ascari as is sss
TRANSCRIPT
- ANALISA KASUS
1. LANGKAH 1 ( IDENTIFIKASI ISTILAH )
1) Siklus hidup : putaran hidup dari lahir sampai mati.
2) Inisiatif : ide yang terlintas dalam pikiran, ide untuk melakukan
suatu tindakan atau usaha.
3) Terapi : usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang
sakit; pengobatan penyakit; perawatan penyakit.
4) Ascariasis : penyakit infeksi yang disebabkan oleh A. lumbricoides
(cacing gelang) yang hidup di usus halus manusia dan penularannya
melalui tanah.
5) Pencegahan : program pengendalian penyakit (primer, sekunder, tersier)
6) Penkes : pemberian ilmu kepada orang lain oleh tenaga kesehatan.
2. LANGKAH 2 ( DAFTAR MASALAH )
1) Bagaimanakah program pemerintah untuk mengatasi penyakit tersebut ?
2) Bagaimanakah epidemiologi serta prevalensi Ascariasis di dunia dan di
Indonesia ? Dan siapa saja kelompok yang rentan terkena Ascariasis ?
3) Bagaimana cara pemeriksaan untuk Ascariasis ?
4) Jelaskan siklus hidup dari A. lumbricoides ?
5) Bagaimana patogenesis dan patofisiologis dari Ascariasis ?
6) Faktor apa saja yang dapat memperberat Ascariasis ?
7) Bagaimana asuhan keperawatan untuk penderita Ascariasis ?
8) Bagaimana pendidikan kesehatan untuk keluarga tentang Ascariasis?
9) Bagaimana pengobatan untuk penderita Ascariasis ?
10)Bagaimana dengan psikologis anak yang terkena Ascariasis dan apakah
mempengaruhi tumbung kembang anak ?
11) Apa saja komplikasi dari penyakit tersebut ?
12) Bagaimana kesiapan keluarga?
13) Apa saja diagnosa banding dari penyakit tersebut ?
14) Jelaskan morfologi dari A. lumbricoides ?
15)Apabila penyakit tersebut sudah parah, apakah dapat
menyebabkan kematian?
16)Apa saja tanda dan gejala klinis dari penyakit tersebut ?
3. LANGKAH 3 (ANALISIS MASALAH )
1) Bagaimanakah program pemerintah untuk mengatasi penyakit
tersebut? Dan apa saja kendala yang dapat terjadi dan cara
mengatasi kendala tersebut?
Jawab:
Strategi Pengendalian Penyakit Cacingan yang dilakukan adalah memutus
mata rantai penularan baikdalam tubuh maupun di luar tubuh manusia.
Dalam memutus rantai penularan ini ada dua program yangdilakukan
yaitu :
- Program Jangka Pendek
Tujuan program ini untuk memutus rantai penularan dalam tubuh
manusia, dengan demikian dapatmenurunkan prevalensi dan intensitas
infeksi Cacingan dengan cara pengobatan (oleh sector kesehatan).
- Program Jangka Panjang
Tujuan program ini untuk memutus rantai penularan di luar tubuh
manusia, yaitu dengan melaksanakanupaya pencegahan yang efektif
Untuk mencapai hal-hal tersebut di atas yaitu program jangka
pendek dan jangka panjang adabeberapa kegiatan yang harus dilakukan,
yaitu:
a. Penentuan prioritas lokasi sasaran maupun penduduk sasaran.
b. Penegakan diagnosa dengan melakukan pemeriksaan tinja secara langsung
dengan metode kato-katz
c. Penanggulangan
Menurut rekomendasi WHO bahwa dalam penanggulangan
penyakit cacingan ada tigahal yang harus dilakukan yaitu:
1. PROMOTIF (PROMOTIVE)
Pendidikan kesehatan dapat diberikan melalui penyuluhan
kepada masyarakat pada umumnya ataukepada anak-anak sekolah, yaitu
melalui program UKS, sedangkan untuk masyarakat dapat dilakukan penyuluhan
secara langsung atau melalui media massa baik cetak maupun media
elektronik.
Persiapan: Bahan Penyuluhan
Bahan penyuluhan disiapkan berdasarkan kesepakatan semua
sektor dengan memperhatikankeadaan masing-masing daerah.
Sebaiknya bahan penyuluhan cukup dikenal dan disukai oleh
lingkungan anaksekolah, guru, maupun orang tua murid.
Pesan Penyuluhan Cacingan
1. Dengan bebas penyakit cacingan produktivitas meningkat.
2. Dengan berperilaku hidup bersih dan sehat, aku bebas penyakit
cacingan(seminar Hidup Sehat TanpaKecacingan).
