askep gigitan binatang

37
ASKEP GIGITAN BINATANG I. KONSEP MEDIS A. GIGITAN SERANGGA 1. Pengertian Insect Bite atau gigitan serangga adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan artropoda penyerang. Kebanyakan gigitan dan sengatan digunakan untuk pertahanan. Gigitan serangga biasanya untuk melindungi sarang mereka. Sebuah gigitan atau sengatan dapat menyuntikkan bisa (racun) yang tersusun dari protein dan substansi lain yang mungkin memicu reaksi alergi kepada penderita. Gigitan serangga juga mengakibatkan kemerahan dan bengkak di lokasi yang tersengat. 2. EPIDEMIOLOGI Gigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama di seluruh dunia. Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena musiman, meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi disekitar kita. Prevalensinya sama antara pria dan wanita. Bayi dan anak-anak labih rentan terkena gigitan serangga dibanding orang dewasa. Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini yaitu terjadi pada tempat-tempat yang banyak serangga, seperti di perkebunan, persawahan, dan lain-lain. 3. ETIOLOGI Secara sederhana gigitan dan sengatan lebah dibagi menjadi 2 grup yaitu Venomous (beracun) dan Non Venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah, ini merupakan suatu

Upload: fian-thok

Post on 01-Oct-2015

1.281 views

Category:

Documents


270 download

DESCRIPTION

askep

TRANSCRIPT

ASKEP GIGITAN BINATANG

I. KONSEP MEDISA. GIGITAN SERANGGA1. PengertianInsect Bite atau gigitan serangga adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan artropoda penyerang. Kebanyakan gigitan dan sengatan digunakan untuk pertahanan. Gigitan serangga biasanya untuk melindungi sarang mereka. Sebuah gigitan atau sengatan dapat menyuntikkan bisa (racun) yang tersusun dari protein dan substansi lain yang mungkin memicu reaksi alergi kepada penderita. Gigitan serangga juga mengakibatkan kemerahan dan bengkak di lokasi yang tersengat.2. EPIDEMIOLOGIGigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama di seluruh dunia. Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena musiman, meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi disekitar kita. Prevalensinya sama antara pria dan wanita. Bayi dan anak-anak labih rentan terkena gigitan serangga dibanding orang dewasa. Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini yaitu terjadi pada tempat-tempat yang banyak serangga, seperti di perkebunan, persawahan, dan lain-lain.3. ETIOLOGISecara sederhana gigitan dan sengatan lebah dibagi menjadi 2 grup yaitu Venomous (beracun) dan Non Venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah, ini merupakan suatu mekanisme pertahanan diri yakni dengan cara menyuntikan racun atau bisa melalui alat penyengatnya. Sedangkan serangga yang tidak beracun menggigit dan menembus kulit dan masuk mengisap darah, ini biasanya yang menimbulkan rasa gatal. Ada 30 lebih jenis serangga tapi hanya beberapa saja yang bisa menimbulkan kelainan kulit yang signifikan. Kelas Arthropoda yang melakukan gigitan dan sengatan pada manusia terbagi atas :a. Kelas Arachnida Acarina Araneae (Laba-Laba) Scorpionidae (Kalajengking)b. Kelas Chilopoda dan Diplopodac. Kelas Insecta Anoplura (Phtirus Pubis, Pediculus humanus, capitis et corporis) Coleoptera (Kumbang) Diptera (Nyamuk, lalat) Hemiptera ( Kutu busuk, cimex) Hymenoptera (Semut, Lebah, tawon) Lepidoptera ( Kupu-kupu) Siphonaptera ( Xenopsylla, Ctenocephalides, Pulex)4. PATOGENESISGigitan atau sengatan serangga akan menyebabkan kerusakan kecil pada kulit, lewat gigitan atau sengatan antigen yang akan masuk langsung direspon oleh sistem imun tubuh. Racun dari serangga mengandung zat-zat yang kompleks. Reaksi terhadap antigen tersebut biasanya akan melepaskan histamin, serotonin, asam formic atau kinin. Lesi yang timbul disebabkan oleh respon imun tubuh terhadap antigen yang dihasilkan melalui gigitan atau sengatan serangga. Reaksi yang timbul melibatkan mekanisme imun. Reaksi yang timbul dapat dibagi dalam 2 kelompok :a. Reaksi immediate1) Ditandai dengan reaksi lokal atau reaksi sistemik.2) Timbul lesi karena adanya toksin yang dihasilkan oleh gigitan atau sengatan serangga.3) Nekrosis jaringan yang lebih luas dapat disebabkan karena trauma endotel yang dimediasi oleh pelepasan neutrofil. Spingomyelinase D adalah toksin yang berperan dalam timbulnya reaksi neutrofilik. Enzim Hyaluronidase yang juga ada pada racun serangga akan merusak lapisan dermis sehingga dapat mempercepat penyebaran dari racun tersebut.b. reaksi delayed. 5. MANIFESTASI KLINISBanyak jenis spesies serangga yang menggigit dan menyengat manusia, yang memberikan respon yang berbeda pada masing-masing individu, reaksi yang timbul dapat berupa lokal atau generalisata. Reaksi lokal yang biasanya muncul dapat berupa papular urtikaria. Papular urtikaria dapat langsung hilang atau juga akan menetap, biasa disertai dengan rasa gatal, dan lesi nampak seperti berkelompok maupun menyebar pada kulit. Papular urtikaria dapat muncul pada semua bagian tubuh atau hanya muncul terbatas disekitar area gigitan. Pada awalnya, muncul perasaan yang sangat gatal disekitar area gigitan dan kemudian muncul papul-papul. Papul yang mengalami ekskoriasi dapat muncul dan akan menjadi prurigo nodularis. Vesikel dan bulla dapat muncul yang dapat menyerupai pemphigoid bullosa, sebab manifestasi klinis yang terjadi juga tergantung dari respon sistem imun penderita masing-masing. Infeksi sekunder adalah merupakan komplikasi tersering yang bermanifestasi sebagai folikulitis, selulitis atau limfangitis. Pada beberapa orang yang sensitif dengan sengatan serangga dapat timbul terjadinya suatu reaksi alergi yang dikenal dengan reaksi anafilaktik. Anafilaktik syok biasanya disebabkan akibat sengatan serangga golongan Hymenoptera, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada sengatan serangga lainnya. Reaksi ini akan mengakibatkan pembengkakan pada muka, kesulitan bernapas, dan munculnya bercak-bercak yang terasa gatal (urtikaria) pada hampir seluruh permukaan badan. Prevalensi terjadinya reaksi berat akibat sengatan serangga adalah kira-kira 0,4%, ada 40 kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat. Reaksi ini biasanya mulai 2 sampai 60 menit setelah sengatan. Dan reaksi yang lebih berat dapat menyebabkan terjadinya syok dan kehilangan kesadaran dan bisa menyebakan kematian nantinya. sehingga diperlukan penanganan yang cepat terhadap reaksi ini. 6. PEMERIKSAAN PENUNJANGDari gambaran histopatologis pada fase akut didapatkan adanya edema antara sel-sel epidermis, spongiosis, parakeratosis serta sebukan sel polimorfonuklear. Infiltrat dapat berupa eosinofil, neutrofil, limfosit dan histiosit. Pada dermis ditemukan pelebaran ujung pembuluh darah dan sebukan sel radang akut. Pemeriksaan pembantu lainnya yakni dengan pemeriksaan laboratorium dimana terjadi peningkatan jumlah eosinofil dalam pemeriksaan darah. Dapat juga dilakukan tes tusuk dengan alergen tersangka.7. DIAGNOSISDiagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat ditemukan adanya riwayat aktivitas diluar rumah yang mempunyai resiko mendapat serangan serangga seperti di daerah perkebunan dan taman. Bisa juga ditanyakan mengenai kontak dengan beberapa hewan peliharaan yang bisa saja merupakan vektor perantara dari serangga yang dicurigai telah menggigit atau menyengat.8. DIAGNOSIS BANDINGReaksi yang diakibatkan oleh sengatan atau gigitan serangga kebanyakan menyerupai erupsi kulit yang lainnya. Seperti yang dapat dilihat reaksi yang diakibatkan oleh serangga menunjukkan adanya papul-papul. Bila kita menduga terjadi reaksi akibat gigitan atau sengatan serangga, maka kita harus memperoleh anamnesis dengan cermat adanya kontak dengan serangga, menanyakan tentang pekerjaan dan hobi dari seseorang yang mungkin dapat menolong kita mendiagnosis kelainan ini. Dibawah ini merupakan beberapa diagnosis banding dari reaksi akibat gigtan atau serangan serangga antara lain : Prurigo : Biasanya kronik, berbentuk papula/nodula kronik yang gatal. Mengenai ekstremitas terutama pada permukaan anterior paha dan tungkai bawah. Dermatitis Kontak : Biasanya jelas ada bahan-bahan kontaktan atau alergen, lesi sesuai dengan tempat kontak.9. PENATALAKSANAANTerapi biasanya digunakan untuk menghindari gatal dan mengontrol terjadinya infeksi sekunder pada kulit. Gatal biasanya merupakan keluhan utama, campuran topikal sederhana seperti menthol, fenol, atau camphor bentuk lotion