asma bronkial
DESCRIPTION
Asma BronkialTRANSCRIPT
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 1/38
BAB I
PENDAHULUAN
Asma bronkial adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan
napas yang menimbulkan gejala epidosik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa
berat dan batuk-batuk terutama malam atau dini hari. Hal ini dapat dipicu oleh berbagai
rangsangan, seperti serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga.
Asma bronkhial merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di hampir semua negara di dunia, baik dewasa maupun anak-anak dengan derajat
ringan sampai berat, bahkan dapat mengancam jiwa seseorang. Lebih dari seratus juta
penduduk di seluruh dunia menderita asma dengan peningkatan prevalensi pada anak-anak.
(GINA, 2006).
Berdasarkan laporan NCHS (National Center for Health Statistics) tahun 2000,
terdapat 4.487 kematian akibat penyakit asma atau sekitar 1,6 per 100.000 populasi,
sedangkan didapatkan juga sebanyak 223 kematian anak usia 0-17 tahun atau 0,3 per 100.000
populasi.
Data dari WHO report 2001 menunjukan bahwa terdapat 5 penyakit paru utama yang
merupakan penyebab dari 17,4 % kematian di dunia. Kelima penyakit paru utama itu adalah
infeksi paru (7,2 %), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (4,8%), TB (3%), kanker paru (2,1%)
dan asma (0,3%). Asma memang bukan merupakan penyebab kematian yang utama, tetapi
dampaknya terhadap produktititas kerja terasa cukup mengganggu dan angka kejadiannya
nampaknya meningkat terus dari waktu ke waktu. Sedangkan PPOK lebih tinggi angka
prevalensinya dibanding asma.
Diperkirakan jumlah pasien PPOK sedang hingga berat di Asia tahun 2006 mencapai
56,6 juta pasien dengan prevalens 6,3 %. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien
dengan prevalens 5,6 %. Angka ini bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok
karena 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan perokok.
1
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 2/38
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.A. Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol :
• Kortikosteroid inhalasi
• Kortikosteroid sistemik
• Sodium kromoglikat
• Nedokromil sodium
• Metilxantin
• Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
• Agonis beta-2 kerja lama, oral
• Leukotrien modifiers
• Antihistamin generasi ke dua (antagonis –H1)
Pelega ( Reliever )
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos memperbaikiatau menghambat bronkokontriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi,
2
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 3/38
rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
Agonis beta 2 kerja singkat
Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Aminofillin
Adrenalin .
Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan
asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada
dosis yang direkomendasikan.
(budesonid aerosol)
3
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 4/38
Tabel 11. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi
Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
Obat
Beklometason dipropionat
Budesonid
Flunisolid
Flutikason
Triamsinolon asetonid
200-500 ug
200-400 ug
500-1000 ug
100-250 ug
400-1000 ug
500-1000 ug
400-800 ug
1000-2000 ug
250-500 ug
1000-2000 ug
>1000 ug
>800 ug
>2000 ug
>500 ug
>2000 ug
Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
Obat
Beklometason dipropionat
BudesonidFlunisolid
Flutikason
Triamsinolon asetonid
100-400 ug
100-200 ug500-750 ug
100-200 ug
400-800 ug
400-800 ug
200-400 ug1000-1250 ug
200-500 ug
800-1200 ug
>800 ug
>400 ug>1250 ug
>500 ug
>1200 ug
Beberapa glukokortikosteroid berbeda potensi dan bioavailibiti setelah inhalasi, pada
tabel 11 dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa glukokortikosteroid berdasarkan
perbedaan tersebut.
Kurva dosis-respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan
dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma (gejala, faal
paru, hiperesponsif jalan napas), tetapi bahkan meningkatkan risiko efek samping. Sehingga,
apabila dengan steroid inhalasi tidak dapat mencapai asma terkontrol (walau dosis sudah
sesuai dengan derajat berat asma) maka dianjurkan untuk menambahkan obat pengontrol
lainnya daripada meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut.
4
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 5/38
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring,
disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat
dicegah dengan penggunaan spacer , atau mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan
membuang keluar setelah inhalasi. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui
absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan
potensi obat yang berkaitan dengan biovailibiliti , absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-
pass metabolism), waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga masing-
masing obat steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan efek sistemik.
Penelitian menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai efek sistemik yang
rendah dibandingkan beklometason dipropionat dan triamsinolon.
Risiko efek sistemik juga bergantung sistem penghantaran. Penggunaan spacer dapat
menurunkan bioavailabiliti sistemik dan mengurangi efek samping sistemik untuk semua
glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data yang menunjukkan terjadi tuberkulosis paru
pada penderita asma malnutrisi dengan steroid inhalasi, atau terjadi gangguan metabolisme
kalsium dan densiti tulang.
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi
penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi
(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka
panjang. Jangka panjang lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral
selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan misalnya pada keadaan asma
persisten berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol (walau telah menggunakan
paduan pengoabatn sesuai berat asma), maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu
tertentu. Hal itu terjadi juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka panjang
terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk
membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di
bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Beberapa hal yang harus
dipertimbangkan saat memberi steroid oral :
· gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek
mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal5
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 6/38
· bentuk oral, bukan parenteral.
Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/ parenteral jangka panjang
adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak,
glaukoma, obesiti, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot. Perhatian dan supervisi ketat
dianjurkan pada pemberian steroid oral pada penderita asma dengan penyakit lain seperti
tuberkulosis paru, infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi berat dan tukak
lambung. Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi herpes zoster. Pada
keadaan infeksi virus herpes atau varisela, maka glukokortikosteroid sistemik harus
dihentikan.
Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium belum
sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat
penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung
kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit);
selain kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara
inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Studi klinis
menunjukkan pemberian sodium kromoglikat dapat memperbaiki faal paru dan gejala,
menurunkan hiperesponsif jalan napas walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi.
Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat
atau tidak. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat
melakukan inhalasi .
Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan hambatan fosfodiesterase yang dapat
terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui mekanisme
yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat rendah
efek antiinflamasinya minim pada inflamasi kronik jalan napas dan studi menunjukkan tidak
berefek pada hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator
tambahan pada serangan asma berat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan
bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika
dibutuhkan.
6
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 7/38
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol,
berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan
memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang
lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan
antiinflamasi yang lazim. Studi menunjukkan metilsantiin sebagai terapi tambahan
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau tinggi adalah efektif mengontrol asma,
walau disadari peran sebagai terapi tambahan tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama
inhalasi, tetapi merupakan suatu pilihan karena harga yang jauh lebih murah.
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( ³10 mg/kgBB/ hari atau lebih);
hal itu dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan monitor ketat. Gejala
gastrointestinal nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek
kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan kadangkala merangsang pusat napas.
Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian.
Di Indonesia, sering digunakan kombinasi oral teofilin/aminofilin dengan agonis beta-
2 kerja singkat sebagai bronkodilator; maka diingatkan sebaiknya tidak memberikan
teofilin/aminofilin baik tunggal ataupun dalam kombinasi sebagai pelega/bronkodilator bila
penderita dalam terapi teofilin/ aminofilin lepas lambat sebagai pengontrol. Dianjurkan
memonitor kadar teofilin/aminofilin serum penderita dalam pengobatan jangka panjang.Umumnya efek toksik serius tidak terjadi bila kadar dalam serum < 15 ug/ml, walau terdapat
variasi individual tetapi umumnya dalam pengobatan jangka panjang kadar teoflin serum 5-
15 ug/ml (28-85uM) adalah efektif dan tidak menimbulkan efek samping.. Perhatikan
berbagai keadaan yang dapat mengubah metabolisme teofilin antara lain. demam, hamil,
penyakit hati, gagal jantung, merokok yang menyebabkan perubahan dosis pemberian
teofilin/aminofilin. Selain itu perlu diketahui seringnya interaksi dengan obat lain yang
mempengaruhi dosis pemberian obat lain tersebut misalnya simetidin, kuinolon dan makrolid.
