asean infrastructure fund (aif) inisiatif lembaga ... - inisiatif pembiayaan... · krisis ekonomi...
TRANSCRIPT
1
ASEAN Infrastructure Fund (AIF)
Inisiatif Lembaga Pembiayaan Infrastruktur Untuk Kawasan ASEAN1
Oleh: Novijan Janis2
A. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda negara-negara ASEAN pada tahun 1997 menyebabkan
terhentinya pembangunan infrastruktur. Bahkan kemampuan untuk, memelihara dan
merawat infrastruktur yang sudah ada pun semakin menurun. Hal ini terjadi karena proporsi
belanja pemerintah untuk infrastruktur baik untuk membangun infrastruktur baru maupun
untuk memelihara infrastruktur yang ada dikurangi. Selanjutnya pengurangan anggaran
dimaksud dialokasikan kepada upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,
memperbaiki indikator ekonomi makro secara keseluruhan, mencegah pelarian modal,
mengurangi hutang luar negeri dan hal-hal lainnya. Pada akhirnya krisis dimaksud
berdampak pada terganggunya mobilitas ekonomi dan meningkatnya biaya sosial yang
cukup besar bagi masyarakat ASEAN karena kondisi infrastruktur yang buruk.
Defisit infrastruktur yang dialami oleh negara-negara ASEAN dapat terlihat dari Tabel 1
yang menjelaskan tentang perbandingan kuantitas infrastruktur berdasarkan kawasan.
Dalam tabel dimaksud dapat terlihat bahwa pada tahun 2008, sepuluh (10) tahun setelah
ASEAN berhasil melalui masa krisis di tahun 1997, ternyata kondisi infrastrukturnya masih
tertinggal dibandingkan dengan kawasan Asia, OECD dan Amerika Latin. Para pemimpin di
negara-negara ASEAN mengartikan tabel dimaksud sebagai sebuah kebutuhan untuk
memperbaiki kualitas dan kuantitas infrastruktur di kawasan ASEAN. Secara umum tabel
dimaksud menunjukkan bahwa demand atas infrastruktur di kawasan ASEAN masih besar.
Tabel 1. Perbandingan Cakupan Infrastruktur Antar Kawasan (2008)
Kawasan
Jalan (km)
Rel Kereta (km)
Telepon (jumlah)
Elektrifikasi Air Bersih
(dalam 1000 orang) (%)
ASEAN 10,51 0,27 3,53 71,69 86,39
Asia 12,83 0,53 3,47 77,71 87,72
OECD 211,68 5,21 13,87 99,80 99,63 Amerika Latin 14,32 2,48 6,11 92,70 91,37 Afrika n.a. 0,95 1,42 28,50 58,36
1 Artikel ini merupakan modifikasi dari laporan kajian Tim Pendukung Negosiasi Pembentukan
ASEAN Infrastructure Fund (2011) dan Pendukung Pendirian ASEAN Infrastructure Fund (AIF) (2012), PPRF-BKF Kementerian Keuangan. Artikel telah dimuat dalam buku “Bunga Rampai Kebijakan Pengelolaan Risiko Fiskal: Kumpulan Hasil Kajian Tahun 2011 – 2012”.
2 Penulis adalah Kepala Subbidang Risiko Ekonomi Keuangan dan Sosial pada Pusat Pengelolaan
Risiko Fiskal BKF dan merangkap sebagai Peneliti Muda BKF.
2
Sumber: Presentasi ADB.
Selanjutnya, pada saat yang sama sebenarnya negara-negara ASEAN mempunyai
kelebihan atas cadangan devisanya. Krisis ASEAN di tahun 1997 mendorong pengelolaan
fiskal dan moneter yang ketat sehingga secara perlahan negara-negara ASEAN mengalami
pemulihan ekonomi dan berdampak kepada peningkatan cadangan devisa. Kondisi
cadangan devisa dimaksud dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Pada tabel dimaksud terlihat
bahwa beberapa negara ASEAN seperti Singapura dan Malaysia memiliki cadangan devisa
lebih besar secara nominal dari Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini menunjukkan potensi
dana yang ada di kawasan ASEAN. Ada pun terhadap perbedaan cadangan devisa antara
ASEAN (baik secara individu maupun secara kolektif) dan Jepang yang sangat besar masih
dapat dipahami karena Jepang merupakan negara produsen besar di dunia.
Tabel 2. Cadangan Devisa Beberapa Negara Maju dan ASEAN-6 (dalam USD miliar)
Negara 2003 2004 2005 2006 2007
Amerika Serikat 74,9 75,9 54,1 54,9 59,5
Inggris 35,3 39,9 38,5 40,7 49
Jepang 663,3 833,9 834,3 879,7 952,8
ASEAN-6
Indonesia 35 35 33,1 41,1 55
Philipina 13,7 13,1 15,9 20 30,2
Malaysia 43,8 65,9 69,9 82,1 101,1
Singapura 96,2 112,6 116,2 136,3 167,7
Thailand 41,1 48,7 50,7 65,3 90,3
Vietnam 6,2 7 9,1 13,4 23,6
Sumber: Bank Indonesia, diolah.
Secara umum, kedua hal dimaksud yaitu kondisi buruknya infrastruktur dan kelebihan
cadangan devisa di kawasan ASEAN secara kolektif menjadi motivasi yang kuat atas
pembentukan sebuah lembaga pembiayaan infrastruktur di kawasan ASEAN. Pada awalnya
negara-negara ASEAN membahas suatu mekanisme pembiayaan infrastruktur dengan
memanfaatkan cadangan devisa yang ada. Setelah melalui pembahasan tahun jamak
secara berkesinambungan akhirnya negara-negara ASEAN memutuskan untuk membentuk
suatu lembaga pembiayaan infrastruktur dengan asistensi dari sebuah lembaga multilateral.
Dengan mempertimbangkan kedekatan geografis dan hubungan kerja maka negara-negara
ASEAN sepakat untuk meminta asistensi dari Asian Development Bank (ADB) atas
pembentukan lembaga pembiayaan infrastruktur dimaksud.
