artikel model spasial

19
MODEL SPASIAL INDEKS LUAS LAHAN DAUN (ILD) PADI MENGUNAKAN DATA TM- LANDSAT UNTUK PREDIKSI PRODUKSI PADI Model spasial untuk prediksi umur dan luas areal panen atau produksi panen tanaman padi sawah irigasi menggunakan data inderaja TM-Landsat yang telah dihasilkan oleh LAPAN menggunakan parameter indeks Vegetasi. Verifikasi model untuk wilayah Pulau Jawa menghasilkan keakuratan yang diperoleh masih dalam batas-batas yang dapat diterima meskipun masih ada batasan-batasan model untuk dapat dioperasionalkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu model spasial untuk prediksi umur dan luas panen tanaman padi atau produksi padi menggunakan data TM-Landsat berdasarkan parameter lain yaitu parameter tunggal Indeks Luas Daun (ILD) atau menggunakan kedua parameter secara serentak (berganda) yaitu parameter ILD dan NDVI, untuk memperbaiki keakuratan prediksi dibandingkan dengan keakuratan menggunakan parameter tunggal NDVI. Model spasial berdasarkan Indeks Luas Daun (ILD) ini dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh dinamika faktor-faktor pengendali dari perkembangan tanaman di lapangan, yaitu antara lain faktor-faktor ketersediaan unsur hara dan air, kondisi cuaca seperti suhu dan radiasi surya, hama dan penyakit. Pada tahap penelitian ini dapat diperoleh hasil profil ILD terhadap umur tanaman padi berdasarkan pengukuran di lapangan, dimana nilai ILD meningkat dengan bertambahnya umur selama pertumbuhan vegetatif dan mencapai puncak dengan nilai sebesar 4,567 pada vegetatif maksimum (umur 8-9 minggu setelah tanam). Selanjutnya menurun sejalan dengan pertumbuhan generatif, Nilai ILD pada fase vegetatif maksimum dapat digunakan menduga produktivitas tanaman padi. Hubungan antara ILD dengan kombinasi kanal-kanal spektral dapat diperoleh dengan model persamaan Power Regression, sebagai berikut : ILD = 0,2219*(TM4/TM3)2,1005 (R2 = 0,95) Dimana : ILD adalah nilai Indeks Luas Daun pada suatu objek padi di daerah tanaman padi, yang menggambarkan titik citra pada sebaran spasial data TM-Landsat, sedangkan TM3 adalah nilai keabuan titik citra pada sebaran spasial kanal 3 TM-Landsat, yang mewakili objek padi didaerah tanaman padi, dan TM4 adalah nilai tingkat keabuan titik citra pada sebaran spasial kanal 4 TM-Landsat, yang mewakili objek padi di daerah tanaman padi. Penelitian ini menunjukkan pula suatu contoh aplikasi dari model atau algorithma yang dihasilkan dengan menggunakan data TM-Landsat, dapat

Upload: sasa-felisa

Post on 23-Jun-2015

202 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel Model Spasial

MODEL SPASIAL INDEKS LUAS LAHAN DAUN (ILD) PADI MENGUNAKAN DATA TM-LANDSAT UNTUK PREDIKSI PRODUKSI PADI

Model spasial untuk prediksi umur dan luas areal panen atau produksi panen tanaman padi sawah irigasi menggunakan data inderaja TM-Landsat yang telah dihasilkan oleh LAPAN menggunakan parameter indeks Vegetasi. Verifikasi model untuk wilayah Pulau Jawa menghasilkan keakuratan yang diperoleh masih dalam batas-batas yang dapat diterima meskipun masih ada batasan-batasan model untuk dapat dioperasionalkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu model spasial untuk prediksi umur dan luas panen tanaman padi atau produksi padi menggunakan data TM-Landsat berdasarkan parameter lain yaitu parameter tunggal Indeks Luas Daun (ILD) atau menggunakan kedua parameter secara serentak (berganda) yaitu parameter ILD dan NDVI, untuk memperbaiki keakuratan prediksi dibandingkan dengan keakuratan menggunakan parameter tunggal NDVI. Model spasial berdasarkan Indeks Luas Daun (ILD) ini dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh dinamika faktor-faktor pengendali dari perkembangan tanaman di lapangan, yaitu antara lain faktor-faktor ketersediaan unsur hara dan air, kondisi cuaca seperti suhu dan radiasi surya, hama dan penyakit. Pada tahap penelitian ini dapat diperoleh hasil profil ILD terhadap umur tanaman padi berdasarkan pengukuran di lapangan, dimana nilai ILD meningkat dengan bertambahnya umur selama pertumbuhan vegetatif dan mencapai puncak dengan nilai sebesar 4,567 pada vegetatif maksimum (umur 8-9 minggu setelah tanam). Selanjutnya menurun sejalan dengan pertumbuhan generatif, Nilai ILD pada fase vegetatif maksimum dapat digunakan menduga produktivitas tanaman padi. Hubungan antara ILD dengan kombinasi kanal-kanal spektral dapat diperoleh dengan model persamaan Power Regression, sebagai berikut : ILD = 0,2219*(TM4/TM3)2,1005 (R2 = 0,95) Dimana : ILD adalah nilai Indeks Luas Daun pada suatu objek padi di daerah tanaman padi, yang menggambarkan titik citra pada sebaran spasial data TM-Landsat, sedangkan TM3 adalah nilai keabuan titik citra pada sebaran spasial kanal 3 TM-Landsat, yang mewakili objek padi didaerah tanaman padi, dan TM4 adalah nilai tingkat keabuan titik citra pada sebaran spasial kanal 4 TM-Landsat, yang mewakili objek padi di daerah tanaman padi. Penelitian ini menunjukkan pula suatu contoh aplikasi dari model atau algorithma yang dihasilkan dengan menggunakan data TM-Landsat, dapat dihasilkan sebaran spasial ILD pada lahan padi sawah daerah Kabupaten Subang / Sukamandi Jawa Barat.