atau gel dapat membantu untuk mengurangi gatal, dan juga dapat diberikan antihistamin oral seperti diphenyhidramin 25-50 mg untuk mengurangi rasa gatal. Steroid topikal dapat digunakan untuk mengatasi reaksi hipersensitifitas dari sengatan atau gigitan. Infeksi sekunder dapat diatasi dengan pemberian antibiotik topikal maupun oral, dan dapat juga dikompres dengan larutan kalium permanganat.Jika terjadi reaksi berat dengan gejala sistemik, lakukan pemasangan tourniket proksimal dari tempat gigitan dan dapat diberikan pengenceran Epinefrin 1 : 1000 dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB diberikan secara subkutan dan jika diperlukan dapat diulang sekali atau dua kali dalam interval waktu 20 menit. Epinefrin dapat juga diberikan intramuskuler jika syok lebih berat. Dan jika pasien mengalami hipotensi injeksi intravena 1 : 10.000 dapat dipertimbangkan. Untuk gatal dapat diberikan injeksi antihistamin seperti klorfeniramin 10 mg atau difenhidramin 50 mg. Pasien dengan reaksi berat danjurkan untuk beristirahat dan dapat diberikan kortikosteroid sistemik.10. PROGNOSISPrognosis dari gigitan serangga sebenarnya baik, tapi tergantung jenis serangga serta racun yang dimasukkannya ke dalam tubuh manusia. Dan apabila terjadi syok anafilaktik maka prognosisnya bergantung dari penangan yang cepat dan tepat.B. GIGITAN ULAR1. PENGERTIAN Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.2. ETIOLOGI Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam.Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam : a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic) Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain. b. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic) Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe. c. Bisa ular yang bersifat Myotoksin Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot. d. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung. e. Bisa ular yang bersifat cytotoksin Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler. f. Bisa ular yang bersifat cytolitik Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat gigitan. g. Enzim-enzim Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa3. PATHWAY4. PATOFISIOLOGI Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai system. Seperti, sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan. Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada saluran pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernapas. Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas. 5. MANIFESTASI KLINIS Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan ular. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit). Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness (denyutan). Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular : a. Gigitan Elapidae Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya: Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak. 15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam muncul paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24 jam. b. Gigitan Viperidae/Crotalidae Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya: Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan. Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat. c. Gigitan Hydropiida Misalnya, ular laut, cirinya: Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti jantung. d. Gigitan Crotalidae Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya: Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae antivenin. Anemia, hipotensi, trombositopeni. Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori: Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka. Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan. Kematian otot, bisa dari russells viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata. 6. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah, BUN dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi bekuan.7. PENATALAKSANAAN a. Prinsip penanganan pada korban gigitan ular: 1) Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular. 2) Menetralkan bisa. 3) Mengobati komplikasi. b. Pertolongan pertama : Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan prinsip RIGT, yaitu: R : Reassure : Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget. I : Immobilisation : Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang, lakukan tehnik balut tekan (pressure-immoblisation) pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan). G : Get : Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin. T : Tell the Doctor : Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul ada korban. c. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan): Balut tekan pada kaki : 1) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban. 2) Keringkan sekitar luka gigitan. 3) Gunakan pembalut elastis. 4) Jaga luka lebih rendah dari jantung. 5) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik ke atas. 6) Biarkan jari kaki jangan dibalut. 7) Jangan melepas celana atau baju korban. 8) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap pink). 9) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki. Balut tekan pada tangan : 1) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut). 2) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat. 3) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan. 4) Pasang papan sebagai fiksasi. 5) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATANA. PENGKAJIANPengkajian keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873), dasar data pengkajian pasien, yaitu:1. Aktivitas dan IstirahatGejala : Malaise.2. SirkulasiTanda : Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer hiperdinamik), lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).3. Integritas EgoGejala : Perubahan status kesehatan.Tanda : Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri.4. EliminasiGejala : Diare.5. Makanan/cairanGejala : Anoreksia, mual/muntah.Tanda : Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot (malnutrisi).6. NeorosensoriGejala : Sakit kepala, pusing, pingsan.Tanda : Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.7. Nyeri/KenyamananGejala : Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.8. PernapasanTanda : Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.Gejala : Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal, kadang subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama sembuh.9. SeksualitasGejala : Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.10. Integumen.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN1. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.2. Nyeri akut berhubungan dengan luka bakar kimia pada mukosa gaster, rongga oral, respon fisik, proses infeksi, misalnya gambaran nyeri, berhati-hati dengan abdomen, postur tubuh kaku, wajah mengkerut, perubahan tanda vital.3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit, dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur, proses infeksi.4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.5. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.