3. Penyakit cacinganku hilang prestasiku meningkat
2. PENCEGAHAN (PREVENTIVE)
Tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian faktor risiko,
yang meliputi kebersihanlingkungan, keberhasilan pribadi, penyediaan air bersih
yang cukup, semenisasi lantai rumah, pembuatan danpenggunaan jamban yang
memadai, menjaga kebersihan makanan, pendidikan kesehatan di
sekolah baikuntuk guru maupun murid. Upaya pencegahan cacingan
dapat dilakukan melalui upaya kebersihan peroranganataupun
kebersihan lingkungan. Kegiatan tersebut dapat dirinci sebagai
berikut:
- FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU
Menjaga Kebersihan Perorangan
a. mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar dengan
menggunakan air dan sabun
b. Menggunakan air bersih untuk keperluan makan, minum, dan mandi.
c. Memasak air untuk minum.
d. Mencuci dan memasak makanan dan minuman sebelum dimakan.
e. Mandi dan membersihkan badan paling sedikit dua kali sehari.
f. Memotong dan membersihkan kuku.
g. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah, dan memakai sarung
tangan bila melakukan pekerjaanyangberhubungan dengan tanah
(program sepatunisasi).
h. Menutup makanan dengan tutup saji untuk mencegah debu dan lalat
mencemari makanan tersebut.
Menjaga Kebersihan Lingkungan
a) Membuang tinja di jamban agar tidak mengotori lingkungan.
b) Jangan membuang tinja, sampah atau kotoran di sungai.
c) Mengusahakan pengaturan pembuangan air kotor.
d) Membuang sampah pada tempatnya untuk menghindari lalat dan
lipas.
e) Menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya
3. PENGOBATAN (CURATIVE)
Pengobatan dilakukan dengan dua cara pendekatan yaitu Blanket
Treatment dan SelectiveTreatment dengan mengunakan obat yang aman dan
berspektrum luas, efektif, tersedia dan terjangkauharganya, serta dapat
membunuh cacing dewasa, larva dan telur.
Pada awal pelaksanaan kegiatan pengobatan harus didahului
dengan survei untuk mendapat datadasar. Bila pemeriksaan tinja dilakukan
secara sampling dan hasil pemeriksaan tinja menunjukan prevalensi 30% atau
lebih, dilakukan pengobatan massal, sebaliknya bila prevalensi kurang
dari 30%, maka dilakukanpemeriksaan tinja secara menyeluruh ( total
screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkanprevalensi di
atas 30%, maka harus dilakukan pengobatan massal. Apabila prevalensi kurang
dari 30%, makalakukan pengobatan selektif, yaitu yang positif saja.
Pengobatan dasar di Puskesmas (Depkes 2007)
1. Pengobatan masal tiap 6 bulan sekali di daerah endemic atau di daerah yang
rawan askariasis
2. Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik, serta hygien keluarga dan
pribadi, seperti:
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
- Cuci tangan dengan sabun sebelum makan
- Sayur mentah untuk lalapan harus dicuci bersih dan disiram air hangat
- BAB di jamban, tidak di kali atau di kebun
3. Jika pasien menderita askariasis maka di beri terapi pirantel pamoat
Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) ialah suatu upaya
untuk meningkatkan ketahanan fisik bagi anak Sekolah Dasar/MI di seluruh
Indonesia, melalui perbaikan gizi dan kesehatan diharapkan dapat mendorong
minat dan kemampuan anak untuk belajar.
2) Bagaimanakah epidemiologi, prevalensi Ascariasis di dunia dan di
Indonesia ? Dan siapa saja kelompok yang rentan terkena Ascariasis ?
Jawab:
Prevalensi Ascaris lumbricoides adalah 16,5%. Paling tertinggi
prevalensinya terutama pada golongan anak kecil antara 11-15 tahun sekitar 3,7%.
Dan pada grup 15 tahun atau ke bawah bisa mencapai 5,3% . Pada rentang umur
6- 10, 11-15 dan 16-20 tahun 3,5%, 5,4% dan 3,5% didapatkan menderita
malnutrisi dari ringan sampai sedang (Taherkhani et al., 2009). Prevalensi seluruh
dunia adalah 25% biasanya asimptomatik, ascaris paling banyak ditemukan dalam
tubuh anak-anak di Negara tropis dan berkembang, di mana lewat tanah yang
terkontaminasi oleh feses manusia atau pupuk dari kotoran (David, 2008).
Prevalensi ascariasis paling tinggi di anak-anak umur 2-10 tahun, dengan
intensitas tertinggi infeksi ini terdapat pada umur 5-15 tahun yang mana sering
terinfeksi dengan cacing lain seperti Trichuris trichiura dan cacing tambang
(David, 2008). Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa
masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh
merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi cacing (Rasmaliah, 2001).
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak.
Frekuensinya antara 60-90 %. Kurangnya pemakaian jamban keluarga
menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, bawah
pohon, tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Di Negara-negara
tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk(Margono, 2000). Tanah
liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 250-300C merupakan hal-
hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi
bentuk infektif (Margono, 2000). Penelitian epidemiologi telah dilakukan hampir
di seluruh Indonesia, terutama pada anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan
angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Prevalensi askariasis di propinsi DKI
Jakarta adalah 4-91%, Jabar 20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74%, Bali 40-
95%, NTT 10-75%, Sumut 46-75%, Sumbar 2-71%, Sumsel 51-78%, Sulut 30-
72% (Elmi et al., 2004). Bila menurut golongan umur, askariasis lebih banyak
ditemukan pada anakanak, prevalensi kecacingan anak balita juga lebih rendah
dibandingkan golongan umur lain, mungkin disebabkan anak balita relatif lebih
sedikit tercemar infeksi.