Peneliti : Gok Maria Sitanggang, Dede Dirgahayu, Ita Carolita, Heru Noviar Peneliti Psat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, LAPAN

RELEASE DOCUMENT :206 - 1

Disajikan oleh : Bidang Pengembangan dan Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan JauhPhone : (021) 8710786, 8717714Fax. : (021) 8717715E-Mail Bidang : [email protected]

Page 2: Artikel Model Spasial

Beberapa Hasil dan Contoh Pengalaman

Indonesia | Mozambik | Bolivia | Kamerun

Meskipun analisis masih terus dilakukan, namun dari beberapa survei yang berbeda sudah diperoleh sejumlah hasil termasuk di antaranya database, laporan, model, dan 'pelajaran' secara umum.

INDONESIAKalimantan

Ringkasan hasil

Lima kelas hasil dari survei di Malinau, Kalimantan adalah: 1. Sebuah catatan yang berkaitan dengan biofisik (terutama kondisi tempat dan vegetasi, ikan dan

fauna yang lain).2. Minat masyarakat lokal dan bagaimana hubungannya dengan lanskap. Termasuk budaya

manusia, kependudukan dan konteks sosial-ekonomi di tujuh kelompok masyarakat. 3. Metode yang menjelaskan bagaimana menilai minat masyarakat lokal sebagai sebuah dasar

untuk perencanaan pemanfaatan lahan yang lebih baik. 4. Beberapa usulan tentang bagaimana pandangan masyarakat lokal bisa digabungkan ke dalam

beragam kegiatan yang sedang berjalan. 5. Identifikasi topik-topik yang memerlukan penelitian dan pengembangan lebih jauh.

1. Konteks BiofisikSurvei di lapangan mencakup 200 contoh atau sampel lokasi, mulai dari ladang hingga hutan hujan yang masih perawan.

Page 3: Artikel Model Spasial

Database dari survei lapangan bisa di-download.Ribuan spesimen yang diambil untuk proses identifikasi meliputi 2118 spesies, 75% di antaranya dilaporkan memiliki satu atau beberapa nilai atau kegunaan lokal.

Grafik di bawah ini menunjukkan persentase per-plot dari seluruh spesies yang bernilai atau berguna yang dicatat berdasarkan tipe lokasi menurut informan Merap dan Punan. Tanda bulat menunjukkan nilai tengah sedangkan tanda garis menandakan nilai tertinggi dan terendah untuk masing-masing tipe lokasi yang diberikan oleh masing-masing informan.

Page 4: Artikel Model Spasial

Disamping data-data mengenai pohon, herba, tumbuhan pemanjat, dan kelompok tumbuhan lain yang beragam, beberapa daftar burung, mamalia, reptil, amfibi, ikan, dan beragam hewan invertebrata telah dihasilkan dari studi keanekaragaman hayati yang dilakukan CIFOR di daerah tersebut. Daftar-daftar ini diperoleh berdasarkan pengamatan ekstensif dan koleksi serta informasi dari masyarakat lokal. Dari beberapa taxa yang berhasil dikumpulkan, kemungkinan sejumlah di antaranya merupakan jenis baru.

2. Kesukaan lokalKegiatan memberi skor dengan Metode Distribusi Kerikil (Pebble Distribution Method = PDM) menunjukkan bagaimana masyarakat lokal memberikan skor untuk mengetahui seberapa penting hutan dibandingkan dengan jenis lahan yang lain baik secara umum maupun untuk nilai-nilai dan kepentingan khusus (lihat penjelasan kode di bawah tabel). Di bawah ini adalah ringkasan skor dari ketujuh kelompok masyarakat, pria dan wanita, tua dan muda, Merap dan Punan. Kecuali untuk ‘rekreasi', hutan memperoleh skor tertinggi di seluruh kategori.