C. INTERVENSI1. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, bebas dispnea/sianosis.Intervensi:a. Pertahankan jalan napas klien.Rasional: Meningkatkan ekspansi paru-parub. Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan.Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan sirkulasi endotoksin.c. Auskultasi bunyi napas.Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.d. Sering ubah posisi.Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.e. Berikan O2 melalui cara yang tepat, misal masker wajah.Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan viskositas sputum.2. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh tubuh rileks, berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.Intervensi:a. Kaji tanda-tanda vital.Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi selanjutnya.b. Kaji karakteristik nyeri.Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui penyebab nyeri.c. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenangd. Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.Rasional: Menurunkan spasme otot.e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk membantu penyembuhan luka.3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit, dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur, proses infeksi.Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC), bebas dari kedinginan.Intervensi :a. Pantau suhu klien.Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.b. Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang disukai untuk mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan suhu tubuh.c. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai indikasi.Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.d. Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat kulit kering.e. Berikan selimut pendingin.Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.f. Berikan Antiperitik sesuai program.Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Menyatakan kesadaran perasaan dan menerimanya dengan cara yang sehat, mengatakan ansietas/ketakutan menurun sampai tingkat dapat ditangani, menunjukkan keterampilan pemecahan masalah dengan penggunaan sumber yang efektif.Intervensi:a. Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan.Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.b. Tunjukkan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosedur bebas dari nyeri.Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya merawat luka.c. Kaji status mental, termasuk suasana hati/afek.Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi untuk menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien menunjukkan tenang dan status mental waspada, menunjukkan disosiasi kenyataan, yang juga merupakan mekanisme perlindungan.d. Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.e. Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka/jujur.Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang terjadi.5. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bebas eksudat purulen dan tidak demam.Intervensi:a. Kaji tanda-tanda infeksi.Rasional: Sebagai diteksi dini terjadinya infeksi.b. Lakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti septik.Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan mencegah terpajan pada organisme infeksius.c. Ingatkan klien untuk tidak memegang luka dan membasahi daerah luka.Rasional: Mencegah kontaminasi luka.d. Ajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien.Rasional: Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.e. Periksa luka setiap hari, perhatikan/catat perubahan penampilan, bau luka.Rasional: Mengidentifikasi adanya penyembuhan (granulasi jaringan) dan memberikan deteksi dini infeksi luka.f. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.Rasional: Untuk menghindari pemajanan kuman.

