asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit pada an.a

91
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A DIRUANG MELATI 3A3 RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan Disusun Oleh : Ferina Nuriasih A01301751 SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN 2016

Upload: others

Post on 11-Sep-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN

ELEKTROLIT PADA An.A DIRUANG MELATI 3A3

RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif

Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan

Disusun Oleh :

Ferina Nuriasih

A01301751

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

GOMBONG

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

2016

Page 2: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 3: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 4: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

iv

Program Studi DIII Keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong

KTI, Agustus 2016

Ferina Nuriasih1,Nurlaila

2,M.Kep.Ns

ABSTRAK

ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN

ELEKTROLIT PADA An.A DI RUANG MELATI 3A3

RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN

Latar belakang. Penyakit DBD di Indonesia telah menjadi masalah kesehatan

masyarakat sejak 30 tahun terakhir. Penyakit demam dengue ini dapat

menimbulkan gejala klinis yaitu mual muntah yang dapat menyebabkan terjadinya

kekurangan volume cairan. Presentasi cairan pada bayi jauh lebih banyak

dibanding dengan orang dewasa oleh karena itu bayi lebih beresiko tinggi

mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Tujuan umum penulisan. Mendeskripsikan asuhan keperawatan pemenuhan

kebutuhan cairan dan elektrolit pada An.A di ruang Melati RSUD Dr Soedirman

Kebumen.

Asuhan keperawatan. Diagnosa keperawatan utama yang muncul yaitu defisit

volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (mual, muntah).

Implementasi keperawatan yang telah dilakukan diantaranya yaitu menganjurkan

keluarga untuk memberikan banyak minum, memantau tanda gejala dehidrasi,

melakukan pengukuran vital sign, mengobservasi muntah dan BAK , pemberian

cairan IV RL 500ml (30tpm), menimbang popok dan berat badan, memonitor

asupan dan pengeluaran. Hasil evaluasi diagnosa defisit volume cairan

berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (mual, muntah) teratasi.

Analisa tindakan. Pemberian cairan golongan kristaloid (RL, RA) sangat efektif

untuk menangani resusitasi cairan pada penyakit DBD.

Kata kunci: elektrolit, cairan, asuhan keperawatan

Page 5: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

v

Nursing Studies Programe DIII

College of Health Sciences Muhammadiyah Gombong

KTI, August 2016

Ferina Nuriasih1, Nurlaila

2, M.Kep,Ns

ABSTRACT

NURSING CARE OF “A” THE CHILD PATIENT WITH FLUIDS AND

ELECTROLYTE NEED AT MELATI WORD ROOM 3A3

RSUD Dr SOEDIRMAN STATE HOSPITAL OF KEBUMEN

Background. DHF in Indonesia has become a public health problem since last 30

years. Dengue fever can cause clinical symptoms are nausea and vomiting that can

lead to lack of fluid volume. Presentation of fluid in the baby much more than

adults because the baby is at high risk of fluid and electrolyte balance disorders.

The general objective of writing. Describing nursing care meeting the needs of

fluid and electrolytes to An.A in Melati room RSUD Dr Soedirman Kebumen

hospital.

Nursing care. The main nursing diagnoses that arise are fluid volume deficit

associated with loss of active liquid (nausea, vomiting). Implementation of

nursing has been done among which encourage families to give a lot of drinking,

wathcing the signs of dehydration symptoms, measurements of vital signs,

observe vomiting and urinating, RL 500ml IV fluid administration (30tpm),

weighing diapers and weight, observe your intake and expenditure. The results of

diagnostic evaluation of fluid volume deficit associated with loss of active liquid

(nausea, vomiting) resolved.

Analysis of the action. Crystalloid fluid administration group (RL, RA) is very

effective for dealing with fluid resuscitation in dengue disease.

Keywords. electrolyte, fluid, nursing care

Page 6: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatulahi wabarakatuh

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah S.W.T yang telah

melimpahkan rahmat serta hidayahnya ,sehingga penulis dapat menyelesaikan

laporan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pemenuhan

Kebutuhan Cairan Pada An.A Diruang Melati 3A3 RSUD Dr Soedirman

Kebumen”. Adapun maksud penulis membuat laporan ini adalah untuk

melaporkan hasil Karya Tulis Ilmiah dalam rangka ujian tahap akhir jenjang

pendidikan DIII Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong.

Terwujudnya Karya Tulis Ilmiah ini tidak lepas atas bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan yang baik ini penulis

menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat :

1. Alloh SWT yang telah memberikan nikmat iman dan nikmat sehat kepada

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan lancar

2. Bapak Madkhan Anis, S.Kep.Ns selaku Ketua STIKes Muhammadiyah

Gombong yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti pendidikan keperawatan

3. Bapak Sawiji Amani, S.Kep.Ns, M.Sc selaku Ketua Program Studi DII

Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah mendidik

penulis dengan baik

4. Ibu Nurlaila, S.Kep,Ns, M.Kep selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah

ini yang telah memberikan banyak motivasi dan bimbingan kepada

penulis

5. Kedua Orang tua, Bapak Sahro dan Ibu Marilah yang telah memberikan

kasih sayang, semangat, motivasi, materil serta doa kepada penulis

sehingga membantu menyelesaikan tugas ini dengan lancar

6. Tim penguji Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan saran dan arahan

7. Ibu Rini Amborowati, S.Kep,Ns selaku pembimbing klinik selama ujian

komprehensif yang dengan sabar membimbing dan memberikan anyak

masukan kepada penulis

Page 7: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

vii

8. Segenap dosen dan staff STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah

berkenan memberikan bimbingan dan arahan materi selama penulis

menempuh pendidikan

9. Segenap Keluarga besar Bapak Trimo Rejo dan Bapak Sahro yang telah

memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis

10. Teman-teman seperjuangan kelas 3A khususnya Anggun K, Anis L,

Annisa S, Fitroh A, dan sahabat dekat penulis R.A yang telah

memberikan banyak semangat dan doa kepada penulis

11. Serta tidak lupa kepada An.A dan keluarga yang telah mau bekerjasama

dengan penulis sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan

Semoga Alloh SWT senantiasa melipahkan rahmat serta hidayahNya kepada

kita semua, amin. Besar harapan penulis, semoga laporan Karya Tulis Ilmiah ini

dapat memberikan banyak manfaat bagi penulis dan rekan-rekan pembaca semua.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarrokatuh

Gombong, 2 Agustus 2016

Penulis

Page 8: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii

ABSTRAK ....................................................................................................... iv

ABSTRACT ..................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Tujuan Penulisan .................................................................................. 4

C. Manfaat Penulisan ................................................................................ 5

BAB II KONSEP DASAR

A. Konsep Dasar Cairan dan Elektrolit ..................................................... 6

1. Pengertian Cairan dan Elektrolit .................................................... 6

2. Fungsi Cairan Tubuh ...................................................................... 7

3. Fisiologis Kekurangan Volume Cairan .......................................... 7

4. Tanda Gejala Kekurangan Volume Cairan .................................... 7

5. Dehidrasi ........................................................................................ 8

6. Cara Pemenuhan Kebutuhan Cairan dan Elektrolit ....................... 10

7. Faktor Keseimbangan Cairan ......................................................... 12

B. Konsep Dasar Cairan Intravena ........................................................... 14

1. Pengertian Cairan Intravena ........................................................... 14

2. Tujuan Pemberian Cairan Intravena .............................................. 14

3. Keadaan-keadaan yang Memerlukan Cairan IV ............................ 14

4. Penatalaksanaan Pemberian Cairan IV pada DBD ........................ 15

5. Menghitung Tetesan Infus.............................................................. 17

BAB III RESUME ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian ............................................................................................ 19

B. Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan ............................................ 21

C. Intervensi, Implementasi dan Evaluasi ................................................ 22

BAB IV PEMBAHASAN

A. Asuhan Keperawatan ........................................................................... 32

1. Defisit Volume Cairan ................................................................... 32

2. Hipertermia .................................................................................... 35

3. Defisiensi pengetahuan .................................................................. 38

4. Resiko perdarahan .......................................................................... 41

B. Analisa Inovasi Tindakan Keperawatan............................................... 43

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 48

B. Saran ..................................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 9: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Lembar Konsultasi

Lampiran 2 : Jurnal Penelitian

Lampiran 3 : Laporan Asuhan Keperawatan

Lampiran 4 : Laporan Pendahuluan

Lampiran 5 : Satuan Acara Penyuluhan

Lampiran 6 : Lembar Balik

Lampiran 7 : Lembar Leaflet

Page 10: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hidayati (2009) mengemukakan bahwa masalah kesehatan anak

merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini

terjadi di negara Indonesia. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat

kesehatan bangsa, sebab anak adalah generasi penerus bangsa yang

memiliki kemampuan untuk dikembangkan dalam meneruskan

pembangunan bangsa. Berdasarkan alasan tersebut maka masalah

kesehatan anak di prioritaskan didalam perencanaan atau penataan

pembangunan bangsa.

Faktor yang sering mempengaruhi anak mengalami sakit adalah

wilayah tropis, dimana wilayah tropis di Indonesia memang baik bagi

kuman untuk berkembang biak contohnya demam (Damayanti, 2008).

Penyakit ini biasanya semakin mewabah saat musim peralihan. Terjadinya

perubahan cuaca tersebut dapat mempengaruhi perubahan kondisi

kesehatan anak. Kondisi anak dari sehat menjadi sakit yang

mengakibatkan tubuh bereaksi untuk meningkatkan suhu yang disebut

dengan demam. Ada beberapa penyakit menular di Indonesia yang

disebabkan virus, salah satu diantaranya yaitu dengue (Soedarto,2009)

Menurut WHO (2008) demam berdarah dengue (DBD/Dengue

heaemoragic fever) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan

didaerah tropis dan subtropis, terutama didaerah perkotaan. DBD

merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi. DBD

ditemukan pertama kali pada tahun 1950 di Filipina dan Thailand. DBD

saat ini sudah dapat ditemukan disebagian besar negara di Asia. Sudah

beberapa tahun ini jumlah negara yang mengalami wabah DBD ini

meningkat empat kali lipat, dan sebagian besar kasus menyerang pada

Page 11: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

2

anak-anak. Angka fatalitas kasus DBD mecapai lebih dari 20%, namun

dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1% .

Di Indonesia, penyakit DBD telah menjadi masalah kesehatan

masyarakat sejak 30 tahun terakhir. Pada saat ini kasus penyakit DBD

sudah dapat ditemukan di seluruh Propinsi di Indonesia dan 200 kota telah

melaporkan kasus kejadian luar biasa (KLB) penyakit DBD (DepKes RI ,

2008). Jumlah kasus penyakit DBD pada tahun 2014 tercatat penderita

DBD di 34 Propinsi di Indonesia mencapai 7.668 kasus, dan 641 orang

diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut rendah dibandingkan dengan

tahun sebelumnya yaitu sebanyak 112.511 kasus, dengan sebanyak 871

orang meninggal dunia (KemenKes RI, 2015). Penyakit demam dengue ini

dapat menimbulkan tanda dan gejala klinis diantaranya seperti mual dan

muntah yang dapat menyebabkan terjadinya kekurangan volume cairan

(Suriadi dan Yuliani, 2010)

Potter dan Perry (2006) menyatakan bahwa kekurangan volume cairan

akan terjadi saat air dan elektrolit yang hilang berada didalam proposi

isotonik. Kadar elektrolit didalam serum tetap dan tidak berubah, kecuali

apabila terjadi ketidakseimbangan lain. Pasien yang mengalami

kekurangan volume cairan ini biasanya adalah pasien yang mengalami

kehilangan cairan dan elektrolit melalui gastrointestinal, misalnya akibat

muntah, penghisap lambung, diare ataupun fistula.

Tarwoto dan Wartonah (2006) menyatakan bahwa cairan dan elektrolit

merupakan kebutuhan hidup kedua setelah udara. Tubuh dikatakan

seimbang apabila jumlah keseluruhan dari air didalam tubuh dalam

keadaan normal dan relatif konstan. jika seseorang kehilangan cairan

dalam jumlah yang cukup besar, maka akan terjadi kelainan pada fungsi

fisiologis yang cukup serius. Perlunya mempertahankan jumlah cairan

didalam tubuh secara konstan yaitu karena cairan mempunyai banyak

peran penting didalam tubuh. Cairan itu sendiri merupakan zat pelarut

utama bagi tubuh, salah satunya melarutkan zat kimia didalam tubuh.

Page 12: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

3

Dalam hal ini menunjukan bahwa kebutuhan cairan dan elektrolit

merupakan salah satu proses dinamik dalam tubuh, karena metabolisme

tubuh membutuhkan perubahan yang tetap berespon terhadap stressor

fisiologis dan lingkungan.

Pada bayi cairan total tubuh yaitu 80% dari berat badan, dan pada usia

3 tahun cairan total tubuh menjadi 65% dari berat badan (Mubarak,

Chayatin 2009). Pada bayi dan anak kecil memiliki kebutuhan cairan yang

lebih besar sehingga bayi dan anak lebih rentan terhadap perubahan

keseimbangan cairan serta elektrolit. Gangguan keseimbangan dan

elektrolit akan terjadi lebih sering dan lebih cepat, dan pada saat itu pasien

anak-anak kurang cepat untuk menyesuaikan diri mereka dengan

perubahan ini (Tarwoto dan Wartonah, 2006).

Presentasi cairan tubuh pada bayi jauh lebih banyak dibanding

presentasi cairan tubuh pada orang dewasa. Sebagian besar dari cairan

tubuh bayi adalah cairan ekstrasel (CES), sehingga bayi beresiko tinggi

terhadap kekurangan volume cairan karena CES lebih mudah hilang

dibanding cairan intrasel (CIS). Di samping itu, fungsi ginjal pada bayi

belum matur, sehingga dapat menyebabkan bayi dan anak-anak lebih

beresiko terhadap perubahan kadar cairan dan elektrolit (Rosdahl dan

Kowalski, 2014). Pada saat lahir fungsi ginjal bayi sebanding dengan

30%-50% dari kapasitas orang dewasa dan belum cukup matur untuk

memekatkan urin. Pada bayi semua struktur ginjal sudah ada tetapi

kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan urin dan mengatur kondisi

cairan serta fluktuasi elektrolit belum maksimal (Wong, 2008). Dua dan

tiga tahun pertama merupakan masa periode emas bagi perkembangan

anak secara optimal, untuk mencapai proses tumbuh kembang yang

optimal pada anak, maka yang perlu diperhatikan yaitu tidak hanya aspek

nutrisi, namun kebutuhan cairan tubuhnya juga perlu diperhatikan guna

menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit (Setiawan, 2013)

Page 13: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

4

Kekurangan volume cairan dan elektrolit dalam jumlah yang banyak

dapat menyebabkan terjadinya penurunan volume, tekanan darah, nadi

cepat dan kecil, peningkatan denyut jantung, penurunan kesadaran dan

diakhiri dengan syok, berat badan menurun, turgor kulit menurun, mata

dan ubun-ubun cekung, selaput lendir dan mulut serta kulit menjadi kering

dan penanganan kasus DHF yang terlambat akan mengakibatkan Dengue

Syok Sindrom (DSS) yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini

dikarenakan penderita mengalami defisit volume cairan akibat dari

meningkatnya permeabilitas dari kapiler pembuluh darah sehingga

seseorang yang menderita DHF mengalami syok hipovolemik dan

akhirnya meninggal (Ngastiyah,2010).

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis

tertarik menyusun karya tulis ilmiah “Asuhan Keperawatan Pemenuhan

Kebutuhan Cairan Dan Elektrolit Pada An.A Di Ruang Melati 3A3 RSUD

Dr Soedirman Kebumen”.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mendeskripsikan asuhan keperawatan dengan pemenuhan

kebutuhan cairan dan elektrolit pada An.A di Ruang Melati 3A3

RSUD Dr Soedirman Kebumen.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan hasil pengkajian keperawatan pada An.A dengan

masalah pemenuhan kebutuhan caiaran dan elektrolit di Ruang

Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.

b. Mendeskripsikan hasil diagnosa keperawatan yang muncul pada

An.A dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang

Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.

c. Mendeskripsikan intervensi keperawatan pada An.A dengan

masalah pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang

Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.

Page 14: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

5

d. Mendeskripsikan implementasi keperawatan pada An.A dengan

masalah pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang

Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.

e. Mendeskripsikan evaluasi keperawatan pada An.A dengan masalah

pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD

Dr Soedirman Kebumen.

f. Mendeskripsikan hasil analisa tindakan pada An.A dengan masalah

pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD

Dr Soedirman Kebumen.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat untuk rumah sakit

Agar dapat digunakan sebagai bahan masukan dan evaluasi guna

meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pada pasien dengan

pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di RSUD Dr Soedirman.

2. Manfaat untuk institusi

Agar dapat menjadi wacana dan bahan masukan yang baru dalam

proses belajar mengajar terhadap pemberian asuhan keperawatan pada

klien dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit.

3. Manfaat untuk penulis

Untuk menambah dan memperluas wawasan pengetahuan serta

pemahaman yang lebih mengenai pemenuhan kebutuhan cairan dan

elektrolit juga sebagai prasyarat kelulusan program studi DIII

Keperawatan.

