asma pada anak

37
BAB I PENDAHULUAN Asma merupakan salah satu penyakit respiratorius kronik yang sering ditemukan di seluruh dunia, termasuk di negara berkembang. Asma dapat diderita oleh semua kelompok umur, baik anak-anak maupun dewasa dengan derajat penyakit yang bervariasi dari ringan, sedang, hingga berat. Prevalensi asma diketahui mengalami peningkatan selama periode 20 tahun terakhir ini, terutama prevalensi asma pada kelompok anak-anak. Asma didefinisikan sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan/atau batuk dengan karakteristik khas berupa muncul secara episodik dan/atau kronik; cenderung pada malam hari/dini hari (noktural); musiman; ada faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik; dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan; serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan. 1,2 Prevalensi asma diperkirakan sekitar 5-10% di dunia dengan estimasi sekitar 23.4 juta orang menderita asma, termasuk 7 juta di antaranya adalah kelompok anak- anak. 3 World Health Organization (WHO) memprediksi 250.000 kematian asma yang dilaporkan di seluruh dunia setiap tahunnya. 4 Terdapat perbedaan prevalensi asma di setiap negara maupun daerah. 2 1

Upload: airin-que

Post on 30-Sep-2015

24 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

asma pada anak

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Asma merupakan salah satu penyakit respiratorius kronik yang sering ditemukan di seluruh dunia, termasuk di negara berkembang. Asma dapat diderita oleh semua kelompok umur, baik anak-anak maupun dewasa dengan derajat penyakit yang bervariasi dari ringan, sedang, hingga berat. Prevalensi asma diketahui mengalami peningkatan selama periode 20 tahun terakhir ini, terutama prevalensi asma pada kelompok anak-anak. Asma didefinisikan sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan/atau batuk dengan karakteristik khas berupa muncul secara episodik dan/atau kronik; cenderung pada malam hari/dini hari (noktural); musiman; ada faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik; dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan; serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.1,2 Prevalensi asma diperkirakan sekitar 5-10% di dunia dengan estimasi sekitar 23.4 juta orang menderita asma, termasuk 7 juta di antaranya adalah kelompok anak-anak.3 World Health Organization (WHO) memprediksi 250.000 kematian asma yang dilaporkan di seluruh dunia setiap tahunnya.4 Terdapat perbedaan prevalensi asma di setiap negara maupun daerah.2 Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi asma di Indonesia adalah sebesar 4.5% dengan prevalensi asma pada anak usia 1-4 tahun sebesar 3.8% dan anak usia 5-14 tahun sebesar 3.9%.5 Angka kejadian diperkirakan terus meningkat yang tidak dapat dijelaskan semata-mata dengan faktor genetik, sehingga muncul dugaan adanya peranan faktor lingkungan sebagai pencetus terjadinya asma. Faktor risiko asma di antaranya: jenis kelamin, usia, riwayat atopi, lingkungan, ras, asap rokok, polusi, dan infeksi respiratorius.2Pada kelompok anak-anak, asma memiliki kecenderungan lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan rasio 2:1 dan menjadi 1:1 pada kelompok usia pubertas. Prevalensi asma meningkat pada kelompok usia muda, terutama anak-anak dan juga pada kelompok usia tua. Hal ini dikarenakan respon saluran napas yang tidak matur atau mengalami penurunan respon dan fungsi paru-paru masih belum sempurna atau sudah mengalami penurunan fungsi. Dikatakan dua per tiga kasus asma didiagnosis pada kelompok umur kurang dari 18 tahun.2Faktor lingkungan yang turut berperan dalam munculnya gejala asma adalah faktor alergen seperti tangau rumah, debu, bulu hewan peliharaan, jamur, dan asap rokok, serta cuaca dingin. Infeksi saluran napas lain seperti faringitis dan sinusitis juga dapat memicu munculnya gejala asma. Diperkirakan 80-85% episode asma pada anak-anak terkait dengan paparan virus sebelumnya.4Penatalaksanaan penyakit asma mencakup manajemen terhadap episode asma akut dan kontrol gejala kronik. Pemberian medikamentosa seperti kortikosteroid dan bronkodilator diketahui efektif dalam mengatasi gejala asma.2,4 Intensitas terapi diberikan bergantung pada derajat serangan asma yang terjadi. Hal yang terpenting sebagai tata laksana jangka panjang pada pasien asma adalah penghindaran faktor pencetus munculnya gejala asma.2

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi AsmaAsma didefinisikan sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan/atau batuk dengan karakteristik khas berupa muncul secara episodik dan/atau kronik; cenderung pada malam hari/dini hari (noktural); musiman; ada faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik; dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan; serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.1,2

