asma bronkial

34
1 I. PENDAHULUAN Asma bronkial merupakan salah satu penyakit kronis yang menyerang saluran napas bagian atas dan seringkali dijumpai pada anak-anak. Penyakit ini cukup mendapat perhatian serius karena prevalensinya yang cukup tinggi di berbagai negara berkembang (Rahmawati et al., 2003). Berdasarkan sebuah penelitian tentang asma yang dilakukan di Amerika Serikat, pada anak-anak dengan usia berkisar 12 tahun di South Wales, prevalensi riwayat mengi (wheezing) mengalami peningkatan dari 17% pada tahun 1973 menjadi 22% pada tahun 1988 (Koh et al., 2002). Adapun beberapa hal yang diduga menjadi penyebab meningkatnya prevalensi asma maupun meningkatnya penyakit alergi diantaranya yaitu tingginya tingginya tingkat polusi udara, baik di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor). Polusi udara yang terjadi di dalam ruangan seperti debu ruangan yang jarang dibersihkan dan juga kadang-kadang asap rokok sedangkan polusi yang terjadi di luar ruangan seperti asap yang disebabkan oleh kendaraan bermotor, pabrik maupun rokok Polutan-polutan tersebut akan berefek pada peningkatan hiperresponsifitas bronkus yang akan menimbulkan gejala klinis berupa sesak napas. Oleh sebab itulah, faktor lingkungan sangat memegang peranan

Upload: muhammad-rahman

Post on 06-Aug-2015

51 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: asma bronkial

1

I. PENDAHULUAN

Asma bronkial merupakan salah satu penyakit kronis yang menyerang

saluran napas bagian atas dan seringkali dijumpai pada anak-anak. Penyakit ini

cukup mendapat perhatian serius karena prevalensinya yang cukup tinggi di

berbagai negara berkembang (Rahmawati et al., 2003). Berdasarkan sebuah

penelitian tentang asma yang dilakukan di Amerika Serikat, pada anak-anak

dengan usia berkisar 12 tahun di South Wales, prevalensi riwayat mengi

(wheezing) mengalami peningkatan dari 17% pada tahun 1973 menjadi 22% pada

tahun 1988 (Koh et al., 2002).

Adapun beberapa hal yang diduga menjadi penyebab meningkatnya

prevalensi asma maupun meningkatnya penyakit alergi diantaranya yaitu

tingginya tingginya tingkat polusi udara, baik di dalam ruangan (indoor) maupun

di luar ruangan (outdoor). Polusi udara yang terjadi di dalam ruangan seperti debu

ruangan yang jarang dibersihkan dan juga kadang-kadang asap rokok sedangkan

polusi yang terjadi di luar ruangan seperti asap yang disebabkan oleh kendaraan

bermotor, pabrik maupun rokok Polutan-polutan tersebut akan berefek pada

peningkatan hiperresponsifitas bronkus yang akan menimbulkan gejala klinis

berupa sesak napas. Oleh sebab itulah, faktor lingkungan sangat memegang

peranan penting dalam menentukan manifestasi penyakit ini (Pohar etal., 2003).

Pada penyakit ini, akan dijumpai peningkatan kepekaan saluran napas

yang memicu terjadinya periode mengi yang berulang, sesak napas dan batuk

yang seringkali terjadi pada waktu malam hari. Gejala-gejala ini berhubungan

dengan luasnya inflamasi, hal ini bisa menyebabkan obstruksi saluran napas

dengan derajat yang bervariasi dan bersifat reversible, baik secara spontan

maupun dengan pengobatan. Hal tersebut bisa diperberat jika ditemukan adanya

infeksi pada saluran napas yang bisa menyebabkan terjadinya eksaserbasi asma,

baik pada anak-anak maupun dewasa. Penyebab tersering infeksi saluran napas

adalah infeksi virus saluran napas biasanya rhinovirus, coronavirus atau influenza

(Rusli, 2003).

