askep hipersensitivitas

25
BAB I PENDAHULUAN A.latar belakang Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerjamelindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi danmembunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik.Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapatmenyebabkan penyakit, diantaranya hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitasadalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi hipersensitivitasterbagi menjadi empat tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksihipersensitif, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun . Autoimunitas sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh target dan dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto imun yang paling seringa dalah menonjol termasuk penyakit seliak, diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Sjögren , Churg- Strauss Syndrome , tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves , idiopatik thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan alergi. Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada awal abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana ‘normal’ tubuh tidak mount respon kekebalan terhadap yang sendiri jaringan. Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap menjadi abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan penyakit manusia. Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun merupakan bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata (kadang disebut ‘autoimunitas alami’), biasanya dicegah dari penyebab penyakit oleh fenomena toleransi 1

Upload: nia-kurnia

Post on 18-Dec-2014

753 views

Category:

Documents


111 download

DESCRIPTION

askep alergi

TRANSCRIPT

Page 1: Askep Hipersensitivitas

BAB IPENDAHULUAN

A.latar belakangImunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerjamelindungi

tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi danmembunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik.Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapatmenyebabkan penyakit, diantaranya hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitasadalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi hipersensitivitasterbagi menjadi empat tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksihipersensitif, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV.

Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun .  Autoimunitas sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh target dan dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto imun yang paling seringa dalah menonjol termasuk penyakit seliak, diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Sjögren , Churg-Strauss Syndrome , tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves , idiopatik thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan alergi.

Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada awal abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana ‘normal’ tubuh tidak mount respon kekebalan terhadap yang sendiri jaringan.  Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap menjadi abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan penyakit manusia. Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun merupakan bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata (kadang disebut ‘autoimunitas alami’), biasanya dicegah dari penyebab penyakit oleh fenomena toleransi imunologi diri antigen. Autoimunitas tidak harus bingung dengan alloimmunity .

Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang dianggap asing.

B.TUJUAN1.memahami definisi dari hipersensitivitas2. mengetahaui pembagian hipersensitivitas 3.memahami perbedaan tipe hipersensitivitas4. memahami asuhan keperawatan pada hipersensitivitas

1

Page 2: Askep Hipersensitivitas

BAB IITINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI               Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen. Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:

a. Tipe I : Reaksi AnafilaksiDi sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini

IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat. Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil. Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) danELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

b. Tipe II : reaksi sitotoksikHipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupaimunoglobulin G (IgG)

dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel. Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:

 Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal). Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat

menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan

Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

2

Page 3: Askep Hipersensitivitas

c. Tipe III : reaksi imun kompleksDi sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks

imun. Keadaan ini menimbulkanneurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.

d. Tipe IV : Reaksi tipe lambatsedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai

imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis.

2.2  ETIOLOGI            Faktor yang berperan dalam alergi dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Faktor Internal1. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam

lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.

2.  Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.

3. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.

b. Fakor Eksternal1. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,

stress) atau beban latihan (lari, olah raga).2. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut

prevalensinya

Ikan 15,4 %Telur 12,7 %Susu 12,2 %Kacang 5,3 %Gandum 4,7 %

Apel 4,7 %Kentang 2,6 %Coklat 2,1 %Babi 1,5 %Sapi 3,1 %

3. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.

2.3       PATOFISIOLOGI

3

Page 4: Askep Hipersensitivitas

Oleh Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas

tipe 1 atau reaksi tipe segera (Immediate type reaction).

Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :

1. Fase Sensitisasi

Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh

reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk

lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag.

Makrofag segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana

ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B

berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi

Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian

terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

2. Fase Aktivasi

Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama.

Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan

reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke

dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu

terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin,

serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di

sebut dengan istilah Preformed mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang

degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien

(LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi

yang disebut Newly formed mediators.

3. Fase Efektor

Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek

mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada

organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan

permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan

vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin

menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek

bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi

trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.

Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi, demikian juga

dengan Leukotrien. Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis, vasoaktif, dan

bronkospasme memerantai reaksi hipersensitivitas tipe 1.Beberapa senyawa ini

dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitasi dan bertanggung jawab

terhadap reaksi segera yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti

anafilaksis sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap

reaksi fase lambat, termasuk rekrutmen sel radang. Sel radang yang direkrut

secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan, tetapi juga

menyebabkan kerusakan epitel setempat.

4

Page 5: Askep Hipersensitivitas

2.4.    Manifestasi klinis

Tanda dan gejala utama pada reaksi anafilaktik dapat digolongkan menjadi reaksi

sistemik yang ringan, sedang dan berat.

Ringan. Reaksi sistemik yang ringan terdiri dari rasa kesemutan serta hangat pada bagian

perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta tenggorokan.

Kongesti nasal, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin dan mata berair dapat

terjadi. Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama sesudah kontak.

Sedang. Reaksi sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala diatas disamping

gejala flushing, rasa hangat, cemas, dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih serius berupa

bronkospasme dan edema saluran pernafasan atau laring dengan dispnea, batuk serta

mengi. Aawitan hgejala sama seperti reaksi yang ringan.

Berat. Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda-tanda serta

gejala yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi

bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta sianosis. Disfagia (kesulitan menelan),

kram abdomen, vomitus, diare, dan serangan kejang-kejang dapat terjadi. Kadang-kadang

timbul henti jantung

2.5.     Komplikasi

Eritroderma eksfoliativa sekunder

Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai dengan

adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai skuama (Arief

Mansjoer , 2000 : 121). Etiologi eritroderma eksfoliativa sekunder :o Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya ,

sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.o Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken planus ,

psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus , dermatitis seboroik

dan dermatitis atopik.o Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma. (Arief Mansjoer , 2000 : 121 :

Rusepno Hasan 2005 : 239)

Abses limfedenopati

Limfadenopati merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam ukuran,

konsistensi ataupun jumlahnya. Limfadenopati dapat timbul setelah pemakaian obat-

obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya seperti allupurinol,

atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas, hidralazine, penicilin,

pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac). Pembesaran karena obat umumnya

seluruh tubuh (generalisata).

Furunkulosis

Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan

yangdisekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Apabila

furunkelnya lebihdari satu maka disebut furunkolosis. Faktor predisposisi:

5

Page 6: Askep Hipersensitivitas

o Hygiene yang tidak baik

o Diabetes mellitus

o Kegemukan

o Sindrom hiper IgE

o Carier kronik S.aureus (hidung)

o  Gangguan kemotaktik

o  Ada penyakit yang mendasari, seperti HIV

o Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi, scabies atau pedikulosis

(adanya lesi pada kulit atau kulit utuh bisa juga karena garukan atau sering

bergesekan)

Rinitis

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang

sama serta dilepaskannya suatumediator kimia ketika terjadi paparan ulangan

dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,1986).

Stomatitis

Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam disebut sariawan adalah

luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Hingga kini, penyebab dari

sariawan ini belum dipastikan, tetapi ada faktor-faktor yang diduga kuat menjadi

pemicu atau pencetusnya. Beberapa diantaranya adalah:

Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal tergigit, atau

ada gigi yang posisinya di luar lengkung rahang yang normal

sehingga menyebabkan jaringan lunak selalu tergesek/tergigit pada

saat makan/mengunyah

 Kekurangan nutrisi,terutama vitamin B12, asam folat dan zat besi.

 Stress

Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki masa

menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga lebih rentan

terhadap iritasi

Gangguan autoimun / kekebalan tubuh, pada beberapa kasus

penderita memiliki respon imun yang abnormal terhadap jaringan

mukosanya sendiri.

Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi

tiruan yang mengiritasi jaringan lunak

Pada beberapa orang, sariawan dapat disebabkan karena

hipersensitivitas terhadap rangsangan antigenik tertentu terutama

makanan.

Konjungtivitis

Konjungtivitis adalah radang atau infeksi pada konjungtiva dimana batasnya dari

kelopak mata hingga sebagian bola mata. Etiologi:

6

Page 7: Askep Hipersensitivitas

o  Infeksi oleh virus

o  Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang

o Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi lainnya

o Kelainan saluran air mata, dll.

