artikel media dan gender to jurnal perempuan

7
Assalamu'alaikum... Kang, ini aku kirimin tugas berita yang harus mereka edit. Poin yang harus diperhatikan untuk dinilai adalah: 1. Info-info esensial yang harus ada jika berita dipangkas menjadi 1 halaman saja. 2. Kelengkapan unsur 5W + 1H + so what jika berita harus dipangkas 3. Konsistensi gramatikal dan logika alur tulisan jika berita dipangkas 4. Kesesuaian dengan standar penulisan perspektif Bul. Sesiku besok jam 9 ya? Aku sudah siapkan ide untuk materi Eksplorasi Tema dan Quality Control. Isinya 75% latihan. Untuk QC nanti bisa sekalian membahas tugas di atas. Aku akan bawakan form QC yang diberlakukan di Galang. Form ini jadi standar baku dalam menilai naskah layak naik cetak apa tidak, mudah-mudahan bisa jadi masukan bagi semua divisi. Aku gak pake power poin or handout, mengingat isinya banyak latihan aja. Aku hanya perlu flip chart dan spidol, serta peserta wajib bawa alat tulis. Maaf gak bisa bantu banyak ya. Load naskah buku untuk menyambut Ramadhan dan Lebaran lagi banyak banget dengan deadline berdempetan, aku gak bisa ambil ijin. Segitu dulu, semangat ya! Salam buat anak-anak. Wassalam, Tiwie

Upload: muhammadalfi

Post on 24-Jun-2015

432 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel Media Dan Gender to Jurnal Perempuan

Assalamu'alaikum...

Kang, ini aku kirimin tugas berita yang harus mereka edit.Poin yang harus diperhatikan untuk dinilai adalah:

1. Info-info esensial yang harus ada jika berita dipangkas menjadi 1 halaman saja.2. Kelengkapan unsur 5W + 1H + so what jika berita harus dipangkas3. Konsistensi gramatikal dan logika alur tulisan jika berita dipangkas 

4. Kesesuaian dengan standar penulisan perspektif Bul.

Sesiku besok jam 9 ya?Aku sudah siapkan ide untuk materi Eksplorasi Tema dan Quality Control. Isinya 75% latihan.

Untuk QC nanti bisa sekalian membahas tugas di atas. Aku akan bawakan form QC yang diberlakukan di Galang. Form ini jadi standar baku dalam menilai naskah layak naik cetak apa

tidak, mudah-mudahan bisa jadi masukan bagi semua divisi.Aku gak pake power poin or handout, mengingat isinya banyak latihan aja. Aku hanya perlu flip

chart dan spidol, serta peserta wajib bawa alat tulis.Maaf gak bisa bantu banyak ya. Load naskah buku untuk menyambut Ramadhan dan Lebaran

lagi banyak banget dengan deadline berdempetan, aku gak bisa ambil ijin.

Segitu dulu, semangat ya! Salam buat anak-anak.

Wassalam,Tiwie

Page 2: Artikel Media Dan Gender to Jurnal Perempuan

Sarasehan “Bahasa Media Massa dan Kesadaran Gender”

Oleh: Pratiwi Utami

Persoalan kesetaraan gender sudah berdengung lama di negeri ini. Banyak organisasi baik milik pemerintah maupun non pemerintah – bahkan individu meneriakkan pentingnya kesadaran gender di masyarakat. Tak hanya lewat kampanye ‘keras’ lewat demonstrasi dan orasi, pihak-pihak ini juga melalui jalan diplomasi, melakukan advokasi, juga bicara lewat media massa.

Namun, meski menunjukkan perkembangan yang signifikan, masih ada saja praktik-praktik ketidaksadaran akan kesetaraan gender masih kerap mengemuka. Pandangan dan komentar sinis masih saja terlontar. Bagaimana bisa sadar gender jika orang-orang belum paham apa itu bias maupun kesetaraan gender? Bagaimana pula jika kaum perempuan – yang biasanya menjadi korban – justru merasa nyaman dengan “melemahkan diri” dan tidak merasa perlu protes soal kesetaraan?

Di titik ini, media massa memainkan peran penting untuk menjawab berbagai pertanyaan baik yang sinis maupun yang penuh harapan. Media massa memiliki kemampuan dalam mengonstruksi realitas. Media adalah salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Maka kemudian media memiliki pilihan untuk memberitakan isu gender sebagai bentuk edukasi terhadap pembaca, sebagai kritik, atau bahkan menjadikan isu gender ini cukup sebagai komoditas saja.

