asma bronchial

37
BAB I PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama. (1) Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal 60-an, bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai adanya remodelling. Di lain pihak, walaupun banyak hal yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata hingga saat ini, secara keseluruhan asma masih merupakan misteri. Pengetahuan tentang patologi, patofisiologi, dan imunologi asma berkembang sangat pesat, khususnya untuk asma pada orang dewasa dan anak besar. Pada anak kecil dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui pasti. Lagipula bayi dan balita 1

Upload: dina-adlina-mallappa

Post on 13-Jul-2016

49 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

LAPORAN

TRANSCRIPT

Page 1: Asma Bronchial

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai

pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju

maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan

dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik

indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di

Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan

sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.(1)

Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal 60-an,

bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an

berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain

inflamasi juga disertai adanya remodelling. Di lain pihak, walaupun banyak hal

yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata hingga saat ini,

secara keseluruhan asma masih merupakan misteri. Pengetahuan tentang patologi,

patofisiologi, dan imunologi asma berkembang sangat pesat, khususnya untuk

asma pada orang dewasa dan anak besar. Pada anak kecil dan bayi, mekanisme

dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui pasti. Lagipula bayi dan

balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran napas akut, banyak yang

tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya. Akibat ketidakjelasan tadi,

definisi asma pada anak sulit untuk dirumuskan, sehingga untuk menyusun

diagnosis dan tata laksana yang baku juga mengalami kesulitan. Akibat berikutnya

adalah adanya under /overdiagnosis maupun under / overtreatment.(2)

Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana asma

secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma.

Tujuan pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kontrol

dan menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Pada awalnya

pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian

bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi. Pada saat ini upaya

1

Page 2: Asma Bronchial

pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga harus dapat mencegah

terjadinya remodelling.(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang

melibatkan sel dan elemen – elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut

berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menyebabkan

episode wheezing, apneu, sesak nafas, dan batuk – batuk dengan luas obstruksi

saluran pernafasan yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan

terapi. (4)

GINA mengeluarkan batasan asma yang lengkap, yang menggambarkan

konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma sebagai berikut. Asma

2

Page 3: Asma Bronchial

ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan,

khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi

ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan

batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan

dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi,sebagian bersifat

reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga

berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan.(5)

2.2 EPIDEMIOLOGI

WHO memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia adalah penyandang

asma dan diperkirakan akan terus bertambah sekitar 180.000 orang setiap tahun.

Asma termasuk kedalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di

Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) tahun 2000 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab

kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada

SKRT 2002, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke

4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %.(6)

2.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI (2,6)

Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Faktor genetik

(a) Hiperreaktivitas

(b) Atopi/Alergi bronkus

(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

(d) Jenis Kelamin

(e) Ras/Etnik

2. Faktor lingkungan

(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,

alternaria/jamur)

3

Page 4: Asma Bronchial

(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)

(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,

makanan laut, susu sapi, telur)

(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker

dll)

(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)

(f) Ekspresi emosi berlebih

(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika

melakukan aktivitas tertentu

(j) Perubahan cuaca

Exercised induced asma merupakan obstruksi jalan napas yang

berhubungan dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma

bronkial. Beberapa literatur menyebutnya sebagai exercised induced

bronchospasm (EIB). Exercised induced asthma harus dibedakan antara penderita

asma dengan atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator dan

metakolin, serta berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak

ditemukan respon tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya EIB

adalah latihan fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable

maximum heart rate. (7)

Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena

meningkatnya kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas

berusaha lebih untuk menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam

alveolus tetap optimal. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan osmolaritas

dari permukaaan saluran napas dimana terjadinya aktivasi sel mast dan sel epitel

kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya proinflamatory mediator berupa

histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada akhirnya menyebabkan

terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada EIB atlit, tidak

terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun peningkatan eosinofil, neutrofil,

atau sel epitel kolumnar sehingga tidak berespon terhadap steroid inhalasi.(7)

4

Page 5: Asma Bronchial

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: (1,6)

Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu

(anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap

rokok.

Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.

Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen

dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk sari,

asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara dingin dan

kering, olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis,

sinusitis, dan gastroesofageal refluks)

2.5 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI ASMA

2.5.1 Patogenesis Asma (8,9)

Asma merupakan penyakit obstruksi jalan napas yang reversibel dan

ditandai oleh serangan batuk , wheezing, (mengi) dispnea pada individu dengan

jalan napas yang hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak

semua orang dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula

pada semua usia tetapi paling serinh menucul pertama kali dalam 5 tahun pertama

5

Page 6: Asma Bronchial

kehidupan. Beberapa orang dengan gejala asma yang bermula dalam 2 dekade

pertama kehidupan, lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang

diperantarai Imunoglobulin E (IgE) dan memiliki penyakit atopik terkait lainnya,

terutama rhinitis alergika dan dermatitis atopik.

Asma merupakan suatu bentuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, alergen

masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE yang

terdiri dari 3 fase, yaitu ;

1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE

sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel

mast dan basofil

2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan

antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan

granul yang menimbulkan reaksi.

3. Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks sebagai efek

mediator – mediator yang dilepas sel mast/basofil

Sensitasi terhadap allergen mungkin terjadi pada usia awal. Fase sensitasi

merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IGE sampai diikat silang

oleh reseptor spesifik (Fc –R) pada permukaan sel mast atau basophil. Antigen

presenting cell (APCs) di bronkial menangkap alergen dan mengenalkannya pada

CD4 sel T yang kemudian akan berdeferensiasi masuk ke sel T dari TH2 fenotip.

Sel akan mensekresi IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, dan IL-13 yang mencetus

6

Page 7: Asma Bronchial

pengaktifan pada sekresi immunoglobulin limfosit B. IL-13 juga akan

menginduksi aktifasi eosinophil dan basophilic granulocytes sebagaimana

pelepasan kemokin dan enzim proteolitik seperti metalloproteinase. IgE kemudian

akan bersirkulasi dan berikatan dengan reseptor spesifik afinitas tinggi (FcεRI)

disel mast dan basophil dan berikatan dengan reseptor spesifik afinitas rendah

(FcεRI, CD23) pada eosinophil dan makrofag.

Ketika terjadi reekspos, allergen dapat dengan cepat berikatan ke permukaan

sel. Histamine, protease, leukotriene, prostaglandin, platelet –activating factor

(PAF) akan dilepaskan. Respon bronkokonstriktif asmatikus terjadi dalam 2 fase.

Pada fase pertama, fungsi paru dengan cepat menurun dalam waktu 10-20 menit

pertama dan secara perlahan kembali 2 jam berikutnya. Respon awal ini

melibatkan Histamin, PGD2, cysteinyl-leukotrienes (LTC4, LTD4,LTE4) dan PAF.

Cysteinyl-leukotrienes akan menginduksi pelepasan protease : tryptase cleaves

D3a dan bradikinin dan molekul prokursor protein yang menimbulkan kontraksi

sel otot bronkial dan peningkatan permeabelitas vascular. Chymase disisi lain

akan mencetus sekresi mucus. Adanya induksi bronkokonstriksi dengan edema

mukosa dan sekresi mucus akan menimbulkan batuk, wheezing,dan

breathlessness.

Fase kedua dimulai 4-6 jam berikutnya. LTB4 dan PAF akan menarik

eosinophil. LTB4 dan PAF dalam hal ini akan menarik major basic protein (MBP)

dan eosinophil cationic protein (ECP) yang memiliki efek toksik terhadap sel

epitel. Destruksi sel epitel terjadi pada late stage. Pada akhirnya akan

menimbulkan akumulasi mucus di lumen bronkial akibat dari peningkatan jumlah

sel goblet dan hipertropi dari kelenjar mucous submukosal.

Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu proses

inflamasi dengan proses remodelling sel epitel yang rusak akibat proses inflamasi.

Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula proses

remodeling terjadi. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses

7

Page 8: Asma Bronchial

yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran

respiratori melalui proses diferensiasi, migrasi, dan maturasi struktur sel.

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan

remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga

komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks

interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah,

otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :

1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.

2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus

3. Penebalan membran retikular basal

4. Pembuluh darah meningkat

5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

6. Perubahan struktur parenkim

7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau

merupakan akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway

remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas

jalan napas, masalah distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.

Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma

terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.

2.5.2 Patofisiologi Asma (9)

1. Obstruksi saluran respiratori

Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat

disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos

bronkial yang dipicu oleh mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi.

Akibatnyaterjadi hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi

deposisi matriks pada saluran nafas. Selain itu, dapat pula terjadi hipersekresi

8

Page 9: Asma Bronchial

mukus dan pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi

bronkial dan debris seluler. (9)

2.       Hiperaktivitas saluran respiratori

Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada

pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan

penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik

asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic

Obstruction Pulmonary Disease  (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.

Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki

pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan

metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel

lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya. (9)

3.       Otot polos saluran respiratori

Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.

Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian

elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan

kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan

pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur

filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi

hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik. (9)

4.       Hipersekresi mukus

Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada

saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan

karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran

nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab

ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak

mengalami perbaikan dengan bronkodilator. (9)

9

Page 10: Asma Bronchial

2.6 PENEGAKAN DIAGNOSIS (10)

2.6.1 Anamnesis

Keluhan mengi dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis

yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma

berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, produksi

sputum. Gejala dengan karakeristik yang khas diperlukan unntuk menegakkan

diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah ke asma adalah gejala timbul secara

episodik atau berulang. Gejala timbul bila ada faktor pencetus misalnya iritan

(asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kerinh,

makanan dan minuman dingin); allergen (debu, tungau debu rumah, rontokan

hewan, serbuk sari); infeksi respiratori; aktivitas fisik (lari, teriak, menangis, atau

tertawa berlebihan). Seringkali ada riwayat alergi pada pasien atau keluarganya. (10)

Intensitas gejala dapat bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24

jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal). Gejala juga dapat

membaik secara spontan dengan atau dengan pemberian obat pereda asma. (10)

2.6.2 Pemeriksaan Fisis

Seringkali pada pemeriksaan fisis pasien, karena penyakitnya stabil, tidak

ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak dapat

terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang

terdengar dengan stetoskop. Perlu dicari gejala lain alergi pada pasien seperti

dermatitis atopik atau rhinitis alergi seperti allergic shiners atau geographic

tongue. (10)

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

10

Page 11: Asma Bronchial

Pemeriksaan ini untuk menunjukkan adanya variabilitas gangguan saluran

napas akibat obstruksi, hiperaktivitas, dan inflamasi saluran napas, atau adanya

atopi pada pasien. Pemeriksaan meliputi :

Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan

variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan

peak flow meter.

Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, IgE spesifik

Uji inflamasi respiratori : FeNo (fractional exhaled nitic oxide),eosinofil

sputum

Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, hipertonik salin(10)

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Asma (Gina 2014) (10)

Gejala Karakteristik

Wheezing, batuk, sesak napas, dada

tertekan, produksi sputum

Biasanya lebih dari 1 gejala

respiratori

Gejala berfluktuasi intensitasnya

seiring waktu

Gejala memberat pada malam

atau dini hari

Gejala timbul bila ada faktor

pencetus

Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi

Gambaran obstruksi saluran

respiratori

Uji reversibilitas

Variabilitas

Uji provokasi

FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)