Page 15: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

DAFTAR PUSTAKA

A. Potter Patricia, G. Perry Anne. (2010). Clinical Nursing Skill & Technique.

Canada:ISBN

Anonim. (2006). Ringer Asetat Mencegah Hipotermia Perioperatif Sectio.

Majalah Farmacia, 5(9): 34.

Aris Setiawan, dkk. (2009). Fisiologi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa

Kebidanan. Jakarta: TIM

Bulecheck G, Butcher H, Dochterman J, Wagner C. (2016). Nursing Interventions

Classification (NIC), 6th Indonesian edition. Indonesia: ISBN

Bridget AW, Nguyen M, Ha Loan, Dong TH, Tran TN, Thuy MD. (2005).

Comparison of three fluid solution for resusitation in Dengue Shock

Syndrom. N Engl J Med;353;877-89

Carolin Brunker, R., Mary, T., Kowalski. (2014). Buku Ajar Keperawatan Dasar

VOL 10, Edisi 1. Jakarta : EGC

Chen K, Herdiman TP, Robert S. (2009). Diagnosis dan Terapi Cairan pada

Demam Berdarah Dengue. Medicinus, 22(1): 3–7.

Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Edisi revisi 3. Jakarta :

EGC

Damayanti. (2008). Psikologi Kesehatan Depok. Jakarta: EGC

Darmawan. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Tata Laksana Demam

Berdarah Dengue.

http://www.depkes.go.id/download/Tata%20Laksana%20DBD.pdf

Hartoyo Edi. (2008). Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Sari

pediatri, vol. 10, No. 3

Citraresmi, E., Rezeki, S., H, Arwin AP Akib. (2007). Diagnosis dan Tata

Laksana Demam Berdarah Dengue pada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di

Enam Rumah Sakit di Jakarta. Sari pediatri, vol. 8, No 3 (Suplemen)

Herdman, T. H. (2014). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi

2012/2014. Jakarta : EGC

Page 16: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Hidayat Alimul, A. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis

Data. Jakarta : Salemba Medika

Hidayat, A. A., Musrifatul Uliyah. (2014). Buku Saku Praktikum Kebutuhan

Dasar Manusia. Jakarta : EGC

Hidayati, A. A. (2009). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan

Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Indrawati E. (2012). Demam Berdarah Dengue. Warta RSUD, Th. VI, No 11, 7–

9.

Lestari K. (2007). Epidemiologi dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue

(DBD) di Indonesia. Farmaka, 5(3): 12–29. Fokus

Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kedokteran Media Aesculaapius. Jakarta :

EGC

Mc Closkey et al. (2006). Nursing Intervention Classification. USA : Mosby

Mubarak, W.I., Chayatin, N. (2007). Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori dan

Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.

Karyanti Mulya R., Satari Hindra I., Sjarif Damayanti R. (2005). The effect of

Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in

dengue hemorrhagic fever. Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No 3-4

M. ikhwan, S. (2013). Pentingnya Cairan dan Ion Tubuh bagi Anak : Stiviora

Tjang (Edelman Indonesia)

Ngastiyah. (2010). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Potter & perry. (2006). Fundamental of nursing : Concepts, Process and Practice,

7th

Edition 4, Vol 1 . Jakarta: EGC.

Price Silvia A, M. Wilson. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit. Jakarta: EGC.

Soedarto. (2009). Penyakit Menular Di Indonesia. Jakarta: ISBN

Soegijanto S. (2006). Demam Berdarah Dengue, Edisi 2. Surabaya, Airlangga

University Press.

Sudoyo, dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Page 17: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Suriadi, Yuliani. R. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: ISBN 979-

95115-42

Syaifudin. (2006). Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi

2. Jakarta: Salemba Medika

Tarwoto, Wartonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.

Jakarta: Salemba

Wong, Dona L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Edisi 6. Jakarta: EGC

Wongkar, m. F. (2015). Ketrampilan Perawatan Gawat Darurat dan Medikal

Bedah. yogyakarta: gosyen publishing.

World Health Oraganization. (2008). Dengue and Dengue Fever.

http://www.who.int/mediacenter/factsheest/fs117/en/

Page 18: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 19: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 20: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

8

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007: 8 - 14

Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah DengueDiagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah DengueDiagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah DengueDiagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah DengueDiagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah Denguepada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumahpada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumahpada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumahpada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumahpada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam RumahSakit di JakartaSakit di JakartaSakit di JakartaSakit di JakartaSakit di Jakarta

Endah Citraresmi, Sri Rezeki Hadinegoro, Arwin AP Akib

Infeksi virus dengue memiliki karakteristikterjadinya kejadian luar biasa (KLB) atauepidemi secara periodik.1,2 Dalam kurun waktu

lebih dari 30 tahun terdapat limakali KLB demam

Latar belakang. Latar belakang. Latar belakang. Latar belakang. Latar belakang. Pada kejadian luar biasa (KLB) DBD pada tahun 2004 di Jakarta,pasien memenuhi berbagai rumah sakit sampai tak tertampung dan dirawat di koridor.Kejadian luar biasa menyebabkan jumlah kasus berat bertambah, namun sangat mungkinterjadi overdiagnosis.Tujuan.Tujuan.Tujuan.Tujuan.Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kriteria diagnosis dan tata laksanaDBD menurut kriteria WHO 1997.Metoda.Metoda.Metoda.Metoda.Metoda. Data diambil secara retrospektif dari catatan rekam medis semua pasien usia0-15 tahun dengan diagnosis demam dengue/demam berdarah dengue (DD/DBD) yangdirawat di enam rumah sakit di Jakarta selama KLB 2004.Hasil.Hasil.Hasil.Hasil.Hasil. Terdapat 1494 anak memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari DD 241 (16,1%),DBD tanpa syok 1051 (70,4%) dan DBD syok 202 (13,5%); 19 pasien meninggal(1,5% kasus DBD). Rerata jumlah cairan yang diberikan selama perawatan pada pasienDD, DBD tanpa syok dan DBD syok berturut-turut 83,0, 78,4 dan 79,4 ml/kg/hari.Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok 25,6 ml/kg dan rerata lama syok teratasi88,3 menit, melebihi waktu 1 jam yang direkomendasikan. Cairan koloid digunakanpada 1,9% pasien DBD tanpa syok dan 70,3% pasien DBD syok sementara transfusidarah diberikan pada 7,6% pasien. Penggunaan antibiotik mencapai 59,9% pasien, dandijumpai pemberian beberapa obat yang belum dibuktikan manfaatnya pada pengobatanDBD. Penilaian ulang diagnosis menggunakan kriteria DBD WHO 1997 mendapatkanhanya 19,1% pasien DBD tanpa syok yang memenuhi kriteria tersebut, sedangkan padapasien DBD syok 99,0%. Penghitungan ulang CFR menggunakan jumlah kasus DBDberdasarkan kriteria tersebut menghasilkan peningkatan CFR menjadi 4,9%.Kesimpulan.Kesimpulan.Kesimpulan.Kesimpulan.Kesimpulan. Terdapat overdiagnosis dan tata laksana yang kurang optimal dalammengatasi syok serta pemberian obat-obatan yang tidak tepat pada KLB DBD tahun2004. Sedikitnya jumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria WHO 1997 menyebabkanpeningkatan CFR.

Kata kunci: demam berdarah dengue, kejadian luar biasa, kriteria diagnosis WHO 1997, CFR.

Alamat korespondensi:Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp A(K). Divisi Infeksi dan PenyakitTropis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia, Jl. Salemba no. 6 Jakarta 10430. Tel. 391 4126. Fax. 3907743.

Dr. Endah Citraresmi PPDS Departemen Ilmu Kesehatan anak FKUI-RSCM email : [email protected]

Page 21: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

9

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007

berdarah dengue (DBD) di Indonesia yang cukupbermakna, yaitu pada tahun 1973, 1983, 1988, 1998,dan 2004.3 Kejadian luar biasa pada tahun 2004 terjadidi 12 propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus59.321 kasus dan kematian 669 orang (case fatalityrate 1,1%).4 Pada KLB tahun 2004 dilaporkan bahwapasien DBD di Jakarta memenuhi berbagai rumahsakit sampai tak tertampung dan harus dirawat dikoridor rumah sakit dengan tempat tidur tambahan.5

Adanya KLB akan menyebabkan jumlah kasus beratbertambah, namun sangat mungkin pula terjadioverdiagnosis. Untuk menghindari overdiagnosis tersebutdapat digunakan kriteria diagnosis secara klinis danlaboratorium dengan menggunakan kriteria WHOtahun 1997.6 Oleh karena itu, dalam menghadapi KLBDBD, diperlukan peningkatan kewaspadaan darisegenap petugas kesehatan baik di tingkat puskesmas,dokter praktek perseorangan dan rumah sakit. Untukmemberikan gambaran KLB-DBD maka diperlukandiketahui data karakteristik demografi, klinis, laboratorisserta tata laksana KLB DBD untuk dapat menjadi acuandalam perbaikan perencanaan menghadapi KLB DBDdi masa datang.

Metoda

Penelitian ini adalah suatu studi deskriptif seksi silangdengan pengambilan data secara retrospektif darirekaman medik, dilakukan pada semua pasien usia 0-15 tahun yang didiagnosis demam dengue (DD) dandemam berdarah dengue (DBD) yang dirawat diRSUP dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati,RSU Pasar Rebo, RSUD Koja, RSAB Harapan Kita

dan RSU Sumber Waras Jakarta pada periode KLBDBD 1 Januari sampai 31 Mei 2004. Data dari catatanrekam medik ditelaah mengenai karakteristikdemografi, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang,diagnosis, tata laksana (cairan, transfusi, dan obat-obatan), serta outcome pasien. Diagnosis pulangmenurut dokter yang merawat disesuaikan dengankriteria definisi kasus menurut WHO 1997 dandilakukan penghitungan ulang case fatality rate sesuaijumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria tersebut.Data diolah dengan menggunakan program SPSS versi13.0.

Hasil

Pada KLB-DBD 2004 di dapatkan 1818 kasus DD/DBD usia 0-15 tahun yang tercatat di enam rumahsakit, 1494 (82,2%) subyek di antaranya mempunyaicatatan rekam medis lengkap dan memenuhi kriteria.Rerata usia pasien pada penelitian ini (6,4±3,8) tahun,median 6,0 tahun, modus 4,0 tahun, dengan rentangusia 1 bulan sampai 15 tahun 11 bulan (Tabel 1).

Pasien DD dan DBD sebagian besar memilikistatus gizi baik, 1,4% pasien DBD di antaranyamemiliki status gizi buruk. Rerata lama perawatantersingkat didapatkan pada kelompok DD (3,3 hari);rerata lama perawatan pada pasien DBD 4,4 hari (4,3hari DBD tanpa syok dan 5,2 hari DBD syok) denganrentang lama perawatan 1 sampai 18 hari.

Kelompok usia terbanyak adalah 1-5 tahun (49,4%pada pasien DD dan 38,9% pada pasien DBD) diikutikelompok usia 6-10 tahun (33,6% pada pasien DDdan 37,8% pada pasien DBD). Terdapat 66 (4,4%)

Tabel 1. Karakteristik demografi pasien DD/DBD di enam rumah sakit saat KLB2004

Parameter DD DBD Total

Jumlah pasien [n(%)] 241 (16,1) 1253 (83,9) 1494 (100)Usia (rerata ± SB, tahun) 5,6±3,7 6,5±3,8 6,4±3,8Rasio laki-laki : perempuan 1,29:1 1,07:1 1,11:1Status gizi [n (%)]

− gizi lebih 64 (26,6) 363(29,0) 427 (28,6)− gizi baik 119 (49,4) 530 (42,3) 649 (43,4)− gizi kurang 54 (22,4) 343(27,4) 397 (26,6)− gizi buruk 4 (1,7) 17 (1,4) 21 (1,4)

Lama perawatan (rerata ± SB, hari) 3,3±1,4 4,4±1,9 4,2±1,86

Page 22: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

10

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007

pasien berusia di bawah 1 tahun, masing-masing padaDD, DBD dan DSS yaitu 10,50 dan 6 pasien.

Rerata lama demam di rumah 3,5 hari denganmodus 4 hari. Pada fase demam, pasien DD dan DBDmemiliki keluhan/gejala penyerta. Pasien DDmenunjukkan keluhan batuk dan pilek denganproporsi yang lebih banyak dibandingkan pada pasienDBD dengan/tanpa syok (p=0,000). Proporsimuntah, nyeri perut, kejang, penurunan kesadaran,dan hepatomegali lebih banyak pada DBD syokdibandingkan kedua kelompok lainnya (p=0,000).Manifestasi klinis dan laboratoris pada pasien DD/DBD tertera pada Tabel 2.

Terdapat 497 (33,3%) pasien mengalami per-darahan spontan, terbanyak adalah petekie (19,3%)dan epistaksis (8,9%). Hematemesis dan melena lebihbanyak dijumpai pada kelompok DBD syok, masing-masing 39,3% dan 18,4% dibandingkan DBD tanpasyok 1,9% dan 1,3%. Diantara 997 pasien yang tidakmemiliki manifestasi perdarahan spontan, 429(43,0%) pasien dilakukan uji bendung dengan hasilpositif pada 236 (23,7%) pasien. Pasien DBD tanpadan dengan syok memiliki proporsi uji bendung positifyang lebih tinggi (61,8% dan 69,5%) dibandingkanpasien DD (43,9%).

Saat masuk rumah sakit, sulit untuk menegakkandiagnosis DBD berdasarkan nilai awal pemeriksaanlaboratorium. Pasien DBD syok Saat masuk rumahsakit memiliki rerata kadar hematokrit lebih tinggi(42,1 vol%, p=0,000) dibandingkan kelompok DDdan DBD tanpa syok (36,8 dan 37,8). Demikian pularerata kadar hematokrit tertinggi selama perawatandidapatkan pada pasien DBD syok (45,6 vol%).Sedangkan kelompok DD memiliki rerata kadar

hematokrit tertinggi selama perawatan yang tidakberbeda secara statistik dengan DBD tanpa syokmasing-masing 40,7 dan 41,4 vol% (p>0,05).Hemokonsentrasi hanya ditemukan pada 74,8%pasien DBD syok dan 32,7% pasien DBD tanpa syok,dan mencapai 20,7% pada pasien DD.

Rerata jumlah trombosit saat masuk rumah sakitpada kelompok DBD syok lebih rendah (88.80±79.15/mL, p=0,000) dibandingkan kedua kelompok lainnyamasing-masing untuk DD (151.56±53.26/mL) danDBD tanpa syok (126.71±58.45/mL). Hal yang samajuga ditemukan pada rerata jumlah trombosit terendahselama perawatan. Hampir semua (98,5%) DBD syokmempunyai jumlah trombosit =100.000/µL, lebihtinggi dibandingkan dengan pasien DBD tanpa syokdan DD (p=0,000).

Data serologi (uji HI dan IgM/IgG anti dengue)hanya dilakukan pada 258 (17,3%) pasien, 66 (25,6%)kasus infeksi primer dan 132 (51,2%) kasus infeksisekunder. Dijumpai 48 dari 171 (28,1%) pasien yangdiperiksa antibodi IgM dan IgG anti dengue sebelumhari kelima sakit, dan 22 pasien menunjukkan hasilnegatif.

Prinsip dari tata laksana kasus DBD adalahpenggantian cairan tubuh yang hilang akibatperembesan plasma maupun dehidrasi. Jenis danjumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengankondisi setiap pasien, sesuai panduan baik dari WHOmaupun Depkes RI. Pemberian cairan pada pasienDD/DBD tertera dalam Tabel 3.

Rerata jumlah cairan yang diberikan pada pasienDD 83,0 ml/kg/hari dengan rerata lama pemberiancairan intravena 3,0 hari. Cairan yang terbanyakdiberikan adalah rinper laktat (RL), rinper asetat (RA)

Tabel 2. Manifestasi klinis dan laboratorium pasien DD/DBD saat KLB 2004

Manifestasi klinis dan laboratorium DD DBD tanpa syok DBD dengan syok

Lama demam (rerata±SB, hari) 3,0±1,4 3,5±1,6 3,9±1,3Manifestasi perdarahan [n (%)]

• Perdarahan spontan 36 (14,9) 328 (31,2) 133 (66,3)• Uji bendung positif, (n=633) 58/132 (43,9) 273/442 (61,8) 41/59 (69,5)

Hepatomegali [n (%)] 28 (11,6) 260 (24,7) 105 (52,0)Syok [n (%)] 0 (0) 0 (0) 199 (98,5)Bukti kebocoran plasma [n (%)]

• Peningkatan Ht >20% 50 (20,7) 344 (32,7) 151 (74,8)• Efusi pleura, (n=151) 0/4 (0) 57/85 (67,1) 55/62 (88,7)

Trombosit <100.000/µL [n (%)] 103 (42,7) 791 (75,3) 199 (98,5)

Page 23: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

11

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007

dan larutan Nacl 0,9% : Dekstrosa 5% 3 :1 (KaENIB). Pada DBD tanpa syok, jenis cairan intravena yangdipilih sebagian besar adalah RL kecuali di RS. SumberWaras (RSSW) menggunakan cairan dekstrosa 5% +1/2 normal saline (D5%+1/2NS). Cairan koloiddiberikan pada 25 pasien, (1,9%) pada pasien DBDtanpa syok. Rerata jumlah cairan yang diberikan padapasien DBD tanpa syok adalah 78,4 ml/kg/hari,terendah di RSSW. Rerata lama pemberian cairanintravena adalah 3,8 hari. Meski lama pemberian cairanintravena pada kasus DD lebih singkat dibandingkankasus DBD tanpa syok, namun volume cairan yangdiberikan lebih banyak.