Kolitis Bronkolitis

Hepatomegali

2.6.     Faktor Resiko

      Penyakit Atopik

Reaksi makanan

Konsumsi obat chymopapain (Ref.2)

Orang dengan pemberian intravena

2.7 .    Pemeriksaan penunjang

RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked

Immunosorbent Assay test )

Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik, namun memerlukan biaya yang

mahal. Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini

memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses

dengan mesin komputerisasi khusus,hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam.

Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-

obatan.

 Skin Prick Test (Tes tusuk kulit)

Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya  debu,

tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di

kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan

menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan

luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila

positif alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal. Syarat tes ini :o Pasien harus dalam  keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung

antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.o  Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.

Skin Test (Tes kulit)

Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.

Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes.

Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas yang segera pada

individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan individu tersebut terdapat

kompleks IgE mast.

Patch Test (Tes Tempel)

Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit

dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat

7

Page 8: Askep Hipersensitivitas

dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul bercak

kemerahan dan melenting pada kulit. Syarat tes ini :o Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,

mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.o 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau

anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.o Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol,

merah, gatal.

Tes Provokasi

Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan,

dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup

dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek

alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak

nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok.

Uji gores (scratch test)

Merupakan uji yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi alergi

sistemik telah dilaporkan. Tes ini dilakukan diperkutan.

 Uji intrakutan atau  intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point

titration/ SET)

Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes kulit cukit.

SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan larutan tunggal dilakukan

untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi.

Selain dapat mengetahui alergen penyebab, dapat juga menentukan derajat alergi

serta dosis awal untuk immunoterapi.Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan

dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji

intradermal (SET) akan lebih ideal.

Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan

IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk

prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan

derajat alergi yang tinggi.

Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi

hati,tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.

2.8.       Penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis

Penatalaksanaan farmakologis

a. Adrenalin

Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan konsentrasi

cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi. Selain itu adrenalin

mempunyai manfaat terhadap sel sasaran, yaitu:

Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan kelenjar liur.

Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka.

8

Page 9: Askep Hipersensitivitas

Perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung, kekuatan

kontraksinya dan tekanan darah.

Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan.

Semua manfaat itu akan dapat mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik. Cara

pemberiannya yaitu dengan memasukkan larutan adrenalin (epinefrin) 1/1000 dalam air

sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000), diberikan secara

intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha. Kalau anafilaksis terjadi karena

suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan

pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat

diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau

kolaps vaskular atau tidak berespons dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan

adrenalin 0,1 ml/kgBB  dalam 10 ml NaCl fisiologik (larutan 1:10.000) secara intravena

dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit.

b. Difenhidramin

Difenhidramin merupakan kelompok antihistamin yang bekerja menghambat

histamin yang dihasilkan oleh sel mastosit. Difenhidramin dapat diberikan secara

intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10 menit), intramuskular atau oral (1-2

mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal, tergantung dari beratnya

reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin bukan merupakan substitusi

adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24 jam untuk

mencegah reaksi berulang. Kalau penderita tidak memberikan respon dengan tindakan di

atas, jadi penderita masih tetap hipotensif atau tetap dengan kesulitan bernapas, maka

penderita perlu dirawat di unit perawatan intensif dan pengobatan diteruskan dengan

langkah berikut:

·         Cairan intravena

Untuk mengatasi syok dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5%

dengan perbandingan 1 : 4 selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Bila syok

sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat badan.

c.     Aminofilin

Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB

yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit

sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari

tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-

1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila

memungkinkan kadar aminofilin serum harus dimonitor.

d.     Teofilin

Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai manfaat mengatasi reaksi

anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui sel mastosit dan sel sasarannya seperti halnya

adrenalin. Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang akan merusak cAMP,

sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi mestosit dihambat. Selain

itu teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan dan otot-otot bronkhus, terlebih saat otot-

