asimetri desentralisasi libre

23
ASIMETRI DE SENTRALISASI 1 Purwo Santoso 2 Sebagai istilah atau label, ‘asimetri desentralisasi’ ataupun ‘desentralisasi asimetris’ seakan merupakan hal baru dalam kajian pemerintahan. 3 Padahal, sebagai praktek hal itu sudah lama ada. 4 Sudah sejak jaman kolonial hal ini diterapkan, dan bekasnya masih terlihat hingga kini. Desentralisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial melalui Decentralisatie Wet, 23 Juli 1903 membedakan perlakuan untuk Jawa dengan Luar Jawa. 5 Kalaulah istilah asimetri desentralisasi belum populer, sejak dahulu kita toh sudah mengenal ‘daerah istimewa’ atau ’daerah khusus’. Undangundang dasar kita mengenal hal itu. 1 Disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Jatinangor pada tanggal 20 November 2012. 2 Guru besar Ilmu Pemerintahan; Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 3 Istilah yang dipakai para pakar berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah sistem differensial, mengingat initinya adalah Pemerintah Nasional melakukan diskriminasi positif dengan cara memperhatikan kekhususan atau keragaman situasi dan kondisi daerah. Prof. Sadhu Wasistiono, memilih istilah ‘desentralisasi berkesimbangan’ mengingat kalaulah ada perlakukan berbeda-beda, ujung-ujungnya harus ada keseimbangan antara kepentingan nasional dengan kepentingan lokal. Yang jelas, dengan dipakainya istilah-istilah ini, persoalan-persoalan kontekstual dalam skala lokal lebih mendapatkan perhatian. 1

Upload: rudi-spd-mpd-rudi

Post on 11-Aug-2015

22 views

Category:

Government & Nonprofit


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Asimetri desentralisasi libre

ASIMETRI DE SENTRALISASI 1

Purwo Santoso2

Sebagai istilah atau label, ‘asimetri desentralisasi’ ataupun ‘desentralisasi asimetris’ seakan merupakan hal baru dalam kajian pemerintahan.3 Padahal, sebagai praktek hal itu sudah lama ada.4

Sudah sejak jaman kolonial hal ini diterapkan, dan bekasnya masih terlihat hingga kini. Desentralisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial melalui Decentralisatie Wet, 23 Juli 1903 membedakan perlakuan untuk Jawa dengan Luar Jawa.5 Kalaulah istilah asimetri desentralisasi belum populer, sejak dahulu kita toh sudah mengenal ‘daerah istimewa’ atau ’daerah khusus’. Undang-undang dasar kita mengenal hal itu.

1 Disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Jatinangor pada tanggal 20 November 2012.

2 Guru besar Ilmu Pemerintahan; Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

3 Istilah yang dipakai para pakar berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah sistem differensial, mengingat initinya adalah Pemerintah Nasional melakukan diskriminasi positif dengan cara memperhatikan kekhususan atau keragaman situasi dan kondisi daerah. Prof. Sadhu Wasistiono, memilih istilah ‘desentralisasi berkesimbangan’ mengingat kalaulah ada perlakukan berbeda-beda, ujung-ujungnya harus ada keseimbangan antara kepentingan nasional dengan kepentingan lokal. Yang jelas, dengan dipakainya istilah-istilah ini, persoalan-persoalan kontekstual dalam skala lokal lebih mendapatkan perhatian.

4 Istilah desentralisasi asimetris juga banyak dipakai dalam kajian desentralisasi di negara-negara lain. Konsep ini dipakai untuk mengkerangkai perlakuan khusus dari dari-daerah-daerah yang memberontah (menuntut kemerdekaan) dan direspon dengan perlakukan khusus. Persoalan-persoalan seperti Quebec di Perancis, Basque di Spanyol, Sammi di Norwegia, Mindanau di Philippina, dan sejenisnya selama ini biasa dibahas dalam kerangka asimetrisme tatanan pemerintahan. Dalam konteks ini,

1

Page 2: Asimetri desentralisasi libre

perlakukan khusus untuk Aceh dan Papua, berada dalam tradisi kajian desentralisasi asimetris yang sudah populer dalam literatur.

5 Hanya saja, setelah Indonesia merdeka, pembedaan Jawa vs Luar Jawa dalam penataan pemerintahan tidak lagi diberlakukan.