Keputusan atas pilihan apa yang diambil media saat memberitakan isu gender berkaitan dengan banyak hal. Ini melibatkan ideologi, visi, dan misi media dalam bentuk agenda media, dikawinkan dengan pertimbangan marketing. Siapa saja yang berada di balik berita gender? Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi proses pengambilan keputusan soal tema, judul, narasumber, hingga pilihan kata dalam berita? Kepada siapa berita itu ditujukan? Apakah ideologi media sesuai dengan apa yang diteriakkan aktivis kesetaraan gender? Apakah isu ini cukup laku hingga bisa berdampak pada tiras penjualan?

Page 3: Artikel Media Dan Gender to Jurnal Perempuan

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang didiskusikan dan coba dicari jawabannya dalam sarasehan bertajuk “Bahasa Media Massa dan Kesetaraan Gender”. Acara yang dilaksanakan tanggal 20 April 2010 ini merupakan duet kerjasama Penerbit Galangpress Grup dan Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Yogyakarta. Bertempat di lantai 1 Gedung Galangpress Center Yogyakarta, sarasehan ini dihadiri oleh para aktivis gender, aktivis LSM, serta pegiat media massa baik umum maupun pers mahasiswa. Dalam diskusi santai berdurasi 2 jam ini, hadir sebagai pembicara: Dr. Hj. Siti Maryam Machasin (Ketua PW Muslimat NU DIY), Pratiwi Utami (Editor Penerbit Galangpress), dan Rachmawati Alida Bahaweres (Ketua Divisi Perempuan AJI Indonesia).

Siti Maryam membahas banyak mengenai program pemberdayaan intelektual perempuan di organisasi Muslimat. Persoalan menarik yang muncul dari paparan Siti Maryam adalah bagaimana isu gender dibahasakan dalam organisasi tersebut. Sebab, organisasi Muslimat terbilang cukup unik karena ada variabel agama dan kultur yang berpengaruh kuat. Maka, tentu ada cara tertentu yang diterapkan agar misi pemberdayaan bisa diterima oleh anggota organisasi tersebut.

Maryam menjelaskan bahwa program-program pendampingan di organisasi Muslimat umumnya bertujuan agar kaum perempuan paham bahwa mereka berhak berdiri di atas kaki sendiri dan tidak seharusnya menerima diskriminasi dalam bentuk apapun. Akan tetapi, orientasi utama dari program pemberdayaan perempuan ini adalah bahwa pencerdasan intelektual perempuan dilakukan demi mencapai keseimbangan hidup. Keseimbanagn hidup duniawi-ukhrawi, spiritual-material, jasmani-ruhani, serta mental-intelektual.

Selain itu, program-program tersebut disampaikan dengan istilah-istilah khusus. Bagi anggota organisasi Muslimat yang kulturnya terbilang tradisional, program pemberdayaan haruslah disampaikan dengan “bahasa agama” dan familiar bagi anggota, bukan yang terlalu populer atau bombastis, apalagi bahasa Inggris. Maka, istilah-istilah seperti “ibadah”, “amal salih”, “amar ma’ruf nahi munkar”, dan “amal jariyah”, menjadi istilah wajib ketika menjelaskan perkara kesetaraan, keadilan, dan sebagainya. Tujuannya tak lain agar misi pemberdayaan mudah diterima oleh anggota.

Menurut Maryam, selama ini program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh pengurus organisasi Muslimat mendapat sambutan yang

Page 4: Artikel Media Dan Gender to Jurnal Perempuan

cukup baik. Meski demikian, karena audiens yang sangat heterogen di organisasi ini, reaksi yang didapat cukup beragam. Sebagian besar anggota menanggapinya dengan dingin-dingin saja alias pasif, namun ada pula yang moderat (menolak dengan bahasa taklid berdasar pendapat ulama tertentu dan menolak ijtihad). Sebagian kecil anggota bereaksi secara rasional, terutama jika mereka berasal dari lingkungan intelektual.

Pratiwi selaku pelaku bisnis penerbitan menjelaskan mengenai wacana gender di industri penerbitan. Ia banyak membongkar kisah di dapur penerbitan Galang press ketika mengeksekusi buku-buku bertema perempuan dan gender, serta buku-buku yang ditujukan untuk pasar perempuan secara umum.

