asumsi rasionalitas dalam ekonomi islam

15
ASUMSI RASIONALITAS DALAM EKONOMI ISLAM (Oleh :Gusti Pelita Dewi) Mahasiswa Jurusan Syariah dan ekonomi Islam ( IAIN ) Bengkulu Abstrak Sekalipun jarang diungkapkan atau bahkan sengaja disembunyikan oleh buku-buku teks ekonomi konvensional, pada hakekatnya asumsi-asumsi tertentu telah berfungsi sebagai landasan bagi teori-teori mereka. Ketidakterusterangan dalam persoalan ini bisa saja dipicu oleh kepercayaan Barat bahwa apa yang menjadi nilai bagi mereka sebenarnya berlaku juga bagi masyarakat lain. Tokoh ekonom Barat yang paling egaliter semacam Gunnar Myrdal sekalipun masih menyimpan sikap etnosentris yang menganggap bahwa nilai-nilai yang menjadi pondasi kemajuan ekonomi Barat sebenarnya sangat asing bagi masyarakat Asia. Karena itulah perlu kiranya kita menjelaskan di sini bebarapa asumsi yang memiliki implikasi dalam aspek penawaran. Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral Islam sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian juga cara untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma moral Islam yang sellau menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu, semua barang dan jasa yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan kebutuhan riil dan sesuai dengan tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah). Dalam perspektif ini tidak dimungkinkan produksi barang yang tidak berguna secara syar’i. Kedua, rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang pertama. Jika ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic man yang selalu didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun, maka asumsi rasionalitas merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga dan pikirannya 1

Upload: boneeta-bfashion

Post on 23-Oct-2015

95 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

ASUMSI RASIONALITAS DALAM EKONOMI ISLAM

(Oleh :Gusti Pelita Dewi)

Mahasiswa Jurusan Syariah dan ekonomi Islam ( IAIN ) Bengkulu

Abstrak

Sekalipun jarang diungkapkan atau bahkan sengaja disembunyikan oleh

buku-buku teks ekonomi konvensional, pada hakekatnya asumsi-asumsi tertentu telah

berfungsi sebagai landasan bagi teori-teori mereka. Ketidakterusterangan dalam

persoalan ini bisa saja dipicu oleh kepercayaan Barat bahwa apa yang menjadi nilai

bagi mereka sebenarnya berlaku juga bagi masyarakat lain. Tokoh ekonom Barat

yang paling egaliter semacam Gunnar Myrdal sekalipun masih menyimpan sikap

etnosentris yang menganggap bahwa nilai-nilai yang menjadi pondasi kemajuan

ekonomi Barat sebenarnya sangat asing bagi masyarakat Asia. Karena itulah perlu

kiranya kita menjelaskan di sini bebarapa asumsi yang memiliki implikasi dalam

aspek penawaran.

Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral

Islam sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian

juga cara untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma

moral Islam yang sellau menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu,

semua barang dan jasa yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan

kebutuhan riil dan sesuai dengan tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah).

Dalam perspektif ini tidak dimungkinkan produksi barang yang tidak berguna secara

syar’i.

Kedua, rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang

pertama. Jika ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic

man yang selalu didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun,

maka asumsi rasionalitas merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya

dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga

dan pikirannya untuk memenuhi keinginannya dengan cara apapun, ia adalah

makhluk rasional. Ketika produsen berusaha memaksimalkan keuntungan an sich,

dengan mengabaikan tanggung jawab sosial, ia adalah makhluk rasional dan tidak

perlu dikhawatirkan. Begitu juga dengan konsumen yang ingin memaksimalkan nilai

1

guna (utility) ketika membeli suatu produk, maka ia berjalan pada jalur rasionalitas

dan hal itu secara ekonomi adalah baik.