2

Page 3: Asimetri desentralisasi libre

Desentralisasi atau penataan hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah nasional, tidak dapat berkelit dari keharusan untuk sensitif dengan vararisasi atau konteks lokal. Hanya saja, naluri untuk main pukul rata, sepertinya sudah cukup kuat tertanam. Pertanyaan sepele yang penting untuk diutarakan di sini adalah: “mengapa penggunaan istilah asimetri menyimpan unsur kejutan ?

Tulisan ini dibuat sekedar untuk mengajak keluar dari kebiasaan untuk menyamaratakan daerah, padahal kita tahu, dalam kenyataannya ada perbedaan tajam antara yang satu dengan yang lain. Asimetri desentralisasi, dalam konteks ini diberlakukan sebagai pendekatan atau acuan dalam pencarian, bukan sebagai resep yang siap dipraktekkan. Dalam kajian internasional, konsep ini biasa dipakai untuk mengkerangkai ketegangan antara suatu daerah yang ingin memisahkan diri, dengan pemerintah nasional. Hanya saja, mengingat keragaman di negeri begitu luas dan mendalam, penerapannya perlu lebih sistematik, tidak sekedar sebagai reaksi terhadap upaya pemisahan diri.

1. Simetrisme:Kemewahan bagi Indonesia.

Pemerintahan militeristik, seperti diberlakukan Orde Baru, memiliki kecenderungan untuk melakukan penyeragaman. Pemerintah memang memiliki serangkaian tujuan mulia, namun tujuan dan cara mencapainya dilakukan secara sepihak. Dalam cara pandang pemerintahan waktu itu, kesuksesan ditentukan oleh kesatuan dan kepatuhan pada komando yang terpusat. Pada saat yang sama, pemerintahan yang terpusat tersebut memang telah mengembangkan sistem perencanaan yang relatif mapan. Dari sudut pandang mengendalikan pemerintahan yang terpusat, cara berfikir ini bukan hanya menjanjikan keberhasilan, namun juga menyediakan kenyamanan tersendiri.

Sepertinya kita telah hanyut dalam alur berfikir baku, bahwa Indonesia bisa dan perlu diatur secara seragam. Seolah-olah, keteraturan atau tatanan sistemik mengharuskan penyeragaman. Memang, penyeragaman memudahkan memudahkan komando diberikan dan dipatuhi. Akan tetapi, negara dan pemerintahan tidak dibuat demi menjamin kemudahan para pejabatnya memegang jabatan. Keengganan untuk membongkar cara berfikir yang obses dengan keseragaman, bisa dicurigai sebagai pemelihara naluri otoriter.

Dalam melakukan penataan pemerintahan, kita berhadapan dengan situasi yang sebaliknya. Kita terikat dengan ketentuan konstitusi untuk mengelola menjamin terselenggaranya pemerintahan mengidap situasi paradoksal. Hal ini sebetulnya

3

Page 4: Asimetri desentralisasi libre

telah digariskan oleh the founding fathers negeri dalam sesanti: Bhinneka Tunggal Ika. Dalam menerapkan sesanti ini, kita diingatkan tidak boleh ada sikap yang mendua, atau setengahsetengah: tan hana dharma mangroa. Untuk itu, dalam penataan pemerintahan di negeri ini kita harus putar otak keras-keras: thinking out of the box.6

Apakah situasi paradoksal itu. Di satu sisi, diamanatkan konstitusi agar tata pemerintahan di negeri ini menjamin kesatuan Indonesia. Hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam doktrin ‘negara kesatuan’.7 Di sisi lain, ada keharusan untuk memberlakukan otonomi seluas-luasnya. Dilepaskan katub otonomi daerah secara besar-besaran melalui UU 22/1999 (yang kemudian telah beberapa kali direvisi), mau tidak mau membuka katub mobilisasi identitas lokal. Pemberlakukan otonomi luas telah diikuti dengan menggejalanya lokalisme yang mengkhawatirkan semangat kesatuan.

