app infiltrat

55
BAB I PENDAHULUAN Apendisitis infiltrat merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. 1 Periapendisitis infiltrate sering terjadi pada usia tertentu dengan range 22-30 tahun. Pada wanita dan laki-laki insidensinya sama kecuali pada usia pubertas dan usia 25tahun wanita lebih banyak dari laki-laki dengan perbandingan 3 : 2. Angka kematian berkisar 2-6%, 19 %kematian jika terjadi pada wanitahamil, dan pada amak usia kurang dari 2 tahun meningkat hingga 20%. 2,3 Morbiditas meningkat dengan bertambahnya usia dan bila apendiks tidak diangkat yang dapat menimbulkan serangan berulang. Sedangkan mortalitas adalah 0,1% jika apendisitis akut tidak pecah dan 5% jika pecah. Keterlambatan dalam mendiagnosis juga berpengaruh pada angka mortalitas jika terjadi komplikasi. 4 Komplikasi utamanya adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 0 C atau lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinu. 1

Upload: rudy-

Post on 06-Aug-2015

372 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis infiltrat merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di mukosa

dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini

merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup

apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa

periapendikular.1

 Periapendisitis infiltrate sering terjadi pada usia tertentu dengan range 22-30 tahun.

Pada wanita dan laki-laki insidensinya sama kecuali pada usia pubertas dan usia 25tahun

wanita lebih banyak dari laki-laki dengan perbandingan 3 : 2. Angka kematian berkisar 2-6%,

19 %kematian jika terjadi pada wanitahamil, dan pada amak usia kurang dari 2 tahun

meningkat hingga 20%.2,3

Morbiditas meningkat dengan bertambahnya usia dan bila apendiks tidak diangkat

yang dapat menimbulkan serangan berulang. Sedangkan mortalitas adalah 0,1% jika

apendisitis akut tidak pecah dan 5% jika pecah. Keterlambatan dalam mendiagnosis juga

berpengaruh pada angka mortalitas jika terjadi komplikasi.4

Komplikasi utamanya adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi

peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada

anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala

mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinu.

Apendektomi direncanakan pada apendisitis infiltrate tanpa pus yang sudah

ditenangkan. Dimana sekitar 6-8 minggu sebelumnya diberikan antibiotik kombinasi yang

aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Pada anak kecil, wanita hamil , dan usia lanjut, jika

secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses dianjurkan drainase saja

dan apendektomi setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala

apapun, dan pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak  menunjukkan tanda radang atau abses,

dapat dipertimbangkan pembatalan tindakan bedah.1 Menurut sumber lain mengatakan bila

massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan

pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses

apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya

mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana

tanpa perforasi.2

1

  Pencegahan pada apendisitis infiltrat dapat dilakukan dengan cara menurunkan

resiko obstruksi atau peradangan pada lumen apendik atau dengan penanganan secara tuntas

pada penderita apendisitisakut. Pola eliminasi klien harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit

dapat terjadi karena tidak adekuatnya diet serat, diet tinggi serat. Perawatan dan pengobatan

penyakit cacing juga meminimalkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda

apendisitis dan apendisitis infiltrat meminimalkan resikoterjadinya gangren, perforasi, dan

peritonitis.1

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi

Appendiks merupakan organ berbentuk tabung. Pada orang dewasa panjang

dariapendiks sekitar 10 cm, diameter terluar bervariasi antara 3 sampai 8 mm dan diameter

dalamlumennya berukuran antara 1 sampai 3 mm, dan berpangkal pada sekum. Lumen

appendikssempit dibagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun pada bayi

appendiks berbentuk kerucut dengan pangkal yang lebar dan menyempit ke bagian ujungnya.

Bagian ujung dariappendiks dapat berlokasi dimana saja pada kuadran kanan bawah dari

abdomen atau pelvis.Basis dari appendisitis dapat ditemukan dengan menelusuri taenia coli

yang berjalan longitudinaldan berkonfluensi pada caecum.

Appendiks menerima suplai darah dari cabang appendikular arteri ileocolica. Arteri

initerletak posterior dari ileum terminalis, masuk ke mesoapendiks dekat dari basis

appendiks.Percabangan arteri kecil terbentuk pada titik tersebut dan meneruskan diri sebagai

arteri caecal.Perdarahan appendiks berasal dari arteri appendikularis yang merupakan arteri

tanpa kolateral.Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, appendiks

akan mengalami gangren.

 

Suplai darah ileum terminalis, caecum, dan appendiks

3

Pengaliran aliran limfatik dari appendiks menuju nodus limfatikus yang terletak sepanjangperjalanan

arteri ileocolica. Inervasi dari appendiks berasal dari elemen simpatis pleksus mesentericsuperior (T10-L1),

oleh karena itu nyeri visceral pada appendisitis bermula di sekitar umbilicus. Serabutafferentnya berasal dari

elemen parasimpatis nervus vagus.

Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis1

Gambaran histologis dari appendiks termasuk diantaranya: pertama, lapisan muskularis yangtidak

tersebar secara merata dan mungkin terdapat defisiensi pada beberapa lokasi. Kedua, submukosa,dimana

terdapat agregasi jaringan limfoid dengan atau tanpa disertai struktur tipikal dari

centrumgerminativum. Pembuluh limfe lebih prominen pada regio dibawah agregasi limfoid. Ketiga,

mukosayang menyerupai dari usus besar kecuali terdapat perbedaan densitas dari folikel limfoid. Kripta

padaappendiks memiliki iregularitas baik dari ukuran dan bentuk, berbeda dengan kripta pada colon

yangmemiliki gambaran uniform.

Kompleks neuroendokrin dari appendiks yang terdiri dari sel ganglion, sel Schwann,

seratneural, dan sel-sel neurosekretorik terletak tepat dibawah dari kripta-kripta pada appendiks.

Serotoninmerupakan produk sekretorik utama dan dihubungkan dengan nyeri yang muncul pada appendiks

non-inflamasi. Kompleks ini diduga sebagai sumber dari tumor-tumor karsinoid, dan oleh

karenanyaappendiks dikenal sebagai tempat asal utama tumor-tumor karsinoid.

4

II.2 Fisiologi

Appendiks tidak memiliki fungsi yang sesuai dengan bentuk anatomisnya sebagai organ berongga,

dimana fungsi dari appendiks ini tidak diketahui dengan pasti. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh

GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, adalah

IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan

appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika

dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

Mukosa appendiks memiliki kemampuan yang sama dalam memproduksi cairan, musin, danenzim-

enzim proteolitik, Appendiks dapat menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.

 

II.3 Insidensi

Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan

terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan

perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengankelompok

ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas.

 Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapi

beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan olehmeningkatnya

penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur,

hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi padakelompok umur 20-30

tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnyasebanding, kecuali pada umur

20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.

II.4 Etiologi dan faktor resiko

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith merupakan

penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Appendicitis akut

dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang lebih jarang adalah

hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering pada

pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi

jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia,

Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides,

Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh

infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus.

Insidensi Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi

5

karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat

terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih

dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam

terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah

trauma, stress psikologis, dan herediter.6

Bakteriologi

Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal. Sekitar

60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob,

dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang normal. Diduga

lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa

terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon

memainkan peranan penting pada perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa

dan Appendicitis perforata. 1,2,7)

Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih

dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi. 2) Flora

normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada Appendix akan

tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada

orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan

Appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai

variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan. 1,2,7

Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acute 2

Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob

Batang Gram (-)

Eschericia coli

Pseudomonas aeruginosa

Klebsiella sp.

Coccus Gr (+)

Streptococcus anginosus

Streptococcus sp.

Enteococcus sp.

Batang Gram (-)

Bacteroides fragilis

Bacteroides sp.

Fusobacterium sp.

Batang Gram (-)

Clostridium sp.

Coccus Gram (+)

Peptostreptococcus sp.

6

Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata dan non

perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali pasien telah

mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan laboratorium untuk

mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal harus

dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau

penyakit lain, dan pasien yang mengalami abscess setelah terapi Appendicitis. Perlindungan

antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis

perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien

tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal

dan transperitoneal masih kontroversi. 2,6

Peranan lingkungan: diet dan higiene 7

Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan kandungan

serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan dengan kondisi tertentu pada

pencernaan. Appendicitis, penyakit Divertikel, carcinoma Colorectal lebih sering pada orang

dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara orang yang memakan makanan dengan

kandungan serta lebih tinggi. Burkitt mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada

perubahan motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan untuk

timbul fecalith.

II.5 Patogenesis

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal

mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal 0,1

mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal sekitar

60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan

nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. 2

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan bakteri

yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi tekanan vena,

aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol

tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih

nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada

regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,7

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan suplai

darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah dengan suplai

7

darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi,

invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu

daerah infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7

Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan

gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan

kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis, khususnya

pada anak-anak.6

Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang

dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di

dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam

beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut,

dapat dipikirkan diagnosis lain.6

Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi

perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi

gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin

meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini

menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia

jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke

dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator

inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding

Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi

dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang

terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya.

Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda

karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi

Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat

timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat

ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri

pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi

Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.6

Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus.

Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh

pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup

peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada

8

pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat

menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi

karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang

melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih

tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui

dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6

Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering dijumpai

pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi Ileum terminalis

atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.6

Appendicularis infiltrat merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai

dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding Appendix dalam waktu 24-48 jam pertama,

ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup

Appendix dengan omentum, usus halus, atau Adnexa sehingga terbentuk massa

periappendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat

mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abscess, Appendicitis akan sembuh dan massa

periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 1,7

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan Appendix lebih panjang, dinding

Appendix lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih

kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi

karena telah ada gangguan pembuluh darah.1,7

Kecepatan terjadinya peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme,

daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding Appendix, omentum, usus yang lain, peritoneum

parietale dan juga organ lain seperti Vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan

melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi

perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi

masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh

karena itu penderita harus benar-benar istirahat (bedrest). 1,9

Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan

membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.

Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu

ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. 8

9

II.6 Gambaran klinis

Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian disertai

adanya massa periapendikular. Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36

jam, dimulai dengan nyeri perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis akut

adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap.

Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini

umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap

lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di

LLQ menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri

suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular. 1,2,3,7,8

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya suhu

naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC.

Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan

ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut

dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. 2,8

Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis.

Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien

yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa pasien

terutama anak-anak. 2,3,8 Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi Appendix.12,13

Tabel 2. Gejala Appendicitis acuta 9)

Gejala* Frekuensi (%)

Nyeri perut 100

Anorexia 100

Mual 90

Muntah 75

Nyeri berpindah 50

Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian

anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian

demam yang tidak terlalu tinggi)

50

*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

Skor Alvarado

10

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan

diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya ditentukan

apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA

terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang

akut dan bukan radang akut.11)

Tabel 3. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.2

Gejala Klinik Value

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Lab Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah

sebaiknya dilakukan.2

Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang

menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri lokal pada

perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis difus biasanya

bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien dapat diobservasi dulu

selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya menunjukkan peningkatan nyeri dan

tanda inflamasi yang khas.12,13

Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat

inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik Mc

Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal yang

minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat konfirmasi

dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi dibanding

diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix.12

Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu tua.

Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga Appendicitisnya

11

telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala

letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.13

II.7 Pemeriksaan fisik 

Pemeriksaan fisik menentukan posisi anatomik dari appendiks dan apakah appendiks

sudah mengalami ruptur ketika pasien pertama kali di periksa. Tanda-tanda vital

hanya mengalami sedikitperubahan pada appendicitis tanpa komplikasi. Kenaikan

suhu jarang melebihi 1oC (sekitar 37,5 ± 38,5oC) dan nadi normal atau sedikit meningkat.

Perubahan tanda-tanda vital yang bermakna biasanyamengindikasikan adanya komplikasi

atau adanya penyakit lain.

Pasien dengan appendisitis biasanya lebih enak dengan posisi supine (telentang)

dengan tungkai atas ditarik, karena adanya gerakan meningkatkan rasa nyeri. Apabila

diperintahkan untuk bergerak,mereka akan melakukannya dengan perlahan-lahan dan dengan

hati-hati.

Tanda ´klasik´ kuadran kanan bawah muncul bila appendiks terdapat pada posisi

anterior. Rasanyeri terutama pada titik Mc Burney atau sekitar Mc Burney. Hal ini

mengindikasikan adanya iritasilokal peritoneum.

1. Rovsing’s sign: Nyeri kuadran kanan bawah ketika di tekan pada kuadran kiri bawah

(daerah kontralateralnya). Hal ini mengindikasikan adanya iritasi peritoneum.

2. Blumberg sign: Nyeri di kuadran kanan  bawah  ketika  tekanan  pada kuadran

kiri bawah (daerah kontralateralnya) dilepaskan. Hal ini mengindikasikan adanya

iritasi peritoneum. Burnbe

3. Psoas sign: Mengindikasikan adanya fokus iritatif yang dekat dengan otot tersebut.

Pasien berbaring pada sisi kiri, pemeriksa pelan-pelan mengekstensikan paha kanan

yang mengakibatkan peregangan dari m. Iliopsoas. Test (+) bila ekstensi

menimbulkan rasa sakit karena appendiks yang meradang menempel di m.Psoas.

4. Obturator sign : Mengindikasikan iritasi pada pelvis. Prinsipnya dengan meregangkan

m. Obturator internus, dan melihat apakah appendiks yang meradang kontak dengan

muskulus tersebut. Pasien dalam posisi telentang, paha kanan dalam posisi fleksilalu

dilakukan rotasi interna secara pasif.

5. Dunphy’s sign:  Adanya  rasa  nyeri  yang  tajam  pada  kuadran  kanan  bawah  bila

sengaja dibatukkan (cough sign).

12

Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum

maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal.

Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena

kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala

dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan

rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke

kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya.

Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada

waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala

awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa

nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi

lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah

perforasi. Pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.

Hubungan Patofisiologi dengan Manifestasi Klinik

Kelainan Patologi Gejala dan Tanda

Peradangan awal  nyeri ulu hati, mungkin kolik 

Appendicitis mukosa  Nyeri tekan kanan bawah (rangsanganotonomik)

Radang di seluruh ketebalan dinding  Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,mual, dan muntah

Appendicitis komplit / radang

peritoneumparietal appendiks

Rangsangan peritoneum lokal (somatik),nyeri pada gerak aktif

dan pasif, defansmuskular local

Radang jaringan yang menempel pada appendiks Genitalia interna, ureter, m. Psoas, vesicaurinaria, rectum

Appendicitis gangrenosa  Demam, takikardi, leukositosis

Perforasi  Nyeri dan defans muskular seluruh perut

Perbaikan :

Tidak berhasil

Berhasil

Abses

Sda + demam tinggi, dehidrasi, syok,toksik

Massa perut kanan bawah, keadaan umum berangsur membaik

 Demam remiten, KU toksik, keluhan dan tanda setempat

13

II.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan

pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan

polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan

shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus

dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm3 pada

Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut

meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa abscess.

CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh

hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat

antara 6-12 jam inflamasi jaringan.

Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥

11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas

90.7%.

Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari

saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi

Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada

Appendicitis acuta dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.

RADIOLOGI

Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi dapat

sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien Appendicitis acuta,

kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan temuan yang

tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat

mendukung diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih

dari proses pneumoni lobus kanan bawah.

Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop

leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG, tapi jauh

lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa terutama saat

dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous drainage secara tepat.

Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan yang

tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang kosong dan

14

dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %. Pemeriksaan radiografi dari

pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk pasien yang diagnosisnya diragukan dan

tidak boleh ditunda atau diganti, memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.

II.9 DIAGNOSIS BANDING

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis

banding.Inflamasi dari diverticulum Meckel’s jarang ditemukan, namun penyakit ini

memiliki pathogenesis dan perjalanan penyakit yang menyerupai appendicitis.

Apabila gejala-gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah lebih dominan, perlu

dipertimbangkan gastroenteritis sebagai diagnosis banding, terutama apabila gejala-gejala

gastrointestinal tersebut mendahului gejala nyeri perut, namun nyeri perut lebih ringan dan

tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik lebih sering ditemukan. Demam dan leukositosis kurang

menonjol dibandingkan apendisitis akut.

Urolitiasis pielum atau ureter kanan (batu ureter atau batu ginjal kanan). Adanya

riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang

khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat

memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil,

nyeri costovertebral di sebelah kanan dan pyuria.

Kasus-kasus keganasan juga harus menjadi bahan pertimbangan. Karsinoma dengan

perforasi ke dalam sekum maupun kolon ascendens akan memberikan gejala nyeri yang akut

disertai tanda-tanda perangsangan peritoneum. Pada kasus yang jarang ditemui, dapat terjadi

apendisitis sekunder akibat obstruksi lumen sekum oleh karena karsinoma. Limfoma pada

ileum terminal juga dapat memberikan gejala-gejala yang menyerupai appendicitis. Secara

umum pada kasus-kasus keganasan abdominal dapat ditemukan tinja dengan test guaiac yang

positif, anemia, riwayat penurunan berat badan, perubahan kronisdari pola defekasi.

Pada wanita usia muda , penyebab dari nyeri perut kanan bawah termasuk yang telah

disebutkan diatas dan ditambah dengan kelainan-kelainan seperti: rupture dari kista maupun

folikel ovarii, torsio ovarii, kehamilan ektopik, juga salpingitis akut. Pada wanita usia

premenopause, endometriosis merupakan salah satu penyebab dari nyeri perut bawah kronik,

yang pada keadaan akut sering menyerupai apendisitis. Mengingat bahwa terdapat berbagai

kelainan ginekologis yang dapat menyerupaiapendisitis maka perlu ditanyakan riwayat

ginekologis pasien dan pola siklus menstruasinya.

II.10 PENATALAKSANAAN

15

Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi

ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular

yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga

peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa

periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit

tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu

2-3 hari saja.

Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan

sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh,

ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular

hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendektomi elektif dapat dikerjakan

2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila

terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan

frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya

angka leukosit.

Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan

tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi

abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-

baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis

sederhana tanpa perforasi.

Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah

apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa

apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan

dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.

Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah secara konservatif. Pada anak kecil,

wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau

berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.

Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi

ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja.

Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :

1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.

2. Diet lunak bubur saring

3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap

kuman aerob dan anaerob.

16

Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan

apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dapat dilakukan drainase dan apendiktomi dikerjakan

6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan

fisik dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan

membatalakan tindakan bedah.

Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48

jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus

dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap

hari. Biasanya pada hari ke 5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga

mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.

Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri

tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila

apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber infeksi.

Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan

ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar,

dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah

kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci

tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk

mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di RT.

Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu dengan :

• LED

• Jumlah leukosit

• Massa

Massa Appendix dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan:

1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi

lagi;

2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya

teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan

3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.16

Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :

1. Bila LED telah menurun kurang dari 40

2. Tidak didapatkan leukositosis

17

3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak mengecil

lagi.

Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa

o Apakah penderita sudah bed rest total

o Pemberian makanan penderita

o Pemakaian antibiotik penderita

o Kemungkinan adanya sebab lain.

4. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan,

operasi tetap dilakukan.

5. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi

adalah drainase.

 Teknik operasi Appendectomy 1,2,6,8):

a. Open Appendectomy

1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.