GIGITAN ANJING, MONYET, KUCING

I. KONSEP DASAR MEDISA. DEFENISIRabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia yang berakibat fatal.B. ETIOLOGIPenyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, famih Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui secret yang terinfeksi pada gigitan binatang atau ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing, dan kera. Nama lainnya ialah hydrophobia la rage (Prancis), la rabbia (Italia), la rabia (spanyol), die tollwut (Jerman), atau di Indonesia dikenal sebagai penyakit anjing gila.Adapun penyebab dari rabies adalah :1. Virus rabies.2. Gigitan hewan atau manusia yang terkena rabies.3. Air liur hewan atau manusia yang terkena rabies.C. MASA INKUBASIMasa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi penyakit rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2 minggu (10 hari 14 hari). Pada manusia 2-3 minggu dan paling lama 1 tahun. Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bias bervariasi antara 7 hari 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek dari pada orang dewasa. Lamanya inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya gigitan, lokasi gigitan (jauh dekatnya kesistem saraf pusat), derajat pathogenesis virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.D. CARA PENULARANSetelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama dua minggu virus menetap pada tempat masuk dan jaringan otot didekatnya. Virus berkembang biak atau lansung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tampa menunjukan perubahan-perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membrane plasma dan protein ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor asetil-kolin post-sinaptik pada neuromuscular junction di susunan saraf pusat (SSP). Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui endoneurium sel-sel Schwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam kesusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Melalui cairan serebrospinal.Diotak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun pada saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal, mata, dan pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin. Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan medula spinalis pada rabies tipe furious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe paralitik. Perubahan patolgi berupa degenerasi sel ganglion, infiltrasi sel mononuklear dan perivaskular, neuronovagia dan pembentukan nodul pada glia pada otak dan medula spinalis.Dijumpai Negri bodies yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus terutama protein ribonuklear dan fragmen organela seluler seperti ribosomes. Negri bodies dapat ditemukan pada seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri, batang otak, hipothalamus, sel purkinje serebrum, ganglia dorsalis dan medula spinalis. Pada 20% kasus rabies tidak ditemukan Negri bodies. Adanya miokarditis menerangkan terjadinya aritmia pada pasien rabies.E. PATOFISIOLOGIVirus rabies yang terdapat pada air liur hewan yang terinfeksi, menularkan kepada hewan lainnya atau manusia melalui gigitan atau melalui jilatan pada kulit yang tidak utuh . Virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke medulla spinalis dan otak, yang merupakan tempat mereka berkembangbiak dengan kecepatan 3mm / jam. Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur.Pada 20% penderita, rabies dimulai dengan kelumpuhan pada tungkai bawah yang menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini biasanya dimulai dengan periode yang pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak badan dan demam. Keresahan akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan mengeluarkan air liur.Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa menyebabkan rasa sakit yang luar biasa.Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum air bisa menyebabkan kekejangan ini. Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum, gejala ini disebut hidrofobia (takut air). Lama-kelamaan akan terjadi kelumpuhan pada seluruh tubuh, termasuk pada otot-otot pernafasan sehingga menyebabkan depresi pernafasan yang dapat mengakibatkan kematian.F. MANIFESTASI KLINISPada manusia secara teoritis gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaan sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu:1. Gejala prodromal non spesifik2. Ensefalitis akut3. Disfungsi batang otak4. Koma dan kematianG. STADIUM LAMANYA (% KASUS) MANIFESTASI KLINIS1. Inkubasi < 30 hari (25%) 30-90 hari (50%) 90 hari-1 tahun (20%) >1 tahun (5%) Tidak ada2. Prodromal 2-10 hari Parestesia, nyeri pada luka gigitan, demam, malaise, anoreksia, mual dan muntah, nyeri kepala, letargi, agitasi, ansietas, depresi.Neurologik Akut3. Furious (80%)4. Paralitik5. Koma2-7 hari2-7 hari0-14 hariHalusinasi, bingung, delirium, tingkah laku aneh, takut, agitasi, menggigit, hidropobia, hipersaliva, disfagia, avasia, hiperaktif, spasme faring, aerofobia, hiperfentilasi, hipoksia, kejang, disfungsi saraf otonom, sindroma abnormalitas ADH.Paralisis flagsidAutonomic instability, hipoventilasi, apnea, henti nafas, hipotermia, hipetermia, hipotensi, disfunsi pituitari, aritma, dan henti jantung.H. KOMPLIKASIBerbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma. Komplikasi Neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra cranial: kelainan pada hypothalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormone anti diuretic (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertermia, hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat local maupun generalisata, dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium pradromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan depresi pernapasan terjadi pada fase neurolgik. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan saraf otonomik.