Pada pasien DBD syok, cairan resusitasi kristaloidyang terbanyak digunakan adalah RL diikuti denganRA. Seluruh pasien di RSSW menggunakan cairanD5%+1/2NS sebagai cairan resusitasi. Rerata cairankristaloid intravena selama perawatan pada pasienDBD syok secara keseluruhan adalah 79,4 ml/kg/hari,tidak berbeda dengan pasien DBD tanpa syok.Terdapat 142 (70,3%) pasien dengan syok mendapatkoloid. Dari 53 pasien dengan komplikasi syok lamaatau berulang, 46 di antaranya mendapat cairan koloid.Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok secarakeseluruhan adalah 25,6 ml/kg dengan rerata tertinggidi RSCM. Dengan terapi cairan resusitasi tersebut,rerata lama syok teratasi di keenam RS adalah 88,3

menit (rerata terendah 71,2 dan tertinggi 116,5 menit).Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusi

komponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien)adalah fresh frozen plasma (FFP). Satu pasien DBDderajat IV dari 26 pasien yang diberi transfusi trombositconcentrate (TC) tidak memiliki perdarahan spontandengan jumlah trombosit terendah adalah 44.000/µL.Sementara 22 dari 95 pasien yang diberi transfusi FFPtidak disertai perdarahan spontan.

Obat inotropik digunakan pada 43 pasien dan 42di antaranya pasien DSS; 18 pasien diantaranyamengalami komplikasi syok lama atau berulang.Sebanyak 895 (59,9%) pasien mendapat antibiotikdengan proporsi terendah 8,7% di RSCM dan proporsitertinggi di RSK dan RSPR. Hanya 10 (0,7%) pasienyang datang dengan keluhan demam >7 hari sebelumdirawat yang dapat menjadi alasan kuat penggunaanantibiotik. Antivirus (isoprinosin, asiklovir) diberikanpada 78 (5,2%) pasien. Obat lain yang digunakanantara lain kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien, obatuntuk menghentikan perdarahan (transamin, adona)pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada 173(11,6) pasien.

Enam puluh sembilan (5,5%) pasien mengalamikomplikasi akibat penyakit DBD. Terbanyak adalahsyok berulang (2,7% pasien DBD atau 16,8% pasienDBD syok). Edema paru dan/atau overload cairan

Tabel 3. Pemberian cairan pada pasien DD/DBD di enam RS saat KLB 2004

Cairan RSCM* RSHK** RSPR*** RSF• RSK•• RSSW•••

DDJumlah cairan rehidrasi 77,0±29,1 74,8±29,2 80,0±24,1 84,7±36,9 70,3±21,5 0ml/kg/hari (rerata±SB)DBD tanpa syokJumlah cairan rehidrasi 84,4±28,2 66,2±25,6 86,1±27,6 91,1±36,0 68,5±24,9 48,3±17,1ml/kg/hari (rerata±SB)DBD syokJumlah cairan kristaloid 75,2±26,5 55,2±25,7 96,5±28,6 98,4±38,0 103,8±86,6 46,2±15,6ml/kg/hari (rerata±SB)Jumlah cairan koloid 18,6±10,5 19,7±11,6 19,4±6,7 23,2±20,9 31,4±13,4 12,6±4,3ml/kg/hari (rerata±SB)Syok teratasi

• Waktu (rerata±SB, 77,2±58,7 112,3±99,1 71,2±61,0 76,1±38,9 75,2±40,1 116,5±66,0menit)

• Jumlah cairan 30,8±17,8 22,4±15,1 24,2±8,2 22,9±13,1 22,3±19,3 23,0±14,0ml/kg (rerata±SB)

*RS. Cipto Mangunkusumo ** RS. Harapan Kita *** RS. Pasar Rebo•RS. Fatmawati ••RS. Koja •••RS. Sumber Waras

Page 24: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

12

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007

dialami 21 (1,7%) pasien. Terdapat 19 (1,5%) pasienDBD meninggal. Angka kematian tertinggi didapatkandi RSCM dan terendah di RSSW. Secara keseluruhan,angka kematian pada kelompok pasien DBD tanpasyok 0,2% sedangkan pada pasien DBD syok 8,4%.

Jika dibandingkan diagnosis saat pulang pasienDD, DBD tanpa syok dan DBD dengan syok dengandiagnosis menurut kriteria WHO 1997 (Tabel 4),ternyata hanya 201 dari 1051 (19,1%) pasien yangdidiagnosis DBD tanpa syok saat pulang sesuai dengankriteria WHO 1997, sedangkan 232 dari 241 (96,3%)DD dan 200 dari 202 (99,0%) DBD dengan syokyang memiliki kesesuaian diagnosis saat pulang dengankriteria WHO 1997.

Dengan melakukan klasifikasi diagnosis ulangsesuai kriteria WHO 1997, dilakukan penghitunganulang CFR pada pasien DBD saat KLB tahun 2004di enam RS di Jakarta. Berdasarkan penghitunganulang, CFR pada 410 pasien DBD dari semula 1,5%(n=1253) meningkat menjadi 4,9%, dan CFR tertinggididapatkan pada RSK (semula RSCM) dan terendahtetap RSSW.

Diskusi

Penelitian ini bersifat retrospektif sehingga sangattergantung dari kelengkapan data yang berhubungandengan subyek penelitian dan kualitas catatan medik.Data yang tidak lengkap menyebabkan kasus tersebuttidak dianalisis yang mungkin sebenarnya bermanfaatuntuk penelitian ini. Kualitas pengukuran (pengisiancatatan rekam medik) sangat dipengaruhi olehpengetahuan dan perilaku dari tenaga medis (dokterdan perawat) yang merawat pasien.

Penelitian KLB DBD di Jakarta tahun 1988mendapatkan rerata usia 6 tahun 8 bulan, modus 7tahun 3 bulan, dan rentang usia 3 bulan - 16 tahun 5bulan. Pada penelitian tersebut, kelompok umur

terbanyak adalah 5-9 tahun (43,7%) diikuti kelompokusia 1-4 tahun (34,6%).7 Pada penelitian inididapatkan komposisi umur pasien yang lebih mudadibandingkan tahun 1988. Klasifikasi status gizi padapenelitian ini dipakai menurut persentase berat badanaktual terhadap berat badan ideal menurut usia.8

Idealnya digunakan persentase berat badan idealmenurut tinggi badan, namun data rekam mediksebagian besar (85,7%) tidak mencantumkan datatinggi badan anak. Kalayanarooj dkk9 melakukanpenelitian retrospektif terhadap status gizi pada 4532pasien DD dan DBD anak di Thailand dan men-dapatkan sebagian besar (66,6%) memiliki status gizinormal, sementara 9,3% malnutrisi dan 24,2%obesitas. Klasifikasi status gizi pada penelitian tersebutjuga menggunakan berat badan menurut usia.Perbedaan proporsi malnutrisi dan gizi normal daripenelitian ini mungkin disebabkan perbedaan dalambatasan klasifikasi status gizi. Pada penelitian tersebutKalayanarooj dkk mendapatkan pasien gizi kurang dangizi lebih memiliki risiko syok dan komplikasidibandingkan dengan pasien gizi normal. Penelitianyang dilakukan oleh Bachtar E tahun 1990 di RSCMJakarta, tidak menemukan hubungan antara derajatberat penyakit DBD dengan status gizi anak.10

Terdapat 144 pasien (9,6%) yang datang dengankeluhan demam kurang dari 2 hari dan 10 pasien(0,7%) yang datang dengan keluhan demam lebih dari7 hari. Siswan7 hanya menemukan 1 (0,2%) pasienyang datang dengan demam kurang dari 2 hari. Padapasien dengan demam kurang dari 2 hari denganpenelitian laboratorium normal, sebaiknya dipikirkanuntuk rawat jalan namun harus kontrol setiap harisampai demam reda. Pasien tersebut sebaiknya untuktidak memperpanjang lama rawat tiap rumah sakitmemiliki sarana ruang rawat sehari (one day care) untukmelakukan pemantauan pada pasien dengan diagnosismeragukan.11 Rerata lama demam pada penelitian ini4,7 hari dengan rentang 1 sampai 16 hari. Pada pasien

Tabel 4. Diagnosis pasien saat pulang dan sesuai kriteria WHO 1997 saat KLB 2004

Diagnosis saat Diagnosis sesuai kriteria WHO 1997

pulang DD DBD tanpa syok DBD dengan syok Total

DD 232 9 0 241DBD tanpa syok 850 201 0 1051

DBD dengan syok 2 0 200 202Total 1084 210 200 1494

Page 25: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

13

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007

dengan demam lebih dari 7 hari, perlu dipikirkanpenyebab infeksi lain ataupun infeksi nosokomial/komplikasi yang menyertai pasien DBD.

Perembesan plasma berat terjadi pada kasus DBDsyok, sehingga terapi penggantian cairan harusdilakukan dengan cermat. Kebutuhan volume cairanharus diperhitungkan setiap 2-3 jam atau lebih seringpada kasus syok.6,12 Rerata jumlah cairan untukmengatasi syok tertinggi ditemukan di RSCM. Halini karena kasus yang datang ke RSCM sebagai rumahsakit rujukan adalah kasus berat yang membutuhkanterapi cairan yang lebih agresif. Proporsi pasien DBDderajat III dan IV di RSCM berturut-turut adalah26,2% dan 14,7%, lebih tinggi dibandingkan keenamrumah sakit yaitu 10,6% dan 4,4%.

Dengan terapi cairan resusitasi tersebut, rerata lamasyok teratasi adalah 88,3 menit. Penelitian yangdilakukan Hadinegoro SR pada periode bukan KLBtahun 1993-1995, dengan pemberian cairan intravenayang adekuat rata-rata syok teratasi dalam waktu 48menit, paling lama 74,6 menit dan prognosis DBDbaik jika syok teratasi dalam waktu maksimal 90menit.13 Hal ini perlu menjadi bahan pertimbangandalam evaluasi tata laksana kasus DBD dengan syokpada penelitian ini karena rerata lama syok teratasimelebihi 60 - 90 menit yang pada berbagai penelitianmerupakan indikator prognosis yang buruk.13,14 Perludirekomendasikan penggunaan jalur alternatif(intraoseus) pada kasus syok dengan kesulitan mencariakses vena dan pemasangan sedikitnya dua jalur dalammelakukan resusitasi kasus syok untuk mempersingkatwaktu untuk mengatasi syok. Syok harus diupayakansegera diatasi dengan tepat karena waktu yangdiperlukan untuk mengatasi syok berhubungan denganprognosis, makin cepat syok teratasi makin baikprognosisnya.

Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusikomponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien)adalah FFP, dan 22 di antaranya tidak disertaiperdarahan spontan. Fresh frozen plasma selaindigunakan dalam mengatasi perdarahan, juga digunakansebagai cairan koloid dalam tata laksana DBD. Freshwhole blood hanya diberikan pada 2 pasien, hal inimenunjukkan kecenderungan penggunaan komponendarah dalam tata laksana DBD di Jakarta.

Penggunaan antibiotik pada KLB DBD 2004terkesan over-use (59,9% pasien). Demikian jugapemberian antivirus (isoprinosin, asiklovir) pada 78(5,2%) pasien, kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien,

obat untuk menghentikan perdarahan (transamin,adona) pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada173 (11,6%) pasien. Beberapa penelitian tidakmenemukan manfaat pemberian obat-obatan tersebutpada DBD.15,16 Tampaknya kesepakatan para dokteranak dalam menggunakan obat-obatan tersebut perluditelaah kembali.

Sampai saat ini, untuk menentukan diagnosisklinis DBD di Indonesia dipergunakan kriteriadiagnosis WHO 1997. Kriteria ini juga digunakandalam menentukan jumlah kasus dan jumlah kematianuntuk kepentingan evaluasi program dan tata laksanapenyakit. Dengan melakukan penilaian ulangdiagnosis pasien menurut kriteria WHO 1997, padakelompok DD dan DBD dengan syok hampirseluruhnya (96,3% dan 99,0%) terdapat persamaandiagnosis baik saat pulang maupun diagnosis sesuaikriteria WHO. Namun pada kelompok DBD tanpasyok, 80,9% pasien tidak memenuhi kriteria WHO;jadi sebenarnya mereka tersebut rumah sakit rumahsakit termasuk dalam DD. Sayangnya pada penelitianini yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaanserologis hanya 17,3% pasien.

Selama beberapa dekade, Indonesia mengalamipenurunan CFR meskipun terdapat peningkatanjumlah kasus DBD. Penghitungan ulang CFRdengan menggunakan diagnosis sesuai kriteria WHOmenghasilkan CFR yang jauh lebih tinggi (4,9% vs1,5%) dibandingkan dengan menggunakan diagnosissaat pulang. Juga bila dibandingkan dengan CFRyang dilaporkan oleh Depkes untuk KLB tahun 2004yaitu sebesar 1,1%.4 Hal ini memerlukan evaluasilebih lanjut dari ketepatan tata laksana DBD padasaat KLB sehingga Departemen Kesehatan serta parapengambil kebijakan perencanaan kesehatan tidakberpuas diri dengan angka CFR yang dilaporkanrendah selama ini.

Kesimpulan

Pada periode KLB-DD/DBD tahun 2004 di enamrumah sakit di Jakarta, terdapat 241 pasien DD, 1051DBD tanpa syok dan 202 DBD syok. Rerata jumlahcairan yang digunakan untuk mengatasi syok padapasien DBD syok 25,6 ml/kg; dengan terapi cairanresusitasi tersebut, rerata lama syok teratasi di keenamrumah sakit adalah 88,3 menit, melebihi waktu yangdirekomendasikan. Sebanyak 7,6% pasien memer-

Page 26: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

14

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007

lukan transfusi darah. Antibiotik dan obat lain banyakdiberikan pada pasien tanpa indikasi pemberian yangjelas dan belum terbukti manfaatnya dalam tata laksanaDBD. Terdapat 80,9% pasien DBD tanpa syok saatpulang ternyata tidak memenuhi kriteria WHO 1997sehingga dimasukkan dalam diagnosis DD, sedangkanpasien yang didiagnosis DBD syok saat pulang 99,0%sesuai dengan kriteria WHO 1997. Case fatality rateberdasarkan diagnosis saat pulang yang semula 1,5%,dengan menyesuaikan diagnosis sesuai kriteria WHO1997 menyebabkan terdapat peningkatan CFRmenjadi 4,9% akibat pengurangan jumlah pasienDBD.

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada kepala dan staf SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP

Fatmawati, RSUD Pasar Rebo, RSU Koja, RSAB Harapan Kita,

dan RSU Sumber Waras.

Daftar Pustaka

1. Kautner I, Robinson MJ, Kuhnle U. Dengue virus in-

fection: Epidemiology, pathogenesis, clinical presenta-

tion, diagnosis, and prevention. J Pediatr 1997; 131:

516-24.

2. Gubler DJ. Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever

as a public health, social and economic problem in the

21st century.Trends in Microbiology 2002;10:100-3.

3. Suroso T, Holani A, Ali I. Dengue haemorrhagic fever

outbreaks in Indonesia 1997-1998. Dengue Bulletin

1998;22.

4. Depar temen Kesehatan Republ ik Indonesia .

Kewaspadaan terhadap demam berdarah tetap

diperlukan. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/

popups/newswindow.php?id=488. Diakses tanggal 31

Agustus 2004.

5. Adimidjaja TK, Wahono TD, Kristina, Isminah,

Wulandari L. Kajian masalah kesehatan demam berdarah

dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan;2004.

6. World Health Organization. Dengue hemorrhagic fe-

ver: diagnosis, treatment, prevention and control.

Geneva:WHO; 1997.

7. Siswan KRJ. Gambaran klinis dan laboratoris pada

demam berdarah dengue di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada kejadian

luar biasa tahun 1988 dengan penekanan pada uji

serologi inhibisi hemaglutinasi. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 1988. Tesis.

8. Djumadias A. Aplikasi antropometri sebagai alat ukur

status gizi di Indonesia. Gizi Indonesia 1990;14:37-50.

9. Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Is dengue severity re-

lated to nutritional status? Southeast Asian J Trop Med

Public Health 2005;36:378-84

10. Bachtar E. Status gizi anak penderita demam berdarah

dengue. Tesis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 1990.

11. Hadinegoro SRH. Piftalls and pearls dalam diagnosis

dan tata laksana demam berdarah dengue. Dalam

Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, editor.

Pendidikan kedokteran berkelanjutan Ilmu Kesehatan

Anak XLVI: Current management of pediatrics prob-

lems. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-

RSCM; 2004. h. 63-72.