Tipe lahan

FO ME LC HC BC TO FWBAC

OR MI HF HP RE FT OA

Kampung 11.3 15.5 1.4 2.3 0.3 1.8 1.6 2.7 13.2 9.2 7.0 0.1 17.8 13.0 6.9

Bekas Kampung

6.0 4.8 4.8 1.5 0.8 2.5 2.2 4.5 5.3 6.7 5.0 6.0 2.1 4.9 4.1

Kebun12.2 8.4 4.7 1.1 0.2 0.3 8.6 2.5 10.5 16.9 4.5 7.0 11.7 15.9 7.4

Sungai 14.6 11.1 11.0 6.7 7.8 8.9 19.0 10.7 15.6 14.6 7.9 14.5 26.6 8.5 12.7

Rawa 7.3 5.7 9.2 9.2 11.5 10.6 3.9 7.9 3.8 4.4 5.6 7.3 1.5 7.2 6.8

Ladang13.8 4.7 1.8 1.8 0.9 0.4 17.0 1.1 0.8 12.3 0.7 7.5 12.4 10.4 6.1

Page 5: Artikel Model Spasial

Jekau muda 6.5 5.8 1.7 1.3 0.8 2.0 10.0 3.5 3.3 3.6 1.5 5.1 0.3 8.0 3.8

Jekau tua 5.9 8.4 27.0 4.9 4.7 12.1 13.8 17.5 14.3 2.5 14.5 14.9 3.2 10.5 11.0

Hutan22.3 35.6 38.3 71.2 73.1 61.4 23.9 49.6 33.3 29.8 53.4 37.5 24.5 21.5 41.1

Total 100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

Hutan primer 38.6 36.3 35.6 50.7 49.5 44.7 29.1 39.0 30.3 35.8 43.5 36.5 34.6 30.7 38.2

Hutan sekunder

7.6 8.2 8.6 5.9 4.6 5.1 15.9 5.9 10.0 8.4 4.9 7.3 8.1 12.7 8.1

Jekau 12.1 15.1 23.0 4.0 2.0 4.8 35.6 15.6 26.8 7.1 9.1 11.8 15.7 23.6 14.7

Hutan rawa 10.7 12.7 12.1 10.0 15.5 14.6 10.1 14.7 12.1 12.4 13.7 15.6 17.5 13.7 13.2

Hutan gunung 31.0 27.8 20.6 29.4 28.5 30.9 9.3 24.8 20.8 36.4 28.7 29.0 24.0 19.3 25.7

Total 100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

100.0

Penjelasan dalam penggunaan kode kelas:

FO = MakananME = Obat-obatanLC = Bahan pondokHC = Bahan bangunanBC = Bahan perahuTO = PerkakasFW = Kayu bakarBAC= Anyaman

OR = Hiasan/upacaraMI = Bahan dijualHF = Bahan berburuHP = Tempat berburuRE = RekreasiFT = Masa depanOA = Rata-rata

 

PDM juga mengungkapkan bagaimana masyarakat membandingkan arti penting sumber daya yang liar dan yang ditanam/dipelihara baik tumbuhan maupun binatang. Gambar di bawah ini membedakan hasil yang diperoleh di dua dari tujuh kelompok masyarakat.

Page 6: Artikel Model Spasial

Di Long Jalan,para pria bekerja terutama sebagai pengumpul gaharu dan berburu binatang liar namun jarang atau tidak memiliki lahan yang sesuai untuk bercocok tanam sehingga beras harus dibeli. Di Langap, para petani lebih maju dan menanam sendiri sebagian besar kebutuhan makanan mereka, dan mempunyai cukup waktu untuk memelihara binatang selain ayam. Para pemuda di Langap bahkan suka berburu binatang liar di hutan.

Serangkaian kombinasi kegiatan memberi skor yang lebih mendalam bisa dilakukan untuk mengidentifikasi 'jenis-jenis yang paling penting', baik tumbuhan maupun binatang. Jika jenis-jenis tersebut dikombinasikan dengan informasi ekologi, nilai konservasi serta ancaman yang ada, hasilnya merupakan sebuah perangkat yang sangat berguna untuk membuat prioritas rencana konservasi dan sebagai pedoman untuk penelitian di masa datang.

Database jenis tumbuhan dan binatang dari kegiatan PDM bisa di-download dari website ini.

