ascari as is sss

37
- ANALISA KASUS 1. LANGKAH 1 ( IDENTIFIKASI ISTILAH ) 1) Siklus hidup : putaran hidup dari lahir sampai mati. 2) Inisiatif : ide yang terlintas dalam pikiran, ide untuk melakukan suatu tindakan atau usaha. 3) Terapi : usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit; pengobatan penyakit; perawatan penyakit. 4) Ascariasis : penyakit infeksi yang disebabkan oleh A. lumbricoides (cacing gelang) yang hidup di usus halus manusia dan penularannya melalui tanah. 5) Pencegahan : program pengendalian penyakit (primer, sekunder, tersier) 6) Penkes : pemberian ilmu kepada orang lain oleh tenaga kesehatan. 2. LANGKAH 2 ( DAFTAR MASALAH ) 1) Bagaimanakah program pemerintah untuk mengatasi penyakit tersebut ? 2) Bagaimanakah epidemiologi serta prevalensi Ascariasis di dunia dan di Indonesia ? Dan siapa saja kelompok yang rentan terkena Ascariasis ? 3) Bagaimana cara pemeriksaan untuk Ascariasis ? 4) Jelaskan siklus hidup dari A. lumbricoides ?

Upload: farida-raudah

Post on 20-Oct-2015

35 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

- ANALISA KASUS

1. LANGKAH 1 ( IDENTIFIKASI ISTILAH )

1) Siklus hidup : putaran hidup dari lahir sampai mati.

2) Inisiatif : ide yang terlintas dalam pikiran, ide untuk melakukan

suatu tindakan atau usaha.

3) Terapi : usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang

sakit; pengobatan penyakit; perawatan penyakit.

4) Ascariasis : penyakit infeksi yang disebabkan oleh A. lumbricoides

(cacing gelang) yang hidup di usus halus manusia dan penularannya

melalui tanah.

5) Pencegahan : program pengendalian penyakit (primer, sekunder, tersier)

6) Penkes : pemberian ilmu kepada orang lain oleh tenaga kesehatan.

2. LANGKAH 2 ( DAFTAR MASALAH )

1) Bagaimanakah program pemerintah untuk mengatasi penyakit tersebut ?

2) Bagaimanakah epidemiologi serta prevalensi Ascariasis di dunia dan di

Indonesia ? Dan siapa saja kelompok yang rentan terkena Ascariasis ?

3) Bagaimana cara pemeriksaan untuk Ascariasis ?

4) Jelaskan siklus hidup dari A. lumbricoides ?

5) Bagaimana patogenesis dan patofisiologis dari Ascariasis ?

6) Faktor apa saja yang dapat memperberat Ascariasis ?

7) Bagaimana asuhan keperawatan untuk penderita Ascariasis ?

8) Bagaimana pendidikan kesehatan untuk keluarga tentang Ascariasis?

9) Bagaimana pengobatan untuk penderita Ascariasis ?

10)Bagaimana dengan psikologis anak yang terkena Ascariasis dan apakah

mempengaruhi tumbung kembang anak ?

11) Apa saja komplikasi dari penyakit tersebut ?

12) Bagaimana kesiapan keluarga?

13) Apa saja diagnosa banding dari penyakit tersebut ?

14) Jelaskan morfologi dari A. lumbricoides ?

15)Apabila penyakit tersebut sudah parah, apakah dapat

menyebabkan kematian?

16)Apa saja tanda dan gejala klinis dari penyakit tersebut ?

3. LANGKAH 3 (ANALISIS MASALAH )

1) Bagaimanakah program pemerintah untuk mengatasi penyakit

tersebut? Dan apa saja kendala yang dapat terjadi dan cara

mengatasi kendala tersebut?

Jawab:

Strategi Pengendalian Penyakit Cacingan yang dilakukan adalah memutus

mata rantai penularan baikdalam tubuh maupun di luar tubuh manusia.

Dalam memutus rantai penularan ini ada dua program yangdilakukan

yaitu :

- Program Jangka Pendek

Tujuan program ini untuk memutus rantai penularan dalam tubuh

manusia, dengan demikian dapatmenurunkan prevalensi dan intensitas

infeksi Cacingan dengan cara pengobatan (oleh sector kesehatan).

- Program Jangka Panjang

Tujuan program ini untuk memutus rantai penularan di luar tubuh

manusia, yaitu dengan melaksanakanupaya pencegahan yang efektif

Untuk mencapai hal-hal tersebut di atas yaitu program jangka

pendek dan jangka panjang adabeberapa kegiatan yang harus dilakukan,

yaitu:

a. Penentuan prioritas lokasi sasaran maupun penduduk sasaran.

b. Penegakan diagnosa dengan melakukan pemeriksaan tinja secara langsung

dengan metode kato-katz

c. Penanggulangan

Menurut rekomendasi WHO bahwa dalam penanggulangan

penyakit cacingan ada tigahal yang harus dilakukan yaitu:

1. PROMOTIF (PROMOTIVE) 

Pendidikan kesehatan dapat diberikan melalui penyuluhan

kepada masyarakat pada umumnya ataukepada anak-anak sekolah, yaitu

melalui program UKS, sedangkan untuk masyarakat dapat dilakukan penyuluhan

secara langsung atau melalui media massa baik cetak maupun media

elektronik. 