Penderita askariasis termuda adalah bayi umur 16 minggu. Dengan
bertambahnya umur prevalensi juga meningkat. Prevalensi askariasis pada bayi 0-
1 tahun adalah 82,8% sedangkan pada anak 1-2 tahun adalah 100% (Elmi et al.,
2004). Prevalensi pada anak umumnya masih tinggi, di Jakarta ascariasis pada
anak SD 31-86,9%, di bagian ilmu kesehatan anak RS Tembakau Deli dan Rumah
Sakit Pirngadi Medan Ascariasis 55,8% Trichuriasis 52% dan cacing Tambang
7,4% (Elmi et al., 2004).
Prevalensi kecacingan yang berhubungan dengan perbedaan daerah
penelitian yaitu antara daerah pedesaan dan perkotaan telah diteliti pada 2 SD di
Depok. Ternyata prevalensi askariasis lebih tinggi di pedesaan yaitu 66%
dibandingkan di daerah perkotaan 19%. Intensitas Intensitas infeksi askariasis
juga terlihat lebih berat di daerah pedesaan yaitu dengan RTPG (rata-rata telur
pergram tinja) 12.803 dibandingkan di daerah perkotaan 4.878.
3) Bagaimana cara pemeriksaan untuk Ascariasis ?
Jawab:
1. Pemeriksaan mikroskopik yaitu dengan mengidentifikasi telur pada feses,
dapat menggunakan:
a. Teknik Flotac
b. Teknik McMasters
c. Teknik Kato-Katz
2. Adanya cacing ascariasis keluar bersama muntah atau tinja penderita
3. Pemeriksaan serologis
- Cara Pembagian dan Pengumpulan Tinja
a) Sebelum pot tinja dibagi perlu dilakukan wawancara tentang pengetahuan
Cacingan, kebiasaan hidup sehat dengan menggunakan kuesioner
pengetahuan murid sekolah dasar atau responden.
b) Setelah wawancara, responden dibagikan pot tinja yang telah diberi kode
sesuai dengan kode yang tertulis pada kuesioner pengetahuan murid
sekolah dasar. Bila sasarannya masyarakat maka kode yang dicantumkan
ditambah alamat lengkap, desa RT dan RW. Pot tersebut diisi dengan
tinjanya sendiri dan dikumpulkan pada keesokan harinya.
c) Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot / kantong plastik sekitar 100
mg (sebesar kelereng atau ibu jari tangan).
d) Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama, sebab jika tidak
telur cacing tambang akan rusak atau menetas menjadi larva. Jika tidak
memungkinkan tinja harus diberi formalin 5-10% sampai terendam.
- Metode Pemeriksaan Kato-Katz
a) Cara Membuat Larutan Kato: Yang dimaksud dengan Larutan Kato adalah
cairan yang dipakai untuk merendam/memulas selofan (cellophane tape)
dalam pemeriksaan tinja terhadap telur cacing menurut modifikasi teknik
Kato dan Kato-Katz.
1) Untuk membuat Larutan Kato diperlukan campuran dengan perbandingan:
Aquadest 100 bagian, Glycerin 100 bagian dan Larutan malachite green
3% sebanyak 1 bagian.
2) Timbang malachite green sebanyak 3 gram, masukkan ke dalam
botol/beker glass dan tambahkan aquadest 100 cc sedikit demi sedikit lalu
aduk/kocok sehingga homogen, maka akan diperoleh larutan malchite
green 3%.
3) Masukkan 100 cc aquadest ke dalam Waskom plastik kecil, lalu
tambahkan 100 cc glycerin sedikit demi sedikit dan tambahkan 1 cc
larutan malachite green 3%, lalu aduk sampai homogen. Maka akan
didapatkan Larutan Kato 201 cc.
b) Cara merendam / memulas selofan (cellophane tape)
1) Buatlah bingkai kayu segi empat sesuai dengan ukuran Waskom
plastik kecil. Contoh: Misal bingkai untuk foto
2) Libatkan / lilitkan selofan pada bingkai tersebut.
3) Rendamlah selama + 18 jam dalam Larutan Kato.
4) Pada waktu akan dipakai, guntinglah selofan yang sudah direndam
sepanjang 3 cm.
c) Cara Pemeriksaan Kualitatif (modifikasi teknik Kato)
Hasil pemeriksaan tinja kualitatif berupa positif atau negatif cacingan.
Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis cacing atau per
jenis cacing.
(1) Cara Membuat Preparat
(a) Pakailah sarung tangan untuk mengurangi kemungkinan infeksi
berbagai penyakit.
(b) Tulislah Nomor Kode pada gelas objek dengan spidol sesuai dengan
yang tertulis di pot tinja.
(c) Ambillah tinja dengan lidi sebesar kacang hijau, dan letakkan di atas
gelas obyek.
(d) Tutup dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan Kato, dan
ratakan tinja di bawah selofan dengan tutup botol karet atau gelas obyek.
(e) Biarkan sediaan selama 20-30 menit.
(f) Periksa dengan pembesaran lemah 100 x (obyektif 10 x dan okuler 10
x), bila diperlukan dapat dibesarkan 400 x (obyektif 40 x dan okuler 10 x).