Asma selalu dihubungkan dengan gangguan pada mediator otot polos di

saluran napas dan kelainan struktur anatomi mukosa saluran napas. Dalam

Page 2: asma bronkial

2

beberapa tahun terakhir, telah dikemukkaan bahwa pada sistem mediator imun,

seperti halnya leukotrien, prostaglandin, faktor pengaktivasi platelet, serta

beberapa faktor seperti histamine dan bronkokonstriktor lainnya juga mampu

meningkatkan kepekaan sistem mediator imun pada saluran napas, sehingga

menimbulkan kontraksi otot polos pada bronchus. Meskipun begitu, penyebab-

penyebab terjadinya penyakit asma dikategorikan menjadi penyebab alergi dan

non alergi, tetapi tidak menutup kemungkinan bisa disebabkan oleh kedua faktor

tersebut.

Page 3: asma bronkial

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Menurut Depkes (2009) asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi

(peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas

bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodic

berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama

pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan

atau tanpa pengobatan.

Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma

untuk kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak

(PNAA) menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang

dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara

episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya

faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara

spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi

lain pada pasien/keluarganya.

B. Epidemiologi

Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan

10% pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di

negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat

bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar

3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National

Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak

usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada

dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum

masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding

perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan pada dewasa

laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita (Rahajoe, 2004).

Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade

terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi.

Page 4: asma bronkial

4

WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.

Berdasarkan laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per

100 ribu. Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma

yang meninggal pada usia 0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak.

Namun secara umum kematian pada anak akibat asma jarang (Soepardi,

2007).

C. Etiologi dan Predisposisi

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi

timbulnya serangan asma bronchial (Betz Cecily, 2002).

1. Faktor Predisposisi

Yang diturunkan adalah bakat alergi meskipun belum diketahui

bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya

mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi. Karena

adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma

bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus (Betz Cecily, 2002).

2. Faktor Presipitasi

a. Alergen

1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Contoh: debu,

bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.

2) Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contoh: makanan dan obat-

obatan

3) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh:

perhiasan, logam, dan jam tangan.

b. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering

mempengaruhi asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan

musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini

berhubungan dengan arah angin, serbuk bunga, dan debu.

c. Stress

Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus asma dan

memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan

Page 5: asma bronkial

5

motivasi untuk menyelesaikan masalah pribadinya karena jika

stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

d. Olah raga/aktivitas jasmani yang berat

Sebagian besar penderita akan mendapat serangan juka

melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat.lari cepat paling

mudah menimbulkan serangan asma (Coperneto, 2000).

e. Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya

serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya

orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik

asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

f. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika

melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat

paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena

aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut

(Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR, 2010).

g. Sex

Terdapat bukti bahwa anak laki-laki lebih banyak mendapat asma

dari pada anak perempuan. Penelitian di USA menunjukan ratio

asthma pada laki-laki : perempuan antara 1,6:1, 2:1, 1,8:1. Ratio

wheezing pada anak laki-laki : perempuan 1:1

h. Etnis

Di Amerika prevalensi asma 50% lebih tinggi pada kulit hitam

daripada kulit putih. Adanya perbedaan prevalensi diantara kulit hitam

dan kulit putih menunjukan bahwa faktor genetik dan faktor etnis

mempengaruhi resiko terjadinya penyakit asma tapi dapat juga

perbedaaan tersebut disebabkan oleh karena perbedaan lifestyle yang

mempengaruhi lingkungan dimana mereka hidup

i. Atopik

Asma pada anak secara jelas ada hubungannya denga riwayat

atopi, baik yang dibuktikan dari pemeriksaan skin test maupun denga

Page 6: asma bronkial

6

pemeriksaan IgE serum, walaupun tak semua anak dengan gejal-gejala

asma yang jelas harus mempunyai riwayat atopi

j. Orang Tua perokok

Asap rokok memegang peranan penting dalam meningkatkan

resiko terjadinya rasthma pada anak. Ada hubungan yang jelas antara

orang tua yang merokok dengan asthma pada anak. Pada suatu studi

kohor dari 650 anak usia 5-9 tahun ditemukan bahwa 11.2% dengan

orang tua perokok mengalami wheezing yang menetap, dibandingkan

dengan 1.2% anak dari orang tua yang bukan perokok.

k. Infeksi saluran repirasi bagian bawah.