Persiapan: Bahan Penyuluhan

Bahan penyuluhan disiapkan berdasarkan kesepakatan semua

sektor dengan memperhatikankeadaan masing-masing daerah.

Sebaiknya bahan penyuluhan cukup dikenal dan disukai oleh

lingkungan anaksekolah, guru, maupun orang tua murid.

Pesan Penyuluhan Cacingan

1. Dengan bebas penyakit cacingan produktivitas meningkat.

2. Dengan berperilaku hidup bersih dan sehat, aku bebas penyakit

cacingan(seminar Hidup Sehat TanpaKecacingan).

3. Penyakit cacinganku hilang prestasiku meningkat

2. PENCEGAHAN (PREVENTIVE) 

Tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian faktor risiko,

yang meliputi kebersihanlingkungan, keberhasilan pribadi, penyediaan air bersih

yang cukup, semenisasi lantai rumah, pembuatan danpenggunaan jamban yang

memadai, menjaga kebersihan makanan, pendidikan kesehatan di

sekolah baikuntuk guru maupun murid. Upaya pencegahan cacingan

dapat dilakukan melalui upaya kebersihan peroranganataupun

kebersihan lingkungan. Kegiatan tersebut dapat dirinci sebagai

berikut: 

- FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU

Menjaga Kebersihan Perorangan

a. mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar dengan

menggunakan air dan sabun

b. Menggunakan air bersih untuk keperluan makan, minum, dan mandi.

c. Memasak air untuk minum.

d. Mencuci dan memasak makanan dan minuman sebelum dimakan.

e. Mandi dan membersihkan badan paling sedikit dua kali sehari.

f. Memotong dan membersihkan kuku.

g. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah, dan memakai sarung

tangan bila melakukan pekerjaanyangberhubungan dengan tanah

(program sepatunisasi).

h. Menutup makanan dengan tutup saji untuk mencegah debu dan lalat

mencemari makanan tersebut.

 Menjaga Kebersihan Lingkungan

a) Membuang tinja di jamban agar tidak mengotori lingkungan.

b) Jangan membuang tinja, sampah atau kotoran di sungai.

c) Mengusahakan pengaturan pembuangan air kotor.

d) Membuang sampah pada tempatnya untuk menghindari lalat dan

lipas.

e) Menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya

3. PENGOBATAN (CURATIVE)

Pengobatan dilakukan dengan dua cara pendekatan yaitu Blanket

Treatment dan SelectiveTreatment  dengan mengunakan obat yang aman dan

berspektrum luas, efektif, tersedia dan terjangkauharganya, serta dapat

membunuh cacing dewasa, larva dan telur.

Pada awal pelaksanaan kegiatan pengobatan harus didahului

dengan survei untuk mendapat datadasar. Bila pemeriksaan tinja dilakukan

secara sampling dan hasil pemeriksaan tinja menunjukan prevalensi 30% atau

lebih, dilakukan pengobatan massal, sebaliknya bila prevalensi kurang

dari 30%, maka dilakukanpemeriksaan tinja secara menyeluruh ( total

screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkanprevalensi di

atas 30%, maka harus dilakukan pengobatan massal. Apabila prevalensi kurang

dari 30%, makalakukan pengobatan selektif, yaitu yang positif saja.

Pengobatan dasar di Puskesmas (Depkes 2007)

1. Pengobatan masal tiap 6 bulan sekali di daerah endemic atau di daerah yang

rawan askariasis

2. Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik, serta hygien keluarga dan

pribadi, seperti:

- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk

- Cuci tangan dengan sabun sebelum makan

- Sayur mentah untuk lalapan harus dicuci bersih dan disiram air hangat

- BAB di jamban, tidak di kali atau di kebun

3. Jika pasien menderita askariasis maka di beri terapi pirantel pamoat

Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) ialah suatu upaya

untuk meningkatkan ketahanan fisik bagi anak Sekolah Dasar/MI di seluruh

Indonesia, melalui perbaikan gizi dan kesehatan diharapkan dapat mendorong

minat dan kemampuan anak untuk belajar.

2) Bagaimanakah epidemiologi, prevalensi Ascariasis di dunia dan di

Indonesia ? Dan siapa saja kelompok yang rentan terkena Ascariasis ?

Jawab:

Prevalensi Ascaris lumbricoides adalah 16,5%. Paling tertinggi

prevalensinya terutama pada golongan anak kecil antara 11-15 tahun sekitar 3,7%.

Dan pada grup 15 tahun atau ke bawah bisa mencapai 5,3% . Pada rentang umur

6- 10, 11-15 dan 16-20 tahun 3,5%, 5,4% dan 3,5% didapatkan menderita

malnutrisi dari ringan sampai sedang (Taherkhani et al., 2009). Prevalensi seluruh

dunia adalah 25% biasanya asimptomatik, ascaris paling banyak ditemukan dalam

tubuh anak-anak di Negara tropis dan berkembang, di mana lewat tanah yang

terkontaminasi oleh feses manusia atau pupuk dari kotoran (David, 2008).

Prevalensi ascariasis paling tinggi di anak-anak umur 2-10 tahun, dengan

intensitas tertinggi infeksi ini terdapat pada umur 5-15 tahun yang mana sering

terinfeksi dengan cacing lain seperti Trichuris trichiura dan cacing tambang

(David, 2008). Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat di Negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa

masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh

merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi cacing (Rasmaliah, 2001).

Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak.