12. Kalayanarooj S, Nimmannitya S, editor. Guidelines for

dengue hemorrhagic fever case management. Bangkok:

WHO Collaborating Centre for Case Management of

Dengue/DHF/DSS Queen Sirikit National Institute of

Child Health; 2004. h. 1-74.

13. Hadinegoro SRS. Telaah endotoksemia pada perjalanan

penyakit demam berdarah dengue. Disertasi. Program

Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta 1996.

14. Nhan NT, Phuong CXT, Kneen R, Wills B, Mu NV,

Phuong NTQ, dkk. Acute management of dengue shock

syndrome: a randomized double-blind comparison of 4

intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect

Dis 2001;32:204-13.

15. Sumarmo, Talogo W, Asrin A, Isnuhandojo, Sahudi A.

Failure of hydrocortisone to affect outcome in dengue

shock syndrome. Pediatrics 1982;69:45

16. Rijal S. Efek carbazochrome pada penderita demam

berdarah dengue. Tesis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Medan. 2000

Page 27: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Artikel Asli

145Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008

Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue pada anakEdi HartoyoBagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat/RSUD. Ulin Banjarmasin

Latar belakang. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di beberapa daerah di dunia.

Setiap tahunnya WHO melaporkan 50–100 juta terinfeksi virus dengue dengan 250-500 ribu menderita

DBD dan 24.000 di antaranya meninggal dunia. Di Indonesia, 12 dari 30 propinsi di antaranya merupakan

daerah endemis DBD dengan case fatality rate 1,12%.

Tujuan. Untuk mengetahui gambaran klinis, laboratorium, serta mengevaluasi terapi yang telah diberikan

pada penyakit demam dengue/DBD.

Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik, subjek adalah pasien yang di rawat di

Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin periode Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008 dengan diagnosis

demam dengue/DBD/sindrom syok dengue (SSD) berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan dilakukan

uji serologi (rapid test Panbio Australia). Analisis data dengan program SPSS 13 for window.Hasil. Dari 123 subjek gejala klinis yang mencolok adalah demam 93,5%, muntah 65,1%, nyeri perut

50,4%, ruam konvalesen 47,1%, pusing 19%, batuk 17,9%, pilek 9,8%, perdarahan gusi 6,5%, epitaksis

4,1%, dan melena 3,3%. Pada pemeriksaan fisik uji forniket positif 62,6%, hepatomegali 38,2%, efusi

pleura 37,4%, dan asites 27,6%. Hasil laboratorium menunjukkan rerata angka leukosit lebih rendah

pada SSD dibandingkan dengan DD dan DBD, dan secara statistik berbeda bermakna (p=0,007), nilai

rerata hematokrit lebih tinggi pada SSD dibandingkan DBD dan DD, secara statistik berbeda bermakna

(p=0,049), rerata nilai trombosit SSD lebih rendah. Kadar SGOT 76,7% dan SGPT 86% meningkat pada

SSD. Penggunaan cairan kristaloid pada demam dengue 81,1%, DBD 86,4% dan SSD 86,1% dari semua

kasus, sedangkan penggunaan cairan koloid pada SSD 56,1%.

Kesimpulan. Gejala klinis yang mencolok l demam, mual, muntah, nyeri perut, epitaksis, dan melena.

Pemeriksan fisik, yang mencolok uji forniket positif, ruam konvalesen, hepatomegali. Leukopenia,

trombositopenia serta peningkatan SGOT/SGPT lebih banyak dijumpai pada DBD dan SSD dari pada

DD. (Sari Pediatri 2008;10(3):145-150).

Kata kunci: SSD, nilai leukosit, hematokrit dan trombosit.

Alamat Korespondensi: Dr. Edi Hartoyo., SpA. Staf SMF Kesehatan Anak FK. UNLAM-RSUD Ulin. Jl Jendral A.Yani 43, Banjarmasin Kalimantan Selatan.

Page 28: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

146

Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue

Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008

Infeksi virus dengue endemis di beberapa daerah tropis dan subtropis, dan lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania, Asia Selatan, dan Fasifik Barat. Sekitar 2,5 juta penduduk

di daerah tersebut pernah terinfeksi virus dengue. Menurut WHO terdapat kira-kira 50 – 100 juta kasus infeksi virus dengue setiap tahunnya, dengan 250.000–500.000 demam berdarah dengue (DBD) dan 24.000 di antaranya meninggal dunia.1 Di Indonesia DBD merupakan masalah kesehatan, karena hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit infeksi dengue. Dua belas di antara 30 provinsi di Indonesia merupakan daerah endemis DBD, dengan case fatality rate 1,2%.2 Virus penyebab dan nyamuk sebagai vektor pembawa tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum. Penyakit DBD disebabkan oleh virus famili Flaviviridae, genus Flavivirus yang mempunyai 4 serotipe yaitu den 1, den 2, den 3, dan den 4. Virus ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Perjalanan penyakit dengue sulit diramalkan, manifestasi klinis bervariasi mulai dari asimtomatik, simtomatik (demam dengue, DBD), DBD dapat tanpa syok atau disertai syok (SSD). Pasien yang pada waktu masuk rumah sakit dalam keadaan baik sewaktu-waktu dapat jatuh ke dalam keadaan syok (SSD), oleh karena itu kecepatan menentukan diagnosis, monitor, dan pengawasan yang ketat men-jadi kunci keberhasilan penanganan DBD.

Angka kesakitan DBD cenderung meningkat di Indonesia mulai 0,05 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi 35,19 per 100.000 penduduk pada tahun 1998. Program pencegahan dan pemberantasan DBD dilaksanakan secara integral mencakup survailans laboratory based study, penyuluhan, pendidikan pengelolaan pasien bagi dokter, paramedis, dan pemberantasan sarang nyamuk dengan peran serta masyarakat.2,3

Metode

Penelitian diskriptif analitik dengan subjek pasien yang dirawat di Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin an tara Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008 dengan diagnosis (DBD/DD) berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan dikonformasi dengan serologi IgG/IgM (dengue strip rapid tes Panbio Australia).

Pemeriksaan serologi dilakukan pada hari ke 4 sampai hari ke 6 (fase akut). Apabila hasil pemeriksaan pertama negatif, diulang pada saat berobat untuk kontrol (fase konvalesen). Infeksi primer apabila pada fase akut IgM positif dan infeksi sekunder bila pada fase akut IgM dan IgG positif atau hanya IgG positif. Penentuan status gizi berdasarkan kriteria CDC 2000. Sampel dianalisis dengan SPSS 13. Untuk nilai leukosit, hematokrit, dan trombosit dilakukan analisis t test.

Hasil

Dalam kurun waktu Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008 terdapat 123 anak yang dirawat dengan diagnosis DD/DBD/SSD berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan dilakukan uji serologi anti dengue.

Angka kejadian DBD/DD terbanyak pada umur 5–10 tahun, 52 anak (42,4%). Berdasarkan distribusi jenis kelamin, laki-laki lebih banyak 66(54,6%)

Tabel 1. Karateristik dasar pasien demam berdarah dengue/demam dengue.

No Variabel Jumlah (%) 1.

2.

3.

4.

5.

6.

Umur (tahun)< 5 5 – 10 > 10 – 14 Jenis kelaminLaki-lakiPerempuanStatus giziBaikKurangBurukDiagnosisDDDBD (derajat 1 dan 2)SSD ( DBD derajat 3 dan 4)Infeksi primerDDDBDSSDInfeksi sekunderDDDBDSSD

44(35,7)52(42,4)27(21,9)

66(54,6)57(45,4)

82(66,6)38(30,8)

3(2,6)

21(17,2)59(47,9)43(34,9)

20(95,3)16(27,1)

6(14)

1(4,7)43(72,9)37(86)

Page 29: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

147

Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue

Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008

dibandingkan dengan perempuan 57(45,4%). Sebagian besar kasus mempunyai status gizi baik 82 (66,6%). Berdasarkan diagnosis kasus DBD derajat 1 dan 2 lebih banyak dibandingkan DD dan SSD yaitu 59 (47,%) anak. Sebagian besar SSD adalah infeksi sekunder 37(86%), sedangkan DD sebagian infeksi primer 20 (95,3%). Gejala klinis tertera pada Gambar 1.

Dari Gambar 1 gambaran klinis yang mencolok adalah demam 115 (93,5%), muntah 80 (65,1%), nyeri perut 62 (50,4%), ruam konvalesen 58 (47,1%), mual 55 (44,7%), pusing 24 (19,5%), perdarahan gusi 8 (6,5%), epitaksis 5 (4,1%), melena 4 (3,3%) dan

Terapi (Tabel 2)

Penggunaan terapi cairan kristaloid merupakan terapi utama, pada DD 17 (81,1%), DBD 51 (86,4%) dan SSD 37 (86,1%), sedangkan koloid paling banyak dipakai pada SSD 24 (56,1%). Cairan koloid yang digunakan HES 6%, komponen darah terbanyak digunakan pada SSD yaitu fress frozen flasma (FFP) 7 (16,3%), PRC 4 (9,3%) dan komponen trombosit 7 (16,3%). Penggunaan antibiotik pada DBD 5 (8,5%), SSD 17 (39,5%).

gejala penyerta batuk 17 (17,9%), pilek 12 (9,8%). Pada pemeriksaan fisik ditemukan Rumple leed (RL) positif 77 (62,6%), hepatomegali 47 (38,2%), efusi pleura 46 (37,4%) dan asites 34 (27,6%). Kadar transaminase hati meningkat terutama pada SSD, SGOT 33 (76,7%) dan SGPT 37(86,0%), seperti tertera pada Gambar 2 .

Nilai rerata leukosit, hematokrit, dan trombosit tertera pada Gambar 4. Leukosit dan trombosit pada pasien SSD lebih rendah dibandingkan DBD dan DD dan perbedaan ini secara statistik bermakna.

Gambar 2. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada pasien demam berdarah dengue

DBDSSD

76.70%11.80%

14.30%

Demam dengue

86%

11,80%

4,80%

DBDSSD

Demam dengue

SGOT SGPT

Gambar 1. Presentase gejala klinis demam berdarah dengue

%

Page 30: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

148

Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue

Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008

Pembahasan

Berdasarkan distribusi jenis kelamin dari 123 kasus, la-ki-laki 66 (54,6%) lebih banyak dibandingkan de ngan pe rempuan 57 (45,4%), atau perbandingan laki-laki dan perempuan 1,1:1. Temuan ini tidak berbeda jauh dari penelitian yang dilakukan di Bagian IKA RSCM yang mendapatkan laki-laki perempuan 1,3:1 dan penelitian Suharyono4,5 mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 1,4:1. Kemungkinan berkait-an dengan kebiasaan nyamuk Aedes aegypti yang aktif menggigit pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00–12.00 dan 15.00–17.00, pada jam tersebut anak bermain di luar rumah.6 Insiden tertinggi terdapat pada kelompok umur 5–10 tahun yaitu 52 (42,4%), seperti hasil penelitian di Bagian IKA RSCM, yang melaporkan insiden tertinggi terdapat

pada kelompok umur 5–9 tahun yaitu 46,1%.4 Tabel 1 memperlihatkan kasus terbanyak adalah DBD 59 (47,9%), diikuti oleh SSD 43 (34,9%), dan DD 21 (17,2%). Data menunjukkan bahwa kasus yang datang atau dirujuk pada umumnya kasus DBD berat. Chairulfatah dkk7 melaporkan bahwa dari 128 kasus infeksi virus dengue, 19% kasus disertai dengan syok, sedangkan Kabra dkk1 melaporkan dari 193 pasien klinis infeksi virus dengue 59% disertai dengan syok. Di Amerika Latin Gonzales dkk8 medapatkan 29% kasus DBD mengalami syok. Pasien DBD dan SSD pada umumnya adalah infeksi sekunder, sedangkan DD umumnya infeksi primer berdasarkan hasil serologi dengue rapid test (Panbio-Australia), tes ini mempunyai sensitivitas 98% dan spesifisitas 87%.9,10 Gejala klinis yang mencolok adalah demam 115 (93,5%), muntah 80 (65,1%), nyeri perut 62 (50,4%), pusing 24

(19,5%), batuk 22 (17,9%), dan pilek 12 (9,8%). Pada penelitian Kautner dkk,11 demam, muntah, dan nyeri perut merupakan gejala yang mencolok. Pada pemeriksaan fisik, di dapatkan uji forniket positif pada 77 (62,6%), hepatomegali 47 (38,2%), dan efusi pleura 46 (37,4%). Pada penelitian uji forniket di Thailand terhadap 108 pasien infeksi virus dengue mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 48%, di Vietnam terhadap 598 kasus infeksi virus dengue mempunyai sensitivitas 42% dan spesifisitas 94%.1,12 Di Bangkok dan Kamphaeng Phet Thailand dilakukan penelitian terhadap 318 anak umur 6 bulan- 15 tahun infeksi virus dengue dan 72 anak terinfeksi virus lain dengan hasil uji forniket positif pada 88% demam dengue, 91% DBD derajat I, 95% DBD derajat II, 91 % pada SSD, dan 52% pada infeksi selain virus dengue.1 Hepatomegali 38,2%, sama dengan penelitian

Tabel 2. Terapi pada pasien DD, DBD, dan SSD.

Variabel DDn=21

DBDn=59

SSDn=43

Cairan (%)• Kristaloid• Plasmaekspander• Komponendarah- FFP- PRC- Trombosit

Obat inotropik (%)Ventilator mekanik (%)Rerata perawatan (hari)Antibiotik (%)Rerata syok teratasi (menit)Angka kematian (%)

81,1-

-4,8---

(4±0,93)---

86,48,4

3,31,65,1--

(5±0,23)8,5--

86,156,1

6,99,316,311,54,6

(6±0,21)39,5

(47±0,89)6,9

Gambar 3. Nilai rerata leukosit, hematokrit, dan trombosit pada pasien DD, DBD dan SSD

Page 31: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

149

Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue

Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008

Daniel dkk13 bahwa pada 38% infeksi virus dengue terdapat hepatomegali. Pada pasien SSD terjadi peningkatan kadar SGOT pada 33 (76,3%) dan SGPT 37 (80,0%), ini sesuai dengan hasil penelitian Agus dkk14 pa da SSD peningkatan nilai transaminase hati lebih tinggi di bandingkan pada DD dan DBD. Pada penelitian Mohan dkk15 peningkatan kadar SGOT/SGPT terjadi karena gangguan fungsi hati yang bersifat sementara, terutama pada DBD dan SSD. Peningkatan transaminase hati terjadi akibat kerusakaan sel hati oleh invasi virus secara langsung atau merupakan respon imun sel pejamu.16,17,18 Nilai rerata angka leukosit pada hari ketiga dan keempat pada pasien SSD lebih rendah jika dibandingkan dengan DD maupun DBD dan ini bermakna secara statistik (p=0,007). Penelitian Tanner dkk19 pada 364 subjek didapatkan 78% pasien infeksi virus dengue mengalami leukopenia (<5.000/ul), demikian juga nilai rerata hematokrit pasien DSS lebih tinggi dibandingkan dengan pasien DD dan DBD pada hari keempat dan kelima dan secara statistik bermakna (p=0,049). Nilai hematokrit tertinggi terjadi hari keempat dan kelima, kemudian akan menurun. Penelitian Gonzales dkk8 pada pasien DBD didapatkan trombositopenia 100%, hemokonsentrasi 93,4%, leukopenia 71,3%, dan kenaikan transaminase hati 82,8%. Nilai rerata angka trombosit pasien SSD jauh lebih rendah dibandingkan dengan DD dan DBD (Gambar 3). Nilai trombosit <50.000/ul berhubungan dengan faktor prognostik.13 Pada penelitian Ayub dkk19 trombositopenia terdapat pada 79,49% kasus DD. Penggunaan cairan kristaloid merupakan terapi utama, baik pada DD, DBD maupun SSD. Pada SSD, cairan kristaloid digunakan pada 86,1% kasus, sedang plasma ekpander 56,1%. Cairan koloid digunakan pada resusitasi kedua pada SSD apabila dengan cairan kristaloid tidak membaik. Penelitian Bridget dkk20 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada resusitasi awal antar cairan kristaloid (RL) dengan koloid (dextran 70 atau HES 6%), koloid lebih sering menyebabkan efek samping. Pada penelitian di Thailand, 30%-50% SSD mendapatkan cairan koloid.21 Penggunaan komponen darah (plasma, PRC dan trombosit) lebih sering pada SSD, 16,3% pasien mendapatkan tranfusi trombosit oleh karena terjadi perdarahan aktif disertai trombositopenia, 9,3% mendapatkan tranfusi PRC, sedangkan pada DBD 5,1% mendapatkan tranfusi trombosit dan 4,8% transfusi PRC. Penelitian di Thailand mendapatkan penggunaan komponen darah 5%-30% pada kasus

DBD.21 Antibiotik masih digunakan pada SSD dengan komplikasi sepsis, 39,5% SSD mendapatkan antibiotik oleh karena disertai sepsis. Angka kematian pasien SSD 6,9%, pada umumnya kematian disebabkan oleh disseminated intravascular coagulation (DIC) atau multiple organ difunction syndrome (MODS) akibat syok lama. Pada penelitian di India, angka kematian pasien SSD 9,3%, sedangkan di Philipina 2%.1 Pada umumnya angka kematian oleh karena syok tidak teratasi lebih dari satu jam, sehingga terjadi komplikasi lainnya.