2. Dibuat sayatan kulit:

Horizontal Oblique

3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara:

a. Pararectal/ Paramedian

Sayatan/ incisi pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot disisihkan ke

medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominis karena

fascianya ada 2 agar tidak tertinggal pada waktu penjahitan. Bila yang terjahit

hanya satu lapis fascia saja, dapat terjadi hernia cicatricalis.

18

b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting

Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.

1) Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral atas ke

medial bawah.

Keterangan gambar:

Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi kedua

mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus abdominis

externus.

2) Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke lateral bawah.

Keterangan gambar:

Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi searah

dengan seratnya ke arah lateral.

3) Splitting M. transversus abdominis arah horizontal.

19

2 lapis

M.rectus abd.

sayatan

M.rectus abd.ditarik ke medial

Keterangan gambar:

Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar tak terjadi

trauma jaringan. Dapat ditambahkan, bahwa N. iliohipogastricus dan

pembuluh yang memperdarahinya terletak di sebelah lateral di antara M.

obliquus externus dan internus. Tarikan yang terlalu keras akan merobek

pembuluh dan membahayakan saraf.

4. Peritoneum dibuka.

Keterangan gambar:

Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar. Peritoneum

sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di bawahnya. Secuil

peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini ialah pinset jaringan De

Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang sama pada sisi di sebelah dokter

bedah. Dokter bedah melepaskan pinset, memasang lagi sampai dia yakin bahwa

hanya peritoneum yang diangkat.

5. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri untuk mencari

Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem dengan klem Babcock

dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah kontaminasi ke jaringan sekitarnya).

20

Appendix dibebaskan dari mesoappendix dengan cara:

Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya, diklem,

kemudian dipotong di antara 2 ikatan.

Keterangan gambar:

Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem Babcock

melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat mesenterium seperti pada

gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem ujung bebas mesenterium di bawah

ujung appenddix. Appendix tak boleh terlalu banyak diraba dan dipegang agar tidak

menyebarkan kontaminasi.

6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi lebih kuat

karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah Caecum). Klem

dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang pertama diikat dengan benang

yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga tidak terbentuk rongga dan bila terbentuk

pus akan masuk ke dalam Caecum).

7. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine.

21

8. Perawatan puntung Appendix dapat dilakukan dengan cara:

a. Dibuat jahitan tabak sak pada Caecum, puntung Appendix diinversikan ke dalam

Caecum. Tabak sak dapat ditambah dengan jahitan Z.

b. Puntung dijahit saja dengan benang yang tidak diabsorbsi. Resiko kontaminasi

dan adhesi.

c. Bila prosedur a+b tidak dapat dilaksanakan, misalnya bila puntung rapuh, dapat

dilakukan penjahitan 2 lapis seperti pada perforasi usus.

9. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru dilepaskan dan

mesenteriolumnya (retrograde).

10. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

b. Laparoscopic Appendectomy

Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien

dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy sangat berguna

untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Dengan menggunakan

laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis acuta.1

22

2.9 KOMPLIKASI POST OPERASI 1)

1. Fistel berfaeces Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces; karena benda

asing, tuberculosis, Aktinomikosis.

2. Hernia cicatricalis.

3. Ileus

4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah

Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah echymosis dan

erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena emboli retrograd dari sistem

porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.

 II.11 KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun

perforasi pada appendiks yang telah mengalami wall-off sehingga berupa massa yang terdiri darikumpulan

apendiks, sekum dan lekuk usus halus

.Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat

diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi

jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.

Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kananbawah

dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin

jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali

datang, diagnosis dapat ditegakan dengan pasti.

Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup

asalperforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium(setengah

duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik

spektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasilkultur, transfusi untuk

mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif.

Bila terbentuk abses apendik akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung

mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik

(ampisilin,gentamisin, metronidazol atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan

apendektomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan

drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu

dilakukan drainase.

23

Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi merupakan komplikasi yangletal. Hal

ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelahterjadi

perforasi apendik. Pada kedaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase.

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominallain.

Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.

II.12 PROGNOSIS

Sebagian besar pasien apendisitis sembuh dengan mudah melalui terapi operatif, namunkomplikasi

dapat muncul apabila terjadi keterlambatan dalam penatalaksanaan atau bila sudah terjadiperitonitis. Waktu

yang diperlukan untuk penyembuhan sangat bergantung pada usia, kondisi fisik,komplikasi, dan keadaan-

keadaan lainnya, termasuk konsumsi alcohol, namun biasanya untuk penyembuhan memerlukan waktu

sekitar 10 dan 28 hari. Pada anak-anak (usia kurang lebih 10 tahun), penyembuhan memerlukan waktu sekitar

tiga minggu.

Peritonitis yang mengancam nyawa merupakan alasan mengapa apendisitis akut

memerlukanevaluasi dan penatalaksanaan secara cepat. Apendisitis tipikal memberikan respon yang sangat

baik dengan apendektomi, dan terkadang dapat sembuh dengan spontan. Apabila apendisitis sembuh

denganspontan, masih merupakan kontroversi mengenai perlu tidaknya tindakan apendektomi elektif

untuk mencegah apendisitis rekuren.