3
B. Proses Inisiatif dan Pembentukan AIF
Inisiatif atas pembentukan sebuah lembaga pembiayaan infrastruktur di kawasan
ASEAN muncul pada saat membahas perkembangan kondisi ekonomi kawasan ASEAN
baik secara individu suatu negara anggota maupun secara kolektif. Pembahasan dimaksud
dilakukan pada forum Kementerian Keuangan negara-negara ASEAN. Isu tentang
pembentukan lembaga pembiayaan infrastruktur dimaksud dibahas secara
berkesinambungan baik pada level teknis, level deputi maupun level menteri.
Inisiatif pembentukan ASEAN Infrastructure Fund (AIF) mulai muncul pada pertemuan
Menteri Keuangan ASEAN (ASEAN Finance Ministers’ Meeting / AFMM) ke-10 di Kamboja
yaitu pada tahun 2006. Inisiatif ini muncul atas prakarsa dari Malaysia dengan
mempertimbangkan adanya kelebihan cadangan devisa pada negara-negara ASEAN dan
kebutuhan akan ketersediaan infrastruktur yang memadai untuk memacu pertumbuhan
ekonomi di kawasan ASEAN. Pada pembahasan awal disepakati bahwa kelebihan dana
cadangan devisa negara-negara ASEAN akan digunakan untuk pembiayaan infrastruktur di
ASEAN. Sebagai tindak lanjut dari pembahasan dimaksud, dibentuklah ASEAN
Infrastructure Financing Mechanism Task Force (AIFM Task Force). Sesuai kesepakatan
bersama, Task Force dimaksud diketuai oleh Malaysia sebagai inisiator pembentukan
sebuah lembaga pembiayaan infrastruktur untuk ASEAN.
Secara konseptual, tujuan pembentukan AIFM adalah untuk (i) meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan ASEAN melalui percepatan pembangunan
infrastruktur, (ii) memanfaatkan kelebihan cadangan devisa ASEAN untuk memperkuat
ketahanan keuangan negara-negara ASEAN, (iii) meningkatkan peran pasar modal di
negara-negara ASEAN dalam pembiayaan infrastruktur, (iv) memperkuat peringkat (rating)
dari surat berharga ASEAN, dan (v) memperkuat perdagangan dan investasi diantara
negara-negara ASEAN (Abidin, 2010, hal 26). Adapun fokus kerja dari AIFM adalah (i)
meningkatkan praktik yang terbaik dalam pembiayaan infrastruktur, (ii) meninjau strategi
fasilitasi atas penggunaan dana asuransi dan produk lindung nilai (hedging) mata uang
untuk jangka panjang, dan (iii) meningkatkan peran dan kapasitas sektor swasta untuk
pembiayaan dan mitigasi risiko pada proyek infrastruktur (Bhattacharyay, 2009, hal 18).
Sebagai Ketua AIFM Task Force, Malaysia memimpin pertemuan tingkat teknis (High-
Level Task Force Meeting) dan tingkat deputi (Deputy Meeting) yang khusus membahas
tentang pemanfaat cadangan devisa ASEAN untuk pembangunan infrastruktur. Fokus
pembahasan mencakup penyusunan kerangka dan mekanisme pemanfaatan dana
dimaksud untuk membiayai infrastruktur di kawasan ASEAN. Selain itu Malaysia juga
mengadakan beberapa seminar dan konferensi untuk mendapatkan masukan dari para
4
akademisi dan peneliti baik dari Kawasan ASEAN maupun dari luar serta lembaga
multilateral seperti Bank Dunia dan ADB.
Pada AFMM kesebelas di Thailand (tahun 2007), para Menteri Keuangan ASEAN lebih
fokus kepada pembahasan tentang penyusunan jadwal strategis dari pembentukan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) sedangkan pembahasan
tentang pembiayaan infrastruktur untuk kawasan ASEAN diserahkan kepada AIFM Task
Force. Namun demikian, para Menteri Keuangan ASEAN masih sempat membahas secara
khusus atas proposal yang diajukan oleh AIFM Task Force tentang pembentukan lembaga
pembiayaan infrastruktur yang diusulkan bernama ASEAN Infrastructure Fund (AIF). Dalam
pembahasan dimaksud, para Menteri Keuangan ASEAN sepakat untuk mengesahkan
proposal tersebut dan meminta AIFM Task Force untuk melakukan kajian lebih lanjut
tentang strategi atau upaya-upaya untuk menarik investor agar terlibat dalam pembangunan
infrastruktur di Kawasan ASEAN dan tahapan pembentukan ASEAN Infrastructure Fund
(AIF).
Dalam periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, AIFM Task Force membuat
kajian-kajian tentang Kerangka, Mekanisme dan Instrumen Pembiayaan Infrastruktur untuk
Kawasan ASEAN. Selanjutnya pada AFMM ke-13 di Thailand yaitu pada tahun 2009, para
Menteri Keuangan ASEAN sepakat untuk memberikan penugasan kepada ADB untuk
menyusun konsep dan struktur ASEAN Infrastructure Fund (AIF). Sebagai tindak lanjut dari
penugasan dimaksud, ADB mengajukan proposal tentang konsep dan struktur AIF pada
AFMM ke-15 di Indonesia pada tahun 2011. Proposal dimaksud disusun oleh ADB bersama-
sama dengan perwakilan teknis dari setiap negara ASEAN. Secara umum proposal yang
diajukan mencakup equity capital, governance, project pipeline, financial projections, reserve
eligibility, AIF domicile dan timeline. Penjelasan dari proposal dimaksud dapat dilihat pada
Kotak 1 sebagai berikut.
Kotak 1. Proposal ADB tentang ASEAN Infrastructure Fund
a. Equity capital
Penyertaan modal AIF berasal dari ASEAN dan ADB sebesar USD485.2 juta.
b. Governance
Pengambilan keputusan tertinggi dalam AIF akan dilakukan oleh AIF Board of Directors (BoD) yang terdiri dari para penyetor modal AIF. BoD akan dipimpin oleh seorang Chairperson. BoD bertanggungjawab atas overall oversight AIF termasuk : (i) pengembangan AIF ke depan, (ii) pemberian persetujuan proyek, dan (iii) perputaran project pipeline.