Derivate xantin yang terdiri dari kafein, teofilin dan teobromin ialah alkaloid yang terdapat
dalam tumbuhan.
Obat – obat ini menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos bronkus,
merangsang SSP, otot jantung dan meningkatkan deuresis.
Xantin merangsang SSP, menimbulkan deuresis, merangsang otot jantung dan
merelaksasikan otot polos terutama bronkus.
7
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 8/38
Intensitas efek samping xantin terhadap berbagai jaringan ini berbeda, dan dapat dipilih
senyawa xantin yang tepat untuk tujuan terapi tertentu dengan sedikit efek samping.
A. Susunan saraf pusat
• Teofilin menyebabkan perangsangan SSP yang lebih dalam dan berbahaya
dibanding kafein.
• Efek samping teofilin 250mg atau lebih pada pengobatan asma bronkial mirip
dengan gejala perngsangan kafein terhadap SSP.
• Bila dosis metil xantin ditinggikan, akan menyebabkan gugup, gelisah,
insomnia, tremor, hiperestesia, kejang fokal atau umum.
• Kejang sering terjadi bila kadar teofilin darah 50% lebih tinggi daripada kadar
terapi (10 - 20µg/ml). gejala kejang ini kadang – kadang refrakter terhadap
obat anti konvulsan.
• Metil xantin dosis rendah dapat merangsang SSP yang sedang mengalami
depresi. Misalnya pemberian aminofilin dengan dosis 2mg/kgBB dengan cepat
akan memulihkan keadaan narcosis pada indifidu yang mendapat 100mg
morfin IV untuk anesthesia. Pemberian aminofilin dengan dosis tersebut dapat
mempercepat pemulihan pada keadaan sedasi dalama akibat pemberian
0,4mg/kgBB diazepam IV.
Medula oblongata
• Metil xantin merangsang pusat nafas. Efek ini terutama terlihat pada
keadaan patologis tertentu, misalnya pernapasan cheyne stoke, pada apnea
bayi premature, atau depresi napas oleh obat opioid.
• Metil xantin meningkatkan kepekaan pusat nafas terhadap perangsangan
CO2
• Kafein dan teofilin dapat menimbulkan mual dan muntah melalui efek
sentral maupun perifer
• Mual akibat teofilin terjadi bila kadarnya dalam plasma melebihi 15µg/ml
8
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 9/38
B. Cardiovaskuler
1. Jantung
• Pada orang normal kadar terapi teofilin antara 10 – 20 µg/ml akan
menyebabkan kenaikan moderat frekuensi denyut jantung
• Kadar teofilin yang lebih tinggi menyebabkan takikardi, bahkan pada
individu yang sensitive mungkin menyebabkan aritmia.
• Efek teofilin pada kadar terapi sebagian mungkin disebabkan peningkatan
pengelepasan katekolamin dari sistem simpatoadrenal.
• Pada orang normal, pemberian infuse teofilin sampai mencapai kadar 10-
15µg/ml akan meingkatkan kadar epinefrin plasma sebanyak 100%, tetapi
pengaruh terhadap norepinefrin lebih kecil,
2. Pembuluh darah
Teofilin menyebabkan dilatasi pembuluh darah termasuk pembuluhdarah koroner
dan pulmonal karena efek langsung pada otot pembuluh darah.
3. Sirkulasi otak
Resistensi pembuluh darah otak naik disertai pengurangan aliran darah dan PO2 di
otak. Ini diduga merupakan refleksi adanya hambatan adenosine oleh xantin, dan
pentingnya adenosine dalam pengaturan sirkulasi otak.
4. Sirkulasi koroner
Xantin menyebabkan vasodilatasi arteri koroner dan bertambahnya aliran darahkoroner tetapi xantin juga meninggikan kerja janung.
5. Tekanan darah
• Stimulasi pusat motor dan stimulasi langsung miocard akan menyebabkan
kenaikan tekanan darah.
• Sebaliknya, perangsangan pusat vagus dan adanya vasodilatasi
menyebabkan penurunan tekanan darah.
9
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 10/38
C. Otot polos
• Efek penting xantin ialah relaksasi otot bronkus, terutama bila otot bronkus
dalam keadaan kontriksi.
• Teofilin paling efektif menyebabkan peningkatan kapasitas vital.
• Sebagai bronkodilator, teofilin bermanfaat untuk pengobatan asma bronchial.
• Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor
adenosisn maupun inhibisi PDE (Phosfodiesterase Enzime).
D. Otot rangka
Dalam kadar terapi, teofilin dapat memperbaiki kontraktilitas dan mengurangi
kelelahan otot diafragma pada orang normal maupun pada pasien COPD. Atas dasar
ini teofilin bermanfaat untuk pasien COPD karena dapat ikut berperan dalam
memperbaiki fungsi ventilasi dan mengurangi sesak napas.
E. Deuresis
• Semua xantin meninggikan produksi urin
• Teofilin merupakan deuretik, tetap efeknya hanya sebentar.
• Cara kerja diduga melalui penghambatan reabsorbsi elektrolit di tubuli
peroksimal dan di segmen dilusi, tanpa disertai dengan perubahan filtrasi
glomeruli ataupun aliran darah ginjal. Hal ini terlihat pada pemberian
aminofilin 3,5 mg/kgBB pada orang sehat.
Yang harus diperhatikan dalam penggunaan teofilin :
• Keracunan teofilin biasanya terjadi pada pemberian obat berulang secara oral maupun
parenteral
• Aminofilin IV harus disuntikan perlahan selama 20-40 menit untuk menghindari
gejala keracunan akut, seperti sakit kepala, palpitasi, pusing, mual, hipotensi dannyeri prekordial.
10
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 11/38
• Suntikan 500mg IV yang cepat dapat menyebabkan kematian karena aritmia jantung.
• Gejala keracunan lain berupa takikardi, gelisah hebat, agitasi dan muntah. Gejala ini
biasanya berhubungan dengan kadar teofilin dalam plasma 20µg/ml.
• Kejang local atau umum dapat pula terjadi, kadang-kadang tanpa didahului gejala
keracunan. Kejang biasa terjadi bila kadar obat dalam plasma melebihi 40µg/ml,
namun demikian kejang dan kematian dapat pula terjadi pada kadar 25µg/ml. kejang
akibat keracunan metil xantin biasanya dapat diatasi dengan diazepam, walaupun
pada beberapa kasus serangan kejang tidak dapat diatasi dengan diazepam IV,
fenitoin, dan fenbarbital
11
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 12/38
12
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 13/38
• Teofilin berbentuk Kristal putih, pahit dan sedikit larut dalam air.
Teofilin di Indonesia tersedia dalm berbagai bentuk sediaan untuk penggunaan oral :
1. Kapsul/kapsul lunak teofilin 130mg
2. Tablet teofilin 150mg
3. Tablet salut selaput lepas lambat berisi teofilin 125mg, 250mg dan 300mg.
4. Sirup/eliksir yang berisi teofilin sebanyak 50mg/5ml, 130mg/15ml dan
150mg/15ml.
• Teofilin juga tersedia dalam kombinasi tetap dengan efedrin untuk asma bronchial.
• Aminofilin merupakan garam teofilin untuk penggunaan IV, tersedia dalam bentuk
ampul 10ml mengandung 24mg teofilin/ml.
Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol
yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai
efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti
pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan
basofil. Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau
kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek
protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama,
menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral.
