. Tetapi pada sebagian kasus, gejala – gejala ini masih mudah
ditemukan pada aktivitas biasa atau waktu istirahat. Rasa sakit tidak selalu timbul.
Rasa sakit ini bisa bertambat berat atau menetap bila terjadi perlengketan antara
pleura viseralis dan pleura parietalis. Suatu waktu perlengketan ini dapat robek
akibat tekanan kuat dari pneumotoraks terjadi hemato-pneumotoraks.
Kadang – kadang gejala klinis dapat ditemukan walaupun kelainan
pneumotoraksnya sedikit, misalnya perkusi yang hipersonor, fremitus yang
melemah sampai menghilang, suara napas yang melemah sampai menghilang pada
sisi yang sakit. Pada lesi yang lebih besar atau pada tension pneumotoraks, trakea
dan mediastinum dapat terdorong ke sisi kontralateral. Diafragma tertekan ke
bawah, gerakan pernapasan tertinggal pada sisi yang sakit. Fungsi respirasi
menurun, terjadi hipoksemia arterial dan curah jantung menurun.
Selain itu penderita biasanya mudah lelah saat beraktivitas maupun
beristirahat dan warna kulit yang kebiruan (sianosis). Kebanyakan pneumotoraks
terjadi pada sisi kanan (53%), sedangkan sisi kiri (45%) dan bilateral hanya 2%.
Hampir 25% dari pneumotoraks spontan berkembang menjadi hidropneumotoraks.
b. Pemeriksaan fisik
Inspeksi : dada tampak asimetris, pencembungan pada waktu pergerakan
napas pada sisi yang sehat, napas tertinggal pada sisi yang sakit, trakea dan
jantung terdorong ke sisi yang sehat.
Palpasi : pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau melebar, iktus
kordis jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat. Vokal fremitus melemah
atau menghilang pada sisi yang sakit.
Perkusi : hipersonor sampai timpani dan tidak bergetar pada sisi yang sakit,
batas jantung terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya tinggi.
Auskultasi : sisi yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang, napas
dapat amforik apabila ada fistel yang cukup besar.
15
c. Pemeriksaan penunjang
1. Foto rontgen gambaran radiologis yang tampak pada fot rotgen kasus
pneumotoraks antara lain :
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps
tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus
paru.
b. Paru yang kolaps hanya akan tampak seperti massa radio opaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas.
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas
yang dikeluhkan.
c. Jatung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostalis melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Jika
sudah terdapat efek dorongan terhadap jantung dan trakea kearah paru yang
sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan
intra pleural yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut :
1. Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada
tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini
terjadi apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus,
sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di
mediastinum.
2. Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
di bawah kulit. Hal ini biasa merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang terjebak di mediastinum
lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi
yaitu daerah leher. Disekitar leher banyak terdapat jaringan
ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah
16
udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak
jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan
dan belakang.
3. Bila disertai adanya cairan dirongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar diatas
diafragma foto rontgen pneumotoraks.
2. Analisa gas darah arteri dapat memberikan gambaran hiposemi meskipun
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas
yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3. CT-Scan thorax
CT-Scan thoraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer
dan sekunder.
4. USG
G. DIAGNOSIS BANDING
Pneumotoraks dapat member gejala seperti emfisema paru, infark miokard, emboli paru,
pneumonia Asma bronkhial, dan Bulla yang besar. Pada pasien muda, tinggi, pria dan perokok
jika setelah di foto diketahui ada pneumotoraks, umumnya diagnosis kita menjurus ke
pneumotoraks spontan primer.
H. KOMPLIKASI
Timbulnya infeksi sekunder pada pungsi toraks darurat maupun sebagai akibat
pemasangan WSD sangat ditakutkan. Infeksi dapat berupa empiema ataupun suatu abses paru.
Dan ada juga komplikasi lainnya seperti timbulnya cairan intrapleura seperti efusi pleura atau
darah, emfisema subkutis atau mediastinum, syok kardiogenik dan gagal napas.