9

Page 10: Askep Hipersensitivitas

otot brunkhus dalam keadaan kontraksi. Semua hal itu akan mengurangi gejala-gejala

reaksi anafilaktik.

e.   Vasopresor

Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan

metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan

tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung,

pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila diperlukan, untuk menjaga

tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat

(Levophed) 1 mg dalam 250 ml cairan intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau

dopamin (Intropine) yang diberikan bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2

mg/kgBB/jam.

f. Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak dipakai

pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada beberapa binatang,

pemberiannya menimbulkan kerusakan pada jaringan limfoid, namun pada manusia hal

tersebut tidak terjadi. Kortikosteroid mempunyai efek menghambat radang, disamping

menghambat respon imun dan menstabilkan dinding sel mastosit. Dengan menghambat

respons imun dapat menghambat sintesis IgE. Kortikosteroid tidak menolong pada

pelaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis. Pada reaksi anafilaksis sedang dan berat

kortikosteroid harus diberikan. Kortikosteroid berguna untuk mencegah gejala yang lama.

Mula-mula diberikan hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5

mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah

2-3 hari.

Tabel obat-obatan yang digunakan :

No Nama obat Indikasi Kontraindikasi

1. Pehacain Anestesi lokal Inflamasi lokal atau sepsis,

septikemia, tirotoksikosis,

hipersensitif terhadap

anastesi lokal tipe amida

2. Phaminov Untuk meredakan dan

mengatasi obstruksi saluran

napas yang berhubungan

dengan asma bronkial dan

penyakit paru kronik lain,

seperti emfisema dan

bronkitis kronis

Hipersensitivitas terhadap

derivat xantin

3. Teosal Bronkitis asmatik, bronkitis

akut atau kronis, emfisema

pulmonar

Hipertiroid, tirotoksikosis

10

Page 11: Askep Hipersensitivitas

4. Hydrocortisone Dermatitis atopik, kontak,

alergi; pruritus anogenital,

neurodermatitis

Penyakit virus, infeksi

jamur dan bakteri pada

kulit, akne, dermatitis

perioral, laktasi

Penatalaksanaan non farmakologis

1. Evaluasi segera. Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan

jantung. Kalau pasien mengalami henti jantung-paru harus dilakukan

resusitasi kardiopulmoner.

2. Intubasi dan trakeostomi. Intubasi endotrakeal adalah pemasangan selang

melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan, sedangkan trakeostomi

adalah pembuatan lubang di trakea untuk membantu pernafasan. Intubasi

atau trakeostomi perlu dilakukan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian

atas yang disebabkan oleh edema.

3. Turniket. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau

sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah

suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini

dilonggarkan selama 1-2 menit.

4. Oksigen. Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang

mengalami sianosis, dispneu yang jelas atau penderita dengan mengi.

Oksigen dengan aliran sedang-tinggi (5-10 liter/menit) diberikan melalui

masker atau kateter hidung. 

5. Terapi desentisasi. Berupa penyuntikan berulang alergen (yang dapat

mensentisasi pasien) dalam jumlah yang sangat kecil dapat mendorong

pasien membentuk antibodi IgG terhadap alergen. Antibodi ini dapat bekerja

sebagai antibody penghambat (blocking antibodies). Sewaktu pasien tersebut

kembali terpajan ke alergen , maka antibodi penghambat dapat berikatan

dengan alergen mendahului antibodi IgE. Karena pengikatan IgG tidak

menyebabkan degranulasi sel mast yang berlebihan, maka gejala alergi dapat

dikurangi.

6. Terapi probiotik (preparat sel mikroba atau komponen mikroba yang dapat

mempertahankan kesehatan melalui kegiatan yang dilakukan dalam flora

usus). Salah satu pendekatan terbaru yang digunakan dalam penatalaksanaan

alergi makanan.

7. Diet. Dalam hal ini yaitu dengan membatasi mengkonsumsi makanan yang

menyebabkan alergen.

8. Pengobatan suportif. Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat

pengobatan suportif dengan obat dan cairan selama diperlukan untuk

membantu memperbaiki fungsi vital. Tergantung dari beratnya reaksi,

pengobatan suportif ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa hari.