Tabel 12. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2
Onset Durasi (Lama kerja)
Singkat Lama
Cepat Fenoterol
Prokaterol
Salbutamol/ Albuterol
TerbutalinPirbuterol
Formoterol
13
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 14/38
Lambat Salmeterol
Perannya dalam terapi sebagai pengontrol bersama dengan glukokortikosteroid inhalasi
dibuktikan oleh berbagai penelitian, inhalasi agonis beta-2 kerja lama sebaiknya diberikan
ketika dosis standar glukokortikosteroid inhalasi gagal mengontrol dan, sebelum
meningkatkan dosis glukokortikosteroid inhalasi tersebut.Karena pengobatan jangka lama
dengan agonis beta-2 kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya
selalu dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi.Penambahan agonis beta-2 kerja
lama inhalasi pada pengobatan harian dengan glukokortikosteroid inhalasi, memperbaiki
gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis
beta-2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan asma. Berbagai studi
menunjukkan bahwa penambahan agonis beta-2 kerja lama inhalasi (salmeterol atau
formoterol) pada asma yang tidak terkontrol dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah
atau tinggi, akan memperbaiki faal paru dan gejala serta mengontrol asma lebih baik daripada
meningkatkan dosis glukokortikosteroid inhalasi 2 kali lipat.Berbagai penelitian juga
menunjukkan bahwa memberikan glukokortikosteroid kombinasi dengan agonis beta-2 kerja
lama dalam satu kemasan inhalasi adalah sama efektifnya dengan memberikan keduanya
dalam kemasan inhalasi yang terpisah, hanya kombinasi dalam satu kemasan (fixed
combination) inhaler lebih nyaman untuk penderita, dosis yang diberikan masing-masing
lebih kecil, meningkatkan kepatuhan, dan harganya lebih murah daripada diberikan dosis
yang ditentukan masing-masing lebih kecil dalam 2 kemasan obat yang terpisah.
Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik
(rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau
jarang daripada pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang beredar
di Indonesia adalah salbutamol lepas lambat, prokaterol dan bambuterol. Mekanisme kerja
dan perannya dalam terapi sama saja dengan bentuk inhalasi agonis beta-2 kerja lama, hanya
efek sampingnya lebih banyak. Efek samping berupa rangsangan kardiovaskular, ansieti dan
tremor otot rangka.
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua
leukotrin (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada seltarget (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut
14
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 15/38
menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen,
sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek
antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan leukotriene modifiers dapat
menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang
sampai berat, mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau
dengan glukokortikosteroid inhalasi . Diketahui sebagai terapi tambahan tersebut, leukotriene
modifiers tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama. Kelebihan obat ini adalah preparatnya
dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Penderita dengan aspirin induced
asthma menunjukkan respons yang baik dengan pengobatanleukotriene modifiers.
Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien
sisteinil). Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati,
sehingga monitor fungsi hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton.
Pelega
Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang
telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral,
pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada.
Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,
meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi
penglepasan mediator dari sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi
pada exercise-induced asthma . Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat direkomendasikan
bila diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan yang meningkat atau bahkan setiap
hari adalah petanda perburukan asma dan menunjukkan perlunya terapi antiinflamasi.
Demikian pula, gagal melegakan jalan napas segera atau respons tidak memuaskan dengan
agonis beta-2 kerja singkat saat serangan asma adalah petanda
dibutuhkannya glukokortikosteroid oral..
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan
hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping
15
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 16/38
daripada oral. Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak
dapat/mungkin menggunakan terapi inhalasi.
Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan
agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat.
Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat dosis
adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot
pernapasan dan mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di antara
pemberian satu dengan berikutnya.
Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin, tetapi dapat
dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin kerja singkat
sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi teofilin lepas lambat
kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum .
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2
kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum.
Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh
terhadap inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium
bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai efek
meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki
faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna .Oleh karena
disarankan menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat
sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang
kurang respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal.
Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada
penderita yang menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi
16
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 17/38
seperti takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa
pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi mukus.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia
agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta-2 kerja singkat.Pemberian secara
subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan
kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan
pengawasan ketat (bedside monitoring).
Metode alternatif pengobatan asma
Selain pemberian obat pelega dan obat pengontrol asma, beberapa cara dipakai orang
untuk mengobati asma. Cara`tersebut antara lain homeopati, pengobatan dengan
herbal, ayuverdic medicine, ionizer , osteopati dan manipulasi chiropractic, spleoterapi,
buteyko, akupuntur, hypnosis dan lain-lain. Sejauh ini belum cukup bukti dan belum jelas
efektiviti metode-metode alternatif tersebut sebagai pengobatan asma.
Tahapan penanganan asma
Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma seperti telah dijelaskan
sebelumnya (lihat klasifikasi), agar tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan
medikasi seminimal mungkin. Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus
melalui pemberian terapi maksimum pada awal pengobatan sesuai derajat asma termasuk
glukokortikosteroid oral dan atau glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh ditambah dengan
agonis beta-2 kerja lama untuk segera mengontrol asma, setelah asma terkontrol dosis
diturunkan bertahap sampai seminimal mungkin dengan tetap mempertahankan kondisi asma
terkontrol. Cara itu disebut stepdown therapy. Pendekatan lain adalah step-up therapy yaitu
memulai terapi sesuai berat asma dan meningkatkan terapi secara bertahap jika dibutuhkan
untuk mencapai asma terkontrol.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy untuk
penanganan asma yaitu memulai pengobatan dengan upaya menekan inflamasi jalan
napas dan mencapai keadaan asma terkontrol sesegera mungkin, dan menurunkan terapi
sampai seminimal mungkin dengan tetap mengontrol asma. Bila terdapat keadaan asma yang
tetap tidak terkontrol dengan terapi awal/maksimal tersebut (misalnya setelah 1 bulan terapi),17
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 18/38
maka pertimbangkan untuk evaluasi kembali diagnosis sambil tetap memberikan pengobata
asma sesuai beratnya gejala.
Pengobatan berdasarkan derajat berat asma
Asma Intermiten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan alergen,
asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal. Demikian pula
penderita exercise-induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca buruk, tetapi di luar
pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru normal.
Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin terjadi. Bila
terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya penderita diobati sebagai asma
persisten sedang.
Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika dibutuhkan atau
sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan alternatif kromolin atau leukotriene
modifiers atau setelah pajanan alergen dengan alternatif kromolin. Bila terjadi serangan, obat
pilihan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral,
kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau antikolinergik
inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama 3 bulan, maka
sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan.
18
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 19/38
19
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4
kali sehari.
