atmasphere 25 april 2016

1
Good Ethics, Good Business Andre Ata Ujan, Ph.D. Pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya – Jakarta K enneth Lay, atau yang bisa dipanggil Ken Lay, pendiri Enron Corp, terbilang CEO yang luar- biasa smart. Di tangan Lay dan rekannya Jeffrey Skilling, Enron yang semula hanya sebuah usaha kecil sebagai operator pipa gas itu, dalam waktu singkat, sekitar 10 tahun, berkembang menjadi perusahaan raksasa bertaraf internasional. Tetapi di tangan kedua orang itu pula Enron terpaksa gulung tikar pada 30 November 2001. Apa yang salah? Lay kemudian oleh majalah bergengsi Times di- nobatkan sebagai The Top 10 Croocked CEOs (10 CEO paling bajingan). Mengapa? CEO yang terkenal begelimang kekayaan karena tak kurang dari 40 juta US Dollar setiap tahun mengalir ke kantong pribadi- nya ini ternyata menggunakan kecerdasannya untuk memanipulasi laporan kekuangan perusahaan demi keuntungan pribadi. Penipuan akuntansi dilakukan secara sistematis untuk menunjukkan performa po- sitif perusahaan, di satu pihak, serta memperkaya diri, di lain pihak. Enron pun lumpuh dan bersama- nya ikut terpuruk kurang lebih 2000 karyawan yang telah ikut bekerja keras membesarkan Enron. Meskipun tak setali tiga uang, aroma moral tak sedap yang sama juga fenomenal di negri ini. Belakangan ini, misalnya, kita terus disuguhi berita tangkap tangan KPK. Presiden direktur sebuah per- usahaan besar terpaksa harus mengenakan rompi oranye KPK karena tertangkap tangan melakukan penyuapan terhadap pejabat publik demi memulus- kan bisnisnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan korporasi juga terkena imbas negatif dari perilaku koruptif pengelolanya. Dan tentu saja masih banyak perlaku koruptif lainnya. Mengapa terus berulang? The Tyrany of “OR” Seakan menjadi credo bagi banyak pebisnis bahwa bisnis tidak pernah bisa bersanding harmonis dengan etika. Pebisnis harus memilih: “Atau bisnis, atau etika”; keduanya memiliki nature tersendiri yang- tak-terdamaikan. Kekuatan dahsyat bernama the ty- rani of OR ini telah membuat pribadi seperti Ken Lay dan kawan-kawan harus berurusan dengan hukum. Bahkan jebakan the tryany of OR telah membuat perusahaan sebesar Enron gulung tikar dan sekaligus menghancurkan masa depan ribuan, bahkan jutaan, anak manusia yang bergantung padanya. Titik pusat konsern etika dan bisnis memang tidak dengan sendirinya sama. Etika menekankan pentingnya intangible value (seperti: kepercayaan dan pengakuan publik terhadap bisnis, reputasi atau nama baik perusahaan, pentingya tanggung jawab sosial, kejujuran dan keadilan, serta trans- paransi dalam pengelolaan bisnis, dan lain-lain). Sedangkan bisnis memusatkan perhatian pada pen- tingnya tangible value, yakni maksimisasi profit. Apakah keduanya kemudian harus berseberangan secara diametral? Tidak! Kepercayaan dan pengakuan publik terhadap se- buah produk serta nama baik pengelola perusahaan dan reputasi perusahaan itu sendiri merupakan in- tangible values yang mampu menciptakan loyalitas konsumen. Dengan demikian, intangible values ikut berperan menciptakan pasar. Efek positif bagi perusahaan juga terjadi, misalnya, ketika karyawan mengalami dihargai sebagai pribadi-pribadi yang bermartabat dan bukan sekedar alat demi memper- lebar margin korporasi. Pengalaman di-manusia- kan akan membuat mereka terdorong menjadi lebih produktif. Dengan begitu, iklim