Bila terjadi komplikasi syok anafilaktik, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:

11

Page 12: Askep Hipersensitivitas

Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari

kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki

curah jantung dan menaikkan tekanan darah.

Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:o  Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas,

tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi

kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan

napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke

depan, dan buka mulut.o Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak

ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke

hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat

mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.

Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong

dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen.

Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong

dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau

trakeotomi.o Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.

karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

2.9. Pencegahan

Menghindari alergen penyebab reaksi alergi

Bagi orang yang sensitif terhadap gigitan dan serangan serangga, yang pernah

mengalami reaksi terhadap makanan atau obat tertentu, dan yang pernah

mengalami reaksi anfilaktik akibat latihan fisik harus selalu membawa kotak

emerjensi yang berisi epinefrin (Epipen)

Anamnesa yang cermat mengenai riwayat setiap sensitivitas terhadap antigen

yang dicurigai sebelum memberikan obat apapun

Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat, kadang sebelum obat penyebab

alergi diberikan, terlebih dahulu diberikan kortikosteroid, antihistamin

atau epineprin

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatikan bahwa tes

kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat

tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi

anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif

mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan

kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.

Bagi pasien yang memiliki predisposisi untuk terjadinya reaksi anafilaksis harus

mengenakan alat identifikasi yang berkaitan dengan alergi obat, seperti

gelang Medic-Alert.

12

Page 13: Askep Hipersensitivitas

Pasien yang alergi terhadap bisa serangga mungkin memerlukan imunoterapi

yang digunakan sebagai terapi pengendalian dan bukan penyembuhan

Dilakukan Desensitisasi (usaha mengurangkan atau menghilangkan alergi thd

suatu zat):

serangan serangga atau beberapa jenis binatang lain sudah dapat dicegah dengan

cara desensitisasi yang berupa penyuntikan berulang-ulang dari dosis rendah

sampai dianggap cukup dalam jangka waktu yang cukup lama

Pasien diabetes yang alergi insulin dan sensitif terhadap penisilin memerlukan

desensitisasi

Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka

panjang

Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan observasi selama

pemberian

2.10. Pendidikan kesehatan

Instruksikan kepada klien agar menghindari makanan yang dapat

menimbulkan alergi seperti kacang  tanah, kacang kedelai, susu sapi, telur,

makanan laut apabila alergen terhadap makanan.

Instruksikan kepada klien agar menghindari  alergen yang masuk akibat

kontak langsung dengan permukaan kulit dinamakan alergen kontaktan, misalnya

serangga, ulat bulu, obat -obatan , kosmetik, minyak, apabila alergen terhadap

binatang

Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi angin dan udara.

Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya seminggu sekali

Beritahukan kepada klien untuk mengkompres air dingin ketika terasa gatal

Menghindari penggunaan antibiotik (Penicillin) karena dapat memicu

sefalosporin lebih cepat dari antibiotik lainnya

Sarankan klien untuk melakukan  tes alergi

13

Page 14: Askep Hipersensitivitas

BAB IIIASKEP HIPERSENSITIVITAS

A. Pengkajian1. Identitas klien

Meliputi nama, umur,jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis.

2. Keluhan utamaBiasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.

3.  Riwayat penyakit sekarangPasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan pada kulit, mual muntah dan terasa gatal.

4. Riwayat penyakit dahuluMengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.

5.  Riwayat penyakit keluargaMengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.

6. Riwayat psikososialMengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.

7. Pemeriksaan fisika. kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik,

bekas garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit daerah fleksor.b. Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang

berlebihan dan katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atropi.

c.  Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi.d. Hidung, beberapa tanda yang sudah baku misal: salute, allergic

crease, allergic shiners, allergic facies.e. Mulut dan orofaring pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa

orofaring kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu yang kecil serta tulang maksila yang menonjol kadang-kadang disebabkan alergi kronik.

f. Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada waktu serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu pernafasan.

g. Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah.8. Pemeriksaan Diagnostik.

a. Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel.b. Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, sputum.c. Pemeriksaan serum Ig E total dan Ig G spesifik.