Berat
Asma
Medikasi pengontrol
harian
Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
Asma
Intermiten
Tidak perlu -------- -------
Asma
Persisten
Ringan
Glukokortikosteroid inhalasi
(200-400 ug
BD/hari atau ekivalennya)
· Teofilin lepas lambat
· Kromolin
· Leukotriene modifiers
------
Asma
Persisten
Sedang
Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(400-800 ug
BD/hari atau ekivalennya)
dan
agonis beta-2 kerja lama
· Glukokortikosteroid inhalasi
(400-800 ug
BDatau ekivalennya)ditambah Teofilin
lepas lambat ,atau
· Glukokortikosteroid inhalasi
(400-800 ug
BDatau ekivalennya)ditambah agonis
beta-2 kerja lama oral, atau
· Glukokortikosteroid inhalasi
dosis tinggi (>800 ug
BD atau ekivalennya) atau
· Glukokortikosteroid inhalasi
(400-800 ug
BDatau ekivalennya)ditambah leukotriene
modifiers
· Ditambahagonis
beta-2 kerja lama oral, atau
· Ditambahteofilin
lepas lambat
Asma
Persisten
Berat
Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(> 800 ug
BD atauekivalennya) dan
agonis beta-2 kerja lama,
ditambah ³ 1 di bawah ini:
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroidoral
Prednisolon/ metilprednisolon oral selang
sehari 10 mg
ditambah agonis beta-2 kerja lama
oral, ditambahteofilin lepas lambat
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian
turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 20/38
Tabel Pengobatan sesuai berat asma
Tabel : Tujuan penatalaksanaan asma jangka panjang
Tujuan:
Asma yang terkontrol
Tujuan:
Mencapai kondisi sebaik mungkin
• Menghilangkan atau meminimalkan
gejala kronik, termasuk gejala malam
• Menghilangkan/ meminimalkan
serangan
• Meniadakan kunjungan ke darurat gawat
• Meminimalkan penggunaan
bronkodilator
• Aktiviti sehari-hari normal, termasuk
latihan fisis (olahraga)
• Meminimalkan/ menghilangkan efek
samping obat
• Gejala seminimal mungkin
• Membutuhkan bronkodilator seminimal
mungkin
• Keterbatasan aktiviti fisis minimal
• Efek samping obat sedikit
Faal paru (mendekati) normal•Variasi diurnal APE < 20%
•APE (mendekati) normal
Faal paru terbaik • Variasi diurnal APE minimal
• APE sebaik mungkin
II. Medikasi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik
keterbatasan jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif
ini disebabkan inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam
waktu lama dengan gejala utama sesak napas, batuk dan produksi sputum.1,2 Beberapa
penelitian terakhir menemukan bahwa PPOK sering disertai dengan kelainan ekstra paru
20
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 21/38
yang disebut sebagai efek sistemik pada PPOK.3,4 American Thoracic Society (ATS)
melengkapi pengertian PPOK menjadi suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati
ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan
aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru abnormal
terhadap partikel atau gas beracun terutama disebabkan oleh rokok. Meskipun PPOK
mempengaruhi paru, tetapi juga menimbulkan konsekuensi sistemik yang bermakna.5,6
Keterbatasan aktiviti merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat
mempengaruhi kualiti hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang berperan
dalam keterbatasan aktiviti penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan berat badan,
peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan depresi merupakan manifestasi
sistemik PPOK.4,5,7,8 Efek sistemik ini penting dipahami dalam penatalaksanaan PPOK
sehingga didapatkan strategi terapi baru yang memberikan kondisi dan prognosis lebih baik
untuk penderita PPOK.3
RESPONS INFLAMASI PARU PADA PPOK
Sejumlah penelitian menemukan bahwa proses inflamasi pada PPOK tidak hanya
berlangsung di paru tetapi juga secara sistemik, yang ditandai dengan peningkatan kadar C-
reactive protein (CRP), tumor necrosis factor-α (TNF- α), interleukin6 (IL-6) serta IL-8.
Respons sistemik ini menggambarkan progresiviti penyakit paru dan selanjutnya berkembang
menjadi penurunan massa otot rangka (muscle wasting ), penyakit jantung koroner dan
aterosklerosis.9 Mekanisme molekuler dan seluler pada PPOK dapat dilihat pada gambar 1.6
21
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 22/38
Gambar 1. Mekanisme molekuler dan seluler pada PPOK
Dikutip dari (6)
Pajanan gas beracun mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel jalan napas dalam
membentuk faktor kemotaktik, penglepasan faktor kemotaktik menginduksi mekanisme
infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru yang dapat menimbulkan kerusakan struktur paru.
Infiltrasi sel ini dapat menjadi sumber faktor kemotaktik yang baru dan memperpanjang
reaksi inflamasi paru menjadi penyakit kronik dan progresif. 6 Makrofag alveolar penderita
PPOK meningkatkan penglepasan IL-8 dan TNF-α. Ketidakseimbangan proteinase dan
antiproteinase serta ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan berperan dalam patologi
22
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 23/38
PPOK. Proteinase menginduksi inflamasi paru, destruksi parenkim dan perubahan struktur
paru. Kim & Kadel. dikutip dari 6 menemukan peningkatan jumlah neutrofil yang nekrosis di jalan
napas penderita PPOK dapat menyebabkan penglepasan elastase dan reactive oxygen
species (ROS) yang menyebabkan hipersekresi mukus.6
Respons epitel jalan napas terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa peningkatan
jumlah kemokin seperti IL-8,macrophage inflamatory protein-1 α (MIP1-α) dan monocyte
chemoattractant protein-1 (MCP-1). Peningkatan jumlah Limfosit T yang didominasi oleh
CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada kelenjar limfe paratrakeal.
Sel sitotoksik CD8+ menyebabkan destruksi parenkim paru dengan melepaskan perforin
dan granzymes. CD8+ pada pusat jalan napas merupakan sumber IL-4 dan IL-3 yang
menyebabkan hipersekresi mukus pada penderita bronkitis kronik.6
MEKANISME INFLAMASI SISTEMIK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik tidak hanya menyebabkan respons inflamasi paru
yang abnormal tapi juga menimbulkan inflamasi sistemik termasuk stress oksidatif sistemik,
aktivasi sel-sel inflamasi di sirkulasi sistemik dan peningkatan sitokin proinflamasi. 3 Efek
sistemik PPOK dapat dilihat pada tabel 1. Respons inflamasi sistemik ditandai dengan
mobilisasi dan aktivasi sel inflamasi ke dalam sirkulasi. Proses inflamasi ini merangsang
sistem hematopoetik terutama sumsum tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit serta
merangsang hepar untuk memproduksi acute phase proteinseperti CRP dan fibrinogen. Acute
phase protein akan meningkatkan pembekuan darah yang merupakan prediktor angka
kesakitan dan kematian pada penyakit kardiovaskular sehingga menjadi pemicu terjadi
trombosis koroner, aritmia dan gagal jantung.9,10
Tabel 1. Efek sistemik PPOK
Inflamasi sistemik
Stress oksidatif
Aktivasi sel inflamasi
Peningkatan kadar plasma sitokin dan akut fase protein
Nutrisi abnormal dan penurunan berat badan
Peningkatan resting energy expenditure
Komposis tubuh abnormal
23
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 24/38
Metabolisme asam amino abnormal
Disfungsi otot rangka
Hilangnya massa otot
Struktur/ fungsi abnormal
Keterbatasan latihan
Efek sistemik potensial lainnya
Efek kardiovaskular
Efek sistem saraf
Efek osteoskeletal
Dikutip dari (3)
Banyak penelitian menemukan bahwa respons inflamasi paru terhadap pajanan gas
atau asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T yang
didominasi oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti leukotrien B4,
IL-8 dan TNF-α dan bukti bahwa stress oksidatif disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau sel
inflamasi yang diaktifkan. Perubahan respons inflamasi yang sama juga ditemukan pada
sirkulasi sistemik. Konsep ini merupakan kunci untuk memahami efek sistemik PPOK.3
Stres oksidatif mencakup semua perubahan fungsi atau struktur yang disebabkan oleh
ROS. Penilaian kadar ROS secara in vivo adalah sulit karena waktu paruhnya sangat pendek
sementara yang bisa dilihat adalah konsekuensi biologiknya atau
melalui fingerprint .3 Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan diduga sebagai patogenesis
PPOK yang tidak hanya ditemukan pada jalan napas dan jaringan paru tetapi juga pada darah
tepi. Banyak penelitian menyatakan bahwa peningkatan oksidan dapat terjadi karena
peningkatan jumlah neutrofil dalam jaringan paru perokok dan penderita PPOK. Efek ini
dapat dideteksi dalam plasma berupa peningkatan petanda stres oksidan diikuti dengan
penurunan kapasiti antioksidan.
11
Rahman dkk.
dikutip dari 12
menemukan ketidak seimbanganstatus reduksi oksidasi pada perokok dan penderita PPOK eksaserbasi akut. Peningkatan stres
oksidatif yang menetap dalam plasma penderita PPOK dibuktikan dengan penemuan
kadar lipid peroxidationyang tinggi.12
Peningkatan kadar beberapa mediator sitokin ditemukan pada penderita PPOK stabil.