moral yang dikem- bangkan dalam bisnis bukan sekedar berkontribusi meciptakan pasar, melainkan mampu secara efektif menjaga sustainability bisnis. Tekanan the tyrany of OR sejatinya merupakan aki- bat langsung dari dorongan menjadikan keuntungan, dalam arti tangible, sebagai satu-satunya motif bis- nis. Apa yang disebut Window Dressing dalam ben- tuk manipulasi sistematis akuntantsi keungan yang dilakukan Lay dan kawan-kawan memperlihatkan dengan jelas kuatnya nafsu ekonomis itu. Mengapa harus tercengkram oleh the tryani of OR? Apakah suskses bisnis meniscayakan relasi kontradiktoris antara bisnis dan etika? Tatusro Toyoda, boss Toyota, memiliki sikap yang patut dicatat. Katanya: “Toyota menghindari elitisme dan kepemimpinan yang otoriter; kami menawarkan pengajaran langsung dalam ling- kungan yang demokratis”. Budaya bisnis Toyoda ini pasti berseberangan diametral dengan yang dikembangkan Ken Lay dalam mengelola Enron. Ken Lay seakan menjadi penguasa tunggal. Ia bisa dengan leluasa menerapkan kebijakan apa pun, termasuk memanipulasi akuntansi keuangan demi keuntungan jangka pendek. Akan tetapi, “Have you ever met anyone who lived a life of shortcuts, de- ception, and cheating who finished well?”, sindir John C. Maxwell. Tidak demikian halnya dengan Toyoda. Kampiun bisnis yang membawa bendera Toyota mengglobal ini justru mengembangkan budaya demokratis-ega- litarian dalam mengelola bisnisnya. Karyawan bukan alat untuk dieksploitasi demi uang; mereka adalah “pribadi-pribadi” yang harus dihargai dan diberi ruang untuk berkreasi dengan orientasi: melayani konsumen. Dengan demikian sukses ditempatkan tidak sebagai tujuan (langsung), melainkan sebagai konskuensi wajar dari sebuah porses dan budaya bisnis bermoral. Perlu Profesionalisme Kebangkrutan Enron dan sukses Toyota menegas- kan pentingnya profesionalisme dalam mengelola bisnis. Seperti halnya petenis porfesional yang ber- konsentrasi pada arah bola yang dilepaskan lawan ketimbang menatap lekat pada scoring board, pe- bisnis profesional seharusnya lebih memperhatikan proses daripada hasil. Di sini selain tuntutan teknis manajerial-operasional, seorang pebisnis profesio- nal harus mampu memberi tempat istimewa pada berkembangnya nilai yang menjadi identitas kultural sebuah bisnis. Toyota membuktikan bahwa suskes adalah konsekuensi wajar dari pengelolaan bisnis yang tidak abai terhadap etika. Syaratnya sederhana meskipun tidak mudah: pebisnis profesional harus mampu melepaskan diri dari konflik kepentingan dengan menempatkan kepentingan perusahaan dan kepentingan selu- ruh stakeholder melampaui kepentingan dirinya. Tantangannya terletak pada apakah ia mampu me- nempatkan intangible value (seperti reputasi atau nama baik, kehormatan diri, serta brand image positif perusahaan) melampuai tangible value (gaji dan berbagai insentif material lainnya) yang bisa didapatkannya dari perusahaan. Catatan terakhir itu penting karena seorang pro- fesional sejati pada galibnya berorientasi altruistik alias fokus pada kepentingan pihak yang dilayani . Dengan demikian, pemenuhan kepentingan dirinya, dalam arti apapun, hanyalah konsekuensi wajar dari sikap altruistik dalam menjalankan profesi. Good ethics, good business!*** Atmasphere In the short term, behaving ethically may look like a loss… However, in the long term, people always lose when they live without ethics – (John. C. Maxwell)