Frekuensinya antara 60-90 %. Kurangnya pemakaian jamban keluarga

menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, bawah

pohon, tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Di Negara-negara

tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk(Margono, 2000). Tanah

liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 250-300C merupakan hal-

hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi

bentuk infektif (Margono, 2000). Penelitian epidemiologi telah dilakukan hampir

di seluruh Indonesia, terutama pada anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan

angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Prevalensi askariasis di propinsi DKI

Jakarta adalah 4-91%, Jabar 20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74%, Bali 40-

95%, NTT 10-75%, Sumut 46-75%, Sumbar 2-71%, Sumsel 51-78%, Sulut 30-

72% (Elmi et al., 2004). Bila menurut golongan umur, askariasis lebih banyak

ditemukan pada anakanak, prevalensi kecacingan anak balita juga lebih rendah

dibandingkan golongan umur lain, mungkin disebabkan anak balita relatif lebih

sedikit tercemar infeksi.

Penderita askariasis termuda adalah bayi umur 16 minggu. Dengan

bertambahnya umur prevalensi juga meningkat. Prevalensi askariasis pada bayi 0-

1 tahun adalah 82,8% sedangkan pada anak 1-2 tahun adalah 100% (Elmi et al.,

2004). Prevalensi pada anak umumnya masih tinggi, di Jakarta ascariasis pada

anak SD 31-86,9%, di bagian ilmu kesehatan anak RS Tembakau Deli dan Rumah

Sakit Pirngadi Medan Ascariasis 55,8% Trichuriasis 52% dan cacing Tambang

7,4% (Elmi et al., 2004).

Prevalensi kecacingan yang berhubungan dengan perbedaan daerah

penelitian yaitu antara daerah pedesaan dan perkotaan telah diteliti pada 2 SD di

Depok. Ternyata prevalensi askariasis lebih tinggi di pedesaan yaitu 66%

dibandingkan di daerah perkotaan 19%. Intensitas Intensitas infeksi askariasis

juga terlihat lebih berat di daerah pedesaan yaitu dengan RTPG (rata-rata telur

pergram tinja) 12.803 dibandingkan di daerah perkotaan 4.878.

3) Bagaimana cara pemeriksaan untuk Ascariasis ?

Jawab:

1. Pemeriksaan mikroskopik yaitu dengan mengidentifikasi telur pada feses,

dapat menggunakan:

a. Teknik Flotac

b. Teknik McMasters

c. Teknik Kato-Katz

2. Adanya cacing ascariasis keluar bersama muntah atau tinja penderita

3. Pemeriksaan serologis

- Cara Pembagian dan Pengumpulan Tinja

a) Sebelum pot tinja dibagi perlu dilakukan wawancara tentang pengetahuan

Cacingan, kebiasaan hidup sehat dengan menggunakan kuesioner

pengetahuan murid sekolah dasar atau responden.

b) Setelah wawancara, responden dibagikan pot tinja yang telah diberi kode

sesuai dengan kode yang tertulis pada kuesioner pengetahuan murid

sekolah dasar. Bila sasarannya masyarakat maka kode yang dicantumkan

ditambah alamat lengkap, desa RT dan RW. Pot tersebut diisi dengan

tinjanya sendiri dan dikumpulkan pada keesokan harinya.

c) Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot / kantong plastik sekitar 100

mg (sebesar kelereng atau ibu jari tangan).

d) Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama, sebab jika tidak

telur cacing tambang akan rusak atau menetas menjadi larva. Jika tidak

memungkinkan tinja harus diberi formalin 5-10% sampai terendam.

- Metode Pemeriksaan Kato-Katz

a) Cara Membuat Larutan Kato: Yang dimaksud dengan Larutan Kato adalah

cairan yang dipakai untuk merendam/memulas selofan (cellophane tape)

dalam pemeriksaan tinja terhadap telur cacing menurut modifikasi teknik

Kato dan Kato-Katz.

1) Untuk membuat Larutan Kato diperlukan campuran dengan perbandingan:

Aquadest 100 bagian, Glycerin 100 bagian dan Larutan malachite green

3% sebanyak 1 bagian.

2) Timbang malachite green sebanyak 3 gram, masukkan ke dalam

botol/beker glass dan tambahkan aquadest 100 cc sedikit demi sedikit lalu

aduk/kocok sehingga homogen, maka akan diperoleh larutan malchite

green 3%.

3) Masukkan 100 cc aquadest ke dalam Waskom plastik kecil, lalu

tambahkan 100 cc glycerin sedikit demi sedikit dan tambahkan 1 cc

larutan malachite green 3%, lalu aduk sampai homogen. Maka akan

didapatkan Larutan Kato 201 cc.

b) Cara merendam / memulas selofan (cellophane tape)

1) Buatlah bingkai kayu segi empat sesuai dengan ukuran Waskom

plastik kecil. Contoh: Misal bingkai untuk foto

2) Libatkan / lilitkan selofan pada bingkai tersebut.

3) Rendamlah selama + 18 jam dalam Larutan Kato.

4) Pada waktu akan dipakai, guntinglah selofan yang sudah direndam

sepanjang 3 cm.

c) Cara Pemeriksaan Kualitatif (modifikasi teknik Kato)

Hasil pemeriksaan tinja kualitatif berupa positif atau negatif cacingan.

Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis cacing atau per

jenis cacing.

(1) Cara Membuat Preparat

(a) Pakailah sarung tangan untuk mengurangi kemungkinan infeksi

berbagai penyakit.