Nougera dkk.dikutip dari 19melakukan penelitian terhadap penderita PPOK stabil menemukan
peningkatan ekspresi Mac-1 (CD11b/CD18) dalam sirkulasi dan kadar yang rendah
dari soluble intercellular adhesion mollecule (SICAM)-1 dibanding kontrol.7,13 Penilaian
24
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 25/38
ekspresi guanine nucleotide binding proteins (G protein) dengan mengabaikan kondisi klinis
penderita PPOK menemukan hilangnyaimunoreactivity G-α yang bermakna dalam sirkulasi
neutrofil.3 Sauleda dkk. dikutip dari 11 melaporkan peningkatan aktiviti enzim sitokrom oksidase
penderita PPOK dibanding dengan orang sehat. Sitokrom oksidase adalah suatu enzim
terminal dalam rantai pernapasan di mitokondria. Keadaan ini berhubungan secara bermakna
dengan beratnya penyakit dan derajat obstruksi. Aktiviti sitokrom oksidase meningkat pada
otot rangka penderita PPOK dibandingkan dengan orang normal.13
Perubahan sejumlah mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-8 ditemukan berupa
peningkatan kadar acute phase proteinwalaupun pada penderita PPOK stabil. TNF-α
mengatur proses inflamasi pada tingkat multiseluler dengan cara merangsang peningkatan
ekspresi molekul adesi leukosit dan sel endotel selain itu juga dengan meningkatkan
pengaturan sitokin proinflamasi lainnya (IL-8 dan IL-6) serta menginduksi
angiogenesis.13 Proses eksaserbasi PPOK sebagian berhubungan dengan peningkatan
inflamasi pada bronkus dan sistemik. Secara umum proses inflamasi akan ditentukan oleh
keseimbangan antara mediator pro dan antiinflamasi.14
Penelitian untuk menilai kadar sistemik mediator anti inflamasi sudah dilakukan
terhadap soluble IL-1 receptor type II (sIL-IRII) decoy receptor IL-1
dan soluble TNF receptor 55 dan 75 (sTNF-R55 dan sTNF-R75) yang menghambat aktiviti
biologi TNF-α. Pada penderita PPOK stabil ditemukan peningkatan bermakna sTNF-R55
dibandingkan dengan kontrol sTNF-R57 cenderung meningkat. Tidak ada perbedaan yang
terlihat pada kadar sIL-IRII antara penderita PPOK dengan kontrol. 11,13
Peranan Nitric Oxide
Nitric oxide (NO) merupakan radikal bebas yang dibentuk dari asam amino L-argininoleh Nitric Oxide Synthase (NOS) dan ditemukan pada otot dalam 3 bentuk isoform NOS.
Bentuk pertama endothelial constitutive NOS (eNOS) berfungsi mempertahankan tekanan
pembuluh darah tetap rendah dan mencegah perlengketan leukosit serta platelet ke dinding
pembuluh darah. Bentuk kedua neuronal constitutive NOS (nNOS) berperan sebagai
neuromodulator atau neuromediator. Bentuk ketiga inducible isoforms NOS (iNOS) melalui
rangsangan inflamasi dapat menghasilkan NO 1000 kali lebih banyak. Kelebihan jumlah NO
akan diubah menjadi bentuk peroksinitrit (ONOO-) yang mempunyai efek sitotoksik. Pada
penderita PPOK ditemukan kadar iNOS yang meningkat pada otot.15 Peningkatan kadar
25
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 26/38
iNOS menyebabkan proses penghancuran protein, meningkatkan proses apoptosis dan
menyebabkan kegagalan kontraksi otot sehingga berpotensi sebagai penyebab keterbatasan
toleransi latihan pada penderita PPOK.3
Penurunan massa sel tubuh pada PPOK
Penurunan massa sel tubuh merupakan manifestasi sistemik yang penting pada PPOK
dan terlihat berupa kehilangan lebih dari 40% actively metabolizing tissue. Perubahan massa
sel tubuh diketahui melalui penurunan berat badan dan penurunan massa lemak bebas. Massa
lemak bebas dapat dibagi 2 yaitu kompartemen intraseluler atau massa sel tubuh dan
kompartemen ekstraseluler. Kompartemen intraseluler menggambarkan bagian pertukaran
energi sedangkan kompartemen ekstraseluler menggambarkan substansi di luar sel.Kerusakan jaringan umumnya terjadi pada penderita PPOK dengan prevalensi 20% pada
penderita PPOK stabil dan 35% pada penderita yang menjalani rehabilitasi medik.7 Massa
lemak bebas yang hilang mempengaruhi proses pernapasan, fungsi otot perifer, kapasiti
latihan dan status kesehatan. Penurunan berat badan mempunyai efek negatif terhadap
prognosis penderita PPOK.3,7 Schols dkk.dikutip dari 16 melakukan penelitian retrospektif terhadap
400 penderita PPOK. Penelitian ini menemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) kurang
dari 25 kg/m2, umur dan PaO2 rendah merupakan prediktor yang bermakna terhadap
peningkatan angka kematian sementara Landbo dkk.dikutip dari 17 menyatakan prognosis yang
buruk pada penderita PPOK bila IMT kurang dari 20 kg/m2. 16,17
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan langsung antara kadar TNF-α dan laju
metabolik istirahat serta hubungannya dengan peningkatan kadar acute phase protein. Tumor
necrosis factor -α berhubungan dengan percepatan metabolisme dan perubahan protein serta
peningkatan berkurangnya berat badan pada penderita PPOK.4 Inflamasi sistemik
menyebabkan metabolisme yang berlebihan dan menginduksi respons katabolik. Beberapa
mekanisme yang dapat menimbulkan peningkatan laju metabolisme antara lain pemakaian
obat β2 agonis pada penderita PPOK, proses inflamasi serta hipoksia jaringan.3
Penderita PPOK cenderung mengalami kaheksia daripada malnutrisi. Asupan nutrisi
penderita PPOK biasanya normal bahkan lebih besar daripada normal sedangkan asupan
nutrisi pada malnutrisi memang kurang. Laju metabolisme penderita PPOK biasanya
meningkat tidak seperti pada penderita malnutrisi namun respons penderita PPOK terhadap
asupan nutrisi seringkali buruk.3 Mekanisme lain yang menerangkan kaheksia adalah
26
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 27/38
hubungan antara sitokin dengan leptin. Leptin adalah protein yang disintesis oleh jaringan
lemak dan berperan dalam keseimbangan energi. Kadar leptin berkurang pada penderita
PPOK dengan berat badan rendah.4 Gangguan ketidakseimbangan energi berhubungan
dengan peningkatan kadar leptin sebagai respons inflamasi sitemik selama eksaserbasi.
Leptin juga berperan dalam imuniti sel T, angiogenesis, reproduksi dan kontrol ventilasi.11
Ketidakseimbangan proses pemecahan dan penggantian protein juga berperan dalam
proses penurunan massa sel tubuh. Penderita PPOK stabil yang tidak mengalami kerusakan
jaringan tetap menunjukkan keseimbangan antara proses pemecahan dan pembentukan
protein.7 Perubahan hormon juga berhubungan dengan perubahan protein. Insulin, Growth
hormon (GH), insulin-like growth factors (IGFs) merupakan hormon anabolik yang
membantu sintesis protein sementara glukokortikoid merangsang proses proteolisis pada
jaringan otot. Insulin menekan proses pemecahan protein. Growth hormonmeningkatkan
massa lemak bebas, merangsang produksi hepar dan sekresi IGF-1.3
Resistensi GH terjadi pada keadaan katabolisme saat inflamasi. Keadaan puasa dan
katabolik berhubungan dengan penurunan GH yang terikat pada reseptor, ekspresi gen IGF-1
dan IGF-1 yang terikat protein. Perubahan IGF-1 selama katabolisme diterangkan sebagai
mekanisme adaptasi untuk membantu pengurangan proses anabolik pada saat stres atau saat
IGF-1 meningkat di jaringan. Pemberian IL-1 dan TNF-α pada hewan percobaan
berhubungan dengan kadar IGF-1 plasma yang rendah dan penurunan sintesis protein.