Terlepas dari adanya keinginan untuk mengamputasi ketentuan konstitusi, kita tahu bahwa ada persoalan mind set atau cara berfikir yang membelenggu transformasi bangsa ini menuju tatanan yang diamanatkan konstitusi. Yang menjadi persoalan sebetulnya bukan keberadaan mind set itu sendiri, melainkan implikasi buruk yang menyertainya. Kebingungan dan kerancuan yang diakibatkan oleh belenggu mind set ini menjadikan kita (baca: Indonesia) tidak memiliki infrastruktur pemerintahan yang handal dalam policy-making.

2. Asimetrisme:Urge nsi Mespon Secara Kontekstual

Asimetri desentralisasi terasa urgensinya untuk dikembangkan manakala kita berani untuk memahami dan mengembangkan sistem pemerintahan secara kontekstual. Kalangan kontekstualist meyakini, context does matter ! Kebijakan publik dapat berjalan dengan baik kalau konteksnya difahami dan dijadikan basis

6 Di satu sisi harus berfikir realistis-kontekstual, di sisi lain ada keperluan untuk melakukan refleksi secara mendalam, agar tidak terperangkap oleh situasi paradoksal ini. Hanya saja, tanpa sadar kita lebih subuk dengan aspek ke-ika-an dari pada kebhinneka-an. Kalaulah di sini istilah asimetri dipakai, penggunaannya adalah untuk menemukan keterkaitan antara keduanya, bukan sekedar menggeser obsesi seragam menjadi obsesi beragam.

7 Untuk itu digulirkan jargon: ‘NKRI harga mati’. Dibalik jargon itu ada upaya mobilisasi kesepakatan untuk tidak mengembangkan federalisme.

4

Page 5: Asimetri desentralisasi libre

pengelolaan proses kebijakan.8 Sebagai contoh, kita tahu bahwa Indonesia adalah negara maritim. Apakah konteks kemaritiman mendasari imajinasi tentang pemerintahan daerah yang berjaya dengan kekuatan maritimnya ? Mari kita cermati apa yang telah terjadi.

Sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut. Klaim sebagai pemilik wilayah laut inipun didapatkan setelah perjuangan panjang dalam merumuskan UNCLOS (United Nation Convention of Law of Sea). Repotnya, konteks kemaritiman ini tidak mewarnai agenda pembangunan negeri ini karena penataan pemerintahan tidak dipandu oleh konteks maritim ini. Sadar akan pentingnya memahami dan mengembangkan Indonesia dalam konteks kemaritiman ini, sejumlah pemerintah daerah yang wilayahnya bersifat kepulauan bekerja sama untuk mengusuljkan Undang-undang daerah kepulauan. Ironisnya, ketika mengetahui bersatunya daerah-daerah berkonteks maritim ini, pemerintah nasional lebih menaruh curigai daripada mengapresiasinya. Perdebatan tentang konteks kemaritiman menjadi tidak konstruktif ketika ujung-ujungnya yang dibicarakan lebih pada persoalan alokasi fiskal.

Apa pelajaran dari contoh di atas ? Desentralisasi didudukkan sebagai persoalan pelimpahan kewenangan, dan kalaulah hal itu dilakukan, tidak disertai dengan kejelasan arah penggunaan kewenangan itu sendiri. Kekuatan daerah untuk pengembangan potensi maritim belum dibahas dalam proses desentralisasi, dan kesulitan-kesulitan mendasar yang dihadapi daerah untuk itupun belum dibahas. Pada akhirnya, konteks maritim lebih hadir sebagai beban, bukan sebagai basis kemajuan bangsa ini.

Argumentasi pemikiran kontekstualist tersebut di atas berseberangan dengan yang diyakini kalangan textualist yang meyakini bahwa keberhasilan kebijakan publik ditentukan oleh akurasi rumusan. Setelah kewenangan dibagi-bagi, lalu akan terjadi perumusan kebijakan. Di asumsikan, ada proses saling mengisi diantara pemangku kewenangan yang satu dengan pemangku kewenangan yang lain. Yang jelas terjadi adalah fragmentasi agenda dan arah kebijakan. Dalam buruknya sinkronisasi kebijakan, yang lebih sering terhadi adalah konflik dan overlap kebijakan.

Cornelis Lay mengidentifikasi berbagai konteks atau keperluan yang pada gilirannya mendesakkan asimetri desentralisasi:9

8 Merelee S. Grindle, The Politics of Public Policy Implementation

in the Developing Countries.

