aspek medikolegal pelayanan gawat darurat

4
Editorial Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007 Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat Herkutanto Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Pendahuluan Dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit tidak tertutup kemungkinan timbul konflik. Konflik tersebut dapat terjadi antara tenaga kesehatan dengan pasien dan antara sesama tenaga kesehatan (baik satu profesi maupun antar profesi). Hal yang lebih khusus adalah dalam penanganan gawat darurat fase pra-rumah sakit terlibat pula unsur-unsur masyarakat non-tenaga kesehatan. Untuk mencegah dan mengatasi konflik biasanya digunakan etika dan norma hukum yang mempunyai tolok ukur masing-masing. Oleh karena itu dalam praktik harus diterapkan dalam dimensi yang berbeda. Artinya pada saat kita berbicara masalah hukum, tolok ukur norma hukumlah yang diberlakukan. Pada kenyataannya kita sering terjebak dalam menilai suatu perilaku dengan membaurkan tolok ukur etika dan hukum. 1,2 Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa. Menurut segi pendanaan, nampaknya hal itu menjadi masalah, karena dispensasi di bidang ini sulit dilakukan. Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat. Beberapa Isu Seputar Pelayanan Gawat Darurat Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu: 3 - Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat - Perubahan klinis yang mendadak - Mobilitas petugas yang tinggi Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian. Dokter yang bertugas di gawat 37

Upload: ropusan

Post on 30-Nov-2015

151 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat

Editorial

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007

Aspek MedikolegalPelayanan Gawat Darurat

Herkutanto

Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Pendahuluan

Dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupundi luar rumah sakit tidak tertutup kemungkinan timbul konflik.Konflik tersebut dapat terjadi antara tenaga kesehatan denganpasien dan antara sesama tenaga kesehatan (baik satu profesimaupun antar profesi). Hal yang lebih khusus adalah dalampenanganan gawat darurat fase pra-rumah sakit terlibat pulaunsur-unsur masyarakat non-tenaga kesehatan.

Untuk mencegah dan mengatasi konflik biasanyadigunakan etika dan norma hukum yang mempunyai tolokukur masing-masing. Oleh karena itu dalam praktik harusditerapkan dalam dimensi yang berbeda. Artinya pada saatkita berbicara masalah hukum, tolok ukur norma hukumlahyang diberlakukan. Pada kenyataannya kita sering terjebakdalam menilai suatu perilaku dengan membaurkan tolok ukuretika dan hukum.1,2

Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khususkarena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang.Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum kesehatanterdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengankeadaan biasa. Menurut segi pendanaan, nampaknya hal itu

menjadi masalah, karena dispensasi di bidang ini sulitdilakukan.

Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat

Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanangawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat daruratkarena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khususdalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturanhukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan hukumyang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.

Beberapa Isu Seputar Pelayanan Gawat Darurat

Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapamasalah utama yaitu: 3

- Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat- Perubahan klinis yang mendadak- Mobilitas petugas yang tinggi

Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaangawat darurat memiliki risiko tinggi bagi pasien berupakecacatan bahkan kematian. Dokter yang bertugas di gawat

3 7

Page 2: Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007

Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat

darurat menempati urutan kedua setelah dokter ahli onkologidalam menghadapi kematian.3 Situasi emosional dari pihakpasien karena tertimpa risiko dan pekerjaan tenaga kesehatanyang di bawah tekanan mudah menyulut konflik antara pihakpasien dengan pihak pemberi pelayanan kesehatan.

Hubungan Dokter - Pasien dalam Keadaan Gawat Darurat

Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat daruratsering merupakan hubungan yang spesifik. Dalam keadaanbiasa (bukan keadan gawat darurat) maka hubungan dokter– pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak,yaitu pasien dengan bebas dapat menentukan dokter yangakan dimintai bantuannya (didapati azas voluntarisme).Demikian pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban yangtimbul pada dokter berdasarkan pada hubungan yang telahterjadi sebelumnya (pre-existing relationship). Dalamkeadaan darurat hal di atas dapat tidak ada dan azas volun-tarisme dari keduabelah pihak juga tidak terpenuhi. Untukitu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalampelayanan gawat darurat yang tidak didasari atas azasvoluntarisme.

Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalamkeadaan darurat, maka ia harus melakukannya hingga tuntasdalam arti ada pihak lain yang melanjutkan pertolongan ituatau korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam halpertolongan tidak dilakukan dengan tuntas maka pihakpenolong dapat digugat karena dianggap mencampuri/menghalangi kesempatan korban untuk memperolehpertolongan lain (loss of chance).5

Pengaturan Staf dalam Instalasi Gawat Darurat

Ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah memadaiadalah syarat yang harus dipenuhi oleh IGD. Selain dokterjaga yang siap di IGD, rumah sakit juga harus menyiapkanspesialis lain (bedah, penyakit dalam, anak, dll) untukmemberikan dukungan tindakan medis spesialistis bagipasien yang memerlukannya. Dokter spesialis yang bertugasharus siap dan bersedia menerima rujukan dari IGD. Jikadokter spesialis gagal memenuhi kewajibannya makatanggungjawab terletak pada dokter itu dan juga rumah sakitkarena tidak mampu mendisiplinkan dokternya.

Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan denganPelayanan Gawat Darurat

Peraturan perundang-undangan yang berkaitan denganpelayanan gawat darurat adalah UU No 23/1992 tentangKesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan MenteriKesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.

Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat

Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalamkeadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/

2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokterwajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikema-nusiaan.10 Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawatdarurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraanpelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap oranguntuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4).Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugasmenyelenggarakan upaya kesehatan yang merata danterjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin, orangterlantar dan kurang mampu.6 Tentunya upaya ini menyang-kut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakanoleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).

Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untukmenyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam seharisebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalampelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk memintauang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan.9

Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenalpelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit.Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakittelah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telahdisebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakanpelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari.9

Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yangspesifik. Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagailandasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentangKesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yangspesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit.Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturanpemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektorkesehatan.

Masalah Lingkup Kewenangan Personil dalam PelayananGawat Darurat

Hal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenagakesehatan yang berkaitan dengan lingkup kewenangan dalampenanganan keadaan gawat darurat. Pengertian tenagakesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992tentang Kesehatan sebagai berikut:6 “tenaga kesehatanadalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidangkesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilanmelalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenistertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upayakesehatan”. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwaprofesi kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dankewenangan khusus karena tindakan yang dilakukanmengandung risiko yang tidak kecil.

Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UUNo.23/1992 tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32ayat (4) yang menyatakan bahwa “pelaksanaan pengobatandan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmukeperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga

3 8

Page 3: Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat

Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007

kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenanganuntuk itu”. 6 Ketentuan tersebut dimaksudkan untukmelindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidakmempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukanpengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapatmerugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasiendapat dihindari, khususnya tindakan medis yang me-ngandung risiko.

Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalammelakukan tindakan medik diatur dalam pasal 50 UU No.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa “tenagakesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukankegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan ataukewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”.6

Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat daruratpada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap doktermemiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakanmedik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan gawatdarurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan olehtenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus mene-rapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat)saat itu.6,10

Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnyatindakan pertolongan pertama dilakukan oleh masyarakatawam baik yang tidak terlatih maupu yang terlatih di bidangmedis. Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan untukmelakukan tindakan medis dalam undang-undang kesehatanseperti di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakatmelakukan hal itu dengan sukarela dan dengan itikad yangbaik. Selain itu mereka tidak dapat disebut sebagai tenagakesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di bidangkesehatan.

Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan olehtenaga terampil yang telah mendapat pendidikan khusus dibidang kedokteran gawat darurat dan yang memangtugasnya di bidang ini (misalnya petugas 118), makatanggungjawab hukumnya tidak berbeda dengan tenagakesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaiandilakukan dengan membandingkan keterampilantindakannya dengan tenaga yang serupa.2

Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien GawatDarurat

Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawatdarurat dapat meliputi hubungan hukum dalam pelayanangawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat

Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderungmenimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan makaperlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut TheAmerican Hospital Association (AHA) pengertian gawatdarurat adalah:3 An emergency is any condition that in theopinion of the patient, his family, or whoever assumes theresponsibility of bringing the patient to the hospital-re-quires immediate medical attention. This condition con-

tinues until a determination has been made by a healthcare professional that the patient’s life or well-being is notthreatened.

Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalamkeadaan gawat darurat walaupun sebenarnya tidak demikian.Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara falseemergency dengan true emergency yang pengertiannyaadalah: 3

A true emergency is any condition clinically deter-mined to require immediate medical care. Such conditionsrange from those requiring extensive immediate care andadmission to the hospital to those that are diagnostic prob-lems and may or may not require admission after work-upand observation.”

Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalahkesehatan yang dihadapi pasien diselenggarakanlah triage.4

Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal adalahdokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempatdikerjakan oleh perawat melalui standing order yang disusunrumah sakit.

Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasusgawat darurat fase pra-rumah sakit dengan fase di rumahsakit.4 Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapatberbeda, di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenagakesehatan akan terlibat pula orang awam, sedangkan padafase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenagakesehatan, khususnya tenaga medis dan perawat. Kewe-nangan dan tanggungjawab tenaga kesehatan dan orangawam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan danketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangatmenentukan survivabilitas pasien.

Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat

Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritandalam peraturan perundang-undangan pada hampir seluruhnegara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalamfase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secarasukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaangawat darurat.3,5 Dengan demikian seorang pasien dilarangmenggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untukkecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin GoodSamaritan yang harus dipenuhi adalah: 3,5

1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikandengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolonguntuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bilapihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya,maka doktrin tersebut tidak berlaku.

2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapatdinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal yangbertentangan dengan itikad baik misalnya melakukantrakeostomi yang tidak perlu untuk menambah kete-rampilan penolong.

Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihakpasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapat

3 9

Page 4: Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007

Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat

kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapimaka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanyakekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat(proximate cause).5 Bila tuduhan kelalaian tersebut dila-kukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertim-bangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebutterjadi.2 Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatanperlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkua-lifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.

Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuandari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagaihak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989tentang Persetujuan Tindakan Medis.6,7 Dalam keadaangawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medispada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien,tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 PeraturanMenteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuantersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembarpersetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekammedis.8

Kematian pada Instalasi Gawat Darurat

Pada prinsipnya setiap pasien yang meninggal padasaat dibawa ke IGD (Death on Arrival) harus dilaporkankepada pihak berwajib. Di negara Anglo-Saxon digunakansistem koroner, yaitu setiap kematian mendadak yang tidakterduga (sudden unexpected death) apapun penyebabnyaharus dilaporkan dan ditangani oleh Coroner atau MedicalExaminer.3 Pejabat tersebut menentukan tindakan lebih lanjutapakah jenazah harus diautopsi untuk pemeriksaan lebihlanjut atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat keterangankematian (death certificate) diterbitkan oleh Coroner atauMedical Examiner.3 Pihak rumah sakit harus menjagakeutuhan jenazah dan benda-benda yang berasal dari tubuhjenazah (pakaian dan benda lainnya) untuk pemeriksaan lebihlanjut.

Indonesia tidak menganut sistem tersebut, sehinggafungsi semacam coroner diserahkan pada pejabat kepolisiandi wilayah tersebut. Dengan demikian pihak POLRI yangakan menentukan apakah jenazah akan diautopsi atau tidak.Dokter yang bertugas di IGD tidak boleh menerbitkan suratketerangan kematian dan menyerahkan permasalahannyapada POLRI.

Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai denganKeputusan Kepala Dinas Kesehatan DKI Nomor 3349/1989tentang berlakunya Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan danPelaporan kematian di Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB diwilayah DKI Jakarta yang telah disempurnakan tanggal 9Agustus 1989 telah ditetapkan bahwa semua peristiwakematian rudapaksa dan yang dicurigai rudapaksadianjurkan kepada keluarga untuk dilaporkan kepadapihak kepolisian dan selanjutnya jenazah harus dikirimke RS Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan visum et

4 0

repertum.Kasus yang tidak boleh diberikan diberikan surat

keterangan kematian adalah:- meninggal pada saat dibawa ke IGD- meninggal akibat berbagai kekerasan- meninggal akibat keracunan- meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan

Kematian yang boleh dibuatkan surat keterangankematiannya adalah yang cara kematiannya alamiah karenapenyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan.

Pembiayaan dalam Pelayanan Gawat Darurat

Dalam pelayanan kesehatan prestasi yang diberikantenaga kesehatan sewajarnyalah diberikan kontra-prestasi,paling tidak segala biaya yang diperlukan untuk menolongseseorang. Hal itu diatur dalam hukum perdata. Kondisitersebut umumnya berlaku pada fase pelayanan gawat daruratdi rumah sakit. Pembiayaan pada fase ini diatasi pasien tetapidapat juga diatasi perusahaan asuransi kerugian, baikpemerintah maupun swasta. Di sini nampak bahwa jasapelayanan kesehatan tersebut merupakan private goodssehingga masyarakat (pihak swasta) dapat diharapkan ikutmembiayainya.

Kondisi tersebut berbeda dengan pelayanan gawatdarurat fase pra-rumah sakit yang juga berupa jasa, namunlebih merupakan public goods. Jasa itu dapat disejajarkandengan prasarana umum (misalnya jalan raya) yang harusdiselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah. Pihak swastasulit diharapkan untuk membiayai sesuatu yang bersifatprasarana umum. Dengan demikian pelayanan gawat daruratpada fase pra-rumah sakit sewajarnyalah dibiayai dari pajakyang dibayarkan oleh rakyat. Realisasi pembiayaan melaluipengaturan secara hukum yang mewajibkan anggaran untukpelayanan yang bersifat public goods tersebut. Bentukperaturan perundang-undangan tersebut dapat berupaperaturan pemerintah yang merupakan jabaran dari UU No.23/1992 dan atau peraturan daerah tingkat I (Perda Tk.I).

Daftar Pustaka1. Purbacaraka P, Soekanto S. Perihal kaedah hukum. Bandung:

Alumni; 1979.2. Soekanto S, Herkutanto. Pengantar hukum kesehatan. Jakarta:

CV Remadja Karya; 1987.3. Mancini MR, Gale AT. Emergency care and the law. Maryland:

Aspen Publication; 1981.4. Pusponegoro AD. Perbedaan pengelolaan kasus gawat darurat pra-

rumah sakit dan di rumah sakit. Bandung: PKGDI; 1992.5. Holder AR. Emergency room liability. JAMA 1972;220:5.6. Undang-undang No 23/1992 tentang Kesehatan7. Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan

Tindakan Medis8. Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam

Medis9. Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit10. Undang-undang No. 29/ tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

SS