Adapun tugas Chairperson adalah : (i) melakukan engagement dengan pihak luar, (ii) mengkoordinasikan fungsi manajemen, dan (iii) melakukan dialog dengan stakeholders.
5
Sementara untuk urusan administrasi termasuk manajemen keuangan dan perbendaharaan akan dimandatkan kepada ADB.
Proses pengambilan keputusan dan penyelesaian dispute akan dilakukan berdasarkan isu (issue based).
Untuk isu-isu yang bersifat fundamental, keputusan dilakukan berdasarkan konsensus diantara negara-negara ASEAN dengan jumlah suara 100%. Angka tersebut merupakan 69% dari total suara mengingat ADB mempunyai hak suara sebesar 31%. Namun, jika konsensus tidak dapat dilakukan maka langkah penyelesaian yang pertama adalah pengambilan keputusan berdasarkan super majority (67% dari total suara ASEAN). Jika langkah tersebut tetap tidak berhasil maka isu tersebut akan diteruskan kepada Deputi dan Menteri Keuangan ASEAN untuk memperoleh penyelesaian.
Sedangkan untuk isu-isu operasional, akan diputuskan melalui simple majority (51% dari total suara pemegang saham).
Negara ASEAN yang menjadi pemodal AIF akan membayar biaya administrasi tahunan (annual fee) sebesar 40 bps berdasarkan besarnya nilai asset untuk. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) yang mana ADB hanya menetapkan sebesar 10 bps. Besarnya annual fee tersebut karena ADB harus melakukan pekerjaan tambahan yaitu mempersiapkan proyek .
c. Project pipeline
Project pipeline AIF disusun berdasarkan kriteria (i) proyek didukung penuh oleh negara peminjam, (ii) telah dilakukan analisis teknis, ekonomis, dan keuangan, (iii) proyek tersebut mendukung kerja sama regional dan pengembangan sektor swasta, dan (iv) penetapan country limit (30%), sector limit (40%), single project exposure limit on a 3 year rolling basis (USD75 juta), dan pricing rate sebesar LIBOR+90 bps apabila pinjaman proyek tersebut blended dengan fasiltas ADB dengan perbandingan 30:70.
2011
Transport Davao-Mass Rapid Transit PHI $40
Energy
500 KV Power Transmission Project - PFR1
VIE $75
O Mon 4 Combined Cycle Project VIE $75
Nam Ngum 3 Hydropower Project * / ** LAO $55
Java-Bali Interconnection Project INO $55
2012
Transport
GMS Ben Luc-Long Thanh Expressway - PFR2 *
VIE $75
Surabaya Commuter System (MFF$500m) - PFR1
INO $75
Energy Geothermal Power Development Program
INO $75
Water Solid Waste Management Project PHI $75
2013
Transport
Railway Modernization Project THA $75
Road Sector Institutional Development - PFR3
PHI $45
Regional Roads Development PFR2 * INO $30
Energy
Power Transmission Investment Program - PFR2
VIE $75
Nam Ngum 3 Hydropower Project-PFR2 * / **
LAO $40
6
Melaka-Pekan Baru Power Interconnection * / ***
INO $35
d. Financial Projections
ADB menyusun proyeksi pembiayaan AIF yang mendasarkan pada (i) leverage ratio yang menjamin diraihnya AA rating; (ii) equity capital; dan (iii) ketercukupan dana tahunan untuk menjamin likuiditas. Selanjutnya ADB juga mempertimbangkan (i) komposisi loan and commitment, (ii) loan disbursement, (iii) borrowing cost, (iv) lending spread, (v) liquidity, (vi) investment return, dan (vii) US Dollar LIBOR rate.
Dalam perhitungan ADB, akan terjadi potential loss sebesar 2.5% pada tahun 2012 dari non-sovereign loans dan RoE rata-rata selama periode 2011-2025 sebesar 3.5%.
e. Reserve eligibility
AIF akan mencari dana untuk pembiayaan infrastruktur pada pasar uang dengan menerbitkan obligasi dan hybrid capital sehingga kualitas reserve eligibility menjadi salah satu pertimbangan AIF.
Berdasarkan evaluasi oleh IMF disebutkan bahwa desain dan struktur AIF telah memenuhi persyaratan IMF reserve eligibility yang meliputi antara lain marketability/liquidity, credit rating, convertibility of currency, dan claims on non-residents. Business model AIF juga dapat memberikan penilaian kuat untuk memperoleh investment grade rating (AA rating).
Obligasi dimaksud diharapkan dapat dibeli oleh bank sentral ASEAN dengan memanfaatkan kelebihan cadangan devisa yang dipunyai. Namun, dengan jumlah total equity yang kecil maka target untuk menerbitkan obligasi senilai USD550 juta agar dapat memenuhi reserve eligibility baru dapat dicapai setelah 10 tahun masa operasional AIF.
f. AIF Domicile
ADB mengusulkan beberapa persyaratan sebagai lokasi (domicile) AIF antara lain (i) mempunyai sovereign rating AA untuk menjamin obiligasi yang eligible, (ii) mempunyai ketentuan perpajakan yang minimum, (ii) mempunyai peraturan yang terprediksi, transparan, dan accessible, dan (iv) mempunyai ketercukupan cadangan devisa.
Malaysia sebagai Chairman HLTF-AIF mengajukan diri sebagai domicile country untuk AIF. Untuk mendukung usulannya tersebut Malaysia akan mensirkulasikan proposalnya kepada negara-negara ASEAN. Keputusan mengenai country domicile AIF akan dilakukan pada 15th AFMM Bali.
g. Timeline
Target operasional AIF adalah pada tahun 2011.
Sumber : Asian Development Bank
C. Rasionalitas Kesertaan Indonesia dalam AIF
Secara umum, Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Kementerian Keuangan Indonesia)
mendukung dan berperan aktif dalam pembahasan tentang pembentukan lembaga
pembiayaan infrastruktur untuk kawasan ASEAN. Sikap dan peran dimaksud dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia secara konsisten sejak awal pembahasan sampai dengan
7
pembentukan lembaga pembiayaan infrastruktur untuk kawasan ASEAN yang diberi nama
dengan ASEAN Infrastructure Fund (AIF). Adapun kesertaan Pemerintah Indonesia dalam
pembahasan untuk pembentukan AIF selama periode tahun 2009-2011 adalah
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Nasional di Masa Depan
Sejak tahun 2008, Bank Dunia sudah tidak membolehkan Indonesia untuk mendapatkan
pinjaman lunak dengan pertimbangan sudah menjadi negara berpenghasilan menengah.