Upload: mac-margono

Post on 20-Feb-2017

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Atmasphere 25 April 2016

Good Ethics, Good Business

Andre Ata Ujan, Ph.D.Pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Unika Atma Jaya – Jakarta

Kenneth Lay, atau yang bisa dipanggil Ken Lay, pendiri Enron Corp, terbilang CEO yang luar-biasa smart. Di tangan Lay dan rekannya

Jeffrey Skilling, Enron yang semula hanya sebuah usaha kecil sebagai operator pipa gas itu, dalam waktu singkat, sekitar 10 tahun, berkembang menjadi perusahaan raksasa bertaraf internasional. Tetapi di tangan kedua orang itu pula Enron terpaksa gulung tikar pada 30 November 2001. Apa yang salah?

Lay kemudian oleh majalah bergengsi Times di-nobatkan sebagai The Top 10 Croocked CEOs (10 CEO paling bajingan). Mengapa? CEO yang terkenal begelimang kekayaan karena tak kurang dari 40 juta US Dollar setiap tahun mengalir ke kantong pribadi-nya ini ternyata menggunakan kecerdasannya untuk memanipulasi laporan kekuangan perusahaan demi keuntungan pribadi. Penipuan akuntansi dilakukan secara sistematis untuk menunjukkan performa po-sitif perusahaan, di satu pihak, serta memperkaya diri, di lain pihak. Enron pun lumpuh dan bersama-nya ikut terpuruk kurang lebih 2000 karyawan yang telah ikut bekerja keras membesarkan Enron.

Meskipun tak setali tiga uang, aroma moral tak sedap yang sama juga fenomenal di negri ini. Belakangan ini, misalnya, kita terus disuguhi berita tangkap tangan KPK. Presiden direktur sebuah per-usahaan besar terpaksa harus mengenakan rompi oranye KPK karena tertangkap tangan melakukan penyuapan terhadap pejabat publik demi memulus-kan bisnisnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan korporasi juga terkena imbas negatif dari perilaku koruptif pengelolanya. Dan tentu saja masih banyak perlaku koruptif lainnya. Mengapa terus berulang?

The Tyrany of “OR”Seakan menjadi credo bagi banyak pebisnis bahwa

bisnis tidak pernah bisa bersanding harmonis dengan etika. Pebisnis harus memilih: “Atau bisnis, atau etika”; keduanya memiliki nature tersendiri yang-tak-terdamaikan. Kekuatan dahsyat bernama the ty-rani of OR ini telah membuat pribadi seperti Ken Lay dan kawan-kawan harus berurusan dengan hukum. Bahkan jebakan the tryany of OR telah membuat perusahaan sebesar Enron gulung tikar dan sekaligus menghancurkan masa depan ribuan, bahkan jutaan, anak manusia yang bergantung padanya.

Titik pusat konsern etika dan bisnis memang tidak dengan sendirinya sama. Etika menekankan pentingnya intangible value (seperti: kepercayaan dan pengakuan publik terhadap bisnis, reputasi atau nama baik perusahaan, pentingya tanggung jawab sosial, kejujuran dan keadilan, serta trans-paransi dalam pengelolaan bisnis, dan lain-lain).

Sedangkan bisnis memusatkan perhatian pada pen-tingnya tangible value, yakni maksimisasi profit. Apakah keduanya kemudian harus berseberangan secara diametral? Tidak!

Kepercayaan dan pengakuan publik terhadap se-buah produk serta nama baik pengelola perusahaan dan reputasi perusahaan itu sendiri merupakan in-tangible values yang mampu menciptakan loyalitas konsumen. Dengan demikian, intangible values ikut berperan menciptakan pasar. Efek positif bagi perusahaan juga terjadi, misalnya, ketika karyawan mengalami dihargai sebagai pribadi-pribadi yang bermartabat dan bukan sekedar alat demi memper-lebar margin korporasi. Pengalaman di-manusia-kan akan membuat mereka terdorong menjadi lebih produktif. Dengan begitu, iklim moral yang dikem-bangkan dalam bisnis bukan sekedar berkontribusi meciptakan pasar, melainkan mampu secara efektif menjaga sustainability bisnis.