Dalam perspektif ekonomi Islam, asumsi ini tetap menjadi acuan tetapi

dengan beberapa catatan dan tambahan. Adanya injeksi norma moral Islam akan

menjadi pelita bagi tiap-tiap agen ekonomi untuk bertindak rasional tetapi dalam

kerangka nilai-nilai Islam. Gaya hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam

memproduksi dan mengkonsumsi serta selalu memperhatikan batas halal dan haram

merupakan rambu-rambu yang akan memberikan teguran kepada Islamic.

Keyword : Asumsi, rasionalitas, ekonomi, islam

2

PEMBAHASAN

Yang dimaksud dengan asumsi rasionalitas adalah asumsi bahwa manusia

berperilaku secara rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat

keputusan yang akan menjadikan mereka lebih buruk.

A. Asumsi Rasionalitas

1. Jenis Rasionalitas Ada dua jenis rasionalitas

a. Self interest rationality (Rasionalitas Kepentingan Pribadi)

Prinsip pertama dalam ilmu ekonomi menurut Edgeworth, adalah bahwa

setiap pihak digerakkan hanya oleh self interest. Hal ini mungkin saja

benar pada masa-masa Edgeworth, tapi salah satu pencapaian dari teori

utilitas modern adalah pembebasan ilmu ekonomi dari prinsip pertama

yang meragukan tersebut.

 Self interest tidak harus selalu berarti memperbanyak kekayaan

seseorang dalam satuan rupiah tertentu. Kita berasumsi bahwa individu

mengejar berbagai tujuan, bukan hanya memperbanyak kekayaan secara

moneter. Dengan demikian self interest sekurang-kurangnya mencakup

tujuan-tujuan yang berhubungan dengan prestise, persahabatan, cinta,

kekuasaan, menolong sesama, penciptaan karya seni, dan banyak lagi.

Kita dapat juga mempertimbangkan self interestyang tercerahkan, di mana

individu-individu dalam rangka untuk mencapai sesuatu yang menjadikan

mereka lebih baik, pada saat yang sama membuat orang-orang di

sekelilingnya menjadi lebih baik pula.

b. Present-aim rationality

Teori utilitas modern yang aksiomatis tidak berasumsi bahwa manusia

bersikap mementingkan kepentingan pribadinya(self interested). Teori ini

hanya berasumsi bahwa manusia menyesuaikan preferensinya dengan

3

sejumlah aksioma: secara kasarnya preferensi-preferensi tersebut

harus konsisten. Individu-individu menyesuaikan dirinya dengan aksioma-

aksioma ini tanpa harus menjadi self interested.

2. Aksioma-Aksioma Pilihan Rasional

Terdapat tiga sifat dasar:

a. Kelengkapan (Completeness)

Jika individu dihadapkan pada dua situasi, A dan B, maka ia dapat selalu

menentukan secara pasti salah satu dari tiga kemungkinan berikut ini:

A lebih disukai daripada B

B lebih disukai daripada A

A dan B keduanya sama-sama disukai.

b.  Transitivitas (Transitivity)

Jika bagi seseorang "A lebih disukai dari pada B" dan "B lebih disukai

dari pada C", maka baginya "A harus lebih disukai dari pada C". Asumsi

ini menyatakan bahwa pilihan individu bersifat konsisten secara internal.

c. Kontinuitas (Continuity)

Jika bagi seseorang "A lebih disukai dari pada B",maka situasi-situasi

yang secara cocok "mendekati A", harus juga lebih disukai dari pada B.

3. Asumsi-Asumsi Lainnya Tentang Preferensi

a. Kemonotonan Yang Kuat (Strong Monotonicity

Bahwa lebih banyak berarti lebih baik. Biasanya kita tidak

memerlukan asumsi sekuat ini. Asumsi ini dapat diganti dengan yang

lebih lemah yakni Local Nonsatiation.

b. Local Nonsatiation

Asumsi ini menyatakan bahwa seseorang dapat selalu berbuat lebih

baik, sekecil apapun, bahkan bila ia hanya menikmati sedikit perubahan

saja dalam "keranjang konsumsinya".