Sehingga Indonesia akan mencari dana dari pasar modal dunia untuk melakukan
pembangunan yang tentunya akan menggunakan tingkat bunga pasar.
Pada saat yang sama, dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi 7%,
Pemerintah menyusun rencana pembangunan infrastruktur selama periode tahun 2009
s.d. 2014. Perencanaan ini membutuhkan jumlah dana yang sangat besar yaitu sebesar
USD91,7 miliar. Dari total yang dibutuhkan tersebut, USD51 miliar diperoleh dari APBN
dan sisanya USD40,7 miliar diharapkan dapat diperoleh dari kontribusi swasta nasional
dan internasional (RPJMN Bappenas, 2010).
Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dimaksud khususnya yang berasal dari swasta
Pemerintah telah mengupayakan penggunaan pola Kerjasama Pemerintah dan Swasta
(KPS) atau Public Private Partnership (PPP) sejak tahun 2005. Namun sampai dengan
tahun 2008 belum ada tanda-tanda keberhasilan pola dimaksud dalam menyediakan
infrastruktur nasional. Mengingat besarnya kebutuhan pendanaan untuk pembangunan
infrastruktur nasional, terbatasnya dana Pemerintah serta belum bersedianya investor
untuk masuk dalam pembiayaan infrastruktur di dalam negeri, maka pembentukan AIF
dapat menjadi sumber pembiayaan alternatif bagi menambah pendanaan infrastruktur
(infrastructure financing) dan sebagai sarana menjaring investor dari luar negeri.
2. Meningkatkan Kapasitas Pembiayaan Infrastruktur
Sesuai dengan komitmen bersama, Indonesia akan menempatkan kontribusi dalam
bentuk equity sebesar USD120 juta, yang dapat berasal dari pinjaman atau penerbitan
surat utang negara. Dengan asumsi USD1 equivalen dengan Rp.9.000, maka
Pemerintah Indonesia menempatkan dana sebesar Rp.1,08 triliun. Berdasarkan Aide
Memoire yang disusun ADB dari hasil pertemuan the ASEAN High Level Task Force
(HLTF) tentang Pembentukan AIF pada bulan Juni 2011, Indonesia akan mendapatkan
pinjaman sebesar USD190 juta atau senilai dengan Rp. 1,71 triliun pada tahap pertama
dari pembiayaan infrastruktur. Dengan asumsi Indonesia dapat mempertahankan jumlah
pinjaman dimaksud pada tahap berikut dari pembiayaan infrastruktur maka dengan
8
kontribusi sebesar USD120 juta Indonesia dapat menarik dana untuk pembiayaan
infrastruktur yang lebih besar.
3. Dana Biaya yang Lebih Kompetitif
Sebagaimana skema ADB yang diajukan pada ASEAN HLTF tentang Pembahasan AIF
ditahun 2011, negara anggota ASEAN akan mendapatkan dana dari AIF dengan lending
rate sebesar LIBOR-US0012M + 90bsp. Apabila dibandingkan dengan yield SUN 30
tahun, sebagai representasi cost of debt, LIBOR-US0012M + 90bsp jauh dibawah yield
SUN dimaksud. Perbandingan ini menunjukan bahwa cost of debt dari AIF akan lebih
murah bila dibandingkan jika Pemerintah menerbitkan SUN untuk pembiayaan
infrastruktur.
Grafik 1. Perbandingan Biaya Dana AIF dan APBN
Sumber: Bloomberg, 2011.
4. Peningkatan Global Competitiveness Index (GCI)
Secara umum, penempatan investasi pada suatu negara oleh investor sangat
dipengaruhi oleh risiko dan tingkat pengembalian yang terkandung dalam negara
tersebut. Salah satu faktor risiko investasi adalah kelayakan ketersediaan infrastruktur,
di mana faktor ketidaklayakan infrastruktur akan mempengaruhi kesinambungan usaha.
World Economic Forum (WEF) (2010) dalam laporan GCI menempatkan Indonesia pada
posisi ke-44, naik 10 tingkat dari peringkat tahun sebelumnya yaitu 54. Namun,
peningkatan ini tidak menghilangkan faktor kelayakan infrastruktur sebagai faktor
permasalahan yang harus dihadapi oleh investor asing ketika menanamkan modalnya di
Indonesia.
Pembentukan IAF sebagai katalis perbaikan infrastruktur di Indonesia dapat
meningkatkan Indonesia ke peringkat yang lebih tinggi di GCI. Perbaikan peringkat
secara otomatis dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap risiko investasi di
0
2
4
6
8
10
12
1
13
25
37
49
61
73
85
97
10
9
12
1
13
3
14
5
15
7
16
9
18
1
19
3
20
5
21
7
22
9
24
1
25
3
26
5
27
7
28
9
30
1
31
3
32
5
33
7
34
9
36
1
LIBOR - US0012M IDN BOND 30Y
9
Indonesia, sehingga pada akhirnya investor tertarik berinvestasi ke Indonesia baik
secara langsung maupun tidak langsung atau melalui lembaga keuangan.
Grafik 2. Daya Saing Indonesia 2010-2011
Sumber : WEF, Global Competitiveness Index 2010-2011
D. Kelembagaan ASEAN Infrastructure Fund
Dalam pembahasan awal pembentukan AIF, disepakati oleh negara ASEAN dan ADB
akan membentuk suatu Special Purpose Vehicle (SPV) yang akan dikelola oleh ADB.