Table Komplikasi Pada Rabies dan Cara PenangananJENISKOMLIKASIPENANGANANNYA

NeurologiHiperaktifFenotiazin, benzodiazepine

HidrofobiaTidak diberi apa-apa lewat mulut

Kejang fokalKarbamazepine, fenitoin

Gejala neurologi localTak perlu tindak apa-apa

Edema serebriMannitol, galiserol

AerofobiaHindari stimulasi

Pituitary

SAHADBatasi cairan

Diabetes insipidusCairan, vasopressin

PulmonalHiperventilasiTidak ada

HipoksemiaOksigen, ventilator, PEEP

AtelektasisVentilator

ApneaVentilator

pneumotoraksDilakukan ekspansi paru

KardiovaskularAritmiaOksigen, obat anti aritmia

HipotensiCairan, dopamine

Gagal jantung kongestifBatasi cairan, obat-obatan

Thrombosis arteri/venaOksigen, obat anti aritmia

Obstruksi vena kava superiorCairan, dopamine

Henti jantungBatasi cairan, obat-obatan

Lain-lainAnemiaTransfuse darah

Perdarahan gastrointestinalH2 blockers, transfusi darah

HipertermiaLakukan pendinginan

HipotermiaSelimut panas

HipooalemiaPemberian cairan

Ileus paralitikCairan paranteral

Retensio urineKateterisasi

Gagal ginjal akutHemodialisa

pneumomediastinumTidak dilakukan apa-apa

I. PEMERIKSAAN PENUNJANGAda beberapa pemeriksaan pada penyakit rabies yaitu:1. Elektroensefalogram (EEG) : dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dari biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.3. Magneti resonance imaging (MRI) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah daerah otak yang tidak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT.4. Pemindaian positron emission tomography (PET) : untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.5. Uji laboratoriuma. Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskulerb. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokritc. Panel elektrolitd. Skrining toksik dari serum dan urine. GDAf. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang < 200 mq/dlg. BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.h. Elektrolit : K, Nai. Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejangj. Kalium ( N 3,80 5,00 meq/dl )k. Natrium ( N 135 )J. PENATALAKSANAAN1. Tindakan Pengobatana. Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka seseorang yang digigit hewan yang menderita rabies kemungkian tidak akan menderita rabies. Orang yang digigit kelinci dan hewan pengerat (termasuk bajing dan tikus) tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang terinfeksi rabies. Tetapi bila digigit binatang buas (sigung, rakun, rubah, dan kelelawar) diperlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut mungkin saja terinfeksi rabies.b. Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka gigitan sesegera mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan dengan sabun, tusukan yang dalam disemprot dengan air sabun. Jika luka telah dibersihkan, kepada penderita yang belum pernah mendapatkan imunisasi dengan vaksin rabies diberikan suntikan immunoglobulin rabies, dimana separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan.c. Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin rabies diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28. Nyeri dan pembengkakan di tempat suntikan biasanya bersifat ringan. Jarang terjadi reaksi alergi yang serius, kurang dari 1% yang mengalami demam setelah menjalani vaksinasi.d. Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka risiko menderita rabies akan berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan diberikan 2 dosis vaksin (pada hari 0 dan 2).e. Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari. Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan nafas (asfiksia), kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Meskipun kematian karena rabies diduga tidak dapat dihindarkan, tetapi beberapa orang penderita selamat. Mereka dipindahkan ke ruang perawatan intensif untuk diawasi terhadap gejala-gejala pada paru-paru, jantung, dan otak. Pemberian vaksin maupun imunoglobulin rabies tampaknya efektif jika suatu saat penderita menunjukkan gejala-gejala rabies.2. PencegahanAda dua cara pencegahan rabies yaitu:a. Penanganan LukaUntuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar dengan virus rabies melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies harus dilakukan perawatan luka yang adekuat dan pemberian vaksin anti rabies dan imunoglobulin. Vaksinasi rabies perlu pula dilakukan terhadap individu yang beresiko tinggi tertular rabies.b. VaksinasiLangkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang beresiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu :1) Dokter hewan2) Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi3) Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada anjing banyak ditemukan4) Para penjelajah gua kelelawarVaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap penyebaran selanjutnya harus mendapatkan dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun.