(b) Tulislah Nomor Kode pada gelas objek dengan spidol sesuai dengan

yang tertulis di pot tinja.

(c) Ambillah tinja dengan lidi sebesar kacang hijau, dan letakkan di atas

gelas obyek.

(d) Tutup dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan Kato, dan

ratakan tinja di bawah selofan dengan tutup botol karet atau gelas obyek.

(e) Biarkan sediaan selama 20-30 menit.

(f) Periksa dengan pembesaran lemah 100 x (obyektif 10 x dan okuler 10

x), bila diperlukan dapat dibesarkan 400 x (obyektif 40 x dan okuler 10 x).

(g) Hasil pemeriksaan tinja berupa positif atau negatif tiap jenis telur

cacing.

(2) Cara Menghitung Prevalensi

(a) Prevalensi Seluruh Cacing = Jumlah specimen positif telur minimal 1

jenis cacing x 100% Jumlah specimen yang diperiksa

(b) Prevalensi Cacing Gelang

Jumlah specimen positif telur cacing gelang x 100% Jumlah specimen

yang diperiksa

(c) Prevalensi Cacing Cambuk

Jumlah specimen positif telur cacing cambuk x 100% Jumlah specimen

yang diperiksa

(d) Prevalensi Cacing Tambang

Jumlah specimen positif telur cacing tambang x 100% Jumlah specimen

yang diperiksa

d) Cara Pemeriksaan Kuantitatif

Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi

atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur per gram

tinja (EPG) pada setiap jenis cacing.

(1) Cara Membuat Preparat

(a) Saringlah tinja menggunakan kawat saring.

(b) Letakkan karton yang berlubang di atas slide kemudian masukkan tinja

yang sudah di saring pada lubang tersebut.

(c) Ambillah karton berlubang tersebut dan tutuplah tinja dengan selofan

yang sudah

direndam dalam larutan Kato.

(d) Ratakan dengan tutup botol karet hingga merata. Diamkan kurang

lebih sediaan selama 20 – 30 menit.

(e) Periksa di bawah mikroskop dan hitung jumlah telur yang ada pada

sediaan tersebut.

(2) Cara Menghitung Telur

Hasil pemeriksaan tinja secara kuantitatif merupakan intensitas infeksi,

yaitu jumlah telur per gram tinja (Egg Per Gram/EPG) tiap jenis cacing.

(a) Intensitas Cacing Gelang = Jumlah telur cacing gelang x 1000/R

Jumlah specimen positif telur Cacing Gelang

(b) Intensitas Cacing Cambuk = Jumlah telur cacing cambuk x 1000/R

Jumlah specimen positif telur Cacing Cambuk

(c) Intensitas Cacing Tambang = Jumlah telur cacing tambang x 1000/R

Jumlah specimen positif telur Cacing Tambang

Ket : R = berat tinja sesuai ukuran lubang karton (mg).

Untuk program cacingan adalah 40 mg.

- Klasifikasi Intensitas Infeksi

Klasifikasi intensitas infeksi merupakan angka serangan dari masing-

masing jenis cacing. Klasifikasi tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu

ringan, sedang dan berat. Intensitas infeksi menurut jenis cacing dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1 - Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing

e) Pembuangan Limbah Laboratorium

(1) Wadah dari kertas, plastik, stik/lidi diberi desinfektan (sodium

hipoklorit) kemudian dibakar.

(2) Wadah dari gelas/kaca atau metal ditambahkan formalin 10%, diamkan

1 jam atau lebih kemudian cuci dengan air bersih.

(3) Kaca objek bekas pakai direndam dalam larutan yang diberi

desinfektan selama kurang lebih 1 jam, kemudian cuci dengan air bersih.

Gunakan lidi untuk melepas kaca penutup (“cover glass”).

f) Pencatatan Hasil Pemeriksaan

Hasil pengumpulan data tentang pengetahuan murid dan hasil pemeriksaan

laboratorium direkap dengan menggunakan formulir tertentu (Form 1, 2

dan 3).

4) Jelaskan siklus hidup dari A. lumbricoides ?

Jawab:

Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides,

jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan

menetas dan melepaskan larva infektif (larva rhabditiform) dan kemudian

menembus dinding usus masuk kedalam vena portae hati, mengikuti aliran darah

masuk kejantung kanan dan selanjutnya keparu-paru dengan masa migrasi

berlangsung selama 1 – 7 hari. Larva tumbuh didalam paru-paru dan berganti kulit

sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya

larva masuk ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke

esopagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglotis masuk

kedalam traktus digestivus dan berakhir sampai kedalam usus halus bagian atas,

larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira

satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan bersama tinja. Siklus hidup

cacing ini mempunyai masa yang cukup panjang, dua bulan sejak infeksi pertama

terjadi, seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir

telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 – 4 minggu untuk tumbuh

menjadi bentuk infektif. Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva,

di mana telur tersebut keluar bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami

perubahan dari stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif. Telur-

telur ini tahan terhadap pengaruh cuaca buruk, berbagai desinfektan dan dapat

tetap hidup bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-

anak terkena infeksi secara terus menerus sehingga jika beberapa cacing keluar,

yang lain menjadi dewasa dan menggantikannya. Apabila makanan atau minuman

yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup

cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing

ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak

ataupun melalui kontak langsung dengan kulit (Soedarto, 1991).