3. MetodeKami mempertimbangkan serangkaian metode yang kami kembangkan juga sebagai hasil kerja kami. Saat ini kami sedang mempromosikan penggunaan pendekatan ini untuk survei keanekaragaman hayati dengan membuat terjemahan dalam Bahasa Indonesia, Spanyol, dan Perancis. (lihat di publikasi)

4. SaranPeraturan pemerintah mengenai penebangan (TPTI, Tebang Pilih Tanam Indonesia) menganjurkan perusahaan kayu untuk membabat semua tumbuhan bawah dan pemanjat secara berulang-ulang (termasuk jenis-jenis yang berguna seperti rotan dan tanaman obat), untuk mempercepat proses regenerasi. Survei kami menunjukkan bahwa banyak nilai yang bermanfaat untuk masyarakat lokal di hutan yang sudah ditebang menjadi hilang akibat praktek ini, dan keanekaragaman hayati berkurang, sementara keuntungan dari aspek silvikulturnya pun diragukan. Tampaknya akan lebih bijaksana untuk meninjau ulang kebijakan ini.

Reduced Impact Logging (RIL) atau pembalakan berdampak rendah memerlukan perencanaan jalan dan jalur sarad yang cermat. Salah satunya adalah dengan pembuatan jalan di sepanjang punggung bukit dimana tumbuh jenis sagu yang bermanfaat (Eugeissona utilis), yang merupakan sumber makanan

Page 7: Artikel Model Spasial

utama di saat paceklik. Peraturan mengenai RIL seharusnya disesuaikan agar lebih memperhatikan sumberdaya lokal yang penting ini.

Perlindungan tempat-tempat khusus seperti kuburan di dalam hutan dan mata air asin yang penting bagi satwa liar bisa bermanfaat baik untuk kepentingan masyarakat lokal maupun kelangsungan keanekaragaman hayati. Hal ini hanyalah satu dari sekian banyak kemungkinan untuk mencapai situasi yang saling menguntungkan.

5. Penelitian dan pengembangan yang lebih lanjutEkstrapolasi spasial dari hasil survei ini masih belum jelas. Oleh karena itu, sebuah studi kasus yang dilakukan oleh Resilience Alliance dipersiapkan untuk menerapkan pendekatan spasial yang dipakai di Mozambik (lihat di metode Moz) ke daerah di sekitar Lio Mutai, salah satu lokasi survei yang terpencil. Laporan dari studi kasus ini sedang dalam penyelesaian.

Tindak lanjut yang lain dari kegiatan ini adalah penyampaian kembali hasil-hasil penelitian kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Daripada sebuah laporan tertulis, kami memilih untuk membuat satu set yang terdiri dari empat poster mengenai "Apa yang penting bagi kami (=masyarakat lokal) di lanskap (=setempat) ini?", dengan banyak gambar, ilustrasi berwarna dan beberapa teks singkat dan sederhana. Kami telah mengadakan beberapa pertemuan dengan masyarakat untuk meyakinkan bahwa mereka setuju dengan apa yang telah mereka kemukakan. Di dalam poster, kami juga mencantumkan beberapa fakta mengenai keanekaragaman hayati di Indonesia dan Kalimantan yang begitu banyak dan hasil analisa tanah yang merupakan bagian dari survei tersebut. Dari kesemuanya itu, kami berharap bahwa informasi ini akan dipertimbangkan oleh para pembuat keputusan dalam proses perencanaan pemanfaatan lahan selanjutnya di kabupaten baru tersebut.

kembali ke atas

MOZAMBIK

Hal-hal yang paling dibutuhkan oleh masyarakat dari unit-unit lanskap di Taman Nasional Gorongosa adalah air, lahan untuk bercocok tanam dan tempat tinggal, bahan untuk membuat rumah (tiang kayu, serabut, rumput dan alang-alang), kayu bakar, peralatan rumah tangga secara umum, bahan kerajinan dan bermacam-macam sumber makanan dari hidupan liar.

Penduduk di dua desa dimana survei dilakukan biasa mengumpulkan dan menggunakan sumberdaya dari daerah seluas kurang lebih 300 km2.

Pelajaran berharga yang kami peroleh dari analisis faktor-faktor yang menentukan penilaian masyarakat lokal terhadap fungsi lanskap meliputi:

Lanskap desa dinilai sebagai sejumlah barang kebutuhan dan jasa dari ekosistem yang dipisahkan oleh masyarakat menurut lokasinya masing-masing di dalam lanskap.

Untuk memperkirakan nilai sebuah lokasi, kesukaan terhadap sumberdaya tertentu di tempat itu juga menjadi faktor penting yang akan menentukan penilaian masyarakat lokal terhadap lokasi tersebut. Baik jarak maupun lembaga dan peraturan tradisional setempat kurang berperan dalam menentukan penilaian sebuah lokasi.

Page 8: Artikel Model Spasial

Di dalam kawasan taman nasional diberlakukan peraturan yang sangat ketat untuk memasuki tempat-tempat tertentu dan mengumpulkan sumberdaya alam. Oleh karena itu, masyarakat lokal pun memberikan nilai yang sangat kurang untuk tempat-tempat semacam itu.