2.2EpidemiologiPrevalensi asma diketahui mengalami peningkatan selama periode 20 tahun terakhir ini. Prevalensi asma diperkirakan sekitar 5-10% di dunia dengan estimasi sekitar 23.4 juta orang menderita asma, termasuk 7 juta di antaranya adalah kelompok anak-anak.3 World Health Organization (WHO) memprediksi 250.000 kematian asma yang dilaporkan di seluruh dunia setiap tahunnya.4 Terdapat perbedaan prevalensi asma di setiap negara maupun daerah.2 Di Indonesia, prevalensi asma adalah sebesar 4.5% dengan prevalensi asma pada anak usia 1-4 tahun sebesar 3.8% dan anak usia 5-14 tahun sebesar 3.9%.5 Pada kelompok anak-anak terdapat kecenderungan lebih tinggi terjadi pada anak laki-laki dibadingkan anak perempuan dengan rasio 2:1 dan rasio berubah menjadi 1:1 pada kelompok usia pubertas.4 Meskipun faktor genetik dianggap sebagai faktor predisposisi paling penting dalam perkembangan asma, faktor lingkungan juga turut berperan dalam munculnya asma.2,4 Faktor risiko asma di antaranya: jenis kelamin, usia, riwayat atopi pada keluarga, lingkungan, ras, asap rokok, polusi, dan infeksi respiratorius.2 Prevalensi asma meningkat pada kelompok umur sangat muda dan kelompok usia tua.4

2.3EtiologiPenyebab pasti munculnya asma hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Akan tetapi terdapat banyak faktor yang berkontribusi terhadap muncul dan berkembangnya penyakit asma. Faktor tersebut mencakup faktor genetik dan faktor lingkungan.2,41. Faktor genetik (keturunan) yang multipel2. Faktor lingkungan, mencakup:a. Inducers meliputi allergen lingkungan, misal tangau rumah, bulu hewan, jamur, serbuk sari, asap rokok, dan debu.b. Enhancers meliputi infeksi virus pada saluran napas (rhinovirus), ozon, obat-obatan (misalnya: aspirin dan NSAIDs dan penggunaan beta-adrenergic receptor blockers)c. Triggers meliputi olahraga (exercise-induced asthma), udara/cuaca dingin, histamine, metakolin, stress

2.4Patogenesis dan PatofisiologiAsma dikarakteristikkan dengan pola inflamasi spesifik yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE).6 Faktor genetik memiliki peranan penting terhadap perkembangan penyakit asma, begitu juga faktor lingkungan.2,4,6 Patofisiologis penyakit asma cukup kompleks, melibatkan mekanisme inflamasi saluran respiratorius, obstruksi saluran respiratorius yang bersifat intermiten, dan hiperreaktivitas bronkial.4 Konsep terkini patogenesis dan patofisiologi asma adalah inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorius. Hiperreaktivitas dianggap sebagai predisposisi terjadinya penyempitan saluran respiratorius sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang.2Mekanisme inflamasi pada asma dapat bersifakt akut, sub-akut, maupun kronis.4 Umumnya inflamasi dikarakteristikkan dengan empat tanda kardinal, yaitu kalor dan rubor (karena vasodilatasi), tumour (karena eksudasi plasma dan edema), dan dolor (karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensoris). Akan tetapi saat ini, inflamasi juga dikarakteristikkan dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi dan akan berbeda bergantung tipe proses inflamasi yang terjadi. Inflamasi merupakan respon pertahanan tubuh yang penting dalam melawan invasi mikroorganisme dan toksin ekternal.6Inflamasi pada penyakit asma ditandai dengan mekanisme terkait Ig E. Respon inflamasi yang bersifat alergi ditandai dengan adanya infiltrasi eosinofil, mirip dengan respon inflamasi terhadap infeksi parasif dan cacing.6 beberapa sel inflamasi lain yang teridentifikasi pada inflamasi saluran respiratorius, antara lain: sel mast, sel epitel, dan limposit T teraktivasi. Limfosit T memiliki peranan penting dalam regulasi inflamasi saluran respiratorius melalui pelepasan sejumlah sitokin.4,6Kehadiran hiperreaktivitas bronkial pada asma merupakan respon berlebihan terhadap sejumlah stimulasi eksogen dan stimulasi endogen. Mekanisme yang terlibat meliputi stimulasi langsung pada otot polos saluran respiratorius dan stimulasi tidak langsung dengan mengaktifkan substansi dari sel-sel pengsekresi mediator, seperti sel-sel mast. Derajat hiperreaktivitas bronkial berkorelasi pada derajat klinis asma.4Inflamasi kronis pada saluran respiratorius terkait dengan hiperreaktivitas bronkial yang meningkat yang memicu terjadinya bronkospasme dan memunculkan gejala tipikal seperti mengi, napas pendek, dan batuk setelah terpapar allergen. Beberapa pasien dengan asma kronis dapat, keterbatasan aliran napas dapat kembali parsial akibat adanya airway remodeling, seperti hipertropi dan hiperplasia otot halus, angiogenesis, dan fibrosis sub-epitel. Airway remodeling terjadi pada pasien dengan penyakit asma kronis yang tidak teratas dengan baik.4Inflamasi saluran respiratorius pada asma menunjukkan ada ketidak-seimbangan populasi limfosit Th, yaitu Th1 dan Th2. Sel-sel Th1 memproduksi interleukin (IL)-2 dan IFN- yang berperan dalam mekanisme pertahan tubuh seluler sebagai respon terhadap infeksi. Sedangkan, sel-sel Th2 menghasilkan kelompok sitokin (IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-13) yang bisa memediasi inflamasi alergis. Mekanisme patogenesis penyakit asma dapat dilihat pada Gambar 1.4