5) Bagaimana patogenesis dan patofisiologis dari Ascariasis ? (sasaran

belajar)

6) Faktor Apa saja yang dapat memperberat Ascariasis ?

Jawab:

Selama sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan belum memuaskan,

tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, selama persediaan air bersih

dan sosio-ekonomi yang belum memadai, maka infeksi cacing usus yang

ditularkan melalui perantaraan tanah masih cukup tinggi frekuensinya dan masih

merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia

(Adhyatma, 1980).

Penelitian yang dilakukan oleh Ismid, dkk (1988) dan Margono, dkk

(1991) mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara infeksi soil-

transmitted helminths (infeksi A. lumbricoides) pada anak dan kebersihan pribadi

serta sanitasi lingkungan. Soeripto (1986) pada penelitiannya membuktikan

bahwa pembinaan air bersih, jamban keluarga dan kesehatan lingkungan, sesudah

pengobatan cacing secara massal pada penduduk dapat mengurangi penularan dan

menurunkan prevalensi infeksi soil-transmitted helminths di pedesaan, terutama

pada anak usia kurang dari 10 tahun.

Kebersihan lingkungan dipengaruhi oleh besarnya kontaminasi tanah yang

terjadi. Kontaminasi tanah dengan telur cacing merupakan indikator keberhasilan

program kebersihan di masyarakat (Schulz dan kroeger, 1992). Menurut O’lorcain

dan Holland (2000) untuk jangka panjang, perbaikan higiene dan sanitasi

merupakan cara yang tepat untuk mengurangi infeksi soil transmitted helminth.

Ascariasis pada manusia muncul di kedua lingkungan yang sedang dan

tropis. Prevalensi rendah terdapat pada iklim yang kering, tetapi tinggi di kondisi

yang basah dan hangat yang mana kondisi ini cocok untuk telur dan embrionisasi.

Kepadatan, ekonomi lemah, rendah higienitas lingkungan dan suplai air dapat

menyebabkan naiknya infeksi cacing ini (Legesse, 2007).

Terjadinya kecacingan karena beberapa faktor, antara lain seperti

kurangnya kebersihan perorangan atau lingkungan, dapat juga terjadi pencemaran

tanah dari telur cacing. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Djarismawati

(2007), menyatakan kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan juga sangat

berperan dalam penularan kecacingan.

7) Bagaimana asuhan keperawatan untuk penderita Ascariasis ?

(sasaran belajar)

8) Bagaimana pendidikan kesehatan untuk keluarga tentang

Ascariasis?

Jawab:

Sudah banyak dijelaskan dalam berbagai literatur kejadian penyakit

kecacingan ini adalah karena keadaan sanitasi lingkungan dan kebersihan

perorangan belum memuaskan, tingkat pendidikan masyarakat yang masih

rendah, persediaan air bersih,sosio-ekonomi yang belum memadai, dan pengadaan

jamban.

Cacing khususnya A. Lumbricoides dapat ditularkan melaui hygine

seseorang yang kurang bersih. Khususnya paling banyak terjadi adalah pada usia

sekolah. Dari hal di atas dapat disimpulkan pendidikan kesehatan yang diberikan

baik kepada keluarga dan si anak, di antaranya:

1. Mencuci tangan dengan air dan sabun sebelum makan.

2. Mencuci tangan dengan air dan sabun setelah BAK dan BAB.

3. Memotong kuku.

4. BAB pada tempatnya (mis.,Jamban)

5. Mencuci bersih sayuran dengan air mengalir sebelum dimasak.

6. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan

7. Menjaga agar tidak jajan sembarangan;orang tua bisa memberikan bekal

makanan yang bersih dan sehat untuk si anak.

Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene

keluarga dan hygiene pribadi seperti :

- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.

- Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci

terlebih dahulu dengan menggunkan sabun.

- Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah

dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.

Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama

bertahuntahun, pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.

Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai

berikut :

1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemic

ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.

2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.

3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup

cacing misalnya memakai jamban/WC.

4. Makan makanan yang dimasak saja.

Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang

menggunakan tinja sebagai pupuk.Penyakit Cacingan merupakan salah satu

penyakit berbasis lingkungan, oleh karena itu pengendalian penyakit Cacingan ini

harus melibatkan berbagai pihak baik lintas program maupun lintas sektor. Upaya

pengendalian penyakit ini sudah lama dilaksanakan diantaranya pengobatan

penderita, penyuluhan di sekolah melalui UKS dan masyarakat pada umumnya,

namun hasil yang dicapai belum sesuai dengan harapan. Selanjutnya agar

pengendalian penyakit cacingan ini dapat mencapai tujuan sesuai harapan maka

perlu direncanakan strategi promosi pengendalian Cacingan yang sesuai dengan

keadaan saat ini. Strategi Promosi pengendalian cacingan pada dasarnya ada tiga

yaitu advokasi, bina suasana, dan gerakan masyarakat.

a) Advokasi Pengendalian Cacingan oleh Pusat dan Daerah

Advokasi pengendalian Cacingan adalah suatu upaya yang sistematis dan

terorganisir untuk melancarkan suatu aksi dengan tujuan memperoleh

dukungan kebijakan Pemerintah Pusat, Daerah dan publik atau pengambil

keputusan dari berbagai pihak terkait dalam pengendalian cacingan, agar

dapat dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus. Yang melakukan

advokasi untuk Nasional adalah Pusat dan untuk daerah masing-masing

adalah Kepala Dinas Propinsi, dan Kepala Dinas Kab/Kota.