9 Cornelis Lay; “Asimetri dalam Komparasi”, dalam Prtikno et. al.; Laporan Akhir Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu

5

Page 6: Asimetri desentralisasi libre

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada 2010.

6

Page 7: Asimetri desentralisasi libre

· Respon tuntuan daerah untuk memisahkan diri.

· Apresisai terhadap budaya, termasuk budaya kalangan minoritas.

· Kesulitan teknokratis suatu (sejumlah) pemerintah daerah.

· Pengembangan daya saing bangsa.

· meminimalisasi resiko, misalnya untuk mengotimalkanpengelolaan kawasan perbatasan.

Pelajaran yang kita bisa petik dari identifikasi tersebut di atas adalah bahwa desentralisasi dilakukan dengan adanya kesadaran akan masalah yang hendak diatasi, bukan sekedar sebagai persoalan bagi-bagi kewenangan. Desentralisasi adalah transformasi tata pemerintahan sedemikian sehingga masalah kunci yang mengganjal, dapat optimal teratasi. Desentralisasi tidak dilakukan demi pemerintah, baik pemerintah nasional maupun pemerintah lokal. Yang jelas, alasan-alasan pemberlakukan asimetri desentralisasi tersebut di atas ada dan cukup pelik. Sungguhpun demikian, pemikiran desentralisasi di negeri ini biasanya tidak terlalu terkait upaya untuk mengatasi persoalan-persoalan spesifik.

Kebiasaan untuk memikirkan desentralisasi sebagai persoalan bagi-bagi kewenangan memiliki akibat fatal. Ada asumsi bahwa pembagi-bagian kewenangan akan menjadikan masalah negeri ini teratasi. Sebagai contoh, peningkatan pendidikan disepakai sebagai agenda yang luar biasa penting, sampai-sampai Undang-undang Dasar negeri ini mengharuskan alokasi anggaran sebesar 20% untuk itu. Di sini terjadi situasi aneh. Karena alokasi anggaran dirumuskan dalam APBN, maka yang berperan penting adalah pemerintah nasional, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara itu, yang kewenangan mengurusi pendidikan bagi sebagian besar anak didik adalah Dinas Pendidikan, yang notabene bawahan Bupati/Walikota. Dalam setting seperti ini banyak terjadi mismatch anggaran. Kabupaten/Walikota menghadapi anggaran, ditandai dengan banyaknya Sekolah yang bangunannya tidak kunjung diperbaiki karena keterbatasan anggaran. Yang kita hadapi pada akhirnya justru dislokasi kewenangan, dan muaranya adalah tidak optimalnya pencapaian misi.

Sejalan dengan contoh di atas, kita terbiasa berasumsi bahwa desentralisasi akan mempercepat kesenjangan antar daerah, ataupun mempercepat pembangunan daerah tidak selalu terbukti. Contoh berikut ini penting untuk dicermati.

Sejalan dengan desentralisasi dalam skala besar-besaran yang dilangsungkan sejak tahun 2000, transfer fiskal ke daerah telah berlipat ganda. Asumsinya, transfer ini akan meningkatkan

7

Page 8: Asimetri desentralisasi libre

kesejahteraan masyarakat di berbagai pelosok tanah air, ditandai dengan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang berotonomi luas. Dalam kenyataannya, pertumbuhan ekonomi hanya berlangsung di daerah-daerah yang memiliki infrastruktur untuk memproses transfer fiskal menjadi pertumbuhan ekonomi lokal. Contoh ini membukakan mata kita bahwa selama ini proses desentralisasi telah diusung diatas asumsi yang tidak akurat, dibangun diatas asumsi telah tersediaya infrastruktur untuk menopang pembangunan ekonomi. Jika asumsi ini benar adanya, maka masuk akallah kalau dibayangkan bahwa pemindahan lokus policy-making yang disertai dengan transfer fiskal akan menotori pertumbuhan ekonomi. Ada bias serius, yakni infrastruktur yang ada di mana-mana ternyata hanya ada di ibukota, atau di kota-kota besar. Padahal kita tahu bahwa pertumbuhan ekonomi mempersyaratkan ketersediaan infra-struktur. Manakala variasi kesenjangan ketersediaan infrastruktur tidak difikirkan sejakawal, maka tuntutan transfer fiskal akan bermuara sama pertumbuhan ekononi hanya berlaku di sebagian daerah. Daerah-daerah yang infrastrukturnya tertinggal terus mengalami stagnasi, dan pada saat yang sama tetap menuntut tambahan transfer fiskan. Dalam kealphaan memetakan variasi ketersediaan infrastruktur ini, lalu bergulirlah stigmatisasi otonomi daerah.Desentralisasi dinilai melahirkan aktualisasi otonomi daerahsecara memadai, lalu divonis gagal menghasilan kemajuanekonomi lokal.

