antropology etnohistori journal v1 e4 2015

101

Upload: yunan-syahpora

Post on 25-Jul-2016

276 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Published by the Faculty of Literature and Culture Khairun University Of Ternate , North Maluku . this journal intended as media scientific discussion of various issues historical and cultural of Antrophology and science perspective History. Scientific publications published in the journal is intended also in an effort to participate develop sciences Anthropology and History in Indonesia . The journal is published twice year, namely in April and September. In addition , this journal can also published in the form monograph.

TRANSCRIPT

Page 1: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015
Page 2: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Daftar Isi

Pengantar Redaksi

Menafsirkan Papua (Lebih) Emansipatif dan Reflektif: Perspektif Antropologi 206

I Ngurah Suryawan

Sejarah Kuantitatif: Telaah Kritis tentang Teori dan Sejarah Abad XX 220

Abd. Rahman

“Kemanakah Hutan Kami ?” Dinamika Sosial dan Kontestasi Antara Pihak-pihak Terlibat Pengelolaan Hutan di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah 237

Oktovianus Rusmin

Kedde Kematian dan Kontestasi Gengsi Tradisi Resiprositas Etnik Wewewa, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur 244

Dony Kleden

Nuansa Islami Pendirian Rumah Adat Bugis Makassar menurut Lontaraq 263

Irwan Abbas

Situs Percandian Batujaya di Karawang, Jawa Barat: Analisis Manajemen Sumber Daya Arkeologi 274

Mustafa Mansur

Indikator Capaian Keberhasilan Program PLPBK untuk Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman 286

Susi Diahlita Sari, Alfitri, M.Yazid

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

Page 3: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI I, 4, 2015

Diterbitkan oleh Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun. Jurnal ini dimaksudkan sebagai media pembahasan ilmiah berbagai isu-isu kebudayaan dan kesejarahan dari perspektif ilmu Antropologi dan ilmu Sejarah. Publikasi ilmiah yang diterbitkan jurnal ini dimaksudkan juga

sebagai upaya turut serta mengembangkan ilmu-ilmu Antropologi dan Sejarah di Indonesia. Jurnal ini terbit dua kali dalam setahun, yakni bulan April dan September. Selain itu, jurnal ini dapat pula diterbitkan dalam bentuk monografi.

Redaksi Jurnal ETNOHISTORI menerima kiriman naskah dari para ahli atau penulis yang meminati bidang ilmu (Antropologi dan Sejarah) yang menjadi cakupan kajian penerbitan jurnal ini. Naskah dalam

bentuk asli dan belum pernah diterbitkan. Keterangan lebih lanjut tentang hal ini dapat dilihat pada halaman kulit belakang bagian dalam jurnal ini.

Penanggung Jawab : Dekan Fakultas Sastra dan Budaya

Redaktur : Andi Sumar Karman

Penyunting : Safrudin Abdulrahman

Desain Grafis : Mustafa Mansur

Sekretaris : Rudi S. Tawari

©2015 Jurnal ETNOHISTORI Fakultas Sastra dan Budaya - Universitas Khairun Kampus II Universitas Khairun, Kelurahan Gambesi, Kota Ternate, Maluku Utara, 97751 e-mail: [email protected]

Page 4: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

Pengantar Redaksi

Puji syukur tak terhingga kami haturkan kepada Tuhan Semesta Raya atas tetap terbitnya Jurnal ETNOHISTORI. Tim Redaksi kembali menyajikan sebanyak tujuh artikel dalam Volume I Edisi 4 ini.

Artikel pertama dan kedua dalam edisi ini masing-masing berkaitan dengan persoalan metodologi dalam ilmu Antropologi dan ilmu Sejarah. Melalui artikel pertama, I Ngurah Suryawan menggagas metodologi dan perspektif untuk menafsirkan kompleksitas kebudayaan dan masyarakat Papua saat ini. Untuk itu, ia menawarkan perspektif antropologi yang kritis dan reflektif untuk memeriksa proses-proses pemaknaan yang membentuk budaya Papua selama ini dan memposisikan mereka sebagai subjek yang aktif-dinamis mengkonstruksi identitas dan kebudayaannya sendiri. Tumbuhnya kesadaran kritis masyarakat dan refleksi terus–menerus dari peneliti (antropolog) diharapkan tercapai melalui proses belajar dari pemaknaan dan pengetahuan secara bersama-sama.

Artikel kedua, karangan Abd. Rahman, mendiskusikan sejarah kuantitatif sebagai persoalan teoretis dan metodologis dalam ilmu Sejarah. Model penelitian dan penulisan sejarah ini berkaitan dengan penggunaan data berupa angka-

angka. Demikian pula dalam analisisnya, hal ini dilakukan dengan perhitungan matematis dengan angka-angka dan statistik. Menurut penulisnya, model penelitian dan penulisan semacam ini dalam karya sejarah masih jarang ditemui di Indonesia. Sejarawan asing, terutama Barat, masih mendominasi penerapannya. Meski demikian, penulis pernah menerapkannya melalui salah satu penelitiannya.

Artikel ketiga ditulis oleh seorang praktisi dengan basis keilmuan antropologi. Berpijak pada resistensi masyarakat lokal akibat keterdesakan oleh deforestasi di lingkungan mereka, Oktovianus Rusmin memaparkan dinamika sosial dan persaingan (kontestasi) berbagai pihak dalam pengelolaan sumber daya hutan di Seruyan, Kalimantan Tengah. Fungsi hutan sebagai perlidungan dan sumber penghidupan penting bagi masyarakat sekitarnya kerap tidak dipahami baik oleh pihak-pihak pengelola hutan. Akibatnya muncul berbagai persoalan–seperti: kontestasi yang mengarah pada konflik, “tragedy of the common” akibat “over exploitation”–dalam kenyataan pengelolaan hutan. Karena itu, menurut penulisnya, pertimbangan tentang aspek multifungsi hutan diperlukan dalam pengelolaan hutan secara berkesinambungan.

Page 5: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

Artikel keempat karangan Dony Kleden merupakan etnografi tentang orang Wewena melalui tradisi ‘kedde’ kematian. Tradisi pesta kematian yang sarat nilai-nilai resiprositas ini, selain membangun rasa solidaritas, tradisi ini sekaligus menjadi wadah pertarungan status, harga diri, dan gengsi sosial anggotanya. Ini dapat dijumpai melalui pemeriksaan secara teliti oleh penulisnya dalam penentuan siapa saja pihak yang akan diundang atau lamaran siapa yang akan diterima oleh penyelenggara ‘kedde.’ Kompleksitas fenomena ‘kedde’ ini tampak juga dalam sikap kpmpromistis penyelenggara dan motivasi–yang cenderung tersembunyi–di balik tindakan pihak undangan. Aspek lain tradisi orang Wewena ini adalah pelestarian nila-nilai kearifan dalam komunitas ini, yakni: rasa solidaritas, empati, memupuk hubungan kekerabatan, dan saling menjaga nama baik anggotanya.

Artikel kelima memaparkan tradisi orang Bugis Makassar menurut lontaraq Kutika dan Pitika dalam kebiasaan mendirikan rumah. Irwan Abbas menunjukkan adanya pergeseran nilai-nilai budaya pada kelompok etnik ini seiring berkembangnya dakwah Islamiyah yang menjangkau mereka. Meski demikian, beberapa bagian rumah, seperti pallawa tengnga atau pallawa teng anaq, tetap dipertahankan

(bertahan) hingga saat ini karena selaras dengan nilai-nilai Islam. Menurut penulisnya, nuansa ke-Islam-an dalam desain dan pendirian rumah adat Bugis-Makassar telah tampak sejak dahulu.

Artikel keenam menyajikan keberadaan, kelangsungan, dan pelestarian sistus-situs percandian di Batu Jaya dan menghubungkannya dengan konsep manajemen sumber daya arkeologi. Menurut Mustafa Mansur, situs ini merupakan sumber daya arkeologi yang bersifat monumental atau klasifikasi benda tidak bergerak. Pelestariannya memberikan manfaat ideologi, akademik, dan ekonomi. Selain itu, situs-situs candi di Batu Jaya ini juga memiliki potensi lain sebagai scientific research, creatice arts, education, recreation and tourism, symbolic representation, legitimasi of action, social solidarirty and integration, dan monetary and economic.

Artikel ketujuh ditulis oleh Susi Diahlita Sari, dkk. Artikel ini menunjukkan persepsi masyarakat terhadap program PLPBK di Pipareja. Para penulis artikel ini menyajikan temuannya bahwa sebagian terbesar masyarakat menyatakan puas dengan peningkatan kualitas lingkungan permukiman di kelurahan mereka melalui program PLPBK. Program ini juga berdampak pada perubahan perilkau warga masyarakat dalam merespons lingkungan

Page 6: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

permukimannya, seperti: lebih peduli pada kebersihan, meningkatnya gotong-royong, dan inisiatif membuat aturan bersama-sama.

Akhirnya, kami menyampaikan terima kasih tak terhingga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak sepanjang persiapan dan penerbitan. Mereka adalah: Dekan Fakultas Sastra dan Budaya, Fachmi Alhadar, serta segenap civitas akademika di Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Khairun. Kerja sama dan partispasi kontributor pada edisi ini tentu sangat berarti. Di atas semua dukungan, dorongan, kerja sama, dan pengertian semua pihak yang mewujudkan terbitnya jurnal ini, segenap Tim Redaksi mengucapkan selamat membaca!

Ternate, 12 September 2015

Redaksi

Page 7: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

206

Menafsirkan Papua (Lebih) Emansipatif dan Reflektif: Perspektif Antropologi

I Ngurah Suryawan

(Universitas Papua)

Abstract

Artikel ini mewacanakan bagaimana perspektif antropologi dalam menafsirkan Papua secara lebih emansipatif. Emansipatif dalam konteks ini adalah mewacanakan dinamika perubahan sosial yang terjadi di Papua secara kritis dengan berbagai kompleksitas dan “keterpecahannya”. Oleh sebab itulah perspektif antropologi yang kritis dan reflektif menjadi aktual menjadi pijakan dalam memahami kerumitan persoalan yang terjadi di Papua. Antropologi kritis memeriksa proses pemaknaan yang berlangsung dalam pembentukan budaya Papua selama ini. Perspektif reflektif berhubungan dengan persoalan metodologis dalam studi antropologi yang melihat orang Papua sebagai subjek yang terus bergerak, berubah, dan secara terus-menerus mengkonstruksi identitas dan kebudayaannya. Perspektif ini membangun makna dan pengetahuan secara bersama-sama sehingga menghasilkan proses belajar bersama-sama pula. Dengan demikian, selain menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat, antropolog juga ikut merubah dirinya sebagai proses refleksi terus-menerus.

Kata Kunci: Menafsirkan, Emansipatif, Perspektif, Antropologi,

Reflektif, Etnografi, Kesadaran kritis.

Pendahuluan

Seorang paitua (bapak) yang sudah mulai ringkih berjalan menjinjing map berwarna merah baru saja turun dari mobilnya. Paitua itu mendekati saya dan sejak dari itu ia seolah tidak berhenti bercerita tentang rencana pemekaran wilayahnya. Ia yang sebelumnya adalah pejabat daerah di sebuah kabupaten di Papua Barat mengungkapkan akan memperjuangkan pemekaran wilayah di kampungnya dan sebagian besar wilayah lainnya. Alasannya sederhana, “Agar masyarakat dong merasakan langsung dana-dana dari pemerintah. Dengan demikian kesejahteraan mereka pun akan meningkat dengan sendirinya,” ungkapnya lugas. Selain pemekaran distrik, yang ada dalam pikirannya sekarang adalah pemekaran kabupaten-

kabupaten dan provinsi baru di wilayah kepala burung Tanah Papua.

Paitua ini kemudian merinci bahwa jika ada orang dan daerah yang belum puas bisa mengajukan pemekaran. Misalnya ada etnik yang merasa belum diakomodasi bisa mengajukan pemekaran wilayahnya menjadi kabupaten definitif. “Tentu dong (mereka) harus berjuang juga, jangan terima jadi saja,” jelasnya. Perjuangan yang dimaksud paitua ini adalah memobilisasi dukungan di masyarakat, bekerja sama dengan anggota dewan dan pejabat bupati induk agar memberikan izin dan merekomendasikan pemekaran tersebut. Singkatnya, bagaimana membuat dukungan pemekaran tersebut menjadi kuat dan betul-betul diperjuangkan oleh para pejabat agar menjadi terealisasi.

Pemecahan wilayah melalui pemekaran seperti ilustrasi di atas jamak terjadi di Papua. Para birokrat di sebuah provinsi misalnya

Page 8: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

207

akan memikirkan kembali untuk menoleh kampungnya untuk dimekarkan. Peralihan aparat birokrat agar mendapatkan posisi yang lebih “terhormat” di wilayahnya sendiri juga terjadi. Arus migrasi birokrat menjadi sebuah fenomena yang tak terbantahkan. Ujungnya adalah jaringan etnik dan kekeluargaan yang menjadi salah satu basis kuat dari desain pemekaran sebuah wilayah. Tentu persoalannya tidak sesederhana demikian. Polarisasi di internal etnik di Papua juga terbukti menjadi pemicu dari rencana pemekaran daerah.

Selain migrasi penduduk pendatang yang selalu dikhawatirkan dari pemekaran daerah, migrasi birokrat dan perebutan posisi-posisi jabatan pemerintahan merupakan perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya dari sebuah daerah operasional baru hasil dari pemekaran daerah. Pengalaman saya menyaksikan bagaimana para birokrat berkumpul untuk merebut hak jabatan di daerah pemekaran menggambarkan semuanya. Suatu hari di pertengahan Februari 2013. Di halaman sebuah ruang pertemuan besar di pusat kota Distrik Ransiki tampak sesak dengan puluhan warga. Beberapa warga juga berkumpul di “mata jalan” (pinggir jalan) sebuah gereja megah yang berhadapan dengan gedung pertemuan distrik. Di dalam ruangan, kursi-kursi plastik sudah diatur memenuhi ruangan. “Tong (kita) harus bicarakan ini baik-baik. “Barang” (pemekaran daerah) ini datang untuk tong semua, jangan sampai orang-orang kabupaten duduk-duduk baku atur (saling mengatur) urus “barang” yang tong punya,” ujar seorang paitua (orang tua) berbaju batik Papua biru sambil mengunyah sirih pinang. Paitua ini adalah salah satu guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mempunyai hak ulayat di daerah pemekaran ini.

Para PNS yang berasal dari keseluruhan distrik tersebut telah membentuk sebuah tim untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam pengaturan posisi-posisi

birokrasi di kabupaten baru ini. Mereka sebagian besar adalah para PNS yang bertugas di berbagai dinas di kabupaten induk yang berbondong-bondong ingin menempati jabatan di kabupaten baru. “Kitong para PNS ni harus menjadi tuan di kitong pu tanah. Jangan bawa orang dari luar. Tong juga tra tau (tidak tahu), dong (mereka) mau kah tidak? Nan tong tra (Nanti kita tidak) dapat bagian lagi,” ujar seorang PNS menyambung pertemuan siang itu.

Suasana menjadi tegang dan memanas ketika pimpinan rapat mulai mendata nama-nama PNS yang pantas untuk dipromosikan menempati jabatan di kabupaten baru tersebut. “Tong hanya berharap PNS-PNS yang memang “anak tanah” ini bisa menikmati pemerintahan baru yang terdapat di tanah kita sendiri. Jangan semua jabatan-jabatan penting dipegang oleh orang luar dan tong menjadi penonton. Tong harus menjadi pelaku di daerah pemekaran ini. Kitong pu (kita punya) tanah yang sekarang jadi “barang ini” (pemekaran daerah),” katanya disambut oleh tepuk tangan warga dalam ruang pertemuan.

Fragmen etnografis di atas hanyalah salah satu di antara banyak fenomena kebudayaan yang hingga hari ini masih menjadi isu ekonomi politik yang panas di Tanah Papua. Nah, bagaimana perspektif kebudayaan (antropologi) membaca isu ini? Dalam konteks yang lebih luas, bagaimana menafsirkan kompleksitas kebudayaan yang terjadi di Papua hingga hari ini? Antropologi sebenarnya ditunggu peranannya dalam upaya memahami dinamika kebudayaan ini. Nah, pertanyaannya adalah dengan metodologi atau perspektif kebudayaan yang seperti apa yang semestinya dipergunakan dalam upaya melantunkan penafsiran terhadap dinamika sosial budaya yang terjadi di Papua? Artikel ini akan membincangkan bagaimana perspektif antropologi dalam menafsirkan Papua secara lebih emansipatif

Page 9: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

208

dari pada yang selama ini dilakukan dalam kajian-kajian tentang Papua.

Akumulasi Pengetahuan Papua (Seperti Bagaimana?)

Akumulasi pengetahuan tentang Papua hingga hari ini melimpah ruah jumlahnya. Hasil-hasil penelitian dan reproduksi pengetahuan yang terlahir dengan menggunakan Papua sebagai “objek” sudah tak terhitung lagi. Tumpukan laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dan pemetaan kondisi sosial budaya menjadi harta yang tak ternilai harganya dalam memahami dan menafsirkan Papua. Namun, persoalannya adalah bagaimana tumpukan akumulasi pengetahuan tersebut berguna bagi rakyat Papua “mengerti dirinya sendiri” dan terlibat sebagai subjek dalam perubahan sosial yang terjadi di tanahnya sendiri?

Persoalan relasi ilmu pengetahuan dan masyarakat memang menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya. Ujung dari perdebatan itu adalah terletak dari paradigma ilmu pengetahuan tersebut melihat masyarakat sebagai “sumber pengetahuan”. Menempatkan manusia sebagai subjek dalam proses transformasi sosial budaya yang berlangsung di Papua khususnya adalah salah perspektif berpikir dalam studi kebudayaan. Perspektif emansipatoris yang transformatif mengacu kepada bagaimana ilmu-ilmu humaniora menggunakan ilmunya secara “berpihak” menjadi mediasi menyadarkan serta menyakinkan masyarakat untuk mengambil peran dalam perubahan sosial. Kata kuncinya adalah kesadaran untuk berpartisipasi dan mengambil peran aktif dalam proses perubahan sosial budaya.

Menempatkan manusia sebagai subjek dalam proses transformasi sosial budaya yang berlangsung di Papua khususnya adalah salah perspektif berpikir dalam studi kebudayaan. Perspektif emansipatoris yang transformatif mengacu kepada bagaimana ilmu-ilmu humaniora—dalam hal ini antropologi—menggunakan ilmunya secara “berpihak”

menjadi mediasi menyadarkan serta menyakinkan masyarakat untuk mengambil peran dalam perubahan sosial. Kata kuncinya adalah kesadaran untuk berpartisipasi dan mengambil peran aktif dalam proses perubahan sosial budaya.

Sudah puluhan tahun program pembangunan hadir di tengah masyarakat Papua. Perubahan perlahan mulai dirasakan menyangkut lingkungan fisik berupa bangunan-bangunan fasilitas publik seperti jalan, sekolah, Puskesmas Pembantu (Pustu) di kampung-kampung. Pembangunan fisik yang mencolok terlihat adalah gedung-gedung pusat pemerintahan di tingkat kabupaten maupun distrik yang mulai menerabas hutan dan tanah-tanah ulayat milik masyarakat. Namun, semua itu terjadi karena adanya bantuan triliunan rupiah jumlahnya baik itu dari pemerintah pusat Indonesia di Jakarta, melalui Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Papua dan Papua Barat serta program-program bantuan dari lembaga luar negeri. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan adanya berbagai macam bantuan tersebut membuat masyarakat Papua berinisiatif untuk merubah diri dan kehidupannya ke depan? Di sinilah kemudian terletak persoalannya.

Sudah menjadi kelumrahan jika dalam memandang, “mambaca”, mencitrakan, dan menganalisis Papua dengan masyarakat dengan “terkebelakang”, “kurang beradab” dan sejumlah kesan minor lainnya karena sederetan kisah tentang gizi buruk, “perang suku”, dan kekurangmajuan mereka dibandingkan dengan daerah Indonesia di bagian barat. Pembacaan ini dari perspektif yang mempengaruhinya sudah mengalami permasalahan yang sangat akut dan serius. Permasalahannya adalah menempatkan bahwa yang memandang Papua merasa dirinya lebih “berkuasa” dan beradab dibandingkan masyarakat Papua secara umum. Ini adalah cikal bakal dari pandangan kolonialistik dan penaklukan (baca:

Page 10: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

209

penjajahan). Pembacaan ini lebih mengundang permasalahan daripada menemukan soluasi dalam menghadapi kompleksitas persoalan Papua.

Salah satu potret mama-mama Papua di

Pasar Momowaren di Distrik Distrik Momiwaren, Kabupaten Manokwari Selatan,

Provinsi Papua Barat (Foto: I Ngurah Suryawan)

Realitas berbagai persoalan yang

terdapat di Papua harus dilihat secara holistik, komprehensif dan berperspektifkan empati yang emansipatoris. Ide dari pendekatan ini adalah melihat kompleksitas persoalan Papua dengan menggali latar belakang per-masalahan, tidak menyalahkan tapi membangun solusi bersama. Setelah itu menempatkan masyarakat Papua sebagai subjek dan menggerakkan mereka untuk berperan secara aktif dan merubah dirinya sendiri. Caranya adalah menggugah kesadaran mereka tentang kondisi Papua dan tanah kelahirannya kini dan menggantungkan harapan-harapan pembaruan kepadanya.

Dengan menggunakan perspektif emansipatoris dan transformatif, masyarakat Papua akan merasa dirinya menjadi bagian

dari perubahan besar yang terjadi di Papua, bukan malah sebagai penonton seperti kecenderungan yang terjadi selama ini. Argumentasi ekonomi politik sebagai basis dari pandangan modernisme (kemajuan) mendasarkan kemajuan diukur dari pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Dasar pemikiran inilah yang dominan selama ini mempengaruhi cara pandang dan pembacaan terhadap Papua, sehingga fenomena pemekaran digalakkan sedemikian rupa dengan alasan untuk memajukan Papua dari kemiskinan, ketertinggalan, dan sebagai aspirasi politik budaya masyarakat Papua. Kemiskinan dan ketertinggalan adalah basis dari argumentasi ekonomi, sedangkan aspirasi politik etnik/suku bangsa di Papua adalah basis untuk menjaga stabilitas politik.

Dengan demikian, apa yang sebenarnya terjadi dalam studi-studi kebudayaan selama ini tentang Papua? Jika merujuk bahwa salah satu kontribusi ilmu pengetahuan di tengah masyarakat adalah menginspirasi perubahan sosial untuk kemaslahatan masyarakat yang selama ini tersingkirkan dan dikalahkan. Senjata ilmu pengetahuan sepatutnya memberikan gambaran dan arah tentang berbagai fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Selain memberikan analisis, ilmu pengetahuan juga sepatutnya memberikan penafsiran dan prediksi tentang situasi yang akan terjadi ke depan. Nah, salah satu bidang yang penting tersebut adalah analisis dan penafsiran dalam bidang kebudayaan, yang nantinya sangat berguna untuk memberikan refleksi sekaligus bimbingan ke arah mana kebudayaan masyarakat akan bergerak.

Studi kebudayaan inilah yang menjadi perhatian dari antropologi, salah satu ilmu-ilmu humaniora yang menaruh perhatian kepada proses-proses pembentukan (konstruksi) dan signifikasi (pemaknaan) kebudayaan di tengah masyarakat. Tentu saja perspektif (cara pandang) dalam memahami kebudayaan berbagai macam dan berbagai studi kebudayaan telah banyak dihasilkan

Page 11: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

210

sesuai dengan cara pendang tersebut. Totalitas antropologi dalam menuliskan fenomena kebudayaan itulah yang dinamakan etnografi. Di sinilah titik perdebatannya. Perdebatannya bukan hanya persoalan perspektif namun lebih ke dalam yaitu mengenai bagaimana etnografi bisa menginspirasi atau menstimulasi (merangsang) inisiatif perubahan di tengah masyarakat. Perubahan yang dimaksudkan pada tataran pemaknaan dari fenomena yang terjadi dan juga kesadaran yang tercipta di tengah masyarakat. Untuk mencapai tujuan inilah diperlukan relasi yang intim guna menautkan (menghubungkan) antropologi dan transformasi sosial budaya yang bergerak di tengah masyarakat.

Dalam tradisi studi kebudayaan klasik yang dipopulerkan oleh “Bapak Antropologi Indonesia”, Koentjaraningrat, berkembang “dogma” tentang tujuh unsur kebudayaan yang meliputi: sistem pengetahuan, religi/agama, kesenian, teknologi, bahasa, organisasi sosial dan kekerabatan, sistem ekonomi/mata pencaharian hidup. Pendeskripsian ketujuh unsur kebudayaan ini pernah menjadi kegandrungan dalam studi kebudayaan yang masih berlangsung hingga kini. Jurusan-jurusan antropologi berbagai universitas di Indonesia masih menggunakan metode tujuh unsur kebudayaan ini dalam memperkenalkan kajian-kajian awal dari ilmu antropologi.

Akumulasi pengetahuan dan penggambaran etnografi kelompok masyarakat berdasarkan tujuh unsur kebudayaan menjadi hal yang “sederhana” dan paling berguna untuk penggambaran awal “kebudayaan etnik” yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kekuasaan. Ahimsa-Putra (1987:27) mengungkapkan studi-studi etnografi yang mengikuti pandangan tujuh unsur kebudayaan universal bermaksud untuk memudahkan para peneliti memanfaatkannya dalam studi perbandingan kebudayaan (cross-cultural).

Melalui studi perbandingan yang semacam ini diharapkan akan dapat dicapai rumusan-rumusan yang sedikit banyak menyerupai “hukum-hukum” atau “dalil” tentang fenomena sosial-budaya. Epistemologi yang ada dibalik pemikiran semacam ini adalah epistemologi yang positivistik.

Studi perbandingan kebudayaan inilah yang memunculkan perspektif studi kebudayaan yang melokalisir kebudayaan pada wilayah tertentu. Hal ini tentu salah kaprah karena kebudayaan sifatnya adalah cair melampaui ruang dan terus-menerus berubah melampaui pembatasan-pembatasan. Paradigma positivistik yang menganggap kebudayaan sebagai benda dan nilai-nilai yang kokoh, ajeg yang tidak berubah beresiko gagal menangkap dinamika dan perubahan dalam kebudayaan tersebut.

Nah, jika studi kebudayaan Papua khususnya terus-menerus menggantung diri pada perspektif ini, bukan tidak mungkin kajian kebudayaan Papua yang kritis dan transformatif tidak akan pernah terjadi. Studi kebudayaan Papua akan macet, tidak berkembang secara dinamis dan kritis. Justru yang terjadi adalah involusi (pengulangan) dan pengkerdilan kebudayaan Papua karena kegagalan memahami perspektif emansipatif yang kritis dan transformatif. Dengan kata lain, kebudayaan Papua yang terus-menerus berubah sepatutnya dipahami dan dianalisis dengan perspektif yang merekognisi (mengakui) kehadiran rakyat Papua sebagai subjek (bukan objek, korban) dari perubahan sosial yang terjadi di tanah mereka.

Etnografi dan Akulturasi Kebudayaan

Kekayaan data-data etnografi Papua, melalui tulisan ilmiah ataupun laporan-laporan pemetaan kebudayaan, adalah modal penting dalam melakukan pengelolaan kebudayaan secara lebih lanjut dan partisipatif. Data-data etnografi tersebut, meskipun masih sangat sederhana dan terkesan dominan melakukan simplifikasi (penyederhanaan) adalah data awal yang tidak bisa diabaikan. Namun, data

Page 12: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

211

awal itu harus dilanjutkan dengan revisiting (mengunjungi kembali) untuk melakukan pembaruan data-data kontemporer tentang Papua. Hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menganalisis dan melakukan penafsiran tentang situasi kontemporer yang terjadi dan langkah-langkah dalam pengelolaan kebudayaan yang merekognisi (mengakui) masyarakat Papua.

Bagian awal yang perlu diperhatikan adalah mengkritisi sebagian besar gambaran etnografi tentang Papua yang masih menggunakan perspektif tujuh unsur kebudayaan. Akumulasi pengetahuan yang tercipta dari penggambaran etnografi kelompok masyarakat berdasarkan tujuh unsur kebudayaan menjadi hal yang “sederhana” dan paling berguna untuk penggambaran awal “kebudayaan etnik” tersebut. Oleh rezim kolonial, gambaran etnografi suku bangsa inilah yang dipergunakan untuk modal awal melakukan penjajahan. Oleh rezim “pembangunanisme”, data etnografi ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan kekuasaan. Salah satunya dalam melaksanakan Operasi Militer, Operasi Koteka, dan usaha-usaha eksploitasi sumber daya alam dan manusia yang ada di Tanah Papua.

Dalam pandangan Ahimsa-Putra (1987:27), studi-studi etnografi yang mengikuti pandangan tujuh unsur kebudayaan universal bermaksud untuk memudahkan para peneliti memanfaatkannya dalam studi perbandingan kebudayaan (cross-cultural). Melalui studi perbandingan yang semacam ini diharapkan akan dapat dicapai rumusan-rumusan yang sedikit banyak menyerupai “hukum-hukum” atau “dalil” tentang fenomena sosial-budaya. Epistemologi yang ada dibalik pemikiran semacam ini adalah epistemologi yang positivistik. Pandangan positivistik ini mengandaikan kebudayaan itu statis, kaku, dan tidak berubah. Perspektif itulah yang mendominasi studi-studi tentang

Papua yang bisa dengan mudahnya digunakan untuk kepentingan kekuasaan.

Studi-studi yang sangat positivistik itu tentu saja masih sangat berguna sebagai gambaran awal, meskipun sebagian besar data-datanya akan terkesan sangat “meromantisir” Papua sebagai wilayah budaya yang eksotik dan statis. Namun, kita sudah mendapatkan data awal yang lebih dari cukup dalam memberikan gambaran awal tentang Papua. Akan tapi, tentu saja itu tidak cukup. Sangat diperlukan usaha untuk menafsirkan dan menganalisis kondisi Papua yang tidak lagi bisa dilokalisir dan eksotik. Realitas Papua adalah wilayah yang sedari dulu tersentuh atau berinteraksi dengan dunia global. Hal ini dibuktikan dengan kontak-kontak kebudayaan dengan para pedagang dan pelaut dari Ternate, Tidore maupun dari luar negeri. Oleh karena itulah kebudayaan Papua juga berjalan dinamis seiring kontak budaya dengan para pendatang yang berlangsung tanpa henti ke Tanah Papua.