4

c. Konveksitas Ketat (Strict Convexity)

Asumsi ini menyatakan bahwa seseorang lebih menyukai yang rata-

rata dari pada yang ekstrim, tapi selain dari pada makna ini, asumsi ini

memiliki muatan ekonomis yang kecil. Strict convexity merupakan

generalisasi dari asumsi neoklasik tentang "diminishing marginal rates of

substitution".

 

B. Perspektif Islam Tentang Asumsi Rasionalitas

1. Perluasan Konsep Rasionalitas (untuk Transitivitas)

Pertama-tama, kita berpendapat bahwa self interest rationality yang

diperkenalkan oleh Edgeworth adalah konsep yang lebih baik dalam artian

kita berasumsi bahwa individu mengejar banyak tujuan, bukan hanya

memperbanyak kekayaan secara moneter. Sayangnya konsep ini terlalu

longgar sehingga tindakan apapun dari seseorang dapat dijustifikasi sebagai

rasional hanya karena ia mengklaim bahwa tindakannya didorong oleh self

interest-nya.

Kedua, kita berpendapat bahwa teori modern tentang keputusan

rasional tidak disepakati secara universal. Versi yang berbeda memiliki

aksioma yang berbeda. Tapi kesemuanya sekurang-kurangnya menyepakati

aksioma transitivitas. Transitivitas adalah syarat minimal konsistensi; jika

konsistensi tidak mensyaratkan transitivitas, maka sesungguhnya ia tidak

mensyaratkan apapun. Sebenarnya tidak semua aksioma teori keputusan

rasional merupakan syarat dari konsistensi.

2.  Perluasan Spektrum Utilitas (untuk Strong Monotonicity & Local

Nonsatiation)

Dalam perspektif Islam, lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik.

Asumsi "lebih banyak lebih baik" hanya benar jika kita harus memilih antara

X halal dan Y halal. Tidak benar jika kita harus memilih antara X halal dan Y

5

haram, atau X haram dan Y halal, atau X haram dan Y haram. Nilai Islam

tentang halal dan haram membuat kita harus memperluas spektrum utilitas.

a. Melonggarkan Persyaratan Kontinuitas (untuk Kontinuitas)

Mari kita asumsikan bahwa permintaan Y haram dalam keadaan

darurat. Anda dapat membayangkan permintaan terhadap daging babi jika

tidak ada makanan lain yang tersedia. Permintaan terhadap babi ini bukan

merupakan permintaan yang kontinu, melainkan diskrit. Karena itu,

permintaannya adalah permintaan titik (point demand). Berapapun harga

daging babi pada saat itu, permintaannya Qp, yakni sejumlah tertentu

daging babi untuk memenuhi kebutuhan kelangsungan hidup. Untuk

rincian lebih lanjut, lihat Karim.

b. Perluasan Horison Waktu

Perspektif Islam tentang waktu tidak dibatasi hanya pada masa kini.

Islam memandang waktu sebagai horison. Karena itu, analisis statis

sebagaimana dikenal oleh ekonom-ekonom klasik tidak memadai untuk

menerangkan perilaku ekonomi dalam perspektif Islam.

Dalam perspektif Islam, waktu sangat penting dan sangat bernilai.

Nilai waktu tergantung pada bagaimana seseorang memanfaatkan

waktunya. Semakin produktif seseorang memanfaatkan waktunya,

semakin banyak nilai yang diperolehnya Bagi setiap orang, sehari adalah

24 jam, tapi nilai waktunya akan berbeda-beda. Tentu saja, kita dapat

mengukur nilai ini secara moneter.

Ide ini justru merupakan kebalikan dari konsep nilai waktu uang (time

value of money). Dalam Islam waktulah yang bernilai, sementara uang

tidak memiliki nilai waktu. Haruskah barang-barang di masa depan

didiskon? Ya. Ekonom secara khas mendiskon beragam barang-barang

yang dibeli dan dijual di pasar, yang disebut komoditas. Islam tidak

keberatan mengenai hal ini. Namun adalah benar pula bahwa kadangkala

6

ekonom melangkah lebih jauh dalam mendiskonto. Mereka mendiskonto

ketika seharusnya mereka tidak melakukannya.

c. Komoditas yang seharusnya tidak didiskon

Keberatan pertama bukan ditujukan kepada teori metode harga pasar,

tetapi ditujukan pada cara-cara penerapan metode tersebut dalam praktek.