Kecerobohan dalam contoh di atas terlihat dari insensitifitas pada variasi penyediaan (ketersediaan) infrastruktur untuk memfasilitasi pembangunan ekonomi. Hal ini terjadi karena, dalam standar berfikir baku, desentralisasi adalah persoalan transfer kewenangan. Solusi dari segala diyakini bermula dari transfer kewenangan, dan persoalan instrastruktur dibicarakansetelah ada kepastian kewenangan masing-masing, dan kewenangan tersebut dijabarkan dalam disain kelembagaan dan proses perencanaan. Atas dasar itulah dilakukan transferkeuangan. Akibatnya, desentralisasi atau penyelenggaraanotonomi justru terjebak dalam fragmentasi penyedia danpenyediaan infrastruktur pembangunan ekonomi.

Kalaulah transfer kewenangan dianggap penting, yang paling penting sebetulnya bukan kepastian rumusan kewenangan melainkan keseriusan dan kepiawaian dalam menggunakannya.Kita tahu bahwa betapapun seriusnya ditentukan batas kewenangan antar sektor, sektoralise tidak kunjung teratasi. Betatapun seriusnya kita bongkar pasang pembagian atau pemilahan kewenangan pemerintah nasional, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/ kota, kebijakan-kebijakan berikut penjabarannya ke dalam berbagai program pembangunan tetap

8

Page 9: Asimetri desentralisasi libre

saja tidak terintegrasi. Tidak ada komunikasi kebijakan antar level pemerintahan, sehingga kalaulah sama-sama berniat mengatasi kemiskinan, sambungan satu kebijakan dengan kebijakan lain tidak pernah terangkai.

Ketika pemerintahan dihayati sebagai penggunaan kewenangan, bukan pencapaian tujuan tertentu, maka kegagalan mencapai misi bukanlah persoalan serius. Ketika pemerintahan dihayati sebagai penggunaan kewenangannya sendiri, maka tidak ada urgensi untuk mengetahui kesenjangan penggunaan kewenangan dari lembaga-lembaga lain, atau lembaga setara di level yang lain. Singkat cerita, kecenderungan-kecenderungan untuk berlindung dibalik kewenangan ini pada akhirnya bermuara pada insensitivitas pemerintah pada konteks. Yang lebih menjadi kehirauan adalah dasar hukum (cangkang kewenangan), bukan optimalnya solusi atau kesesuaian dengan konteks. Oleh karena itu, mind set yang obsesif dengan penggunaan kewenangan pada akhirnya kontra-produktif dengan penjaminan otonomi, yang misi utamanya adalah penyelesaian masalah sesuai konteks.

Bikoratisme, bertolak belakang dengan penjaminan otonomi seluas-luasnya. Keinginan untuk menggunakan kewenangan untuk mendektekan apa yang perlu dilakukan, pada gilirannya justru mematikan otonomi itu sendiri. Otonomi justru harus dilakukan sedemikian sehingga tidak terkungkung pada keterbatasan imajinasi tentang cara mengatasi masalah. Sejalan dengan hal itu, otonomi, mau tidak mau melibatkan pendayagunaan pengetahuan dan kearifan lokal, dan pengetahuan ini biasanya berada dalam jangkauan mereka yang berada di puncak kewenangan. Penggunaan pengetahuan dan kearifan ini, dalam banyak kasus, tidak tergantung ataupun terkendala oleh tata kewenangan yang diberlakukan.

Paparan di atas diharapkan memberikan cukup alasan untuk mengatakan bahwa pemikiran tentang desentralisasi selama ini terkungkung oleh cara berfikir administratif. Dalam kerangka ini, berlakulah definisi standar; bahwa ‘desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dari pemerintah nasional ke pemerintah lokal’. Kalau kewenangan sudah dilimpahkan, maka diasumsikan selesailah persoalan. Bahwa: ‘otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri’. Implikasinya, daerah harus egois, tidak perlu tahu apa yang dilakukan oleh tetangganya, tidak perlu berfikir apa yang dilakukan oleh pemerintah pada lapis kewenangan di atas dan dibawahnya. Muara dari cara berfikir ini adalah segmentasi, kalau bukan fragmentasi institusi pemerintahan.