Gambar 1. Patogenesis Penyakit Asma4

Sel-sel mast merupakan salah satu sel inflamasi yang penting dalam terjadinya respon bronkokonstriksi akut yang terkait dengan paparan allergen. Pasien dengan asma dikarakteristikkan dengan peningkatan jumlah sel mast pada otot polos salurah respiratorius. Sel mast dirangsang oleh IL-4 yang dihasilkan oleh sel-sel Th2.6 Selanjutnya sel-sel mast akan berikatan dengan Ig E melalui ikatan Fc sebagai akibat adanya interaksi Ig E dengan allergen. Interaksi ini akan mengakibatkan teraktivasinya enzim proesterase menjadi enzim esterase aktif. Enzin ini selanjutkan akan mengakibatkan agregasi mikrotubuli dalam sitoplasma sel mast. Mikrotubuli ini berfungsi sebagai saluran tempat keluarnya mediator inflamasi, seperti histamine dan leukotrin.6,7 Mediator tersebut dapat memicu terjadinya konstriksi pada otot-otot polos saluran respiratorius dan hipersekresi kelenjar. Mekanisme yang sama juga terjadi pada sel-sel basofil yang teraktivasi oleh kehadiran IL-3.7Makrofag terdapat pada lumen saluran respiratorius dalam jumlah yang banyak. Makrofag diaktivasi oleh Ig E-dependent mechanism, sehingga makrofag berperan dalam proses inflamasi pada penderita asma.8 Pada orang dengan kondisi saluran respiratorius normal, makrofag biasanya menyekresi protein anti-inflamasi berupa IL-10 serta turut berperan dalam menghambat sekresi IL-5 oleh sel-sel limfosit T dengan melepaskan IL-12. Akan tetapi, pada pasien asma mekanisme ini mengalami kecacatan.6 makrofag juga melepaskan mediator lain berupa prostaglandin, tromboksan-2, platelet activating factor (PAF), LTB4, TNF, dan radikal bebas oksigen yang dapat memicu terjadinya inflamasi.8Selain sel mast, sel basofil, dan sel makrofag, terdapat pula sel-sel eosinofil yang turut berperan dalam mekanisme patogenesis terjadinya asma. Eosinofil merupakan derivat yang berasal dari prekursor sumsum tulang. Peningkatan jumlah eosinofil diasumsikan terjadi sebagai akibat adanya paparan allergen. Rekruitmen eosinofil diawali dengan terjadinya proses adhesi eosinofil pada sel-sel endothelial vaskuler. Adhesi eosinofil melibatkan ekspresi molekul glikoprotein spesifik pada permukaan eosinofil. Terdapat peranan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan IL-5 dalam kelangsungan hidup eosinofil dalam saluran respiratorius.6Infiltrasi eosinofil di saluran napas merupakan gambaran khas untuk penderita asma. Inhalasi allergen meningkatkan jumlah eosinofil pada bilasan bronkoalveolar ketika itu. Eosinofil juga melepaskan mediator seperti: LTC4, PAF, radikal bebas oksigen, mayor basic protein (MBP), dan eosinophil derived neurotoxins (EDN). Mediator-mediator ini diketahui bersifat toksik pada saluran respiratorius dan dapat memicu terjadinya inflamasi serta kontraksi pada otot-otot polos yang menyelubungi bronkial.7Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh adanya MBP yang dilepaskan oleh sel-sel eosinofil ataupun pelepasan radikal bebas. Kerusakan epitel merupakan kunci terjadinya hiperreaktivitas bronkial. Sementara itu, sel-sel epitel sendiri juga turut menghasilkan mediator-mediator. Epitel bronkus dan trakea diketahui juga membentuk PGE2 dan PGE2- serta 12-HETE dan 15-HETE. Kerusakan epitel memiliki peranan terhadap terjadinya hiperreaktivitas melalui cara pelepasan sel-sel epitel yang menyebabkan hilangnya pertahanan dan memudahkan terjadinya inflamasi.8Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah venula akhir perifer. Beberapa mediator seperti histamine, bradikinin, dan leukotrien dapat menyebabkan kontraksi sel endotel, sehingga dapat terjadi ekstravasasi makromolekul. Terjadinya kebocoran mikrovaskuler menyebabkan edema pada saluran respiratorius, sehingga memicu terjadinya pelepasan epitel dan penebalan submukosa. Hal ini memicu terjadinya peningkatan resistensi saluran dan merangsang terjadinya kontraksi otot-otot polos. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid pada malam hari mengakibatkan terjadinya pelepasan mediator dan peningkatan kebocoran mikrovaskuler. Hal ini terkait dengan munculnya gejala asma pada malam hari/dini hari.8 Edema pada saluran respiratorius dapat memicu terjadinya obstruksi aliran napas, negitu juga dengan peningkatan sekresi mucus akibat inflamasi. Obstruksi ini akan menyebabkan resistensi aliran napas meningkat dan penurunan laju aliran ekspirasi, sehingga bisa memicu hiperinflasi.4