Pada momen inilah pengelolaan kebudayaan dimulai dengan memikirkan perubahan kebudayaan yang ditimbulkan dari persentuhan budaya Papua dengan budaya luar (global) yang hadir dan berkembang di Tanah Papua. Pengelolaan kebudayaan itu berhubungan dengan keseharian masyarakat terkait dengan mengatasi perbedaan-perbedaan, lebih tepatnya dalam mengelola properti-properti kebudayaan yang berbeda-beda. Seperti diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1959:139;173-174) bahwa kebudayaan kita berubah dan terus akan berubah. Dari perspektif antropologi, peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan dipandang sebagai akulturasi/perubahan kebudayaan, yaitu proses ketika budaya-budaya tempatan di Indonesia secara kreatif terlibat dalam mengkonstruksi indentitas (Indonesia): dialektika “dunia lama” dan “dunia baru” yang menghasilkan keberagamaan masyarakat (“jiwa baru” bangsa), termasuk di dalamnya kebudayaan

Page 13: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

212

Papua yang mau tidak mau terlibat di dalamnya.

Pengelolaan kebudayaan bagi kondisi yang heterogen dan kompleks, seperti terjadi di Papua dan daerah lain di Indonesia, membutuhkan kecermatan terutama memahami cair dan dinamisnya konsep mengenai kebudayaan tersebut. Kebudayaan itu berkait-kelindan dengan proses sejarah, yang kecenderungannya bergantung pada tanggapan individu dan sosial terhadap keserbamungkinan yang didedahkan oleh perubahan yang ada baik secara alami maupun politis-sosiologis. Perubahan yang ada juga cenderung mengancam ke-bhinneka-an akibat dari penetrasi ketunggalan dari kebijakan dan praktik politik serta kelimpahruahan pengetahuan dan informasi yang ditebarkan media (massa) baru. Kebudayaan itu tanggap terhadap tantangan perubahan dari luar, melawan seperlunya sambil memantas-mantaskan atau mengapropriasi apa yang asing menjadi bagian dari dirinya (Laksono, 2011).

Keseluruhan perspektif di atas berhubungan dengan cara mengelola kebudayaan yang emansipatif dan merekognisi heterogenitas etnik di Tanah Papua. Kebudayaan itu begitu kompleks penuh perubahan sehingga butuh penyederhanaan. Kebudayaan itu juga pada dasarnya laten dan tidak kasat mata. Kebudayaan itu berkait-kelindan dengan proses sejarah, yang kecenderungannya bergantung pada tanggapan individu dan sosial terhadap keserbamungkinan yang didedahkan oleh perubahan yang ada baik secara alami maupun politis-sosiologis. Perubahan yang ada juga cenderung mengancam kebhinekaan akibat dari penetrasi ketunggalan dari kebijakan dan praktik politik serta kelimpahruahan pengetahuan dan informasi yang ditebarkan media (massa) baru. Kebudayaan itu tanggap terhadap tantangan perubahan dari luar, melawan seperlunya sambil memantas-

mantaskan atau mengapropriasi apa yang asing menjadi bagaian dari dirinya.

Tantangan pengelolaan kebudayaan di tengah penetrasi politik dan fragmentasi (keterpecahan) di dalam masyarakat adalah menautkan (menghubungkan) pengelolaan kebudayaan dengan pendidikan. Ini mungkin terkesan klise tetapi justru di sinilah letak persoalan yang tak kunjung kita carikan jalan keluarnya. Mengenali properti-properti kebudayaan lain (suku dan bangsa), seperti belajar berbahasa dan berseni daerah lain, meskipun sudah ada bahasa pengantar, ternyata efektif untuk membangun solidaritas bersama. Keinginan kita belajar dengan sungguh-sungguh apa yang terjadi di Tanah Papua dan memahami keberagaman budaya di Bumi Cenderawasih ini menjadi kata kunci untuk melahirkan pengelolaan kebudayaan yang emansipatif.

Dalam konteks Papua, dalam kasus pembentukan nasionalisme dan sejarah (bahasa) Indonesia yang sebenarnya lahir dari efek-efek antara persentuhan dunia lama dan dunia baru. Dalam hal ini, James T. Siegel (1997:7) menjelaskan bahwa sejarah Indonesia terbuat bukan dari sumber-sumber asli dan juga bukan dari pinjaman asing, tetapi dari efek koneksi-koneksi antara keduanya. Wacana kebudayaan sering diam-diam memuat jejak (hirarki) kuasa kolonial yang diskriminatif dan laten. Misalnya kita cenderung meresmi-resmikan tatacara meja makan, yang lebih Indo-Belanda, daripada lesehan yang lebih bebas. Sementara itu sejarah membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia tidaklah semata-mata tumbuh dari perlawanan anti penjajah. Oleh karena itu, untuk menjadi Indonesia orang harus pertama-tama merasakan arus-arus komunikasi dunia (Siegel, 1997:93). Dengan demikian Indonesia menjadi ruang (wacana) antara kini dan masa revolusi yang lalu; antara dunia baru dan dunia lama; antara kegiatan-kegiatan pertanian dan industri; antara kampung-kampung dan kota.

Page 14: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

213

Indonesia adalah ruang antarpulau, antar-sukubangsa, antarbahasa, bahkan antarbenua dan antarkala/zaman.

Fenomena “kapal putih” yaitu kapal Pelni berbadan besar yang membawa para migran

ke Tanah Papua (Foto: I Ngurah Suryawan).

Efek-efek persentuhan antara dunia

lama (tradisional) dan dunia baru (global) itu pulalah yang kemungkinan terjadi di Papua dalam usahanya mengkontruksi sejarah dan kebudayaannya. Pengelolaan kebudayaan mendapat permasalahan yang serius terkait dengan interkoneksi ini. Begitu banyak perbedaan yang dibawa oleh kebudayaan tradisional dan global untuk kemudian dikelola. Meskipun kebudayaan itu cair dan lentur dan bisa dengan cepat melakukan adaptasi dan “memantas-mantaskan” dirinya dengan dunia baru, namun kepentingan ekonomi politis mempengaruhi kecairan kebudayaan tersebut sehingga akan menjadi kaku dan sangat hegemonik. Di Tanah Papua, kebudayaan (baru) yang lahir dari persentuhan dunia lama dan dunia baru (global) sudah terjadi dan menimbulkan berbagai implikasi. Namun hal itu adalah kejamakan terjadi dan sekaligus menjadi tantangan dan peluang bagi rakyat Papua untuk mengkonstruksi kembali pikiran dan identitas mereka yang selalu akan berubah tanpa henti.

Interkoneksi Global dan Transformasi Sosial Budaya

Tidak terbantahkan bahwa seluruh wilayah di dunia ini telah terhubung melalui hubungan-hubungan pengetahuan, kapital dan sekaligus juga ide-ide tentang “kemajuan” yang dibawa oleh modernitas. Salah satu bentuk wujud modernitas tersebut adalah dalam bentuk pembangunan yang mentautkan (menghubungkan) orang-orang dengan imajinasi serta mimpi yang berbeda-beda. Namun di sisi yang lain, komunitas-komunitas suku bangsa menghadapi tantangan untuk mengambil bagian dalam perubahan sosial budaya yang berlangsung di tanah mereka. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana komunitas lokal ini dalam merespon dan menyikapi penetrasi global yang menyerang mereka.

Sebenarnya komunitas-komunitas suku asli atau tempatan di Indonesia dan di negara lainnya menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan komunitas non-asli. Komunitas non-asli ini adalah para migran yang menyebar ke berbagai wilayah di negeri ini. Mereka, para migran ini, secara keseluruhan lebih dominan, lebih besar, dan lebih terorganisir lebih baik dalam menghadapi enam kecenderungan global. Enam kecenderungan itu adalah: krisis ekonomi, proses militerisasi, krisis negara, penyangkalan terhadap hak-hak manusia dan identitas kultural, konflik atas sumber daya alam, serta masalah sains dan teknologi yang lolos dari kendali. Masalah-masalah yang menimpa minoritas suku asli adalah: pemindahan, pemiskinan budaya dan sosial serta disintegrasi akibat tuntutan dari luar atas sumber daya alam di sekitarnya.

Penetrasi modal yang eksploitatif ke dalam perekonomian suku asli seringkali justru didukung oleh negara dengan alasan ingin memajukan kaum minoritas suku asli melalui program-program perubahan sosial yang terarah (Ghee dan Gomes 1993:1-3). Corak kehidupan suku-suku asli telah dilihat

Page 15: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

214

sebagai hasil hubungan variabel bebas dengan variable tergantung dengan pusat perhatian pada kehidupan suku asli yang perlakukan sebagai variable tergantung, sehingga program pembangunan dilihat dari perspektif suku asli. Oleh karena itu di sana tidak dihasilkan “model alternatif” yang relevan dengan upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup rakyatnya…pusat perhatian harus digeser dari yang berpusat pada kehidupan suku asli ke hubungan antara pemerintah atau Negara dengan suku asli melalui garis hubungan pembangunan” (Suparlan 1993:xii).

Dalam bayangan Suparlan (1993) hubungan-hubungan itu terwadahi secara hirarkis sesuai konteksnya dalam hakikat Negara yang berupa masyarakat majemuk dan menghasilkan satuan-satuan perantara yang fungsional dalam mengakomodasi perbedaan-perbedaan dan konflik-konflik menjadi menguntungkan kedua belah pihak. Katanya model perantara ini dapat berguna untuk membentengi kehidupan suku asli dari penetrasi langsung yang dilakukan oleh pemerintah karena di sana kepentingan-kepentingan dan hirarki yang berbeda-beda yang berasal dari pemerintah/pihak luar dan dari suku asli dapat diakomodasi. Penetrasi pemerintah dan system perekonomian yang kapitalistik dan eksploitatif pun melalui model perantara itu secara bertahap dapat diserap oleh komunitas suku asli.

Persoalan klasik dari model perantara yang diusulkan oleh Parsudi Suparlan, setelah penetrasi kapital itu dianggap sebagai nasib yang tak terhindarkan, adalah siapakah yang menanggung beban “biaya” bagi para perantara itu? Bukankah demi efisiensi dan hubungan yang saling menguntungkan itu, mata rantai dari asal sumber daya (produsen) dan para pengguna sumber daya (konsumen) malah perlu diperpendek agar biaya membengkak (komplikasi/siasat tipu muslihat) karena panjangnya mata rantai distribusi

dapat dikurangi? Mana yang lebih menguntungkan para warga komunitas tempatan (asli), investasi asing itu langsung tanpa perantara ataukah pakai perantara? Jika pakai perantara, berapa panjang matarantainya? Bukankah hampir dalam semua kasus beban perantaraan itu selalu lebih berat dipikul oleh mereka yang lemah, yaitu para warga tempatan, karena para perantara itu cenderung memihak yang kuat dan menguntungkan dirinya? Mungkinkah persoalan-persoalan ini dijawab atau dihindari oleh para warga komunitas tempatan?

Masyarakat tempatan adalah komunitas yang dinamis dan selalu berubah, bahkan juga tidak selalu terisolir. Dinamika yang terjadi adalah interaksinya adalah merupakan bagian dari hidup masyarakat setempat yang telah melampaui masa panjang dengan perspektif yang tidak selalu tempatan. Di sini kita harus memahami budaya masyarakat setempat pun pernah mengalami kontak dengan dunia luar, namun dalam proses itu “warna” tempatan kuat bertahan karena masyarakat berhasil mengidentifikasikan dirinya dalam proses itu. Mereka dapat mengontrol sejarahnya sendiri, yang mampu membuat sejarahnya sendiri atau menghadirkan waktu transendennya sendiri.

Kolonialisme mungkin dapat dikatakan sebagai biang keladi yang memutuskan proses pengontrolan sejarah yang dilakukan oleh masyarakat itu. Tetapi itu pun hanya benar untuk sebagian karena dampak kolonialisme di Indonesia beragam dan juga karena adanya dualisme kebijakan kolonial di negeri jajahan. Ketika itu, terutama sepanjang pemerintahan Hindia Belanda, masyarakat pribumi diberi ruang tersendiri yang praktis terpisah dengan masyarakat Eropa dan migran lain, sehingga terjadi masyarakat plural di mana seluruh segmen hidup dalam dunianya sendiri. Mereka bertemu hanya di pasar dan bersatu di bawah kuasa pemerintah kolonial. Di bidang hukum misalnya, masyarakat pribumi diurus oleh hukum adatnya, sehingga para

Page 16: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

215

kepala adat punya wewenang memutuskan perkara. Sementara warga Eropa punya hukumnya sendiri. Sekarang dualisme di bidang hukum ini secara formal habis. Itupun bukan semata-mata akibat proses pembangunan karena sudah dimulai sejak diberlakukann UUDS 1950. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa kita perlu melihat patahnya kekuatan masyarakat tempatan itu secara lebih historis.

Mall dan jaringan hotel internasional sudah tumbuh subur di Tanah Papua yang

menandakan introduksi pembangunan dan investasi global telah menjalar (Foto: I Ngurah Suryawan).

Dove (1985) mengungkapkan, bahwa

puncak perubahan itu terjadi ketika bangsa Indonesia menerapkan konsep pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Katanya, pembangun di Indonesia telah diartikan sebagai perubahan yang dikehendaki dan dibutuhkan, sehingga apa saja yang dianggap kuno dan tidak mengalami perubahan dengan sendirinya dianggap keterbelakangan, termasuk kebudayaan tradisional komunitas tempatan yang dipandang sebagai penghalang proses pembangunan, yang diartikan secara sempit sebagai modernisasi. Pembangunan itu dengan demikian identik dengan kesadaran baru yang hadir dan diterima lepas dari budaya tempatan. Oleh sebab itulah maka terjadi proses kedua yaitu merasuknya

pembangunan dalam kesadaran kita bukan sebagai sintesa proses historis budaya-budaya tempatan, tetapi lewat daya pikat citra suksesnya di negeri-negeri industri maju yang didukung kekuatan modal. Negara-negara inilah yang selalu menjadi contoh dari suksesnya pembangunan.

Tentu saja dan benar kita ingin sukses. Persoalannya yang terjadi adalah, bahwa kita baru dapat memeluk citranya (bukan/belum suksesnya) tetapi telah melepas pegangan kita pada pengetahuan budaya yang telah lama kita bangun. Kondisi di pelosok dan pedalaman tampak bahwa degradasi sumber-sumber daya alam dan pengetahuan setempat selalu diiringin dengan peningkatan konsumerisme yang digerakkan oleh pesona mode di sektor konsumtif dan bermuara pada krisis identitas dan disintegrasi sosial. Warga masyarakat tempatan pun ikut-ikutan mengeksploitasi/merusak alam yang jadi ibu pertiwinya. Banyak orang akhirnya menjadi positivistik, padahal sumber-sumber daya alam dan pengetahuan tempatan kita itu terbatas dan telah terkait dengan tradisi sehingga tidak mungkin memuaskan pikiran macam itu, kecuali jika kondisi masyarakat tempatan ini dilupakan atau dianggap tidak ada.

Kondisi ini sebenarnya merefleksikan bahwa tersingkirnya masyarakat tradisional itu tidak semata-mata merupakan hilangnya keaslian kebudayaan tradisional masyarakat tempatan, tetapi merupakan soal hilangnya pribadi dan rasa percaya diri masyarakat tempatan dan juga masyarakat kita pada umumnya. Hal ini dengan gamblang menunjukkan betapa kita menjadi tergantung pada suatu proses yang sumber-sumber kekuatannya dari luar kuasa kita. Pada titik inilah pemerintah (pusat) terpaku dan kehilangan dinamikanya. Perlunya partisipasi sesama warga sebagai partner menjalani pembangunan pun sering dianggap tidak ada. Lingkungan alam dan komunitas-komunitas tempatan kemudian dijadikan semata-mata

Page 17: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

216

sebagai garis depan yang harus ditaklukkan dan bukan sebagai partner menjalani sejarah.

Pada momen seperti inilah menjadi sangat penting mentautkan imajinasi (bayangan) akan perubahan sosial yang dimimpikan oleh masyarakat tempatan dengan gerakan untuk inisiatif perubahan dalam diri sendiri. Hal ini sangatlah penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri masyarakat untuk tetap berada dan berjuang di tengah deru perubahan sosial yang perlahan namun pasti berada di depan kehidupan mereka. Kondisi transformasi sosial-budaya yang terjadi memaksa masyarakat untuk mengambil respons atau menanggapi situasi yang terjadi. Pada situasi inilah sangat diperlukan usaha-usaha dalam memediasi kemandirian dan imajinasi masyarakat untuk selalu terlibat dalam perubahan sosial yang terjadi di lingkungannya. Masyarakat terlibat bukan hanya sebagai penonton namun sebagai subjek yang menentukan arah perubahan, terutama perubahan yang diinginkan oleh dirinya sendiri sebelum berlangsung di tengah masyarakat yang lebih luas.

Dalam konteks Papua, memediasi kesadaran ini tentu saja menghadapi tantangan yang luar biasa. Tantangan itu bersumber kepada situasi keterpecahan yang terjadi di tengah masyarakat akibat dari pembangunan seperti yang telah disebutkan di atas. Selain itu, situasi ketergantungan dan kehilangan kepercayaan diri juga menjadi situasi yang rumit untuk menguraikan akar dari persoalan yang terjadi di masyarakat. Situasi ketergantungan terhadap berbagai macam “bantuan” dan akses ekonomi politik juga membuat masyarakat hanya terlibat dalam lingkaran yang “mematikan” untuk melakukan inistiatif perubahan sosial dalam dirinya sendiri. Kondisi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan.

Dalam kasus Papua, program-program pembangunan telah menghubungkan berbagai macam latar belakang orang Papua

dengan dunianya masing-masing. Di tengah proses inilah menjadi penting memperhatikan pergerakan orang-orang Papua dalam dinamika pembangunan di Tanah Papua yang mentautkan identitas dirinya dengan dunia global. Dalam konteks ini, memahami imajinasi orang Papua tentang diri dan lingkungannya memerlukan pemahaman tentang detail keterhubungan dan siasat-siasat mereka dalam merespon pembangunan dalam bentuk berbagai macam program dan tawaran “pemberdayaan” yang dilakukan oleh negara.

Mengacu kepada kondisi keterhubungan dan siasat-siasat orang Papua ini, Pouwer dan Hannan (Timmer, 2011;2012) sejak dulu sudah mengungkapkan bahwa masyarakat Papua sejak dahulu kerap bergerak (Peoples on the Move) yang berkaitan dengan dinamika migrasi, peranan kain timur di wilayah kepala burung Papua, dan benda utama dalam pertukaran perkawinan. Jika dikontekstualisasikan pada saat ini, keterhubungan orang-orang Papua dimediasi oleh instrumen-instrumen yang ditawarkan oleh negara berupa pemekaran daerah, pendidikan, dan lembaga-lembaga modern terutama dalam birokrasi pemerintahan yang memungkinkan orang Papua untuk secara terus-menerus bergerak memperbaharui dirinya.

Namun di tengah kondisi yang “melumpuhkan” di tataran pemerintahan itu, bagaimanapun pembangunan yang terjadi di Tanah Papua telah menghubungkan dan sekaligus memungkinkan orang Papua untuk memikirkan tentang posisi dirinya dalam dunia yang sedang berubah. Pada momen-momen inilah orang Papua dapat berpikir melampaui batas-batas budayanya dan dapat bersatu demi kepentingan-kepentingan tertentu. Namun sudah pasti tantangan yang harus dihadapi, terkhusus dalam salah satu konteks pembangunan yaitu pemekaran daerah, adalah kecenderungan kebanyakan

Page 18: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

217

orang Papua yang berjuang atas nama pemekaran ini untuk kembali mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari sejumlah kelompok tertentu yang biasanya terkait dengan kelompok etnik dan marganya.

Imajinasi tentang identitas-identitas baru yang sekarang sedang berkembang di Tanah Papua hanya akan mungkin berkembang baik jika orang-orang Papua berpikir melampaui kebudayaan etniknya dan mempertautkan dirinya dengan dunia global. Perspektif lintas batas sangat memungkinkan karena Papua sudah terkoneksi dengan dunia global dan merangsang sebuah inisiatif dialog lintas batas dalam memperbarui wawasan orang Papua tentang identitas dan posisinya dalam dunia global.

Penutup

Membaca kompleksitas persoalan di Tanah Papua, antropologi dituntut perannya untuk memberikan senjata atas “kekalahan” masyarakat tempatan di Indonesia yang didesak ke “pedalaman” akibat jejaring interkoneksi kekuatan kapital global yang maha dahsyat. Ini untuk menunjukkan bahwa antropologi adalah ilmu yang membumi, bekerja bersama-sama warga komunitasnya, berproses bersama, baik si antropolog maupun warga komunitasnya, untuk bersama-sama membangun penafsiran dan secara lebih luas membangun sejarah (baru).

Sangat penting sekali mengubah perspektif kebudayaan dalam menafsirkan subjek yang terus-menerus berubah, seperti pemahaman kebudayaan yang merupakan sistem makna yang dikonstruksi oleh manusia. Metodologi yang reflektif dalam menafsirkan kebudayaan adalah membuka jalan penelitian alternatif transformatif partisipatoris. Penelitian ini melibatkan si peneliti secara partisipatoris ke dalam subjek penelitiannya. Partisipasi observasi dilakukan untuk membangun argumentasi dan teori dari data-data lapangan yang diperoleh si peneliti

bersama dengan subjek penelitiannya (Laksono, 2009: 3-4).

Antropolog menggunakan metodologi reflektif dengan bersama-sama subjek penelitian membangun pola relasi untuk bersama-sama merumuskan persoalan yang terjadi dan memberikan argumentasinya. Metode penelitian ini tergolong penelitian alternatif transformastif partisipatoris yang percaya bahwa kenyataan itu bersifat partisipatif yang diciptakan oleh (hubungan) pikiran dan lingkungan yang ada. Inilah yang disebut dengan “subjektivitas kritis” yang terjadi melalui transaksi partisipatoris dengan lingkungan. Metode penelitian etnografi yang akan dihasilkan dalam penelitian ini memuat proses reflektif daripada temuan bebas nilai yang objektif. Dalam bahasa Laksono (2009: 4), peneliti maju bersama komunitas yang ditelitinya dalam suatu proses sosial-budaya menjalin sejarah (baru). Dengan demikian, metodologi penelitian ini menjadikan studi antropologi menjadi bagian dari gerakan sosial komunitasnya dan dituntut berpartisipasi dalam menciptakan sejarah yang menyatu dengan komunitas tempatan di mana studi berlangsung.

Dalam ranah praksis, kerja antropologi reflektif mesti dikerjakan secara berkelanjutan dengan mengapresiasi pengalaman-pengalaman dan narasi reflektif identitas yang berbeda-beda. Penting juga diajukan kerja partisipatoris bersama-sama masyarakat tempatan untuk melakukan studi etnografi bersama yang memberikan ruang dan sekaligus mengapresiasi pengalaman-pengalaman masyarakat tempatan untuk bersiasat di tengah terjangan kekuatan kapital global. Oleh karena itulah menjadi penting untuk menghargai “ruang antar budaya” untuk menumbuhkan kesadaran keberbedaan, melihat identitas diri kita pada masyarakat tempatan lain yang sebelumnya “asing” atau kita anggap “terkebelakang” dibanding identitas budaya kita.

Page 19: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

218

Antropologi, dengan pendekatan reflektif yang transformatif memang tidak akan pernah bebas nilai. Antropologi reflektif lahir bersama-sama rakyat untuk berpolitik dalam membangun sejarah baru. Oleh karena itulah, antropologi reflektif yang mendasarkan dirinya pada gerakan sosial, bekerja bersama-sama untuk menemukan “diri masayakarat” dan juga “diri si antropolog”. Kerja antropologi yang hanya “mengatasnamakan rakyat” akan tercerabut dari refleksi masyarakat tempatan yang ditelitinya. Penafsiran yang dihasilkannya hanya akan memantik relasi kekuasaan dan kekerasan.

Daftar Pustaka

Giay, Benny. 2000. Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran sekitar Emansipasi Orang Papua. Jayapura: Deiyai/Els-ham Papua.

Laksono, P.M. 2009. Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu: Memahami Invisibilitas (Budaya) di Era Globalisasi Kapital. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 27 Oktober 2009.

Laksono, P.M. 2010. Kontekstualisasi (Pendidikan) Antropologi Indonesia. Makalah dalam Sarasehan AJASI (Asosiasi Jurusan Antropologi Seluruh Indonesia) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Laksono, P.M. 2010b. Mewacanakan Pemberdayaan Masyarakat dalam Antropologi. Makalah dalam Kongres Asosiasi Antropologi Indonesia ke-3 dan Seminar Antropologi Terapan di Cisarua 21-23 Juli 2010.

Laksono, P.M. 2011. Ilmu-ilmu Humaniora, Globalisasi, dan Representasi

Identitas. Pidato yang disampaikan pada Peringatan Dies Natalis ke-65 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 3 Maret 2011.

Putra, Heddy Shri Ahimsa. 1987. “Etnografi sebagai Kritik Budaya: Mungkinkah di Indonesia?”. Majalah Jerat Budaya No 1/I/1987 Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Suryawan, I Ngurah. 2011. “Antropologi Gerakan Sosial: Membaca Transformasi Identitas Budaya di Kota Manokwari, Papua Barat” dalam Humaniora, Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011 (290-300).

Suryawan, I Ngurah. 2011b. “Komin Tipu Komin: Elit Lokal dalam Dinamika Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) Volume 15, Nomor 2, November 2011 (140-153).

Suryawan, I Ngurah. 2012. “Politik Ruang (Pasar) dan Pemekaran Daerah: Siasat Rakyat Papua di Garis Depan Global” dalam Kritis, Jurnal Studi Pembangunan Interdisipliner Vol. XXII No. 1 Februari – Juli 2012.

Suryawan, I Ngurah. 2012b. Jiwa Yang Patah. Yogyakarta: Pusat Studi Bahasa dan Budaya Papua (Pusbadaya) UNIPA Manokwari, Papua Barat dan Penerbit Kepel.

Suryawan, I Ngurah. 2013. “Tanah Dibutuhkan Tapi Orang Tidak: Transformasi Masyarakat Adat dalam Perspektif Etnografi dan Sejarah Sosial” dalam Kritis, Jurnal Studi Pembangunan Interdisipliner Vol. XXII No. 2 Juli – Desember 2013.

Page 20: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

219

Tebay, Neles. 2009. Dialog Jakarta-Papua Sebuah Perspektif Papua. Jakarta: SKP Jayapura.

Timmer, Jaap, 2007, “Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua”, dalam Henk Schulte Nordhold dan Gerry van Klinken (eds.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 595-625

Timmer, Jaap. 2013. “Menentang Kulturalisme di Tanah Papua” dalam I Ngurah Suryawan, Jiwa yang Patah. Yogyakarta: Kepel Press dan Pusat Bahasa dan Budaya Papua UNIPA Manokwari.

Tsing, Anna Lowenhaupt. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection. Princeton and Oxford: Princeton University Press.

Tsing, Anna Lowenhaupt.1998. Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Widjojo, Muridan., dkk. 2009. Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Past and Securing the Future. Jakarta: Buku Obor, LIPI dan TIFA.

Page 21: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

220

Sejarah Kuantitatif: Telaah Kritis tentang Teori dan Sejarah Abad XX

Abd. Rahman

(Mahasiswa Program Doktor, Departemen Sejarah, FIB, Universitas Indonesia)

Abstract

The term ‘quatitative history’ covers a range of methodologies and theoretical bases, linked by their reliance on numerical data. Allmost all historical writing involves quantification, however, whether implicit or explicit. Some strands of quantitative history are not new fenomena. Malthus, for example, produced his essay on population history in 1798, and economic history gained in importance from the mid-nineteenth century, partly due to the influence of Marx. During the twentieth century, historians have increasingly wanted to study the mass of people in the past rather than a few well-documented individuals. Frequently we need to use quantitative methods to do so, thereby reducing a large amount of data to manageable proportion. Keywords: History, Quantita ive, Theory, Crit ica l

Sejarah Kuantitatif: Soal Teoretis dan Metodologis

Istilah ‘sejarah kuantitatif’ adalah menyangkut suatu persoalan teoretis dan metodologis yang mendasar, yang terkait dengan persoalan penggunaan data berupa angka-angka. Umumnya semua tulisan sejarah sejenis ini menggunakan unsur itu baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara literal, kita mungkin tidak pernah tahu tentang bagaimana penghasilan para remaja putri kaum pedagang di Italia secara statistik pada abad ke-16, atau tentang aktivitas ekonomi orang-orang Kanada yang mengacu kepada perolehan GNP

(Gross National Product) atau pertumbuhan pendapatan perkapita mereka. Kita juga mungkin bisa bandingkan dengan misalnya jumlah individu dan keterlibatannya dalam suatu parlemen berdasarkan usia, atau tentang pertumbuhan jumlah kepala keluarga dan anggota-anggotanya di masa lalu berdasarkan kondisi kehidupan mereka di masa kini. Atau mungkin kita bisa menyebut contoh dari Floud, tentang ‘dukungan pihak kelas menengah terhadap pemerintah’. Di sini, secara jujur nampak sekali kita melihat adanya kesan pernyataan-pernyataan yang bersifat kuantitatif yang mana hanya dapat dibuktikan dengan perangkat-

Page 22: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

221

perangkat hitungan-hitungan angka statistik.1

Kemunculan beberapa karya tentang sejarah kuantitatif sesungguhnya bukanlah fenomena yang baru. Malthus misalnya, telah mengemukakan esaynya tentang sejarah kependudukan pada tahun 1789, dan yang penting diingat pula ialah bahwa fenomena ini dibarengi pula oleh kemunculan sejarah ekonomi di abad ke-19, yang merupakan bagian dari pengaruh Marx. Selama abad ke-20, sejumlah sejarawan telah bermunculan yang melakukan studinya tentang masa dari orang-orang yang ada di masa lalu tanpa mengabaikan dokumen-dokumen penting individual sedikitpun. Frekuensi penggunaan metode-metode kuantitatif sangat tinggi. Dengan demikian, tindakan mengurangi sejumlah besar data yang dapat dianalisis dengan ukuran-ukuran kuantitatif dapat dikendalikan. Sebagai tambahan, bahwa dengan penggunaan metode analisis kuantitatif dalam sejarah, maka kita dapat juga menguji informasi dari individu-individu tertentu misalnya tentang jumlah pembayaran ganti rugi

1 Roderic Floud, An Introduction to

Quantitative Methods for Historians (2nd edn., London, 1979), pp. 1-2, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 141).

sesuatu barang yang dirasakan kurang dan tidak semestinya. Para sejarawan juga dimungkinkan untuk dapat mengaplikasikan metode kuatitatif dalam melakukan studi-studi tentang kaum minoritas dan kelompok-kelompok tertindas di masa lalu, bersamaan dengan pemanfaatan data-data sejarah yang spesifik dan langka. Metode analisis kuantitatif telah memperluas fokus studi sejarah yang mana ditunjang pula oleh kemajuan teknologi komputer yang telah berkembang sejak tahun 1960-an dengan model-model yang semakin canggih. Penerapan metode baru terutama metode kuantitatif pada gilirannya telah memampukan kita untuk memeriksa kebenaran sejumlah besar jawaban dari pertanyaan-pertanyaan romantisme sejarah.