Suatu penelitian kohort selama 7 tahun menunjukkan bahwa anak

yang mendapatkan infeksi respirasi bagian bawah pada masa bayi

menunjukkan peningkatan prevalensi terhadap penyakit batuk,

wheezing, flue, selain itu terlihat lebih sering minum obat, lebih sering

ke dokter dibandingkan dengan anak yang pada masa bayinya tidak

mengalami infeksi saluran pernafasan bagian bawah.

Anak-anak dengan gejala asma yang menetap dilaporkan

mempunyai kecenderungan mendapatkan ineksi saluran pernafasan

bagian bawah pada masa bayi.

l. Faktor sosioekonomi

Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara

sosialekonomi dangan asthma pada anak. Penelitian di USA

menunjukkan bahwa insidensi penyakit asthma pada anak meningkat

pada keluarga kecil, pendapatan yang kecil dan sering berpindah-

pindah.

Page 7: asma bronkial

7

D. Klasifikasi

Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Asma (PDPI, 2004)

Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru

Intermitten Bulanan APE≥80%

- Gejala<1x/minggu.

- Tanpa gejala diluar serangan.

- Serangan singkat.

≤ 2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80%nilai terbaik.

- Variabiliti APE<20%.

Persisten ringan Mingguan APE>80%

- Gejala>1x/minggu tetapi<1x/hari.

- Serangan dapat mengganggu aktifiti dan tidur

>2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80% nilai terbaik.

- Variabiliti APE 20-30%.

Persisten sedang Harian APE 60-80%

- Gejala setiap hari.

- Serangan mengganggu aktifiti dan tidur.

- Membutuhkan bronkodilator setiap hari.

>2 kali sebulan - VEP1

60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik.

- Variabiliti APE>30%.

Persisten berat Kontinyu APE 60≤%

- Gejala terus menerus

- Sering kambuh- Aktifiti fisik

terbatas

Sering - VEP1≤60% nilai prediksi

APE≤60% nilai terbaik

- Variabiliti APE>30%

Page 8: asma bronkial

8

Tabel 2.2 Klasifikasi Episodik Asma

Parameter klinisKebutuhan obat, dan faal paru

Asma episodic jarang (asma ringan)

Asma episodic sering(asma sedang)

Asma persisten(asma berat)

1.Frekuensi serangan

3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan

2.Lama serangan <1 minggu ≥1 minggu Hampirsepanjang tahun, tidak ada remisi

3.Intensitas serangan

Ringan Sedang Berat

4.diantara serangan

Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam

5.Tidur dan aktivitas

Tidak terganggu <3x/minggu

Sering terganggu>3x/minggu

Sangat terganggu

6.Pemeriksaan fisis diluar serangan

Normal, tidak ditemukan kelainan

Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)

Tidak pernah normal

7.Obat pengendali

Tidak perlu Perlu, non steroid/ steroid inhalasi dosis 100-200 ụg

Perlu, steroid inhalasiDosis ≥400 ụg/hari

8.Uji faal paru(di luar serangan0

PEF/FEV1 >80%

PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%Variabilitas 20-30%

9.Variabilitas faal paru(bila ada serangan)

≥20% ≥30% ≥50%

Page 9: asma bronkial

9

E. Diagnosis Banding

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik

Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun keatas

dan biasanya dengan riwayat paparan zat alergen dalam watu yang cukup

lama.

2. Bronkitis kronik

Keluhan sesak nafas disertai dengan batuk produktif yang terus menerus

selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut turut.

F. Patofisiologi

1. Obstruksi saluran respiratori

Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat

disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot

polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel

inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4

yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh

saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post

ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran

nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta

terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada

keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan

lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi

bronkial dan debris seluler (Price, 2005).

Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan

oleh penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur

pohon trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap

Page 10: asma bronkial

10

penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan

hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang

kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini

meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara

pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada

kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan

interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga

kerjanya menjadi tidak optimal. Peningkatan usaha bernafas dan

penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas

(Price, 2005).

Gambar 2.1. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

2. Hiperaktivitas saluran respiratori

Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang

menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui,

namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas

yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun

fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang

terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut (Jenice, 2005).