(g) Hasil pemeriksaan tinja berupa positif atau negatif tiap jenis telur
cacing.
(2) Cara Menghitung Prevalensi
(a) Prevalensi Seluruh Cacing = Jumlah specimen positif telur minimal 1
jenis cacing x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
(b) Prevalensi Cacing Gelang
Jumlah specimen positif telur cacing gelang x 100% Jumlah specimen
yang diperiksa
(c) Prevalensi Cacing Cambuk
Jumlah specimen positif telur cacing cambuk x 100% Jumlah specimen
yang diperiksa
(d) Prevalensi Cacing Tambang
Jumlah specimen positif telur cacing tambang x 100% Jumlah specimen
yang diperiksa
d) Cara Pemeriksaan Kuantitatif
Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi
atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur per gram
tinja (EPG) pada setiap jenis cacing.
(1) Cara Membuat Preparat
(a) Saringlah tinja menggunakan kawat saring.
(b) Letakkan karton yang berlubang di atas slide kemudian masukkan tinja
yang sudah di saring pada lubang tersebut.
(c) Ambillah karton berlubang tersebut dan tutuplah tinja dengan selofan
yang sudah
direndam dalam larutan Kato.
(d) Ratakan dengan tutup botol karet hingga merata. Diamkan kurang
lebih sediaan selama 20 – 30 menit.
(e) Periksa di bawah mikroskop dan hitung jumlah telur yang ada pada
sediaan tersebut.
(2) Cara Menghitung Telur
Hasil pemeriksaan tinja secara kuantitatif merupakan intensitas infeksi,
yaitu jumlah telur per gram tinja (Egg Per Gram/EPG) tiap jenis cacing.
(a) Intensitas Cacing Gelang = Jumlah telur cacing gelang x 1000/R
Jumlah specimen positif telur Cacing Gelang
(b) Intensitas Cacing Cambuk = Jumlah telur cacing cambuk x 1000/R
Jumlah specimen positif telur Cacing Cambuk
(c) Intensitas Cacing Tambang = Jumlah telur cacing tambang x 1000/R
Jumlah specimen positif telur Cacing Tambang
Ket : R = berat tinja sesuai ukuran lubang karton (mg).
Untuk program cacingan adalah 40 mg.
- Klasifikasi Intensitas Infeksi
Klasifikasi intensitas infeksi merupakan angka serangan dari masing-
masing jenis cacing. Klasifikasi tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu
ringan, sedang dan berat. Intensitas infeksi menurut jenis cacing dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1 - Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing
e) Pembuangan Limbah Laboratorium
(1) Wadah dari kertas, plastik, stik/lidi diberi desinfektan (sodium
hipoklorit) kemudian dibakar.
(2) Wadah dari gelas/kaca atau metal ditambahkan formalin 10%, diamkan
1 jam atau lebih kemudian cuci dengan air bersih.
(3) Kaca objek bekas pakai direndam dalam larutan yang diberi
desinfektan selama kurang lebih 1 jam, kemudian cuci dengan air bersih.
Gunakan lidi untuk melepas kaca penutup (“cover glass”).
f) Pencatatan Hasil Pemeriksaan
Hasil pengumpulan data tentang pengetahuan murid dan hasil pemeriksaan
laboratorium direkap dengan menggunakan formulir tertentu (Form 1, 2
dan 3).
4) Jelaskan siklus hidup dari A. lumbricoides ?
Jawab:
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides,
jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan
menetas dan melepaskan larva infektif (larva rhabditiform) dan kemudian
menembus dinding usus masuk kedalam vena portae hati, mengikuti aliran darah
masuk kejantung kanan dan selanjutnya keparu-paru dengan masa migrasi
berlangsung selama 1 – 7 hari. Larva tumbuh didalam paru-paru dan berganti kulit
sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya
larva masuk ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke
esopagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglotis masuk
kedalam traktus digestivus dan berakhir sampai kedalam usus halus bagian atas,
larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira
satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan bersama tinja. Siklus hidup
cacing ini mempunyai masa yang cukup panjang, dua bulan sejak infeksi pertama
terjadi, seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir
telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 – 4 minggu untuk tumbuh
menjadi bentuk infektif. Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva,
di mana telur tersebut keluar bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami
perubahan dari stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif. Telur-
telur ini tahan terhadap pengaruh cuaca buruk, berbagai desinfektan dan dapat
tetap hidup bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-
anak terkena infeksi secara terus menerus sehingga jika beberapa cacing keluar,
yang lain menjadi dewasa dan menggantikannya. Apabila makanan atau minuman
yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup
cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing
ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak
ataupun melalui kontak langsung dengan kulit (Soedarto, 1991).
5) Bagaimana patogenesis dan patofisiologis dari Ascariasis ? (sasaran
belajar)
6) Faktor Apa saja yang dapat memperberat Ascariasis ?
Jawab:
Selama sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan belum memuaskan,
tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, selama persediaan air bersih
dan sosio-ekonomi yang belum memadai, maka infeksi cacing usus yang
ditularkan melalui perantaraan tanah masih cukup tinggi frekuensinya dan masih
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia
(Adhyatma, 1980).