Metode Kuantitatif dan Studi-Studi Mikro

Sementara itu, metode kuantitatif sering juga digunakan untuk studi-studi mikro, yang meliputi jangka waktu yang pendek dengan ruang lingkup masalah yang kecil dan tempatnya yang sempit. Lockridge misalnya menggambarkan tentang bagaimana mengumpulkan catatan-catatan tentang kelahiran, pernikahan, dan kematian di suatu kota kecil yang memandunya untuk mempertimbangkan bagaimana menjawab ‘pertanyaan-pertanyaan besar’ yang muncul dalam sejarah secara implisit berikut aspek-aspek

Page 23: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

222

teoritisnya. Ia meneliti perilaku-perilaku demografis keluarga-keluarga di suatu kota di koloni Amerika, sebagaimana halnya, apa yang terjadi di daerah Beauvais, Perancis, pada abad ke-17 dan ke-18 sebagai perbandingan.

Dalam penelitiannya itu ia memunculkan pertanyaan menarik yaitu: “apakah benua Amerika memiliki arti untuk mengubah bentuk kehidupan orang-orang Eropa yang ada di sana sesegera mungkin menjadi ‘manusia-manusia baru’, baik secara sosial maupun demografis paling tidak dalam jangka 150 tahun lamanya,2 dan bagaimana itu terjadi?” Jika dibandingkan dengan sejarah tradisional-konvensional naratif, sejarah kuantitatif menawarkan lapangan kajian yang maha luas kepada para sejarawan yang semakin meningkat jumlahnya, yang mampu berteori dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan sejarah yang lebih besar yang mungkin tidak dapat dijawab hanya dengan menggunakan sejarah naratif tradisional.

Davis: Sejarah Baru, Ekonometrik atau Kliometrik

2 Kenneth Lockridge, ‘Historical

Demography’, In Charles F. Detzel (ed.), The Future of History (Nashville, 1977), p. 55, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 142.

Apa yang dikenal sebagai “sejarah baru” (ekonometrik atau kliometrik) sesungguhnya telah berkembang sejak akhir tahun 1950-an. Menurut Davis, ada empat karakteristik yang menandai sejarah baru ini yaitu: mencoba untuk menguji jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dengan tepat untuk menemukan kembali variabel-variabel operasional yang relevan dan tepat dalam membangun model-model eksplisit yang terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada; untuk menghasilkan bukti-bukti keberadaan dunia sebagaimana kehadirannya yang sesunggunya; untuk menguji model-model dan bukti-bukti yang berlawanan; serta menguji deduksi-deduksi yang kontrafaktual”.3 Sementara itu para sejarawan pada umumnya bertujuan untuk memformulasikan pertanyaan-pertanyaannya secara tepat dan nyata, dan bangunan model-model terdahulu dibentuk sebagai koleksi data yang sebelumnya tidak dapat diterima oleh sejarawan begitu saja yang terbiasa menggunakan metode

3 Lance Davis, ‘The New Economic

History: II Professor Fogel and The New Economic History’, Economic History Review, 19 (1966), p. 657, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 142.

Page 24: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

223

induktif. Ada kontroversi yang terlalu kuat di sini tentang macam-macam data untuk membangun model-model apa yang sesuai. Pada sudut pandang yang pertama, sebuah model statistik yang kompleks dianggap nampak tidak tepat untuk digunakan dalam upaya mengatasi kurangnya data ekonomi yang dibutuhkan, termasuk data ekonomis orang-orang miskin.

Fogel: Ketepatan Analisis Data secara Statistik

Fogel menegaskan bahwa bagaimanapun yang terjadi bisa kebalikannya. Analisa data secara statistik justru sering lebih tepat. Dalam menganalisis data sejarah, sejarawan sedikit dapat bernapas lega atas kurangnya data penting yang dibutuhkan untuk mereka analisis, dengan memanfaatkan ketangguhan metode statistik yang sangat efisien. Sementara itu pada saat yang sama tersedianya data yang berlimpah dimungkinkan tidak diperlukannya lagi prosedur-prosedur analisis yang rumit.4 Model-model ekonomi yang menggunakan variabel-variabel berbeda dapat menciptakan hasil

4 R.W. Fogel, ‘The New Economic

History: I, Its Finding and Methods’, Economic History Review, 19 (1966), pp. 652-3, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 142.

serupa dalam penyelidikan, yang dengan demikian dapat mengatasi kerugian atas kerancuan pada data yang ditemukan. Melaksanakan pemodelan dalam penelitian sejarah ekonomi misalnya, adalah merupakan prosedur yang dimungkinkan untuk membentuk linkup penelitian sejarah yang lebih luas, jika dibandingkan dengan kajian-kajian sejarah ekonomi tradisional sebelumnya.

Yang lebih kontroversial lagi dari pemodelan sejarah ekonomi adalah penggunaan konstruksi-konstruksi kontrafaktual (fakta-fakta tandingan). Di sini sejarawan ekonomi baru dapat membandingkan antara sebuah situasi yang nyata dengan apa yang disebut sebagai prediksi (peramalan) di luar dari hadirnya keadaan tertentu (situasi kontrafaktual). Contoh yang paling terkenal adalah model Fogel tentang sebuah jawatan kereta api di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 yang seolah hilang dalam sejarah. Fogel bermaksud untuk menguji dasar-dasar pemikiran awal kemunculan jalur kereta api yang krusial yang justru membuat ekonomi Amerika menjadi tumbuh dan berkembang pesat selama paruh kedua abad itu. Melalui pemodelan ekonomi transportasi agricultural (pertanian), dia menghitung pendapatan perkapita nasional bruto (GNP: Gross National Product) selama tahun 1890 dalam situasi yang kontrafaktual (counterfactual) di mana alat-alat

Page 25: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

224

transportasi yang tersedia hanya berupa kapal-kapal kecil (perahu) dan gerbong-gerbong kereta api. Fogel kemudian menggambarkan hasil penelitiannya dan membandingkan perkiraannya sedemikian rupa mengenai pendapatan perkapita nasional bruto (GNP: Gross National Product) yang diraih Amerika secara nyata dalam tahun 1890 dan melakukan estimasi juga terhadap simpanan produk-produk pertanian masyarakat melalui penggunaan jalur-jalur angkutan kereta api dalam tahun itu juga adalah sebesar 3,1 persen atau paling tidak sebesar GNP (gambaran menurut beberapa asumsi. Sebagai contoh, perluasan jalur angkutan kereta api).5 Selanjutnya pemeliharaan jalur-jalur transportasi kereta api ketika itu hampir-hampit tidak pernah disebut-sebut sebagai faktor penting pertumbuhan ekonomi Amerika.

Dalam istilah yang lebih umum, Fogel menentang sejarah ekonomi “lama” yang menggunakan eksplanasi kontrafaktual (counterfactual explanation: fakta-fakta penyangga). Ada beberapa pernyataan misalnya soal “perbudakan yang dianggap menghambat pembangunan di wilayah Selatan” berdampak pada

5 Ibid., pp. 650-5, dalam: The Houses of

History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 143.

upaya membandingkan antara dunia nyata dengan apa yang sebelumnya dibayangkan. Tentunya ini adalah pekerjaan para sejarawan ekonomi baru untuk membuat perbandingan-perbandingan yang eksplisit dan bagaimana melakukan pengujian (testing) atas apa yang telah dilakukan oleh para sejarawan ekonomi lama.6

Sementara itu pada satu sisi, keseluruhan logika Fogel mendapatkan sambutan yang luar biasa dari banyak kalangan di masa itu, tetapi pada sisi yang lain karyanya mendapatkan kritik dari dua arah yang saling berlawanan. Pertama, Hunt berpendapat bahwa Fogel belum memperhitungkan adanya variabel-variabel penting dalam analisisnya. Sebagai contoh, “kekuatan yang dimiliki oleh jalur transportasi kereta api dan pembangunan-pembangunan fasilitas barunya oleh pihak organisasi perusahaan terkait dan inovasi-inovasi yang diharapkan dari pihak-pihak penyandang dana (terutama pihak perusahaan keuangan)”. Soal lain yang lebih penting lagi ialah metodenya sendiri, bagaimanapun menurut Hunt, adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Apabila ada satu perubahan variabel ekonomi tanpa dipengaruhi oleh variabel ekonomi

6 Ibid., pp. 655, dalam: The Houses of

History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 143.

Page 26: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

225

lainnya, dan bahwa kebutuhan manusia dari hari ke hari akan semakin kompleks, permasalahannya tidak dapat dianalisis langsung begitu saja hanya dengan semata-mata menggunakan hitungan-hitungan angka statitik.7

Keseluruhan ide dari model-model ekonomi produksi menghasilkan dua kekuatan yaitu penjelasan dan peramalan (dalam kasus kontrafaktual) yang mempercayai adanya dua asumsi dasar: perilaku manusia sebagai makhluk rasional dan ekonomis, dan bahwa pada mereka tidak terdapat variable-variabel luar sebagai pengubah. Di sini bisa diketahui misalnya peristiwa bencana alam berupa musim panas ekstrim yang berkepanjangan melanda Eropa dari tahun 1315 hingga 1317. Cipolla mengatakan bahwa sementara ahli-ahli ekonomi bisa mengabaikan

7 E.H. Hunt, ‘The New Economic History:

Professor Fogel’s Study of American Railways’, History, 53 (1968), pp. 6, 10-15. See Hawke’s commentary on Hunt’s critique in the same volume. For a more detailed discussion of Counterfactual History, see George G.S. Murphy, ‘On Conterfactual Propositions’, History and Theory Beiheft 9: Studies in Quantitative History and the Logic of The Social Sciences (1969),pp. 14-38, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 143.

irrasionalitas ekonomi dan faktor-faktor luar yang berpengaruh (exogenitas), maka tidak demikian dengan sejarawan ekonomi. Kenyaataannya, mereka harus penuh perhitungan atas segala variabel ekonomi yang muncul dan tidak demikian dengan para ahli ekonomi, karena secara lebih luas dapat dikatakan bahwa setiap peristiwa sejarah adalah unik. Konsekuensinya, sejarah bukanlah pelayan yang baik bagi model-model ekonomi.8 Sebaliknya, Floud membantah beberapa penjelasan mengenai faktor-faktor umum berpengaruh tentang perubahan ekonomi dalam sejarah. Memang, semua sejarawan memilih bukti yang paling nampak dan relevan dengan permasalahan penyelidikan mereka. Sementara itu, pemilihan bukti-bukti yang dilakukan oleh seorang sejarawan ekonomi, terlebih dahulu ditentukan melalui model-model tertentu. Adalah suatu proses yang sangat tidak menyenangkan para kritikus ketika itu, ketika keabsahan model-model bermunculan yang dapat diuji secara statistik dan kemampuannya melakukan

8 Carlo M. Cipolla, Between History and

Economics: An Introduction to Economic History, trans., Christopher Woodall (Oxford, 1991), pp. 9-10, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 143.

Page 27: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

226

peramalan yang terukur.9 Meski nampak tersembunyi, namun sepertinya di dalamnya terdapat asumsi bahwa faktor-faktor budaya sedikit lebih penting dari faktor-faktor ekonomi dalam penjelasan historis. Temin, salah seorang dari kalangan sejarawan ekonomi baru itu sendiri, mengusulkan bahwa kekuatan metodologi sejarah ekonomi baru perlu ditunjang oleh ketersediaan model-model tertentu yang karakteristiknya berbeda dengan metodologi sejarah ekonomi lama.10

Secara metodologis, jika dibandingkan dengan sejarah ekonomi baru itu, maka terdapat sedikit persoalan yang kontroversial mengenai penggunaan data dalam menghasilkan rangkaian peristiwa sejarah,11 yaitu sebagai sebuah seri

9 Roderic Floud, ‘Introduction’, in Floud

(ed.), Essays in Quantitative EconomicHistory (Oxford, 1974), pp. 2-4. dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 143.

10 Peter Temin, ‘The Future of The New Economic History’, In Theodore K. Rabb and Robert I, Rotberg (eds), The New History: The 1980s and beyond (Princeton, 1982), p. 1979, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 144.

11 See Francois Furet, ‘Quantitaive History’, Daedalus, 100 (1971), pp. 151-67,

sejarah. Para sejarawan itu menemukan dan membangun homogenitas unit-unit data lalu kemudian dibanding-bandingkannya antara satu dengan yang lainnya berdasarkan waktunya. Perubahan-perubahan jangka panjang, seperti peningkatan secara berangsur-angsur angka melek huruf di Eropa Barat selama empat abad terakhir terlihat, dan dengan demikian dapat dihitung. Dengan cara yang sama, analisa rangkaian fluktuasi-fluktuasi jangka pendek bermunculan, seperti analisa tentang perubahan-perubahan yang terdapat pada harga Gandum, yang barangkali disebabkan oleh terjadinya kelaparan, akibat bencana alam berupa perubahan iklim yang ekstrim.

Vovelle: Sejarah Serial dan Peran Budaya

Terdapat beberapa rangkaian peristiwa sejarah yang paling awal dibentuk mengenai misalnya besaran gaji dan harga-harga,12 tetapi, sejak

for a detailed discussion of this topic, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 144.

12 For example, William Beveridge, Prices an Wages in England, from The Twelft to The Nineteenth Century (London, 1939), vol.1, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington

Page 28: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

227

tahun 1960-an para sejarawan Annales dari Perancis khususnya telah menggunakan sejarah serial yang mengungkapkan bahwa budaya juga berperan signifikan dalam perubahan sejarah di samping gejala demografis dan ekonomi. Sebagai contoh, Vovelle melakukan penyelidikan mengenai perubahan-perubahan sikap seseorang sampai kepada persoalan angka kematian. Keduanya baik perubahan sikap maupun kematian, terkait dengan masalah ajaran agama Kristen yang salah satu isinya berupa pembuktian seseorang itu berdosa atau tidak yang dibuktikan dengan adanya sejumlah surat pengampunannya dari pihak gereja. Fenomena ini berasal dari abad ke-18, termasuk dengan melakukan penyajian-penyajian dan pengujian-pengujian tentang adanya apa yang dikatakan sebagai “Api Pensucian Diri” dari dosa di gereja-gereja yang disertai dengan surat-surat bukti jaminan pengampunan dosa. Fenomena ini berlangsung sejak abad ke-1513 bahkan hingga abad ke-20 masih ada. Sejarah serial ini dapat

Square, New York University Press, 1999), hlm. 144.

13 Michel Vovelle, ‘On Death’, In Idiologies and Mentalitas, trans. Eamon O’Flaherty (Cambridge, 1990), p. 73. dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 144.

digunakan untuk menangani masalah-masalah sejarah dengan cakupan yang lebih luas baik yang biasa maupun yang luar biasa, dan telah melahirkan suatu pendekatan yang cerdas terhadap sumber-sumber sejarah yang dicari. Furet juga percaya bahwa salah satu manfaat dari karya sejarah berseri ini adalah tercapainya tujuan dari para sejarawan dalam menyajikan dan membuktikan hasil penelitiannya.

Furet: Data dan Daftar Rangkaian Sejarah

Sebagai tambahan, Furet percaya bahwa salah satu sisi keuntungan yang dapat diperoleh sejarawan di sini adalah bagaimana mencapai tujuannya, yaitu menjadi historiographer profesional, termasuk untuk dirinya sendiri, yang berfokus pada data-data yang telah berhasil dikumpulkannya sebagai objek penelitian.14 Salah satu kesukaran dalam menciptakan sebuah daftar rangkaian peristiwa sejarah sesuai dengan data yang terkumpul adalah bagaimana membandingkan unit-unit data secara konsisten. Dalam menggunakan data sensus sebagai contoh, kita mungkin menemukan bahwa kerja yang kita lakukan terkait

14 Furet, ‘Quantitative History’, p. 155,

dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 144.

Page 29: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

228

dengan kelompok kerja tertentu lainnya yang memberi variasi berbeda dari waktu ke waktu, dengan mengesampingkan suatu identitas label rangkaian serupa. Dalam suatu kaitan kejadian, kita mungkin menggunakan rangkaian data yang menunjukkan perubahan-perubahan tahunan yang telah diset sedemikian rupa dan direproduksi dari kasus-kasus yang muncul di suatu pengadilan tentang kasus-kasus tanah milik kaum bangsawan abad pertengahan. Rangkaian data dapat dibangun secara langsung, tetapi penginterpretasian maknanya lebih bersifat prolematis. Ada satu peningkatan kuantitas dalam kasus-kasus pencurian kayu bakar. Hal ini mungkin dianggap sebagai contoh dari cerminan meningkatnya derajat kemiskinan, di sebuah daerah yang mengalami penurunan ketersediaan jumlah hutan, di bawah juru sita tertentu. Peraturan-peraturan daerah mengenai kehutanan dijalankan secara efisen dan dijaga ketertibannya, suatu sikap baru dalam menghadapi kejahatan pencurian kayu di hutan, atau bahwa hal ini hanyalah sebuah perubahan dari sebuah model-model bisnis yang akan menjadi bahan perkara di pengadilan masa itu. Di sini kita juga dapat melihat bahwa kuantifikasi data yang tersedia pada seorang sejarawan menjadi meningkat walaupun sebelumnya terabaikan. Tetapi secara praktis untuk memahami data secara baik, maka

interpretasi mendalam mengenai data sejarah tersedia tetap tidak bisa tergantikan.

Sesuatu hal yang sederhana tetapi sering menimbulkan pernyataan yang memperingatkan bahwa penyederhanaan yang berlebihan dapat menimbulkan resiko berat, sebagaimana apa yang diilustrasikan oleh Mark Twain dalam kutipan di bawah ini.

“Panjang jarak sungai Mississippi antara Kairo dan New Orleans adalah dua belas ribu lima belas dan seratus mil dan itu tujuh puluh enam tahun yang lalu. Pada tahun 1722 setelah mengalami pemotongan jarak maka jaraknya tinggal sebelas ribu dan delapan puluh mil… sekarang ini panjangnya hanya sembilan ratus dan tujuh puluh tiga mil. Pada jarak seratus mil dan pada jangka waktu tujuh puluh enam tahun itu dengan sendirinya Mississippi mengalami penyusutan jarak dua ribu empat puluh dua mil. Yaitu sebuah hitungan rata-rata dari sebuah masalah yang dipandang remeh misalnya adanya perubahan jarak di atas satu mil per tiga tahun. Karena itu, ada orang yang

Page 30: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

229

tenang-tenag saja, siapa yang tidak dungu atau buta, dapat dilihat bahwa dalam periode Oölitic Silurian tua, untuk memasuki bulan November berikutnya hanya diperlukan sejuta tahun berlalu. Sungai Mississippi yang lebih Rendah dengan panjang lebih dari satu juta tiga ratus ribu mil panjangnya, airnya mengalir melalui teluk Meksiko, sebagai salah satu tempat menangkap ikan”.15

Kutipan di atas jelas hanyalah merupakan sebuah lelucon, Twain meskipun demikian telah menunjukkan adanya indikasi kepedulian terhadap model-model yang seharusnya diambil dalam melakukan ekstrapolasi (peramalan) makna isi data. Ada nilai penghargaan atas digunakannya kembali akal sehat seseorang peneliti dalam kajian isi data setelah dilakukan kuantifikasi.

15 Mark Twain, Life on The Mississippi

(New York, 1883), pp. 128-9, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 145.

Tosh: Sejarah Demografi dan Analisis Historis Kuantitatif

Sejarah demografi adalah bagian dari rangkaian analisis historis kuatitatif, sebuah studi tentang masalah kependudukan dari masa lalu. Sejarawan melakukan rekonstruksi berdasarkan jumlah rata-rata kelahiran, perkawinan, dan kematian, dan dari sini dapat dilakukan pengujian mengenai setiap topik yang terkait dengan keluarga dan struktur rumah tangga, juga tentang migrasi, struktur sosial, dan peran gender. Pola-pola ini kemudian bisa dipertimbangkan untuk digunakan sepanjang merupakan data ekonomi, seperti harga dan tingkatan-tingkatan upah. Contoh ini membuat perspektif sejarah kita bisa bertambah meluas dan bahkan tidak terukur. Teknik-teknik ini memberikan kita akses untuk sebuah kajian tentang sejarah sosial dengan jangkauan yang jauh lebih luas jika daibandingkan dengan hanya sekedar melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen sejarah tertulis pada umumnya. Hal ini secara khusus benar adanya apalagi ketika mengkaji masyarakat di era pra-industri.

Tosh berpendapat bahwa munculnya anggota-anggota masya-rakat pra-industri menyebabkan ter-jadinya marginalisasi terhadap sistem ekonomi subsistensi, jika dibandingkan dengan hasil-hasil analisis kita pada kondisi sebelumnya.

Page 31: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

230

Pola-pola kependudukan yang terdapat dalam masyarakat pra-industri itu adalah suatu hal yang krusial, namun pada kenyataannya, bahwa masalah kependudukan adalah faktor penentu yang sangat penting bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.16 Sejarah kependudukan pada dasarnya terbagi atas dua tipe sumber dan dua teknik analisis. Kategori pertama, sumbernya berisi tentang daftar jumlah orang yang berada dalam ruang dan waktu tertentu dan mungkin juga termasuk informasi mengenai usia, kehidupan seks, kedudukannya, status perkawinan, dan pendapatannya. Sensus kembali bisa dilakukan termasuk jatuhnya pendapatan dari sektor pajak termasuk dalam bagian ini. Kategori kedua, daftar orang-orang yang dibaptis (dalam sistem ajaran agama Kristen), di mana mereka kemudian diberikan tanggal lahir dan tempat baptis, juga lokasi penguburan dan perkawinan bagi setiap individu.17

16 John Tosh, The Pursuit of History:

Aims, Methods and New Direction in The Study of Modern History (2nd edn, London, 1991), p. 188, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 145.

17 Ibid., dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington

Dalam teori, jika setiap dokumen akurat dan konsisten dalam pengertian isinya, keseringan dan keteraturannya melalui periode waktu yang telah lewat, dalam hal ini pada kasus materi sensus, dan secara geografis tercakup di dalamnya, baik secara nasional maupun internasional, maka sejarawan kependudukan dapat menghitung total kelahiran, perkawinan, dan kematian, dalam setiap ruang dan waktu di masa lalu.

Dari sini, dapat dilihat bahwa hasil dari tingkat kesuburan, jumlah perkawinan, dan kematian per 1000 penduduk sewaktu-waktu dapat berubah dalam setiap perhitungan rata-rata yang diinterpretasi. Ini adalah sebuah proses perhitungan yang dikenal sebagai agregat analisis. Ketika sensus modern pertama dilakukan di Scandinavia pada pertengahan abad ke-18, materi sensus tidak selalu menyangkut periode sebelum abad ke-19, termasuk data baptis orang-orang Eropa yang sudah teregistrasi di gereja. Hal ini juga disebabkan karena cakupan waktu sensus yang melihat kembali masa-masa sebelumnya sesungguhnya sudah dilakukan sejak abad ke-16. Peristiwa-peristiwa vital yang terjadi di masa-masa ini tidak bisa diterjemahkan begitu saja dalam bentuk rekaman data yang lengkap, disebabkan karena tingkah laku

Square, New York University Press, 1999), hlm. 145.

Page 32: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

231

mereka yang kadang sudah berbeda dan dapat berubah setiap saat. Oleh sebab itu dilakukan sistem perekaman data berseri menurut pembagian waktu secara kronologis.18 Secara lebih lanjut dengan cara ini para sejarawan kependudukan akan mendapatkan informasi tentang jumlah keseluruhan penduduk, termasuk struktur rumah tangga sebagai contoh kecil, namun secara keseluruhan sangat berharga.

Masalah Perubahan Data Kuantitatif Rata-Rata dalam Sejarah Kependdukan

Ada satu cara dalam menanggulangi masalah perubahan data kuantitatif rata-rata dalam sejarah kependudukan, yaitu penggunaan daftar-daftar nama individu, dan tanggal-tanggal peristiwa penting yang pernah mereka alami yang bisa dianalisa secara nominatif, termasuk hubungan-hubungan ideal kekeluargaan yang ada di sekitar kehidupan mereka yang sangat menentukan. Sumber materi lain yang berhubungan dengan mereka ditemukan dalam sensus. Kecenderungan penduduk untuk berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya dan seterusnya daftar

18 Ibid., dalam: The Houses of History: A

Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 146.

namanya juga dapat ditemukan. Setelah bersusah payah mengumpulkan daftar riwayat hidup dalam sejumlah riset, maka sketsa-sketsa biografi penduduk dapat lebih sering dilakukan dengan bantuan komputer, sejarawan dapat melakukan rekonstruksi pergantian generasi pada sebuah keluarga, sebuah teknik yang dikenal dengan rekonstitusi keluarga.19 Dengan metode ini sejumlah informasi dapat pula diperoleh baik berupa usia, kekerabatan, mobilitas, dan pola pewarisan dalam masyarakat yang bersifat menyeluruh dan dan perubahan-perubahan apa saja yang terjadi. Di sini bisa terjadi kesalahan, terlepas dari segala kesukaran yang melekat pada ketidakteraturan sumber-sumber tersedia dan pemalsuan data individu, seperti penggunaan jangka waktu dalam aktivitas usaha, jumlah dan pola konsumsi dan sebagainya, bahkan termasuk pada apa yang terjadi di dalam keluarga-keluarga kecil.

Terdapat sebuah metode yaitu metode proyeksi balik, sebuah metode penyeimbang yang dikembangkan untuk menyaring catatan-catatan hasil

19 E.A. Wrigley, ‘The Prospects for

Population for History’, in Rabb and Rotberg, The New History, pp. 211-13, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 146.

Page 33: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

232

sensus berdasarkan jarak-jarak ruang dan waktunya. Metode ini digunakan untuk melakukan proyeksi kebalikan antara dua jenis data yang berbeda dalam ruang dan waktunya, yaitu data masa lalu dan data masa kini saat dilakukan analisis atasnya. Data masa lalu diproyeksikan ke masa kini, dan data masa kini diproyeksikan ke masa lalu. Artinya berfungsi sebagai data pembanding yang saling dihubung-hubungkan atau dianalisis keterkaitannya. Ini adalah hasil dari pengukuran kuantitatif dari apa yang dikenal sebagai metode statistik tentang besaran dan struktur populasi, yang bekerja dengan analisis proyeksi balik mengenai data-data masa lalu yang penting, namun jumlahnya sedikit.20 Dua teknik ini digunakan pula secara bersama-sama untuk dapat melihat secara detail mengenai situasi kependudukan di masa lalu dan membantu kita dalam melakukan interpretasi tentang informasi-informasi terkait tentang itu.

Namun demikian, untuk menguraikan secara singkat kesimpulan yang telah dicapai oleh

20 Ibid. pp. 213-16, For a Detailed

discussion of the method, see E.A. Wrigley and R.S. Schofield, The Population History of England 1541-1871: A Reconstruction (Cambridge, Mass., 1981), App. 15, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 146.

ahli sejarah kependudukan, nampaknya diperlukan ruang yang lebih luas dibandingkan dengan apa yang telah tersedia sebelumnya di sini. Ada batasan-batasan dalam melakukan pendekatan dan hal itu perlu diskusi yang lebih intensif. Satu dari sekian banyak penekanan di sini, yaitu bagaimana mengatasi kesulitan di dalam menerjemahkan hasil-hasil perhitungan statistic. Selain itu, perangkat-perangkat keras dan lunak yang digunakan dalam analisis data telah dikemukakan pula oleh Burke, yaitu bahwa persoalan olah data secara statistik dalam sejarah, umumnya menggunakan pendekatan sejarah kuantitatif.21 Dalam pengeritan demografi, Anderson mengingatkan kita mengenai kurangnya bukti-bukti yang berbentuk perubahan-perubahan sikap pada masyarakat untuk dianalisis secara statistik.

Apakah kita telah melakukan pengukuran secara cermat tentang jarak usia yang pendek dalam hal pernikahan para pasangan? Aatau apakah pasangan itu melakukan pernikahan atas dasar karena rasa persahabatan saja atau bukan? Perlukah bantuan seorang nenek yang

21 Peter Burke, History and Social Theory

(Cambridge, 1992), pp. 36-8, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 147.

Page 34: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

233

dipandang sebagai representasi dari keluarga bergaris keturunan ibu (perempuan) dalam hal kemudahan memperoleh tempat pemukiman bagi pasangan penganten baru? Atau dalam hal kematian, apakah misalnya sang nenek ini adalah seorang wanita pemimpin suku yang tangguh yang selalu dipuja-puja warganya, atau seseorang yang meninggal karena telah sekian lama menunggu dengan sepenuh hati seorang ‘teman lama’ yang tidak kunjung datang?22 Apakah sejarah kuantitatif dengan pendekatan statistik sudah malakukan analisis tentang contoh-contoh data kependudukan seperti ini atau belum?