Sintesis protein yang dirangsang oleh IGF-1 dihambat pada saat mioblas terpajan TNF-α.11
Hormon anabolik seperti testosteron bekerja pada otot dengan dua cara. Pertama
dengan merangsang efek anabolik protein melalui reseptor androgen, kedua dengan
menghambat katabolik protein melalui netralisasi efek glukokortikoid. Penurunan kadar
testosteron total dan bebas pada penderita PPOK telah banyak dilaporkan. Pemberian
glukokortikoid sistemik dosis rendah sebagai antiinflamasi masih sering digunakan. Perlu
penelitian lebih lanjut mengenai keseimbangan hormon anabolik dan katabolik pada PPOK
untuk mendapatkan strategi terapi yang lebih tepat. 13
Pengecilan Otot
Proses pemecahan protein sel pada otot merupakan keadaan yang sering didapatkan
sebagai respons terhadap asidosis, infeksi atau asupan kalori yang tidak adekuat. Selama
27
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 28/38
keadaan ini, otot dan kulit akan kehilangan protein dalam jumlah lebih besar dibandingkan
organ-organ viseral sedangkan otak tidak terpengaruh. Pengurangan massa otot pada
penderita PPOK terutama terdapat pada ekstremiti bawah.7 Jalur adenosine
triphosphate (ATP) tergantung pada ubiquitin-proteasom berperan dalam peningkatan
proteolisis pada berbagai tipe atropi otot. Pengaruh TNF-α pada sel otot rangka berupa
pengurangan kandungan protein total dan hilangnya adult myosin heavy chain. Guttridge
dkk.dikutip dari 7 melaporkan TNF-α merangsang aktivasi nuclear factor κ β (NF- κ β) untuk
menghambat diferensiasi otot rangka dengan menekan myoD-mRNA pada saat pasca
transkripsi. Tumor necrosis factor -α dan interferon γ (IFγ) mempengaruhi regulasi otot
rangka melalui penghambatan terbentuknya serat-serat otot baru, degenerasi serat-serat otot
yang baru dibentuk dan menyebabkan ketidakmampuan memperbaiki kerusakan otot
rangka.13 Sitokin inflamasi diduga berperan pada pengecilan otot melalui penghambatan
difrensiasi miogen melalui jalur NF- κ β dan secara langsung menghambat NF- κ β seperti
yang terlihat pada pengurangan otot berhubungan dengan kaheksia. Proses kematian sel yang
terprogram atau apoptosis juga berperan pada pengecilan otot.18
Perubahan metabolisme otot
Penurunan serabut otot tipe 1 dan peningkatan relatif serabut tipe 2 didapatkan pada
otot rangka perifer penderita PPOK stabil, hal ini menunjukkan perubahan proses oksidatif ke
glikolisis. Metabolisme glikolisis menghasilkan ATP yang lebih kecil daripada metabolisme
oksidatif sehingga sangat berpengaruh pada metabolisme energi otot rangka penderita
PPOK.7 Kadar laktat meningkat lebih cepat selama latihan pada penderita PPOK, keadaan ini
berhubungan dengan berkurangnya enzim oksidasi pada otot tungkai bawah. Kadar glutamat
didapatkan rendah pada penderita PPOK. Glutamat berperan dalam menyediakan posfat
energi tinggi melalui proses metabolik dan menjadi prekursor antioksidan glutation dan
sintesis glutamin dalam otot. Kadar glutamat dan glutation yang rendah juga didapatkan pada
penderita emfisema. Proses asidosis laktat yang terjadi lebih awal selama latihan pada
penderita PPOK berhubungan dengan penurunan kadar glutamat otot.11
Disfungsi otot rangka
Disfungsi otot rangka pada penderita PPOK meliputi perubahan anatomi dan fungsi.
Perubahan anatomi terjadi pada komposisi serat otot dan atropi sementara perubahan fungsi
berupa perubahan kekuatan, ketahanan dan aktiviti enzim. Semua ini akan mempengaruhi
28
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 29/38
kapasiti latihan serta kualiti hidup penderita. Peranan diafragma lebih dominan daripada otot
rangka dalam proses pernapasan pada penderita PPOK. Hipoksia jaringan dan inflamasi
sistemik yang menetap merupakan faktor penyebab disfungsi otot rangka.3,19
Stress oksidatif pada penderita PPOK dibuktikan dengan peningkatan kadar sitokin
sirkulasi dan acute phase reactant termasuk IL-6, IL-8, TNF-α, TNF-R55, TNF-R75, CRP
dan lipopolisakarida terikat protein. Semua sel inflamasi ini terlihat lebih aktif pada penderita
PPOK. Neutrofil darah tepi memperlihatkan perluasan kemotaksis, proses proteolisis
ekstraselular, menghasilkan lebih banyak ROS serta meningkatkan ekspresi MAC. Aktiviti
sitokrom oksidase lebih meningkat pada PPOK dan peningkatan ini berhubungan dengan
petanda nonspesifik terhadap aktivasi limfosit pada penyakit inflamasi kronik. 20
Efek kardiovaskular
Penyakit pembuluh darah jantung sering ditemukan pada PPOK karena keduanya
mempunyai faktor risiko yang sama seperti merokok, usia lanjut dan inaktiviti. Pajanan asap
rokok atau particulate matter menghasilkan inflamasi sistemik seperti terlihat pada gambar 2.
Respons inflamasi ini berupa respons fase akut dengan peningkatan pembekuan darah,
penglepasan mediator inflamasi ke dalam sirkulasi selanjutnya mengaktifkan endotelin dan
merangsang sumsum tulang melepaskan leukosit dan trombosit. Keadaan ini meningkatkan
resiko penyakit vaskular, menyebabkan ketidakstabilan plak aterosklerosis sehingga menjadi
ruptur dan menyebabkan trombosis.3,9
29
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 30/38
Gambar 2. Mekanisme inflamasi paru yang menginduksi penyakit vaskular
Dikutip dari (9)
Efek terhadap sistem saraf
Perubahan metabolisme bioenergi penderita PPOK diperlihatkan dengan nuclear
magnetic resonance spectroscopy, hal ini mungkin disebabkan oleh proses adaptasi terhadap
kondisi hipoksia kronik. Tingginya prevalens depresi mungkin berhubungan dengan respons
terhadap kondisi kelemahan yang menetap akibat penyakit kronik. Perubahan sistem saraf
otonom yang abnormal dilaporkan terutama pada penderita dengan berat badan rendah dan
berhubungan dengan pengaturan irama sirkadian leptin. Pemberian leptin mempunyai efek
penting terhadap fungsi saraf endokrin, pengaturan appetite dan berat badan. Kadar leptin
yang rendah berhubungan dengan patogenesis disfungsi otot rangka dan penurunan berat
badan pada penderita PPOK. 3,9
Efek terhadap tulang rangka
Prevalens osteoporosis meningkat pada penderita PPOK, hal ini dapat disebabkan
oleh banyak faktor seperti malnutrisi yang menetap, merokok, terapi steroid dan inflamasi
30
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 31/38
sistemik. Keadaan emfisema dan osteoporosis ditandai dengan hilangnya jaringan paru atau
jaringan tulang. Gambaran tulang yang mengalami osteoporosis hampir sama dengan
jaringan paru yang mengalami emfisema. 3
TERAPI TERBARU PPOK
Inflamasi kronik pada PPOK berlangsung pada jalan napas kecil dan parenkim paru
yang melibatkan neutrofil, makrofag dan CD8+. Proses ini menyebabkan fibrosis dan
penyempitan pada jalan napas kecil serta destruksi parenkim akibat bermacam-macam
protease seperti neutrofil elastase dan matriks metaloproteinase (MMP). Berdasarkan
mekanisme inflamasi seluler dan molekuler yang terjadi pada PPOK, timbul pemikiran untuk
mengembangkan terapi yang dapat mengontrol inflamasi dan proses destruksi yang terjadiseperti terlihat pada gambar 3. 21