Kesimpulan

Demam berdarah dengue merupakan masalah kesehatan masyarakat, oleh karena morbiditas dan mortalitas masih tinggi. Gejala klinis yang mencolok demam, muntah, mual, nyeri perut, epitaksis, dan melena. Pada pemeriksaan fisik ditemukan uji forniket positif, ruam konvalesen, hepatomegali, efusi pleura, asites. Sindrom syok dengue sebagian besar infeksi sekunder, sedangkan demam dengue infeksi primer. Gambaran laboratorium yang mencolok kenaikan transaminase hati, leukopenia, trombositopenia, dan hematokrit. Rerata angka leukosit dan trombosit lebih rendah pada SSD dibandingkan dengan DD atau DBD, sedangkan rerata hematokrit lebih tinggi pada SSD. Penggunaan cairan kristaloid merupakan terapi utama baik pada SSD maupun DBD. Survival rate pada DD dan DBD di Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin 100% sedangkan SSD 96%.

Daftar Pustaka

1. World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic

fever and Dengue shock syndrome in the context of the

integrated management of childhood illness. Geneva 2005.

2. Sri Rezeki S. Hadinegoro. Seminar sehari pengelolaan

infeksi virus dengue. Jakarta, 1997.

3. Halstead SB. Global epidemiology of dengue: health

systems in disarray. Trop Med 1993;35:137-46.

4. Sumarmo. Penatalaksanaan demam berdarah dengue.

Medika 1989;2:161-70.

5. Suharyono. Masalah penyakit demam berdarah dengue

pada Pelita VI. Cermin Dunia Kedok 1994; 92:11-3.

6. Saleha S, Ismid. Bionomik Aedes aegypti, vektor utama

demam berdarah dengue. Medika 1994;7:64-8.

Page 32: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

150

Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue

Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008

7. Chairulfatah A, Setiabudi D, Ridad A. Clinical

manifestation of dengue haemorrhagic fever in children

in Bandung Indonesia. Ann Soc Belg Med Trop 1995;

30:293-303.

8. Gonzales D, Osvaldo E, Peres J, Eric Martines, Suzan

V, Castro G dkk. Classical dengue haemorrhagic fever

resulting from two dengue infections spaced 20 years of

more apart: Havana, dengue 3 epidemic 2001-2002. Int

J Infect Dis 2005;9:280-5.

9. Aryanti. Manfaat tes dengue stick IgM dan IgG pada

demam berdarah dengue. Dalam Makalah lengkap

seminar: Penatalaksanaan demam berdarah dengue. Trop

Dis Centre Unair, Surabaya 2001:62-8.

10. Cuzzobo AJ, Rowland D, Michel JL, Devine PL.

Comparison of the Panbio dengue IgM dan IgG

immunochromatographic card test and the Panbio

dengue IgG immunochromatographic strip test. Panbio

Pty Ltd 2000;41-8.

11. Kutner I, Robinson MJ, Kubnle U. Dengue virus infec-

tion: epidemiologi, pathogenesis, clinical presentation,

diagnosis and prevention. J Pediatr 1997;131:516-24.

12. Phoung CX, Nhan NT, Wills B, Kneen R, Han NT, Mai

TT dkk. Evaluation of the World Health Organization

standart torniquet test in the diagnosis of dengue

infection in Vietnam. Trop Med and Int Health 2002;

7:125-32.

13. Daniel H, Lybrati, Khin SA, Myint, Clinton K, Robert

V dkk. A comparative study of leptospirosis and dengue

in Thai children. Plos Negl Trop Dis 2007;1:111-7.

14. Agus D, Sekarwana N, Setiabudi S. Hubungan kadar as-

partat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase

(ALT) serum dengan spektrum klinis infeksi virus dengue

pada anak. Sari Ped 2008; 9:359-62.

15. Mohan B, Parwati AK, Anand VK. Hepatic dys-

function in chil hood dengue infection. J Trop Med

2000;46:40-3.

16. Gubler DJ. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Clin

Microbiol Rev 1998;11:480-96.

17. Petdachai W. Hepatic dysfunction in children with

dengue shock syndrome. Dengue Bull 2005;29:1-8.

18. Kalayanarooj S, Osotkrapan S, Nimmannitya S.

Abnormal elevation of hepatic transaminase in dengue

haemorrhagic fever patients. Studies/collaborative on

dengue infection/dengue haemorrhagic fever at Queen

Sirikit National Institute of Child Health (Children,s

Hospital). Bangkok: WHO Collaborating Centre for

Case Management;1991.

19. Ayub M, Khazarnidal M, Lubbad EH, Shahid S, Alyafi

AY, Al-Ukayli S. Characteristic of dengue fever in large

public hospital, Jeddah, Saudi Arabia. J Ayub Med Coll

Abbottabd 2006;18:9-12.

20. Bridget AW, Nguyen M , Ha Loan, Dong TH, Tran

TN, Thuy MD. Comparison of three fluid solution for

resusitation in Dengue shock syndrome. N Engl J Med

2005;353:877-89.

21. Kalayanarooj S, Chaimongkol Y, Nimmannitya

S. Volume of intravenous fluid, blood and blood

components used in Dengue haemorrhagic fever

patients. Study collaborative on dengue infections

an Queen Sirikit National Institute of Child Health

Hospital Bangkok. WHO collaborative centre for case

management 1991:199-202.

Page 33: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005 • 81

Paediatrica IndonesianaVOLUME 45 NUMBER 3-4March - April • 2005

Original Article

From the Department of Child Health, Medical School, University of

Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Reprint requests to: Mulya Rahma Karyanti, MD, Department of

Child Health, University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital,

Jakarta, Indonesia. Tel. 62-21-3147342; Fax. 62-21-3148931; Email:

[email protected].

The effect of Ringer’s acetate versus

Ringer’s lactate on aminotransferase changes in

dengue hemorrhagic fever

Mulya Rahma Karyanti, MD; Hindra Irawan Satari, MD;

Damayanti Rusli Sjarif, MD, PhD

ABSTRACT

Background Dengue hemorrhagic fever (DHF) infection causeshepatocelullar impairment. In management of DHF, World HealthOrganization (WHO) recommends the crystalloids Ringer’s acetate(RA) or Ringer’s lactate (RL), which are similar in composition toplasma. Acetate in RA is not metabolized in the liver, hence notburdening the liver, whereas lactate in RL is metabolized mostly inthe liver, thus placing a burden on the liver.Objective To compare aminotransferase changes as markers ofhepatocellular impairment subsequent to the use of RA and RL inthe management of DHF with and without shock.Methods This study was a double-blind randomized controlledtrial on DHF patients aged 1-18 years in Cipto MangunkusumoHospital who had not received prior treatment with crystalloids orcolloids. Subjects were randomly assigned to receive either RA orRL intravenously. Aminotransferase levels were examined on thefirst, second and third weeks from the onset of fever.Results Ninety-two patients who fulfilled inclusion criteria wereenrolled in this study, consisting of those without and with shock.Mean transaminase levels of patients without shock in the RA andRL groups did not differ significantly. Mean transaminase levels ofpatients with shock in the RA group were lower than those in theRL group, but this difference was not significant statistically. Meanalteration of transaminase levels in patients with and without shockwere not significantly different.

Conclusion In DHF without shock, there is no significant differ-ence between aminotransferase level changes of patients receiv-ing RA and RL solutions. In DHF with shock, aminotransferaselevels of patients receiving RA tend to be lower than those receiv-ing RL, but this difference is insignificant [Paediatr Indones2005;45:81-86].

Keywords: hepatocellular impairment, dengue

haemorrhagic fever, Ringer’s acetate, Ringer’s lac-

tate, aminotransferase

Dengue hemorrhagic fever (DHF), is an acute,

self-limited illness characterized by fever,

bleeding, and sometimes shock.1-3 In a

patient with DHF, capillary permeability increases;

even more so in dengue shock syndrome (DSS). The

capillary permeability of a healthy child is higher than

that of a healthy adult, rendering children more

vulnerable to shock.4

The liver is one of the target organs of dengue infec-

tion and the clinical manifestations of hepatocelullar im-

pairment are shown by increased aminotransferase levels.

In the dengue-infected liver, pathological findings show

centrilobular necrosis, fatty changes, Kuppfer cell hyper-

plasia, and acidophilic and monocytic infiltration from the

portal tract. Aminotransferase levels usually increase,

reaching maximum levels 9 days after the onset of fever,

and decrease gradually to normal levels by the 14th day.5

The principle of DHF management is support-

ive treatment by replacing the volume of plasma

lost through increased capillary permeability and

bleeding.6 Massive bleeding may occur if hemostatic

impairment such as vasculopathy, thrombocytope-

Page 34: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Paediatrica Indonesiana

82 • Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005

nia and coagulopathy persist.7,8 Specific fluid

therapy is needed for children with DHF because

the water composition and requirement in children

differ from adults.9,10 WHO has recommended crys-

talloid solutions such as Ringer’s lactate (RL),

Ringer’s acetate (RA), and normal saline for the

management of DHF. RA and RL are similar in com-

position to the intravascular plasma.11,12 RA has a

potential advantage over RL, since acetate can be

metabolized in almost all muscles and does not bur-

den the liver, while most lactate must be metabo-

lized by the liver. RA, as an alternative to RL, should

be considered in DHF patients with severe liver

impairment, in whom the liver’s ability to elimi-

nate lactate is decreased.13 Until the present time,

RL is widely used in the Department of Child

Health, Cipto Mangunkusumo Hospital, while no

study comparing the use of RA and RL in DHF

patients has been done. This study aims to com-

pare aminotransferase changes subsequent to the

use of RA and RL in the management of DHF pa-

tients with and without shock.

Methods

This study was a double-blind randomized controlled trial

conducted on DHF patients in the Department of Child

Health, Cipto Mangunkusumo Hospital, during a dengue

epidemic from May 2003 until March 2004. The diagnostic

criteria of DHF were based on WHO’s Technical Guide

for Diagnosis, Treatment, Prevention and C ontrol of

DHF.7 Severity of the disease was graded according to the

1997 WHO criteria,7 in which grade I DHF was defined

as fever accompanied by non-specific constitutional

symptoms, with a positive tourniquet test as the only

hemorrhagic manifestation; grade II as spontaneous

bleeding in addition to grade I manifestations; grade III as

circulatory failure manifested by rapid and weak pulse,

narrowing of pulse pressure or hypertension, with the

presence of cold, clammy skin and restlessness; and grade

IV as profound shock with undetectable blood pressure.

Subjects consisted of patients aged 1-18 years who

were diagnosed with DHF based on the above criteria

and had not received prior treatment with crystalloid

or colloid solutions, whose parents gave informed con-

sent. Patients were excluded from this study when they

had a history of liver disease and/or a family history of

chronic liver disease, myocarditis, or rhabdomyolysis,

had recurrent or prolonged shock, did not have com-

pleted transaminase examinations, or died. The study

was approved by the Committee of Medical Research

Ethics, Medical School, University of Indonesia.

Sample size for this study was determined by

using 95% confidence interval and power of 80%.

Statistical significance was set at P<0.05. Based on

this calculation, 92 subjects were required, consist-

ing of 46 subjects with shock (DHF/DSS grade III

and IV) and 46 without (DHF grade II). Subjects

were randomly allocated to receive infusions of ei-

ther RA or RL such, that there were an equal num-

ber of subjects in the RA with shock, RL with shock,

RA without shock, and RL without shock groups,

respectively. Fluid management was given accord-

ing to the 1997 WHO standard procedure.

Subjects were examined for complete blood

count and aminotransferase levels. Complete blood

count was performed every 6 hours for 48 hours since

the patient’s admission. Aminotransferase levels,

comprising aspartate transaminase (AST) and ala-

nine transaminase (ALT) levels were examined from

blood samples taken on the first week (S1), second

week (S2), and third week (S3) from the onset of

fever. The level considered normal was <40 U/l for

AST and <40 U/l ALT. The increase in aminotrans-

ferase levels was considered mild if <100 U/l, mod-

erate if 101-200 U/l, and severe if >201 U/l.

The collected data were processed using SPSS

10.5 for Windows. Statistical analyses were performed

using the chi-square test, the Kolmogorov-Smirnov

test, and the Mann-Whitney test, where appropriate.

Results

Between May 2003 and March 2004, 201 DHF patients

were admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital. One

hundred and twelve cases were included in this study

and followed. In the process, 20 patients dropped out

(12 had incomplete data, 6 died from prolonged shock,

encephalopathy, respiratory failure, and massive

gastrointestinal bleeding, and 2 had extreme

transaminase levels). Finally, only 92 DHF patients who

fulfilled the inclusion criteria could be further examined

and analyzed. These consisted of 46 subjects with shock

and 46 without. Among the subjects with shock, 23

Page 35: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Mulya Rahma Karyanti et al: Effect of Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in DHF

Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005 • 83

subjects each belonged to the RL and RA groups. A

similar subject distribution occurred among subjects

without shock. The final subject allocation can be seen

in Figure 1. The distribution of subjects according to

sex and age group are shown in Table 1. Sex distribution

was similar between patients with and without shock.

Most patients were aged between 5 to 14 years. More

children aged <5 years experienced shock compared to

those of older age. With adequate fluid management, all

subjects recovered completely.

Comparison between the mean AST and ALT

levels of the RA and RL groups is provided in Table 2.

In subjects without shock, the highest transami-

nase levels were recorded at S2 in both the RA and

RL groups. Analysis of the mean AST levels of the

RA and RL groups at S1, S2, and S3 did not yield

statistically significant difference. Similar analysis of

the mean ALT levels of the same groups did not re-

veal significant difference (Table 2).

In subjects with shock, transaminase levels in the

RA and RL groups had a comparable starting point. At

S2 and S3, transaminase levels in the RA group were

lower than RL group, but this difference was not statis-

tically significant. The difference between mean tran-

saminase levels of the RA and RL groups at S1, S2 and

S3 was not statisticaly significant, either (Table 2).

This study also compared the mean alteration of

transaminase levels in the RA and RL groups (Table 3).

Statistically significant difference was not found

between the RA and RL groups in patients both with

TABLE 1. DISTRIBUTION OF SUBJECTS ACCORDING TO SEX AND AGE GROUP

SexMaleFemaleAge1-4 years5-9 years10-14 years15-18 years

n=23

1013

37121

%

(43.5)(56.5)

(13.0)(30.4)(52.2)(4.3)

n=23

1112

4118

%

(47.8)(52.2)

(17.4)(47.8)(34.8)

n=23

1112

797

%

(47.8)(52.2)

(30.4)(39.1)(30.4)

n=23

716

6116

%

(30.4)(69.6)

(26.1)(47.8)(26.1)

RA RLWithout shock With shock

RA RL

FIGURE 1. AMINOTRANSFERASE CHANGES IN DHF PATIENTS RECIEVING RINGER’S ACETATE VERSUS RINGER’S LACTATE RECEIVING.

201 DHF cases

112 cases meeting inclusion criteria

57 without shock 55 with shock

28 RA 27 RL29 RL28 RA

23 RA 23 RL 23 RA 23 RL

18 drop-out cases

6 incomplete data4 incomplete data1 died

1 incomplete data3 died

1 incomplete data2 died

1 extreme cases1 extreme cases

92 analyzed cases

2 outlier cases

Page 36: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Paediatrica Indonesiana

84 • Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005

and without shock, although in subjects without shock

mean transaminase alterations were highest from S2

to S3 in both the RA and RL groups (Table 3). In

sum, it was shown that AST and ALT levels increased

on the second week after fever onset both in patients

with and without shock. After the second week and

into the third week, transaminase levels decreased.

In addition, the study indicated that AST levels tend

to be higher than ALT levels in all groups.

Discussion

Liver involvement in dengue infection has been

reported to be mild and manifested by the rise of liver

enzyme levels.5 However, reports have been made of

fulminant hepatitis with high mortality in patients with

dengue infection.14 Innis et al17 reviewed the clinical

course and liver histopathology of 19 fatal cases of

dengue infection. In his study, acute liver failure was

identified as a cause of death in DHF patients infected

by dengue virus types 1, 2 and 3. In Indonesia, the virus

type most frequently found in DHF patients is type 3,

which is associated with severe and fatal cases.17-20

Lin et al has proven in vitro that dengue virus

can infect diverse liver cells with differing replica-

tion efficiency, causing cytopathic effects (CPEs)

of diverse severity. Among the CPEs, the increased

AST levels was correlated with the clinical results

from 24 DHF patients, who showed increased AST

levels at the onset of fever.22

Complete liver function test should include ex-

aminations of albumin, prothrombin time, bilirubin,

transaminase, and gamma-glutamyl transpeptidase.

AST and ALT are very sensitive indicators to evaluate

liver impairment.23-28 This was the rationale for the

use of transaminase levels to evaluate hepatocellullar

impairment in this study.