b) Bina Suasana (Social Support)

Bina Suasana adalah suatu upaya sistematis dan terorganisir untuk menjalin

kemitraan dalam pembentukan opini positif tentang pengendalian Cacingan

dengan berbagai kelompok potensial yang ada di masyarakat.

c) Gerakan Masyarakat

Gerakan masyarakat adalah suatu upaya yang sistematis dan terorganisir

untuk menumbuhkan dan mengembangkan norma yang membuat

masyarakat berdaya dan mandiri berperilaku sehat yaitu memeriksakan dan

mengobati penyakit Cacingan secara mandiri atau ke sarana kesehatan serta

melaksanakan pencegahan dengan berperilaku bersih.

9) Bagaimana pengobatan untuk penderita Ascariasis ?

Jawab:

Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa

persyaratan, yaitu :

a. Mudah diterima di masyarakat.

b. Mempunyai efek samping yang minimum.

c. Bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing.

d. Harganya murah (terjangkau).

Obat yang paling direkomendasikan dari WHO adalah mebendazole,

albendazole, levamisol dan pirantel pamoat

Jenis pengobatan penyakit Cacingan ada dua macam yaitu pengobatan

massal dan pengobatan selektif.

1) Pengobatan Massal (Blanket Treatment)

a) Blanket Mass Treatment

Suatu jenis pengobatan yang dilakukan secara menyeluruh kepada seluruh

penduduk yang menjadi sasaran program. Blanket Treatment dilakukan bila

sarana dan prasarana laboratorium tidak ada/tidak memadai atau ada sarana

laboratorium tapi kondisi geografis menyulitkan pengumpulan sampel tinja,

pengobatan massal ini dapat dilakukan sampai 3 tahun tanpa survei evaluasi.

Daerah yang melaksanakan sistem Blanket, agar diikuti dengan kegiatan

penyuluhan tentang hidup bersih dan memperbaiki sanitasi lingkungan di wilayah

tersebut. Disamping itu agar diupayakan meningkatkan SDM dan sarana

laboratorium untuk menunjang kemampuan pemeriksaan tinja, dengan harapan

suatu saat mampu melaksanakan pengobatan selektif di wilayahnya. Selain itu

pengobatan massal dilakukan apabila di daerah sasaran pernah mempunyai

prevalensi 30 % atau lebih.

b) Selective Mass Treatment

Pengobatan yang dilakukan terhadap penduduk yang menjadi sasaran

program, tetapi hanya kepada penduduk yang hasil pemeriksaan tinjanya

positif. Hal ini dilakukan pada daerah yang mempunyai sarana dan prasarana

laboratorium yang memadai, karena pemeriksaan tinja harus dilakukan pada

seluruh sasaran. Di samping itu kondisi geografis memungkinkan untuk

pengumpulan sediaan tinja secara berkala. Pengobatan dilakukan secara berurutan

(satu per satu) dan harus diminum didepan petugas (tidak boleh dibawa pulang).

2) Pengobatan Selektif (Selective Treatment)

Pengobatan dilakukan di sarana kesehatan bagi penderita yang datang

berobat sendiri dan hasil pemeriksaan mikroskopik tinja positif atau hasil

pemeriksaan klinis dinyatakan positif menderita Cacingan.

Kontra Indikasi Pemberian Obat

Dalam pelaksanaan pengobatan ada beberapa kontra indikasi terhadap

beberapa jenis obat yang diberikan adalah sebagai berikut :

a) Pyrantel pamoate : demam, hamil trismester I, umur di bawah 4 bulan.

b) Mebendazol : demam, hamil trismester I, umur di bawah 5 tahun

c) Albendazole : demam, hamil trismester I, umur di bawah 5 tahun.

Pengobatan dapat ditunda bila terdapat salah satu indikasi di atas.

- Levamisol hidrokhlorit

Levamisol hidrokhlorit merupakan isomer dari tetramisol. Obat ini

digunakan pada pengobatan infeksi nematoda usus. Dosis tinggi levamisol efektif

mengobati ascariasis (90%) dan sedikit berperan dalam melawan infeksi cacing

tambang. Obat ini bekerja dengan meningkatkan frekuensi aksi potensial dan

menghambat transmisi neuromuskular cacing, sehingga cacing berkontraksi

diikuti dengan paralisis tonik, kemudian mati (Csaky & Barnes, 1984; Girdwood,

1984; Sukarban dan Santoso, 2001).

Pada pemberian oral, levamisol diserap dengan cepat dan sempurna. Kadar

puncak tercapai dalam waktu 1-2 jam sesudah pemberian dosis tunggal. Dalam

waktu 24 jam, 60% obat dieksresikan bersama urin sebagai metabolit. Dosis

rendah levamisol hanya menyebabkan efek samping ringan pada saluran cerna

dan SSP. Pemakaian untuk waktu yang lama dengan dosis tinggi dapat

menimbulkan efek samping berupa reaksi alergi (rash), neutropenia, dan Flu-like

syndrome. Tetapi pemakaian dosis tunggal secara oral 3 mg/kgbb cukup aman dan

jarang menimbulkan efek samping (Csaky & Barnes, 1984; Girdwood, 1984;

Sukarban dan Santoso, 2001)

Levamisol tersedia sebagai tablet 25, 40, dan 50 mg yang dapat diberikan

dengan dosis 2,5 mg/kgbb. Pada ascariasis, penderita yang berat badannya lebih

dari 40 kg diberikan dosis tunggal 50-150 mg, anak dengan berat badan 10-19 kg

diberikan dosis tunggal 50 mg dan 100 mg bagi anak yang mempunyai berat

badan 20-39 kg (Sukarban dan Santoso, 2001; Tjay dan Rahardja, 2002).