Menurut teori tersebut, setiap komoditi seharusnya didiskon pada tingkat

diskonto masing-masing komoditasnya. Tetapi dalam prakteknya semua

komoditas secara umum dikumpulkan kemudian didiskon pada tingkat

yang sama. Biasanya, semua komoditas didiskon pada tingkat yang

disebut sebagai tingkat bunga "riil", yang merupakan rerata tertimbang

dari masing-masing tingkat bunga dari berbagai komoditas (weighted

average of the own interest rates of various commodities).

Pikirkanlah tentang sumber daya langka yang tidak dapat

direproduksi, yang sama sekali tidak dapat diproduksi. Sumber daya

langka tidak dapat diubah menjadi sumber daya masa depan dalam jumlah

yang lebih besar, dan karenanya sumber-sumber daya ini memiliki tingkat

diskon tersendiri sebesar 0 atau sekitarnya. Ekonom lainnya, Derek

Parfits, yakin bahwa kesejahteraan seharusnya tidak didiskon. John

Broome berkesimpulan bahwa penyelamatan jiwa juga seharusnya tidak

didiskon.

Keberatan kedua adalah bahwa pada banyak proyek, sebagian besar

dari pihak yang berkepentingan tidak terwakili dalam pasar. Banyak

proyek yang akan berdampak pada generasi mendatang pada abad-abad

atau milenium ke depan. Ahli-ahli ekonomi menganjurkan beberapa

komoditas yang seharusnya tidak didiskon. Uang bukanlah komoditas.

Lalu apa yang dapat kita katakan bila uang didiskon?

Time value of money mengatakan bahwa $1 hari ini mempunyai nilai

yang lebih besar dari pada $1 besok karena $1 hari ini dapat

diinvestasikan untuk mendapatkan return yang positif. Di sinilah letak

7

kesalahannya. Investasi selalu memiliki dua kemungkinan: untung atau

rugi. Karenanya return dapat saja positif, dapat pula negatif. Maka

mengapa rumusnya menjadi FV = PV (1 + r)n ? Bukankah ini hanya

merupakan bentuk lain dari rumus pertumbuhan penduduk Pt = Po (1 +

g)t yang diadopsi ke dalam ilmu ekonomi?

 

 

8

Kesimpulan

Yang dimaksud dengan asumsi rasionalitas adalah asumsi bahwa manusia

berperilaku secara rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat

keputusan yang akan menjadikan mereka lebih buruk.

Jenis Rasionalitas Ada dua jenis rasionalitas

d. Self interest rationality (Rasionalitas Kepentingan Pribadi)

e. Present-aim rationality

Dalam perspektif Islam, lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik.

Asumsi "lebih banyak lebih baik" hanya benar jika kita harus memilih antara X

halal dan Y halal. Tidak benar jika kita harus memilih antara X halal dan Y

haram, atau X haram dan Y halal, atau X haram dan Y haram. Nilai Islam tentang

halal dan haram membuat kita harus memperluas spektrum utilitas.

9

DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A Karim, Ir. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : PT. Raja Frafindo Persada. 2007

Monzer Khaf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Penerjemah  Machnun Husein (yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995)

Joachim Wach, Sociology of Religion (The University of Chicago Press, 1948)

Masyhuri, Teori Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta, Kreasi Wacana,2005

AM.Saefudin, Filsafat, Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Fungsionalisasi Konsep Ekonomi Islam, JKTTI-No. 1-I/Des 1997-Feb 1998

Nasution dkk, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2007

Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Surabaya, Risalah Gusti, 1999

http://ichsan231.wordpress.com/2007/05/14/asumsi-rasionalitas/

http://rindaasytuti.wordpress.com/2010/06/29/agama-dan-rasionalitas-ekonomi/

10