FEV1/FVC ≤ 90%

Peningkatan FEV1 > 12%

Perbedaan PEFR harian > 13%

Penurunan FEV1 > 20% atau PEFR

>15%

11

Page 12: Asma Bronchial

Pada keadaan diagnosis sulit ditegakkan dan fasilitas tersedia,

lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan diagnosis banding,

misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto thoraks, uji refluks

gastro-esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-

scan thoraks, endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi). (10)

Alur Diagnosis Asma

12

Page 13: Asma Bronchial

2.6.4 Klasifikasi Derajat Asma(10)

Derajat asma berdasarkan kekerapan serangan, dapat dikelompokkan menjadi

intermitten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat

Tabel 2. Kriteria Derajat Asma Berdasarkan Kekerapan Serangan

Derajat Asma Uraian kekerapan gejala asma

Intermitten

Persisten ringan

Persisten sedang

Persisten berat

Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar serangan ≥6

minggu

Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu

Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap hari

Episode gejala asma terjadi hampir setiap hari

Jika ada keraguan dalam mementukan derajat kekerapam masukkan dalam derajat

yang lebih berat

Klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya serangan

Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang

memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma. Klasifikasi

berdasarkan beratnya serangan adalah ;

Asma serangan ringan

Asma serangan sedang

Asma serangan berat

13

Page 14: Asma Bronchial

Tabel 3. Klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya serangan

Klasifikasi asma berdasarkan derajat kendali

Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asm aterkendali

adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas

hidup pasien baik.

Asma terkendali (well controlled)

Asma terkendali sebagian (partly controlled)

Asma tidak terkendali (uncontrolled)

14

Page 15: Asma Bronchial

Klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan tata laksana

yang tengah dijalankan dan untu penentuan peningkatan (step up), pemeliharaan

(maintenance) atau penurunan (step-down) tatalaksana yang akan diberikan. (10)

2.7 Penatalaksanaan Asma (10)

Tujuan tatalaksana asma anak secara umu adalah untuk mencapai kendali

asma sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara

optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga

2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari

3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan

4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikitnya

mungkin terjadi, terutama yang mempenagruhi tumbuh kembang anak.

2.7.1 Tatalaksana Serangan Asma

Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif dari gejala –

gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi

dari gejala – gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tata

laksana asma jangka panjang, atau adnya pajanan dengan pencetus. Derajat

serangan bermacam – macam, mulai dari serangan ringan hingga serangan yang

dapat mengancam nyawa. Serangan asma akut merupakan kegawatdaruratan

medis yang lazim dijumpai, perlu ditekankan serangan asma berat dapat dicegah. (10)

Tujuan tatalaksana serangan asma antara lain sebagai berikut:

1. Mengatasi penyempitan saluran respiratori secepat mungkin

2. Mengurangi hipoksemia

3. Mengembalikan fungsi paru – paru ke keadaan normal secepatnya

4. Mengevaluasi dan memperbaharui tatalaksana jangka panjang untuk

mencegah kekambuhan(10)

15

Page 16: Asma Bronchial

Pada beberapa kondisi pasien harus segera dibawa ke fasilitas pelayanan

kesehatan terdekat jika pasien mempunyai satu atau lebih faktor resiko seperti : (10)

- Riwayat serangan asma yang mengancam nyawa

- Pernah intubasi karena serangan asma

- Pneumothoraks dan/ atau pneumomediastinum

- Serangan asma yang berlangsung dalam waktu yang lama

- Penggunaan steroid sistemik (ini atau baru berhenti)

- Kunjungan ke IGD atau perawatab rumah sakit karena asma da;am

setahun terkakhir

- Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi

- Berkurangnya persepsi tenatang sesak napas

- Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial,

- Pasien tiba – tiba dalam kondisi distress pernapasan

2.7.2 Serangan Asma Ringan

Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang

baik (complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien

diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat

dipulangkan. Pasien dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang

diberikan tiap 4-6 jam. Inhalasi bronkodilator diberikan dalam bentuk

MDI dengan spacer atau nebulisasi, hasil yang sama efektifnya.