Penelitian yang dilakukan oleh Ismid, dkk (1988) dan Margono, dkk
(1991) mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara infeksi soil-
transmitted helminths (infeksi A. lumbricoides) pada anak dan kebersihan pribadi
serta sanitasi lingkungan. Soeripto (1986) pada penelitiannya membuktikan
bahwa pembinaan air bersih, jamban keluarga dan kesehatan lingkungan, sesudah
pengobatan cacing secara massal pada penduduk dapat mengurangi penularan dan
menurunkan prevalensi infeksi soil-transmitted helminths di pedesaan, terutama
pada anak usia kurang dari 10 tahun.
Kebersihan lingkungan dipengaruhi oleh besarnya kontaminasi tanah yang
terjadi. Kontaminasi tanah dengan telur cacing merupakan indikator keberhasilan
program kebersihan di masyarakat (Schulz dan kroeger, 1992). Menurut O’lorcain
dan Holland (2000) untuk jangka panjang, perbaikan higiene dan sanitasi
merupakan cara yang tepat untuk mengurangi infeksi soil transmitted helminth.
Ascariasis pada manusia muncul di kedua lingkungan yang sedang dan
tropis. Prevalensi rendah terdapat pada iklim yang kering, tetapi tinggi di kondisi
yang basah dan hangat yang mana kondisi ini cocok untuk telur dan embrionisasi.
Kepadatan, ekonomi lemah, rendah higienitas lingkungan dan suplai air dapat
menyebabkan naiknya infeksi cacing ini (Legesse, 2007).
Terjadinya kecacingan karena beberapa faktor, antara lain seperti
kurangnya kebersihan perorangan atau lingkungan, dapat juga terjadi pencemaran
tanah dari telur cacing. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Djarismawati
(2007), menyatakan kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan juga sangat
berperan dalam penularan kecacingan.
7) Bagaimana asuhan keperawatan untuk penderita Ascariasis ?
(sasaran belajar)
8) Bagaimana pendidikan kesehatan untuk keluarga tentang
Ascariasis?
Jawab:
Sudah banyak dijelaskan dalam berbagai literatur kejadian penyakit
kecacingan ini adalah karena keadaan sanitasi lingkungan dan kebersihan
perorangan belum memuaskan, tingkat pendidikan masyarakat yang masih
rendah, persediaan air bersih,sosio-ekonomi yang belum memadai, dan pengadaan
jamban.
Cacing khususnya A. Lumbricoides dapat ditularkan melaui hygine
seseorang yang kurang bersih. Khususnya paling banyak terjadi adalah pada usia
sekolah. Dari hal di atas dapat disimpulkan pendidikan kesehatan yang diberikan
baik kepada keluarga dan si anak, di antaranya:
1. Mencuci tangan dengan air dan sabun sebelum makan.
2. Mencuci tangan dengan air dan sabun setelah BAK dan BAB.
3. Memotong kuku.
4. BAB pada tempatnya (mis.,Jamban)
5. Mencuci bersih sayuran dengan air mengalir sebelum dimasak.
6. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan
7. Menjaga agar tidak jajan sembarangan;orang tua bisa memberikan bekal
makanan yang bersih dan sehat untuk si anak.
Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene
keluarga dan hygiene pribadi seperti :
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
- Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci
terlebih dahulu dengan menggunkan sabun.
- Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah
dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama
bertahuntahun, pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai
berikut :
1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemic
ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup
cacing misalnya memakai jamban/WC.
4. Makan makanan yang dimasak saja.
Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang
menggunakan tinja sebagai pupuk.Penyakit Cacingan merupakan salah satu
penyakit berbasis lingkungan, oleh karena itu pengendalian penyakit Cacingan ini
harus melibatkan berbagai pihak baik lintas program maupun lintas sektor. Upaya
pengendalian penyakit ini sudah lama dilaksanakan diantaranya pengobatan
penderita, penyuluhan di sekolah melalui UKS dan masyarakat pada umumnya,
namun hasil yang dicapai belum sesuai dengan harapan. Selanjutnya agar
pengendalian penyakit cacingan ini dapat mencapai tujuan sesuai harapan maka
perlu direncanakan strategi promosi pengendalian Cacingan yang sesuai dengan
keadaan saat ini. Strategi Promosi pengendalian cacingan pada dasarnya ada tiga
yaitu advokasi, bina suasana, dan gerakan masyarakat.
a) Advokasi Pengendalian Cacingan oleh Pusat dan Daerah
Advokasi pengendalian Cacingan adalah suatu upaya yang sistematis dan
terorganisir untuk melancarkan suatu aksi dengan tujuan memperoleh
dukungan kebijakan Pemerintah Pusat, Daerah dan publik atau pengambil
keputusan dari berbagai pihak terkait dalam pengendalian cacingan, agar
dapat dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus. Yang melakukan
advokasi untuk Nasional adalah Pusat dan untuk daerah masing-masing
adalah Kepala Dinas Propinsi, dan Kepala Dinas Kab/Kota.
b) Bina Suasana (Social Support)
Bina Suasana adalah suatu upaya sistematis dan terorganisir untuk menjalin
kemitraan dalam pembentukan opini positif tentang pengendalian Cacingan
dengan berbagai kelompok potensial yang ada di masyarakat.
c) Gerakan Masyarakat
Gerakan masyarakat adalah suatu upaya yang sistematis dan terorganisir
untuk menumbuhkan dan mengembangkan norma yang membuat
masyarakat berdaya dan mandiri berperilaku sehat yaitu memeriksakan dan
mengobati penyakit Cacingan secara mandiri atau ke sarana kesehatan serta
melaksanakan pencegahan dengan berperilaku bersih.