2.5DiagnosisDiagnosis asma pada anak dapat ditegakkan berdasarkan alur diagnosis berikut:2

Gambar 2. Alur Diagnosis Asma Anak2

Dalam membuat diagnosis asma, diagnosis harus mencakup derajat asma dan beratnya serangan asma yang terjadi, misalnya asma episodik jarang serangan ringan, asma episodik jarang serangan sedang, asma episodik jarang serangan berat, dan lainnya.2 Untuk menentukan derajat asma dan derajat serangan digunakan beberapa parameter yang dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Penilaian Derajat Serangan Asma2ParameterRinganSedangBeratAncaman Gagal Napas

SesakBerjalanBerbicaraIstirahat

Bayi: menangis kerasBayi: tangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makanBayi: tidak mau makan/minum

PosisiBisa berbaringLebih suka dudukDuduk topang lengan

BicaraKalimatPenggal kalimatKata-kata

KesadaranMungkin irritableBiasanya irritableBiasanya irritabelKebingungan

SianosisTidak adaTidak adaAdaNyata

MengiSedang, sering hanya pada akhir ekspirasiNyaring, sepanjang ekspirasi inspirasiSangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop pada ekspirasi dan inspirasiSulit/tidak terdengar

Penggunaan otot bantu respiratorikBiasanya tidakBiasanya yaYaGerakan paradoks torako-abdominal

RetraksiDangkal, interkostalSedang, ditambah suprasternalDalam, ditambah napas cuping hidungDangkal/hilang

Frekuensi napasTakipneaTakipneaTakipneaBradipnea

Frekuensi nadiNormalTakikardiTakikardiBradikardi

Pulsus paradoksusTidak ada (< 10 mmHg)Ada (10-20 mmHg)Ada (> 20 mmHg)Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik

PEER / FEV1

Pra-bronkodilator> 60%40-60%< 40%

Post-bronkodilator> 80%60-80%< 60%

SaO2> 95%91-95% 90%

PaO2Normal> 60 mmHg< 60 mmHg

PaCO2< 45 mmHg< 45 mmHg> 45 mmHg

Tabel 2. Penilaian Derajat Penyakit Asma Anak2ParameterEpisodik JarangEpisodik SeringAsma Persisten

Frekuensi serangan< 1x/bulan>1x/bulanSering

Lama serangan< 1 minggu 1 mingguHampir sepanjang tahun, tidak ada remisi

Di antara seranganTanpa gejalaSering ada gejalaGejala siang dan malam

Tidur dan aktivitasTidak tergangguMungkin tergangguSangat terganggu

Pemeriksaan fisik di luar seranganNormalMungkin tergangguTidak pernah normal

Obat pengendaliTidak perluSteroid hirupan dosis rendahSteroid hirupan/oral

Uji faal paru di luar seranganPEF/FEV1 > 80%PEF/FEV1 60-80%PEF/FEV1 < 60% Variabilitias 20-30%

Variabilitas faal paru bila ada seranganVariabilitas > 15%Variabilitas > 30%Variabilitas > 50%

2.6Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis tidak rutin dilakukan untuk keperluan diagnosis asma. Akan tetapi pemeriksaan penunjang terkadang dilakukan untuk mengeksklusi diagnosis lain dan menilai tingkat keparahan eksaserbasi dan menilai ada/tidaknya komplikasi dari penyakit asma.4Pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan pada pasien asma di antaranya pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah, dan serum immunoglobulin E. Pada pemeriksaan darah lengkap biasanya didapatkan hasil nilai eosinofilia lebih dari 4% atau sekitar 300-400 L. Akan tetapi, ketidakhadiran hasil seperti itu tidak mutlak menyingkirkan diagnosis penyakit asma.4 Pada pemeriksaan analisis gas darah biasanya didapatkan keadaan alkalosis respiratorius. Pada pemeriksaan immunoglobulin E, nilai lebih dari 100 IU sering kali ditemukan pada pasien yang mengalami reaksi alergi. Akan tetapi temuan ini tidak spesifik untuk penyakit asma dan bisa ditemukan pada kondisi lainnya.4Pemeriksaan radiologis yang umumnya dapat dilakukan yaitu pemeriksaan foto thoraks polos. Pemeriksaan ini dilakukan untuk evaluasi awal adanya komplikasi atau penyebab lain munculnya mengi. Pada sebagian pasien asma, pemeriksaan foto thoraks biasanya ditemukan dalam kesan normal atau mungkin menunjukkan adanya hiperinflasi. Pada kasus yang berat dapat ditemukan gambaran pneumonia dan atelektasis sebagai salah satu komplikasi asma.4