9

Page 10: Asimetri desentralisasi libre

3. Asimetrisme:Keberanian Mengakui Keterbatasan.

Pemerintahan berotonomi, adalah pemerintahan yang bekerja dengan pengetahuan dan pengalaman para pejabat dan masyarakatnya. Lebih dari itu, eksponen penyelenggara pemerintahan daerah tidak mungkin dilepaskan dari konteks kultural setempat, dari tata nilai dan adat istiadat yang berlangsung. Justru karena adanya hal-hal seperti itulah masuk akal kalau kewenangan pemerintahan dipindahkan ke tingkat lokal. Lebih dari itu, standar yang berlaku di satu daerah tidak selalu cocok untuk diberlakukan di daerah lain.

Mari kita ambil Bali sebagai kasus. Kita tahu, denyut nadi perekonomian Bali adalah pariwisata. Di Bali telah terbentuk sistem kepariwisataan yang mapan, sedemikai sehingga dalam pegelolaan pariwisata pengkotak-kotakan otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota justru merepotkan. Bali menghendaki titik berat otonomi daerah berada di tingkat propinsi, dan untuk itu Bali menuntut dikecualikan dari ketentuan yang ada. Bali menuntut diberi status sebagai daerah khusus, karena kekhususan kebutuhan dalam mengelola pariwisata. Perlu diingat bahwa ekonomi pariwisata di Bali memiliki dimensi internasional dan wawasan kedaerahan (kabupaten sentris) tentulah tidak memadai.

Yang harus dicatat secara jujur di sini adalah bahwa kemampuan Bali mengembangkan pariwisata bukanlah karena pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Nasional. Sistem dan budaya pariwisata yang ada disana bukanlah bentukan pemerintah nasional. Untuk itu, asimetri dalam desentralisasi juga perlu dimaknai sebagai pengakuan akan keterbatasan sistem nasional untuk mengemban misi internasional: mengelola industri kepariwisataan. Dalam konteks ini, watak internasionalnya pariwisata Bali justru terselenggara dengan baik oleh eksponen lokal yang bersatu dan tersinergi. Atas dasar hal itu, perlulah kiranya kita sadari bahwa pengembangan tata pemerintahan melibatkan proses saling belajar, bukan (sekedar) proses kuasa menguasai atau proses menaklukkan atas dasar tata kewenangan.

Mind set desentralisasi tersebut tidak semestinya mengandaikan kekuasaan pemerintahan berlangsung dalam vacuum. Kekuatan yang berotonomi dengan serta-merta dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya dalam koridor berfikir birokratis. Tidak terbayangkan sama sekali bahwa wacana desentralisasi akan melibatkan tarik ulur kewenangan. Kalaulah hal itu terpaksanya terjadi, maka hal itu dimaknai sekedar sebagai proses politicking yang perlu diratapi, bukan keniscayaan yang terjadi. Desentralisasi tidak sejak dari pangkalnya adalah fenomena

10

Page 11: Asimetri desentralisasi libre

politik, dan mengedepannya gejala politik dibalik kelangsung proses desentralisasi ataupun pelaksanaan otonomi daerah disikapi sekedar sebagai ekses.

Patut disayangkan bahwa, selama ini tidak cukup tersedia keberanian untuk mengakui bahwa desentralisasi dan otonomi daerah adalah proses politik. Istilah ‘asimetri’, dalam konteks ini, diambil untuk menggambarkan relasi politik yang melibatkan eksponen lokal dengan eksponen nasional. Desentralisasi, dengan demikian bisa dan perlu dibayangkan sebagai pertarungan kepentingan dan agenda politik yang melibatkan setiap daerah. Kalaulah perpolitikan yang berlangsung menjadikan analisis administratif tidak tepat, bukanlah alasan untuk menyalahkan praktek politik yang berlangsung. Hal ini niscaya terjadi kalau diakui bahwa desentralisasi tidak berlangsung dalam vacuum kekuasaan.