Page 11: asma bronkial

11

Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika

pada pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg%

didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang

merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit

yang lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD),

fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin,

ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos

saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut

akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat

disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya (Irawati, 2007).

3. Otot polos saluran respiratori

Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot

bronkus. Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil

pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks

ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma

berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai

tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur filamen

kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi

hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik (Price, 2005).

Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui

melalui hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot

polos saluran nafas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama

tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan fase

terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap

atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder

terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya

edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis (Sudoyo,

2006).

Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase

dan protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot

polos untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya

Page 12: asma bronkial

12

seperti histamin. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot

polos secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas

(Zul, 2007).

4. Hipersekresi mukus

Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali

ditemukan pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling

saluran nafas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas

akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada

asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang

persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan

dengan bronkodilator (Lynda, 2000).

Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa

peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.

Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan

produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel,

pengendapan albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi bronkial,

eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis

(Sudoyo, 2007).

Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi

yaitu mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan

hiperplasia dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel

granulasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus

lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase

lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang

lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator

inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,

kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease

(Price, 2005).

G. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

a. Asam bersifat episodic

Page 13: asma bronkial

13

b. Batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, berdahak.

c. Timbul/memburuk terutam pada malam hari atau dini hari

d. Diawali faktor pencetus

e. Riwayat penyakit keluarga asma

2. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (nafas cuping hidung, nafas

cepat) sianosis terkadang.

b. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan asma

berat dapat terjadi pulsus paradoksus)

c. Perkusi : suara nafas normal sampai hipersonor

d. Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir, suara

vesikuler meningkat (Depkes, 2009).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Spirometri : pasa asma akibat obstruksi,terdapat nilai FEV1 mengalami

penurunan dan rasio antara FEV1 dan FVC mengalami penurunan.

Diagnosis asam pada pemeriksaan spirometri adalah dengan melihat

respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri

dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup.

Peningkatan Kapasitas Vital Paru melebihi dari 20 % bisa menunjukan

diagnosis asma.

b. Dahak : pada pemeriksaan mikroskopis, tampak gambaran spiral

Churschmann, badan Creola dan Kristal Charcot-Leyden serta 90%

dahak mengandung eosinofil

c. Radiologi: Gambaran radioologi asma ringan umunya normal, tetapio

pada asma berat dapat dijumpai bermacam-macam gambaran radiologi

yang disebabkan oleh komplikasi seperti atelektasis, pneumothoraks,

pneumomediastinum, atau pneumonia. Pada asma disertai obstruksi

berat, didapatkan gambaran radiologi hyperlucent, dengan pelebaran

sela antar iga, diafragma letak rendah, penumpukkan udara di daerah

refrosternal tetapi jantung masih dalam batas normal.

d. Pemeriksaan darah: leukosit meningkat, eosinofil meningkat pada asma

alergi 800- 1000 /mm3 ( Alsagaff, 2009).

Page 14: asma bronkial

14

e. Uji provokasi bronkhus.

Uji provokasi bronkus dengan cara pemberian histamin, metakolin yang

akan berpengaruh pada bronkus. Selain itu bisa dengan cara kegiatan

Jasmani, distimulasi dengan udara dingin, pemberian larutan garam

hipertonik dan aqua destilata. Penurunan VEP sebesar 20 % dianggap

bermakna.

f. Pemeriksaan eosinofil total

Jumlah Eosinofil dalam darah meningkat pada penderita asma dan hal

ini dapat membedakan asma dari bronkitis.

g. Foto Toraks

Pemeriksaan ini dilakukan guna menyingkirkan penyebab lain

obstruksi saluran napas dan adanyam kecurigaan terhadap proses

patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks,

pneumomediastinum dan atelektasis (Sudoyo, 2006).