Melalui SPV dimaksud, modal yang telah terbentuk kemudian akan dilipat-gandakan
(leverage) dengan cara menerbitkan obligasi dan hybrid capital. Selanjutnya, apabila SPV
sudah mempunyai tagihan atas proyek-proyek infrastruktur yang dibiayainya, tagihan
dimaksud akan disekuritisasi sehingga dapat meningkatkan likuiditas SPV dan juga
meningkatkan pula kapasitas pinjamannya. Dengan demikian, SPV dimaksud akan
melakukan mobilisasi dana dengan tingkat yang lebih tinggi.
Secara konsep, SPV dimaksud yang kemudian diberi nama AIF atau ASEAN
Infrastructure Fund merupakan suatu pendanaan bersama (pooling fund) yang dilakukan
oleh negara-negara ASEAN dan Asian Development Bank (ADB) dengan fokus kerja pada
pengembangan infrastruktur fisik di kawasan ASEAN. Persetujuan dari Shareholders’
Agreement dari AIF ditandatangani oleh para Menteri Keuangan ASEAN dan Presiden ADB
pada saat dilangsungkannya ASEAN Finance Ministers’ Meeting (AFMM), tanggal 24
September 2011 di Washington DC.
Dalam implementasinya, AIF dibentuk sebagai sebuah korporasi yang berbadan hukum
negara Malaysia. Secara legal formal AIF dibentuk di Labuan, Malaysia pada tanggal 24
April 2012 berdasarkan Labuan Companies Act (Undang-Undang Korporasi Labuan) 1990.
Pemilik / Shareholders dari AIF adalah sembilan (9) negara ASEAN dan Asian Development
10
Bank (ADB). Kesembilan negara ASEAN dimaksud adalah Indonesia, Malaysia, Brunei
Darussalam, Singapura, Thailand, Filipina, Vietnam, Laos, dan Kamboja.
Dalam pembahasan domisili dari AIF, ADB mengajukan beberapa persyaratan
sebagaimana tertera dalam kotak 1 khususnya pada huruf f (AIF Domicile). Selanjutnya
Malaysia mengajukan diri untuk menjadi domisili dari AIF. Dalam beberapa pembahasan
tentang domisili, pada akhirnya disepakati bahwa AIF akan didirikan di Malaysia. Berkenaan
dengan dipilihnya Malaysia sebagai domisili AIF adalah dengan mempertimbangkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Malaysia memiliki sovereign rating pada investment grade yang lebih baik dibandingkan
dengan negara ASEAN lainnya kecuali Singapura. Hal ini akan berdampak juga kepada
rating dari AIF. Perbandingan sovereign rating negara ASEAN dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 3. Sovereign Rating Negara ASEAN
No. Member countries Moody’s S&P Fitch
1 Brunei Darussalam NR NR NR
2 Cambodia B2 NR NR
3 Indonesia Ba1 BB+ BB+
4 Laos - - -
5 Malaysia A3 A+ A
6 Myanmar - - -
7 Philippines Ba3 BB+ BB+
8 Singapore Aaa NR AAA
9 Thailand Baa1 A- A-
10 VietNam B1 BB B+
Sumber: Bloomberg, 2011.
2. Berkaca kepada keberadaan ASEAN Sekretariat di Jakarta, dimana Pemerintah
Indonesia belum dapat memberikan pembebasan pajak secara keseluruhan. Di sisi lain
Pemerintah Malaysia memberikan janji dapat memberikan pembebasan segala pajak
secara keseluruhan pada AIF baik pada institusi maupun SDM yang berada didalamnya.
Pembebasan pajak ini menjadi concern dari ADB selaku administratur AIF karena hal ini
akan dapat mengurangi biaya operasional AIF.
3. Malaysia memiliki kecukupan cadangan devisa yang lebih baik daripada Indonesia.
Dalam pandangan ADB, kecukupan cadangan devisa ini akan berpengaruh kepada
daya serap obligasi yang akan diterbitkan oleh AIF dimana negara ASEAN yang menjadi
tuan rumah AIF diharapkan dapat membeli obligasi dimaksud dengan menggunakan
11
cadangan devisa tersebut. Kondisi cadangan devisa beberapa negara ASEAN terlihat
pada tabel berikut dibawah ini.
Tabel 4. Cadangan Devisa ASEAN-6 (dalam USD miliar)
Negara 2007 2008 2009 2010
Indonesia 55,0 49,6 63,6 96,2
Filipina 30,2 32,7 40,0 62,4
Malaysia 101,1 91,0 95,6 101,7
Singapura 167,7 174,2 189,6 225,8
Thailand 90,3 108,7 135,5 165,7
Vietnam 23,6 23,8 16,4 9,0
Sumber : Bank Indonesia, diolah.
Setelah terbentuknya AIF dan domisili pembentukannya di Malaysia, Pemerintah
Malaysia merealisasikan janji yang diberikan selama negosiasi pembentukan AIF dengan
memberikan beberapa fasilitas berikut:
1. AIF dibebaskan dari segala biaya pembentukan korporasi yang berbadan hukum
Labuan – Malaysia.
2. AIF dibebaskan dari segala macam kewajiban untuk memperoleh izin sebagai lembaga
keuangan berdasarkan Labuan Financial Services and Securities Act 2010 atau Labuan
Islamic Financial Services and Securities Act 2010.
3. Dalam menyusun pembukuan dan laporan keuangan, AIF diperkenankan untuk
menggunakan United States Generally Accepted Accounting Principles (U.S. GAAP)
dan tidak menggunakan standar akuntansi yang berlaku di Malaysia, sehingga laporan
keuangan AIF akan menggunakan mata uang Amerika Dolar dan bukan Malaysia Dolar.
4. Dewan Direksi AIF dibebaskan dari persyaratan kependudukan menurut hukum
Malaysia (seperti kewajiban memiliki kartu identitas Malaysia).
5. AIF dibebaskan dari segala bentuk kewajiban membayar pajak pada saat ini maupun
dimasa yang akan datang.
6. AIF dibebaskan dari segala bentuk pembatasan atas penggunaan mata uang asing.
7. Sebagai lembaga pembiayaan, AIF dibebaskan dari persyaratan untuk memperoleh izin
/ lisensi sebagai lembaga keuangan yang memberikan jasa kredit.