Apendisitis atipikal (dihubungkan dengan apendisitis supuratif) lebih sulit untuk didiagnosis danlebih

cenderung untuk terjadi komplikasi meskipun telah dilakukan operasi secara dini. Pada keduakeadaan diatas

diagnosis secara tepat dan apendektomi memberikan hasil yang baik, dan penyembuhanpenuh terjadi antara

dua sampai empat minggu. Mortalitas dan komplikasi berat umumnya jarang ditemui,namun dapat terjadi

apabila peritonitis berlanjut dan tidak mendapat terapi. Terdapat pula topicpembahasan yang sering mendapat

perhatian mengenai massa apendikular, yaitu terbentuknya suatumassa yang terdiri dari omentum dan usus

yang saling melekat, hal ini terjadi apabila apendiks tidak segera dipindahkan dengan segera selama terjadinya

infeksi. Selama masa ini, tindakan apendektomi akansangat beresiko kecuali bila didapatkan pembentukan

pus yang dibuktikan dengan adanya demam dantoksisitas atau dengan USG.

Stump appendicitis, merupakan suatu komplikasi yang jarang ditemui, yaitu terjadinya inflamasi

pada sisa apendiks yang tertinggal setelah apendektomi yang tidak komplit.

24

BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI

Nama : Tn. A

Umur : 31 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Muara Enim

Kebangsaan : Indonesia

MRS : 8 Desember 2012

B. ANAMNESA

(autoanamnesis, 8 Desember 2012)

Keluhan Utama : Nyeri hilang timbul pada perut kanan bawah sejak 1

minggu yang lalu.

Keluhan Tambahan : Demam, mual, muntah

Riwayat Perjalanan Penyakit

± 1 minggu yang lalu pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah, nyeri dirasakan hilang

timbul, bertambah saat membungkuk ataupun duduk dan batuk, dan berkurang jika

berbaring, dan dirasakan menjalar keseluruh bagian perut yang lain. Nyeri awalnya

dirasakan di daerah ulu hati namun lama kelamaan rasa nyeri dirasakan makin tajam dan

menjalar ke perut kanan bawah. Os mengaku nafsu makannya berkurang. Os juga sering

merasa demam, tidak terlalu tinggi, naik turun sejak 1 minggu yang lalu bersamaan

dengan munculnya nyeri perut dan menggigil. Os mengeluh sulit BAB sejak 5 hari yang

lalu.. Os juga mengeluh mual dan muntah setiap masuk makanan dan minum. BAK tidak

ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Keluhan perut melilit dan mencret sebelumnya disangkal.

Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal

25

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal pemeriksaan: 9 Desember 2012

Keadaan Umum

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit, teratur

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 37.7 °c

Keadaan Spesifik

Kulit

Warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), pigmentasi normal, ikterus (-), sianosis (-),

spider nevi (-), temperatur kulit hangat, telapak tangan dan kaki pucat (-), pertumbuhan

rambut normal.

Kelenjar

Kelenjar getah bening di submandibula, leher, aksila, inguinal tidak teraba.

Kepala

Normocephali, simetris, ekspresi tampak sakit sedang, warna rambut hitam keputihan,

deformitas (-).

Mata

Eksophtalmus (-), endophtalmus (-), edema palpebra (-), konjunctiva palpebra pucat (-),

sklera ikterik (-), pupil isokor, reflek cahaya (+), pergerakan mata ke segala arah baik.

Hidung

Bagian luar hidung tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik,

selaput lendir dalam batas normal, epistaksis (-)

26

Telinga

Kedua meatus acusticus eksternus normal, nyeri tarik auricula (-), nyeri tekan tragus (-)

Mulut

Pembesaran tonsil (-), gusi berdarah (-), lidah kotor (-), atrofi papil (-), stomatitis (-),

rhagaden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan.

Leher

Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), diffuse, bruit sound

(-), JVP (5-2) cmH2O, hipertrofi musculus sternocleidomastoideus (-), kaku kuduk (-)

Thorax

Paru-paru

Inspeksi : statis: dinamis; simetris kanan = kiri

Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan linea sternalis dextra, batas kiri: línea

midclavicularis sinistra ICS VI

Auskultasi : HR 96 kali/menit, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : datar, simetris, tegang

Palpasi : NT (+) epigastrium, nyeri tekan titik Mac Burney (+), nyeri lepas (+), teraba

massa pada abdomen kanan bawah ukuran ± 10 x 7 cm, permukaan rata,

konsistensi kenyal, imobile, obturator sign (+), Rovsing sign (+), hepar dan

lien tidak teraba.