- Mebendazol

Hal yang berbeda dengan obat cacing sebelumnya, mebendazol dikatakan

dapat bekerja pada semua stadium nematoda usus (Abadi, 1985; Pasaribu, 1989;

Chan,1992). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat efikasi

mebendazol ini seperti Abadi (1985) pada pemberian mebendazol 500 mg dosis

tunggal mendapat Angka Penyembuhan 93,4%, 77,6%, dan 91,1% untuk

A.lumbricoides, T.trichiura, dan cacing tambang. Adapun pada penelitian yang

dilakukan oleh Albanico, dkk (2003), mendapatkan Angka Penyembuhan

terhadap Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang dengan

pemberian mebendazol 500 mg dosis tunggal masing-masing 96,5%, 23%, dan

7,6%.

Mebendazol banyak digunakan sebagai monoterapi untuk pengobatan

massal terhadap penyakit kecacingan dan juga pada infeksi campuran dua atau

lebih cacing. Obat ini bekerja sebagai vermicid, larvicid dan juga ovicid.

Walaupun mebendazol merupakan derivat dari kelompok yang sama dengan

senyawa seperti tiabendazol, mekanisme kerja dan farmakologi keduanya sedikit

berbeda. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan

menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat sintesis

mikrotubulus nematoda yang mengakibatkan gangguan pada mitosis dan

pengambilan glukosa secara irreversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen

pada cacing, dan kemudian cacing akan mati secara perlahan-lahan. Mebendazol

juga menimbulkan sterilitas pada telur cacing T.trichiura, cacing tambang dan A.

lumbricoides sehingga telur ini gagal berkembang menjadi larva. Tetapi larva

yang sudah matang tidak dapat dipengaruhi oleh mebendazol (Pasaribu, 1989;

Goldsmith, 1998; Sukarban dan Santoso, 2001).

Mebendazol merupakan antelmintik broadspektrum yang sangat efektif

terhadap cacing gelang, kremi, cambuk dan tambang. Nama kimianya ialah N-(5-

benzoil-2-benzimidazolil) karbamat dengan rumus kimia sebagai berikut:

Gambar 6. Struktur kimia mebendazol

(Sumber : Csaky & Barnes, 1984)

Penyerapan mebendazol dari usus setelah pemberian secara oral kurang

dari 10%. Obat yang diabsorbsi 90% berikatan dengan protein. Bioavailabilitas

sistemik yang rendah dari mebendazol merupakan dampak dari absorbsinya yang

buruk dan mengalami first pass hepatic metabolism yang cepat. Dieksresi

terutama lewat urin dalam bentuk utuh dan metabolit dekarboksilasi dalam tempo

48 jam. Mebendazol merupakan bentuk obat yang lebih aktif dibandingkan

dengan metabolitnya. Absorbsi ditingkatkan bila obat diberikan bersama makanan

berlemak (Goodman, L.S. & Gilman, A , 1996; Goldsmith, 1998; Sukarban dan

Santoso, 2001).

Mebendazol merupakan obat yang aman, efek samping berupa gangguan

saluran cerna seperti sakit perut dan diare jarang terjadi. Efek samping

mebendazol dosis tinggi berupa reaksi alergi, alopecia, neutropenia reversible,

agranulocytosis, dan hypospermia jarang dijumpai. Obat ini tidak dianjurkan

digunakan pada ibu hamil karena memiliki sifat teratogenik yang potensial dan

bagi anak usia dibawah dua tahun. Pemberian obat ini pada pasien yang

mempunyai riwayat alergi sebelumnya tidak dianjurkan (Goodman, L.S. &

Gilman, A, 1996; Tjay dan Rahardja, 2002).

Mebendazol biasanya diminum secara oral, dosisnya sama pada dewasa

dan anak yang berusia lebih dari 2 tahun. Pada pengobatan ascariasis, trichuriasis

dan infeksi cacing tambang, 100 mg obat diminum pada pagi dan malam hari

selama 3 hari berturut-turut atau dengan dosis tunggal 500 mg dan tidak

memerlukan pencahar. Apabila belum sembuh, dosis ini dapat diulang 3 minggu

kemudian (Goodman, L.S. & Gilman, A, 1996; Sukarban dan Santoso, 2001;

WHO, 2003).

Herbal:

Di Indonesia terdapat banyak obat-obatan tradisional yang digunakan

untuk pengobatan penyakit cacingan di antaranya adalah bawang putih (Allium

Sativum Linn.) (Wijayakusuma, 2000). Dalam penelitian sebelumnya yang

menggunakan seduhan bawang putih terhadap cacing Ascaridia galli sudah

menunjukkan adanya efek anthelmintik dengan seduhan konsentrasi 5%

didapatkan kematian 100% pada jam ke-12, konsentrasi 10% kematian 100%

didapatkan pada jam ke-12, konsentrasi 15% kematian 100% didapatkan pada jam

ke-8, konsentrasi 20% kematian 100% didapatkan pada jam ke- 4. Maka dari itu

peneliti mencoba melakukan penelitian menggunakan infusa bawang putih yang

mana penyariannya lebih baik daripada seduhan dengan menggunakan cacing

Ascaris suum sebagai hewan uji apakah ada efek anthelmintiknya.