2.7PenatalaksanaanTujuan pengobatan asma adalah agar penderita dapat hidup normal, bebas dari serangan, serta memiliki fungsi faal paru senormal mungkin dan mencegah atau mengurangi reaktivasi saluran respiratorius.8 Dalam penatalaksanaan asma, dibedakan menjadi penatalaksanaan jangka pendek untuk mengatasi serangan asma dan penatalaksanaan jangka panjang untuk mencegah serangan asma.2 Pada tata laksana serangan asma direkomendasikan untuk pemberian agonis 2 kerja cepat dengan penambahan garam fisiologis secara nebulisasi yang dapat diulang dengan selang waktu 20 menit. Bila tidak ada perbaikan maka nebulisasi ketiga menggunakan obat antikolinergik. Tata laksana awal ini sekaligus penapis derajat serangan karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.2 Sementara itu, untuk tata laksana jangka panjang, hal terpenting yang dilakukan adalah penghindaran diri dari faktor pencetus. Akan tetapi apabila dengan penghindaran yang optimal asma masih sering kambuh maka penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah seperti Gambar 4.

Gambar 3. Alur Tata Laksana Serangan Asma Anak2Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi saluran respiratorius. Saat ini, obat asma yang digunakan dibedakan menjadi reliever dan controller. Reliever adalah obat asma yang bekerja cepat menghilangkan gejala asma berupa obstruksi saluran respiratorius. Sedangkan controller adalah obat asma yang mengendalikan asma persisten.8.

Gambar 4. Algoritme Tata Laksana Jangka Panjang Asma2Beberapa contoh obat golongan reliever antara lain agonis beta-2, antikolinergik, teofilin, dan kortikosteroid sistemik. Agonis beta-2 adalah bronkodilator paling kuat dalam tata laksana asma. Obat jenis ini memiliki efek bronkodilatas, menurunkan permeabilitas kapiler, dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan sel basofil, akan tetapi tidak dapat mencegah respon lambat maupun hiperresponsif atau hiperreaktivitas bronkial. Salbutamol, fenoterol, terbutalin, dan isoprenalin merupakan beberapa jenis agonis beta-2.8Obat yang termasuk golongan controller adalah obat anti inflamasi seperti kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil, dan antihistamin aksi lambat. Obat agonis beta-2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat juga dapat digunakan sebagai controller. Natrium kromoglikat dapat mencegah bronkokonstriksi respon cepat atau lambat dan mengurangi gejala klinis penderita. Natrium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak-anak karena dianggap lebih aman daripada kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan obat anti-inflamasi paling kuat yang mampu menekan respon inflamasi dengan cara mengurangi kebocoran mikrovaskuler, menghambar sekresi sitokin dan menghambat sintesis leukotrien. Pemberian steroid ini dianjurkan dengan dosis yang seminimal mungkin.

2.8PrognosisMortalitas asma secara internasional dilaporkan mencapai 0.86 kematian per 100.000 orang di beberapa negara. Angka kematian asma di UK pada tahun 2006 dilaporkan 1.2 kematian per 100.000 orang. Mortalitas terutama terkait dengan kegagalan fungsi paru-paru.Tingkat absen kerja ataupun absen sekolah terkait asma juga dilaporkan tinggi. Sedikitnya setengah anak-anak yang didiagnosis asma memiliki penurunan gejala dan tidak memerlukan terapi ketika menginjak remaja akhir atau dewasa muda. Akan tetapi pasien dengan kontrol asma yang buruk dapat memunculkan gejala-gejala kronis dan terjadinya airway remodeling.4

BAB IIILAPORAN KASUS

3.1Identitas PasienNama:GAPYJenis Kelamin:PerempuanTanggal Lahir: 11 April 2010Umur: 4 tahun 7 bulanAlamat:BeduluTanggal MRS:25 November 2014Tanggal Pemeriksaan :26 November 2014