9) Bagaimana pengobatan untuk penderita Ascariasis ?
Jawab:
Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu :
a. Mudah diterima di masyarakat.
b. Mempunyai efek samping yang minimum.
c. Bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing.
d. Harganya murah (terjangkau).
Obat yang paling direkomendasikan dari WHO adalah mebendazole,
albendazole, levamisol dan pirantel pamoat
Jenis pengobatan penyakit Cacingan ada dua macam yaitu pengobatan
massal dan pengobatan selektif.
1) Pengobatan Massal (Blanket Treatment)
a) Blanket Mass Treatment
Suatu jenis pengobatan yang dilakukan secara menyeluruh kepada seluruh
penduduk yang menjadi sasaran program. Blanket Treatment dilakukan bila
sarana dan prasarana laboratorium tidak ada/tidak memadai atau ada sarana
laboratorium tapi kondisi geografis menyulitkan pengumpulan sampel tinja,
pengobatan massal ini dapat dilakukan sampai 3 tahun tanpa survei evaluasi.
Daerah yang melaksanakan sistem Blanket, agar diikuti dengan kegiatan
penyuluhan tentang hidup bersih dan memperbaiki sanitasi lingkungan di wilayah
tersebut. Disamping itu agar diupayakan meningkatkan SDM dan sarana
laboratorium untuk menunjang kemampuan pemeriksaan tinja, dengan harapan
suatu saat mampu melaksanakan pengobatan selektif di wilayahnya. Selain itu
pengobatan massal dilakukan apabila di daerah sasaran pernah mempunyai
prevalensi 30 % atau lebih.
b) Selective Mass Treatment
Pengobatan yang dilakukan terhadap penduduk yang menjadi sasaran
program, tetapi hanya kepada penduduk yang hasil pemeriksaan tinjanya
positif. Hal ini dilakukan pada daerah yang mempunyai sarana dan prasarana
laboratorium yang memadai, karena pemeriksaan tinja harus dilakukan pada
seluruh sasaran. Di samping itu kondisi geografis memungkinkan untuk
pengumpulan sediaan tinja secara berkala. Pengobatan dilakukan secara berurutan
(satu per satu) dan harus diminum didepan petugas (tidak boleh dibawa pulang).
2) Pengobatan Selektif (Selective Treatment)
Pengobatan dilakukan di sarana kesehatan bagi penderita yang datang
berobat sendiri dan hasil pemeriksaan mikroskopik tinja positif atau hasil
pemeriksaan klinis dinyatakan positif menderita Cacingan.
Kontra Indikasi Pemberian Obat
Dalam pelaksanaan pengobatan ada beberapa kontra indikasi terhadap
beberapa jenis obat yang diberikan adalah sebagai berikut :
a) Pyrantel pamoate : demam, hamil trismester I, umur di bawah 4 bulan.
b) Mebendazol : demam, hamil trismester I, umur di bawah 5 tahun
c) Albendazole : demam, hamil trismester I, umur di bawah 5 tahun.
Pengobatan dapat ditunda bila terdapat salah satu indikasi di atas.
- Levamisol hidrokhlorit
Levamisol hidrokhlorit merupakan isomer dari tetramisol. Obat ini
digunakan pada pengobatan infeksi nematoda usus. Dosis tinggi levamisol efektif
mengobati ascariasis (90%) dan sedikit berperan dalam melawan infeksi cacing
tambang. Obat ini bekerja dengan meningkatkan frekuensi aksi potensial dan
menghambat transmisi neuromuskular cacing, sehingga cacing berkontraksi
diikuti dengan paralisis tonik, kemudian mati (Csaky & Barnes, 1984; Girdwood,
1984; Sukarban dan Santoso, 2001).
Pada pemberian oral, levamisol diserap dengan cepat dan sempurna. Kadar
puncak tercapai dalam waktu 1-2 jam sesudah pemberian dosis tunggal. Dalam
waktu 24 jam, 60% obat dieksresikan bersama urin sebagai metabolit. Dosis
rendah levamisol hanya menyebabkan efek samping ringan pada saluran cerna
dan SSP. Pemakaian untuk waktu yang lama dengan dosis tinggi dapat
menimbulkan efek samping berupa reaksi alergi (rash), neutropenia, dan Flu-like
syndrome. Tetapi pemakaian dosis tunggal secara oral 3 mg/kgbb cukup aman dan
jarang menimbulkan efek samping (Csaky & Barnes, 1984; Girdwood, 1984;
Sukarban dan Santoso, 2001)
Levamisol tersedia sebagai tablet 25, 40, dan 50 mg yang dapat diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kgbb. Pada ascariasis, penderita yang berat badannya lebih
dari 40 kg diberikan dosis tunggal 50-150 mg, anak dengan berat badan 10-19 kg
diberikan dosis tunggal 50 mg dan 100 mg bagi anak yang mempunyai berat
badan 20-39 kg (Sukarban dan Santoso, 2001; Tjay dan Rahardja, 2002).