Sebagaimana lazimnya korporasi di Malaysia, maka untuk AIF disusunlah
Memorandum of Association (MoA) dan Articles of Association (AoA) yang merupakan
anggaran dasar bagi korporasi. Secara umum MoA menjelaskan tentang nama, alamat
kantor, tujuan pembentukan dan modal perusahaan. Adapun AoA kurang lebihnya
menjelaskan tentang pasal-pasal yang mengatur saham, pemegang saham, pertemuan-
12
pertemuan pemegang saham, dewan direksi, pembukuan, adiministrasi keuangan, deviden,
cadangan, peningkatan dan pengurangan modal.
Setiap negara ASEAN yang menjadi pemilik (shareholders) dari AIF akan menunjuk
wakilnya untuk menjadi Direktur AIF yang dapat diganti sewaktu-waktu tanpa persetujuan
dari shareholders lainnya. Oleh karena itu, AIF memiliki sepuluh (10) Direktur. Wakil atau
Direktur AIF yang berasal dari ADB ditunjuk berdasarkan jabatan (ex officio) yaitu Deputi
Direktur Jenderal dari Departemen Asia Tenggara. Diantara para Direktur akan dipilih
seorang Direktur untuk merangkap menjadi Ketua Dewan Direktur / Direksi. Dalam hal ini
Ketua Dewan Direksi (Chairman) akan memimpin setiap pertemuan Dewan Direksi. Namun
demikian pengambilan keputusan akan memakai prinsip kolegial dan bukan hanya
diputuskan semata-mata oleh Ketua Dewan Direksi.
Secara konsep, masa kepemimpinan Ketua Dewan Direksi adalah dua (2) tahun dan
apabila belum ada Ketua yang terpilih maka pada saat dilakukan rapat dewan direksi akan
dipilih ketua rapat dewan direksi yang berlaku hanya selama rapat berlangsung. Dewan
Direksi dan Ketua tidak akan mendapat remunerasi dari AIF. Selanjutnya AIF tidak akan
menanggung biaya perjalanan, akomodasi dan semua biaya lainnya selama aktivitas AIF
yang melibatkan Dewan Direksi termasuk juga rapat dewan direksi.
Dalam implementasinya, pemilihan Ketua Dewan Direksi baru dapat dilakukan pada
pertemuan Dewan Direksi kedua yaitu pada bulan Juni 2012. Pada pertemuan dimaksud,
secara konsensus ditetapkan masa kepemimpinan AIF untuk periode tahun 2012 sampai
dengan tahun 2017. Periode dimaksud dibagi menjadi tiga periode kepemimpinan yaitu
periode Juni 2012 – Mei 2013, periode Mei 2013 – Mei 2015 dan periode Mei 2015 – Mei
2017.
Periode pertama yaitu antara Juni 2012 sampai dengan Mei 2013 kepemimpinan
Dewan Direksi AIF dipegang oleh Malaysia dan Indonesia secara bersama-sama. Malaysia
akan menjadi Chairman AIF dan Indonesia menjadi Co-Chairman AIF. Pemilihan Malaysia
menjadi Chairman AIF dengan mempertimbangkan posisi kantor AIF di Malaysia dan saat
itu sedang tahap pendirian dan konsolidasi kelembagaan AIF. Sehingga tugas utama
Chairman adalah menyelesaikan tahap pendirian AIF. Sedangkan pemilihan Indonesia
sebagai Co-Chairman dengan pertimbangan Indonesia sebagai Negara ASEAN pemegang
saham terbesar kedua untuk AIF. Dalam hal ini tugas utama Co-Chairman adalah fokus
kepada penyusunan project pipeline dari AIF. Untuk periode kedua yaitu antar bulan Mei
2013 sampai dengan bulan Mei 2015, Indonesia menjadi Chairman AIF secara penuh.
Untuk periode ketiga (Mei 2015 s.d. Mei 2017) kepemimpinan AIF akan dipegang oleh
Malaysia secara penuh.
13
Dalam hal operasional, ADB ditunjuk menjadi administrator dari AIF, sehingga semua
proyek yang akan dibiayai oleh AIF harus memenuhi kriteria dari kebijakan dan prosedur
yang berlaku pada ADB. Selain itu, sebagai administrator, AIF akan mengelola keuangan
operasional dalam hal biaya operasional untuk penyusunan daftar proyek (project pipeline),
pemberian pinjaman, pemantauan proyek, dan investasi dana yang belum digunakan.
Berkenaan dengan kerjasama antara AIF dengan institusi multilateral seperti Credit
Guarantee Investment Facility (CGIF), ADB-Asia Infrastructure Financing Initiative (AIFI) dan
institusi lainnya, maka ADB sebagai administrator akan berperan sebagai wakil AIF.
Berkenaan dengan penyusunan laporan keuangan dari AIF, ADB sebagai administrator,
akan mengelola pembukuan dan pelaporan keuangan AIF. Sesuai dengan tujuan dari
penunjukan ADB sebagai administratur yaitu untuk memanfaatkan keahlian (expertise) dan
pengalaman ADB dalam mengelola lembaga multilateral maka ADB menugaskan bagian
dari Controller’s Department (CTL) untuk mempersiapkan sistem pembukuan dan pelaporan
keuangan AIF. Hal ini berdampak pada kesamaan antara semua prosedur dan proses
pencatatan serta pelaporan AIF dengan yang dimiliki oleh ADB. Selanjutnya untuk menjaga
kredibilitas pembukuan dan pelaporan keuangan dari AIF, ADB akan bekerjasama dengan
lembaga audit internasional untuk melakukan pemeriksaan keuangan AIF pada setiap tahun
pembukuan.
ADB sebagai administratur AIF juga menugaskan bagian Treasury Department dari
ADB untuk turut mengelola manajemen likuiditas AIF. Secara umum pengelolaan likuiditas
AIF dilakukan dengan berpedoman kepada maksimalisasi imbal jasa atas aktivitas investasi
dari modal AIF dan minimalisasi dari volatilitas hasil investasi dimaksud. Selanjutnya
Departemen Keuangan dari ADB juga menyusun strategi investasi AIF dengan
mempertimbangkan aspek likuiditas. Implementasi dari strategi investasi dimaksud
dilaporkan secara berkala.