3.2AnamnesisKeluhan utamaSesak napas

Riwayat penyakit sekarangPasien diantar oleh kedua orangtuanya ke IGD RSUD Sanjiwani pada tanggal 25 November 2014 dengan keluhan sesak napas. Sesak telah dikeluhkan sejak satu hari sebelum pasien masuk rumah sakit. Sesak napas terjadi sejak pasien beraktivitas di ruangan yang berdebu. Sesak dirasakan saat pagi hari dan memberat sejak sore menjelang malam hari. Sesak napas disertai dengan napas yang cepat, Keluhan sesak dirasakan tidak membaik dengan perubahan posisi. Keluhan sesak napas tidak disertai sianosis. Selama sesak berlangsung, pasien dikatakan hanya mampu berbicara satu kalimat dengan terpatah-patah.Keluhan lain yang dirasakan pasien selain sesak napas adalah demam dan batuk. Demam dan batuk mulai dirasakan bersamaan dengan timbulnya sesak. Saat demam muncul, keluarga pasien tidak mengecek suhu tubuh pasien. Demam dikatakan membaik tanpa obat penurun panas. Batuk disertai dengan dahak yang sulit dikeluarkan. Batuk cenderung memberat ketika malam hari. Keluhan mual dan muntah tidak dialami oleh pasien. Keluhan menggigil dan kebiruan disangkal oleh pasien. Frekuensi buang air besar sebanyak satu kali dalam sehari dengan konsistensi agak keras dan volume sekitar setengah gelas aquadan berwarna kuning. Frekuensi buang air kecil kira-kira sebanyak lima kali dalam sehari, berwarna kuning jernih dan volume sekitar tiga pereempat gelas setiap kali buang air kecil. Keluhan muntah dan pilek disangkal.

Riwayat penyakit dahuluKeluarga mengatakan bahwa kurang lebih 2 minggu yang lalu pasien merasakan sesak napas yang sama dan memberat pada malam hari dan disertai batuk. Saat itu pasien dilarikan ke IGD RSUD Sanjiwani dan diberi uap. Dikatakan keluhan pasien membaik dan pasien dibolehkan pulang.

Riwayat pengobatanUntuk mengobati demam dan sesaknya yang dirasakan sejak pagi hari pasien dikatakan belum menerima pengobatan sanpai saat pasien diantar ke IGD RSUD Sanjiwani.Riwayat penyakit keluargaDalam keluarga pasien dikatakan ibu pasien memiliki riwayat penyakit asma, selain itu tidak ditemukan riwayat asma maupun atopi pada anggota keluarga yang lain. Di keluarga pasien tidak ditemukan riwayat penyakit sistemik lain seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit jantung.

Riwayat persalinanPasien lahir spontan dengan bantuan dokter dan dikatakan segera menangis. Berat badan lahir 3800 gram dan panjang badan dikatakan lupa. Lingkar kepala dan lingkar lengan atas juga dikatakan lupa.

Riwayat nutrisiPasien saat lahir diberikan Air Susu Ibu (ASI) hingga pasien berusia 2 tahun sesuai dengan kebutuhan pasien ketika itu (frekuensi on demand). Pasien mulai diperkenalkan susu formula pada usia 3 bulan dan bubur susu pada usia 6 bulan. Nasi tim mulai diberikan sejak usia 9 bulan dengan frekuensi 2-3 kali sehari. Makanan dewasa mulai diberikan saat berusia 12 bulan. Saat ini, pasien makan 3 kali sehari, dengan makanan utama nasi porsi sedang dengan lauk dan sayur.Riwayat alergiDikatakan saat ini pasien belum diketahui memiliki riwayat alergi baik terhadap makanan maupun obat-obatan tertentu.

Riwayat tumbuh kembang Menegakkan kepala : 3 bulan Membalik badan: 3 bulan Duduk: 6 bulan Merangkak : 5 bulan Berdiri : 10 bulan Berjalan : 11 bulan Bicara : 14 bulan

Riwayat imunisasi1. Imunisasi BCG:1x usia 0 bulan2. Imunisasi Polio:4x usia 0,2,4,6 bulan3. Imunisasi Hepatitis B:3x usia 0,2,4 bulan4. Imunisasi DPT:4x usia 2,4,6, 18-24 bulan5. Imunisasi Campak:2x usia 9,24 bulan

3.3Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik pada tanggal 26 November 20141. Status PresentKeadaan Umum: kesan sakit ringanKesadaran : compos mentisNadi: 115 x/menit isi cukup dan teraturRespirasi: 46 x/menit tipe thorakalTemperatur Axilla: 36,8 C2. Status AntopometriBerat Badan:19 kgTinggi Badan:95 cmBerat Badan Ideal:14 kgLingkar Kepala:49 cmLingkar Lengan Atas:16 cm