Selama ini ada keengganan untuk mengakui dan dengan langkah-langkah antisipatif mengelola desentralisasi sebagai proses politik. Pada saat yang sama, tidak ada keberanian untuk mengakui kesalahan di masa lalu, ataupun mengakumulasi pengalaman penting pernah dipraktekkan. Tidaklah mengherankan kalau pada akhirnya sejarah perjalan desentralisasi di negeri ini tapak zig-zag.10 Ada kalanya Indonesia gila-gilaan mengembosi otonomi, dan pada saat berikutnya gila otonomi. Sehubungan dengan keterbatasan cara pandang atau mind set birokratis tersebut di atas, perlu keberanian untuk membayangkan bahwa desentralisasi pemerintahan bukanlah semata-mata persoalan spesifikasi dan penggunaan kewenangan tidaklah memadai. Keberhasilan melakukan desentralisasi justru sangat ditentukan oleh kesediaan dan kemampuan belajar dari praktek, termasuk praktek perpolitikan yang berlangsung.

Mengingat dahsyatnya keragaman masyarakat dan kondisi lokal di negeri ini, keinginan untuk menyeragamkan pengaturan pastilah terganjal kendala struktural. Hanya saja, kepengelolaan keragaman ini tidak sempat menjadi kehirauan manakala kita telah terbiasa untuk memikirkan pemerintahan dari pucuk piramida kekuasan, dengan mengandaikan setiap lapis pemerintahan yang lebih rendah mematuhi lapis yang lebih tinggi. Kita telah terbiasa menggunakan satu framework, yakni

10 Purwo Santoso, DPRD: Simpul Kedaulatan Melalui Policy Making,

Kajian Akademik

Pembahasan Kedudukan, Fungsi dan Peran DPRD dalam Revisi Undang-Undang No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah Untuk Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI).

11

Page 12: Asimetri desentralisasi libre

framework yang bias kepentingan pusat, yang karena dirawat secara gila-gilaan betul watak resminya hingga seakan-akan boleh menutup mata terhadap realita yang tak terbayangkan sebelumnya. Membabi-butanya kita dengan framework ini menjadikan kita tidak sempat melihat kerangka fikir alternatif,11

yang berangkat dari konteks tertentu, yang “terperangkap” oleh situasi dan kondisi riel yang tak terelakkan.12 Kondisi lokal yang tak terhindrkan ini tidak mudah dimengerti oleh mereka yang tidak pernah merasakan dan menghayati kehidupan nyata di daerah-daerah.13

Sebagai sebuah framework, asimetrisme dalam penataan pemerintahan mengedepan ketika kita mengalisis persoalan dan fenomena pemerintahan secara kontekstual. Kalaulah asimetrisme desentralisasi hendak diberlakukan, pegangannya adalah kontekstualisme.14Jalannya pemerintahan tidak hanya didektekan

11 Yang menjadi persoalan di sini bukanlah hanya pandangan antara ‘penguasa’ di yang bekerja di dengan lingkup lintas daerah dan merasa superior dari mereka yang bekerja di level lokal yang didudukkan sebagai ‘obyek kekuasaan’. Kenyataan bahwa lingkup kekuasaan mereka lebih sempit dari lingkup kekuasaan mereka yang bekerja lintas-daerah sama sekali bukan menjadi alasan bahwa eksponen lokal tidak mempunyai kemampuan untuk melawan. Hanya karena perlawanan terbuka tidak terungkap, bukan berarti perlawanan tidak berlangsung.

12 Eksponen lokal memiliki variasi karena harus bergulat dengan konteks lokal masing-masing. Sebagai contoh, kalaulah sama-sama membicarakan kemiskinan, ada setting mencolok antara kemiskinan di kawasan perkotaan dengan kemiskinan di kawasan pedesaan. Ada perbedaan atara situasi nelayan miskin dengan situasi petani miskin. Ada kesulitan khas pemerintahan di kawasan kepulauan dengan pemerintahan di kawasan pegunungan. Kalulah sama-sama harus berhadapan dengan isolasi, setting yang dihadapi berbeda-beda.

13 Sebagai contoh, pegawai keuangan yang memeriksa SPJ tidak mudah memahami kenyataan bahwa biaya untuk perjalanan dari Ambon ke Jakarta jauh lebih murah dari pada biaya untuk mencapai kecamatan terjauh dari pemda di Maluku Tenggara.