14

Page 15: Askep Hipersensitivitas

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan  terpajan allergen2. Hipertermi berhubungan dengan  proses inflamasi3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal

sekunder4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan  cairan berlebih5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan).

C. INTERVENSIDx :Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan  terpajan allergenTujuan : setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.Kriteria hasil :

Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit) Pasien tidak merasa sesak lagi Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan Tidak terdapat tanda-tanda sianosis

Intervensi Rasional1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan

dan ekspansi paru. Catat upaya  pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.

Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi peningakatan kerja napas. Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung derajat gagal napas. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada pleuritik.

2.   Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleura.

Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan mengi menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan pernapasan.

Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun dari tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.

Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian  udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.

Observasi pola batuk dan karakter secret.

Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan.

Berikan oksigen tambahan Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas

Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer ultrasonic

Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu

15

Page 16: Askep Hipersensitivitas

pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan.

Dx : Hipertermi berhubungan dengan proses  inflamasiTujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien menurun.Kriteria hasil :

Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC) Bibir pasien tidak bengkak lagi

Intervensi RasionalPantau suhu pasien ( derajat dan pola ) Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses

penyakit infeksius akut.Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi

Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan mendekati normal

Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alcohol

Dapat membantu mengurangi demam

Dx :Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunderTujuan : setelah diberikan askep selama  2 x24 jam diharapkan pasien tidak akan mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.Kriteria hasil :

Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma Kerusakan integritas kulit berkurang

Intervensi RasionalLihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi

Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer

Hindari obat intramaskular Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit

Beritahu pasien untuk tidak menggaruk area yang gatal

Mencegah terjadinya luka akibat garukan

Dx : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihTujuan : setelah diberikan askep selama 1 x 24 jam diharapkan kekurangan volume cairan pada pasien dapat teratasi.Kriteria hasil :

16

Page 17: Askep Hipersensitivitas

Pasien tidak mengalami diare lagi Pasien tidak mengalami mual dan muntah Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi Turgor kulit kembali normal

Intervensi RasionalUkur dan pantau TTV, contoh peningakatan suhu/ demam memanjang, takikardia, hipotensi ortostatik.

Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik.

Kaji turgor kulit, kelembaban membrane mukosa (bibir, lidah).

Indicator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membrane  mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen.

Monitor intake dan output  cairan Mengetahui keseimbangan cairan

Beri obat sesuai indikasi misalnya antipiretik, antiemetic.

Berguna menurunkan kehilangan cairan

Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan

pada adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat memperbaiki atau mencegah kekurangan.

Dx : Nyeri akut berhubungan dengan  agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan).Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan nyeri pasien teratasikriteria hasil :

Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang Wajah tidak meringis Skala nyeri 0 Hasil pengukuran TTV dalam batas normal, TTV normal yaitu :

o Tekanan darah              : 140-90/90-60 mmHgo Nadi                             : 60-100 kali/menito Pernapasan                   : 16-20 kali/menito Suhu                             : 36-37oC

Intervensi RasionalUkur TTV untuk mengetahui kondisi umum pasien

Kaji tingkat nyeri (PQRST) Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri

Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan

memberikan rasa nyaman kepada pasien

17

Page 18: Askep Hipersensitivitas

Ciptakan suasana yang tenang membantu pasien lebih relaks

 Bantu pasien melakukan teknik relaksasi

membantu dalam penurunan persepsi/respon nyeri. Memberikan kontrol situasi meningkatkan perilaku positif.

Observasi gejala-gejala yang berhubungan, seperti dyspnea, mual muntah, palpitasi, keinginan berkemih.

tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala nyeri yang dialami pasien.

Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik

Analgesik dapat meredakan nyeri yang dirasakan oleh pasien.

D. Implementasi

Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah di rencanakan.

E. Evaluasi

Evaluasi yang dicapai sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan.

18

Page 19: Askep Hipersensitivitas

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..

Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC.

www.medikaholistik.comPrice & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi

6.Jakarta:EGC.

19