3. Status GiziWaterlow:107% (gizi baik)WHO:BB/TB: z score (0)- (-1)BB/U: z score (0)- (2)TB/U: z score (-2)- (0)

4. Status GeneralKepala:normocephali Mata:konjungtiva pucat (-/-), secret (-/-), ikterus (-/-)pupil isokor (+/+), refleks cahaya (+/+), edema (-/-)THT:a. Telinga:secret (-/-)b. Tenggorok: faringitis hiperemis (+), tonsil T1/T1c. Lidah: basah (+)d. Bibir: sianosis (-)Leher:bendungan vena jugularis (-), kaku kuduk (-)pembesaran kelenjar (-)Thoraks:simetris (+)a. Cor:S1S2 normal, regular, murmur (-)b. Pulmo:bronkovesikuler (+/+), rales (-/-), wheezing (+/+)Abdomen:distensi (-), nyeri tekan (-), bising usus (+) normalhepar dan lien tidak terabaEkstremitas:akral hangat, CRT < 2 detikGenitalia Eksterna`:tidak ada kelainan

3.4 . Pemeriksaan Penunjang Laboratorium

Hematologi rutinParameter26/11/2014Meningkat/MenurunNilai Normal

WBC (K/uL)11,6Meningkat4,0 10,0

Limfosit (#)0,80,8 4,0

Mid Cells (#)0,40,1 0,9

Granulosit (#)10,4Meningkat2,0 7,0

Limfosit (%)6,7Menurun20,0 40,0

Mid Cells (%)3,73,0 9,0

Granulosit (%)89,6Meningkat50,0 70,0

HGB (g/dl)12,211,0 15,0

HCT (%)38,637,0 64,0

MCV (fl)80,4Menurun82,0 95,0

MCH (pg)26,6Menurun27,0 31,0

MCHC (g/dl)31,7Menurun32,0 36,0

RDW-CV21,8Meningkat11,5 14,5

RDW-SD57,8Meningkat35,0-56,0

PLT (103/uL)276150 450

3.5. Diagnosis Asma serangan sedang episodik sering

3.6. Follow UpTanggalSOAP

26-11- 2014 Sesak (+) Batuk/ Pilek (+/-) Ma/Mi (+/+)

Kesadaran: Compos mentis KU: lemah TAx: 37,4 oC Nadi: 114 x/menit RR: 44 x/ menit Mata: anemi (-) , ikterik () THT: nafas cuping hidung (-) Thorax: Cor: S1S2 normal regular, tidak ada murmur.Pulmo: bronkovesikuler +/+. Rales -/-. Wheezing +/+ Abdomen: Distensi (-), bising usus + normal. Ekstremitas: Akral hangat.Asma Derajat Sedang Episodik Sering Tridek 27B 10 tpm Metilprednisolon 3x15 mg Cefotaxime 3x500 mg Sanmol 3x15 cc Ambroxol 3x cth I Nebul Combivent @4jam + NaCl 0,9% 1,5 cc O2 2 lpm

27-11-2014 Sesak (+) Batuk/ Pilek (+/-) Ma/Mi (+/+)

Kesadaran: Compos mentis KU: lemah TAx: 37,4 oC Nadi: 110 x/menit RR: 42 x/ menit Mata: anemi (-) , ikterik () THT: nafas cuping hidung (-) Thorax: Cor: S1S2 normal regular, tidak ada murmur.Pulmo: bronkovesikuler +/+. Rales -/-. Wheezing +/+ Abdomen: Distensi (-), bising usus + normal. Ekstremitas: Akral hangat.Asma Derajat Sedang Episodik Sering Tridek 27B 10 tpm Metilprednisolon 3x15 mg Cefotaxime 3x500 mg Sanmol 3x15 cc Ambroxol 3x cth I Nebul Combivent @8jam + NaCl 0,9% 1,5 cc O2 2 lpm

3.7Penatalaksanaan1. Terapi oksigen dengan nasal kanul 2 lpm2. Nebul combivent @ 4 jam + NaCl 0,9% 1,5 cc3. IVFD Tridex 27 B 10 tpm4. Metilprednisolon 3x15 mg5. Sanmol 3 x 15 cc6. Ambroxol 3 x cth I (15 mg/ 5ml)7. Cefotaxime 3x500 mg