E. Kebijakan Proyek yang Dibiayai oleh AIF
Terkait dengan penyusunan daftar proyek indikatif (project pipeline) yang akan dibiayai
oleh AIF, ADB sebagai administratur menyusun kebijakan proyek AIF yang mencakup
kriteria daftar proyek indikatif dan proses (tahapan) pelaksanaan pembangunan proyek
dimaksud. Penyusunan kebijakan proyek dimaksud dilakukan dengan mempertimbangkan
kapasitas pembiayaan AIF yang masih sangat terbatas dan beragamnya pemilik
(shareholders) dari AIF.
14
Penyusunan project pipeline yang akan dibiayai oleh AIF mengacu kepada standar
yang ditetapkan oleh ADB sebagai administratur dari AIF. ADB dan negara-negara ASEAN
menyepakati kriteria untuk menyusun daftar proyek yang akan dibiayai oleh AIF. Kriteria
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Proyek dimiliki dan didukung secara utuh oleh negara peminjam,
2. ADB telah melakukan analisis teknis, ekonomis, dan keuangan atas proyek dimaksud,
3. Proyek tersebut mendukung kerja sama kawasan ASEAN (konsep konektivitas) dan
pengembangan sektor swasta,
4. Penetapan batasan per negara / country limit (sebesar 30% dari total project pipeline),
batasan per sektor / sector limit (sebesar 40% dari total daftar proyek), batasan nilai
maksimal pembiayan per proyek untuk masa “3 tahun pembiayaan pertama” (sebesar
USD75 juta), dan biaya dana (loan pricing) sebesar LIBOR+90 bps apabila pinjaman
proyek tersebut digabungkan (blended) dengan pembiayaan dari ADB dengan
perbandingan 30:70.
Penjelasan lebih lanjut tentang batasan per negara, batasan per sektor dan pembiayaan
bersama antara AIF dan ADB dapat dilihat pada kotak berikut.
Kotak 2. Penjelasan Kriteria Project Pipeline
Batasan per Negara (Country Limit)
AIF sebagai perusahaan swasta mempunyai pemegang saham yang terdiri dari sembilan negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Kamboja, Laos, Thailand, Vietnam, Philipina, dan Brunei Darussalam. Masing-masing negara tersebut mempunyai hak yang sama dalam memanfaatkan fasilitas pembiayaan dari AIF. Sebagai negara yang sedang berkembang, negara-negara tersebut mempunyai kepentingan untuk dapat memanfaatkan fasilitas pembiayaan semaksimal mungkin untuk kepentingan nasionalnya. Untuk mengantisipasi timbulnya perbedaan pendapat atau perselisihan dalam menetapkan daftar proyek, ADB sebagai administratur IF mengusulkan konsep Batasan per Negara.
Batasan per Sektor (Sector Limit)
Proyek infrastruktur dapat dilihat dari sudut pandang sektor yang antara lain terdiri dari sektor transportasi, sektor jalan, sektor air dan sektor ketenagalistrikan. Dalam masing-masing sektor tersebut terdapat berbagai macam infrastruktur. Untuk sektor transportasi, antara lain terdiri dari infrastruktur pelabuhan, bandar udara, dan rel kereta api. Sektor air antara lain terdiri dari infrastruktur pengelolaan air dan jaringan distribusi air. Sektor ketenaga listrikan antara lain terdiri dari pembangkit listrik dan transmisi listrik. Untuk menciptakan pemerataan pembangunan infrastruktur dalam masing-masing sektor, AIF menetapkan batasan pembiayaan per sektor pada suatu negara. Dengan adanya pembatasan sektor ini, diharapkan setiap sektor mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan pembiayaan AIF.
Pembiayaan Bersama AIF dan ADB
Total ekuitas yang dimiliki oleh AIF adalah sebesar USD 485,2 juta hal mana ekuitas
15
tersebut merupakan satu-satunya komponen dalam neraca AIF dari sisi kredit. Jumlah ekuitas tersebut tidak memadai untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang umumnya mempunyai nilai investasi yang besar. Untuk meningkatkan kapasitas pembiayaannya, AIF akan menerbitkan hybrid capital senilai USD 162 juta. Namun demikian, agar tetap dapat beroperasi untuk memberikan pembiayaan dengan menggunakan modal yang ada pada tahap awal, ADB menetapkan agar pembiayaan AIF diberikan dalam kerangka pembiayaan bersama (Co-Finance) dengan ADB dengan proporsi 30% untuk AIF dan 70% untuk ADB. Dengan demikian, dalam setiap pembiayaan AIF pada suatu proyek, ADB akan turut memberikan pembiayaan pada proyek yang sama dengan porsi yang ditentukan.
Sumber : Asian Development Bank
Selanjutnya ADB mengusulkan proses penyusunan daftar proyek indikatif sampai
dengan implementasi pembangunan proyek sebagai berikut:
1. Institusi perencanaan negara ASEAN bersama dengan ADB (administratur AIF) akan
memilih proyek yang ada dalam Country Partnership Strategy (CPS) masing-masing
negara ASEAN untuk dibiayai oleh AIF.
2. ADB bersama-sama dengan institusi terkait (dhi. Kementerian/Lembaga) menyusun pre-
feasibility sampai dengan dihasilkan feasibility.
3. Selanjutnya ADB bersama dengan Institusi yang memberikan izin perjanjian utang (dhi
Kementerian Keuangan) menyusun perjanjian utang (loan agreement).
4. Administratur AIF akan melakukan monitoring terhadap pelaksanaan proyek dan
dilaporkan secara berkala pada Dewan Direksi AIF.
Pada tahap awal operasinya yaitu dalam lima (5) tahun pertama, AIF akan membiayai
proyek-proyek pemerintah. Proyek indikatif yang disusun didasarkan atas asumsi bahwa AIF
akan memberikan pinjaman sekitar $300 juta per tahun selama tahap awal, dan diharapkan
akan semakin meningkat pada masa berikutnya. Proyek-Proyek indikatif AIF tersebut akan
meliput pengembangan infrastruktur di sektor-sektor yang penting bagi pertumbuhan
aktifitas perekonomian, antara lain sektor transportasi, energi, dan penyediaan air bersih.