Penutup

Sejarah ternyata sangat kaya dengan kajian-kajian tematis maupun prosesual, bahkan sejarah dapat berupa kajian totalistik, atau sejarah total, seperti yang telah diungkap dan digunakan oleh Fernand Braudel dan para sejarawan Perancis lainnya: March Bloch, Immanuel LaRoy Ladurie, Lucien Fevre, dan generasi-generasi sejarawan lain berikutnya yang beraliran “Annales” dalam karya-karya mereka. Sejarah juga tidak

22 Michael Anderson, Approaches to The

History of The Western Familiy 1500-1914 (London, 1980), pp. 33-8, dalam: The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory, Selected and introduced by Anna Green & Kathleen Troup (Washington Square, New York University Press, 1999), hlm. 147.

selamanya berisi kajian-kajian masa lalu masyarakat manusia dalam arti kualitatif semata tetapi juga dalam arti kuantitatif, yang biasa dikenal dengan sejarah ekonomi baru, ekonometrik atau kliometrik. Sejarawan profesional yang berminat menggunakan sejarah kuantitatif nampaknya tidak perlu takut dengan sistim analisis data yang berupa perhitungan matematis dengan angka-angka dan statistik, sejauh perangkat-perangkatnya difahami apalagi mampu dan dapat digunakan. Metodologi sejarah kuantitatif dapat digunakan pada tema-tema tentang sejarah ekonomi: perusahaan, perdagangan, industri, koperasi, perbankan, transportasi, pertambangan, kependudukan, perikanan, pertanian, perkebunan, dan sebagainya.

Model penelitian dan penulisan karya ilmiah model sejarah kuantitatif, nampaknya masih jarang di temui di Indonesia, dan umumnya didominasi sejarawan asing terutama Barat. Berbagai tema kajian dari Sejarawan Barat itu masih sangat kuat, termasuk sejarah kuantitatif. Penerapan metode statistik dengan tabulasi angka-angka secara matematis dengan rumusan-rumusan statistik dalam kajian sejarah masih sangat jarang ditemui di kalangan sarjana-sarjana atau sejarawan-sejarawan Indonesia, mulai dari tingkat skripsi hingga disertasi. Dalam konteks ini, Penulis pernah melakukan penelitian yang berjudul: “Dampak Sosial-Ekonomi Keberadaan

Page 35: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

234

Kawasan Usaha Industri Gula Takalar terhadap Masyarakat Petani Takalar 1972-1992 (Suatu Tinjauan Sejarah Sosial-Ekonomi). Dalam tulisan ini, Penulis mengambil jangka waktu temporal penelitian selama lebih dari dua puluh tahun, dengan periode prakonstruksi, konstruksi, pascakonstruksi, hingga masa produksi dari Pabrik Gula Pasir Takalar. Data berupa tabel, grafik, diagram, atau bagan, yang berisi angka-angka mengenai jumlah petani, buruh/pekerja, mandor, staf, pimpinan, dan pegawai perusahaan PT Perkebunan Nusantara XIV-Pabrik Gula Pasir Takalar (dalam berbagai kategori) dihitung sedemikian rupa. Begitu pula jumlah dan jenis lahan pertanian dan perkebunan yang dibebaskan, ganti rugi lahan, upah para buruh pabrik dan perkebunan, jumlah korban yang berjatuhan di lokasi penelitian karena seringnya terjadi konflik agraria/sengketa tanah, besaran produksi secara berkala selama berlangsungnya produksi, hingga pada tabulasi angka kasus-kasus sengketa lahan di pengadilan Takalar. Ini adalah sebuah skripsi, ketika menyelesaikan program strata satu/sarjana di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin Makassar.

Selanjutnya substansi pembahasan hasil penelitian di atas dilanjutkan di tingkat magister dengan karya ilmiah berupa tesis, pada Program Studi Sosiologi Program

Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Pada tingkatan ini, selain menggunakan pendekatan sosiologi sejarah, karena mencantumkan aspek temporal kajian, juga menggunakan metode statistik berupa “Chi Square” (kai kuadrat), guna menghitung seberapa kuat dampak positif Pabrik Gula Takalar ini terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat setempat, dengan perbandingan dua desa (Ko’mara dan Pa’rappunganta), antara desa yang terdekat dengan desa terjauh dari pusat aktivitas Pabrik Gula Takalar, bahkan sebelum dan sesudah kawasan pabrik gula ini berproduksi secara massal.

Hubungan-hubungan penduduk terutama petani di kedua desa tersebut dengan aktivitas pabrik gula juga diukur sedemikian rupa secara kuantitatif. Berdasarkan pengukuran ini, ditemukan bahwa ternyata tidak semua penduduk lokal berminat atau bersedia untuk direkrut masuk bekerja di kawsan industri gula ini dengan berbagai alasan, yang seharusnya mereka diutamakan. Selain itu ketika pabrik gula Takalar sudah berproduksi, maka dampak positif yang lebih besar yang diharapkan oleh penduduk setempat belum juga tercapai secara maksimal sesuai dengan harapan pihak perusahaan, pemerintah bahkan penduduk setempat yang telah dibebaskan lahannya terutama dari pihak petani. Ini terbukti dari keterangan responden

Page 36: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

235

pada umumnya yang berjumlah 159 orang berdasarkan jumlah kuesioner yang diedarkan di lapangan, dengan berbagai kategori umur, yang ketika lahan perkebunan untuk pabrik masih dalam masa prakonstruksi sudah berumur 15 tahun, yaitu tepatnya di tahun 1972. Di sini bukan hanya instrumen penelitian berupa angket atau kuesioner yang digunakan, tetapi sebagai sebuah penelitian sejarah juga dilakukan wawancara secara mendalam (depth intervieuw) terhadap sejumlah informan, baik berupa informan ahli (kunci) maupun informan pendukung.

Hasil penelitian tersebut di atas, mengatakan bahwa dampak positif dari keberadaan kawasan industri gula Takalar terutama terhadap para petani selama masa 20 tahun pertama masih sangat lemah, namun bukan berarti perubahan tidak terjadi. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan sosial-ekonomi memang tetap ada. Akan tetapi perubahan yang sangat besar terjadi umumnya baru berupa perubahan fisik lingkungan yang tidak jarang berdampak negatif pada ekosistem, bangunan-bangunan fisik berupa suprastruktur dan infrastruktur pabrik, termasuk segala fasilitasnya (jalan, jembatan, gedung, dan bangunan-bangunan pendukung lainnya). Perubahan dari sisi sosial: perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja) memang dapat terlihat, serta perubahan ekonomi (peningkatan

jumlah pendapatan) juga demikian. Sayangnya masih sangat jauh dari aspek pemerataan, dalam artian kesejahteraan yang dimaksud belum menyentuh secara keseluruhan penduduk setempat, apalagi desa terjauh dari pusat aktivitas pabrik. Hal ini terjadi mengingat bahwa pihak perusahaan dalam hal pelayanan kesejahteraan sosial-ekonomi masih lebih mengutamakan pihaknya sendiri daripada pihak masyarakat setempat yang umumnya adalah petani dan nelayan. Masalah ini juga timbul diakibatkan karena umumnya masyarakat ternyata belum siap menerima keberadaan pabrik dan perkebunan ini, apalagi sengketa dan konflik agraria masih sering bergejolak yang tidak jarang menimbulkan korban. Faktor lain adalah eksistensi unsur-unsur adat dan tradisi setempat yang masih kuat. Selain itu faktor pendidikan, keterampilan, dan pengalaman kerja terkait yang diharapkan dari penduduk setempat umumnya belum terpenuhi, di samping faktor-faktor keamanan lainnya. Walaupun statistik yang digunakan masih tergolong “non-parametrik” sederhana, namun hasil penelitian ini sangat menyakinkan bahwa sejarah kuantitatif sangat penting digunakan dalam tema-tema kajian sejarah yang besifat sosial-ekonomis, dengan hasil-hasil pengukuran dan kesimpulannya yang lebih akurat.

Page 37: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

236

Daftar Pustaka

Green, Anna dan Kathleen Troup. 1999. The Houses of History: A Critical Reader in Twentieth-Century History and Theory. New York: New York University Press.

Rahman, Abd. 1997. Dampak Sosial-Ekonomi Keberadaan Kawasan Usaha Industri Gula Takalar terhadap Masyarakat Petani Takalar 1972-1992 (Suatu Tinjauan Sejarah Sosial-Ekonomi). Skripsi (S1). Ujung Pandang: Jurusan Sejarah-Fakultas Sastra-Universitas Hasanuddin.

Rahman, Abd. 2002. Dampak Sosial-Ekonomi Keberadaan Kawasan Usaha Industri Gula Takalar terhadap Masyarakat Petani Pedesaan Takalar (Studi Kasus pada Desa Ko’mara dan Pa’rappunganta, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Daerah Tingkat II Takalar, Sulawesi Selatan), Tesis (S2). Makassar: Program Studi Sosiologi-Program Pascasarjana-FISIP-Universitas Hasanuddin.

Page 38: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

237

“Kemanakah Hutan Kami ?” Dinamika Sosial dan Kontestasi Antara Pihak-pihak yang Terlibat

dalam Pengelolaan Hutan di Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah

Oktovianus Rusmin

(Auditor, Lembaga Sertifikasi PT. Mutuagung Lestari, Jakarta)

Abstract

Social dynamics in forest management is quite complicated. The locals are the hereditary lived in adjacent of forest area and use it for supporting their daily need. The timber and mining company exploited of forest for earning of profit. The government stands in the crossroad, they must manage the forest for conservation area while at the other hand they must increase the regional income.

The euphoria of reformation has encouraged the Regional Autonomies (decentralization) and has rolled over of new policies by the regional government in term of the natural resources management. Despite the regional government is now concerning the locals who their needs are depend on the forest but the conflict lie where the people with different interest meet. In this case, it talks about forest exploitation, the locals are the misfortune one.

The article shall describe the social dynamic and the contested among parties related to the forest management in Seruyan District Province of Central Kalimantan.

Keywords: Deforestation, Contested, Sustainable, Indigenous people.

Pendahuluan

Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang amat penting dan strategis, yakni sebagai suatu sistem penyangga kehidupan dengan tiga fungsi utamanya, meliputi: fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produktif. Fungsi-fungsi tersebut dengan jelas telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Ketiga fungsi tersebut memiliki hubungan timbal-balik dan saling terkait. Oleh karena itu, pengelolaan

fungsi tersebut amat penting, demi tercapainya optimalisasi fungsi secara berkelanjutan (sustainable).

Dalam kerangka tersebut di atas, maka selayaknya jika pembangunan kehutanan yang dikembangkan merupakan pergeseran kebijakan dari timber management ke multi purpose dan multi functions management yang disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat.

Page 39: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

238

Masyarakat lokal yang bermukim di sekitar wilayah hutan, sebagian besar menggantungkan kehidupannya pada sumber daya hutan untuk mempertahankan kehidupan sehari-harinya. Gambaran masyarakat lokal di pedalaman Kalimantan, Papua dan beberapa tempat lainnya di Indonesia, memperlihatkan kepada kita bahwa kebiasaan berburu dan mengumpulkan/meramu hasil-hasil hutan (hunters and gathering), terutama untuk bahan makanan dan kayu bakar, serta aktivitas berladang sebagai sumber mata pencaharian utama. Aktivitas tersebut telah berlangsung secara turun-temurun dan masih bisa kita jumpai dalam kehidupan masyarakat sekitar hutan, utamanya masyarakat lokal dan/atau penduduk asli (indigenous people). Bagi kelompok masyarakat tersebut, hutan menyediakan pangan dan sumber penghasilan lainnya yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari.

Setelah bertahun-tahun hutan dikelola dengan cara-cara yang kurang mempertimbangkan aspek kelestarian di bawah sistem pemerintahan yang terpusat (sentralisasi), sekarang ini Indonesia telah memasuki era baru, dimana pengelolaan sumber daya alam tersebut beralih kepada kendali pemerintah daerah. Kondisi obyektif Pulau Kalimantan yang memiliki kawasan hutan terluas di Indonesia, secara signifikan menempatkan sektor kehutanan menjadi salah satu pilihan strategis dan sebagai salah satu sektor andalan yang sangat potensial dalam mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah menjadi komitmen bersama secara nasional.

Perubahan sistem pengelolaan hutan dari sentralisasi kepada

desentralisasi, merupakan potensi bagi pemerintah daerah untuk memperoleh keuntungan yang amat besar terutama untuk maksimalisasi pendapatan daerah (regional income) dan pada gilirannnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, utamanya masyarakat yang menggantungkan kehidupan pada hutan. Secara teoritis, penguasa setempat akan lebih memahami kondisi wilayahnya sehingga akan membuat berbagai kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan lokal, terutama untuk kelompok masyarakat yang selama ini termarjinalkan dan kurang memiliki akses serta kalah bersaing dalam pemanfaatan hasil-hasil hutan. Namun, kenyataannya bahwa desentralisasi kewenangan pengelolaan hutan tersebut merupakan suatu proses yang sangat kompleks, menyisakan dan bahkan melahirkan persoalan-persoalan baru.

Terjadinya penurunan kualitas sumber daya alam, terutama sumber daya hutan di Pulau Kalimantan, merupakan pemandangan nyata yang ada di hadapan kita. Secara khusus di Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah, di mana terdapat berbagai pihak yang memiliki akses dalam pengelolaan hutan. Pihak-pihak tersebut terdiri dari Unit Manajemen yang memiliki izin pengelolaan Hutan Alam (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Perkebunan Kelapa Sawit, usaha-usaha penggergajian kayu (sebagian besar dikelola oleh pihak pendatang), serta penambang-penambang tradisional yang tidak memiliki izin resmi. Keberadaan berbagai pihak tersebut telah meninggalkan dampak yang besar terhadap kondisi sumber daya alam setempat, terutama hutan. Kualitas hutan yang merupakan sumber daya

Page 40: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

239

penting bagi masyarakat setempat, telah mengalami degradasi dan bahkan mengarah pada kondisi “tragedy of the commons” (lihat Gordon, 1954; Scott, 1955; Hardin, 1968). Dalam kondisi seperti itu, masyarakat lokal yang pada umumnya hidup secara tradisional di sekitar wilayah hutan, seringkali menjadi pihak yang termarjinalkan dalam ranah persaingan dengan berbagai pihak.

Munculnya resistensi dari masyarakat lokal, terutama masyarakat adat yang bermukim di sekitar wilayah hutan, merupakan proses dialektika dari adanya kepentingan-kepentingan berbagai pihak dengan kepentingan masyarakat lokal yang merasa bahwa akses dan hak-hak mereka terhadap hutan semakin terdesak oleh karena terjadinya deforestasi pada sumber daya penting tersebut (lihat Peluso, 1992).

Gambaran di atas merupakan pijakan awal tulisan ini yang akan mencoba memaparkan dinamika sosial dan persaingan berbagai pihak dalam pengelolaan sumber daya hutan di Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah.

Pengelolaan Hutan: “Hutan untuk Masyarakat, Hutan untuk Peningkatan Pendapatan Daerah atau Hutan untuk para Konglomerat ?”

Sejarah pemanfaatan hutan di Kalimantan Tengah telah dimulai sejak lebih dari setengah abad lalu, yaitu dengan dimulainya kegiatan eksploitasi kayu agathis secara sederhana menggunakan sistem panglong/tebang banjir di daerah Sampit dan sekitarnya yang dilaksanakan oleh NV. BRUINZEEL. Setelah Indonesia memasuki era kemerdekaan, kegiatan

eksploitasi dan pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah selanjutnya diambil alih oleh PT. SAMPIT DAYAK dan PN PERHUTANI. Eksploitasi hutan yang dilakukan oleh kedua badan usaha tersebut terus berlanjut hingga memasuki era Orde Baru. Karena tuntutan kebutuhan, pada dekade tahun 1970 PN PERHUTANI selanjutnya direstrukturisasi menjadi PT. INHUTANI III. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan sumber daya alam untuk pembangunan, memasuki era tahun 70-an, kegiatan eksploitasi hutan di Kalimantan Tengah tidak lagi sebatas dilaksanakan oleh PT Inhutani, tetapi telah melibatkan perusahaan swasta lainnya dengan terbukanya peluang untuk memperoleh konsesi HPH dalam skala luas (www.eu-ilrc.or.id, 2005).

Selama masa kekuasaan rezim Orde Baru, pemerintah telah memberikan hak istimewa kepada pengusaha-pengusaha atau konglomerat yang dekat dengan pihak penguasa. Kawasan HPH yang luasnya sekitar 64 juta Ha hanya dikuasai oleh sekitar 20 konglomerat besar yang dekat dengan pemerintah. Berbagai pihak merasa sistem ini tidak adil, terutama pengusaha-pengusaha di daerah, dan yang paling berada pada posisi lemah adalah masyarakat lokal atau adat yang merasa paling termarjinalkan dan bahkan tidak memperoleh manfaat dari sistem tersebut. Tingkat kemiskinan penduduk Indonesia masih tetap tinggi, yaitu sekitar 20 persen. Salah satu kelompok masyarakat miskin di Indonesia, khususnya yang berada di luar Pulau Jawa adalah penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai “peladang berpindah.” Kondisi tersebut berdasarkan pada data Bappenas 1994

Page 41: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

240

ketika merumuskan program Inpres Desa Tertinggal (lih. Awang, 2004).

Dinamika Sosial dan Persaingan dalam Pengelolaan Hutan: Kasus Desa Sambi dan Desa Rantau Pulut

Secara umum, kecenderungan pengelolaan hutan di Indonesia memperlihatkan kepada kita bahwa interaksi negatif dari manusia kepada sumber daya alam, misalnya hutan, lebih dominan dibanding interaksi positifnya. Proses terjadinya “tragedy of the commons” di beberapa tempat, merupakan contoh intervensi dan pemanfaatan oleh manusia pada sumber daya alam berupa hutan yang tidak diikuti dengan pengelolaan yang baik dan mempertimbangkan azas kesinambungan, pada akhirnya akan bermuara pada penurunan kualitas sumber daya alam tersebut. Eksploitasi hutan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang merasa memiliki wewenang dalam pengelolaannya, merupakan faktor yang berkontribusi paling besar pada terjadinya deforestasi.

Dalam beberapa tahun terakhir persaingan dalam sektor pengelolaan hutan semakin meningkat, baik antara pemegang HPH/HPHTI yang dianggap sebagai pengelola legal maupun pihak-pihak lainnya yang acapkali berlangsung secara ilegal, serta masyarakat lokal di sekitar hutan yang masih tetap bergantung pada hutan. Fenomena tersebut merupakan sebuah dinamika yang terus berlangsung pasang surut dan melibatkan berbagai pihak dalam sebuah ranah persaingan. Dalam beberapa kasus, dinamika tersebut berujung pada konflik kepentingan. Penduduk lokal yang merasa tidak diuntungkan dalam kegiatan pengelolaan hutan, seringkali melakukan

unjuk rasa, penyerobotan lahan, pembabatan hutan, penyanderaan dan bentuk kekerasan lainnya sebagai ungkapan kekecewaan mereka. Berbagai insiden timbul antara masyarakat lokal dengan kepentingan bisnis yang didukung oleh pemerintah, atau bahkan antara sesama masyarakat lokal yang dipicu oleh perbedaan pendapat tentang batas-batas hutan dan pengelolaannya. Setidaknya terdapat empat faktor yang saling berinteraksi dan berpengaruh terhadap kondisi persaingan dan konflik pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia, antara lain: faktor sejarah, dinamika masyarakat, politik ekonomi nasional, dan kebijakan pengelolaan hutan (lih. Suprapto et all, 2003).

Berikut gambaran kasus-kasus dinamika sosial, persaingan dan konfilk kepentingan dalam pengelolaan hutan yang penulis angkat berdasarkan pengalaman kunjungan ke Desa Sambi dan Rantau Pulut Kalimantan Tengah pada akhir tahun 2003.

Unit Manajemen versus Masyarakat Lokal

Di Desa-desa Sambi dan Rantau Pulut, terdapat salah satu Unit Manajemen (PT. RE) yang memiliki izin pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Unit Manajemen tersebut telah beroperasi sejak tahun 1992 dengan lahan seluas 18.820 Ha. Pada awalnya sebagian warga desa setempat terserap sebagai pekerja di Unit Manajemen, terutama pada pekerjaan land clearing, pemeliharaan bibit tanaman, dan tahap penanaman. Berdasarkan data Unit Manajemen, diketahui bahwa dari 600 orang pekerja, terdapat ± 60 % tenaga kerja yang merupakan penduduk lokal. Sebagian besar dari penduduk lokal

Page 42: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

241

tersebut bekerja sebagai buruh harian dan borongan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, muncul tuntutan dari masyarakat lokal yang mengklaim bahwa sebagian dari areal hutan tersebut merupakan tanah ulayat mereka. Tuntutan dan klaim tersebut semakin meningkat sejak tahun 1998 pada saat pihak manajemen mengalami kesulitan keuangan. Sebelumnya terdapat 45 orang tenaga kerja bulanan, tetapi setelah terjadi kesulitan keuangan jumlah tenaga kerja berkurang menjadi 32 orang.

Penduduk lokal sangat tergantung kepada hutan sebelum hutan di sekitar tempat mereka bermukim dieksplotasi, hingga akhirnya menjadi Hutan Tanaman Industri. Sebagian besar dari mereka telah merubah kebiasaan berladang menjadi pekerja di Unit Manajemen pengelola HTI dan merasa tidak lagi mampu bertahan hidup dari alam yang telah berubah kondisinya. Memasuki awal tahun 2003, klaim penduduk lokal bahwa sebagian areal konsesi Unit Manajemen adalah tanah ulayat mereka, semakin memuncak. Areal pengelolaan Unit Manajemen yang pada awalnya seluas 18.820 Ha, selanjutnya hanya tersisa 10.643 Ha. Pada pertengahan tahun 2003, kegiatan produksi di Unit Manajemen yang bersangkutan telah terhenti total atas tekanan penduduk lokal yang bermukim di sekitarnya.

Di sisi lain, terdapat penambang-penambang emas yang merupakan pendatang dari daerah lain namun tidak memiliki izin resmi dari Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. Penambang-penambang tersebut telah beroperasi beberapa bulan sebelumnya. Mereka telah berhasil mendekati dan membujuk sebagian penduduk lokal agar menyewakan lahan-lahannya untuk

dijadikan lokasi penambangan emas. Kehadiran para penambang tersebut menjadi income bagi beberapa penduduk lokal yang menyewakan lahan mereka. Para penambang memposisikan diri sebagai free riders dalam dinamika persaingan yang sedang berlangsung. Namun, ironisnya keberadaan tambang-tambang emas menimbulkan pencemaran di sekitar areal hutan dan sungai akibat pembuangan limbah merkuri. Di beberapa tempat bahkan terjadi tanah longsor sebagai dampak dari aktivitas penggalian yang dilakukan oleh para penambang.

Konflik Sesama Masyarakat Lokal

Semangat otonomi daerah telah mendasari lahirnya pemekaran Kabupaten Kotawaringin Timur pada tahun 2002 yang kemudian melahirkan Kabupaten Seruyan. Namun, pemekaran tersebut menyisakan persoalan bagi penduduk setempat. Timbul perbedaan pendapat menyangkut batas kedua kabupaten yang terdiri dari areal hutan alam dan hutan tanaman industri yang berada dalam pengelolaan Unit Manajemen (PT. RE). Penduduk Desa Sambi di Kotawaringin Timur dan penduduk Desa Rantau Pulut di Kabupaten Seruyan masing-masing mengklaim berhak atas areal hutan yang terletak di perbatasan kedua desa tersebut. Hal itu didasari oleh motif kedua pihak untuk mendapatkan kompensasi yang seharusnya mereka terima dari Unit Manajemen pengelola HTI. Dalam pemilihan Ketua RW di salah satu desa tersebut bahkan sempat terjadi pertikaian antara kedua penduduk desa yang saling berbatasan.

Pada perkembangan selanjutnya, kasus sengketa perbatasan antara Desa Sambi dan Desa Rantau Pulut telah

Page 43: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

242

diupayakan untuk diselesaikan melalui pertemuan antara Pemda, penduduk lokal dari kedua desa, dan Unit Manajemen. Namun, penduduk lokal masing-masing desa tersebut belum mencapai kesepakatan atas pembagian kompensasi yang akan mereka terima dari Unit Manajemen.

Kontestasi yang Berujung pada Degradasi Sumber Daya Hutan

Bertemunya berbagai pihak yang didasari oleh kepentingan dan motif yang berbeda-beda dalam pengelolaan sumber daya hutan di Kabupaten Seruyan, khususnya di Desa Sambi dan Rantau Pulut, pada gilirannya telah menyebabkan tekanan terhadap hutan. Dinamika sosial yang terus berlangsung dan ditandai dengan persaingan yang seringkali mengarah pada konflik antara berbagai pihak, telah menimbulkan dampak berupa penurunan kualitas sumber daya hutan, antara lain: gundulnya hutan, pencemaran pada areal hutan dan sungai, serta terjadinya tanah longsor di beberapa tempat. Gambaran tentang tekanan terhadap sumber daya alam penting di Kabupaten Seruyan dapat dilihat seperti skema berikut ini.

Gambaran tekanan terhadap sumber daya alam penting di Kabupaten Seruyan

Penutup

Gambaran tentang kondisi hutan sebagai salah satu sumber daya alam penting di Indonesia, memperlihatkan kepada kita bahwa antara hutan dan masyarakat yang bermukim di sekitarnya, terutama bagi masyarakat yang sangat menggantungkan sumber mata pencahariannya pada hasil-hasil hutan, tak dapat dipisahkan. Pemisahan batas-batas teritorial hutan untuk kepentingan-kepentingan praktis jangka pendek, atau untuk kepentingan ekonomi yang tidak dilandasi oleh pertimbangan pengelolaan secara lestari dan berkesinambungan, dalam kenyataannya telah menimbulkan berbagai persoalan.

Keberadaan hutan sebagai perlindungan dan sumber kehidupan bagi penduduk sekitarnya, merupakan fungsi yang sangat penting. Hutan merupakan satu kesatuan yang utuh dengan

Hutan Gundul

Penambangan emas

Sungai Tercemar

Tanah Longsor

Illegal logging

Eksploitasi hutan secara berlebihan

(over cutting)

Perambahan hutan

Page 44: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

243

kehidupan manusia yang bermukim di sekitarnya karena hutan telah memberi banyak jasa dan kepuasan batin kepada mereka yang menggantungkan kehidupan pada hutan. Kondisi seperti itu seringkali kurang dipahami oleh para pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Terjadinya “tragedy of the commons” sebagai dampak dari over exploitation terhadap hutan merupakan gambaran yang sesungguhnya telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia dan bahkan masih terus berlangsung hingga saat ini. Siapapun yang mengelola hutan, seharusnya lebih mempertimbangkan aspek multifungsi dari hutan tersebut sehingga pengelolaan hutan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Daftar Pustaka Awang, San Afri. 2004. Dekonstruksi

Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan, Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Feeny, David. 1994. “Frameworks for Understanding Resource Management on the Commons” dalam R.S. Pomeroy (ed.) Community Management and Commond Property of Coastal in Asia and the Pacific: Concepts, Methods and Experiences. Manila: ICLARM. Halaman 24.

Levang, Patrice. 2003. Ayo Ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Peluso, Nancy. 1992. Rich Forest Poor People: Resource Control and Resistance in Java, Berkeley: University of California Press.

_____ 1994. The Impact of Social and Environmental Change on Forest Management: A Case Study from West Kalimantan, Indonesia, FAO Community Forestry case study series no. 8. Rome, Italy : FAO.

Resudarmo, Ida Aju Pradnja & Colfer, Carol J. Pierce (ed.). 2003. Ke Mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor.

Ruslandi. 2004. Forest Growth and Dynamics for Sustainable Forest Management in Central Kalimantan, South Central Kalimantan Production Forest Project (SCKPFP).

Simon, Hasanu. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Cooperative Forest Management): Teori dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa, Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Suprapto, Edi (ed.). 2003. Konflik Hutan Jawa (draft 2), Yogyakarta: Arupa.

www.eu-ilrc.or.id. 2005. Kehutanan Kalimantan Tengah.

www.fwi.or.id. 2005. Update HPH Kalimantan Tengah.

Page 45: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

244

Kedde Kematian dan Kontestasi Gengsi Tradisi Resiprositas Etnik Wewewa, Sumba Barat Daya, Nusa

Tenggara Timur

Dony Kleden

(Sumba Cultural Research & Conservation Institute dan Dosen Antropologi STKIP Weetebula, NTT)

Abstract

Reciprocity in death kedde traditional ceremony at Wewewa ethnic group in South West Sumba is a tradition that forms and glues the social relations in a collective life. The ceremony is implemented in a contestation which in it consists of wisdom and manipulation. However, reciprocity at a death kedde ceremony becomes the soul or spirit of the community, as the presence of people can be measured or seen from such traditional ceremony. And indeed, such reason makes reciprocity at death kedde ceremony has remain been maintained to date. This writing would like to see the political games behind the reciprocity at death kedde ceremony. It is significant to do since by understanding the reasons behind the festivity, we will be more opened up to comprehend the culture of Wewewa ethnic group. The results of the research shows that death kedde in itself has no single objective but various ones, and each group of kedde procession may has its own objectives depend on their interests and what they like to struggle for with the kedde festivity. Keywords: Kedde, Reciprocity, Wisdom, Manipulation, Wewewa, Sumba Barat Daya

Pengantar

Di tengah tabuhan bunyi genderang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pekat dan kasat mata, saraf orang-orang modern dipaksa dan dipacuk untuk sebisa mungkin mengikuti perkembangan karena tidak ingin tergilas arus modern atau pun tidak ingin dikatakan sebagai orang-

orang yang ketinggalan zaman. Perilaku hidup pun mulai terkikis oleh berbagai kemajuan karena orang modern cenderung berpikir kalkulatif, untung rugi, apalagi dengan berbagai kemajuan dalam bidang pendidikan.

Namun, anggapan seperti itu ternyata sangat relatif. Faktanya, tidak semua tempat dengan begitu mudah tersihir perkembangan dunia modern semacam itu. Di banyak tempat,

Page 46: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

245

ritual-ritual dan upacara-upacara adat masih sangat kuat dan bahkan cenderung dipertahankan, disterilkan dari sentuhan dan pengaruh modern.

Tradisi resiprositas kedde kematian pada etnik Wewewa, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah salah satu tradisi resiprositas yang cukup steril dari sentuhan dan bujukan dunia modern yang kalkulatif. Kedde bisa artikan sebagai suatu upaya dari pihak kerabat atau undangan yang datang membawa hewan untuk membantu keluarga yang berduka. Tradisi kedde kematian dibuat dalam rangka mempertahankan dan membangun jalinan-jalinan sosial, termasuk berbagai kepentingan lain yang juga sangat kuat terselip di baliknya.