- Mebendazol
Hal yang berbeda dengan obat cacing sebelumnya, mebendazol dikatakan
dapat bekerja pada semua stadium nematoda usus (Abadi, 1985; Pasaribu, 1989;
Chan,1992). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat efikasi
mebendazol ini seperti Abadi (1985) pada pemberian mebendazol 500 mg dosis
tunggal mendapat Angka Penyembuhan 93,4%, 77,6%, dan 91,1% untuk
A.lumbricoides, T.trichiura, dan cacing tambang. Adapun pada penelitian yang
dilakukan oleh Albanico, dkk (2003), mendapatkan Angka Penyembuhan
terhadap Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang dengan
pemberian mebendazol 500 mg dosis tunggal masing-masing 96,5%, 23%, dan
7,6%.
Mebendazol banyak digunakan sebagai monoterapi untuk pengobatan
massal terhadap penyakit kecacingan dan juga pada infeksi campuran dua atau
lebih cacing. Obat ini bekerja sebagai vermicid, larvicid dan juga ovicid.
Walaupun mebendazol merupakan derivat dari kelompok yang sama dengan
senyawa seperti tiabendazol, mekanisme kerja dan farmakologi keduanya sedikit
berbeda. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan
menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat sintesis
mikrotubulus nematoda yang mengakibatkan gangguan pada mitosis dan
pengambilan glukosa secara irreversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen
pada cacing, dan kemudian cacing akan mati secara perlahan-lahan. Mebendazol
juga menimbulkan sterilitas pada telur cacing T.trichiura, cacing tambang dan A.
lumbricoides sehingga telur ini gagal berkembang menjadi larva. Tetapi larva
yang sudah matang tidak dapat dipengaruhi oleh mebendazol (Pasaribu, 1989;
Goldsmith, 1998; Sukarban dan Santoso, 2001).
Mebendazol merupakan antelmintik broadspektrum yang sangat efektif
terhadap cacing gelang, kremi, cambuk dan tambang. Nama kimianya ialah N-(5-
benzoil-2-benzimidazolil) karbamat dengan rumus kimia sebagai berikut:
Gambar 6. Struktur kimia mebendazol
(Sumber : Csaky & Barnes, 1984)
Penyerapan mebendazol dari usus setelah pemberian secara oral kurang
dari 10%. Obat yang diabsorbsi 90% berikatan dengan protein. Bioavailabilitas
sistemik yang rendah dari mebendazol merupakan dampak dari absorbsinya yang
buruk dan mengalami first pass hepatic metabolism yang cepat. Dieksresi
terutama lewat urin dalam bentuk utuh dan metabolit dekarboksilasi dalam tempo
48 jam. Mebendazol merupakan bentuk obat yang lebih aktif dibandingkan
dengan metabolitnya. Absorbsi ditingkatkan bila obat diberikan bersama makanan
berlemak (Goodman, L.S. & Gilman, A , 1996; Goldsmith, 1998; Sukarban dan
Santoso, 2001).
Mebendazol merupakan obat yang aman, efek samping berupa gangguan
saluran cerna seperti sakit perut dan diare jarang terjadi. Efek samping
mebendazol dosis tinggi berupa reaksi alergi, alopecia, neutropenia reversible,
agranulocytosis, dan hypospermia jarang dijumpai. Obat ini tidak dianjurkan
digunakan pada ibu hamil karena memiliki sifat teratogenik yang potensial dan
bagi anak usia dibawah dua tahun. Pemberian obat ini pada pasien yang
mempunyai riwayat alergi sebelumnya tidak dianjurkan (Goodman, L.S. &
Gilman, A, 1996; Tjay dan Rahardja, 2002).
Mebendazol biasanya diminum secara oral, dosisnya sama pada dewasa
dan anak yang berusia lebih dari 2 tahun. Pada pengobatan ascariasis, trichuriasis
dan infeksi cacing tambang, 100 mg obat diminum pada pagi dan malam hari
selama 3 hari berturut-turut atau dengan dosis tunggal 500 mg dan tidak
memerlukan pencahar. Apabila belum sembuh, dosis ini dapat diulang 3 minggu
kemudian (Goodman, L.S. & Gilman, A, 1996; Sukarban dan Santoso, 2001;
WHO, 2003).
Herbal:
Di Indonesia terdapat banyak obat-obatan tradisional yang digunakan
untuk pengobatan penyakit cacingan di antaranya adalah bawang putih (Allium
Sativum Linn.) (Wijayakusuma, 2000). Dalam penelitian sebelumnya yang
menggunakan seduhan bawang putih terhadap cacing Ascaridia galli sudah
menunjukkan adanya efek anthelmintik dengan seduhan konsentrasi 5%
didapatkan kematian 100% pada jam ke-12, konsentrasi 10% kematian 100%
didapatkan pada jam ke-12, konsentrasi 15% kematian 100% didapatkan pada jam
ke-8, konsentrasi 20% kematian 100% didapatkan pada jam ke- 4. Maka dari itu
peneliti mencoba melakukan penelitian menggunakan infusa bawang putih yang
mana penyariannya lebih baik daripada seduhan dengan menggunakan cacing
Ascaris suum sebagai hewan uji apakah ada efek anthelmintiknya.