Pemberian MDI dengan spacer dapat diberikan dnegan dosis 2 – 4 puff,

bila belum ada perbaikan bisa diulang lagi 2 – 4 puff dengan selang 30

menit dalam waktu 1 jam. Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik

Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya.

Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali,

obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun

jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan

sebagai serangan sedang. (10)

16

Page 17: Asma Bronchial

2.7.3 Serangan Asma Sedang

Pada serangan sedang pemberian bronkodilator adalah β2 – agonis

dengan penambahan antikolinergik. Jika setelah dua kali pemberian

nebulisasi pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete

response) kemungkinan derajat serangannya adalah sedang. Oleh karena

itu, perlu dinilai ulang derajatnya sesuai dengan pedoman klasifikasi. Jika

serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu dopbservasi

dan ditangani di ruang rawat sehari (RRS). Pada serangan asma sedang

diberikan steroid sistemik oral methylprednisolon dengan dosis 0,5 – 1

mg/kgBB/hari selama 3 – 5 hari. Steroid lain yang dapat diberikan selain

metilprednisolon adalah prednison. Ada yang berpendapat bahwa steroid

nebulisasi dengan dosis yang sangat tinggi (1600-2400µg budesonide)

dapat digunakan untuk serangan asma, tetapi belum banyak kepustakaan

yang mendukung. Steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk

serangan asma. (10)

Walaupun mungkin tidak diperlukan, tetapi untuk persiapan

keadaan darurat, sejak di UGD pasien akan diobservasi di RRS sebaiknya

langsung dipasangkan jalur parenteral. (10)

2.7.4 Serangan Asma Berat

Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak

menunjukkan respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan

masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), maka pasien harus dirawat di

Ruang Rawat Inap. Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal termasuk

saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks. Jika sejak

penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup

diberikan sekali langsung dengan beta-agonis dan antikolinergik.

Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti

napas, pasien harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk

pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat

17

Page 18: Asma Bronchial

foto rontgen toraks guna mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau

pneumomediastinum. (10)

2.7.5 Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari (RRS)

Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap

diberikan. Setelah pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam

dengan respon parsial di UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi β2 –

agonis + antikolinergik setiap 2 jam. Kemudian berikan steroid sistemik

orla berupa metiprednisolon atau prednison. Pemberian steroid ini

dilanjutkan selama 3 – 5 hari. Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka

pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang

dipulangkan dari klinik/ UGD. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak

baik, maka pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan tatalaksana

serangan asma berat. (10)

2.7.6 Tatalaksana di Ruang Rawat Inap

Pemberian oksigen diteruskan Jika ada dehidrasi dan asidosis maka

diatasi dengan pemberian cairan intravena dan dikoreksi asidosisnya.

Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Nebulisasi beta-

agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika

dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian

dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. Aminofilin diberikan secara

intravena dengan dosis:

Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi

aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6 - 8 mg/kgBB dilarutkan

dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan

dalam 30 menit, dengan infussion pump atau mikroburet

Bila respon belum optimal dilanjutkan pemberian dengan

pemberian aminofilin dosis rumatan sebesar 0,5 – 1 mg/kgBB/jam

18

Page 19: Asma Bronchial

Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis

diberikan 1/2nya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan

(0,25 – 0,5 mg/kg/jam)

Bila memungkinkan kadar sebaiknya kadar aminofilin diukur dan

dipertahankan 10-20 mcg/ml. (10)

Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga

24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral. Jika dalam 24 jam pasien

tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat beta-agonis (hirupan

atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral

dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk

reevaluasi tatalaksana. (10)

2.7.7 Tatalaksana Asma Jangka Panjang

Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai

pengobatan jangka panjang. Sebelum memutuskan meningkatkan atau

menurunkan langkah tata laksana jangka panjang asma, dokter harus menilai

kepatuhan pasien terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat inhalasi dn

mengendalikan faktor pencetus asma. Untuk menentukan derajat kendali asma

dapat menggunakan penilaian seperti pada tabel berikut

A. Penilaian klinis (dalam 6 – 8 minggu)

Manifestasi klinisTerkendali (Bila semua kriteria

terpenuhi)