Nilai yang diberikan untuk sebuah daerah sangat ditentukan oleh manfaat yang bisa dihitung atau dirasakan secara langsung. Manfaat tidak langsung yang disediakan oleh sebuah ekosistem kurang diperhitungkan sehingga tidak mempunyai kontribusi pada penilaian yang dilakukan dalam analisis ini.

Melakukan pengujian model dengan menggunakan data lapangan dari Muaredzi dan Nhanchururu menghasilkan derajat kepercayaan yang mendekati keadaan sesungguhnya.

Model spasial nilai lanskap untuk 1 dari 2 desa yang diteliti

Gambar tiga dimensi dari desa Muaredzi diambil dari arah barat daya. Aksis-z diperbesar 10 kali untuk memperjelas variasi spasial dalam nilai lanskap yang diperkirakan. Lanskap yang diberi warna menunjukkan kepada masyarakat lokal besarnya B/C (benefit/cost = keuntungan/biaya; misalnya nilai) dari lanskap yang diperkirakan. Unit-unit di dalam lanskap yang memiliki nilai tertinggi adalah yang berwarna putih dan keemasan (puncaknya berada di tengah gambar). Daerah yang digambarkan berwarna biru muda hingga biru tua dan merah hingga merah tua memperlihatkan nilai lanskap yang sedang mengalami penurunan. Jalan dan jalur utama diberi tanda dengan garis merah tipis sedangkan rumah-rumah di desa diberi warna biru muda. Garis biru dari S. Urema tampak jelas di sebelah kiri bawah dan S. Muaredzi melintang dari kanan (timur) ke kiri (barat) di sebelah depan wilayah desa. Dua potongan berwarna biru muda sebelah timur desa (di sepanjang jalan utama menuju Muanza) adalah hutan kering bernilai sangat tinggi bagi masyarakat.

Baca "Assessment of the value of woodland landscape function to local communities in Gorongosa and Muanza districts, Sofala province, Mozambique" untuk keterangan lebih lengkap.

 

Peta vegetasi Muaredzi

Page 9: Artikel Model Spasial

Proses evaluasi dengan menggabungkan unsur-unsur keanekaragaman hayati dan kepentingan masyarakat lokal memberikan hasil yang lebih baik di Muaredzi dibandingkan di Nhanchururu, karena unit-unit vegetasi sebelumnya lebih sesuai dengan unit yang dipetakan oleh CRUAT.

Penggabungan tersebut juga digunakan untuk membuat analisis ancaman yang mungkin terjadi pada unit-unit lanskap yang bernilai. Beberapa tipe hutan dialokasikan sebagai lanskap yang memiliki nilai konservasi tertinggi dan memperoleh peringkat tinggi dari CRUAT selama kegiatan skoring tahap awal dan evaluasi lapangan yang berikutnya. Dari sinilah konflik terbesar dapat dihindari antara tujuan konservasi dan beragam jenis pemanfaatan oleh masyarakat Muaredzi, dan seharusnya menjadi perhatian serius dalam upaya-upaya konservasi di tingkat lokal.

Page 10: Artikel Model Spasial

Konseptual Sistem Pendukung Keputusan (SPK) Spasial untuk Pengelolaan Kualitas Air Skala DAS Ditulis oleh Geoseminar    Kamis, 20 Juli 2006