Tradisi tukar-menukar (resiprositas) merupakan kebiasaan yang relatif umum terjadi di banyak tempat. Resiprositas oleh Mauss (1992: xix) diartikan sebagai tukar-menukar yang dilakukan oleh dua orang atau kelompok yang saling mengimbangi. Dalam pemberian yang saling mengimbangi ini, kehormatan dari pemberi dan penerima terlibat di dalamnya. Secara sederhana, resiprositas oleh para ahli diartikan sebagai pertukaran timbal-balik antarindividu atau antarkelompok (Sairin, dkk, 2002: 43).

Dalam tulisan ini, tradisi tukar-menukar tidak dilihat secara an sich, tetapi lebih pada apa yang terjadi di

balik upacara atau tradisi tukar-menukar itu. Apa yang terjadi di balik pagelaran resiprositas itu menjadi kunci pertarungan kepentingan yang memungkinkan peristiwa terjadi. Tegasnya dalam tulisan ini, saya menyajikan politik apa yang terjadi di balik layar kontestasi resiprositas itu. Terkait dengan politik, di sini saya melihat bagaimana politik resiprositas digelar dan ritual kontestasi resiprositas dirayakan, baik terkait dengan kearifan maupun manipulasinya.

Dalam konteks ini, bagaimana para aktor resiprositas itu hadir dan berperan dalam sebuah arena peristiwa, dapat dilacak. Kuasa itu mengendalikan dan mempunyai kekuatan untuk menciptakan sebuah arena dengan segala intensinya. Orang yang punya posisi dan kuasa yang dominan seringkali memperjuangkan dan mempertahankan posisinya melalui upacara kedde. Tabiat politik yang semacam ini oleh Bailey (1970: 3) disebut sebagai how to play and how to win.

Politik pada dirinya sendiri juga membawa serta usaha-usaha dan manipulasi untuk memperbesar diri agar seseorang bisa mendapatkan sanjungan dan namanya menjadi buah tutur dalam masyarakat. Pemahaman yang demikian ini sejalan dengan pemikiran Weber (1947: 407- 409) yang mengatakan bahwa upacara-upacara tradisional juga sangat

Page 47: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

246

melekat erat dengan prestise seorang pemimpin. Kalau memang demikian, maka upacara, tradisi atau pesta-pesta dalam suatu masyarakat sebenarnya juga sebuah cara yang oleh para pemimpin dan mungkin juga yang lain digunakan untuk memperoleh kekuasaan. Dalam artian ini, maka kekuasaan oleh Weber (dalam Bendix, 1960: 290) diartikan sebagai kemungkinan seseorang mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan sosial.

Spirit dan Simbol dalam Kedde

Kematian dan Undangan Kedde

Untuk datang melayat, orang harus diundang, apalagi pada hari penguburan. Tanpa undangan, orang tidak akan datang, kendati itu keluarga dekatnya. Akan ada penilaian yang buruk bagi orang yang datang tanpa undangan pada hari penguburan. Orang akan mengatakan “dasar orang itu tidak tahu malu, dia datang tetapi tidak diundang, hanya mencari makan daging saja“. Prinsip yang demikian ini berlaku untuk umum, termasuk tetangga yang bersebelahan rumah pun kalau tidak diundang, dia tidak akan datang.

Pertanyaan yang harus kita ajukan dalam kaitan dengan undangan ini adalah; siapa saja yang wajib diundang atau punya hak untuk diundang dan siapa saja yang bisa diundang dan mengapa mereka perlu

diundang? Sebenarnya, undangan itu sendiri bisa dikategorikan dalam tiga kelompok. Termasuk ke dalam kelompok pertama adalah mereka yang terikat hubungan darah dengan orang yang meninggal atau kerabat dari yang meninggal, misalnya paman, ipar atau orang tua atau kemenakan. Kelompok kedua mencakup kenalan. Kelompok ketiga meliputi “orang-orang kuat“ (orang mampu secara ekonomi dan sosial). Jika kelompok pertama bersifat wajib, maka kelompok kedua dan ketiga sifatnya tidak wajib. Mereka diundang entah karena memang sungguh-sungguh meminta bantuan atau karena kepentingan lain yang tersembunyi di baliknya.

Dalam hal undangan, ada juga hal lain yang masih harus dikompromikan. Undangan itu undangan siapa? Pertanyaan ini penting dalam rangka untuk pembalasan di kemudian hari. Misalnya saja, dalam keluarga duka itu ada tiga orang bersaudara. Nanti dalam menentukan undangan, masing-masing menyodorkan nama undangannya masing-masing, entah itu yang membawa hewan atau juga untuk undangan umum yang hanya membawa kain atau amplop. Yang bertugas untuk mencatat pun dia harus bertanya kepada yang datang: “dari mana dan undangan siapa?“ Barang bawaan akan dipisahkan menurut pengundang.

Page 48: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

247

Terkait dengan hewan kedde yang dibawa, ada aturan tersendiri bagi mereka yang mempunyai hubungan perkawinan. Untuk seorang menantu, ketika orang tua dari istrinya meninggal, dia harus membawa kerbau besar sebagai balas jasa dari istrinya terhadap orang tuanya yang telah melahirkan dan membesarkannya. Hewan yang dibawa tidak boleh dipelihara, melainkan harus dipotong. Alasannya, hewan ini bukan untuk orang hidup, tetapi untuk dia yang meninggal. Hewan itu menjadi bekal dari anak untuk orang tua dalam kehidupannya yang lain. Dari pihak paman juga berlaku hal yang sama, tetapi dengan alasan yang berbeda. Dia harus membawa kerbau kalau saudara perempuan atau anak dari saudara perempuan (anakabine) mereka itu meninggal. Alasannya, hewan itu sebagai simbol cinta mereka terhadap saudara perempuan atau anak-anak dari saudara perempuan dan untuk menjadi bekal dalam perjalanan selanjutnya. Aturan yang demikian ini juga berlaku kepada paman (pihak pemberi perempuan). Orang harus membawa kerbau kalau mau kedde ke pihak paman atau loka (saudara laki-laki dari ibu). Untuk hubungan-hubungan yang lain, termasuk kenalan, tergantung kompromi dan motivasi.

Sementara untuk kedde yang tidak ada hubungan kawin-mawin, hewan yang dibawa tergantung

kesepakatan. Kesepakatan itu pun tergantung dari kekuatan kedua belah pihak dan tujuan di balik kedde itu. Dalam kaitan dengan ini, orang harus memperhitungkan banyak hal, misalnya terkait dengan mata api 1 , penjemputan dan kedde balasan di kemudian hari. Bapak Tanggu, yang berasal dari sebuah keluarga yang cukup ‘terpandang‘, pada suatu kesempatan membagikan pengalamannya dan mengatakan bahwa beberapa tahun lalu, ketika ayahnya meninggal, banyak orang yang melamar diri untuk kedde, tetapi banyak juga yang ia tolak. Dia merasa terlalu berat untuk balasannya di kemudian hari. Mereka memotong delapan ekor kerbau dan enam ekor babi pada hari penguburan saat itu. Ayah dari Bapak Tanggu ini adalah seorang pemuka masyarakat, dan pernah menjadi seorang kepala desa yang dipandang berhasil. Di luar hubungan kawin-mawin, Bapak Tanggu menerima empat kedde lamaran, dan mereka yang diterima itu menurutnya adalah yang mengenal ayahnya, khususnya sama-sama dari

1 Mata api adalah istilah untuk menyebut

hewan balasan yang diberikan kepada kelompok atau orang yang melakukan kedde (resiprositas tahap pertama). Ukuran hewan mata api itu lebih kecil, dan diberikan sebagai tanda penghargaan. Pada gilirannya nanti ketika orang yang melakukan kedde itu mengalami kedukaan, pihak yang sekarang menerima hewan kedde itu akan membalasnya persis seperti yang dia terima (balanced reciprocity), dalam arti ini jenis hewan dan ukurannya harus sama (resiprositas tahap dua).

Page 49: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

248

kalangan pemerintahan. Bapak Tanggu juga mengatakan: “tidak mungkin dia menolak orang-orang dari pemerintahan karena mereka mengenal baik ayah saya“. Menurutnya, mereka pasti akan merasa tersinggung kalau dia menolak lamarannya. Mereka orang-orang yang berwibawa tinggi. Menolak lamarannya sama saja dengan menjatuhkan harga diri mereka.

Cerita ini memberi gambaran bahwa menerima atau menolak kedde lamaran itu didasarkan pada perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan khusus. Di dalamnya akan dilihat mana yang lebih menguntungkan dan mana yang tidak. Alasan Bapak Tanggu seperti yang disebutkan di atas bisa juga dilihat secara lain bahwa dia memang lebih mengutamakan orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi, demi gengsi keluarganya dari pada menerima orang-orang biasa (masyarakat biasa). Intinya adalah bahwa orang yang harus diundang atau berhak diundang pada sebuah kedde kematian adalah kalangan yang mempunyai hubungan kawin-mawin seperti: paman, anak menantu, kemenakan, dan ipar. Mereka adalah aktor-aktor utama dalam sebuah pentas resiprositas pada upacara pemakaman.

Terkait dengan pengalaman Bapak Tanggu di atas, pertanyaan bisa muncul: “mengapa Bapak Tanggu menerima orang tertentu

khususnya dari pemerintahan dan menolak yang lain?“ Dari cerita di atas diketahui bahwa alasannya adalah karena mereka sama-sama dari kalangan pemerintahan, kenalan ayahnya. Tidak baik menolaknya, apalagi jika termasuk orang penting di daerah itu. Ia juga takut jika nantinya ada ketersinggungan dari pihak yang melamar karena mereka merasa kewibawaannya diremehkan.

Jawaban demikian, seperti telah ditinjukkan di atas, mengindikasikan secara kuat bahwa penerimaan pelamar kedde juga dalam rangka untuk mempertahankan status dan wibawa dari pihak pelamar itu sendiri. Artinya, menolak pelamar yang lain demi pihak pemerintah yang punya posisi sentral dalam masyarakat adalah alasan dan pertimbangan kunci yang bisa dilihat dalam kasus ini. Dari pihak pelamar sendiri pada momen ini dia akan menunjukkan dirinya siapa dia. Demikian pula sebaliknya dari pihak keluarga duka. Singkatnya, momen ini menjadi ajang pertunjukan kekuatan diri antara pelamar dan yang menerima lamaran.

Kekuasaan yang strategis dalam masyarakat meminta kepatuhan dari orang-orang yang berada di bawahnya. Kekuasaan dari mereka yang punya posisi dalam pemerintahan, dalam cerita kedde ini bisa dilihat bahwa karena kekuasaan yang dimilikinya, orang-orang tertentu bisa dengan mudah membangun kepatuhan dan keengganan dari

Page 50: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

249

masyarakat untuk menyetujui apa yang hendak dibuat. Filsuf Michel Foucault (Haryatmoko, 2003:219) pernah mengatakan bahwa kekuasan itu lahir dari adanya perbedaan atau ketidakseimbangan, dapat dilihat relevansinya dalam kasus kedde ini. Perbedaan-perbedaan itu menurut Foucault membentuk garis konfrontasi yang menempatkan yang satu lebih dari yang lain. Mereka yang mempunyai akses lebih karena kekuasaan yang dimilikinya akan menjadi penentu bagi suatu tindakan.

Ada juga kelompok lain lagi yang kedde, tetapi statusnya melamar diri. Dia datang ke rumah duka dan ingin kedde pada upacara penguburan. Menurut kebiasaan di Wewewa, hal yang demikian memang agak sering terjadi. Orang yang melamar diri untuk kedde itu tentunya punya motivasi tertentu, dan karena itu pihak keluarga harus memperhatikan juga secara khusus, apalagi yang lamar diri itu orang kuat dan punya pengaruh. Orang yang melamar diri untuk kedde itu tentu punya motivasi atau kepentingan yang tersembunyi. Jelas bahwa ada motif mencari nama dan harga diri bagi kalangan ini. Meski begitu, tidak tertutup kemungkinan juga kalau ada dari kalangan ini yang memang sungguh-sungguh merasa perlu untuk membantu karena melihat keluarga duka sedang berkekurangan.

Dalam budaya orang Wewewa, para kerabat itu harus diundang. Ini

menyangkut ikatan keluarga dan hak dan kewajiban mereka untuk menghormati atau membalas jasa orang yang sudah meninggal. Terkait dengan ikatan keluarga, orang Wewewa mengatakan bahwa justru adanya ikatan keluarga itu yang sangat ditonjolkan pada acara pada acara kematian seperti itu. Jadi orang harus datang atau diundang supaya para undangan juga tahu bahwa mereka ada ikatan keluarga dan juga supaya ikatan keluarga itu tetap terjaga. Dengan demikian bisa kita lihat bahwa upacara kematian sangat berarti untuk menjaga kerekatan antarkerabat. Ada kontestasi antar-kabisu yang terikat oleh perkawinan.

Posisi mereka yang diundang, tetapi tidak ada hubungan darah itu tidak masuk dalam hukum pengambil dan pemberi perempuan. Apa yang dibawa dan apa yang dibalas, bagaimana cara kedde, semuanya itu tergantung kesepakatan. Mereka tetap dihargai dan diselempangkan kain dan sarung sebagai tanda penghargaan dan penerimaan, juga sebagai tanda ucapan terima kasih. Bisa dilihat bahwa pada peristiwa yang sama dan dengan cara yang sama, tetapi tujuan bisa berbeda-beda dari masing-masing kelompok yang tergabung dalam upacara itu. Artinya, mereka yang datang untuk kedde itu ternyata didorong oleh banyak tujuan.

Page 51: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

250

Kompromi dan Rekayasa Politik Resiprositas

Kedde sebenarnya memainkan peranan sangat penting, yaitu: kompromi dan rekayasa politik. Kontestasi dan Kedde itu hanya bisa berjalan karena ada kompromi dan rekayasa di dalamnya. Tanpa kontestasi dan kedde, akan sangat rentan dengan konflik dan perkelahian. Kompromi menunjuk pada kesepakatan antara kedua belah pihak: pengundang dan diundang. Rekayasa menunjuk pada ‘pengelabuan‘ (mengelabui) undangan seolah-olah ada resiprositas yang sesungguhnya, pada hal itu hanyalah sandiwara.

Sejak dahulu, oramg-orang di dalam kedde selalu duduk kompromi antara yang mengundang dan yang diundang. Kompromi mereka terkait dengan apa yang dibawa pada waktu kedde dan apa mata apinya (balasan awal) ketika rombongan (loloka) kedde menginjakkan kakinya di halaman rumah duka dan menerima hewan dari rombongan kedde. Kalau soal balasan di kemudian hari terkait hewan bawaan itu, memang sudah jelas, bahwa nanti ketika kedde balas, pihak yang sekarang ini menerima hewan dengan besarnya demikian itu akan membalasnya seperti itu juga.

Untuk mencapai sebuah kompromi, antara pihak yang diundang dan yang mengundang, harus duduk mempertimbangkan dan

memutuskan hewan apa, besarnya seberapa, panjang tanduknya atau pun juga panjang taringnya, apa mata api-nya dan seberapa ramai prosesi dan penerimaannya. Ukuran-ukuran yang demikian ini sangat menentukan penghargaan atau gengsi bagi kedua belah pihak. Kalau hal yang demikian ini tidak diperhatikan dan diabaikan, maka akan menjadi persoalan tersendiri, akan menimbulkan ketersinggungan dan perselisihan, apalagi ada yang merasa direndahkan dan dipermalukan di depan umum.

Pada poin inilah manipulasi dibuat. Kontestasi yang dipertunjukkan itu sebenarnya adalah sebuah manipulasi. Dasarnya adalah bagaimana supaya antara yang mengundang dan yang diundang sama-sama bisa mengharumkan nama mereka, menaikkan status hidup mereka di tengah masyarakat dengan kedde sebagai medianya. Tentang besarnya jumlah rombongan kedde, besarnya hewan kedde dan jumlah hewan kedde, seberapa besar kemeriahan dan apa mata api-nya adalah unsur-unsur yang terkandung dalam sebuah kontestasi. Manipulasi bisa dilihat dalam kontestasi itu sendiri. Orang yang ingin menonjolkan diri, dia akan berada paling depan dalam rombongan kedde itu dan menjadi fokus perhatian para undangan. Selain itu juga, bisa diatur supaya rombongan kedde-nya bisa menjadi yang paling terakhir ketika semua undangan lain sudah ada,

Page 52: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

251

dengan harapan supaya kehadirannya bisa dlihat semua orang. Atau meminjamkan hewan kepada yang diundang supaya dibawa ke tempatnya adalah cara-cara manipulatif dalam kontestasi yang dibuat untuk memperbesar diri di mata masyarakat.

Setting politik resiprositas harus diatur sedemikian rupa sehingga pada hari yang ditentukan untuk resiprositas tidak ada yang dikecewakan, dipermalukan atau tidak ada konflik. Maka untuk menghindari segala kemungkinan yang tidak diharapkan pada hari penguburan, yang mengundang untuk kedde itu harus berdiiskusi baik-baik tentang semuanya itu. Kompromi yang demikian ini untuk ‘mengangkat nama‘ (prestise) kedua belah pihak. Prinsipnya upacara resiprositas itu harus menguntungkan kedua belah pihak dalam hal nama (Bdk. Weber, dalam Fried, 1967:32). Dalam pemberian yang saling mengimbangi ini, kehormatan dari pemberi dan penerima terlibat di dalamnya (Mauss, 1992:xix).

Penekanan pada kelompok penerima, dalam hal ini keluarga yang berduka adalah; apa yang menjadi mata api-nya. Mata api ini menjadi ukuran penghargaan bagi mereka yang kedde. Besar kecil dan rendah tingginya penghargaan dari keluarga duka terhadap rombongan yang kedde dilihat dari besar kecilnya mata api yang diberikan. Selain itu juga

yang tidak kalah pentingnya pada saat kedde adalah penerimaan dalam bentuk tari-tarian dan selempangan kain dan atau sarung. Mengabaikan salah satu dari yang ditentukan ini sama artinya dengan menjatuhkan harga diri di depan banyak orang. Hal ini menjadi mungkin karena resiprositas itu harus terjadi di depan semua undangan.

Namun resiprositas yang demikian ini tidak selalu berjalan mulus. Tidak jarang orang yang diundang itu tidak mempunyai hewan sama sekali untuk kedde, pada hal dia harus melakukan kedde, misalnya saja anak perempuan dari orang yang meninggal. Untuk kasus yang demikian ini ada jalan keluar yang dibuat, yang penting pihak keluarga yang merasa tidak mampu itu berterus terang kepada pihak keluarga yang mengundang. Kasus yang demikian ini akan dibuatkan solusinya dengan merekayasa resiprositas. Caranya, pihak keluarga yang mengundang memberikan hewan kepada yang diundang supaya bisa dibawakan pada hari penguburan yang disaksikan oleh semua undangan. Rekayasa yang demikian ini berada di belakang layar dan hanya diketahui oleh pihak keluarga yang mengundang dan yang diundang.

Terkait rekayasa ini orang bisa bertanya, khususnya orang yang dari luar budaya itu sendiri (outsider) yang tahu tentang rekayasa ini. Misalnya, mengapa harus ada rekayasa dalam

Page 53: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

252

resiprositas yang demikian ini? Tidakkah lebih baik bagi yang diundang untuk mengatakan bahwa dia tidak punya apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa, dan berbuat hal lain saja, dari pada harus membuat rekayasa situasi yang demikian itu? Bukankah ini adalah sebuah kepura-puraan dan manipulasi atau sebuah tipuan atau kebohongan terhadap para undangan? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana nanti membalasnya kalau pihak yang diundang mendapat giliran untuk mengundang pada saat ada kedukaan?

Pertanyaan yang demikian ini tidak begitu relevan untuk mereka karena ada hal lain yang menurut mereka lebih tinggi yang diperjuangkan, dari sekedar pemikiran seperti yang ada dalam pertanyaan-pertanyaan itu. Dan yang mau diperjuangkan di sini adalah “Harga diri, status sosial dan gengsi“ dalam masyarakat (Bdk. Weber 1947:409-411). Hal yang demikian ini bisa dimengerti karena bagi orang Wewewa, harga diri, status sosial dan gengsi itu ditentukan dari upacara adat. Artinya, kalau ada kesetiaan pada adat dengan segala tuntutannya, maka status sosial dan harga diri seseorang tetap ada, semakin tinggi dan dengan demikian dia semakin dihargai di dalam masyarakat.

Sebaliknya kalau tidak setia pada adat maka harga diri dan status sosial akan hilang dan dengan

demikian juga dengan sendirinya orang akan tidak lagi dihargai di dalam masyarakat bahkan dikucilkan. Dengan rekayasa yang demikian, pihak yang mengundang “menyelamatkan muka atau mengangkat nama“, pihak kerabatnya yang tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya hewan. Di lain pihak, pihak yang megundang, dengan rekayasa yang demikian ini, ia juga mendapat pujian karena masih dihargai oleh kerabatnya yang lain selain jumlah hewan yang terkumpul semakin banyak.

Kontestasi Resiprositas Antaretnis (Kabisu)

Kedde sebenarnya juga mempunyai unsur kontestasi. Ini menjadi mungkin karena kedde itu sendiri sebenarnya terjadi di antara mereka yang mempunyai keterikatan perkawinan. Maka kedde kematian merupakan saat di mana di antara mereka yang punya hubungan karena adanya keterikatan perkawinan itu saling mengunjungi dan membantu. Kalau memang demikian, kedde kematian juga bisa dikatakan sebagai sebuah kontestasi antar-kabisu. Ini adalah sebuah kearifan dari kedde yang sampai sekarang dipertahankan.

Ketika mengikuti sebuah kedde kematian, saya mencoba untuk mengikuti segala persiapan mereka, mulai dari awal, sebelum keberangkatan. Setelah semua persiapan dilihat beres dan yang ikut

Page 54: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

253

dalam rombongan kedde sudah lengkap, kini rombongan mulai beranjak menuju rumah duka pada pukul 9.30 wita. Jalannya lumayan jauh dan kondisi jalan yang tidak bagus membuat kami harus hati-hati untuk menghindari kecelakaan. Urutan prosesi kedde sebagai berikut; sepeda motor di depan, setelah itu mobil avansa dan pick up dan paling terakhir adalah truk yang membawa kedua kerbau. Sepanjang jalan, bunyi gong dan tambur terus berkumandang dan sorak-sorai terus terdengar memecah kesunyian dan mengundang perhatian. Bunyi klakson dan tarikan gas sepeda motor yang bervariasi pun terus memberi suasana tersendiri.

Sekitar jarak lima ratus meter dari halaman rumah duka, kami semua berhenti di sebuah lapangan bola kaki untuk menurunkan kerbau dari truk, dan semua anggota kelompok kedde berjalan kaki menuju rumah duka, kecuali yang bersepeda motor. Jumlah yang tergabung dalam rombongan kedde ini 38 orang. Bunyi raungan sepeda motor dan klakson terus saja mengiringi perjalanan yang lamban menuju rumah duka. Rombongan sepeda motor ini boleh dikatakan sebagai tanda pemberitahuan kepada yang berduka bahwa ada kelompok kedde yang sedang menuju ke tempat duka.

Beberapa kali mereka mondar-mandir di depan rumah duka dengan berbagai atraksi sampai-sampai ada yang terjatuh. Merupakan panorama

yang menarik perhatian tersendiri kalau dalam atraksi sepeda motor itu ada yang sampai terjatuh. Ngongo, salah satu keluarga dekat dari informan kunci yang mengatakan, kalau ada yang jatuh dan terluka dalam atraksi motor itu, maka dia harus menyerahkan (membuang) pedangnya ke rumah duka dan dari rumah duka harus memberinya sebuah kain untuk mengangkat jiwanya. Menurutnya pula, kalau sampai yang jatuh itu terluka dan tidak membuang (menyerahkan) parangnya kepada rumah duka dan dari rumah duka juga tidak memberinya selembar kain, maka yang bersangkutan harus pulang ke rumah dan membuat ritual (berdoa) memohon keselamatan. Jika hal yang demikian ini tidak dilakukan, kata bapak Ngongo, maka petaka akan terus mengikutinya dan ia akan mengalami banyak peristiwa tragis.

Fenomena ini membuat para ‘pelayat’ semakin menjadi-jadi untuk bersorak gembira, sementara ada yang tertawa lepas sambil memberi semangat untuk bangun lagi. Fenomena lain yang juga cukup menarik perhatian adalah bahwa anak-anak sekolah dasar yang kebetulan gedung sekolahnya di pinggir jalan yang akan dillewati rombongan kedde, bersama guru dan pegawainya ikut berhamburan keluar ruangan hanya untuk melihat prosesi kedde. Memang jarak antara rumah duka dengan sekolah hanya beberapa

Page 55: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

254

meter saja. Namun ada pertanyaan yang sempat muncul dalam benak; ada apa dengan kedde dan semenarik apa dia sehingga yang sedang belajar di kelas saja bisa berhenti sejenak supaya bisa melihatnya?

Kemeriahan kontestasi upacara kedde ini menjadi tontonan yang menarik. Semua yang ada di sekitar rumah duka, termasuk yang sedang menjaga jenasah pun dalam penglihatan berusaha untuk melihat siapa yang datang kedde, hewan apa dan sebesar apa yang dibawa. Tontonan yang demikian ini mempunyai arti tersendiri bagi yang membawa hewan (yang kedde) dan bagi keluarga duka.Terkait dengan soal ini, pada suatu kesempatan saya mengikuti sebuah upacara penguburan seorang ibu yang bernama Depa (bukan nama sebenarnya). Pada saat ibu Depa meninggal, ada orang yang terkemuka dalam masyarakat mengirim utusannya ke rumah dan mengatakan bahwa dia mau kedde dengan seekor kerbau dengan ukuran sekian pada hari penguburan nanti.

Ketika mereka mendengar lamaran orang yang dipandang sebagai punya kekuatan dalam masyarakat itu, pihak keluarganya segera membuat pertemuan kilat untuk memutuskan apakah diterima atau tidak, dan kalau diterima, mata api apa yang akan diberikan kepada orang itu serta bagaimana menerimanya. Singkatnya hasil dari

pertemuan itu memutuskan menerima lamaran kedde itu. Alasan penerimaan menurut Roman, tidak beda jauh dengan yang juga diberikan oleh Bapak Tanggu pada cerita sebelumnya. Menurut cerita Roman, keluarga duka itu mendapat banyak simpati dan banyak yang ingin kedde untuk ibu Depa tetapi pihak keluarganya berkeberatan karena tidak mau terlalu banyak beban utang di kemudian hari. Keluarganya lalu memutuskan untuk menerima beberapa kedde kerbau dan babi untuk menambah jumlah hewan.

Alasan penerimaan dan penolakan yang diungkapkan Roman ini memberikan pemahaman tersendiri. Terhadap elit lokal, mereka tidak bisa menolaknya. Walapun Roman tidak mengungkapkan bahwa penerimaan itu terkait dengan gengsi kedua belah pihak, namun sebagaimana juga yang dialami oleh Bapak Tanggu pada cerita sebelumnya, kita menangkap ada suatu motivasi yang lain bahwa, mereka ingin mendukung para elit lokal dalam usahanya untuk memperbesar diri yang tentunya juga keluarga duka akan mengalami yang sama bahwa mereka juga akan mendapat pujian karena ada elit lokal bisa hadir dalam upacara mereka. Antara elit lokal dan keluarga duka, kedua belah pihak sama-sama besar di depan penonton.

Strategi politik yang demikian inilah yang diciptakan supaya gengsi

Page 56: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

255

dan status sosial mereka tetap terjaga. Dari pihak para elit lokal, moment kedde kematian yang demikian ini sangat berarti, karena pada saat ini ada dua alasan bisa sekaligus diperlihatkan. Pertama, dengan hadirnya para elit lokal pada upacara penguburan ini, para undangan dan ‘penonton’ akan memberikan simpati kepadanya sebagai seorang ‘pemimpin’ yang merakyat, seorang pemimpin yang mempunyai empati besar terhadap kesusahan rakyatnya. Dengan demikian dia akan semakin dikagumi dan itu sebenarnya dia sedang menggalang massa. Kedua, dengan hadirnya elit lokal pada upacara penguburan ini, dia sebenarnya ingin menunjukkan diri sebagai seorang pemimpin, dia sedang mensosialisasi diri kepada rakyatnya. Politik sosialisasi diri ini sangat penting karena masyarakat hanya bisa memberikan simpati kepada pemimpin yang mereka kenal, apalagi pada upacara penguburan itu seorang pemimpin diberi kesempatan untuk berbicara.

Yang menarik adalah bahwa kedde para elit lokal itu biasanya menjadi kedde yang terakhir setelah semua yang lain. Alasan yang saya dapatkan dari Roman adalah, supaya mereka tidak terlalu menunggu lama. Namun alasan yang demikian ini sedikit berbeda dengan alasan yang diberikan ibu Tanti yang mengatakan; “biasanya begitu, kalau ‘orang besar’ kedde, dia biasanya diminta untuk

datang paling terakhir setelah semua undangan dan yang kedde hadir. Kehadiran ‘orang besar’ pada peristiwa yang seperti ini akan membuat orang sangat senang dan kagum”.

Menjadi orang yang paling terakhir masuk dalam sebuah arena seperti para elit lokal dalam cerita ini kiranya merupakan bagian dari sebuah strategi dan manipulasi kontestasi dari kedua belah pihak untuk menggalang simpati masa dan dukungan bagi ‘orang besar’ dan kebanggaan bagi kedua belah pihak. Dengan peristiwa ini, kedua belah pihak bisa menjadi besar dan nama mereka semakin nyaring. Arena resiprositas dan strategi yang diciptakan ini menjadi wadah yang sangat tepat bagi kedua belah pihak untuk membangun citra diri dan gengsi. Para elit lokal dengan rombongannya, dan keluarga duka adalah aktor-aktor yang tengah memerankan sebuah permainan. Arena resiprositas (halaman tengah yang dikelilingi oleh para undangan) adalah panggung pentas yang memungkinkan kedua belah pihak menunjukkan diri dan perannya masing-masing.