Gambar 3. Target terapi PPOK berdasarkan mekanisme inflamasi
1. Berhenti merokok
31
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 32/38
Merokok merupakan penyebab utama PPOK dan berhenti merokok merupakan terapi
yang sejauh ini dapat mengurangi progeresiviti penyakit. Proses inflamasi di jaringan masih
terus berlangsung walaupun sudah berhenti merokok. Kecanduan nikotin merupakan masalah
utama yang menjadi target terapi. Terapi pengganti nikotin hanya menunjukkan keberhasilan
5-15%. Saat ini sedang dikembangkan vaksin yang mampu menetralisir nikotin dalam
darah.22 Jorenby dkk.dikutip dari 23 menemukan Bupropion yang merupakan suatu anti depresan
cukup berhasil bila digunakan sebagai terapi berhenti merokok. Pemberian bupropion selama
6-9 minggu memberikan keberhasilan berhenti merokok sebesar 18% dibandingkan dengan
nikotin skin patch 9% dan plasebo 6%. Obat ini ditoleransi dengan baik dan hanya
menimbulkan efek samping berupa serangan epilepsi sekitar 0,1% pada penderita.23
2. Bronkodilator baru
Tiopropium bromid merupakan antikolinergik kerja lama. Inhalasi Tiopropium
bromid sebanyak 1 kali sehari memberikan efek bronkodilator yang lebih efektif daripada
pemberian ipratropium bromid sebanyak 4 kali sehari. Penelitian jangka panjang
memperlihatkan perbaikan gejala dan kualiti hidup yang bermakna serta berkurangnya
eksaserbasi pada penderita PPOK yang mendapat Tiopropium bromid. Obat ini menjadi
pilihan bronkodilator dan mempunyai efek yang lebih baik bila dikombinasi dengan β2 agonis
kerja lama.21
3. Antagonis Mediator
Sejumlah mediator inflamasi berperan dalam proses inflamasi PPOK dan proses ini
tetap berlangsung walaupun penderita sudah berhenti merokok. Inflamasi neutrofil
merupakan karakteristik PPOK dan pemberian terapi ditujukan pada mediator yang berperan
dalam pengaturan dan aktivasi netrofil ini seperti yang terlihat pada tabel 2. 13
Tabel 2. Antagonis mediator untuk PPOK
- Antagonis leukotrin B4 (LTB4): LY29311, SC-53228, CP-105696, SB 201146, BIIL284
- Penghambat 5’lipoksigenase: zileuton, Bay x1005
- Penghambat kemokin
Antagonis IL-8: antagomis CXCR2, SB225002
Antagonis monocyte chemotactic protein (MCP), antagonis CCR2
32
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 33/38
-Penghambat TNF: antibodi monoklonal, soluble receptors, TNF-α converting enzymes
inhibitors
- Antioksidan: stable glutathione analogues
- Penghambat iNOS: l-N6-(1-imminoethyl)lysine (L-NIL)
Dikutip dari (21)
a. Penghambat leukotrin B4 (LTB4)
Leukotrin B4 merupakan chemoattractant neutrofil dan meningkatkan produksi
sputum penderita PPOK. Dua subtipe LTB4 yaitu reseptor BLT1 diekspresikan oleh
granulosit dan monosit serta reseptor BLT2 diekspresikan oleh limfosit T. Antagonis BLT1
yaitu LY29311 sedang dikembangkan untuk terapi inflamasi neutrofil. Antagonis reseptor
LTB4 yang selektif seperti SC-53228, CP-105696, SB201146 dan BIIL284 juga sedang
dikembangkan.22
b. Penghambat kemokin
Kadar IL-8 meningkat pada sputum penderita PPOK dan berhubungan dengan
beratnya penyakit. Antagonis IL-8 berupa antibodi monoklonal dapat menghambat respons
kemotaktik neutrofil pada hewan percobaan. Antagonis CXCR2, antagonis MCP atau
antagonis CCR2 masih dalam tahap uji klinis.21
c. Penghambat TNF-α
Antibodi monoklonal (infliximal®) dan soluble receptors TNF-α (etanercept®) efektif
digunakan pada penyakit kronik. Pemakaian jangka lama tidak menyenangkan untuk
penderita karena harus disuntikkan secara berulang.21,22
d. Antioksidan
N-acetyl cystein (NAC) meningkatkan produksi GSH (glutation). Pemberian NAC
peroral menunjukkan pengurangan eksaserbasi PPOK. Antioksidan yang lebih efektif seperti
senyawa glutation yang stabil, analog dengan SOD serta obat berbasis selenium sedang
dikembangkan.21
3.5. Penghambat iNOS
33
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 34/38
Stres oksidatif menyebabkan peningkatan penglepasan NO dari iNOS yang akan
menghasilkan radikal bebas peroksinitrit. Penghambat selektif iNOS seperti N6-(1-
imminoethyl)lysine (L-NIL) dapat mengurangi penglepasan NO jangka panjang.22
4.Terapi anti inflamasi baru
Terapi inhalasi kortikosteroid yang digunakan pada penderita PPOK diduga dapat
mencegah progresiviti penyakit tetapi pada kenyataannya kortikosteroid tidak mengurangi
progresiviti penyakit dan tidak menghambat inflamasi neutrofil yang diinduksi oleh ozon
pada manusia bahkan sebaliknya dapat memperpanjang masa hidup neutrofil. Alasan lain
yang menyebabkan resistensi kortikosteroid adalah efek hambatan asap rokok pada histon
deasetilase yaitu suatu enzim yang dibutuhkan kortikosteroid untuk menekan gen inflamasi.Beberapa jenis anti-inflamasi baru yang dikembangkan sebagai terapi PPOK dapat dilihat
pada tabel 3.21
Tabel 3. Obat anti-inflamasi baru untuk PPOK
- Penghambat posfodiesterase-4: SB207499, CP80633, CDP 840
Penghambat NF-κβ: penghambat proteasom, penghambat dari NF-κβ inhibitor, 1κβ-α genetransfer
Penghambat molekul adesi: anti CD11/CD18, anti ICAM-1, penghambat E-selektin
Interleukin 10 dan analog
Penghambat p38 mitogen activated protein (MAP) kinase : SB 203580, SB 220025, RWJ
67657
Penghambat posfoinositid (PI)-3 kinase-γ
Imunomodulator: penghambat CD8+
Dikutip dari (21)
-
--
-
-
-
a. Penghambat posfodiesterase-4 (PDE-4)
Penghambat fosfodiesterase-4 merupakan PDE yang diekspresikan pada neutrofil,
CD8+ dan makrofag. Diduga penghambatan PDE akan dapat mengontrol inflamasi pada
PPOK secara efektif. Penghambat fosfodiesterase-4 seperti cilomilast dan roflumilas sedangdikembangkan dan bermakna dalam menghambat pelepasan TNF-α oleh monosit.21,24
34
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 35/38
b. Penghambat NF-κβ
NF-κβ mengatur ekspresi IL-8, TNF-α dan MMP. Efek hambatan jangka lama
terhadap NF-κβ dapat menekan sistem imun dan mengganggu kekebalan tubuh. Tikus
percobaan yang kekurangan NF-κβ akan mati akibat sepsis.21
c. Penghambat molekul adesi
Pengerahan neutrofil, monosit, T sel sitotoksik pada paru dan jalan napas bergantung
kepada ekspresi molekul adesi. Pemberian TBC 129 dapat menghambat molekul adesi E-
selektin pada endotel, adesi granulosit dan neutrofil. Perlu dipikirkan bahwa hambatan
terhadap neutrofil akan meningkatkan kejadian infeksi.21
d. Interleukin 10
Sitokin IL-10 mempunyai aksi antiinflamasi yang luas, mekanisme kerjanya
menghambat sekresi TNF-α dan IL-8, menurunkan ekspresi MMP dan meningkatkan
ekspresi tissue inhibitor matrix metalloproteinase (TIMP). Pemberian secara injeksi selama
beberapa minggu dapat ditoleransi dengan baik sehingga dapat menjadi terapi yang potensial
untuk PPOK.21
e. Penghambat p38 mitogen activated protein (MAP) kinase
Mitogen activated protein kinase berperan dalam inflamasi kronik. Penghambat
nonpeptida seperti SB 203580, SB 239063, RWJ 67657 merupakan penghambat p38MAP
kinase. SB 239063 terbukti mengurangi infiltrasi neutrofil setelah inhalasi endotoksin dan
menurunkan konsentrasi IL-6, MMP-9 pada bilasan bronkoalveolar (BAL) tikus percobaan.