Berbeda dengan penjelasan Siti Maryam yang menekankan penggunaan bahasa agama dan cara-cara tradisional, menurut Pratiwi, ketika berhadapan dengan pasar, maka penerbit mau tak mau memakai bahasa pasar, bahasa promosi. Yaitu yang cukup menarik perhatian dan populer. Ini juga dipengaruhi oleh segmentasi pembaca yang dipilih oleh Galangpress Grup, yaitu pembaca yang hidup di kota-kota besar, yang selalu mengikuti kemajuan zaman, dan peka pada perkembangan gaya hidup. Itu artinya, isu-isu gender yang ingin disampaikan penulis dan penerbit akan lebih efektif jika menggunakan istilah atau bahasa yang awam digunakan oleh pembaca dengan profil di atas.

Bahasa populer mutlak digunakan, sebagai pintu masuk untuk menggiring para perempuan menyimak isu-isu gender yang dibahas dalam buku. Sebab, berdasarkan pengalaman, istilah jargon tentang gender seperti “rekonstruksi citra”, “emansipasi”, dan sebagainya, seringkali ditolak pasar, meski sebenarnya mereka menerima gerakan gender itu sendiri. Jika sebuah buku bertema gender ini ditolak pasar, maka idealisme penulis dan penerbit untuk menegakkan kesadaran gender menjadi tidak sampai ke sasaran utama. Di titik ini, agaknya isu gender memang perlu dibahasakan dengan lebih ringan dan populer – bukan dengan nuansa perlawanan radikal – agar semakin banyak orang yang tercerahkan.

Kondisi ini berdampak pada proses pengambilan keputusan saat menangani sebuah naskah buku. Desain cover dan pemilihan judul, misalnya, diupayakan sesuai dengan karakter perempuan. Karena itu baik editor maupun desainer grafis mesti mengerti betul bagaimana karakter, kelebihan, kekurangan, kebutuhan, dan keinginan para pembaca perempuan modern. Ini dilakukan agar buku yang diterbitkan benar-benar

Page 5: Artikel Media Dan Gender to Jurnal Perempuan

tepat sasaran, sehingga ide-ide akan kesetaraan gender pun bisa sampai ke pembaca.

Paparan materi ditutup oleh penjelasan singkat namun padat dari Alida, yang berbagi fakta akan masih banyaknya praktik jurnalistik yang tidak sensitif gender di media massa Indonesia. Ia menampilkan beberapa contoh headline media massa yang terbukti melakukan eksploitasi terhadap perempuan, atau yang kata-katanya mengundang pemaknaan miring mengenai perempuan.

Ia memberikan ulasan singkat mengenai bagaimana seharusnya aktivitas jurnalistik yang responsif gender. Salah satunya adalah pemilihan kata dalam menulis berita. Misalnya, kata “digagahi”, “digarap”, dan “digilir”, diganti dengan kata “diperkosa” saja. Menurut Alida, kata “diperkosa” sudah cukup untuk menggambarkan kasus perkosaan ketimbang tiga kata sebelumnya, yang bisa menimbulkan multiinterpretasi dan pemaknaan yang tidak seharusnya ditujukan kepada perempuan.

Alida juga menguraikan data-data hasil penelitian AJI saat menganalisis berita media massa tentang perempuan. Penelitian ini sekaligus memberikan fakta bahwa sebagian besar media massa Indonesia belum sensitif gender. Misalnya, tabloid perangkat telekomunikasi yang memajang perempuan berbikini sebagai model sampul. Hal ini, kata Alida, adalah contoh nyata akan praktik eksploitasi terhadap perempuan.

Diskusi yang dimoderatori Antonius Sigit Suryanto (Editor Galangpress Grup) itu berlangsung cukup aktif dan gayeng. Sejumlah peserta sarasehan menyampaikan uneg-unegnya mengenai perempuan dan media massa. Dinamika diskusi masih berkisar pada upaya untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang respektif gender. Upaya ini tidak berhenti pada tataran struktural, di mana kesetaraan gender dipahami hanya sebatas “perempuan bisa melakukan pekerjaan laki-laki” dan “laki-laki tak masalah jika melakukan pekerjaan wanita”. Tapi yang lebih penting adalah pada ranah kultural, yang artinya isu gender ini harus senantiasa diarusutamakan. Pengarusutamaan gender itu bisa berwujud program-program pemberdayaan intelektual bagi para perempuan. Selain itu, peran media dan penerbit sebagai agen perubahan juga besar. Maka media massa dan penerbit harus mampu menciptakan trend gender mainstreaming dengan menyajikan informasi edukatif dan mencerahkan tentang isu gender.