Ketika memasuki kintal keluarga yang sedang berduka, rombongan kedde akan dijemput dengan tarian. Tarian penjemputan itu sangat punya arti bagi mereka yang melakukan kedde. Orang akan sangat tersinggung kalau tidak disambut dengan tarian,

Page 57: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

256

karena menurut mereka tarian itu sendiri adalah lambang penghargaan terhadap rombongan yang melakukan kedde. Orang akan keluar dari halaman (arena) duka dan pulang atau setidak-tidaknya akan terjadi konflik kalau tidak ada tarian penjemputan. Ini adalah sebuah kontestasi yang di dalamnya terkandung penghargaan, solidaritas dan gengsi.

Kemeriahan atau kontestasi prosesi kedde itu sangat dibutuhkan, baik untuk pihak yang kedde maupun untuk keluarga duka itu sendiri. Ini semua dalam rangka pamer diri dan menunjukkan siapa dia dan seberapa kuat dia, apalagi dengan lero (kain yang dipakai sebagai semacam spanduk untuk menunjukkan kekuatan seseorang). Kemeriahan kontestasi ini sangat penting dalam rangka mendapatkan pengakuan. Kemeriahan kontestasi itu juga akan dibalas oleh keluarga duka di kemudian hari. Artinya, kalau dulu saya kedde kamu dengan membawa motor, bedil dan sensor, maka kamu juga harus kedde saya dengan kemeriahan yang semacam itu. Inilah yang disebut sebagai balanced reciprocity (Sahlins, 1974: 194). Ini dalam rangka kita saling menghargai dan saling ‘angkat nama’.

Kemeriahan prosesi (kontestasi) ini juga masuk dalam sebuah strategi dan manipulasi yang harus dirancang sebaik mungkin untuk menunjukkan diri. Hal ini sangat penting karena kemeriahan prosesi itu mempunyai

daya tarik yang luar biasa untuk masyarakat Sumba, teristimewa di daerah Wewewa. Orang-orang yang mendengar bunyi dan teriakan kemeriahan akan berusaha untuk melihat siapa yang lewat dan apa yang dibawa dalam kedde itu. Dengan kerumunan massa di sepanjang jalan yang menyaksikan prosesi kedde yang adalah sebuah kontestasi sesungguhnya itu dalam rangka pengagungan diri (prestise). Dalam konteks ini maka benarlah kata Weber (dalam Fried, 1967:32), bahwa prestise adalah suatu faktor yang real dan penting yang dikenal dalam kehidupan masyarakat dan yang sangat terkait dengan status.

Kearifan Resiprositas dan Usaha Mempertahankannya

Pertanyaan awal untuk menemukan kearifan yang terkandung dalam resiprositas pada upacara kematian adalah; mengapa dalam jaman yang begitu modern, dunia yang sangat mengagungkan nilai materi sehingga perhitungan untung rugi selalu menjadi ukuran untuk berbuat sesuatu, tetapi orang Wewewa tidak menghiraukan nilai materi tersebut ketika tengah mengadakan upacara penguburan dengan mengorbankan banyak hewan? Apa yang hendak mereka perjuangkan atau tunjukkan dengan upacara semacam itu?.

Page 58: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

257

Resiprositas pada upacara pemakaman di Etnik Wewewa mempunyai kedalaman arti yang tidak selalu dipahami oleh orang yang berada di luar komunitas mereka. Ada tiga hal yang dalam temuan saya menjadi alasan mengapa mereka begitu bersikukuh untuk mempertahankan upacara resiprositas yang terwaris di tengah gempuran budaya modern yang menawarkan berbagai kemungkinan dan kemudahan tidak terkecuali bagaimana supaya hidup lebih realistis dan hemat.

Pertama, resiprositas pada upacara kematian menjadi sarana untuk penegasan diri bagi yang mengundang dan yang diundang. Artinya dengan adanya resiprositas itu, seseorang bisa menunjukkan kehadirannya di tengah masyarakatnya. Dengan demikian seseorang akan diterima, dihargai dan menjadi bagian dari masyarakatnya. Kalau ia tidak mengadakan atau terlibat dalam resiprositas pada upacara pemakaman atau berusaha sedapat mungkin untuk menghindarinya, ia akan dianggap sebagai yang tidak tahu adat bersama dan karena itu dia pun tidak punya hak untuk dihormati atau dihargai dalam kehidupan bersama, bahkan dia akan dikucilkan.

Kedua, resiprositas pada upacara kematian mempunyai fungsi untuk merekatkan relasi kekerabatan dan sosial. Bagi orang Sumba dan

Etnik Wewewa pada khususnya, upacara-upacara adat termasuk pemakaman menjadi saat yang tepat untuk saling mengunjungi, saling membantu dan mempererat hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Bagi orang Wewewa, tidak ada peristiwa lain yang bisa dijadikan alasan untuk membangun dan mempererat hubungan kekerabatan selain dalam dan melalui upacara-upacara adat. Peristiwa resiprositas pada upacara pemakaman menjadi saat di mana di antara kaum kerabat yang satu dengan yang lain bisa saling membagi, membantu dan balas jasa.

Ketiga, resiprositas pada upacara pemakaman juga mempunyai arti eskatologis. Artinya resiprositas itu dalam rangka kebahagiaan orang yang meninggal di dunianya yang lain. Banyaknya hewan yang dikorbankan pada waktu upacara penguburan sesungguhnya tidak sekedar untuk dibagikan kepada para undangan atau hanya sekedar untuk menaikkan gengsi, tetapi juga untuk melapangkan jalan orang yang meninggal ke peristirahatan yang terakhir (wanno kalada). Hewan yang dipotong pada waktu upacara pemakaman diyakini sebagai bekal bagi orang yang meninggal. Dia akan hidup sengsara kalau pada waktu upacara penguburan tidak ada hewan yang dikorbankan. Atau dia akan menduduki tempat yang sangat rendah di kehidupan yang lain kalau tidak ada bekal yang dibawa, dalam

Page 59: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

258

hal ini tidak ada hewan yang dipotong.

Terhadap ketiga kesimpulan ini, pendapat Mauss (1992) bisa mendapatkan relevansi dan pijaknya bahwa tukar-menukar dipahami sebagai sebuah transaksi moral yang menghidupkan dan mempertahankan hubungan-hubungan manusiawi. Tukar-menukar adalah sebuah ungkapan rasa saling tergantung dan saling membutuhkan satu sama lain. Inilah sebuah kearifan yang tetap terpelihara yang mendorong mereka untuk terus mempertahankan tradisi itu selain adanya usaha-usaha pencarian status dan gengsi

Penutup

Tradisi resiprositas pada upacara pemakaman yang dilakukan di Sumba Barat Daya merupakan media untuk mempertahankan status sosial ataupun untuk menaikkan status sosial dan gengsi dalam masyarakat. Hal yang demikian ini menjadi mungkin karena, untuk orang Sumba Barat Daya, ukuran untuk menentukan harga diri, gengsi dan status sosial itu ada pada upacara dan pesta adat. Maka sangat tepat apa yang dikatakan oleh Bapak Johan: Orang Cina itu mati karena uang, tetapi kami orang Sumba mati karena nama. Demikian juga dengan apa yang dikatakan Bapak Lende: Kami orang Sumba ini besar di mata adat.

Resiprositas pada upacara pemakaman menjadi satu sarana untuk mendongkrak dan mempertahankan harga diri, gengsi dan status sosial. Kalau memang demikian, kita bisa mengatakan bahwa makna dan tujuan yang terkandung dalam resiprositas itu adalah untuk membangun rasa solidaritas antar kabisu atau kerabat dan juga untuk mencari sebuah ukuran diri dalam masyarakat yakni gengsi dan status sosial.

Hewan yang dibawa pada waktu kedde dan mata api yang diterima, hewan balasan, tarian dan kemeriahan kedde, mendapat kesempatan untuk membantai hewan, menerima daging hewan bantaian adalah bentuk dan simbol yang di dalamnya terkandung banyak pesan dan yang terutama adalah harga diri antara yang melakukan kedde dan keluarga duka yang mengundang orang untuk kedde. Berbagai kepentingan yang ada di balik upacara kematian menjadi mesin penggerak yang terus menggelinding dan menghidupkan anima masyarakat untuk terus mengadakan upacara tradisi resiprositas pada upacara kematian.

Dalam hal undangan pun, khususnya untuk mereka yang dimintakan membawa hewan kedde, pihak keluarga harus berunding baik-baik, tentang siapa yang diundang dan mengapa orang itu harus diundang. Dalam berunding untuk menentukan siapa-siapa yang harus diundang dan

Page 60: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

259

siapa yang harus membawa hewan apa, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh motivasi-motivasi atau kepentingan. Dengan kata lain, harus dipastikan bahwa orang yang diundang itu benar-benar bisa memberikan sesuatu, bahwa dengan kehadirannya, dia bisa memberikan nilai plus yang bisa mengangkat harga diri dan status sosial mereka.

Proses komprominya pun harus dilalui dan harus dipastikan dengan jelas antara yang mengundang dan yang diundang. Komprominya itu seperti; hewan apa yang akan dibawa dan besarnya seperti apa? Mata api apa yang bisa menjadi balasannya?. Seberapa besar rombongan dan kemeriahan kontestasinya, bagaimana cara penerimaan dan kapan rombongan kedde itu bisa datang?. Kompromi-kompromi semacam ini sangat penting sehingga apa yang diperjuangkan di balik semuanya ini bisa tercapai dan tidak ada konflik pada hari yang ditentukan itu.

Dalam arti ini, yang jelas bahwa masing-masing orang yang terlibat di dalamnya bisa mempunyai kepentingan dan motivasi yang berbeda. Pihak om, kemanakan, anak mantu, kenalan, undangan biasa, ipar, orang yang punya status sosial tinggi dalam masyarakat, bisa mempunyai kepentingan yang berbeda pada peristiwa yang sama. Mereka-mereka yang terlibat dalam resiprositas ini diundang atau melamar diri untuk melakukan kedde

mempunyai motivasi yang bisa beragam. Dengan kata lain resiprositas pada kedde kematian tidak mempunyai tujuan tunggal. Kalau memang demikian, maka bisa dikatakan pula bahwa resiprositas pada upacara pemakaman adalah sebuah arena ‘kompetisi’.

Persoalan yang juga harus dimunculkan dalam konteks ini adalah mungkinkah ada kearifan yang terdapat pada tradisi resiprositas pada upacara pemakaman itu? Pertanyaan ini sebenarnya mau menggali apa kandungan terdalam lain dari tradisi resiprositas itu sendiri, yang sebenarnya juga menjadi salah satu tujuan dari tradisi resiprositas. Kandungan lain dari tradisi resiprositas itu adalah rasa solidaritas, empati, merekatkan hubungan kekerabatan dan ingin sama-sama saling menjaga nama baik. Ini adalah salah satu tujuan luhur dari tradisi resiprositas pada upacara pemakaman Etnik Wewewa. Ini adalah satu kearifan dari tradisi resiprositas yang terjadi di Etnik Wewewa.

Di tengah kehidupan dunia modern yang begitu terbuka dengan semangat ingin lepas bebas dari berbagai keterikatan budaya dan juga penuh dengan perhitungan untung rugi dalam bertindak, tradisi resiprositas pada upacara pemakaman di Etnik Wewewa masih tetap bertahan dan dilestarikan. Tradisi resiprositas pada kedde itu bisa

Page 61: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

260

bertahan disebabkan oleh beberapa alasan sebagai berikut; Pertama, tradisi resiprositas pada upacara kematian menjadi sarana untuk penegasan diri bagi yang mengundang dan yang diundang. Artinya dengan adanya resiprositas itu, seseorang bisa menunjukkan kehadirannya di tengah masyarakat. Dengan demikian seseorang akan diterima, dihargai dan tetap menjadi bagian dari masyarakatnya.

Kedua, tradisi resiprositas pada upacara pemakaman mempunyai fungsi untuk merekatkan relasi kekerabatan dan sosial. Dan yang ketiga adalah, Resiprositas pada upacara pemakaman juga mempunyai arti eskatologis. Artinya resiprositas itu dalam rangka kebahagiaan orang yang meninggal di dunianya yang lain. Banyaknya hewan yang dikorbankan pada waktu upacara penguburan sesungguhnya tidak sekedar untuk dibagikan kepada para undangan atau hanya sekedar untuk menaikkan gengsi, tetapi juga untuk melapangkan jalan orang yang meninggal ke peristirahatan yang terakhir (wanno kalada).

Perlu ditegaskan lagi bahwa, semua simbol yang ada selama terjadinya resiprositas dengan segala kontestasinya pada upacara pemakaman, sebenarnya ada dan muncul dari sebuah kompromi. Kompromi ini sangat penting untuk memastikan, sejauh mana antara pihak yang mengundang dan

diundang itu saling menghargai satu sama lain, saling ‘angkat nama’ dan status sehingga kehidupan sosialnya bisa aman dan diterima. Segala rekayasa teristimewa ketika salah satu kerabat yang seharusnya membawa hewan dalam kedde tetapi tidak bisa karena persoalan ekonomi, semuanya itu dalam rangka membuat diri aman di mata masyarakat. Harga diri, status sosial, gengsi, semunya itu hanya bisa ada dan aman kalau, seseorang mampu menjalani kewajiban-kewajiban adatnya. Ungkapan Bapak Lende bahwa; Orang Sumba besar di mata adat, kiranya menjadi salah satu simpul dari berbagai usaha untuk memenuhi segala tuntutan adat.

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini yang merupakan hasil penelitian; saya pun pada akhirnya mengatakan bahwa; Resiprositas pada upacara kematian Etnik Wewewa, Sumba Barat Daya, adalah sebuah kompetisi dan pertarungan gengsi. Kalau memang demikian dapat dikatakan pula bahwa prosesi dan kontestasi kedde pada upacara pemakaman adalah sebuah prosesi dan kontestasi gengsi. Penulis mengatakan itu sebagai sebuah prosesi atau kontestasi gengsi karena kontestasi dengan segala kemeriahan itu sesungguhnya dengan maksud untuk menarik perhatian massa atau khalayak supaya massa atau khalayak itu bisa melihat siapa yang sedang lewat dan apa yang dibawa. Pengakuan massa dengan segala puja-pujinya adalah sasaran

Page 62: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

261

yang dibidik dari kemeriahan kontestasi kedde yang semuanya itu bermuara pada harga diri dan status sosial. Tentu di sana juga ada unsur kontestasi antar kabisu (etnik) dalam rangka mempertahankan hubungan-hubungan sosial, di mana di dalam kontestasi itu ada ungkapan solidaritas yang mau ditunjukkan. Tetapi yang sangat menyolok dari kontestasi ini adalah gengsi dan status sosial.

Dan yang dipertukarkan dalam upacara pemakaman ini adalah gengsi. Dengan mengatakan demikian penulis tidak bermaksud untuk menghilangkan rasa empati dan simpati atau pun solidaritas yang merupakan sebuah kearifan, tetapi yang sangat menonjol adalah gengsi, cari nama dan status sosial.

Refleksi

Budaya selalu dalam proses perubahan. Dalam arti ini dapat dikatakan pula bahwa budaya adalah sesuatu yang dikonstruksi. Dan karena budaya adalah sesuatu yang dikonstruksi, maka ia selalu memetamorfosis dalam cara dan bentuk baru sebagai sebuah adaptasi. Terus berubah dan beradaptasi adalah unsur yang sangat substantif dari budaya itu sendiri.

Di lain pihak, budaya juga tidak bisa dinilai dalam kualifikasi baik dan buruk, karena baik buruk itu pun sangat relatif. Mengatakan budaya itu baik dan yang ini buruk atau kurang

baik sama artinya dengan merendahkan kehidupan sekelompok orang yang hidup dalam budaya tersebut. Budaya apa pun dan di mana pun, di sana selalu ada dalam dirinya terkandung nilai-nilai keluhuran yang diperjuangkan dan dipertahankan.

Tradisi resiprositas pada kedde kematian adalah sebuah budaya Etnik Wewewa yang juga punya nilai-nilai luhur dan kearifan yang diperjuangkan dan dipertahankan. Di balik segala kemeriahan upacara kedde yang menimbulkan kesan pemborosan, sesungguhnya di sana ada nilai-nilai unggul yang mau diperjuangkan atau dipertahankan. Maka untuk membaca dan memahami arti dan pentingnya sebuah budaya dengan segala ritualnya, dalam diri seseorang dituntut untuk mempunyai sikap menghargai sebelum memberi penilaian. Dengan mempunyai sikap yang menghargai, seseorang dapat lebih terbuka untuk masuk ke kedalaman diri para pelaku budaya dan bisa menangkap arti di balik semua itu.

Tradisi resiprositas pada kedde kematian di Etnik Wewewa Sumba Barat Daya yang seringkali menjadi area konflik, misalnya antara pemerintah dan masyarakat atau juga antara gereja dan masyarakat dengan alasan pemborosan dan penghamburan kekayaan yang memiskinkan, hendakanya ditanggapi secara bijak. Dan sebuah sikap yang

Page 63: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

262

bijaksana hanya bisa diambil kalau pihak yang kontra dengan budaya itu sudah memahami dengan sungguh arti dan pentingnya kedde kematian itu. Tanpa memahami dan mengerti tradisi ini, segala kebijakan yang diambil termasuk membatasi segala kemeriahan hanya akan menimbulkan konflik dan ketidakadilan, selain pelecehan.

Daftar Pustaka

Bailey, F.G. 1970. Stratagems and Spoils: A Social Anthropology of Politics. Oxford: Basil Blacwell

Bendix, Reinhard.1960. Max Weber: An Intelectual Portrait. Doubleday & company, New York

Ekeh, Peter P. 1974. Social Exchange Theory. Heinemann, London

Fried, Merton H. 1967. The Evolution of Political Society. Random House, New York

Haryatmoko. 2003.Etika Politik dan Kekuasaan. Kompas, Jakarta

Mauss, Marcel. 1992. Pemberian (terjemahan). Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Sahlins, Marshall. 1974. Stone Age Economics. Tavistock Publication, London

Sairin, Sjafri, Sumedi, Bambang Hudayana. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Weber, Max. 1947. The Theory of Social and Economic Organization. New York: Free Press.

Page 64: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

263

Nuansa Islami Pendirian Rumah Adat Bugis Makassar menurut Lontaraq

Irwan Abbas

(Program Studi Ilmu Sejarah, Universitas Khairun)

Abstract

These studies describe the tradition of building a custom home in Bugis Makassar society. In Makassar Bugis society as in other indigenous peoples, building a home is not just to protect yourself from getting wet due to rain in the rainy season, as well as shelter from the scorching heat of the sun in the daytime and protect inhabitants from the cold night when darkness was eerie, but more of these functions are loaded with the content of philosophical values. The process of establishment of indigenous peoples Bugis Makassar starting from the selection of an appropriate place, the determination of the exact time and day, the joint establishment of mutual cooperation, to the placement of any architectural form, and the room has its own meaning and nuance. This study proves humans since ancient local genius Bugis Makassar has an advantage in doing a job, including the establishment of a customs house through lengthy consideration and accurate calculations. Thus the resulting work really satisfy workers and residents who occupy it.

Key Words: Bugis Makassar Society, Custom Home, Indigenous Peoples, Philosophical Values, Local Genius.

Pendahuluan

Penggunaan rumah panggung kayu mewakili sebuah tradisi yang bertahan lama bagi masyarakat di Sulawesi Selatan, tradisi yang juga tersebar luas di dunia Melayu. Rumah kayu (bold), sejak muncul dalam catatan di abad ke-17 hingga kini, dapat dikategorikan sebagai rumah model Asia Tenggara jenis Melayu, yang juga dapat ditemukan di Aceh, Sumatera Selatan, dan

Kalimantan. Bentuk dasar rumah adalah adalah sebuah kerangka kayu dengan tiang yang menahan lantai dan atap, terdiri dari berbagai bahan yang sampai saat ini masih ditemukan pada beberapa daerah di Sulawesi Selatan.

Mattulada (1990: 271) menyebutkan bahwa secara umum, rumah di dalam kebudayaan Bugis-Makassar, dibangun di atas tiang dan

Page 65: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

264

terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus, yakni: (a) rakkeang dalam bahasa Bugis, atau pammakkang dalam bahasa Makassar, adalah bagian atas rumah di bawah atap, yang dipakai untuk menyimpan padi dan persediaan pangan lainnya, serta untuk menyimpan benda-benda pusaka; (b) ale-bola dalam bahasa Bugis, atau kalle-ballaq dalam bahasa Makassar, adalah ruang-ruang tempat orang tinggal, yang terbagi-bagi ke dalam ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, untuk tidur, untuk makan, dan untuk dapur; (c) awasao dalam bahasa Bugis, atau passiringang dalam bahasa Makassar, adalah bagian di bawah lantai panggung, yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan untuk kandang ayam, kambing dan sebagainya. Pada zaman sekarang, bagian di bawah rumah ini sering ditutup dengan dinding, dan sering pula dipakai untuk tempat tinggal manusia.

Rumah orang Bugis-Makassar juga digolong-golongkan menurut lapisan sosial dari penghuninya. Berdasarkan hal ini, ada tiga macam rumah, yakni: (a) sao-raja dalam bahasa Bugis, atau ballaq lompo dalam bahasa Makassar, adalah rumah besar yang didiami oleh keluarga kaum bangsawan. Rumah-rumah ini biasanya mempunyai tangga dengan alas bertingkat di bagian bawah dan dengan atap di

atasnya (sapana), dan mempunyai bubungan yang bersusun tiga atau lebih; (b) sao-pitiq dalam bahasa Bugis, atau tarataq dalam bahasa Makassar. Bentuknya lebih kecil, tanpa sapana, dan mempunyai bubungan yang bersusun dua; (c) bola dalam bahasa Bugis, atau ballaq dalam bahasa Makassar, merupakan rumah untuk rakyat pada umumnya (Mattulada, 1990: 272).

Semua rumah pada orang Bugis-Makassar yang berbentuk adat, mempunyai suatu panggung di depan pintu, masih di bagian atas dari tangga. Panggung itu yang disebut tamping, adalah tempat bagi para tamu untuk menunggu sebelum dipersilakan oleh tuan rumah untuk masuk ke dalam ruang tamu.

Proses dan Upacara Ritual dalam Pendirian Rumah

Dalam budaya Bugis Makassar terdapat beberapa kearifan yang berupa ungkapan dan pesan-pesan atau nasihat-nasihat dalam bentuk pappaseng/pappasang yang menggambarkan nilai gotong-royong dan solidaritas kebersamaan, seperti dalam ungkapan-ungkapan aqbulo sibatang, aqbayo sibatu, kana/gauq seqre, assamaturuq, dan sebagainya. Ungkapan kearifan lainnya adalah:

Rebba sipatokkong, maliq siparappe, Sirui menreq tesiruino, malilu

Page 66: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

265

sipakaingeq, maingeqpi napaja. Ungkapan di atas bermakna: “Rebah saling menegakkan, hanyut saling menghamparkan, tarik menarik ke atas bukan saling menarik ke bawah, khilaf, ingat-mengingatkan.” Ungkapan kearifan di atas

mengandung pesan yang menjelaskan adanya nilai gotong-royong dan solidaritas atau kebersamaan yang terdapat dalam masyarakat dan menjiwai manusia Bugis Makassar. Pesan ini memberikan isyarat bahwa suatu pekerjaan yang berat akan terasa ringan kalau dikerjakan secara bersama-sama dengan semangat gotong royong. Kearifan tersebut menunjukkan bahwa sikap gotong-royong sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar. Sikap gotong-royong dan solidaritas dalam melakukan beberapa aktivitas di masyarakat tampak dalam kehidupan sehari-hari diantaranya dalam membangun sebuah rumah pada komunitas Bugis Makassar.

Pada masyarakat Bugis Makassar yang masih berpegang teguh pada adat leluhurnya, dalam mendirikan sebuah rumah baru atau pindah rumah biasanya melakukan

suatu acara ritual tertentu yang dikategorikan ke dalam jenis rites de passage, yaitu peralihan seseorang atau satu keluarga dari satu situasi kepada situasi lain. Peralihan situasi seperti itu dapat menimbulkan krisis dan ketegangan karena adanya gangguan. Sebab, mungkin di tempat baru itu sebelumnya didiami oleh makhluk-makhluk halus. Karena tempatnya diambil alih, maka makhluk halus tersebut akan marah. Olehnya itu, ritus untuk rumah baru bertujuan untuk "mohon pamit" menempati rumah itu atau mengusir roh-roh dan mahkluk halus yang selama ini mendiami tempat itu. Tokoh yang berperan dalam memberikan petunjuk dan memimpin ritus rumah dikenal dengan nama panrita balla (Djamas, 1998: 74-77).

Seorang panrita balla biasanya mengetahui tentang lokasi yang cocok untuk perumahan, kayu-kayu yang tepat untuk dijadikan tiang, serta do’a dan jampi-jampi yang harus dibaca dalam ritus rumah. Jika seseorang mendirikan rumah tanpa melalui bimbingan seorang panrita balla, dikhawatirkan (orang beranggapan) bahwa kelak si penghuni rumah itu akan mendapat penyakit, meninggal dunia, atau mendapat malapetaka. Gangguan tidak hanya disebabkan oleh roh-roh atau jin jahat yang selama ini menghuni tempat itu, akan tetapi bisa pula bersumber dari pemasangan tiang atau kayu-kayu secara tidak tepat.

Page 67: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

266

Sebuah kampung atau desa biasanya terdiri atas sejumah keluarga yang mendiami sepuluh sampai dua ratus rumah tangga. Rumah-rumah itu biasanya terletak berderet, menghadap ke selatan atau ke barat. Kalau ada sungai di desa, penduduk berusaha agar rumah-rumah mereka dibangun dengan membelakangi sungai.

Pusat kampung orang Bugis merupakan suatu tempat keramat (pocciq tana), yang ditanami sebatang pohon beringin yang besar dan rindang. Kadang-kadang jug aterdapat sebuah rumah pemujaan yang disebut saukang, tempat tinggal punnana tana (roh yang empunya negeri). Setelah Islam menjadi agama umum di kalangan orang Bugis, pada tiap kampung di samping adanya saukang, berdirilah langgar, musholla atau mesjid tempat orang Islam melakukan shalat (Mattulada, 1990: 271).

Waktu Baik untuk Mendirikan Rumah menurut Lontaraq

Pengetahuan tentang waktu-waktu baik dan buruk bagi masyarakat lama (lampau) sangat berperanan dalam kegiatan mereka sehari-hari, karena secara psikologis, mental, dan pikirannya sudah “ditentukan dan diarahkan” oleh keadaan yang akan terjadi. Pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun, sehingga menjadi suatu sistem nilai budaya bagi masyarakat (Maknun, 2012: 43).

Pada masa kini, sisa-sisa kepercayaan tentang waktu-waktu baik dan buruk masih dipegang oleh sebagian anggota masyarakat yang masih berpengaruh pada kegiatan mereka, terutama yang berhubungan dengan pesta pernikahan, mendirikan atau memasuki rumah baru, memulai menanam tanaman, dan sebagainya (Maknun, 2012: 43).

Menurut lontaraq Kutika/Pitika, beberapa hal yang berkaitan dengan waktu dalam mendirikan sebuah rumah pada orang Bugis adalah sebagai berikut.

1) Bulan Muharram bukan waktu baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu menderita.

2) Safar adalah bulan bagus untuk mendirikan rumah dan menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu memperoleh keberuntungan.

3) Rabiul-awwal tidak baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan perkawinan; sang empunya rumah akan selalu tertimpa musibah kematian.

4) Rabiul-akhir baik untuk mendirikan rumah dan menye-lenggarakan perkawinan; sang empunya rumah akan selalu memperoleh kebahagiaan.

5) ]umadil-awwal baik untuk mendirikan rumah; sang

Page 68: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

267

empunya rumah akan selalu memperoleh keberuntungan.

6) Jumadil-akhir tidak baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan pernikahan. Sang empunya rumah akan sakit-sakitan dan dilanda kesulitan-kesulitan lainnya.

7) Rajab bukan bulan yang baik untuk mendirikan rumah. Sang empunya rumah akan mati tertikam dan rumahnya akan terbakar.

8) Sya'ban baik untuk mendirikan rumah dan menikah; sang empunya rumah akan memiliki kekayaan.

9) Ramadhan baik untuk mendirikan rumah, juga menyelenggarakan pernikahan. Penghuni rumah akan selalu akrab dengan tetangganya dan akan memperoleh kebahagiaan.

10) Syawwal tidak baik untuk mendirikan rumah, dan menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan tertikam dan rumahnya tidak akan pernah sempurna.

11) Zulqaedah baik untuk mendirikan rumah dan menye-lenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu memiliki hubungan yang baik dengan tetangga-tetangganya.

12) Zulhijjah baik untuk mendirikan rumah dan menye-lenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan memperoleh ketenteraman. Mereka akan memperoleh banyak emas (Sumber: ANRI Rol 15 no. 14 dalam Robinson, 2005).

Kepercayaan mengenai hari baik dan buruk, seperti seperti yang digambarkan dalam manuskrip lontaraq di atas dapat dihindari dengan melakukan acara ritual. Sekalipun manusia memiliki kemampuan untuk meramalkan sifat dasar dari kekuatan yang terpantul dari alam semesta dan dapat melakukan intervensi dalam proses itu, namun pada asumsi epistimologis bertentangan dengan ajaran Islam.

Sebagian anggota masyarakat sudah memiliki pandangan yang berbeda, atau dengan kata lain telah mengalami pergeseran persepsi terhadap hari-hari baik dan hari-hari buruk, begitu juga bulan baik dan bulan buruk. Terjadinya perbedaan persepsi atau pandangan di kalangan anggota masyarakat terhadap waktu baik dan waktu buruk menurut Maknun (2012: 43-45) disebabkan oleh sekurang-kurangnya tiga faktor, yaitu: (1) faktor pendidikan; (2) faktor kemajuan teknologi; dan (3) faktor tuna aksara lontaraq.