II. KONSEP DASAR KEPERAWATANA. PENGKAJIANPengkajian mengenai :1. Status Pernafasana. Peningkatan tingkat pernapasanb. Takikardic. Suhu umumnya meningkat (37,9 C)d. Menggigil2. Status Nutrisia. kesulitan dalam menelan makananb. berapa berat badan pasienc. mual dan muntahd. porsi makanan dihabiskane. status gizi3. Status NeurosensoriAdanya tanda-tanda inflamasi4. Keamanana. Kejangb. Kelemahan5. Integritas Egoa. Klien merasa cemasb. Klien kurang paham tentang penyakitnyaPengkajian Fisik Neurologik :1. Tanda tanda vital:a. Suhub. Pernapasanc. Denyut jantungd. Tekanan darahe. Tekanan nadi2. Hasil pemeriksaan kepala Fontanel :a. menonjol, rata, cekungb. Bentuk Umum KepalaReaksi pupil Ukuran Reaksi terhadap cahaya Kesamaan respond. Tingkat kesadaran Kewaspadaan : respon terhadap panggilan Iritabilitas Letargi dan rasa mengantuk Orientasi terhadap diri sendiri dan orang laine. Afek Alam perasaan Labilitasf. Aktivitas kejang Jenis Lamanyag. Fungsi sensoris Reaksi terhadap nyeri Reaksi terhadap suhuh. Refleks Refleks tendo superficial Reflek patologi2. DIAGNOSA KEPERAWATANAdapun diagnose yang pada penyakit rabies yaitu:1) Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia2) Gangguan pola nutrisi berhubungan dengan penurunan refleks menelan3) Demam berhubungan dengan viremia4) Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi5) Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan6) Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka3. INTERVENSI1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien bernafas tanpa ada gangguan, dengan kriteria hasil: pasien bernafas,tanpa ada gangguan. pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas respirasi normal (16-20 X/menit)Intervensi:1) Obsevasi tanda-tanda vital pasien terutama respirasi.R/: Tanda vital merupakan acuan untuk melihat kondisi pasien.2) Beri pasien alat bantu pernafasan seperti O2R/: O2 membantu pasien dalam bernafas.3) Beri posisi yang nyaman.R/: Posisi yang nyaman akan membantu pasien dalam bernafas.2. Gangguan pola nutrisi berhubungn dengan penurunan refleks menelan Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, dengan kriteria hasil : pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan /dibutuhkan.Intervensi:1) Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.R/: Untuk menetapkan cara mengatasinya.2) Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.R/: Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien3) Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.R/: Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan.4) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.R/: Untuk menghindari mual.5) Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.R/: Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.6) Kaloboras pemberian obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.R/: Antiemetik membantu pasien mengurangi mual dan muntah dan diharapkan nutrisi pasien meningkat.7) Ukur berat badan pasien setiap minggu.R/: Untuk mengetahui status gizi pasien3. Demam berhubungan dengan viremia Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan demam pasien teratasi, dengan criteria hasil : Suhu tubuh normal (36 370C). Pasien bebas dari demam.Intervensi:1) Kaji saat timbulnya demamR/: Untuk mengidentifikasi pola demam pasien.2) Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jamR/: Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.3) Berikan kompres hangatR/: Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan dan mempercepat Penurunan suhu badan.4) Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.R/: Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.4. Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi tentang penyakit. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan tingkat kecemasan keluarga pasien menurun/hilang,dengan kriteria hasil : Melaporkan cemas berkurang sampai hilang Melaporkan pengetahuan yang cukup terhadap penyakit pasien Keluarga menerima keadaan panyakit yang dialami pasien.Intervensi:1) Kaji tingkat kecemasan keluarga.R/: Untuk mengetahui tingkat cemas dan mengambil cara apa yang akan digunakan.2) Jelaskan kepada keluarga tentang penyakit dan kondisi pasien.R/: Informasi yang benar tentang kondisi pasien akan mengurangi kecemasan keluarga.3) Berikan dukungan dan support kepada keluarga pasien.R/: Dengan dukungan dan support,akan mengurangi rasa cemas keluarga Pasien.5. Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahanSetelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien tidak mengalami cedera,dengan kriteria hasil : Klien tidak ada cedera akibat serangan kejang klien tidur dengan tempat tidur pengaman Tidak terjadi serangan kejang ulang. Suhu 36 37,5 C , Nadi 60-80x/menit, Respirasi 16-20 x/menit Kesadaran composmentisIntervensi:1) Identifikasi dan hindari faktor pencetusR/: Penemuan factor pencetus untuk memutuskan rantai penyebaran virus.2) Tempatkan klien pada tempat tidur yang memakai pengaman di ruang yang tenang dan nyaman.R/: Tempat yang nyaman dan tenang dapat mengurangi stimuli atau ransangan yang dapat menimbulkan kejang.3) Anjurkan klien istirahatR/: Efektivitas energi yang dibutuhkan untuk metabolism.4) Lindungi klien pada saat kejang dengan : longgarakan pakaian posisi miring ke satu sisi jauhkan klien dari alat yang dapat melukainya kencangkan pengaman tempat tidur lakukan suction bila banyak secretR/: Tindakan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya cedera fisik.5) Catat penyebab