Terkendali sebagian

(minimal satu kriteria

terpenuhi)

Tidak terkendali

Gejala siang hariAktivitas terbatasGejala malam hariPemakaian pereda

Tidak pernah (≤2x/mgg)Tidak adaTidak adaTidak ada (≤2x/mgg)

>2x/mgguAdaAda >2x/mggu

Tiga atau lebih kriteria terkendali sebagian

B. Penilaian resiko perjalanan asma (risiko eksaserbasi, ketidakstabilan, penurunan fungsi paru, efek samping)

Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma, FEV1 yang rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis tinggi

19

Page 20: Asma Bronchial

.

OBAT PENGENDALI ASMA

Obat pengendali asma adalah obat yang dapat mencegah terjadinya serangan

asma. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi

respiratorik kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Dengan

demikian, pemakaian obat ini secara terus- menerus dalam jangka waktu yang

relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responnya terhadap

pengobatan/penanggulangan. Yang termasuk obat pengendali asma adalah anti-

inflamasi kortikosteroid inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid –

Long acting B2-agonist (LABA), teofilin lepas lambat, sodium kromoglikat,

nedokromil, anti immunoglobulin E. (10)

Kortikosteroid Inhalasi

Kortikosteroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan

berperan penting dan tatalaksana asma jangka panjang. Kortikosteroid inhalasi

merupakan obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian kortikosteroid

inhalasi setara dosis budesonid 100 – 200 ug per hari dapat menurunkan angka

kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasie asma (GINA 2014).

Beberapa pasien asma memerlukan dosis kortikosteroid inhalasi 400 ug per hari

untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah

berolahraga. Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat

mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi resiko masuk

rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru dan

menurunkan angka kekambuhan akibat berolahraga. Pemakaian kortikosteroid

inhalasi atau sistemik pada asma episodik jarang dan wheezing akibat infeksi

virus masih controversial. Kortikosteroid inhalasi sebagai obat pengendali asma

tidak mempengaruhi tinggi badan dan densitas tulang. Steroid inhalasi dapat

20

Page 21: Asma Bronchial

mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, tetapi tidak mempengaruhi tinggi badan

secara keseluruhan. Kandidiasis oral, suara parau sebagai efek samping dapat

dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian kortyikosteroid inhalasi.

Pada anak asma yang mendapatkan kortikosteroid inhalasi harus dipantau

pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat badan) setiap tahun. Kortikosteroid

inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang

diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat kortikosteroid inhalasi

yang baru, efek samping minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit

dibanding preparat kortikosteroid inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya

dibanding preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut. (10)

Long acting B2-agonist (LABA)

Sebagai pengendali asma, LABA selalu digunakan bersama kortikosteroid

inhalasi. Kombinasi steroid-LABA terbukti memperbaiki fungsi paru dan

menurunkan angka kekambuhan asma. Pemberian preparat kombinasi steroid-

LABA banyak diteliti pada anak asma yang berusia diatas 5 tahun, pada saat

pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan.

Pemberian kombinasi steroid-LABA dalam satu kemasan memberikan hasil

pengobatan yang lebih baik dibandingksn kortikosteroid inhalasi dan LABA

dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan kombinasi steroid-LABA pada

anak yang berusia dibawah 5 tahun masih terbatas. (10)

Kombinasi LABA-steroid inhalasi juga bisa digunakan untuk memcegah

spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama

dibandingkan kortikosteroid B2 agonis inhalasi kerja cepat. Formoterol memiliki

kerja yang lebih cepat daripada Salmeterol sehingga Formoterol lebiih cocok

untuk mengurangi gejala dan mencegah timbulnya gejala. (10)

Antileukotrien

Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1)

seperti montelukast, prantlukast dan zafirlukast dan inhibitor 5-lipoxygenase

seperti zileuton. Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek

21

Page 22: Asma Bronchial

bronkodilatasi kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk,

memperbaiki fungsi paru dan mengurangi inflamasi jalan nafas dan eksaserbasi.

Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak

lebih unggul dibandingkan kortikosteroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat

pengendali tunggal efeknya lebih rendah dibandingkan dengan kortikosteroid

inhalasi. Kombinasi kortikosteroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan

angka kekambuhan asma dan menurunkan kebutuhan dosis kortikosteroid

inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat

berolahraga. Antileukotrien juga dapat mencegah kekambuhan asma akibat infeksi

virus pada anak usia dibawah 5 tahun. Pemberian kombinasi kortikosteroid

inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten episodik sering dan asma persisten

kurang efektif dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi dosis sedang. (10)

Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari

pemberian steroid inhalasi.

Teofilin Lepas Lambat

Dapat diberikan sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi

dengan kortikosteroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Efek samping

teofilin bisa berupa mual, muntah , anoreksi, sakit kepala, palpitasi, takikardi,

aritmia, nyeri perut dan diare. Efek samping teofilin terutama timbul pada

pemberian dosis tinggi, di atas 10 mg/kgBB/hari. (10)

Anti Ig-E

Anti Ig-E (omalizumab) adalah antibodi monoklonal mampu mengurnagi

kadar bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 6 tahun,

omalizumab boleh diberikan pada pasien asma yang mendapat kortikosteroid

inhalasi dosis tinggi dan LABA yang masih sering mengalami eksaserbasi dan

terbukti disebabkan karena alergi. Omalizumab diberikan sebahai injeksi subkutan

setiap dua samapi empat minggu. (10)

22

Page 23: Asma Bronchial

ALUR TATA LAKSANA SERANGAN ASMA DI FASYANKES (DRAFT PNAA 2015) (10)

23

Page 24: Asma Bronchial

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Asma merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai pada anak-anak.

Asma didefenisikan sebagai wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai

berikut : timbul secara episodik dan/atau kronis, cenderung pada malam hari

(nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas fisik, dan

bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya

riwayat asma atau atopi pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain

sudah disingkirkan. Karena asma merupakan penyakit yang berhubungan dengan

imunologi, maka penderita asma dapat mengalami serangan berulang. Asma dapat

diklasifikasikan sebagai asma episodik jarang, episodik sering, dan asma

persisten. Sedangkan jika terjadi serangan, dapat diklasifikasikan sebagai asma

serangan ringan, sedang, dan berat. Serangan asma yang tidak terkontrol dapat

menyebabkan terjadinya apnea. Oleh karena itu, penatalaksanaan serangan asma

tergantung kepada derajat serangannya. Serangan asma ditanggulangi dengan

pemberian bronkodilator, baik secara oral, parenteral, maupun inhalasi.

Tatalaksana asma diluar serangan dapat dilakukan dengan menghindari

faktor pencetus asma serta penggunaan obat pengendali (controller). Diharapkan

dengan dilakukannya tatalaksana asma jangka panjang dapat mengurangi

terjadinya serangan asma, sehingga dapat meningkatkan quality of life dari

penderita asma

24

Page 25: Asma Bronchial

DAFTAR PUSTAKA

1. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004.

2. UKK Pulmonologi PP IDAI. Konsensus Nasional Asma Anak. Sari Pediatri.Vol.2:1.2000

3. Supriyatno HB. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol.55:3. 2005

4. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk.Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ;2006

5. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop Report 1995

6. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science(USA);2003.

7. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group Report : Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy, Millville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs,Colo : American Academy of Allergy : 2007

8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.

9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104

10. Kartasasmita C,. B. Diagnosis dan Tatalaksana Terkini Asma pada Anak. Bogor Pediatric Update 2015. IDAI Cabang Jawa Barat. 2015

25