Perkusi : timpani, redup pada kuadran kanan bawah (lokasi massa)

Auskultasi : bising usus (+) normal

27

Genitalia : tidak ada kelainan

Ekstremitas : edema pretibial -/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (7 Desember 2012)

Hemoglobin : 11.7 gr/dl

Hematokrit : 33 vol%

Leukosit : 19.800 /mm3

Trombosit : 180.000 /mm3

Diff count : 0/0/0/74/18/8

LED : 90 mm/jam

E. DIAGNOSIS

Diagnosis Sementara

Appendisitis Infiltrat

Diagnosis banding

Demam Tifoid

Batu Ureter

Ca Cecum

Pyelonefritis

28

F. PEMERIKSAAN TAMBAHAN

BNO 3 posisi

Kesan: Tidak ada kelainan

Laboratorium tambahan (7 Desember 2012)

Widal: Antigen H: 1/40, antigen AH: 1/40, antigen O: 1/80, antigen BO: 1/80

Urine rutin: glukosa (-), protein (-), leukosit 1-2/lp, eritrosit 0-1/lp, kristal (-), silinder (-)

G. DIAGNOSIS KERJA

Appendisitis Infiltrat

H. RENCANA PEMERIKSAAN

- USG appendiks

- CT scan

29

I. PENATALAKSANAAN

IVFD RL/D5 ½ gtt xx x/m

Ciprofloxacin 2x1 fls

Metronidazol 3x1 fls

Ranitidin 2x1 amp

Diet BB

Bed rest total posisi semi fowler

I. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

H. FOLLOW UP

A. FOLLOW UP

Tanggal Keterangan

9 Desember

2012

S : Keluhan : Nyeri perut kanan bawah, sakit gigi

O : Sense : CM

TD : 120/90 mmHg N : 92x/menit RR : 20x/menit T :

36,8oC

Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (-), Sklera Ikterik

(-)

Thoraks : simetris, retraksi (-)

Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (+), wheezing (-)

Cor : HR = 92x/menit, BJ I dan II normal, murmur

(-), gallop (-)

Abdomen : NT (+) epigastrium, nyeri tekan titik Mac

Burney (+), nyeri lepas (+), teraba massa

pada abdomen kanan bawah ukuran ± 10 x 7

cm, permukaan rata, konsistensi kenyal,

imobile, obturator sign (+), lasseque sign

(+), Rovsing sign (+), hepar dan lien tidak

teraba.Ekstremitas: edema pretibial (-)

A : Appendicitis infiltrat

30

P : - IVFD RL/D5 ½ gtt xx x/m

Ciprofloxacin 2x1 fls

Metronidazol 3x1 fls

Ranitidin 2x1 amp

Diet BB

Bed rest total posisi semi fowler

Konsul dokter gigi

10-12-2012 S : Keluhan : Nyeri perut kanan bawah, sakit gigi

O : Sense : CM

TD : 120/90 mmHg N : 92x/menit RR : 20x/menit T :

36,8oC

Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (-), Sklera Ikterik

(-)

Thoraks : simetris, retraksi (-)

Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (+), wheezing (-)

Cor : HR = 92x/menit, BJ I dan II normal, murmur

(-), gallop (-)

Abdomen : NT (+) epigastrium, nyeri tekan titik Mac

Burney (+), nyeri lepas (+), teraba massa

pada abdomen kanan bawah ukuran ± 10 x 7

cm, permukaan rata, konsistensi kenyal,

imobile, obturator sign (+), lasseque sign

(+), Rovsing sign (+), hepar dan lien tidak

teraba.Ekstremitas: edema pretibial (-)

A : Appendicitis infiltrat

Hasil konsul dokter gigi: karies dentis pro odontectomy

P : - IVFD RL/D5 ½ gtt xx x/m

Ciprofloxacin 2x1 fls

Metronidazol 3x1 fls

Ranitidin 2x1 amp

Diet BB

Bed rest total posisi semi fowler

11-12-2012 S : Keluhan : Nyeri perut kanan bawah, sakit gigi

31

O : Sense : CM

TD : 120/90 mmHg N : 92x/menit RR : 20x/menit T :

36,8oC

Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (-), Sklera Ikterik

(-)

Thoraks : simetris, retraksi (-)

Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (+), wheezing (-)

Cor : HR = 92x/menit, BJ I dan II normal, murmur

(-), gallop (-)

Abdomen : NT (+) epigastrium, nyeri tekan titik Mac

Burney (+), nyeri lepas (+), teraba massa

pada abdomen kanan bawah ukuran ± 10 x 7

cm, permukaan rata, konsistensi kenyal,

imobile, obturator sign (+), lasseque sign

(+), Rovsing sign (+), hepar dan lien tidak

teraba.Ekstremitas: edema pretibial (-)

A : Appendicitis infiltrat

P : - IVFD RL/D5 ½ gtt xx x/m

Ciprofloxacin 2x1 fls

Metronidazol 3x1 fls

Ranitidin 2x1 amp

Diet BB

Bed rest total posisi semi fowler

Cek lab ulang

12-12-2012 S : Keluhan : Nyeri perut kanan bawah, sakit gigi

O : Sense : CM

TD : 120/90 mmHg N : 92x/menit RR : 20x/menit T :

36,8oC

Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (-), Sklera Ikterik

(-)