Page 15: asma bronkial

15

Page 16: asma bronkial

16

H. Penatalaksanaan

Non medikamentosa

1. Edukasi terhadap pasien dan keluarga

Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi

pada pasien dan orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan,

identifikasi dan penghindaran alergen, pengertian tentang kegunaan obat

yang dipakai, ketaatan dan pemantauan, dan yang paling utama adalah

menguasai cara penggunaan obat hirup dengan benar. Edukasi sebaiknya

diberikan secara individual secaa bertahap. Pada awal konsultasi perlu

dijelaskan diagnosis dan informasi sederhana tentang macam pengobatan,

alasan pemilihan obat, cara menghindari pencetus bila sudah dapat

diidentifikasi macamnya. Kemudian perlu diperagakan penggunaan alat

inhalasi yang diikuti dengan anak diberi kesempatan mencoba sampai

dapat menggunakan dengan teknik yang benar (Sowden, 2002). Berikut

Page 17: asma bronkial

17

beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat diberikan

pada pasien dan keluarganya:

a. Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh

b. Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan

mengurangi paparan terhadap faktor pencetus

c. Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller

d. Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan

keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan

guna mencegah asma menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga

memungkinkan penderita dan dokter menyesuaikan rencana

pengelolaan asma guna mencapai pengendalian asma jangka panjang

dengan efek samping minimal.

Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu

penderita menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:

a. penggunaan obat-obatan dengan benar

b. pemantauan gejala, aktivitas dan PEF

c. mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan

rencana yang sudah diprogramkan

d. segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara

efektif dengan dokter yang memeriksa

e. menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi

paparan alergen dan iritan;

Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan

keluarganya) sehingga penderita dapat memperoleh keterampilan

pengelolaan mandiri (self management) untuk berperan-serta aktif.

Penelitian yang dilakukan Guevara menunjukkan bahwa edukasi dapat

meningkatkan fungsi paru dan perasaan mampu mengelola diri secara

mandiri, mengurangi hari absensi sekolah, mengurangi kunjungan ke

UGD dan berkurangnya gangguan tidur pada malam hari sehingga sangat

penting program edukasi sebagai salah satu penatalaksanaan asma pada

anak (PDPI, 2004).

Page 18: asma bronkial

18

2. Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma

a. Kriteria asma terkontrol adalah :

1) Tidak ada gejala asma atau minimal

2) Tidak ada gejala asma malam

3) Tidak ada keterbatasan aktivitas

4) Nilai APE/VEP1 normal

5) Penggunaan obat pelega napas minimal

6) Tidak ada kunjungan ke UGD

b. Klasifikasi

1) Asma terkontrol total: bila semua kriteria asma terkontrol dipenuhi

2) Asma terkontrol sebagian: bila terdapat 3 kriteria asma terkontrol

3) Asma tak terkontrol: bila kriteria asma terkontrol tidak mencapai 3

buah

3. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko

Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang

peran yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor

pencetus yang menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap salur an

respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan

hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat

mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik (Price, 2005).

Medikamentosa

Bronkodilator adalah obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2

golongan :

1. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)

a) Orsiprenalin (Alupent)

b) Fenoterol (berotec)

c) Terbutalin (bricasma)

Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup,

suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose

inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin

Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent,

Page 19: asma bronkial

19

Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi

aerosol (partikel-partikel yang sangat halus) untuk selanjutnya dihirup.

2. Santin (teofilin)

a) Aminofilin (Amicam supp)

b) Aminofilin (Euphilin Retard)

c) Teofilin (AmilContoh)

Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara

kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya

saling memperkuat.

Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada

serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh

darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya

sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang

mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini.

Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya

dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita

karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau

lambungnya kering).

Obat pencegah serangan asma :

1. Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah

serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi

terutama anak-anak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat

anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu

bulan.

2. Ketolifen

Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin.

Biasanya iberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan

obat ini adalah dapat diberika secara oral (Departemen Ilmu Penyakit

Paru FK UNAIR, 2010).