17
I. PENATALAKSANAAN
Tindakan pengobatan pneumotoraks tergantung dari luasnya pneumotoraks. Tujuan
dari penatalaksanaan tersebut yaitu untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan
menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. British thoracic Society and American
College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi untuk penanganan pneumotoraks.
Prinsip-prinsip penanganan pneumotoraks adalah1,2,16 :
Perhatikan ABC dan tingkat kedaruratannya.
Observasi dan pemberian tambahan oksigen
Tindakan ini dilakukan jika luas pneumotoraks <15% dari hemitoraks. Tujuan
diberikan oksigen yaitu untuk meningkatkan laju reabsorpsi udara di dalam
rongga pleura apabila fistula di rongga pleura telah tertutup. Observasi
dilakukan dalam beberapa hari dengan foto serial tiap 12-24 jam selama 2 hari
bisa dengan dirawat atau tanpa dirawat di rumah sakit.
Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan
atau tanpa pleurodesis.
Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang
luasnya >15%. Tindakan ini disubut juga dengan tindakan dekompresi karena
tujuannya untuk mengeluarkan udara yang terdapat pada rongga pleura.
Tindakan dekompresi ini dapat dilakukan dengan cara :
1. Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura,
sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.
2. Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil :
a. Dapat memakai infuse set
Jarum steril ditusukkan ke dinding dada sampai kedalam rongga
pleura, kemudian dihubungkan dengan infuse set yang telah dipotong
pangkal nya yang selanjutnya pangkalnya di masukkan kedalam botol
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung
udara yang keluar dari ujung infuse set yang terdapat pada dalam
botol.
b. Jarum abbocath
18
Jarum abocath terdiri dari jarum dan kanul. Dimana abocath ditusukkan
pada dinding dada yang telah ditentukan sampai menembus rongga
pleura. Lalu jarum pada abbocath dilepas, yang tertinggal pada dada
yaitu kanulnya saja. Kemudian dibuhungkan dengan infuse set dan
dilakukan seperti tindakan diatas.
c. Pipa Water sealed drainage (WSD)
- Tindakan invasif yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan,
(darah, pus / cairan) dari rongga pleura, rongga thorax, dan
medistinum dgn menggunakan pipa penghubung. Dimana indikasi
nya yaitu pneumothorax, hematothorax, pneumo-hematothorax, fail
chest, chylothorax, empisema dan pasca thoracotomi. Tujuan
Penatalaksanaan WSD secara umum :
1. Mengeluarkan cairan , udara dari rongga pleura dan rongga
thorax .
2. Mencegah masuknya udara kembali yang dapat mengakibatkan
pneumothorax
3. Mempertahankan agar paru-paru tetap mengembang atau tekanan
tetap negatif
Torakoskopi dengan yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam
rongga thoraks dengan alat bantu torakoskopi. Tindakan ini sangat efektif
dalam penangananPSP dan mencegah berulangnya kembali. Dengan prosedur
inin dapat dilakukan reseksi bulla atau bleb dan juga dapat dilakukan untuk
pleurodesis. Tindakan ini dilakukan apabila tindakan aspirasi atau WSD gagal,
paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan torakostomi, terjadi fistula
bronkopleura, timbulnya pneumotoraks kembali setelah dilakukan pleurodesis.
Torakotomi
Tindakan pembedahan ini memiliki indikasi hampir sama dengan torakoskopi.
Tindakan ini dilakukan apabial torakoskopi gagal atau jika bula atau bleb
terdapat di apek paru.
19
o Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudia dicari
lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit.
o Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bisa mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
o Dilakukan reseksi bila terdapat bagain paru yang mengalami robekan
atau terdapat fistel dari paru yang rusak.
o Pleurodesis yaitu masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura didekatkan satu sama lain di tempat fistel.
a. Pneumotoraks spontan
- Pneumotoraks spontan kecil (<15% dari hemithoraks) dengan gejala yang
minimal sehingga cukup diberikan sumplemen oksigen. Pasien dapat dirawat
di RS atau dapat dilakukan rawat jalan namun harus diobservasi kurang lebih 6
jam untuk menentukan pemberian tindakan emergensi.