Thoraks : simetris, retraksi (-)

Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (+), wheezing (-)

Cor : HR = 92x/menit, BJ I dan II normal, murmur

32

(-), gallop (-)

Abdomen : NT (+) epigastrium, nyeri tekan titik Mac

Burney (+), nyeri lepas (+), teraba massa

pada abdomen kanan bawah ukuran ± 10 x 7

cm, permukaan rata, konsistensi kenyal,

imobile, obturator sign (+), lasseque sign

(+), Rovsing sign (+), hepar dan lien tidak

teraba.Ekstremitas: edema pretibial (-)

Laboratorium: leukosit: 14.400

A : Appendicitis infiltrat

P : - IVFD RL/D5 ½ gtt xx x/m

Ciprofloxacin 2x1 fls

Metronidazol 3x1 fls

Ranitidin 2x1 amp

Diet BB

Bed rest total posisi semi fowler

BAB IV

33

ANALISA KASUS

Seorang laki-laki berumur 50 tahun datang berobat dengan keluhan nyeri pada perut

kanan bawah. ± 1 minggu yang lalu pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah, nyeri

dirasakan hilang timbul, bertambah saat membungkuk ataupun duduk dan berkurang jika

berbaring, dan dirasakan menjalar keseluruh bagian perut yang lain. Nyeri awalnya dirasakan

di daerah ulu hati namun lama kelamaan rasa nyeri dirasakan makin tajam dan menjalar ke

perut kanan bawah. Saat keluhan nyeri muncul pasien juga terkadang merasakan sesak.

Pasien juga sering merasa panas dingin sejak 1 minggu yang lalu bersamaan dengan

munculnya nyeri perut, demam dirasakan tidak terlalu tinggi, dan menggigil. Os mengeluh

sulit BAB sejak 5 hari yang lalu.. Os juga mengeluh mual dan muntah setiap masuk makanan

dan minum. BAK tidak ada keluhan.

Dari anamnesis dengan penderita didapatkan bahwa penderita mengeluh nyeri perut

kanan bawah yang disertai demam selama 1 minggu. Os juga mengeluh mual muntah setiap

kali makan. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar pasien telah mengalami

periapendikular infiltrat (PAI) yang merupakan komplikasi atau kelanjutan dari

apendisitis. Nyeri epigastrium yang pertama kali dirasakan os karena nyeri visceral dari

appendiks, dimana appendiks dan usus halus memiliki persarafan yang sama. Nyeri akan

berada di epigastrium ataupun periumbilikal dalam beberapa jam (4-6 jam) dan akan menetap

di kuadran kanan bawah saat terjadi nyeri somatic akibat perangsangan peritoneum parietale

sehingga nyeri menjadi lebih tajam dan terlokalisir. Keluhan mual muntah muncul beberapa

saat setelah nyeri sebagai akibat dari rasa nyeri itu sendiri.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan NT (+) epigastrium, nyeri tekan titik Mac Burney

(+), nyeri lepas (+), teraba massa pada abdomen kanan bawah ukuran ± 10 x 7 cm,

permukaan rata, konsistensi kenyal, imobile, obturator sign (+), lasseque sign (+), Rovsing

sign (+). Massa yang teraba di kuadran kanan bawah dengan nyeri tekan pada Mc Burney

merupakan tanda dari appendicitis infliltrat.

Dari laboratorium didapatkan peningkatan LED, lueukosit, dan neutrofil segmen

(shift to the left). Dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat

dihitung skor Alvarado, yaitu sebesar 10 ditambah terabanya massa di abdomen kuadran

kanan bawah sehingga diagnosisnya adalah appendicitis infiltrate.

34

Penatalaksanaan pada penderita ini dilakukan dengan konservatif karena telah

terbentuk massa periapendikuler yang dapat menyulitkan operasi akibat perlengketan dan

memudahkan perdarahan. Pasien di bedrest total dengan posisi fowler untuk merelaksasikan

otot abdomen dan mengurangi tekanan intra-abdomen. Antibiotik diberikan spectrum luas

dan dapat melawan bakteri anaerob. Pasien diperbolehkan pulang apabila gejala klinis

membaik dan hitung leukositnya telah normal. Pasien disarankan untuk operasi 2-3 bulan

kemudian saat proses radang telah selesai dan tidak ada perlengketan lagi untuk mencegah

berulangnya appendicitis.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th

edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:

Elsevier Saunders. 2004: 1381-93

2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2.

8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,

Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34

3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition.

Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72

4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www

.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg

5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/

Appendicitis1x.jpg

6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal

Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,

McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222

7. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed:

Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson

RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62

8. Prinz RA, Madura JA. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of Surgery

Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott Williams &

Wilkins. 2001: 1466-78

9. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of Family

Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at October 20th 2011.

From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html

10. http://www.alkalizeforhealth.net/gifs/naturesplatform.gif

11. Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the Alvarado

score in acute Appendicitis. Retrieved at Desember 13th 2012. From:

http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1294889&blobtype=pdf

36