Tekanan the tyrany of OR sejatinya merupakan aki-bat langsung dari dorongan menjadikan keuntungan, dalam arti tangible, sebagai satu-satunya motif bis-nis. Apa yang disebut Window Dressing dalam ben-tuk manipulasi sistematis akuntantsi keungan yang dilakukan Lay dan kawan-kawan memperlihatkan dengan jelas kuatnya nafsu ekonomis itu. Mengapa harus tercengkram oleh the tryani of OR? Apakah suskses bisnis meniscayakan relasi kontradiktoris antara bisnis dan etika?

Tatusro Toyoda, boss Toyota, memiliki sikap yang patut dicatat. Katanya: “Toyota menghindari elitisme dan kepemimpinan yang otoriter; kami menawarkan pengajaran langsung dalam ling-kungan yang demokratis”. Budaya bisnis Toyoda ini pasti berseberangan diametral dengan yang

dikembangkan Ken Lay dalam mengelola Enron. Ken Lay seakan menjadi penguasa tunggal. Ia bisa dengan leluasa menerapkan kebijakan apa pun, termasuk memanipulasi akuntansi keuangan demi keuntungan jangka pendek. Akan tetapi, “Have you ever met anyone who lived a life of shortcuts, de-ception, and cheating who finished well?”, sindir John C. Maxwell.

Tidak demikian halnya dengan Toyoda. Kampiun bisnis yang membawa bendera Toyota mengglobal ini justru mengembangkan budaya demokratis-ega-litarian dalam mengelola bisnisnya. Karyawan bukan alat untuk dieksploitasi demi uang; mereka adalah “pribadi-pribadi” yang harus dihargai dan diberi ruang untuk berkreasi dengan orientasi: melayani konsumen. Dengan demikian sukses ditempatkan tidak sebagai tujuan (langsung), melainkan sebagai konskuensi wajar dari sebuah porses dan budaya bisnis bermoral.

Perlu ProfesionalismeKebangkrutan Enron dan sukses Toyota menegas-

kan pentingnya profesionalisme dalam mengelola bisnis. Seperti halnya petenis porfesional yang ber-konsentrasi pada arah bola yang dilepaskan lawan ketimbang menatap lekat pada scoring board, pe-bisnis profesional seharusnya lebih memperhatikan proses daripada hasil. Di sini selain tuntutan teknis manajerial-operasional, seorang pebisnis profesio-nal harus mampu memberi tempat istimewa pada berkembangnya nilai yang menjadi identitas kultural sebuah bisnis. Toyota membuktikan bahwa suskes adalah konsekuensi wajar dari pengelolaan bisnis yang tidak abai terhadap etika.

Syaratnya sederhana meskipun tidak mudah: pebisnis profesional harus mampu melepaskan diri dari konflik kepentingan dengan menempatkan kepentingan perusahaan dan kepentingan selu-ruh stakeholder melampaui kepentingan dirinya. Tantangannya terletak pada apakah ia mampu me-nempatkan intangible value (seperti reputasi atau nama baik, kehormatan diri, serta brand image positif perusahaan) melampuai tangible value (gaji dan berbagai insentif material lainnya) yang bisa didapatkannya dari perusahaan.

Catatan terakhir itu penting karena seorang pro-fesional sejati pada galibnya berorientasi altruistik alias fokus pada kepentingan pihak yang dilayani . Dengan demikian, pemenuhan kepentingan dirinya, dalam arti apapun, hanyalah konsekuensi wajar dari sikap altruistik dalam menjalankan profesi. Good ethics, good business!***

Atmasphere

In the short term, behaving ethically may look like a loss… However, in the long term, people always lose when

they live without ethics– (John. C. Maxwell)