In the beginning of this study, blood samples for

transaminase examinations were planned to be taken

TABLE 3. COMPARISON OF MEAN ALTERATION OF TRANSAMINASE LEVELS IN RA AND RL GROUPS

*) Mann-Whitney testS1= first week from fever onset; S2=second week from fever onset; S3=third week from fever onset

Without shock With shockMeantransaminaselevel alteration(U/l)

ASTS1 to S2S2 to S3S1 to S3ALTS1 to S2S2 to S3S1 to S3

RA(mean±SD)

2.52 + 142.9169.26 + 119.1666.73 + 136.51

11.73 + 95.3333.60 + 91.3321.86 + 48.82

RL(mean±SD)

17.43 + 60.4837.43 + 60.0620.00 + 21.85

9.00 + 24.6711.56 + 26.062.56 + 14.49

P

0.809*0.097*0.435*

0.605*0.750*0.286*

RA(mean±SD)

2.34 + 62.9242.30 + 44.9864.65 + 81.88

0.47 + 24.8717.95 + 26.6417.47 + 37.65

RL(mean±SD)

22.34 + 62.9242.30 + 44.9864.65 + 81.88

0.47 + 24.8717.95 + 26.6417.47 + 37.65

P

0.328*0.684*0.475*

0.605*0.904*0.302*

TABLE 2. COMPARISON BETWEEN MEAN TRANSAMINASE LEVELS OF RA AND RL GROUPS

*) Mann-Whitney testS1= first week from fever onset; S2=second week from fever onset; S3=third week from fever onset

Meantransaminaselevels (U/l)

ASTS1S2S3ALTS1S2S3

RA(mean+SD)

97.91 + 148.36100.43+122.0331.17 + 17.94

48.39 + 73.0960.13 + 96.5126.52 + 29.87

RL(mean+SD)

50.61 + 23.3768.04 + 59.7830.61 + 15.11

23.48 + 12.5832.48 + 23.5120.91 + 13.24

P

0.531*0.119*0.454*

0.226*0.531*0.461*

RA(mean+SD)

102.70 + 86.3480.35 + 55.3538.04 + 26.62

41.26 + 41.6341.74 + 29.0823.78 + 18.35

RL(mean+SD)

113.70 + 92.91211.78 +352.2089.00 + 135.52

47.61 + 50.66104.48 +149.0752.70 + 75.84

P

0.373*0.350*0.198*

0.482*0.150*0.066*

Without shock With shock

Page 37: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Mulya Rahma Karyanti et al: Effect of Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in DHF

Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005 • 85

on the first day of admission, on the 9th and 14th day

since the onset of fever. However, patient incompliance

made it difficult to obtain the blood samples on time. To

cope with this obstacle, the blood samples were taken

within the first, second and third weeks. Other studies

also encountered difficulties in obtaining blood samples

at a specific time. Mohan et al27 took blood samples on

the first, second, third, and fourth weeks. Nguyen et al26

undertook a similar study with the first blood samples

taken in the first week and second blood samples be-

tween the 8th and 11th day since the first symptoms.

Kuo et al24 took the first blood sample on the first week

and the next samples between the 8th and 21st day. Lin

et al22 also took the first blood sample in the first week

and the second between the 10th and 14th day.

Most studies have focused on comparing RA and

RL solutions by measuring lactate levels and observ-

ing acid-base disturbances in patients with shock, liver

insufficiency, burns, diabetic ketoacidosis, and post-

hepatectomy patients. Presently, studies comparing

transaminase levels after the use of RA and RL in

DHF patients have not been found.

Initially, the AST levels were higher than ALT leves

both in patients with and without shock (Table 2). These

results are supported by the outcome of other studies

and the speculation that myocytes or monocytes may

contribute to the higher AST increase.22,25,29,30 This

phenomenon differs from that in hepatitis virus-infected

patients, in which the ALT level is higher than the AST

level. AST is more specific and sensitive to detect hepa-

tocellular impairment because its concentration is high-

est in the liver. In contrast, AST is produced by the liver,

heart and skeletal muscles, kidney, pancreas, and mono-

cytes.32,33 In the early phase of DHF infection, a sys-

temic impairment occurs which also affects myocytes and

monocytes. According to Lin et al, liver cells infected by

the dengue virus are another source of AST production.

Moreover, the half-life of ALT (32-43 hours) is longer

than that of AST (12,5-22 hours), which explains why

AST declined more rapidly to normal levels (10 to 14

days after fever onset) than did ALT.22

In this study, marked disturbance of liver func-

tion indicating hepatocellular involvement was ob-

served in all cases (Table 2). AST and ALT levels

increased during the first week and reached its peak

during the second week, then decreased to normal

levels in the third week. This result is supported by

that of Mohan,27 who found similar results.

The mean AST and ALT levels in the RA and

RL groups without shock were highest on the second

week and decreased in the third week, but this differ-

ence was not significant statistically. The mean AST

and ALT levels in patients with shock was lower in the

RA group than in the RL group, with again no signifi-

cantly statistical difference. This suggests that RA does

not burden the liver.

In conclusion, in DHF without shock, there is

no significant difference between aminotransferase

level changes of patients receiving RA dan RL solu-

tions. In DHF with shock, aminotransferase levels

of patients receiving RA tend to be lower than those

receiving RL, but this difference is insignificant.

From our findings, we infer that either RA or

RL can be used in the management of DHF patients

without shock. Further study is needed in patients

with shock, since the mean transaminase levels were

lower in the RA group compared to RL group clini-

cally, even though the differences were not signifi-

cant statistically.

References

1. Harun SR. Telaah endotoksemia pada perjalanan

penyakit demam berdarah dengue, perhatian khusus

pada syok, produksi TNF-a, Interleukin-6, dan sebagai

faktor prediktor demam berdarah dengue berat [disser-

tation]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1996. p. 12-14.

2. Soedarmo SP. Demam berdarah dengue. Medika

1995;10:798-808.

3. Soedarmo SP. Masalah demam berdarah dengue di

Indonesia. In: Harun SR, Satari HI, editors. Demam

berdarah dengue, naskah lengkap pelatihan bagi

pelatih dokter spesialis anak dan dokter spesialis

penyakit dalam dalam tatalaksana kasus demam

berdarah dengue. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

1999. p. 1-5.

4. Bethell DB, Gamble J, Pham PL, Nguyen MD, Tran TH,

Ha TH, et al. Noninvasive measurement of microvascu-

lar leakage in patients with dengue haemorrhagic fever.

Clin Infect Dis 2001; 32:243-53.

5. Wahid SF, Sanusi S, Zawawi MM, Ali RA. A compari-

son of the pattern of liver involvement in dengue hem-

orrhagic fever with classic dengue fever. Southeast

Asian J Trop Med Public Health 2000;31:259-63.

6. Harun SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T.

Tatalaksana demam dengue/demam berdarah dengue

Page 38: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Paediatrica Indonesiana

86 • Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005

pada anak. In: Harun SR, Satari HI, editors. Demam

berdarah dengue, naskah lengkap pelatihan bagi pelatih

dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit

dalam dalam tatalaksana kasus demam berdarah den-

gue. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1999. p. 82-

137.

7. Kurane I, Ennis FA. Cytokines in dengue virus infec-

tions: role of cytokines in the pathogenesis of dengue

haemorrhagic fever. Semin Virology 1994;5:443-8.

8. Harun SR. Imunopatogenesis demam berdarah den-

gue. In: Akib AA, Tumbelaka AR, Matondang CS,

editors. Naskah lengkap PKB IKA XLIV: Pendekatan

imunologi berbagai penyakit alergi dan infeksi. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 41-57.

9. World Health Organization. Dengue hemorrhagic fe-

ver: diagnosis, treatment, prevention, and control. 2nd

ed. Geneva: WHO; 1997. p. 1-33.

10. World Health Organization. Guidelines for treatment

of dengue fever/dengue haemorrhagic fever in small

hospitals. 1st ed. New Delhi: WHO Regional Office

for South-East Asia; 1999. p. 16-8.

11. Latief A. Pemilihan cairan resusitasi pada anak:

kontroversi antara koloid dan kristaloid. In: Chair I,

Purwanto SH, Pudjiadi A, editors. Naskah lengkap PKB

IKA XXX: Pendekatan farmakologik pada pediatri gawat

darurat. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 1993. p. 37-50.

12. Sunatrio S. Resusitasi cairan. 1st ed. Jakarta: Media

Aesculapius FKUI, 2000. p. 1-120.

13. Sunatrio S. Larutan Ringer asetat dalam praktek klinis.

Presented at Simposium Alternatif Baru dalam Terapi

Resusitasi Cairan; 1999 Aug 14; Jakarta, Indonesia.

14. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I,

Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. In: Sastroasmoro S,

Ismael S, editors. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.

2nd edition. Jakarta: Sagung Seto; 2002. p. 259-86.

15. Suvatte V, Vajaradul C, Laohapand. Liver failure and

hepatic encephalopathy in dengue hemorrhagic fever/

dengue shock syndrome: correlation study with ac-

etaminophen usage. Southeast Asian J Trop Med Public

Health 1990;21:694-5.

16. Innis BL. Acute liver failure is one important cause of

fatal dengue infection. Southeast Asian J Trop Med

Public Health 1990;21:695-6.

17. Soedarmo SP. Patofisiologi dan patogenesis. In:

Sumarmo, editor. Demam berdarah dengue pada anak.

2nd ed. Jakarta: FKUI; 1988. p. 27-33.

18. Harun SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana

demam dengue/ demam berdarah dengue. 1st ed. Jakarta:

Ditjen P2MPLP Departemen Kesehatan RI; 1999. p. 1-6.

19. Juffrie M, Haasnoot K, Thijs LG. Dengue virus infec-

tion and dengue hemorrhagic shock. Crit Care and

Shock 2000;3:139-45.

20. Chameides L, Hazinski MR. Recognition of respiratoy

failure and shock. In: Aehlert B, editor. Pediatric Ad-

vanced Life Support. St Louis: Mosby; 1997. p. 1– 10.

21. Lin YL, Liu CC, Lei HY, Yeh TM, Lin YS, Chen RM, et

al. Infection of five human liver cell lines by dengue-2

virus. J Med Virol 2000; 60:425-31.

22. Krishnamurti C, Kalayanarooj S, Cutting MA, Peat RA,

Rothwell SW, Reid TJ, et al. Mechanisms of hemor-

rhage in dengue without circulatory collapse. Am J Trop

Med Hyg 2001;65:840-7.

23. Huerre MR, Lan NT, Marianneau P, Hue NB, Khun

H, Hung NT, et al. Liver histopathology and biological

correlates in five cases of fatal dengue fever in Viet-

namese children. Virchows Arch 2001;438:107-15.

24. Kuo CH, Tai DI, Chang-Chien CS, Lan CK, Chiou

SS, Liaw YF. Liver biochemical tests and dengue fever.

Am J Trop Med Hyg 1992;47:265-70.

25. Nguyen TL, Nguyen TH, Tieu NT. The impact of den-

gue haemorrhagic fever on liver function. Res Virol

1997;148:273-7.

26. Mohan B, Patwari AK, Anand VK. Hepatic dysfunc-

tion in childhood dengue infection. J Trop Pediatr

2000;46:40-3.

27. Johnston DE. Special considerations in interpreting liver

function tests. Am Fam Physician 1999;59:2223-30.

28. Wang LY, Chang WY, Lu SN, Chen TP. Sequential

changes of serum transaminase and abdominal

sonography in patients with suspected dengue fever [ab-

stract]. Gaoxiong Yi Xue Ke Xue Za Zhi 1990;6:483-9.

29. Nguyen TH, Lei HY, Nguyen TL, Lin YS, Huang KJ,

Le BL, et al. Dengue hemorrhagic fever in infants: a

study of clinical and cytokine profiles. J Infect Dis

2004;189:221-32.

30. Pancharoen C, Rungsarannont A, Thisyakorn U. Hepatic

dysfunction in dengue patients with various severity [ab-

stract]. J Med Assoc Thai 2002;85 (Suppl): 298-301.

31. Martin P, Friedman LS. Assessment of liver function

and diagnostic studies. In: Friedman LS, Keeffe EB,

editors. Handbook of liver disease. 1st ed. London:

Churchill Livingstone; 1998. p. 1-4.

32. Maller ES. Laboratory assessment of liver function and

injury in children. In: Suchy FJ, editor. Liver disease in

children. 1st ed. Missouri: Mosby; 1994. p. 269-80.

33. Ganong WF. Keseimbangan energi, metabolisme dan

nutrisi. In: Ganong WF, editor. Fisiologi kedokteran.

10th ed. Jakarta: ECG Penerbit Buku Kedokteran;

1988. p. 236-270.

Page 39: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 40: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 41: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 42: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 43: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 44: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 45: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 46: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 47: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 48: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 49: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 50: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 51: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 52: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 53: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 54: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 55: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 56: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 57: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A
Page 58: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

LAPORAN PENDAHULUAN

TROMBOSITOPENIA

A. Pengertian

Trombositopenia adalah suatu kekurangan trombosit, yang

merupakan bagian dari pembekuan darah. Pada orang normal jumlah

trombosit di dalam sirkulasi berkisar antara 150.000 -450000/ul, rata-

rata berumur 7-10 hari kira-kira 1/3 dari jumlah trombosit di dalam

sirkulasidarah mengalami penghancuran di dalam limpa oleh karena itu

untuk mempertahankan jumlah trombosit supaya tetap normal di

produksi 150.000 - 450000 sel trombosit perhari. Jika jumlah

trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal

meskipun biasanya gangguan baru timbul jika jumlah trombosit

mencapai kurang dari 10.000/mL.(Sudoyo,,2006). Trombositopenia

adalah suatu manifestasi tersering dari sindrom imunodefisiensi didapat

( Robbins,2007 ). Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit

dalam sirkulasi kelainan ini berkaitan dengan peningkatan resiko

perdarahan hebat,bahkan hanya dengan cidera ringan atau perdarahan

spontan kecil. ( Corwin, 2005 ). Trombositopenia adalah suatu penyakit

yang disebabkan oleh kekurangan trombosit. Kadar trombosis di

dalam plasma darah kurang dari 200 ribu/mm3. Trombosit adalah salah

satu protein dalam pembekuan darah (Price & Wilson,2005). Idiopatik

trombositopenia purpura ( ITP )adalah penyakit yang menyerang

segala golongan usia. Penyebabnya belum diketahui pasti. Infeksi virus

kadang mendahului penyakit ini. Masa hidup trombosit menjadi lebih

pendek ( Brunner & Suddart,2009 ). Purpur Trombositopenia idiopatik

merupakan suatu penyakit autoimun, paling sering terjadi sebagai

kelainan yang tamaknya tersendiri walaupun terkadang merupakan

manifestasi pertama SLE (Sistemik lupus eritematosus ) ( Robbins,2007).

Page 59: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

B. Penyebab

Menurut Robbins (2007 ) penyebab terjadinya trombositopenia adalah :

1. Penurunan Produksi Trombosit

Dapat disebabkan oleh berbagai bentuk kegagalan atau cedera

sumsum tulang, yang mencangkup anemia aplastik ideopatik,

kegagalan sumsum tulang akibat obat, dan kegagalan sumsum

tulang oleh tumor. Trombositopenia juga merupakan bahaya yang

dapat terjadi setelah transplantasi sumsum tulang. Pemulihan

trombosit berlangsung jauh lebih lambat darpada pemulihan turunan

sel lainnya. Pada semua keadaan diatas, Trombositopenia disebabkan

oleh penurunan megakariosis sumsum tulang.

2. Penurunan Usia Trombosit

Percepatan destruksi tromsosit sering bersifat imunologis,

terjadi akibat pembentukan antibody antitrombosit atau adsorpsi

trombosit oleh komplek imun yang terbentuk didalam sirkulasi.

Destruksi trombosit yang diperantarai oleh antibody mungkin

berkaitan dengan penyakit autoimun, seperti SlE, atau timbul

sebagai kelainan tersendiri ( ITP ). Sebagai trombositopenia akibat

obat juga imunologis. Penyebab non imunologik pada destruksi

terlebih trombosit secara berlebihan trombosit yaitu pemakaian

trombosit secara berlebihan yang terjadi pada DIC, katup jantung

prostetik dan suatu penyakit yang jarang disebut purpura

trombositopenik trombolitik.

3. Sekuestrasi

Limpa sering tertekan pada berbagai sistemik.limpa yang

membesar menyebabkan pembersihan dalam jumlah besar satu

atau lebih elemen terbentuk di dalam, sehingga terjadi anemia,

leukopenia atau trombositopenia. Keadaan ini disebut hipersplenisme.

4. Pengenceran akibat tranfusi trombosit.

Terapi trenfusi trombosit telah membuat kemajuan dan kebanyakan

pasien defisiensi trombosit atau disfungsi memperoleh manfaat

Page 60: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

dari terapi tersebut. Pasien dengan masalah yang berkaitan dengan

meningkatnya konsumsi trombosit, tranfusi trombosit tampaknya

hanya sedikit atau tidak ada manfaatnya. Pada pasien dengan

trombositopenia imun,tidak ada manfaatnya tidak efektif dan bahkan

akan memperburuk keadaan.

C. Tanda dan Gejala

1. Peradangan kulit biasa merupakan pertanda awal dari jumlah

trombosit yang kurang.