Penelitian ini akan meneliti tentang daya anthelmintik infusa bawang putih

(Allium sativum Linn.) terhadap cacing gelang babi secara in vitro. Cacing gelang

yang digunakan di sini adalah Ascaris suum. Ascaris suum merupakan cacing

gelang yang hidup di usus halus babi sehingga mudah untuk mendapatkannya. Hal

ini karena kesukaran dalam mendapatkan Ascaris lumbricoides dalam keadaan

hidup dari penderita, karena untuk mengeluarkan dari tubuh penderita harus

dengan pemberian obat cacing dan biasanya cacing sudah mati. Begitu juga

dengan penggunaan bawangputih sebagai bahan uji anthelmintik dikarenakan

masyarakat Indonesia untuk manfaat bawang putih sudah tidak asing lagi terutama

dalam penggunaan bumbu masak, maka dari itu bawang putih mudah ditemukan

dan diterima oleh masyarakat sebagai pengganti obat cacing yang lebih mahal

harganya.

Pirantel pamoat memiliki efek anthelmintik yang baik, akan tetapi obat ini

tidak diperbolehkan pada wanita hamil anak-anak usia di bawah 2 tahun dan

orang yang mengalami gangguan hati, berbeda dengan bawang putih yang aman

dikonsumsi oleh wanita hamil serta anak-anak usia di bawah 2 tahun. Maka dari

itu peneliti menggunakan bawang putih sebagai bahan pengganti obat

anthelmintik pirantel pamoat.

10) Bagaimana dengan psikologis anak yang terkena Ascariasis dan

apakah mempengaruhi tumbung kembang anak?

11) Apa saja komplikasi dari penyakit tersebut ?

Jawab:

1. Hati: infeksi sekunder hati (abses kecil, hepatitis)

2. Lambung: mual, muntah

3. Nasofaring: obstruksi jalan nafas (asfiksia)

4. Kolon: diare, appendiksitis

5. Usus: perforasi usus-dinding usus, obstruksi saluran empedu.

6. Obstruksi usus

7. Intususepsi

8. Invasi ke saluran empedu (cholangitis, jaundice obstruktif, batu empedu,

abses hati)

9. Appendicitis akut

10. Pancreatitis akut

11. Perforasi usus

12. Peritonitis

13. Obstruksi saluran nafas atas

14. Volvulus

12) Bagaimana kesiapan keluarga? (sasaran belajar)

13) Apa saja diagnosa banding dari penyakit tersebut ?

Jawab:

Diagnosa banding untuk askariasis adalah Pneumonia karena pada

askarisis terdapat fase migrasi ke paru-paru dan dapat ada hipereosinofilia dalam

darah perifer.

14)Jelaskan morfologi dari A. lumbricoides ?

Jawab:

Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat

(conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak

melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 -

6 mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan

panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna yang sama

dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral.

Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan

mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup

atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan (Soedarto, 1991).

Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang

berdampingan dengan hipodermis dan menonjol kedalam rongga badan sebagai

korda lateral. Sel otot somatik besar dan panjang dan terletak di hipodermis;

gambaran histologinya merupakan sifat tipe polymyarincoelomyarin. Alat

reproduksi dan saluran pencernaan mengapung didalam rongga badan, cacing

jantan mempunyai dua buah spekulum yang dapat keluar dari kloaka dan pada

cacing betina, vulva terbuka pada perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah,

bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin kopulasi. Telur yang di buahi

(fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 60-70 x 30-50 mikron. Bila baru

dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini dikelilingi suatu

membran vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur cacing tersebut

terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai satu tahun.

Di sekitar membran ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi lagi oleh

lapisan albuminoid yang permukaanya tidak teratur atau berdungkul

(mamillation). Lapisan albuminoid ini kadang-kadang dilepaskan atau hilang oleh

zat kimia yang menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated). Didalam rongga

usus, telur memperoleh warna kecoklatan dari pigmen empedu. Telur yang tidak

dibuahi (unfertilized) berada dalam tinja, bentuk telur lebih lonjong dan

mempunyai ukuran 88-94 x 40-44 mikron, memiliki dinding yang tipis, berwarna

coklat dengan lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur.

15) Apabila penyakit tersebut sudah parah, apakah dapat

menyebabkan kematian? Bagaimana tindak lanjut apabila

penyakit tersebut sudah parah?

16) Apa saja tanda dan gejala klinis dari penyakit tersebut ? (sasaran

belajar)

- SASARAN BELAJAR

1) Bagaimana patogenesis dan patofisiologis dari Ascariasis ?

2) Bagaimana asuhan keperawatan untuk penderita Ascariasis ?

3) Bagaimana kesiapan keluarga?

4) Apabila penyakit tersebut sudah parah, apakah dapat

menyebabkan kematian?

5) Apa saja tanda dan gejala klinis dari penyakit tersebut ?

- POHON MASALAH

ASCARIASI

ETIOLOGI

PATOFISIOLOGI

TANDA DAN GEJALA

PENATALAKSANAA

FARMAKOLOGIS NON