mulainya kejang, proses berapa lama, adanya sianosis dan inkontinesia, deviasi dari mata dan gejala-hgejala lainnya yang timbul.R/: Dokumentasi untuk pedoman dalam tindakan berikutnya,6) sesudah kejang observasi TTV setiap 15-30 menit dan obseervasi keadaan klien sampai benar-benar pulih dari kejang.R/: Tanda-tanda vital indicator terhadap perkembangan penyakitnya dan gambaran status umum pasien.7) Observasi efek samping dan keefektifan obat.R/: Efeksamping dan efektifnya obat diperlukan motitorng untuk tindakan lanjut.8) Observasi adanya depresi pernafasan dan gangguan irama jantung.R/: Komplikasi kejang dapat terjadi depresi pernapasan dan kelainan irama jantung.9) Kerja sama dengan tim : pemberian obat antikonvulsan dosis tinggi pemeberian antikonvulsan (valium, dilantin, phenobarbital) pemberian oksigen tambahan pemberian cairan parenteral pembuatan CT scanR/: untuk mengantisipasi kejang, kejang berulang dengan menggunakan obat antikonvulsan baik berupa bolus, syringe pump.6. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka setelah diberikan tindakan keperawatan 3X24 jam diharapkan tidak terjadi tanda-tanda infeksi.Kriteria Hasil: Tidak terdapat tanda tanda infeksi seperti: Kalor,dubor,tumor,dolor,dan fungsionalasia. TTV dalam batas normalIntervensi:a. Kaji tanda tanda infeksiR/: Untuk mengetahui apakah pasien mengalami infeksi dan untuk menentukan tindakan keperawatan berikutnya.b. Pantau TTV,terutama suhu tubuh.R/: Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.c. Ajarkan teknik aseptik pada pasienR/: Meminimalisasi terjadinya infeksi.d. Cuci tangan sebelum memberi asuhan keperawatan ke pasien.R/: Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.e. Lakukan perawatan luka yang steril.R/: Perawatan luka yang steril meminimalisasi terjadinya infeksi.DAFTAR PUSTAKA Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadbrata, Siti Setiati; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta http://www.rusari.com Siregar RS. Prof. Dr. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. Indonesia. Jakarta : EGC ; 2000 p. 174-175 Rohmi Nur. Insect Bites. [online] 2006 [cited 2008 June 04] : [ 3 screens]. Available from : http://www.fkuii.org/tiki-index.php?page=Insect+Bites7 Bites and Sting. In: Bolognia JL Lorizzo JL, Rapini RP,eds. Dermatology Volume.1. London: Mosby; 2003.p.1333-35 Ngan Vanessa. Insect Bites and Stings. [Online] 2008 [cited 2008 June 4] : [4 screnns]. Available from : http://www.dermnet.com/image.cfm?imageID=1875 Rube J. Parasites, Arthropods And Hazardous Animals Of Dermatologic Significance. In: Moschella SL, Hurley HJ, eds. Dermatology Volume 1. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1985.p.1923-88 Wilson C.Arthropod Bites And Sting. In: Fitzpetrick TB Eisen AZ, Wolf K, Freedberg IM, Austen KF.eds. Dermatology in General Medicine, 4th ed.USA: McGraw-Hill; 1993.p.2685-95 Burns.D.A. Dissease Caused by Arthropoda and other Noxious Animals. In: Rook, Wilkinson, Ebling.eds. Textbook of Dermatology 7 th ed. London: Blackwell Science.1998.p.1085-1125. Elston Dirk M. Insect Bites. [Online] 2007. [cited 2008 June 4] : [16 screens]. Available from : http://emedicine.com/derm/topic467.htm#section~Treatment. Habif TP,ed.Clinical Dermatology: A. Color Guide To Diagnosis and therapy. 4th ed. Edinburgh; Mosby; 2004.p.531-36 Hardin MD. Fire Ant Bite. [Online] 2008 [cited 2008 June 4] : [1 screen]. Available from : http://www.lib.uiowa.edu/HARDIN/MD/tamu/fireants5.html Hardin MD. Bee Sting Picture. [Online] 2008 [cited 2008 June 4] : [1 screen]. Available from : http://www.lib.uiowa.edu/HARDIN/MD/dermnet/beesting1.html New Zealand Dermatological Society Incorporated. Prurigo Nodularis. [Online] 2008 [cited 2008 june 4] : [4 screens]. Availablel from : http://www.dermnet.com/image.cfm?imageID=1875&moduleID=8&moduleGroupID=216&groupindex=0&passedArrayIndex=2 Wiryadi Be. Prurigo. In : Djuanda Adhi: Mochtar H, Siti A, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin 3th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1999.p.272-275 Kucenic MJ. Contact Dermatitis. [Online] 2007 [cited 2008 june 4] : [8 screens]. Available from : http://www.umm.edu/imagepages/2387.htm E. Duldner, Jr., MD. Insect Bites And Stings. [online] 2008 [cited 2008 june 4] : [5 screens]. Available from : http://about.com/adam_health_tropic:79/12.pages/342.htm Hugh A. F. Dudley (Ed), Hamilto Bailey, Ilmu Bedah, Edisi XI, Gajah Mada University Press, 1992 Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical Nursing, Lippincott, 1996 Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, 2nd Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1991. Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC, Jakarta, 1998. Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical Surgical Nursing : Clinical Management for Contuinity of Care, 5th Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1997. Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1990 Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical Nursing, Lippincott, 1996 Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, 2nd Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1991. Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC, Jakarta, 1998. Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical Surgical Nursing : Clinical Management for Contuinity of Care, 5th Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1997. Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1990