2. Peteki atau bintik bintik merah sering kali muncul pada area

tungkai bawah.

3. Memar bisa timbul hanya karena cidera ringan.

4. Perdarahan spontan dari gusi dan hidung.

5. Kadang darah juga di temukan pada tinja atau air kemih

6. Pada penderita wanita darah menstruasi bisa sangat banyak.

7. Perdarahan sukar berhenti sehingga pembedahan dan kecelakaan

dapat berakibat fatal

D. Patofisiologi

Fungsi trombosit dapat berubah (trombositopati) melalui berbagi

cara yang mengakibatkan semakin lamanya pendarahan. Obat-obat seperti

aspirin, indometasin, fenilbutazon menghambat agresgasi dan reaksi

pelepasan trombosit, dengan demikian menyebabkan pendarahn yang

memanjang walaupun jumlah trombosit normal. Pengaruh aspirin

tunggal dapat berlangsung selama 7 hari hingga 10 hari. Protein

plasma, seperti yang di temukan pada makroglobulinemia dn

myeloma multiple menyelubungi trombosit, mengganggu adhesi

trombosit, reaksi bekuan, dan polimerasi fibrin.

E. Pemeriksaan Diagnostik

Penurunan produksi trombosit, dibuktikan dengan aspirasi dan

biopsy sumsum tulang, dijumpai pada segala kondisi yang

Page 61: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

mengganggu atau menghambat fungsi sumsum tulang. Kondisi ini

meliputi anemia aplastik, mieleofibrosis (pengganti unsur-unsur

sumsum tulang dengan jaringan fibrosa), leukimia akut, dan

karisinoma metastatik lain yang mengganti unsur-unsur sumsum tulang

normal.

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan trombositopenia biasanya adalah mengobati

penyakit yang mendasarinya. Apabila terjadi gangguan produksi

trombosit, maka tranfusi trombosit dapat menaikan angka trombosit

dan menghentikan perdarahan atau mencegah perdarahan intrakranial.

Apabila terjadi penghancuran trombosit yang esksesif, trombosit yang

ditranfusikan juga akan hancur dan tidak akan menaikan angka trombosit.

G. Diagnosa

1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan

sumber informasi.

5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake

yang kurang, anoreksia

H. Batasan Karakteristik

1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis

Perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, perubahan

frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernafasan, laporan isyarat,

diaforesis, prilaku distraksi, mengekspresikan perilaku,

maskerwajah ( mata kurang bercahaya, tampak kacau, meringis),

sikap melindungi area nyeri, fokus menyempit misal gangguan

persepsi nyeri,hambatan proses berfikir, penurunan interaksi dengan

Page 62: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

orang dan linhgkungan ), indikasi nyeri yang dapat diamati,

melaporkan nyeri secara verbal, fokus pada diri sendiri.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

Respon tekanan darah abnormal terhapad aktivitas, respon

frekuensi jantung abnormal, perubahan EkG, ketidaknyamanan

setelah aktivitas, dispnea setelah beraktivitas, merasakan merasa

letih, merasa lemah.

3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia

Faktor resiko : Aneurisme, sirkumsisi, defisiensi pengetahuan,

koagulan intravaskuler diseminata, riwayat jatuh, gangguan

gastrointersinal, gangguan fungsi hati, koagulan inheren,

komplikasi pascapartum, komplikasi terkait kehamilan, trauma, efek

samping terkait terapi

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan

sumber informasi

Memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti

instruksi, perilaku tidak sesuai.

5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake

yang kurang, anoreksia

Berat badan 20 % atau lebih di bawah ideal, dilaporkan

adanya intake makanan yang kurang dari RDA (Recomended Daily

Allowance), membran mukosa dan konjungtiva pucat, kelemahan otot

yang digunakan untuk menelan/mengunyah, luka inflamasi pada

rongga mulut, mudah merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah

makanan, dilaporkan atau fakta adanya kekurangan makanan,

dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa, perasaan ketidakmampuan

untuk mengunyah makanan, miskonsepsi, kehilangan BB dengan

makanan cukup, eengganan untuk makan, kram pada abdomen,

tonus otot jelek, nyeri abdominal dengan atau tanpa patologi,

kurang berminat terhadap makanan, pembuluh darah kapiler mulai

Page 63: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

rapuh, diare dan atau steatorrhea, kehilangan rambut yang cukup

banyak (rontok)

I. Fokus Intervensi Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis

Kaji nyeri secara komprehensif, monitor ttv, ajarkan teknik non

farmakologi nafas dalam, berikan lingkungan yang nyaman untuk

mengurangi nyeri, anjurkan istirahat cukup, kolaborasi dengan dokter

pemberian terapi analgetik untuk mengurangi nyeri

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

NOC : Energy conservation Self Care : ADLs

NIC : Energy Management

Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas,

dorong anak untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan,

kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan, monitor nutrisi dan

sumber energi yang adekuat, monitor pasien akan adanya kelelahan

fisik dan emosi secara berlebihan, monitor respon kardivaskuler

terhadap aktivitas, monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat

pasien.

3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan

sumber informasi

NIC : Teaching : disease Process

Diskusikan perubahan Berikan penilaian tentang tingkat

pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik Jelaskan

patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan

dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat. Gambarkan

tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara

yang tepat Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat

Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat, sediakan

informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat,

hindari harapan yang kosong, sediakan bagi keluarga informasi

tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat, gaya hidup yang

Page 64: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan

datang dan atau proses pengontrolan penyakit, diskusikan pilihan

terapi atau penanganan, dukung pasien untuk mengeksplorasi atau

mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau

diindikasikan, eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan

dengan cara yang tepat, rujuk pasien pada grup atau agensi di

komunitas lokal dengan cara yang tepat, instruksikan pasien mengenai

tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan

dengan cara yang tepat.

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

NIC : Nutrition Management

Kaji adanya alergi makanan, kolaborasi dengan ahli gizi untuk

menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien,

anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe, anjurkan pasien untuk

meningkatkan protein dan vitamin C, berikan substansi gula, yakinkan

diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah

konstipasi, berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan

dengan ahli gizi), ajarkan pasien bagaimana membuat catatan

makanan harian, monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori, berikan

informasi tentang kebutuhan nutrisi, kaji kemampuan pasien untuk

mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.

NIC : Nutrition Monitoring

BB pasien dalam batas normal, monitor adanya penurunan berat

badan, monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan, monitor

interaksi anak atau orangtua selama makan, monitor lingkungan

selama makan, jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam

makan, monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi, monitor turgor

kulit, monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah, monitor

mual dan muntah, monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar

Ht, monitor makanan kesukaan, monitor pertumbuhan dan

perkembangan, monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan

Page 65: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

konjungtiva, monitor kalori dan intake nuntrisi, catat adanya edema,

hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.

Page 66: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

DAFTAR PUSTAKA

Nanda. (2012). Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika

Price, S. A. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume

1. Jakarta : EGC

Price, S.A., Lorraine, M. W. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit, Edisi 6. Jakarta : EGC

Robbins, dkk. (2007). Buku Ajar Patologi, Edisi 7. Jakarta : EGC

Saryabudi, Raharjuningsih, D. (2007). Hemostatis dan Trombosis. Edisi 3. Jakarta

: Balai Penerbit FKUI

Tailor, C. M. (2010). Diagnosis dengan Rencana Asuhan. Jakarta : EGC

Page 67: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

SATUAN ACARA PENYULUHAN

TROMBOSITOPENIA DI RUANG MELATI

DI RS Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN

DISUSUN OLEH

FITHROH ANGGRAINI

A01301755

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

MUHAMMADIYAH GOMBONG

2016

Page 68: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

SAP TROMBOSITOPENIA

Topik : Trombositopenia

Sasaran : Orang tua klien dan klien

Tempat : Ruang Melati

Hari : 31 mei 2016

Waktu : 30 menit

A. TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti penyuluhan, diharapkan orang tua dan keluarga mampu

memahami tentang penyakit trombositopenia dan mampu memberi perawatan.

B. TUJUAN KHUSUS

Setelah diberikan penyuluhan mengenai Trombositopenia, orangtua dapat

:

1. Menjelaskan Pengertian Trombositopenia

2. Menjelaskan Penyebab Trombositopenia

3. Menjelaskan Tanda dan gejala Trombositopenia

4. Menjelaskan Akibat dari Trombositopenia

5. Menjelaskan Cara merawat klien dengan Trombositopenia

C. SASARAN

Orang tua dan keluarga

D. MATERI (TERLAMPIR)

1. Pengertian Trombositopenia

2. Penyebab Trombositopenia

3. Tanda dan Gejala Trombositopenia

Page 69: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

4. Akibat dari Trombositopenia

5. Cara merawat klien dengan Trombositopenia

E. METODE

1. Ceramah

2. Tanya Jawab

F. MEDIA

1. Leaflet

2. Lembar Balik

G. KEGIATAN PENYULUHAN

No Waktu Kegiatan Penyuluh Kegiatan peserta

1. 5 menit Pembukaan :

1. Mengucapkan salam pembuka

2. Memperkenalkan diri

3. Menjelaskan maksud dan tujuan dilakukan

penyuluhan

4. Menanyakan kepada klien sejauh mana

pemahaman tentang materi yang akan

disampaikan

1. Menjawab salam

2. Mendengarkan

3. Mendengarkan

4. Menjawab

pertanyaan penyuluh

2. 15 menit Pelaksanaan :

1. Menjelaskanpengertian

Trombositopenia

2. Menjelaskan Penyebab

Trombositopenia

3. Menjelaskan Tanda dan gejala

1. Memperhatikan

2. Memperhatikan

Memperhatikan

Memperhatikan

4. Memperhatikan

Page 70: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Trombositopenia

4. Menjelaskan Akibat dari

Trombositopenia

5. Menjelaskan Cara merawat klien

dengan Trombositopenia

5.

3. 10 menit Penutup :

1. Menggali pengetahuan peserta tentang materi

yang telah disampaikan.

2. Menyimpulkan hasil kegiatan penyuluhan

3. Mengucapkan salam penutup

1. Menjelaskan tentang

materi

Trombositopenia

yang telah

disampaikan.

2. Mendengarkan

3. Menjawab salam

H. KRITERIA EVALUASI

1. Evaluasi Proses

a. Kegiatan penyuluhan dihadiri oleh klien dan orang tua

b. Media yang digunakan adalah leaflet dan Lembar balik

c. Waktu penyuluhan selama 30 menit.

d. Penyelenggaraan penyuluhan diadakan di ruang melati

e. Penyaji diharapkan menguasai materi dengan baik.

f. Pengorganisasian penyuluhan dipersiapkan beberapa hari sebelum

penyuluhan.

g. Klien dan orang tua hadir mengikuti penyuluhan dan tidak

meninggalkan tempat penyuluhan sebelum kegiatan penyuluhan

selesai dilakukan.

Page 71: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

h. Diharapkan klien dan orang tua antusias mengikuti proses penyuluhan

sampai kegiatan penyuluhan selesai.

2. Evaluasi Hasil

Setelah dilakukan penyuluhan tentang Trombositopenia diharapkan

klien mampu :

a. Mengetahui Pengertian Trombositopenia

b. Mengetahui Penyebab Trombositopenia

c. Mengetahui Tanda dan Gejala Trombositopenia

d. Mengetahui Penanganan Trombositopenia

e. Mengetahui Pencegahan Trombositopenia

Page 72: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Lampiran Materi

A. Pengertian

Trombositopenia adalah suatu kekurangan trombosit, yang

merupakan bagian dari pembekuan darah. Pada orang normal jumlah

trombosit di dalam sirkulasi berkisar antara 150.000 -450000/ul, rata-rata

berumur 7-10 hari kira-kira 1/3 dari jumlah trombosit di dalam sirkulasidarah

mengalami penghancuran di dalam limpa oleh karena itu untuk

mempertahankan jumlah trombosit supaya tetap normal di produksi

150.000 - 450000 sel trombosit perhari. Jika jumlah trombosit kurang

dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun biasanya

gangguan baru timbul jika jumlah trombosit mencapai kurang dari

10.000/mL.(Sudoyo,,2006). Trombositopenia adalah suatu manifestasi

tersering dari sindrom imunodefisiensi didapat ( Robbins,2007 ).

Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi

kelainan ini berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan

hebat,bahkan hanya dengan cidera ringan atau perdarahan spontan kecil. (

Corwin, 2005 ). Trombositopenia adalah suatu penyakit yang disebabkan

oleh kekurangan trombosit. Kadar trombosis di dalam plasma darah

kurang dari 200 ribu/mm3. Trombosit adalah salah satu protein dalam

pembekuan darah (Price & Wilson,2005). Idiopatik trombositopenia purpura

( ITP )adalah penyakit yang menyerang segala golongan usia. Penyebabnya

belum diketahui pasti. Infeksi virus kadang mendahului penyakit ini. Masa

hidup trombosit menjadi lebih pendek ( Brunner & Suddart,2009 ). Purpur

Trombositopenia idiopatik merupakan suatu penyakit autoimun, paling sering

terjadi sebagai kelainan yang tamaknya tersendiri walaupun terkadang

merupakan manifestasi pertama SLE (Sistemik lupus eritematosus ) (

Robbins,2007).

Page 73: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

B. Penyebab

Menurut Robbins (2007 ) penyebab terjadinya trombositopenia adalah :

1. Penurunan Produksi Trombosit

Dapat disebabkan oleh berbagai bentuk kegagalan atau cedera

sumsum tulang, yang mencangkup anemia aplastik ideopatik,

kegagalan sumsum tulang akibat obat, dan kegagalan sumsum tulang

oleh tumor. Trombositopenia juga merupakan bahaya yang dapat

terjadi setelah transplantasi sumsum tulang. Pemulihan trombosit

berlangsung jauh lebih lambat darpada pemulihan turunan sel lainnya.

Pada semua keadaan diatas, Trombositopenia disebabkan oleh

penurunan megakariosis sumsum tulang.

2. Penurunan Usia Trombosit

Percepatan destruksi tromsosit sering bersifat imunologis, terjadi

akibat pembentukan antibody antitrombosit atau adsorpsi trombosit

oleh komplek imun yang terbentuk didalam sirkulasi. Destruksi trombosit

yang diperantarai oleh antibody mungkin berkaitan dengan penyakit

autoimun, seperti SlE, atau timbul sebagai kelainan tersendiri ( ITP

). Sebagai trombositopenia akibat obat juga imunologis. Penyebab

non imunologik pada destruksi terlebih trombosit secara berlebihan

trombosit yaitu pemakaian trombosit secara berlebihan yang terjadi

pada DIC, katup jantung prostetik dan suatu penyakit yang jarang

disebut purpura trombositopenik trombolitik.

3. Sekuestrasi

Limpa sering tertekan pada berbagai sistemik.limpa yang

membesar menyebabkan pembersihan dalam jumlah besar satu atau

lebih elemen terbentuk di dalam, sehingga terjadi anemia, leukopenia

atau trombositopenia. Keadaan ini disebut hipersplenisme.

4. Pengenceran akibat tranfusi trombosit.

Page 74: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Terapi trenfusi trombosit telah membuat kemajuan dan kebanyakan

pasien defisiensi trombosit atau disfungsi memperoleh manfaat dari

terapi tersebut. Pasien dengan masalah yang berkaitan dengan

meningkatnya konsumsi trombosit, tranfusi trombosit tampaknya

hanya sedikit atau tidak ada manfaatnya. Pada pasien dengan

trombositopenia imun,tidak ada manfaatnya tidak efektif dan bahkan akan

memperburuk keadaan.

C. Tanda dan Gejala

1. Peradangan kulit biasa merupakan pertanda awal dari jumlah

trombosit yang kurang.

2. Peteki atau bintik bintik merah sering kali muncul pada area tungkai

bawah.

3. Memar bisa timbul hanya karena cidera ringan.

4. Perdarahan spontan dari gusi dan hidung.

5. Kadang darah juga di temukan pada tinja atau air kemih

6. Pada penderita wanita darah menstruasi bisa sangat banyak.

7. Perdarahan sukar berhenti sehingga pembedahan dan kecelakaan

dapat berakibat fatal

D. Patofisiologi

Fungsi trombosit dapat berubah (trombositopati) melalui berbagi cara

yang mengakibatkan semakin lamanya pendarahan. Obat-obat seperti aspirin,

indometasin, fenilbutazon menghambat agresgasi dan reaksi pelepasan

trombosit, dengan demikian menyebabkan pendarahn yang memanjang

walaupun jumlah trombosit normal. Pengaruh aspirin tunggal dapat

berlangsung selama 7 hari hingga 10 hari. Protein plasma, seperti yang

di temukan pada makroglobulinemia dn myeloma multiple menyelubungi

Page 75: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

trombosit, mengganggu adhesi trombosit, reaksi bekuan, dan polimerasi

fibrin.

E. Pemeriksaan Diagnostik

Penurunan produksi trombosit, dibuktikan dengan aspirasi dan biopsy

sumsum tulang, dijumpai pada segala kondisi yang mengganggu atau

menghambat fungsi sumsum tulang. Kondisi ini meliputi anemia

aplastik, mieleofibrosis (pengganti unsur-unsur sumsum tulang dengan

jaringan fibrosa), leukimia akut, dan karisinoma metastatik lain yang

mengganti unsur-unsur sumsum tulang normal.