14 Contextualism adalah salah satu faham dalam filsafat ilmu yang meyakini bahwa kemampuan manusia untuk mencermati realita itu sangat terbatas. Apa yang diyakini sebagai kebenaran, harus difahami dalam konteks yang menyertainya.

Sebagai contoh, masyarakat di Papua menolak diperlakukan tidak adil, menolak untuk tetap berada dalam keterbelakangan ekonomi atau kemiskinan. Mereka menggunakan istilah

12

Page 13: Asimetri desentralisasi libre

‘merdeka’ sebagai kondisi ideal. Mereka tahu bahwa istilah mereka atau pro-merdeka menjadi stigma politik pemerintah. Dalam konteks ini, mereka membuat ungkapan yang terasa aneh kalau dilepaskan dari konteksnya: ‘medeka dalam NKRI’.

Contoh lain; Sultan Hamengku Buwono IX mewarini tatanan pemerintahan monarkhi namun pada saat yang sama sangat bersimpati dengan gagasan demokrasi.

13

Page 14: Asimetri desentralisasi libre

oleh peraturan perundang-undangan yang diberlakukan secara nasional (terpusat) melainkan juga ditentukan oleh institusi lokal, baik institusi resmi maupun tidak resmi. Singkat cerita, konteks ikut menentukan proses. Formalisme dalam pemikiran dan praktek pemerintahan inilah yang menjadikan konteks lokal tidak dihiraukan, dan pada saat yang sama diabaikan kemampuannya membajak agenda dan istilah resmi yang diberlakukan. Keengganan untuk mengakui keberadaan dan daya bajaknya ini pada gilirannya justru membuat kepura-puraan (urgensi untuk konsisten secara formal) semakin menjadi-jadi.15

4. Penutup

Tulisan disajikan lebih untuk mengtuk hati para kita yang tidak mudah merelakan asimetrisme menjadi acuan dalam penataan pemerintahan. Dalam tulisan ini, asimetrisme dihadirkan sebagai cara mendekati persoalan, yakni cara yang kontekstual. Dari pendekatan ini, jalannya pemerintahan sangat tergantung dari kemampuan kita menunggangi konteks. Oleh karena itu, pemetaan konteks yang hendak direspon dengan formula desentralisasi adalah keniscayaan.

Tidak perlu dipungkiri bahwa, di negeri serumit Indonesia ini, asimetrisme bisa hadir sebagai semacam kotak pandora. Sekali dilepas, tidak dapat lagi dikendalikan. Kesediaan untuk menghormati kekhusuan akan diikuti dengan tuntutan untuk memperhatikan kekhususan yang lebih detail lagi. Pada akhirnya, asimetrisme bermuara pada situasi yang ungovernable. Oleh karena itu, yang penting untuk disepakati adalah kekhasan-kekhasan yang bersifat vital.

Asimetrisme bermuasa pada fragmentasi. Oleh karena itu, keputusan untuk menerima asimetrisme sebagai kaidah harus dibarengi dengan pengembangan nasionalisme. Ada nasionalisme lokal dan ada pula nasionalisme nasional. Nasionalisme lokal harus ditransformasi menjadi basis aktualisasi nasionalisme nasional. Eksponen lokal perlu dieskpose dan didorong menjadi pemain berskala internasional. Di atas itu semua, asimetrisme dalam desentralisasi mensyaratkan kesediaan untuk belajar. Tantangan terbesar desentralisasi di Indonesia, dengan demikian,

Mengingat dirinya tidak bisa keluar dari tradisi monarkhi bahwa pengisian jabatan dilakukan berdasarkan keturunan (bukan pemilihan) maka penjabaran faham demokrasi dipopulerkan dengan istilah ‘tahta untuk rakyat’ bukan dengan prinsip pemilihan pemimpin secara bebas dengan kaidah one man, one vote, one value.

15

14

Page 15: Asimetri desentralisasi libre

adalah mentransformasikan desentralisasi yang authority-minded menjadi desentralisasi yang melibatkan saling umpan dan saling belajar antara eksponen nasional dengan eksponen lokal. Dengan ini, niscaya tarik ulur desentralisasi-sentralisasi tidak bergulir terus.

15