Penelitian ini akan meneliti tentang daya anthelmintik infusa bawang putih
(Allium sativum Linn.) terhadap cacing gelang babi secara in vitro. Cacing gelang
yang digunakan di sini adalah Ascaris suum. Ascaris suum merupakan cacing
gelang yang hidup di usus halus babi sehingga mudah untuk mendapatkannya. Hal
ini karena kesukaran dalam mendapatkan Ascaris lumbricoides dalam keadaan
hidup dari penderita, karena untuk mengeluarkan dari tubuh penderita harus
dengan pemberian obat cacing dan biasanya cacing sudah mati. Begitu juga
dengan penggunaan bawangputih sebagai bahan uji anthelmintik dikarenakan
masyarakat Indonesia untuk manfaat bawang putih sudah tidak asing lagi terutama
dalam penggunaan bumbu masak, maka dari itu bawang putih mudah ditemukan
dan diterima oleh masyarakat sebagai pengganti obat cacing yang lebih mahal
harganya.
Pirantel pamoat memiliki efek anthelmintik yang baik, akan tetapi obat ini
tidak diperbolehkan pada wanita hamil anak-anak usia di bawah 2 tahun dan
orang yang mengalami gangguan hati, berbeda dengan bawang putih yang aman
dikonsumsi oleh wanita hamil serta anak-anak usia di bawah 2 tahun. Maka dari
itu peneliti menggunakan bawang putih sebagai bahan pengganti obat
anthelmintik pirantel pamoat.
10) Bagaimana dengan psikologis anak yang terkena Ascariasis dan
apakah mempengaruhi tumbung kembang anak?
11) Apa saja komplikasi dari penyakit tersebut ?
Jawab:
1. Hati: infeksi sekunder hati (abses kecil, hepatitis)
2. Lambung: mual, muntah
3. Nasofaring: obstruksi jalan nafas (asfiksia)
4. Kolon: diare, appendiksitis
5. Usus: perforasi usus-dinding usus, obstruksi saluran empedu.
6. Obstruksi usus
7. Intususepsi
8. Invasi ke saluran empedu (cholangitis, jaundice obstruktif, batu empedu,
abses hati)
9. Appendicitis akut
10. Pancreatitis akut
11. Perforasi usus
12. Peritonitis
13. Obstruksi saluran nafas atas
14. Volvulus
12) Bagaimana kesiapan keluarga? (sasaran belajar)
13) Apa saja diagnosa banding dari penyakit tersebut ?
Jawab:
Diagnosa banding untuk askariasis adalah Pneumonia karena pada
askarisis terdapat fase migrasi ke paru-paru dan dapat ada hipereosinofilia dalam
darah perifer.
14)Jelaskan morfologi dari A. lumbricoides ?
Jawab:
Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat
(conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak
melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 -
6 mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan
panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna yang sama
dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral.
Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan
mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup
atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan (Soedarto, 1991).
Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang
berdampingan dengan hipodermis dan menonjol kedalam rongga badan sebagai
korda lateral. Sel otot somatik besar dan panjang dan terletak di hipodermis;
gambaran histologinya merupakan sifat tipe polymyarincoelomyarin. Alat
reproduksi dan saluran pencernaan mengapung didalam rongga badan, cacing
jantan mempunyai dua buah spekulum yang dapat keluar dari kloaka dan pada
cacing betina, vulva terbuka pada perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah,
bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin kopulasi. Telur yang di buahi
(fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 60-70 x 30-50 mikron. Bila baru
dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini dikelilingi suatu
membran vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur cacing tersebut
terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai satu tahun.
Di sekitar membran ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi lagi oleh
lapisan albuminoid yang permukaanya tidak teratur atau berdungkul
(mamillation). Lapisan albuminoid ini kadang-kadang dilepaskan atau hilang oleh
zat kimia yang menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated). Didalam rongga
usus, telur memperoleh warna kecoklatan dari pigmen empedu. Telur yang tidak
dibuahi (unfertilized) berada dalam tinja, bentuk telur lebih lonjong dan
mempunyai ukuran 88-94 x 40-44 mikron, memiliki dinding yang tipis, berwarna
coklat dengan lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur.
15) Apabila penyakit tersebut sudah parah, apakah dapat
menyebabkan kematian? Bagaimana tindak lanjut apabila
penyakit tersebut sudah parah?
16) Apa saja tanda dan gejala klinis dari penyakit tersebut ? (sasaran
belajar)
- SASARAN BELAJAR
1) Bagaimana patogenesis dan patofisiologis dari Ascariasis ?
2) Bagaimana asuhan keperawatan untuk penderita Ascariasis ?
3) Bagaimana kesiapan keluarga?
4) Apabila penyakit tersebut sudah parah, apakah dapat
menyebabkan kematian?
5) Apa saja tanda dan gejala klinis dari penyakit tersebut ?
- POHON MASALAH
ASCARIASI
ETIOLOGI
PATOFISIOLOGI
TANDA DAN GEJALA
PENATALAKSANAA
FARMAKOLOGIS NON