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan trombositopenia biasanya adalah mengobati penyakit

yang mendasarinya. Apabila terjadi gangguan produksi trombosit, maka

tranfusi trombosit dapat menaikan angka trombosit dan menghentikan

perdarahan atau mencegah perdarahan intrakranial. Apabila terjadi

penghancuran trombosit yang esksesif, trombosit yang ditranfusikan juga

akan hancur dan tidak akan menaikan angka trombosit.

G. Diagnosa

1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan

sumber informasi.

5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake

yang kurang, anoreksia

Page 76: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

H. Batasan Karakteristik

1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis

Perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, perubahan

frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernafasan, laporan isyarat,

diaforesis, prilaku distraksi, mengekspresikan perilaku, maskerwajah (

mata kurang bercahaya, tampak kacau, meringis), sikap melindungi area

nyeri, fokus menyempit misal gangguan persepsi nyeri,hambatan proses

berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan linhgkungan ),

indikasi nyeri yang dapat diamati, melaporkan nyeri secara verbal, fokus

pada diri sendiri.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

Respon tekanan darah abnormal terhapad aktivitas, respon

frekuensi jantung abnormal, perubahan EkG, ketidaknyamanan setelah

aktivitas, dispnea setelah beraktivitas, merasakan merasa letih, merasa

lemah.

3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia

Faktor resiko : Aneurisme, sirkumsisi, defisiensi pengetahuan,

koagulan intravaskuler diseminata, riwayat jatuh, gangguan

gastrointersinal, gangguan fungsi hati, koagulan inheren, komplikasi

pascapartum, komplikasi terkait kehamilan, trauma, efek samping terkait

terapi

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan sumber

informasi

Memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti

instruksi, perilaku tidak sesuai.

5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang

kurang, anoreksia

Berat badan 20 % atau lebih di bawah ideal, dilaporkan adanya

intake makanan yang kurang dari RDA (Recomended Daily Allowance),

Page 77: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

membran mukosa dan konjungtiva pucat, kelemahan otot yang digunakan

untuk menelan/mengunyah, luka inflamasi pada rongga mulut, mudah

merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah makanan, dilaporkan atau

fakta adanya kekurangan makanan, dilaporkan adanya perubahan sensasi

rasa, perasaan ketidakmampuan untuk mengunyah makanan,

miskonsepsi, kehilangan BB dengan makanan cukup, eengganan

untuk makan, kram pada abdomen, tonus otot jelek, nyeri abdominal

dengan atau tanpa patologi, kurang berminat terhadap makanan, pembuluh

darah kapiler mulai rapuh, diare dan atau steatorrhea, kehilangan rambut

yang cukup banyak (rontok)

I. Fokus Intervensi Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis

Kaji nyeri secara komprehensif, monitor ttv, ajarkan teknik non

farmakologi nafas dalam, berikan lingkungan yang nyaman untuk

mengurangi nyeri, anjurkan istirahat cukup, kolaborasi dengan dokter

pemberian terapi analgetik untuk mengurangi nyeri

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

NOC : Energy conservation Self Care : ADLs

NIC : Energy Management

Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas,

dorong anak untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan, kaji

adanya factor yang menyebabkan kelelahan, monitor nutrisi dan sumber

energi yang adekuat, monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan

emosi secara berlebihan, monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas,

monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien.

3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan

sumber informasi

NIC : Teaching : disease Process

Page 78: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Diskusikan perubahan Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan

pasien tentang proses penyakit yang spesifik Jelaskan patofisiologi dari

penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan

fisiologi, dengan cara yang tepat. Gambarkan tanda dan gejala yang

biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat Gambarkan proses

penyakit, dengan cara yang tepat Identifikasi kemungkinan penyebab,

dengan cara yang tepat, sediakan informasi pada pasien tentang

kondisi, dengan cara yang tepat, hindari harapan yang kosong, sediakan

bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang

tepat, gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di

masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit, diskusikan

pilihan terapi atau penanganan, dukung pasien untuk mengeksplorasi

atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau

diindikasikan, eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan dengan

cara yang tepat, rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal

dengan cara yang tepat, instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala

untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan dengan cara yang

tepat.

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

NIC : Nutrition Management

Kaji adanya alergi makanan, kolaborasi dengan ahli gizi untuk

menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien, anjurkan

pasien untuk meningkatkan intake Fe, anjurkan pasien untuk

meningkatkan protein dan vitamin C, berikan substansi gula, yakinkan

diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah

konstipasi, berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan

dengan ahli gizi), ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan

harian, monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori, berikan informasi

Page 79: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

tentang kebutuhan nutrisi, kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan

nutrisi yang dibutuhkan.

NIC : Nutrition Monitoring

BB pasien dalam batas normal, monitor adanya penurunan berat

badan, monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan, monitor

interaksi anak atau orangtua selama makan, monitor lingkungan selama

makan, jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan,

monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi, monitor turgor kulit,

monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah, monitor mual dan

muntah, monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht, monitor

makanan kesukaan, monitor pertumbuhan dan perkembangan, monitor

pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva, monitor kalori

dan intake nuntrisi, catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila

lidah dan cavitas oral.

Page 80: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

DAFTAR PUSTAKA

Nanda. (2012). Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika

Price, S. A. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume 1.

Jakarta : EGC

Price, S.A., Lorraine, M. W. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit, Edisi 6. Jakarta : EGC

Robbins, dkk. (2007). Buku Ajar Patologi, Edisi 7. Jakarta : EGC

Saryabudi, Raharjuningsih, D. (2007). Hemostatis dan Trombosis. Edisi 3. Jakarta :

Balai Penerbit FKUI

Tailor, C. M. (2010). Diagnosis dengan Rencana Asuhan. Jakarta : EGC

Page 81: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

TROMBOSITOPENIA

DI SUSUN OLEH

FERINA NURIASIH

A01301751

PRODI DIII KEPERAWATAN

STIKES MUHAMMADIYAH GOMBONG

2016

Page 82: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

PENGERTIAN

Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah

trombosit kurang dari100.000 / mm3 dalam

sirkulasi darah. Darah biasanya mengandung

sekitar 150.000-350.000 trombosit/mL. Jika jumlah

trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi

perdarahan abnormal meskipun biasanya gangguan

baru timbul jika jumlah trombosit mencapai kurang

dari 10.000/mL.

Page 83: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

PENYEBAB

1. Berkurangnya produksi atau meningkatnya

penghancuran trombosit.

2. Keadaan trombositopenia dengan produksi trombosit

normal biasanya disebabkan oleh penghancuran atau

penyimpanan yang berlebihan.

3. Trombosit dapat juga dihancurkan oleh produksi

antibodi yang diinduksioleh obat.

4. Perusakan atau penekanan pada sumsum tulang.

5. Kemoterapeutik yang bersifat toksik terhadap sumsum

tulang.

6. Trombosit menjadi terlarut

Page 84: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

TANDA GEJALA

1. Adanya petekhiedanpupura pada ekstermitas dan

tubuh

2. Menstruasi yang banyak

3. Perdarahan pada mukosa, mulut, hidung, dan gusi

4. Muntah darah dan batuk darah

5. Perdarahan Gastro Intestinal

6. Adanya darah dalam urin dan feses

7. Perdarahan serebral, terjadi 1 – 5 % pada ITP.

Page 85: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

KOMPLIKASI

1. Syock hipovolemik

2. Penurunan curah jantung

3. Purpura, ekimosis, dan petekie

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

LaboratoriumDarah

PENATALAKSANAAN

Tranfusitrombosit

Page 86: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

MAKANAN/BUAH YANG DAPAT

MENINGKATKAN TROMBOSIT

Pepaya

Bahan yang disediakan: 50 gram papaya kupas cuci bersih dan potong-potong. 3

sdm (30 ml) ASI

Cara membuat: Blender papaya hingga lembut. Tuang Makanan bayi usia 6

bulan dari pure papaya ke mangkuk. Tambahkan ASI dan aduk rata. Segera

berikan kepada bayi.

Jambu merah

Bahan : 100 gr jambu biji merah, kupas kulitnya dan buang bijinya

50 gr wortel, kupas kulitnya dan potong-poyong

200 mili liter air matang

Cara membuat : haluskan daging jambu biji merah dengan 10 mili liter air,

kemudian tuang kedalam sebuah mangkuk, rebus wortel kurang lebih selama 3

menit dengan sekitar 100 mili liter air, haluskan wortel tadi bersama sisa air,

setelah itu tuangkan ke atas bubur jambu. Lalu hidangkan

Page 87: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Sayuran hijau

Bahan : 115 gram Brokoli. 175 gram Kentang. 300 cc Susu Formula Cair.

115 gram Wortel.

Cara masak : Pertama siapkan susu formula cair, yaitu 3 sendok takar peres susu

bubuk formula kemudian larutkan dalam 300 cc air matang. Kemudian cuci brokoli,

potong sesuai kuntum. kupas wortel dan kentang, cuci, lalu potong dadu kecil.

Selanjutnya masukkan sayuran dalam panci kecil, tambahkan 250 cc air lalu masak

hingga matang. Kemudian haluskan dengan blender hingga lembut. tuang ke dalam

mangkuk. sajikan.

Hati

Bahan: 20 gr beras, cuci bersih, 625 cc air, 25 gr hati ayam, 26 gr tempe, 27 gr

tomat, 28 gr daun bayam, iris kasar, 1 sdt margarin/ mentega

Cara membuat:

1. Campur beras yang sudah dibersihkan dengan air, hati ayam, dan tempe. Rebus

sambil terus diaduk hingga menjadi bubur.

2. Masukkan bayam dan tomat, masak hingga sayuran matang. Angkat.

3. Masukkan margarin/ mentega, aduk rata.

4. Setelah dingin, haluskan dengan blender atau saringan kawat.

Tempatkan dalam wadah, siap diberikan pada bayi.

Page 88: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Kurma

Bahan : 100 ml ASI, 100 ml Air Hingga Matang, 2 sendok makan Kacang Hijau

Tanpa Kulit, 3 buah Kurma

Cara membuat : Pertama masak 2 sendok makan kacang hijau tanpa kulit

menggunakan 100 ml asi atau 3 sendok takar susu formula yang sudah diseduh

dengan 100 ml air hingga matang. Kemudian masukkan 3 buah kurma yang sudah

dipotong kecil. aduk hingga matang.

BUAH BIT

Bahan : 250 gram Air Atau Kaldu Ayam, 1 sendok makan Tepung Beras, 50 gram

Umbi Bit

Cara masak : Pertama kupas buah bit kemudian potong dadu. Kemudian larutkan

tepung beras dengan sedikit air. Selanjutnya didihkan kaldu atau air, lalu masukkan potongan

umbi bit. masak hingga umbi bit matang. Kemudian tuang larutan tepung beras. didihkan

kembali hignga tekstur mengental dan matang. angkat. Lalu tuang ke dalam tabung blender.

proses hingga lembut. tuang ke dalam mangkuk saji. sajikan.

Contoh jadwal makanan tambahan Umur 6-12 bulan :

6 pagi Susu ibu

9-10 pagi Bijirin dan susu atau buah-buahan dengan bubur/sup atau telur rebus

1-2 tengahari Nasi tim dan ikan dengan sayur-sayuran hijau atau daging dan puree

sayur

3-4 petang Susu atau buah-buahan atau air

5-6 petang Nasi tim dan kacang-kacang

Pisang lecek

Masa tidur Susu ibu

Page 89: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

Pepaya adalah buah terbaik yang bisa meningkatkan jumlah keping darah dandapat

meningkatkan kadar trombosit Anda secara alami.

Delima

Buah berwarna merah ini kaya akan zat besi yang bisa membantu dalam meningkatkan

jumlah trombositdan tinggi akan vitamin dapat membantu Anda dalam melawan penyakit

demam berdarah.

Sayuran hijau

Sayuran hijau mengandung vitamin K yang baik dikonsumsi ketika jumlah trombosit Anda

menurun. Dan untuk meningkatkan jumlah keping darah Anda.

Bawang putih

Selain baik untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh secara alami, mengonsumsi

bawang putih juga mampu menambah keping darah dalam tubuh.

Buah bit

Buahinimampu menjaga jumlah keping darah Anda agar tidak turun.

Hati

Baik hati ayam maupun hati sapi, keduanya bermanfaat untuk menambah jumlah trombosit

atau keping darah Anda.

Kismis

Buah-buahan kering seperti kismis mengandung 30% zat besi yang baik untuk

meningkatkan kadar trombosit secara alami. Aprikot

Aprikot adalah jenis buah yang tinggi akan zat besi di dalamnya. Mengonsumsi sebuah

aprikot setiap hari dapat menambah jumlah keping darah Anda.

Kurma

Kurma tinggi akan zat besi serta nutrisi lainnya yang bermanfaat untuk menambah

trombosit secara alami.

Gandum utuh

Daripada nasi, lebih baik konsumsi gandum utuh sebagai asupan karbohidrat Anda saat

sakit. Sebab gandum kaya akan serat, nutrisi, mineral, vitamin yang baik untuk

meningkatkan jumlah keping darah dalamtubuh.

Jambumerah Jambu biji merah sangat kaya akan vitamin C, bahkan kandungan vitamin C-nya lebih

tinggi dari buah-buah lainnya, sehingga tak heran bila buah ini sangat baik untuk

mempertahankan daya tahan dan kebugaran tubuh.

Page 90: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

DI SUSUN OLEH

FERINA NURIASIH

A01301751

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

MUHAMMADIYAH GOMBONG

2016

A. DEFINISI

Trombositopenia didefinisikan sebagai

jumlah trombosit kurang dari100.000 /

mm3 dalam sirkulasi darah. Darah

biasanya mengandung sekitar 150.000-

350.000 trombosit/mL. Jika jumlah

trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa

terjadi perdarahan abnormal meskipun

biasanya gangguan baru timbul jika

jumlah trombosit mencapai kurang

dari 10.000/mL.

B. PENYEBAB

1. Berkurangnya produksi atau

meningkatnya penghancuran

trombosit.

2. Keadaan trombositopenia dengan

produksi trombosit normal

biasanya disebabkan oleh

penghancuran atau penyimpanan

yang berlebihan.

3. Trombosit dapat juga dihancurkan

oleh produksi antibodi yang

diinduksioleh obat.

4. Perusakan atau penekanan pada

sumsum tulang.

5. Kemoterapeutik yang bersifat

toksik terhadap sumsum tulang.

6. Trombosit menjadi terlarut

C. TANDA GEJALA

1. Adanya petekhie pada ekstermitas

dan tubuh

2. Menstruasi yang banyak

3. Perdarahan pada mukosa, mulut,

hidung, dan gusi

4. Muntah darah dan batuk darah

5. Perdarahan Gastro Intestinal

6. Adanya darah dalam urin dan

feses

7. Perdarahan serebral, terjadi 1 – 5

% pada ITP.

D. KOMPLIKASI

1. Syock hipovolemik

2. Penurunan curah jantung

3. Purpura, ekimosis, dan petekie

Page 91: ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

LaboratoriumDarah

F. PENATALAKSANAAN

Tranfusitrombosit

G. 10 MAKANAN YANG DAPAT

MENINGKATKAN TROMBOSIT

Pepaya

Pepaya adalah buah terbaik yang bisa

meningkatkan jumlah keping darah

dandapat meningkatkan kadar

trombosit Anda secara alami.

Delima

Buah berwarna merah ini kaya akan

zat besi yang bisa membantu dalam

meningkatkan jumlah trombositdan

tinggi akan vitamin dapat membantu

Anda dalam melawan penyakit demam

berdarah.

Sayuran hijau

Sayuran hijau mengandung vitamin K

yang baik dikonsumsi ketika jumlah

trombosit Anda menurun. Dan untuk

meningkatkan jumlah keping darah

Anda.

Bawang putih

Selain baik untuk meningkatkan

sistem kekebalan tubuh secara alami,

mengonsumsi bawang putih juga

mampu menambah keping darah

dalam tubuh.

Buah bit

Buahinimampu menjaga jumlah keping

darah Anda agar tidak turun.

Hati

Baik hati ayam maupun hati sapi,

keduanya bermanfaat untuk

menambah jumlah trombosit atau

keping darah Anda.

Kismis

Buah-buahan kering seperti kismis

mengandung 30% zat besi yang baik

untuk meningkatkan kadar trombosit

secara alami.

Aprikot

Aprikot adalah jenis buah yang tinggi

akan zat besi di dalamnya.

Mengonsumsi sebuah aprikot setiap

hari dapat menambah jumlah keping

darah Anda.

Kurma

Kurma tinggi akan zat besi serta nutrisi

lainnya yang bermanfaat untuk

menambah trombosit secara alami.

Gandum utuh

Daripada nasi, lebih baik konsumsi

gandum utuh sebagai asupan

karbohidrat Anda saat sakit. Sebab

gandum kaya akan serat, nutrisi,

mineral, vitamin yang baik untuk

meningkatkan jumlah keping darah

dalamtubuh.