Rincian daftar proyek indikatif pada tahap awal yang disetujui oleh ADB dan negara ASEAN
pada saat pembentukan AIF sebagaimana tersebut dalam tabel berikut.
Tabel 5. Daftar Proyek Indikatif AIF
2011 Transport Davao-Mass Rapid Transit PHI $40
Energy 500 KV Power Transmission Project - PFR1 VIE $75
O Mon 4 Combined Cycle Project VIE $75
Nam Ngum 3 Hydropower Project * / ** LAO $55
Java-Bali Interconnection Project INO $55
2012 Transport GMS Ben Luc-Long Thanh Expressway - PFR2 * VIE $75
Surabaya Commuter System (MFF$500m) - PFR1 INO $75
Energy Geothermal Power Development Program INO $75
16
Water Solid Waste Management Project PHI $75
2013 Transport Railway Modernization Project THA $75
Road Sector Institutional Development - PFR3 PHI $45
Regional Roads Development PFR2 * INO $30
Energy Power Transmission Investment Program - PFR2 VIE $75
Nam Ngum 3 Hydropower Project-PFR2 * / ** LAO $40
Melaka-Pekan Baru Power Interconnection * / *** INO $35
INO : Indonesia; LAO : Laos; PHI : Filipina; THA : Thailand, VIE : Vietnam
Sumber : Asian Development Bank
Dalam rangka memanfaatkan fasilitas pembiayaan yang disediakan oleh ASEAN
Infrastructure Fund (AIF), Pemerintah Indonesia mempertimbangkan dua perspektif, yaitu
perspektif regional (kawasan) dan nasional. Dalam perspektif regional, penyusunan daftar
proyek indikatif AIF diarahkan untuk mengakomodir proyek-proyek yang dapat mewujudkan
konektivitas ASEAN. Pertimbangan ini perlu terwujud karena AIF sendiri dibentuk
berdasarkan komitmen para negara anggota ASEAN untuk meningkatkan perekonomian
kawasan ASEAN secara menyeluruh hal mana salah satunya dapat diwujudkan melalui
peningkatan konektivitas negara anggota ASEAN.
Dari perspektif nasional, penyusunan project pipeline AIF harus sejalan dengan
kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Terkait dengan kebijakan pembangunan
infrastruktur, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 32
Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI). Dengan demikian, penyusunan project pipeline yang akan dibiayai oleh
AIF untuk Indonesia diarahkan untuk mendukung kebijakan MP3EI dimaksud. Selain itu
penyusunan project pipeline AIF untuk Indonesia juga mempertimbangkan daftar proyek
yang akan dibiayai oleh pinjaman luar negeri yang disusun oleh Bappenas.
Secara umum, penyusunan project pipeline AIF untuk Indonesia diawali dengan
pembahasan antara Bappenas dan ADB. Setelah melalui proses penyiapan proyek,
negosiasi term and condition dari pinjaman dimaksud, maka project pipeline dimaksud akan
ditutup dengan sebuah perjanjian pinjaman (loan agreement) antara Pemerintah Indonesia
dengan ADB dan AIF.
F. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dimaksud diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
17
1. Pembentukan ASEAN Infrastructure Fund (AIF) merupakan inisiatif murni dari negara-
negara ASEAN. Pertimbangan utama dari dibentuknya AIF adalah ketersediaan dana
cadangan devisa yang berlebih di sebagian besar negara ASEAN dan adanya
kebutuhan untuk pembiayaan infrastruktur.
2. Pembentukan AIF sudah melalui pembahasan yang berkelanjutan dimana awal
pembahasan adalah pada saat pertemuan Menteri Keuangan ASEAN ke-10 di Kamboja
pada tahun 2006. Adapun AIF terbentuk pada tanggal 24 September 2011.
3. Keikutsertaan Indonesia dalam AIF tidak semata-mata karena menjaga kebersamaan
ASEAN namun juga mempertimbangkan kepentingan nasional yang dapat diakomodir
dengan terbentuknya AIF, khususnya terkait dengan alternatif pembiayaan infrastruktur
di masa yang akan datang.
4. Secara institusi, AIF merupakan sebuah korporasi yang tunduk kepada hukum Malaysia
karena domisili AIF adalah di Malaysia. Kepemimpinan AIF pada dasarnya dilakukan
secara kolegial, namun tetap ditunjuk seorang Direksi untuk menjadi Pemimpin Rapat
Dewan Direksi. Pada awal pendirian Rapat Dewan Direksi dipimpin secara bersama
antara Malaysia dan Indonesia. Periode kepemimpinan rapat berikutnya diserahkan
kepada Indonesia dan akan dilanjutkan kepada Malaysia. Setelah tiga periode
kepemimpinan Rapat Dewan Direksi AIF dimaksud terlampaui maka akan dilakukan
negosisasi kembali atas kepemimpinan rapat selanjutnya.
5. Penyusunan project pipeline AIF untuk Indonesia dilakukan dengan mempertimbangkan
kepentingan kawasan ASEAN dan kepentingan nasional.
18
Daftar Pustaka
Abidin, M. Z. 2010. Fiscal Policy Coordination in Asia: East Asian Infrastructure
Investment Fund. ADBI Working Paper 232. Tokyo: Asian Development Bank Institute.
www.asianbondonline.adb.org, 2011.
Bhattacharyay, B. N. 2009. Infrastructure Development for ASEAN Economic
Integration. ADBI Working Paper 138. Tokyo: Asian Development Bank Institute.
Bappenas, 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
http://www.oecd.org/dev/asiaandpacific/Press%20release%20SAEO%202013_frid.pdf
diakses, pada tgl 25 Jan 2012
Indonesia, Bank, 2006. Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama
Internasional (PEKKI) Triwulan IV-2006. Jakarta: Bank Indonesia.
Indonesia, Bank, 2009. Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama
Internasional (PEKKI) Triwulan IV-2009. Jakarta: Bank Indonesia.
Indonesia, Bank, 2011. Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama
Internasional (PEKKI) Triwulan I-2011. Jakarta: Bank Indonesia.