Eko Winar IriantoPuslitbang Sumber Daya Air

Departemen Pekerjaan Umum   

SPK pengelolaan kualitas lingkungan kkeairan adalah merupakan bagian dari sistem perencanaan dan pengelolaan sumber daya air yang terdiri dari database kualitas air, model pengelolaan kualitas air serta model-model ekoihidrolik (Gany,,Hafied.,et al.,2001). Oleh karena itu SPK telah dicoba dibuat di Indonesia. Namun demikian system pendukung keputusan pengelolaan kualitas air yang telah dibuat tersebut belum menggabungkan aspek spasial (kondisi kewilayahan) atau sebaliknya telah terdapat informasi kewilayahan namun belum terdapat database kualitas air. Oleh karena itu integrasi database kualitas air dan data spasial (membentuk SPK Spasial) adalah sangat diperlukan untuk pengelolaan kualitas air yang komprehensif. Dutta, Debapriya menyatakan bahwa SPK Spasial adalah integrasi antara SPK dan SIG dan merupakan alat yang efisien untuk pengelolaan sumber daya alam seperti tanah dan air. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan prototip SPK Spasial yang dapat dibuat secara mandiri dan dapat dimanfaatkan oleh Balai-balai PSDA di Indonesia secara mudah, murah dan cukup efektif bagi para pengambil keputusan di DAS tersebut. Diharapkan pula dengan prototip ini para pengelola DAS atau Balai PSDA di daerah dapat membuat SPK spasialnya secara mudah dan mandiri dalam rangka konservasi DAS. Pembuatan SPK spasial dimulai dengan memanfaatkan peta hasil digitasi mmaupun peta tematik yang telah ada dan penentuan lokasi pemantauan kualitas air. Sebagai prototip, maka yang sedang dikembangkan disini adalah kualitas air pada DAS Citarum. Hasil digitasi dan peta-peta tematik yang telah dibuat tersebut selanjutnya dirangkai dalam bentuk satu kesatuan dengan menggunakan perangkat lunak Arc View 3.1 yang telah sering juga digunakan pada system SIG milik balai-balai PSDA. Adapun ekspresi program dilakukan dengan menggunakan data “script avenue” yang telah ada di Arc View versi  3.1. Dari penelitian pembuatan prototip ini disimpulkan bahwa pembuatan prototip system adalah integrasi peta-peta tematik tersebut dalam satu system dengan menggunakan bahasa “Script Avenue” yang terdapat pada perangkat lunak “Arc View 3.1”.. Pada prototip Sistem Pendukung Keputusan (SPK) Spasial ini telah dilengkapi dengan data hasil monitoring kualitas air sungai sehingga pengelola DAS dapat mengetahui secara cepat kondisi DAS yang dikelolanya, termasuk kondisi kualitas air sungainya baik dalam bentuk grafik maupun angka.

Sabtu, 11 Maret 2006 12:51:31

Page 11: Artikel Model Spasial

Artikel Iptek - Bidang Kebijakan IptekMonozukuri IKM dan Otonomi Daerah (1) Oleh Dr. Marsudi Budi Utomo

Monozukuri adalah hasil dari proses transformasi teknologi dan ketrampilan menjadi sebuah barang/produk. Ada persyaratan dan standar yang harus dipenuhi dalam membuat produk, yaitu kepemilikan teknologi dan ketrampilan khusus [1]. Monozukuri atau mono wo tsukuru

adalah istilah bahasa Jepang yang diartikan dengan membuat (tsukuru- zukuri) atau mem-produksi sesuatu barang.

Industri di Jepang yang termasuk ke dalam monozukuri ini memiliki andil 99,3 persen dari total jumlah industri. Dari data METI Jepang [2], tahun 2005 tercatat ada 293 ribu industri dengan klasifikasi jumlah pekerja resmi 4 sampai 30 orang. Industri berbasis monozukuri ini adalah industri kecil menengah (IKM) yang berhubungan dengan manufacture dikategorikan machikouba [3] mampu menyerap 8,2 juta tenaga kerja, dengan total produksi 98,7 trilyun Yen (setara dengan 8500 trilyun Rupiah). Monozukuri ini menjadi penggesa ekonomi sektor riil di Jepang sekaligus cikal bakal kemajuan teknologi.

Gambar 1. Produk monozukuri (mobil listrik tercepat Felica)

Monozukuri di Indonesia

Tidak berbeda dengan Jepang, beberapa IKM di Indonesia pun telah menerapkan prinsip monozukuri ini. Sebagai contoh adalah kerajian kuningan di kota Juwono, Pati. Setiap pengrajin kuningan dituntut memiliki teknologi logam (lebur logam) kuningan, teknologi cetakan (cetak logam, cetak pasir atau cetak malam), teknologi selep dan bubut, dan lain lain.

Selain kepemilikan teknologi tersebut, pengrajin kuningan dituntut memiliki ketrampilan/keahlian khusus yang menjadi karakter masing-masing pengrajin. Tingkat kepemilikan teknologi dan ketrampilan ini bisa dilihat dari kualitas produk kerajian mereka. Sehingga pengrajin yang memiliki teknologi dan ketrampilan yang tinggi, hasil kerajinannya pun berkualitas baik, dan sebaliknya.

Contoh lainnya adalah pengrajin logam dan industri cor logam di Ceper, Klaten. Agak berbeda dengan industri logam di Juwono yang produksinya sarat dengan nilai artistik, garapan utama cor logam Ceper adalah onderdil mesin, pompa air, dan sambungan pipa, dan lain lain.

Page 12: Artikel Model Spasial

Distribusi IKM dan Kluster

Dari studi kasus jaringan industri di beberapa propinsi di Jepang, bisa ditarik kesimpulan bahwa secara geografis, IKM terdistribusi dengan mengelilingi pusat industri pada jarak radius tertentu. Dengan distribusi spasial seperti ini, satu IKM akan menguasai wilayah geografis tertentu, dan tidak memberi peluang IKM pesaing (produk sama) masuk ke wilayah tersebut. Distribusi spasial ini bisa berupa industri tunggal maupun kluster industri.