Page 69: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

268

Pendirian Rumah Adat Bugis

Rumah tradisionil orang Bugis tersusun dari tiga tingkatan yang berbentuk segi empat, dibentuk dan dibangun mengikuti model kosmos, menurut pandangan hidup para leluhur. Anggapan mereka bahwa alam raya (makrokosmos) ini tersusun dari tiga tingkatan, yaitu alam atas atau benua atas, benua tengah, dan benua bawah. Benua atas adalah tempat dewa-dewa yang dipimpin oleh dewa tertinggi yang disebut Dewata SeuwaE (Dewa Tunggal), bersemayam di boting langiq. Benua tengah adalah bumi ini yang dihuni pula oleh wakil-wakil dewa tertinggi yang mengatur hubungan manusia dengan dewa tertinggi, serta mengawasi tata tertib jalannya kosmos. Benua bawah disebut uriliyu dianggap berada di bawah air. Dengan demikian rumah merupakan juga kosmos, yaitu mikrokosmos sama dengan desa. Seperti desa mempunyai tata tertib yang harus secara harmonis sama dengan tata tertib makrokosmos, maka rumah harus pula mempunyai tata tertib mengikuti tata tertib desa (Rasuly, 1984: 60).

Dalam pembuatan rumah Bugis, dipilih sebuah tiang sebagai pusat dan dianggap sokoguru oleh pemiliknya. Semua tingkah laku dan teknik pembuatan rumah, tunduk pada alam pikiran ini yang biasanya berada dalam masyarakat melalui pesan-

pesan, wasiat-wasiat yang dianggap bersumber dari mitos-mitos mereka berkesinambungan dari generasi ke generasi.

Perubahan bentuk rumah pada orang Bugis berarti perubahan tata tertib yang telah digariskan sehingga hal ini pantang dilakukan. Berbagai anjuran dan pantangan harus dilakukan dalam pembangunan rumah besar, mulai dari pemilihan jenis dan kualitas kayu, hari-hari yang baik untuk membangun rumah, hingga pemilihan arah dan letak rumah menurut komposisi serta kualitas tanah. Baik makrokosmos maupun mikrokosmos desa dan rumah, keduanya mempunyai orde yang harus harmonis di dalam jalinan tiga dimensi kosmos. Orde adalah adat istiadat yang harus ditaati oleh manusia dalam pergaulan kemasyarakatan saat di rumah atau di desa secara penuh. Hal ini dianggap telah ditetapkan oleh Dewata SeuwaE (Rasuly, 1984: 6).

Page 70: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

269

Gambar. Kerangka Rumah Panggung yang Umum di Tanah Bugis (Tampak Depan) (Sumber: Pelras, The Bugis, 2006: 265)

Pendirian rumah dan kegiatan-

kegiatan yang berhubungan dengannya mendapat perhatian khusus dalam lontaraq kutika. Bentuk pengetahuan paling umum yang terkandung dalam lontaraq khususnya dalam lontaraq kutika/pitika adalah metode-

metode penentuan hari-hari baik untuk melakukan suatu kegiatan, termasuk mendirikan rumah (Robinson & Paeni, 2005: 281). Dalam lontaraq disebutkan bahwa mengenai posisi rumah dalam hubungannya dengan tanah petunjuknya adalah rumah dibangun mengarah ke timur.

Page 71: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

270

Gambar. Tata Letak Rumah Bugis (Sumber: Pelras, The Bugis, 2006: 265)

Beberapa manuskrip lontaraq juga

membicarakan tentang ketinggian tanah dihubungkan dengan rumah. Misalnya, apabila kondisi lahannya miring sebaiknya kemiringannya menjauhi bagian depan rumah. Matahari terbit sebaiknya tidak terhalang, khususnya rumah sebaiknya tidak dikelilingi oleh tanah tinggi (karena orang akan datang ke situ untuk bersembunyi). Juga dibicarakan tentang kualitas ideal dari tanah untuk lahan rumah, dilihat dari warna, bau dan rasa. Misalnya, sebuah manuskrip lontaraq dari Rappang menganjurkan bahwa bentuk ideal tanah adalah persegi-empat dengan lebar lebih pendek dari panjangnya. Jika lebarnya lebih besar ketimbang panjangnya dinilai tidak baik (Robinson & PaEni, 2005: 290). Dalam lontaraq Kutika/Pitika disebutkan:

“Tanah yang baik untuk dijadikan perumahan: pertama, kalau tanah itu tinggi pada bahagian Barat dan rendah pada bahagian Timur, menandakan tanah itu baik; kedua,

atau tanah itu tinggi pada bahagian Selatan dan rendah pada bahagian Utara menandakan tanah itu baik; ketiga, lihatlah warna tanah. Kalau kekuning-kuningan atau agak biru tandanya baik; keempat, ciumlah tanah itu. Kalau agak wangi baunya, atau agak manis rasanya tandanya tanah itu baik.” (Yasil, dkk, 1988: 48).

Arah rumah dan bagian-bagiannya

dalam dunia alami sama dengan tradisi pembangunan rumah di daerah-daerah Austronesia lainnya. Aturan menggali lubang untuk tiang dan mendirikan tiang juga dibicarakan, dalam beberapa manuskrip, untuk mendapat hasil baik dan buruk. Ujung tiang bagian atas sebaiknya selalu merupakan bagian atas dari pohon yang ditebang (tiang-tiang tersebut sebaiknya ditempatkan sesuai dengan arah tumbuhnya), dan sebaiknya didirikan dari arah berlawanan dengan arah tumbangnya, yaitu jika pohonnya tumbang ke arah barat,

Page 72: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

271

sebaiknya didirikan dari arah timur. Perhatian terhadap keserasian dengan pertumbuhan alami kayu yang digunakan untuk tiang-tiang ini umumnya senada dengan referensi masyarakat Austronesia tentang 'mananam' rumah (Robinson & PaEni, 2005: 291).

Bentuk Rumah Adat Bugis

Rumah Bugis memiliki struktur dasar yang terdiri atas tiga kali tiga tiang (tiga barisan tiang memanjang dan tiga baris melebar) berbentuk persegi empat dengan satu tiang di tiap sudutnya, dan pada setiap sisi terdapat satu tiang tengah, serta tepat di tengah persilangan panjang dan lebar terdapat tiang yang disebut "pusar rumah" (possiq bola). Umumnya, rumah orang biasa terdiri atas empat tiang untuk panjang dan empat tiang untuk lebar rumah. Pada sisi panjang (bagian samping badan rumah) biasanya ditambahkan tamping, yakni semacam serambi memanjang yang lantainya sedikit lebih rendah, dengan atap tersendiri; pintu masuk bagian depan berada di ujung depan tamping dan jika ruang dapur tidak terpisah — dapurnya berada di ujung belakang tamping. Kalau pun ada tambahan lain, dengan rancangan lebih kompleks, bentuk segi empat tetap jadi pola dasar. Pada zaman dahulu, tidak ada dinding pemisah di dalam rumah, atau kadang-kadang hanya ada satu sekat melintang di tengah (pallawa tengnga) yang memisahkan bagian depan, tempat menerima tamu laki-laki yang bukan kerabat, dengan bagian belakang untuk ruang keluarga (Pelras, 2006: 268).

Pallawa tengnga secara filosofis menurut keterangan tokoh masyarakat Bugis setempat (Gaffar, 2013) bermakna sebagai batas tempat tamu dan pemilik rumah. Seorang yang datang bertamu pada keluarga Bugis tidak diperbolehkan melewati batas atau pallawa tengnga tersebut tanpa seizin tuan rumah. Pallawa tengnga juga dapat bermakna pallawa teng anaq artinya “pembatas dengan yang bukan anak.” Maksudnya, selain anak dan keluarga dekat tidak diperbolehkan melewati pallawa

tengnga. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang mengajarkan tentang etika dalam bertamu (rumah adalah aurat, maksudnya tidak semua orang, apalagi bukan keluarga, dapat keluar masuk begitu saja ke dalam sebuah rumah)

Bentuk Rumah Adat Makassar

Rumah orang Makassar disebut ballaq adalah rumah panggung yang berbentuk segi empat, tiang berjejer lima ke samping dan ke belakang. Adapun rumah bangsawan, tiangnya berjejer lima ke samping dan enam atau lebih ke belakang (Wahid, 2007: 88). Menurut Mangemba (1986: 290), rumah orang Makassar terletak di atas tiang yang tinggi, yang bentuknya bulat, persegi empat atau persegi delapan. Untuk orang kebanyakan, rumahnya bertiang bulat, sedangkan rumah golongan bangsawan tiangnya bersegi empat atau delapan. Segi delapan terjadi dengan jalan menghilangkan keempat segi yang meruncing. Jumlah tiang satu deret (baris) pun berbeda-beda. Orang kebanyakan hanya empat tiang setiap deret, sedangkan golongan bangsawan lebih dari empat tiang. Demikian juga jumlah anak tangganya. Makin banyak anak tangga, makin tinggi kedudukan sosial pemilik rumah

Puncaknya berbentuk pelana, bersudut lancip, menghadap ke bawah, atapnya terdiri atau bahan-bahan: nipa, rumbia, bambu, alang-alang, ijuk, dan sirap seperti atap Ballaq Lompoa di Gowa yang masih ada dewasa ini. Bahagian depan dan belakang puncak rumah yang berbatas dengan dinding yang berbentuk segitiga disebut timbaksela, dari timbaksela ini dapat dikenal derajat (kebangsawanan) pemiliknya. Jenis timbaksela terdiri atas : 1) tidak bersusun, 2) bersusun dua, 3) bersusun tiga, 4) bersusun empat, 5) bersusun lima, 6) bersusun tujuh. Timbaqsela yang bersusun tiga ke atas menunjukkan rumah bangsawan, sedang bersusun lima dan tujuh ialah rumah bangsawan tinggi yang menduduki jabatan (pemerintahan) (Wahid, 2007: 89).

Page 73: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

272

Gambar. Ballaq Lompoa (Istana Raja Gowa)

Ruang di dalam rumah terbagi tiga

bagian, yaitu: ruang depan, tengah dan belakang. Ruang depan (paddaserang dallekang) sengaja dikosongkan sebagai ruang tamu. Dahulu, sebelum kursi-kursi lazim dipakai sebagai tempat duduk, tamu-tamu biasanya duduk di atas tikar. Apabila tamu itu termasuk terhormat, dia didudukkan di atas menghadap ke tamping (ruangan samping), sedangkan tuan rumah duduk menghadap jendela. Kalau kedudukan sosialnya lebih rendah lagi dari tamunya, maka si tuan rumah itu duduk di bawah berhadapan-hadapan dengan tamunya yang duduk di sebelah atas tadi. Apabila derajat tamu dan tuan rumah sama, maka tamu didudukkan menghadap ke dalam, sedangkan tuan rumah duduk menghadap ke luar. Jadi, dari cara duduk tuan rumah dan tamu, ditemukan derajat kedudukan masing-masing. Tentu saja tata duduk semacam ini di kota-kota besar sudah tidak berlaku lagi (Mangemba, 1986: 291).

Ruangan depan, selain sebagai ruang tamu, juga dipakai sebagai tempat tidur tamu, kalau tamu bermalam di rumah itu. Oleh sebab itu, selalu disediakan kasur dan bantal yang tergulung, yang sewaktu-waktu dapat dihamparkan sebagai tempat tidur. Ruangan tamu ini dibagi atas dua bagian tanpa sekat. Bagian pertama untuk menerima tamu pria, sedangkan bagian kedua untuk menerima tamu wanita secara

adat. Di kaki tangga terdapat tempayan (gentong) berisi air, gayung tempurung kelapa dan beberapa batu ceper besar untuk membersihkan kaki.

Ruang tengah (paddaserang tangnga) dan ruang belakang (paddaserang ri boko) dibagi dua sesuai panjangnya dan dibatasi dinding, sehingga terdapat empat buah kamar. Ruang tengah ini untuk tempat tidur anak laki-laki dan nenek dari keluarga itu, sedangkan ruang belakang untuk tempat tidur kepala rumah tangga (bapak, ibu, dan anak-anak yang masih kecil) dan kamar untuk anak gadis. Kamar untuk anak gadisnya terletak di pojok, yang pintunya menghadap kamar orang tuanya, sehingga mudah terpantau orang tuanya. Atau kadang ruang tengah itu dijadikan tempat tidur kepala rumah tangga, sedangkan ruang belakang adalah tempat tidur anak-anaknya (Mangemba, 1986: 291).

Selain dari ketiga ruangan ini, masih ada lagi satu ruang tambahan di belakang yang disebut jambang dijadikan dapur. Dapur ini biasa terdapat tangga untuk turun naik rumah. Ada juga ruang "samping" yang membujur di sisi ketiga ruang tadi yang disebut tambing, berupa gang yang menghubungkan pintu depan dengan pintu belakang rumah. Dulu, hanya rumah kepala-kepala adat saja yang boleh memakai tambing. Di tambing ini terdapat cerek berisi air untuk membersihkan kaki

Page 74: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

273

sebelum naik duduk di ruang depan. Dewasa ini, tambing dijadikan tempat melepas sepatu atau sandal, walaupun tidak lagi duduk bersila seperti dulu. Ini hanya untuk menjaga kebersihan ruang depan saja.

Selain itu, masih ada ruangan kecil yang disebut paladang, terletak di sebelah kanan tangga depan rumah yang namanya paladang. Sebagai tempat duduk sementara, sebelum tamu dipersilakan masuk oleh tuan rumah. Paladang ini merupakan tanda kebangsawanan pemilik rumah. Pada umumnya, rumah orang kebanyakan hanya mempunyai dua ruang saja, yaitu ruang depan dan ruang belakang (selain dapur). Demikian juga mengenai apa yang disebut sambulayang. Sambulayang (voorgevel) ialah muka rumah bagian atas yang berhubungan dengan atap rumah, terdiri atas beberapa susun. Susunan paling atas berbentuk segitiga, sedangkan di bawahnya berbentuk trapesium. Rumah orang kebanyakan tidak boleh lebih dari dua tingkat (susun) sambulayang-nya, sedangkan golongan bangsawan atau raja, lebih dari dua tingkat: tiga, lima atau tujuh (Mangemba, 1986: 292).

Rumah orang Makassar adalah rumah panggung karena ditopang oleh beberapa tiang yang terpancang di atas tanah, sehingga terdiri atas tiga susun kalau dilihat dari depan, yaitu bagian atas, tengah, dan bawah rumah. Bagian atas rumah ada di bawah atap dan dipakai sebagai tempat menyimpan padi, jagung dan lain-lainnya, disebut pammakkang. Bagian tengah menjadi tempat tinggal penghuninya, yang terdiri atas beberapa ruangan. Bagian ini disebut kale balla, sedangkan bagian bawah disebut siring, yaitu bagian bawah lantai panggung dan dipakai sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian atau penangkap ikan. Siring juga dijadikan kandang ayam, itik, kambing atau ternak lainnya seperti kuda. Saat ini siring berfungsi sebagai tempat kendaraan roda dua dan semacamnya.

Gambar: Rumah Tradisional Adat Makassar

(Sumber: Limpo, dkk., 1996: 105)

Penutup

Pendirian rumah bagi orang Bugis-Makassar pada dasarnya digolongkan menurut lapisan sosial dari penghuninya. Selain itu, proses dan upacara ritual dalam pendirian rumah adat pada masyarakat Bugis-Makassar memiliki keunikan tersendiri. Hal tersebut terlihat mulai dari pemilihan lokasi dan arah bakal calon rumah yang akan didirikan haruslah berdasarkan berbagai pertimbangan. Semua aktivitas ritual tersebut dilakukan demi pertimbangan kelak rumah yang ditempati akan terasa nyaman dan aman bagi para penghuninya.

Pada masyarakat Bugis Makassar pra-Islam, mereka memahami adanya waktu tertentu yang “dianggap baik” dan “tidak baik” untuk mendirikan sebuah rumah. Hal tersebut didasari kebiasaan leluhur Bugis Makassar yang menjadikan rujukan pada buku Lontaraq Kutika atau Pitika. Namun sejalan dengan berkembangnya dakwah Islamiyah yang semakin membaik dan gencar secara kontinyu di tengah-tengah masyarakat, hal-hal tersebut mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bugis Makassar secara perlahan-lahan.

Dalam desain arsitektur bentuk rumah adat Bugis Makassar memiliki makna tersendiri. Setiap bentuk dan ruang memiliki fungsi dan didesain dengan landasan nilai-nilai filosofis. Suatu hal yang menarik dalam desain ruang terdapat istilah pallawa tengnga atau pallawa teng anaq yang bermakna pembatas dengan yang bukan

Page 75: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

274

anak. Hal ini selaras dengan ajaran Islam yang mengajarkan tentang etika dalam bertamu (rumah adalah aurat, maksudnya tidak semua orang apalagi bukan keluarga dapat keluar masuk begitu saja ke dalam sebuah rumah). Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan bahwa sejak dahulu nuansa ke-Islaman telah tampak dalam pendirian dan desain rumat adat Bugis Makassar.

Daftar Pustaka

Arsip Nasional Republik Indonesia, Rol 15, No. 14.

Djamas, Nurhayati. 1998. Agama Orang Bugis. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Depag RI.

Limpo, Syahrul Yasin, dkk. 1996. Profil Sejarah Budaya dan Pariwisata. Gowa: Pemda Tk. II Gowa Kerja sama dengan Yayasan Eksponen.

Maknun, T. 2012. Nelayan Makassar: Kepercayaan, Karakter. Makassar: Identitas Universitas Hasanuddin.

Mangemba, Hamzah Daeng. 1986. “Budaya Makassar” dalam Siri’ Kearifan Budaya Sulawesi Selatan. Jakarta: Lembaga Kesenian Sulawesi Selatan.

Mattulada. 1990. “Kebudayaan Bugis Makassar” dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Mattulada. 1990. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Mattulada. 1995. Latoa Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujung Pandang: Lephas.

Pelras, Christian. 2006. The Bugis (Manusia Bugis). Jakarta: Forum Jakarta-Paris Ecole francaise d’Extreme-Orient.

Rasuly, Muh. Nur. (ed.). 1984. Monografi Kebudayaan Bugis di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Pemda Tkt. I Sulawesi Selatan.

Robinson, Kathryn dan PaEni, Mukhlis. 2005. “Tradisi Membangun Rumah di Sulawesi Selatan” dalam Tapak-Tapak Waktu. Makassar: Ininnawa.

Wahid, Sugira. 2007. Manusia Makassar. Makassar: Pustaka Refleksi.

Yasil, S., dkk. 1988. Lontarak Kutika (Naskah Bugis). Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Page 76: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

274

Situs Percandian Batujaya di Karawang Jawa Barat: Analisis Manajemen Sumber Daya Arkeologi

Mustafa Mansur

(Universitas Khairun)

Abstract

This paper seeks to present the existence and preservation of the temple site Unur Jiwa, Lempeng, and Blondongan in Batu Jaya Karawang - West Java as archaeological resources. The method used in this study is the observation and study literature, using the concept of archaeological resource management. The aim of this study is to see how the existence and preservation of these sites, as well as the principle of benefit of preservation. The study shows that the presence of the sites related to Hinduism and Buddhism eksistensii into Indonesia in the 4th century AD to 16th century AD, where temples were made as a means of worship of the two religions. The use of temples that date have been preserved and utilized based on the potential ecological, architectonic, historical, and geological, besides the scientific research, creative arts, education, recreation and tourism, symbolic representation, legitimation of action, social solidarity and integration, and monetary and economic gain.

Keywords: Batujaya, Enshrinement, Preservation .

Pendahuluan

Istilah candi secara umum digunakan untuk menyebut semua bangunan peninggalan kebudayaan Hindu dan Buddha di Indonesia yang berupa permandian kuna, gapura atau gerbang kota, dan bangunan suci keagamaan. Istilah tersebut memberikan pengertian yang sifatnya masih umum, belum menggambarkan ciri spesifik mengenai aspek bentuk maupun fungsi dari setiap bangunan yang dimaksud (Saringendyanti dan Puar, 2009: 79).

Ada dua jenis candi, yakni candi dalam arti bangunan yang memiliki ruangan atau bilik, dan candi dalam arti bangunan yang tidak memiliki ruangan atau bilik (Saringendyanti dan Puar, 2009: 82). Candi sebagai bangunan yang memiliki ruangan atau bilik merupakan ciri dari kebudayaan Hindu, sedangkan candi sebagai bangunan yang tidak memiliki ruangan atau bilik biasanya menjadi ciri dari kebudayaan Buddis (Saringendyanti dan Puar, 2009: 82-88).

Page 77: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

275

Tulisan ini berupaya menyajikan keberadaan, kelangsungan, dan pelestarian sistus-situs percandian di Batujaya dan menghubungkannya dengan konsep manajemen sumber daya arkeologi. Secara spasial, tulisan ini membatasi pada candi-candi yang tidak memiliki ruangan atau bilik (candi Buddha) di Batujaya Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Di Batujaya ini terdapat beberapa situs candi yang berlokasi di Desa Segaran. Candi-candi itu dibagi menjadi beberapa nama, yakni Candi Unur Jiwa, Candi Unur Lempeng, Candi Unur Damar, dan Candi Unur Blandongan (Djafar, 2010: 45-51).

Situs candi-candi tersebut di atas merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan. Dalam studi ini, pengkajian atau analisis terhadap beberapa candi di atas, dibatasi pada Candi Unur Jiwa, Candi Unur Lempeng, dan Candi Blandongan. Ketiga candi ini adalah yang terbesar dan utama di Batujaya.

Berdasarkan pada orientasi penulisan ini, maka metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode observasi dan studi pustaka, dengan menggunakan konsep manajemen sumber daya arkeologi. Metode observasi adalah melakukan peninjauan terhadap objek studi yaitu situs Candi Unur Jiwa, Candi Unur Lempeng, dan Candi Blandongan di Batujaya Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Sementara studi

pustaka dimaksudkan untuk melakukan perbandingan dan penyesuaian antara data observasi dengan deskripsi mengenai keberadaan situs-situs tersebut dalam beberapa referensi yang relevan. Adapun konsep manejemen sumber daya arkeologi yaitu melihat upaya pelestarian situs candi-candi tersebut berdasarkan potensi ekologis, arsitektonis, historis, dan atau geologis. Selain itu, dalam kajian ini juga dikembangkan untuk melihat bagaimana upaya pelestarian situs-situs candi tersebut berdasarkan potensi scientific research, creative arts, education, recreation and tourism, symbolic representation, legitimation of action, social solidarity and integration, dan monetary and economic gain. Adapun untuk pemanfaatannya, studi ini akan melihat keberadaan candi-candi itu apakah dimanfaatkan sesuai fungsi semula (living monuments) ataukah sudah tidak dimanfaatkan sesuai fungsi semual (dead monuments).

Potensi-potensi yang disebutkan di atas merupakan suatu standar untuk melestarikan sumber daya arkeologi. Hal ini dilakukan karena sumber daya arkeologi merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources). Selain itu, biasanya sumber daya arkeologi terutama yang bersifat monumental atau termasuk dalam klasifikasi benda tidak bergerak beserta lingkungannya, mempunyai

Page 78: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

276

sifat-sifat yang unik karena mempunyani nilai tambah seperti adanya potensi-potensi yang disebutkan di atas (Kasnowihardjo, 2001:15).

Berdasarkan konsep pelestarian itulah, studi ini berupaya melihat bagaimana upaya pelestarian situs Candi Unur Jiwa, Lempeng, dan Blondongan di Batujaya ini untuk dianalisis. Melalui studi ini, eksistensi dan keberlangsungan dari situs-situs candi tersebut dapat diketahui untuk melihat azas manfaat dari upaya pelestarian tersebut.

Candi Unur Jiwa

Situs Unur Jiwa terletak di Desa Segaran Kecamatan Batujaya pada jarak sekitar 200 meter menuju arah barat dari tepi Desa Segaran atau sekitar 200 meter ke arah barat dari Jalan Kaliasin. Unur Jiwa berada pada koordinat 107’09’04,91 BT dan 06’ 03’26” LS, dengan ketinggian 4-6 m di atas permukaan laut (Djafar, 2010: 45; Lubis, 2011: 38).

Gambar 1. Bagian Depan Situs Unur Jiwa (Sumber: Dokumentasi

Observasi, 1 Juni 2012)

Gambar 2. Sudut Depan Situs Unur

Jiwa (Sumber: Dokumentasi Observasi, 1 Juni 2012)

Unur merupakan nama yang

diberikan oleh penduduk lokal untuk menyebut gundukan tanah berisi sisa-sisa bangunan bata (Lubis, 2011: 35). Dalam konteks ini, penduduk setempat menyebut Unur Jiwa sebagai sebuah gundukan tanah seperti bukit kecil (Djafar, 2010: 45). Karena berada di Desa Segaran, maka situs percandian ini selanjutnya diberi nama Situs Segaran. Banyaknya situs-sistus di lokasi Segaran tersebut, maka situs-sistus ini oleh Arkeolog Hasan Djafar membagi ke dalam beberapa sektor. Untuk situs Candi Jiwa diberi nama Situs Segaran I (Situs SEG I), Unur Lempeng disebut Situs Segaran II (Situs SEG II), Unur Damar disebut Situs Segaran III (Situs SEG III), Unur

Page 79: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

277

Kecil disebut Situs Segaran IV (Situs SEG IV), Unur Blandongan disebut Situs Segaran V (Situs SEG V), dan kemudian beberapa situs lain diklasifikasi menjadi SEG VI, SEG VII, SEG VIII dan SEG IX (Djafar, 2010: 45-51).

Gambar 3. Bagian Belakang Situs Unur Jiwa (Sumber: Dokumentasi Observasi, 1 Juni 2012)

. Gambar 4. Sisi kiri Situs Unur jiwa (Sumber: Dokumentasi Observasi, 1 Juni 2012)

Situs SEG I (Unur Jiwa) ini, ketinggiannya mencapai 4 meter dari permukaan tanah di sekitarnya, dan luasnya sekitar 500 meter persegi. Situs ini semula digarap oleh penduduk sebagai lahan pertanian yang ditanami pohon Pisang dan Plawija (Djafar, 2010: 45).

Situs SEG I (Unur Jiwa) pertama kali dieksavasi pada tahun 1985 dan dilanjutkan pada tahun 1986 oleh Tim Arkeologi FSUI, dalam rangka Kuliah Kerja Lapangan (KKL) bagi mahasiswa jurusan arkeologi. Dari kegiatan dua kali eksavasi di situs ini, telah dapat ditampakkan seluruh permukaan bangunan yang tersisa dan beberapa bagian kaki candi. Candinya sudah tidak utuh, yang ditemukan hanya bagian kaki candi berukuran 19 x 19 meter, dengan tinggi seluruh bangunan 4,70 meter, dengan orientasi menghadap tenggara barat-laut (Djafar, 2010: 45; Lubis, 2011: 38). Di keempat sisi candi tidak terdapat tangga naik atau pintu masuk. Kaki candi memiliki susunan perbingkaian atau pelipit yang terdiri dari pelipit rata (patta), pelipit penyangga (uttara), dan pelipit setengah lingkaran (kumuda). Dari bagian atas bangunan yang tersisa, tampak susunan pasangan bata yang melingkar dengan diameter sekitar 6 meter. Susunan bata melingkar ini dibatasai oleh susunan bata yang dipasang tegak (rolak) yang membentuk bujur sangkar dengan

Page 80: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

278

panjang sekitar 10 meter (Djafar, 2010: 45-46; Lubis, 2011: 38).

Bisa jadi bangunan candi ini berbentuk stupa. Hal ini mengacu pada bentuk susunan dasar sebuah bangunan berbentuk stupa. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa Candi Unur Jiwa merupakan candi yang bersifat Budhis (Lubis, 2011: 38). Hal ini bisa dilihat pada tubuh candi yang tidak memiliki ruang atau bilik. Secara umum, candi-candi dalam agama Buddha tidak memiliki ruang atau bilik, dan hanya dugunakan untuk kepentingan peribadatan (Saringendyanti dan Puar, 2009: 82-88). Candi Jiwa bisa dikatakan hanya dugunakan untuk peribadatan.

Candi Segaran I (Unur Jiwa) ini tidak memiliki tangga dan pintu masuk, tetapi memperlihatkan sebuah jalan yang dibuat mengililingi kaki candi. Karena itu dapat dipastikan bahwa jalan yang mengililingi bangunan candi tersebut adalah sebuah jalan (patha) untuk keperluan pradaksina (Djafaar, 2010: 46). Pradiksina adalah proses ritual untuk mengelilingi suatu objek yang dianggap suci, apakah itu gambar, candi, atau orang suci, patung orang suci, makam orang suci dan sebagainya. Orang mulai berpradaksina dari timur (daksina) dengan objek berada di sebelah kanan badan, lalu bergerak ke arah selatan dan sterusnya searah perputaran jarum jam. Sambil berjalan keliling, sebaiknya mendaraskan doa berualng-

ulang kali dengan penuh tulus bakti (Anonim, 2009: 1). Tujuan dari Pradaksina adalah untuk mempelajari kisah perjalanan hidup Buddha dari awal hingga akhir yang diambil dari naskah Sansekerta (Anonim, 2015: 1).

Situs SEG II (Unur Lempeng)

Situs Unur Lempeng (SEG II) terletak pada koordinat 107 08’58” BT dan 06 03’24” LS, berukuran sekitar 100 x 100 meter dengan ketinggian rata-rata 0,50 m. Saat ini lahan situs ini digarap menjadi lahan pertanian, sehingga situsnya menjadi teraduk. Di situs ini terdapat sebuah sumur kuna dan dua lempengan batu besar yang bentuknya hampir menyurupai segilima. Salah satu di antaranya berukuran 2x2 meter (Djafar, 2010: 47; Lubis, 2011: 39).

Gambar 5. Situs Unur Lempeng

(Sumber: Dokumentasi Observasi, 1 Juni 2012)

Page 81: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

279

Selain sumur kuna dan dua lempengan batu besar, ada juga ditemukan pecahan gerabah, manik-manik kaca, tulang dan gigi hewan dan sebuah pecahan gerabah Arikamedu1 (roultted pottery) (Djafar, 2010: 47; Lubis, 2011: 39). Temuan ini menunjukkan adanya hubungan awal dengan kebudayaan India (Djafar, 2010: 47). Hal ini dapat dibuktikan dengan empat sisi struktur bangunan dalam penelitian tahun 2005, di mana ditemukan fragmen gerabah tipe Buni2 dan gerabah

1 Arikamedu merupakan sebuah situs

pelabuhan kuno dari abad ke-2 M di wilayah pantai bagian tenggara India. Gerabah ini memiliki bahan dengan tekstur halus, padat dan ringan dengan suhu pembakaran tinggi. Ciri yang paling dominan adalah adanya hiasan roulleted yaitu hiasan lubang-lubang kecil yang melingkar seperti rolet, umumnya terdapat di tengah-tengah dasar piring bagian dalam atau pada bagian atas tutup wadah. Bentuk-bentuk yang sering ditemukan dari gerabah jenis ini adalah piring datar tak berkaki dengan tepian melengkung ke dalam. Pada bagian luar terkadang dihiasi garis di sekeliling bawah tepian baik berupa slip merah kekuningan atau hiasan dengan teknik gores (Lubis, 2011: 69).