- Pneumotoraks spontan sedang (>15% dari hemithoraks) dengan pemberian
Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi.
Keberhasilan aspirasi sederhana bisa mencapai 70%. Keberhasilan penanganan
pasien dipengaruhi oleh tindakan emergensi yang kita lakukan dengan baik dan
tepat.
b. Pneumotoraks traumatic
- Medikamentosa
o Antibiotic
o Analgetik
- Tindakan prosedur secara umum
Rehabilitasi :
o Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan
secara tepat untuk penyakit dasarnya.
o Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu
keras.
20
o Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan
ringan.
o Control penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak
napas.
J. PROGNOSIS
Pneumotoraks pada orang dewasa muda prognosisnya sangat baik. Hal ini diakibatkan
karena jaringan parunya sendiri masih cukup baik, kecuali daerah tempat terjadinya
kebocoran. Dengan terapi yang tepat, kesembuhan yang dicapai selalu sempurna dan
kemungkinan kambuh sangat keci, terkecuali bila penderita di kemudian hari menjadi seorang
perokok, juga bila terapi terhadap penyakit dasarnya (TB) tidak sempurna.
Sebaliknya pneumotoraks pada seorang dewasa yang tua dan juga perokok, maka
sering mengalami emfisema paru dengan tekanan udara intrapulmonal yang tinggi, maka pada
keadaan demikian kekambuhan dapat timbul berkali – kali.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang dkk. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed.5.
interna Publishing. Jakarta Pusat;2009. 2339-45.
2. Noppen Marc, Keukeleire Tom De. Pneumothorax. Respirations. 2008;76: 121-127.
3. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR eds. Clinically Oriented Anatomy, 6th ed. Ch. 1,
Thorax. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 72–180.
4. Lee P, Colt HG eds. Flex-rigid Pleuroscopy Step-by-step. Steps to understanding
thoracic anatomy. Singapore: CMPMedica Asia Pte Ltd; 2005. p. 10–7.
5. Light RW ed. Pleural Diseases, 5th ed. Ch. 1, Anatomy of the pleura. Tennessee:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 2–7.
6. Antony VB. Immunological mechanisms in pleural disease. Eur Respir J.
2003;21:539–44.
7. Washko GR, O’Donnell CR, Loring SH. Volume-related and volume-independent eff
ects of posture on esophageal and transpulmonary pressures in healthy subjects. J Appl
Physiol. 2006;100:753–8.
8. Lai-Fook SJ. Pleural mechanics and fl uid exchange. Physiol Rev. 2004:84;385–410.
9. Zocchi L. Physiology and pathophysiology of pleural fl uid turnover. Eur Respir J.
2002;20:1545–58.
10. Light RW ed. Pleural Diseases, 5th ed. Ch. 2, Physiology of the pleural space.
Tennessee: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 8–16.
11. Astowo P. Pneumotoraks. In: Swidarmoko B, Susanto AD, eds. Pulmonologi
Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Jakarta: Penerbit Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 54–
71.
12. Washko GR, O’Donnell CR, Loring SH. Volume-related and volume-independent eff
ects of posture on esophageal and transpulmonary pressures in healthy subjects. J Appl
Physiol. 2006;100:753–8.
13. Lai-Fook SJ. Pleural mechanics and fl uid exchange. Physiol Rev. 2004:84;385–410.
14. Danusantoso Halim. Buku saku ilmu penyakit paru. Penerbit hipokrates.ed.1. 2000.
22
15. Sharma Anita, Jindal Paul. Principles of diagnosis and management of traumatic
pneumothorax. J Emerg Trauma Shock. Jan-jun 2008. 34-41.
16. Tschopp J-M, Porta R. Rami, Noppen M, Asstoul P. management of spontaneous
pneumothorax: state of the art. Eur Respir J. 2006; 28.
23