Pemberian secara inhalasi dianggap aman.21,22
f. Penghambat posfoinositid (PI)-3 kinase (PI-3K)
Posfoinositid (PI)-3 kinase merupakan kelompok enzim yang meningkatkan
pembentukan lipid second messenger yang mengatur beberapa peristiwa seluler termasuk
pengerahan dan aktivasi neutrofil. Hambatan terhadap PI-3K akan menyebabkan gangguan
pada migrasi dan aktivasi neutrofil sama baiknya dengan hambatan limfosit T dan fungsi
makrofag.21
35
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 36/38
5. Penghambat Protease
Hambatan terhadap enzim proteolitik atau peningkatan antiprotease endogen diduga
akan menguntungkan dan dapat mencegah progresiviti obstruksi jalan napas penderita PPOK.
Antiprotease endogen yang diberikan antara lain α1-antitripsin, penghambat leukoprotease,
elafin dan penghambat MMP. Pemberian ONO-5046 dan FR 901277 berpotensi menghambat
elastase neutrofil yang menginduksi cedera paru pada hewan percobaan. Obat ini dapat
diberikan secara inhalasi dan sistemik.22,25
6. Agen remodeling
Mekanisme obstruksi pada PPOK adalah karena hilangnya elastisiti dan rekoil
parenkim paru akibat proteolisis jaringan paru. Kerusakan ini tidak dapat diperbaiki tetapi
hanya dapat dicegah oleh terapi tertentu. Asam retinoat meningkatkan jumlah alveoli pada
tikus percobaan dan mengembalikan perubahan histologis, fisiologis yang diinduksi oleh
terapi elastase. Asam retinoat mengaktifkan reseptornya yang berperan sebagai faktor
transkripsi untuk mengatur gen yang berfungsi dalam pertumbuhan dan difrensiasi sel. Perlu
penelitian lebih lanjut apakah temuan ini dapat diaplikasikan pada manusia.21
7. Hantaran Obat
Pemberian bronkodilator dengan cara inhalasi dosis terukur (IDT) atau inhalasi bubuk
kering kurang berfungsi pada penderita emfisema dan bronkitis kronik karena proses
inflamasi dan destruksi terjadi di parenkim dan jalan napas kecil. Perlu dipikirkan pemberian
inhalasi dengan ukuran partikel yang jauh lebih kecil sehingga mencapai bagian perifer
paru.22
Obat baru untuk PPOK sangat diperlukan mengingat proses inflamasi terus berlanjut
walaupun penderita sudah berhenti merokok. Faktor lingkungan seperti asap dapur, polutan,
perokok pasif serta inhalasi zat toksin lainnya perlu diperhatikan karena juga dapat
menyebabkan PPOK. Peranan faktor genetik perlu dipertimbangkan karena hanya sekitar 10-
20% perokok yang dapat berkembang menjadi PPOK. Penelitian lebih lanjut diperlukan
berdasarkan mekanisme molekuler dan seluler yang menjadi patogenesis PPOK sehingga
dapat dikembangkan terapi yang lebih baik terhadap penyakit ini.
36
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 37/38
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunnegoro H, Amin M, Yunus F, Abdullah A, Widjaja A, Surjanto E dkk.. PPOK
pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Edisi revisi. Jakarta:Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2004.p.vii.
2. NHLBI/ WHO workshop report. Global inisiatif for chronic obstructive pulmonary
disease. Geneva: WHO; 2001.p.6-95.
3. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquets X. Systemic effect of
chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 2003;21:347-60.
4. Andreassen H, Vestbo J. Chronic obstructive pulmonary disease as systemic disease: an
epidemiological perspective. Eur Respir J 2003;22suppl: 2-4.
5. Rennard SI. Chronic obstructive pulmonary disease, linking outcomes and pathobiology
of disease modification. Proc Am Thorac Soc 2006;3:276-80.
6. Dahesia M. Pathogenesis of COPD. Clin Applied Immunol Rev 2005;5:339-51.
7. Wouters EFM, Creutzberg EC, Schols AMWJ. Systemic effects of COPD. Chest
2002;121suppl:127-30.
8. Gan WQ, Man SFP, Senthilselvan A, Sin DD. Association between COPD and systemic
inflammation: a systematic review and a metaanalysis. Thorax 2004;59:574-80.
9. Eeden SF, Yeung A, Quinlam K, Hogg JC. Systemic response to ambient particulate
matter. Proc Am Thorac Soc 2005;2:61-7.
10. Donalson GC, Seemungal TAR, Patel IS, Bhowmik A, Wilkinson TMA, Hurst JR.
Airway and systemic inflammation and decline in lung function in patients with COPD.
Chest 2005;128:1995-2004.
11. Wouters EFM. Chronic obstructive pulmonary disease 5: Systemic effect of COPD.
Thorax 2002;57:1067-70.
12. Rahman I, Morrison D, Donalson K, MacNee W. Systemic oxidative stress in asthma,
COPD and smokers. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154: 1055-60.
13. Wouters EFM. Local and systemic inflammation in COPD. Proc Am Thorac Soc
2005;2:26-33.
14. Repine JE, Bast A, Lankhorst and the oxidative stress studying group. Oxidative stress
in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156:341-
57.
15. Oca MM, Torres SH, Sanctis D, Mata A, Hernandez N, Talamo C. Skeletal muscle
inflammation and nitric oxide in patients with COPD. Eur Respir J 2005;26:390-7.
16. Schols AMWJ, Slangen J, Volovics L, Wouters EFM. Weight loss is reversible factor inthe prognosis of chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med
37
7/14/2019 Asma Bronkial
http://slidepdf.com/reader/full/asma-bronkial-56327c9ddb79b 38/38
1998;157:1791-7.
17. Landbo C, Prescott E, Lange P, Vestbo J, Amdal TP. Prognostic value of nutritional
status in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1999;
160:1856-61.
18. Macnee W. Oxidant/antioxidats and COPD. Chest 2000;117suppl:303-17.
19. Noguera A, Busquets X, Sauleda J. Expression of adhesion molecules and G protein in
circulating neutrophils in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care
Med 1998;158:1664-8.
20. Oudijk EJD, Nijhuis EHJ, Zwank MD, Graaf EA, Mager HJ, Coffer P et al. Systemic
inflammation in COPD visualised by gene profiling in peripheral blood neutrophils.
Thorax 2005;60:538-44.
21. Barnes PJ. Chronic obstructive pulmonary disease 12: New treatment for COPD.
Thorax 2003;58:803-8.
22. Buhl R, Farmer SG. Future direction in the pharmacologic therapy of COPD. Proc Am
Thorac Soc 2005;2:89-93.
23. Jorenby DE, Leischow SJ, Nides MA. A controlled trial of sustained release bupropion,a nicotine patch or both for smoking cessation. N Engl J Med 1999;340: 685-91.
24. Sturton G, Fitzgerald M. Phospodiesterase inhibitors for the treatment of COPD. Chest
2002;121suppl:192-196.
25. Stockley RA. Neutrophils and protease/ antiprotease imbalance. Am J Respir Crit Care
Med 1999;160:549-52.
26. Debigare R, Cote CH, Maltais F. Peripheral muscle wasting in chronic obstructive
pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2001;164:1712-17.
27. http://fabad.org/fabad.org/pdf/volum28/issue3/FABAD2003j.Pharm.Sci.,28,149-
160,2003.pdf , diakses pada tanggal 13 Juli 2013.
28.Mangunnegoro H, et al. Asma: Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2004
29. Bateman ED, et al. Global strategy for asthma management and prevention. Global
Initiative for Asthma; 2011.
30.Fauci AS, Brunwald E, Kasper DL, Hauser Sl, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th edition. USA: The McGraw-hill Companies,
inc; 2008. (e-book)