Berdasarkan pengobatan farmakologis sistemik anak tangga, maka berat

ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat :

a) Gejala intermiten (kurang dari sekali seminggu)

Page 20: asma bronkial

20

b) Asma persisten ringan

c) Asma persisten sedang

d) Asma persisten berat

Tabel 2.3 Klasifikasi Episodik Asma

Tabel Pengobatan asma jangka panjang menurut sistem anak tanggaNo Tahap Obat pencegah harian Pilihan lain1. Asma

IntermitenTidak diperlukan

2. Asma persisten ringan

Kortikosteroid hirup (500 µg BDP atau ekuivalenBDP = Beclomethasone diproprionate

a) Teofilin lepas lambat

b) Kromolinc) Anti leukotrien

3. Asma persisten sedang

Kortikosteroid hirup (200-1000 µg BDP atau ekuivalen) + LABA (Long Acting Beta Agonist

a) Kortikosteroid hirup (500-1000µg BDP atau ekuivalen) + teofilin lepas lambat atau

b) Kortikosteroid hirup (500-1000 µg BDP atau ekuivalen) + LABA atau

c) Kortikosteroid hirup dosis lebih tinggi (>1000 µg BDP atau ekuivalen)

d) Kortikosteroid hirup dosis lebih tinggi (>1000 µg BDP atau ekuivalen) + anti leukotrien

4. Asma persisten berat

a) Kortikosteroid inhalasi (>1000 µg BDP atau ekuivalen) + LABA satu atau lebih obat berikut bila diperlukan

b) Teofilin lepas lambat

c) Anti leukotriend) LABA orale) Kortikosteroid oralf) Anti IgE

Page 21: asma bronkial

21

G. Komplikasi

1. ARDS

2. Gagal jantung

3. Atelektasis

4. Infeksi saluran nafas

5. Pneumothoraks

6. Pneumomediastinum

H. Prognosis

Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian

besar asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar

50% asma episodik jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan

hanya 15% yang menjadi asma kronik pada umur 21 tahun. Dua puluh persen

asma episodik sering sudah tidak timbul pada masa akil baliq, 60% tetap

sebagai asma episodik sering dan sisanya sebagai asma episodik jarang.

Hanya 5% dari asma kronik/persisten yang dapat menghilang pada umur 21

tahun, 20% menjadi asma episodik sering, hampir 60% tetap sebagai asma

kronik/persisten dan sisanya menjadi asma episodik jarang (Sowden, 2002).

III. KESIMPULAN

1. Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran

napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai

rangsangan yang ditandai dengan gejala episodic berulang berupa mengi,

batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau

dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa

pengobatan.

2. Klasifikasi asma berdasarkan derajatnya dibagi menjadi asma intermitten,

asma persisten ringan, sedang dan berat.

3. Penegakan diagnosis asma dapat ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

4. Penatalaksanaan asma meliputi obat-obatan simtomatik dan mengurangi

atau menghindari factor pencetus.

Page 22: asma bronkial

22

5. Komplikasi asma adalah pneumotoraks, pneumomediatinum, atelektasis,

dan ARDS.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru Cetakan 6. Surabaya : Airlangga University Press.

Betz Cecily, Linda A Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC

Capernito, Lynda J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. Jakarta : EGC

Dahlan, Zul. 2007. Pneumonia. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. FK UI:Jakarta.hal: 964-970.

Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Penanggulangan Asma

Page 23: asma bronkial

23

GINA (Global Initiative for Asthma). 2006. Pocket Guide for Asthma Management and Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.

Irawati, et al. 2007. Rinits Alergi, Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Jenice, Willms L.. 2005. Diagnosis Fisik Evaluasi Diagnosis dan Fungsi Di Bangsal. Jakarta : EGC.

Koh YY, Lee MH, Sun YH, Park Y, Kim CK. Improvement in bronchial hyperresponsiveness with inhaled corticosteroids in children with asthma. Importance of family history of bronchial hyperresponsiveness. Am J Respir Crit Care Med 2002; 166:340-5

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2004. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : FKUI

Pohan MYH, Yunus F, Wiyono WH. Asma dan polusi udara. Cermin Dunia Kedokteran 2003; 41: 27-29

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC

Rahajoe N, dkk. 2004. Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi. Jakarta : PP IDAI

Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. 2003. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Cermin Dunia Kedokteran. Hal 5-11

Rusli A, Yunus F, Wiyono WH. Pengaruh Infeksi Virus pada Perkembangan Asma. Cermin Dunia Kedokteran 2003; 41: 19-22

Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi 6. Jakarta : FKUI

Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Infomedika. hal 1197-9.

Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

Sundaru H. 2006. Apa yang Diketahui Tentang Asma, Departemen Ilmu PenyakitDalam. Jakarta : FKUI/RSCM, ; 4.