Ada dua model terbentuknya distribusi spasial IKM, yaitu distribusi spasial pasif dan distribusi spasial aktif. Yang membedakan keduanya adalah kekuatan mana yang mempengaruhi terbentuknya pusat spasial dalam distribusi IKM tersebut. Distribusi spasial pasif adalah model distribusi IKM berupa kluster industri yang disediakan oleh pemerintah daerah sehingga menarik industri besar di luar area kluster industri untuk membuka kerja sama produksi.

Sebagai contoh adalah kluster industri di Suwa City Industri Area di propinsi Nagano. Area industri Suwa (kluster industri) ini yang dibangun oleh pemda setempat terdiri dari industri casting aluminium, industri injeksi plastik, industri press/cetak logam, industri manufaktur, dan lain lain. IKM di area ini menarik perusahaan besar seperti Shindengen Electric, Toyota Motor, Osaka Gas, dan lainnya untuk kerja sama produksi, maupun universitas dan lembaga penelitian untuk melakukan riset bersama.

Distribusi spasial aktif adalah model distribusi IKM dimana setelah ada industri besar pada suatu wilayah geografis tertentu kemudian mendorong berdirinya dua atau lebih IKM yang terdistribusi secara spasial di sekitar atau mengelilingi industri besar tersebut. Sebagai contoh setelah berdirinya Toyota Motor di Toyota City, di daerah sekitar Toyota City seperti Toyoda, Iida, Anjo dan beberapa daerah di Nagoya berdiri industri-industri baru yang siap memasok produk ke Toyota Motor. Industri tersebut berupa IKM maupun industri besar (IKM yang berkembang menjadi industri besar).

Gambar 2. Model distribusi spasial aktif

Kedua model distribusi industri ini terus berkembang baik dari sisi kebutuhan teknologi, jumlah IKM maupun jenis spesialisasinya. Mereka berperan mendukung kebutuhan industri besar yang menjadi

Page 13: Artikel Model Spasial

pusatnya. Antara IKM satu dengan IKM memiliki spesialisasi yang berbeda, atau bekerja sama dan saling mendukung dalam proses R&D.

Gambar 3. Model distribusi spasial spasial pasif

Pendukung Keberhasilan Industri

Keberhasilan industri Jepang ditopang dua sisi: sejarah dan teknologi. Sejarah industri Jepang adalah setara dengan sejarah industri Jerman, yang merupakan perpanjangan dari revolusi industri Prancis. Peralihan industri berat (peralatan militer) yang dikembangkan pada renovasi Meiji ke industri sipil memberi andil dalam keberhasilan industri Jepang. Dari sisi teknologi, didukung oleh keberhasilan machikouba yang berkembang menjadi industri besar dengan mengantongi ratusan paten. Mereka melahirkan produk-produk dengan sentuhan khas teknologi yang tidak bisa ditiru oleh produsen lain [3].

Indonesia tidak bisa menjiplak begitu saja keberhasilan industri Jepang karena faktor sejarahnya berbeda. Akan tetapi, dengan penguasaan teknologi monozukuri oleh IKM-IKM nasional tidak menutup kemungkinan ke depan akan terjadi kebangkitan industri Indonesia. Strategi nasional industri berupa manajemen industri yang berkelanjutan (sustainable) perlu digesa oleh pemerintah. Kemudian, pelaksanaannya bisa diserahkan kepada daerah-daerah yang berpotensi berkembang industrinya sesuai hak otonominya. (Bersambung)

Bahan bacaan

[1] Fuji, "Monozukuri Chuushou-kigyou Kachi-Nuki Senryaku (Strategi Memenangkan IKM)", Penerbit 2004[2] METI Jepang, Tabel Statistik Industr, 23 Juni 2005.[3] Marsudi B. Utomo, Menerobos kebuntuan Teknologi, Berita Iptek Desember 2005[4] UU No. 32 tahun 2004[5] Monozukuri Hakusho (Buku Putih Industri Jepang), 2004[6] Berbagai media online

Dr. Marsudi Budi Utomo, Senior Staf Shindengen Electric Japan MFG pada proyek "Roda empat" untuk converter dan inverter mobil FC dan HEV, Peneliti ISTECS Jepang, dan Ketua PIP PKS Jepang.

Page 14: Artikel Model Spasial

Saturday, July 08, 2006

Pola spasial TB di kota Jogja: sebuah proposal

Kategori: IKM, geografi kesehatan

Tuberkulosis (TB) masih merupakan ancaman kesehatan utama di negara berkembang. Indonesia menempati posisi ketiga dalam jumlah kasus setelah India dan China. Setiap tahun ratusan ribu pasien TB ditemukan di berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia.