BAB IVPEMBAHASAN

4.1 DiagnosisAsma didefinisikan sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan/atau batuk dengan karakteristik khas berupa muncul secara episodik dan/atau kronik; cenderung pada malam hari/dini hari (noktural); musiman; ada faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik; dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan; serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan. Pada kasus ini, pasien mengeluhkan sesak napas dengan napas cepat dan disertai batuk. Sesak yang dirasakan terjadi setelah pasien beraktivitas di ruangan yang berdebu, sesak dirasakan memberat saat malam hari Keluhan sesak dirasakan tidak membaik dengan perubahan posisi. Keluhan sesak napas tidak disertai sianosis. Selama sesak berlangsung, pasien dikatakan hanya mampu berbicara satu kalimat dengan terpatah-patah.Penyebab pasti munculnya asma hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Akan tetapi terdapat banyak faktor yang berkontribusi terhadap muncul dan berkembangnya penyakit asma. Faktor tersebut mencakup faktor genetik dan faktor lingkungan. Keluarga pasien pada kasus ini, tepatnya ibu pasien memiliki riwayat asma. Sesak napas yang dirasakan oleh pasien juga berawal ketika pasien selesai beraktivitas di tempat yang berdebu, di mana debu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap muncul dan berkembangnya penyakit asma.Dalam membuat diagnosis asma, diagnosis harus mencakup derajat asma dan beratnya serangan asma yang terjadi. Untuk menentukan derajat asma dan derajat serangan digunakan beberapa parameter. Dari heteroanamnesis didapatkan hasil bahwa saat pasien sesak, pasien hanya mampu berbicara satu kalimat dengan terpatah-patah dan selama sesak pasien tidak mengalami sianosis. Pasien juga sempat mengalami keluhan yang sama saat 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik ditemukan takipnea, takikardi, dan wheezing saat dilakukan auskultasi namun tidak ditemukan nafas cuping hidung maupun sianosis. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kriteria dari asma serangan sedang dan episodik sering telah terpenuhi.Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis tidak rutin dilakukan untuk keperluan diagnosis asma. Akan tetapi pemeriksaan penunjang terkadang dilakukan untuk mengeksklusi diagnosis lain dan menilai tingkat keparahan eksaserbasi dan menilai ada/tidaknya komplikasi dari penyakit asma. Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan darah lengkap, namun dari pemeriksaan darah lengkap saja belum mampu untuk menegakkan diagnosis asma. Pemeriksaan radiologis yang umumnya dapat dilakukan yaitu pemeriksaan foto thoraks polos. Pada kasus ini, tidak dilakukan pemeriksaan foto thoraks polos, tujuan dilakukannya pemeriksaan ini adalah untuk evaluasi awal adanya komplikasi atau penyebab lain munculnya mengi.4.2 PenatalaksanaanPada pasien asma, penatalaksanaan awal adalah nebulisasi agonis 2 1-2x selang 20 menit. Nebulisasi kedua ditambah antikolinergik. Jika serangan sedang/ berat nebulisasi langssung dengan agonis 2 + antikolinergik. Setelah tatalaksana awal dilakukan maka dilanjutkan dengan tatalaksana jangka pendek serangan sedang sesuai dengan alur penatalaksanaan pada gambar 3. Pada kasus ini, dilakukan terapi dengan pemberian oksigen 2 liter per menit dan nebul combivent setiap 4jam + NaCl 0,9% 1,5 cc. Hal ini sesuai dengan teori dimana jika terjadi serangan sedang/ berat nebulisasi langssung dengan agonis 2 + antikolinergik. Combivent merupakan kombinasi dari salbutamol (agonis 2 ) dan ipratriopium bromide (antikolinergik). Selain mendapat terapi combivent dan oksigen, pasien juga mendapat terapi tridex 27B 10 tpm sebagai upaya pemberian terapi rumatan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh. Pemberian metilprednisolon 3x15 mg sebagai salah satu upaya pemberian steroid oral dalam tatalaksana asma. Pemberian antibiotik cefotaxime 3x500 mg karena pada pasien ini didapatkan hasil WBC yang meningkat. Pemberian sanmol 3x15 cc apabila pasien mengalami demam, dan pemberian ambroxol 3x cth I karena pasien memiliki keluhan batuk hingga saat ini.BAB VKESIMPULAN

Diagnosis asma serangan sedang episodik sering pada pasien ini ditegakkan melalui heteroanamnesis didapatkan hasil bahwa saat pasien sesak, pasien hanya mampu berbicara satu kalimat dengan terpatah-patah dan selama sesak pasien tidak mengalami sianosis. Pasien juga sempat mengalami keluhan yang sama saat 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik ditemukan takipnea, takikardi, dan wheezing saat dilakukan auskultasi namun tidak ditemukan nafas cuping hidung maupun sianosis. Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan darah lengkap, namun dari pemeriksaan darah lengkap saja belum mampu untuk menegakkan diagnosis asma. Pemeriksaan radiologis yang umumnya dapat dilakukan yaitu pemeriksaan foto thoraks polos. Pada kasus ini, tidak dilakukan pemeriksaan foto thoraks polos, tujuan dilakukannya pemeriksaan ini adalah untuk evaluasi awal adanya komplikasi atau penyebab lain munculnya mengi.Penatalaksanaan asma derajat sedang episodik sering pada pasien ini adalah dengan pemberian oksigen dan combivent. Hal ini sesuai dengan teori dimana jika terjadi serangan sedang/ berat nebulisasi langssung dengan agonis 2 + antikolinergik. Combivent merupakan kombinasi dari salbutamol (agonis 2 ) dan ipratriopium bromide (antikolinergik). Selain mendapat terapi combivent dan oksigen, pasien juga mendapat terapi tridex 27B 10 tpm, metilprednisolon 3x15 mg, antibiotik cefotaxime 3x500 mg, sanmol 3x15 cc apabila pasien mengalami demam, dan ambroxol 3x cth I.

21