Hingga saat ini, pemberantasan TB ditulangpunggungi oleh kegiatan surveilans. Aktivitas ini diinisiasi oleh pemerintah melalui jaringan pemberantasan TB di masing-masing kabupaten yang dikoordinir oleh dinas kesehatan bekerjasama dengan fasilitas kesehatan baik puskesmas, rumah sakit, klinik maupun praktek swasta. Program ini secara hirarkis dipuncaki oleh Departemen Kesehatan melalui Direktorat Jenderal P2PL (Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan). Pemerintah telah menetapkan panduan penatalaksaan pemberantasan TB disertai dengan pedoman untuk pencatatan dan pelaporan data. Salah satu fungsi surveilans yang cukup penting adalah melakukan analisis serta diseminasi hasil surveilans untuk memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan. Sayangnya, sebagian besar olahan informasi surveilans TB masih terbatas dalam bentuk grafik dan tabel. Kalaupun ada dalam bentuk peta, masih dalam bentuk agregat tematik di tingkat administratif yang besar (kabupaten atau kecamatan). Jarang dijumpai peta kasus yang menunjukkan lokasi pasien secara individual. Di kota Jogja pun demikian.

Hal inilah yang akan diteliti oleh Tita, mahasiswi FK UGM angkatan 2003 yang sedang menulis skripsi tentang pola spasial dan temporal tuberkulosis di kota Jogja Juli - Desember 2003. Berdasarkan register TB di kota Jogja, dia mendatangi satu persatu pasien TB dan mencatat koordinat geografis menggunakan GPS. Penelitiannya memang belum selesai, namun sudah mengumpulkan lebih kurang 120-an kasus. Data yang terkumpul nantinya akan diolah menggunaka Epimap. Analisis lebih lanjut mungkin akan dilakukan dengan bantuan Geoda atau Satscan.

Meskipun belum selesai, data sementara menunjukkan bahwa kasus TB tidak hanya dipengaruhi oleh kemiskinan individual tetapi juga kemiskinan kolektif. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kluster TB pada pemukiman kumuh, padat serta di daerah tepian sungai.

Meskipun bukan sesuatu yang baru, penelitian Tita merupakan yang pertama dilakukan oleh mahasiswa FK UGM berkaitan dengan epidemiologi spasial. Wilkinson dan Tanser (1999) sudah pernah melakukan penelitian mengenai aspek spasial untuk pemberantasan TB di Afrika Selatan. Mereka menyimpulkan bahwa GPS dan sistem informasi geografis berperan penting dalam program pemberantasan TB. Adalah Torstend Hagerstand, seorang geografer dari Swedia, yang meletakkan dasar-dasar kajian spasial untuk penyakit menular pada tahun 1953 saat menuliskan disertasinya mengenai difusi spasial.

Ada 3 kontribusi utama pendekatan ini dalam pemberantasan penyakit menular. Pertama, dengan menggunakan peta diharapkan muncul gambaran deskriptif mengenai distribusi serta penyebaran penyakit menular. Peta yang akurat dalam bentuk sekuens diharapkan dapat menjawab pertanyaan apa yang terjadi dan mengapa. Peta tematik yang ada di seksi surveilans mungkin baru bisa menggambarkan apa yang terjadi belum sampai ke mengapa.

Kedua, keberadaan peta diharapkan dapat memberikan aspek prediktif penyebaran penyakit menular. Sebagai penyakit yang menular yang diidentifikasi dengan ada tidaknya kontak dengan penderita, keberadaan peta kasus TB secara individual tentu sangat penting. Jika peta akurat dari masa lalu dapat

Page 15: Artikel Model Spasial

diidentifikasi polanya, dengan asumsi yang sama kita mungkin dapat memprediksi masa depan. Sebagaimana orang memanfaatkan ramalan cuaca sebagai alat bantu, seiring dengan tingkat keakuratan yang semakin tinggi, para ahli pengambil kebijakan diharapkan menggunakan peta prediktif untuk memprediksi masa depan.

Ketiga, model interaktif. Jika pada tahap dua, pola prediksi hanya sebatas ramalan penyakit, tetapi jika menggunakan pendekatan interaktif, kita dapat menentukan intervensi serta dampaknya bagi masa depan. Model interaksi ini merupakan resulta dari pelibatan faktor-faktor berpengaruh seperti diterapkan maupun tingginya cakupan vaksinasi BCG, ketersediaan layanan pemeriksaan dan obat TB di fasilitas kesehatan, pelaksanaan DOTS maupun partisipasi masyarakat dalam penanggulangan TB dengan berbagai nilai atributnya. Aspek interaktif dapat memberikan prediksi serta masukan yang baik para pengambil kebijakan untuk mengevaluasi intervensi yang telah dilakukan.

Oleh karena itu, mari kita tunggu hasil penelitian Tita. Allez allez allez.... (eh kok kayak nyemangatin tim Les Bleus....)

Posted by anis at 11:54 AM 3 comments Links to this post  

Labels: epidemiologi spasial, geografi kesehatan, tuberkulosis