2 Istilah Gerabah Buni mulai diperkenalkan sekitar tahun 1960 oleh Sutayasa, ketika menemukan sebagian besar sejumlah gerabah di daerah Buni, Bekasi. Meskipun pun hal itu tidak berarti bahwa situs Buni merupakan pusat penyebaran gerabah ke daerah pesisir utara Jawa barat. Saat ini diketahui bahwa sebaran jensi gerabah Buni ditemukan mulai dari Anyer ke sepanjang pantai utara Jawa Barat sampai ke daerah Cirebon (Lubis, 2011: 69-70)

Arikamedu, manik-manik kaca dan batu, hiasan stuko, sebuah lempengan emas kecil yang berisi inskripsi dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanksekerta (Djafar, 2010: 48; Lubis, 2010: 40).

Situs SEG V (Unur Blandongan)

Situs SEG V (Unur Blandongan) ini terletak pada kordinat 107 09’14” BT dan 06 03’21” LS, dan berukuran 110 x 38 meter. Situs ini merupakan situs terbesar dibandingkan dengan situs-situs lainnya di kawasan Batujaya (Djafar, 2010: 49; Lubis, 2011: 40).

Gambar 6. Bagian Depan Situs Blandongan (Sumber: Dokumentasi Observasi, 1 Juni 2012)

Candi ini memiliki empat buah

tangga yang terletak di keempat sisinya. Di bagian tengah candi masih terdapat sisa bagian badannya yang massif berukuran 10 x 10 meter. Bagian kaki candi memiliki susunan pelipit yang terdiri dari pelipit rata, pelipit setengah lingkaran, dan pelipit bergerigi. Sementara susunan pelipat

Page 82: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

280

pada dinding, bahan candi tidak ditemukan. Antara badan candi dan pagar langkan, terdapat lantai terbuat dari hamparan bata yang dilapisi dengan beton stuko setebal sekitar 15 cm. Bagian atap candi sudah runtuh dan tidak diketahui bentuknya, namun dapat diduga berbentuk stupa (Djafar, 2010: 49; Lubis, 2011: 41).

Gambar 7. Puing-Puing Bata di Areal Situs Unur Blandongan (Sumber: Dokumentasi Observasi, 1 Juni 2012)

Pada eksavasi di sisi timur laut kaki candi pada tahun 1995, ditemukan berupa fragmen materai (votive tablet) terakota bergambar relief Buddha (Djafar, 2010: 49; Lubis, 2011: 41). Relief Budha terdiri dari masing-masing tiga tokoh Buddha. Tiga tokoh pertama (bagian bawah), satu dalam posisi duduk dengan kedua kaki terjuntai dan sikap tangan Dhyanimudra3 serta diapit dua tokoh lainnya yang berdiri dalam sikap Tribhanga4. Tiga tokoh kedua terletak di bagian atas tokoh pertama, duduk bersilah dengan sikap tangan Abhayamudra5 (Lubis, 2011: 41-42).

Dengan demikian votive tablet di Candi Batujaya diduga berasal dari Periode Dharmawati yaitu sekitar abad ke-6/7 M (Lubis, 2011: 42-43). Klasifikasi Candi SEG V (Unur Blandongan) sebagai candi Buddha juga diperkuat dari hasil penggalian-pengumpasan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala

3 Dhyanimudra melambangkan semadi atau meditasi (Anonim, t.t.: 3)

4 Tribanga yaitu sikap badan, bila ditarik garis lurus dari atas ke bawah, pusar dan kepala tidak tepat berada di bawah garis (garis tubuh membentuk tiga patahan) (Maulana, 1997: 122).

5 Abhayamudra melambangkan Ketidakgentaran (Anonim, t.t.: 3)

Page 83: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

281

Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 1999, di mana ditemukan dua buah fragmen inskripsi yang tergores pada sebuah pecahan bata dan sebuah pecahan terakota, serta dua buah inskripsi yang tergoreskan pada lempengan emas kecil yang dilipat. Keempat inskripsi tersebut berisi ayat-ayat suci agama Buddha, yang semuanya digoreskan dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanksekerta (Djafaar, 2010: 50).

Pelestarian

Situs-situs Candi di Batujaya (Unur Jiwa, Unur Lempengan dan Unur Blandongan), semuanya bersifat monumental atau klasifikasi benda tidak bergerak. Situs-situs ini mempunyai nilai potensi arsitektonis, historis dan geologi. Dalam kontennya dengan arsitektonis, candi ini menyerupai candi Budha pada umumnya, di mana bentuk bangunannya berundank (bandingkan dengan Candi Borobudor) dan bagian atapnya berbentuk stupa (bandingkan dengan Candi Muara Takus di Pekanbaru)6. Hal ini sejalan dengan konteks historis bahwa pada masa itu pengaruh Hindu-Buddha telah masuk di Nusantara, bahkan periode ini dikenal dengan periode Hindu-Budha. Sementara dalam kontennya dengan nilai geologi, candi-candi ini

6 Mengenai bentuk Candi Borobudor dan Muara Takus, lihat Saringendyanti dan Puar, 2009: 87.

berorientasi menghadap ke arah tenggara barat-laut. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana kepercayaan masyarakat ketika itu berkiblat di India.

Selain ketiga potensi di atas, candi-candi di Batujaya ini juga memiliki potensi-potensi yang lain, yakni : (1) menjadi objek penelitian (scientific research). Hal ini bisa dilihat dengan adanya kepentingan penelitian baik untuk peneliti arkelogi sendiri maupun dari disiplin ilmu lain, termasuk sejarah. Saat observasi ini dilakukan terlihat adanya sekelompok orang yang melakukan penelitian di sistus ini yang dipandu oleh Arkeolog “Hasan Djafar” ; (2) memiliki potensi seni (creative art). Candi ini juga memiliki nilai estetika yang menggambarkan kreativitas manusia pada masa itu dalam membuat candi tersebut; (3) edukasi (education) yakni sebagai inspirasi ilmu pengetahuan terhadap peradaban masa lalu dan juga untuk rekonstruksi ilmu arsitektur; (4) sebagai tempat kunjungan para wisatawan (recreation and tourism) ; (5) menjadi simbol representasi (symbol representation) masyarakat Buddha pada zamannya ; (6) menjadi legitimasi ajaran Buddha (legitimasi of action) ; (7) sebagai sarana solidaritas dan integrasi ummat Buddha, serta sebagai objek wisata dan mendatangkan keuntungan baik oleh pemerintah maupun masyarakat di sekitarnya (monetary and economic gain). Hal ini bisa dilihat dengan

Page 84: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

282

adanya retribusi masuk bagi pengunjung atau wisatawan yang dikelolah oleh pemerintah dan adanya pedagang asongan dari masyarakat di sekitarnya untuk melayani kebutuhan pengunjung yang ingin membelinya.

Dalam hal pemanfaatan, situs candi-candi di Batujaya saat ini tidak dimanfaatkan dengan fungsi semula (dead monument) oleh masyarakat di sekitarnya. Hal ini dikarenakan masyarakat di sekitar lokasi situs tersebut telah menganut kepercayaan agama Islam. Situs Candi Batujaya ini telah mendapat perlindungan hukum yakni mendapat legitimasi sebagai benda cagar budaya. Hal ini dapat dilihat dari adanya papan nama di samping pintu masuk ke lokasi candi ini, terdapat tulisan tentang perlindungan benda cagar budaya.

Gambar 8 Papan Nama Situs Unur Jiwa dan

Unur Blandongan Memuat Pemberitahuan Mengenai Kawasan

Cagar Budaya (Sumber: Dokumentasi Observasi, 1 Juni 2012).

Selain itu, situs-situs candi

Batujaya ini juga dilindungi dengan bentuk aslinya. Hal ini bisa dilihat dari hasil rekonstruksi terhadap revitalisasi candi ini, memperilihatkan bentuk lama candi tesebut, tidak mengalami perubahan kecuali bahan materilnya. Dalam upaya memfungsikan situs ini, dilakukan perluasan dengan proses pemintakan, di mana minkat inti tetap dan tidak berubah, sedangkan minkat

Page 85: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

283

penyangga, dibuat jalan setapak dan taman. Sementara untuk minkat pengembangannya, dapat dilihat dengan dibuatnya jalan setapak untuk mengkses candi tersebut, serta di depan pintu masuk ke lokasi candi dibuat pos penjagaan dan toilet. Kemudian pada bagian lain dari lokasi candi ini juga dibuat museum.

Gambar 9. Setapak dan Taman Sebagai Minkat Penyangga Situs Unur

Jiwa (Sumber: Dokumentasi Observasi, 1 Juni 2012)

Gambar 10. Setapak dan Taman sebagai Minkat Penyangga Situs Unur Blandongan (Sumber: Dokumentasi

Observasi, 1 Juni 2012)

Sejalan dengan pelestarian situs-situs Candi Batujaya ini, pendokumentasian dan publikasi mengenai keberadaan situs –situs ini candi ini juga telah dilakukan. Hal ini bisa dilihat pada buku yang ditulis oleh Hasan Djafar yang diterbitkan pada tahun 2010. Buku ini secara khusus mendeskripsikan situs-situs percandian di Batujaya maupun di sekitarnya. Dalam kaitan dengan pelestarian ini, proses konservasi dan pemugaran tentunya menjadi bagian yang penting dalam pelsetarian candi ini. Hal ini bisa dilihat dengan adanya proyek pemugaran yang ditangani oleh Direktorat Perlindungan dan

Page 86: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

284

Pembinaan Peninggalan Sejarah, dan Purbakala, Departemen Pendidikan Nasional, pada tahun 1996 dan berakhir pada tahun 2001 (Djafar, 2010: 46).

Penutup

Situs percandian di Batu Jaya merupakan sumberdaya arkeologi yang bersifat monumental atau klasifikasi benda tidak bergerak. Situs ini dilestarikan karena merupakan sumber daya arkeologi yang bersifat tak terbaharui, terbatas, dan kontekstual. Di samping, ada suatu kebutuhan untuk melestarikan (to conserve) dan mengelola ( to manage) agar terjamin keberadaannya selama mungkin.

Pelestarian situs percandian di Batu Jaya juga telah memberikan manfaat ideologi, akademik, dan ekonomi. Secara ideologi, ini menjadi bagian dari jati diri bangsa, sedangkan secara akademik dapat mengembangkan kemajuan ilmu pengetahuan. Adapun secara ekonomik, situs tersebut dapat dijadikan sebagai pengembangan destinisasi wisata yang dapat memberikan penghidupan bagi masyarakat sekitar dan juga untuk negara.

Situs-situs ini mempunyai nilai potensi arsitektonis sebagai candi Budha, mempunyai nilai potensi historis yang menunjukkan bahwa keberadaan candi tersebut seiring

dengan masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Budha di Nusantara. Adapun untuk potensi nilai geologinya, candi-candi tersebut menghadap ke arah tenggara barat-laut yang menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat pada masa itu berorientasi di India.

Selain itu, situs-situs candi di Batu Jaya ini juga memiliki potensi lain sebagai scientific research, creatice arts, education, recreation and tourism, symbolic representation, legitimasi of action, social solidarirty and integration, dan monetary and economic.

Daftar Pustaka

Anonim. 2009. “Pradiksina Prosesi Keliling Tempat Suci” dalam http://melayuonline.com/ind/news/read/7754, diakses pada Rabu, 14 Oktober 2015, Pkl. 15.15 WIT.

Anonim, 2015. “Pradaksina, Ritual Keagungan Umat Buddha” dalam http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/2096/pradaksina-ritual-keagungan-umat-buddha. Diakses pada Rabu, 14 Oktober 2015, Pkl. 15.18 WIT.

Anonim. t.t. “Mudra” dalam https://id.wikipedia.org/wiki

Page 87: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

285

/Mudra. Diakses pada Rabu, 14 Oktober 2015, Pkl. 15.31 WIT.

Djafar, Hasan. 2010. Kompleks Percandian Batujaya; Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat. Bandung: Kiblat Buku Utama bekejasama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient, Direktorat sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Pusat penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, KITLV-Jakarta.

Kasnowihardjo, H. Gunadi. 2001. Manajemen Sumber Daya

Arkeologi. Makassar: Universitas Khasanuddin.

Lubis, Nina Herlina. Et al. 2011. Sejarah Kabupaten Karawang. Karawang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karawang.

Maulana, Ratnaesih. 1997. Ikonografi Hindu. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Saringendyanti, Etty dan Puar, Wan Irama. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Visi Media bekerjasama dengan Jurusan Ilmu Sejarah Fakulas Sastra Universitas Padjadjaran.

Page 88: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

286

Indikator Capaian Keberhasilan Program PLPBK Untuk Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman

Susi Diahlita Sari1, Alfitri2, M.Yazid3 1 Mahasiswa, Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya

2,3 Dosen Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya

Abstract

This research was aimed to assess the quality of environmental which is located in priority program planning of PLPBK. This research was conducted on December 2014 on location RT 02, RT 05 and RT 31 Kelurahan Pipareja as direct beneficiaries of the activities PLPBK program of 2013. This research including comparing the level of achievement of a target of the PLPBK program by counting the level of community satisfaction with the indicators of increased access community in neighborhood, increased convenience in neighborhood, and increased quality of infrastructure in neighborhood. From the distributed questionnaire, the measurement of opinion about social phenomena that evolve by using a Likert scale with the standard of community's satisfaction level neighborhood, and then the data of respondents was tested with validity test and reliability test.

From the analysis quality of neighborhood is obtained results 85.97% which this results exceeded the target set by the PLPBK program ie more than 80% of community in priority areas said they were satisfied and achieve very good category. It can be concluded based on the analysis quality of the neighborhood and analysis of the costs benefit from the program PLPBK in priority areas of Kelurahan Pipareja Kecamatan Kemuning effective in the implementation of the program structuring neighborhood. Suggestions in this research are expected to community and relevant government for the future be able to collaborate in improving quality of neighborhood in urban areas, so that urban areas are becoming viable as a place to stay to live.

Keywords : The level of community satisfaction, Neighborhood, Quality of neighborhood

Page 89: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

287

Latar Belakang

Tingkat pertumbuhan penduduk di perkotaan lebih didominasi oleh adanya urbanisasi penduduk yang tidak terkendali. Hal ini akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan dan keadaan infrastruktur perkotaan yang makin memburuk. Diperkirakan 44 juta penduduk akan bertambah di asia setiap tahunnya, sama dengan 120.000 orang setiap harinya yang diperkirakan memerlukan lebih dari 20.000 tempat tinggal baru (Duenas & Wegelin, 2011).

Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, harus memiliki konsep yang menjadi landasan dalam membuat perencanaan pembangunan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan penduduknya. Menurut isu-isu sektoral dalam World Summit on Sustainable Development Tahun 2002, konsep perilaku masyarakat dan kebijakan dalam pembangunan berkelanjutan seharusnya lebih ditekankan pada 3 hal yaitu: pengentasan kemiskinan, perubahan pola konsumsi dan produksi, pengelolaan sumberdaya alam serta lingkungan (Sriati, 2005).

Program PLPBK didasari oleh adanya kemauan masyarakat sebagai bentuk partisipasi untuk mewujudkan lingkungan permukiman di kawasan prioritas yang tertata, sehat, bersih

dan produktif sesuai kebutuhan kehidupan serta penghidupan masyarakat. Menurut buku panduan petunjuk teknis, program PLPBK adalah proses perencanaan yang melibatkan seluruh stakeholders di tingkat kelurahan maupun tingkat kota (LKM & UP-UP, lurah dan jajarannya, TIPP, tim teknis, kelompok peduli, warga miskin, perempuan, anak-anak/remaja, orang tua dan relawan aktif kelurahan) secara partisipatif dan aktif untuk pengambilan keputusan dan kesepakatan bersama dalam merumuskan perencanaan pembangunan kelurahan.

Penataan lingkungan yang kurang baik menjadi penyebab permasalahan lingkungan yang ada di Kelurahan Pipareja. Untuk itu diperlukan suatu kajian dan arahan pengembangan penataan lingkungan permukiman berbasis komunitas agar tercipta lingkungan permukiman yang sehat, nyaman, dan ideal sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Bagaimana persepsi masyarakat pada program PLPBK yang berdampak terhadap peningkatan kualitas lingkungan permukiman pada lokasi prioritas di Kelurahan Pipareja Kecamatan Kemuning Kota Palembang?

Tinjauan Pustaka

Dalam jurnal Jhonson (1997) menyebutkan, kualitas lingkungan adalah sifat dan

Page 90: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

288

karakteristik lingkungan yang saling berkaitan dan luas yang berhubungan erat dengan manusia dan makhluk hidup lainnya. Berdasarkan tujuan utama program PLPBK dalam mewujudkan perbaikan kualitas lingkungan melalui penataan lingkungan permukiman (Pedoman Teknis Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) PNPM Mandiri Perkotaan, 2012) yaitu:

a. Meningkatkan akses masyarakat pada lingkungan permukiman

b. Meningkatkan kenyamanan masyarakat pada lingkungan permukiman

c. Meningkatkan kualitas infrastruktur di lingkungan permukiman

Indikator penilaian peningkatan kualitas lingkungan pemukiman setelah selesainya program PLPBK ini, disusun sesuai tujuan dan keluaran yang diharapkan dari implementasi kegiatan PLPBK. Indikator tersebut dirumuskan oleh program PNPM MP untuk memastikan capaian dari hasil kegiatan pemantauan (monitoring) dan evaluasi. Indikator keberhasilan tersebut disajikan pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Indikator Peningkatan Kualitas Lingkungan Pemukiman

Tujuan Indikator Target 2015 Mewujudkan perbaikan kualitas lingkungan melalui penataan lingkungan permukiman yang teratur, aman dan sehat

a. Meningkatnya akses masyarakat miskin terhadap lingkungan permukiman yang teratur, aman dan sehat

> 80% Penerima Pemanfaat

b. Pemanfaat puas dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan lingkungan perumahan, sarana dan prasarana.

>80% Penerima Pemanfaat

c. Infrastruktur yang dibangun 20% lebih murah dibandingkan dengan yang dibangun tidak melalulaui pemberdayaan masyarakat

>80% Penerima Pemanfaat

Sumber : Pedoman Teknis Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (2012)

Page 91: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. 1, No. 4, Tahun 2015

289

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pipareja Kecamatan Kemuning. Kelurahan Pipareja merupakan lokasi pilot project program PLPBK. Lokasi tempat pengambilan sampel data penelitian yaitu di RT 31, RT 05 dan RT 02 yang merupakan kawasan prioritas program PLPBK dan sebagai penerima manfaat langsung untuk

kegiatan program PLPBK tahun 2013.

Dasar penentuan pengambilan sampel responden menurut Arikunto (2006) yaitu, apabila kurang dari 100 lebih baik diambil semua hingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-55% atau lebih. Data primer dikumpulkan melalui teknik pengambilan data dengan responden berdasarkan penerima manfaat langsung di kawasan prioritas dari program PLPBK. Responden untuk kuesioner data primer ini diambil dari sampel populasi kawasan prioritas yaitu warga yang ada di RT 31, RT 05 dan RT 02.

Tabel 2. Populasi Kawasan Prioritas Program PLPBK Kelurahan Pipareja Populasi Kawasan Prioritas PLPBK Kelurahan Pipareja

RW RT KK Jiwa

01 31 44 198 05 80 203 02 6 25

Total 130 426 Sumber: Profil LKM Harapan Bersama tahun 2013. Jumlah sampel penelitian yang ditetapkan adalah: 426 jiwa x 20% = 85,2 jiwa (dibulatkan menjadi 85 jiwa)

Analisis kualitas lingkungan permukiman dilakukan dengan cara membandingkan antara presentase indikator capaian yang menjadi acuan keberhasilan program PLPBK dengan

presentase dari tanggapan masyarakat melalui jawaban kuesioner. Dalam analisis penelitian menggunakan skala yang berisi lima tingkatan jawaban yang merupakan skala jenis ordinal.

Page 92: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

290

Dari setiap jawaban kuesioner akan mempunyai gradasi dari sangat negatif sampai sangat positif.

Hasil dari jawaban kuesioner masyarakat di kawasan prioritas

program PLPBK, selanjutnya dianalisis berdasarkan frekuensi (banyaknya) atau proporsinya (presentase) dengan rumus:

%100IdealSkor

Didapat YangKelompok Skor MasyarakatKepuasan % ×=

Interpretasi hasil presentase yang diperoleh dari rumus tersebut mengacu pada tabel yang dikembangkan Arikunto (1998) seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Interpretasi Nilai (%) Persentase Kategori

80% - 100% Sangat Baik

60% - 79,9% Baik

40% - 59,9% Sedang/Cukup

20% - 39,9% Buruk

0% - 19,9% Sangat Buruk

Sumber : Arikunto, 1998

Hasil presentase dari jawaban responden tersebut kemudian dapat dibandingkan dengan indikator capaian keberhasilan program PLPBK yang dijadikan penentuan tingkat kepuasan masyarakat di kawasan prioritas terhadap program PLPBK. Menurut Pedoman Teknis Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas PNPM Mandiri Perkotaan (2012), indikator capaian yang diharapkan dari program PLPBK yaitu lebih dari 80% pemanfaat puas dengan peningkatan kualitas lingkungan. Jika presentase yang

didapat melebihi 80% maka dapat dikatakan bahwa kegiatan program PLPBK mampu memuaskan masyarakat khususnya di kawasan prioritas. Sebaliknya, jika presentase yang didapat tidak mencapai 80% maka berarti kegiatan program PLPBK belum mampu memuaskan masyarakat khususnya di kawasan prioritas.

Hasil dan Pembahasan

Mengacu dari dokumen Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP) Kelurahan

Page 93: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

291

Pipareja, di tahun 2013 LKM Harapan Bersama dengan menggunakan dana Bantuan

Langsung Masyarakat (BLM) program PLPBK telah menyelesaikan kegiatan-kegiatan fisik sebagai berikut:

Tabel 4. Kegiatan LKM Harapan Bersama Tahun 2013 Pada Program PLPBK

Kegiatan Vol Satua

n Jumlah Anggaran

APBN APBD Swadaya Perencanaan dan Pemasaran Sosial 1 ls 150.000.000

Jalan Cor Beton Bertiang 2 x 129,8 m 200.000.000

12.727.500

Jalan Cor Beton Bertiang + Pot Bunga

2 x 104,3 m 200.000.000 13.097.50

0

Jalan Cor Beton Bertiang + Pot Bunga + Gapura

2 x 158,98

m 200.000.000 19.732.50

0

Jalan Cor Beton Bertiang

1,2 x 140 m 81.600.000 10.270.00

0 Jalan Cor Beton Bertiang

2 x 28 M 45.900.000 9.100.000

Jembatan besi 2 x 7 M 22.500.000 4.500.000 RTLH 5 Unit 38.500.000 4.760.000 TOGA + aturan bersama + slogan + dll

1 Ls 61.500.000 4.425.000

TOTAL 1.000.000.000

79.247.000

Presentase 92,66% 7,34% Sumber: Profil LKM Harapan Bersama Tahun 2013.

Setelah selesainya pemanfaatan

dana BLM program PLPBK, bukan berarti pelaksanaan kegiatan di LKM dan masyarakat juga berakhir. Hal ini dikarenakan dana BLM belum dapat mencukupi untuk pelaksanaan semua

program perencanaan dalam dokumen RPLP. Justru diharapkan kegiatan akan tetap berkelanjutan, walaupun dana BLM ini belum menuntaskan perencanaan secara keseluruhan, namun diharapkan

Page 94: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

292

sudah memberikan dampak perubahan lingkungan, yaitu sebagai tempat yang layak huni, bersih, sehat dan bebas banjir karena adanya peningkatan kualitas lingkungan.

Uji Validitas

Uji validitas akan menguji masing-masing variabel yang digunakan dalam penelitian ini, dimana keseluruhan variabel penelitian memuat 8 pernyataan yang harus dijawab oleh

responden. Adapun kriteria yang digunakan dalam menentukan valid tidaknya pernyataan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: tingkat kepercayaan = 95 persen (α = 5 persen), didapat r tabel = 0,198. Jika r hitung (untuk tiap butir dapat dilihat pada kolom Corrected Item –Total Correlation) lebih besar dari r tabel dan nilai r positif, maka butir pernyataan dikatakan valid (Ghozali, 2005).

Tabel 5. Hasil Analisis Uji Validitas

Butir Soal Koefisien Korelasi (r) Keterangan 1 0,490683 Valid

2 0,500150 Valid

3 0,645027 Valid 4 0,582406 Valid

5 0,689493 Valid

6 0,532634 Valid

7 0,684903 Valid

8 0,684894 Valid Sumber : Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2014

Pada Tabel 5 diperoleh bahwa

semua indikator yang digunakan untuk mengukur variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini

mempunyai koefisien korelasi yang lebih besar dari r tabel = 0,213 (nilai r tabel untuk n = 8), sehingga semua indikator tersebut adalah valid.

Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan alat pengukuran konstruk atau variabel. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika

jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2001). Uji reliabilitas adalah tingkat kestabilan suatu alat pengukur dalam mengukur suatu gejala/kejadian.

Page 95: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

293

Semakin tinggi reliabilitas suatu alat pengukur, semakin stabil pula alat pengukur tersebut. Menurut Nunnaly (1967) dalam Ghozali (2001), suatu konstruk dikatakan reliable jika

memberikan nilai Cronbach Alpha > 0,05. Adapun hasil perhitungan koefisien reliabilitas untuk masing-masing variabel (Lampiran 3 Tabel 6, 7 dan 8) diberikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Analisis Uji Reliabilitas

Variabel Soal

Kuesioner Cronbach

A lpha Batasan 𝜶 = 0,05

Reliabilitas

Meningkatkan akses masyarakat pada lingkungan permukiman

1, 2 0,454 0,213 Reliabel

Meningkatkan kenyamanan masyarakat pada lingkungan permukiman

3, 4, 5 0,323 0,213 Reliabel

Meningkatkan kualitas infrastruktur di lingkungan permukiman

6, 7, 8 0,477 0,213 Reliabel

Sumber : Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2014

Pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa semua variabel mempunyai Cronbach Alpha yang cukup besar yaitu di atas 0,05 sehingga dapat dikatakan semua konsep pengukur masing-masing variabel dari kuesioner adalah reliabel sehingga untuk selanjutnya item-item pada masing-masing konsep variabel tersebut layak digunakan sebagai alat ukur.

Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah populasi data

berdistribusi normal. Menurut Sarjono & Julianita (2011), dalam uji normalitas bahwa jika peneliti memiliki responden diatas > 50, maka Sig. Kolmogorov-Smirnov yang dibandingkan dengan Aplha (α ), sedangkan jika peneliti memiliki responden dibawah < 50, maka Sig. Shapiro-Wilk yang dibandingkan dengan Aplha untuk menguji normalitas dari data yang diperoleh peneliti. Dasar pengambilan keputusan pada uji normalitas ini adalah sebagai berikut :

Page 96: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

294

a. Jika angka signifikansi Uji Kolmogrov-Smirnov Sig ≥ 0,05 maka data berdistribusi normal

b. Jika angka signifikansi Uji Kolmogrov-Smirnov Sig <

0,05 maka data berdistribusi tidak normal

Dengan menggunakan bantuan program SPSS diperoleh hasil uji normalitas yang terdapat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Akses Kenyamanan Infrastruktu

r N 85 85 85 Normal Parametersa Mean 8.8824 12.1647 12.3412

Std. Deviation 1.08465 1.74470 1.70819 Most Extreme Differences

Absolute .249 .239 .162 Positive .192 .149 .132 Negative -.249 -.239 -.162

Kolmogorov-Smirnov Z 2.292 2.202 1.494 Asymp. Sig. (2-tailed) .509 .604 .677 a. Test distribution is Normal.

Sumber : Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2014

Pada Tabel 7 dapat diambil keputusan dengan membandingkan besar nilai Asymp.Sig. (2-tailed) dengan alpha (α ) sebagai berikut: a. Terlihat bahwa pada kolom

signifikan (Asymp. Sig (2-tailed)) adalah 0,509 atau probabilitas < 0,05 maka Ho diterima yang berarti populasi berdistribusi normal.

b. Terlihat bahwa pada kolom signifikan (Asymp. Sig (2-tailed)) adalah 0,604 atau probabilitas < 0,05 maka Ho diterima yang

berarti populasi berdistribusi normal.

c. Terlihat bahwa pada kolom signifikan (Asymp. Sig (2-tailed)) adalah 0,677 atau probabilitas < 0,05 maka Ho diterima yang berarti populasi berdistribusi normal.

Pengukuran Tingkat Kepuasan Masyarakat Terhadap Pening-katan Kualitas Lingkungan Permukiman

Dari hasil analisis jawaban kuesioner diatas maka digunakan

Page 97: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

295

skala likert yang gunanya untuk mengukur persepsi seseorang tentang fenomena sosial yang berkembang dalam hal ini mengukur kualitas lingkungan permukiman. Setiap jawaban dari responden dikalikan

dengan skor nya masing-masing, maka didapatlah jumlah dari perhitungan skoring. Dari semua jawaban responden untuk mengukur kualitas lingkungan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Tabel Skoring Jawaban Responden Untuk Pengukuran Persepsi Masyarakat Terhadap Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman

No.

Pertanyaan 1

STP 2

TP 4 P

5 SP

Jumlah Respond

en 1. Pertanyaan 1 - - 34 51 85

2. Pertanyaan 2 - 1 33 51 85

3. Pertanyaan 3 1 2 56 26 85

4. Pertanyaan 4 - 1 48 36 85 5. Pertanyaan 5 3 13 46 23 85

6. Pertanyaan 6 - 3 46 36 85

7. Pertanyaan 7 2 - 54 29 85

8. Pertanyaan 8 1 9 45 30 85

Total 7 29 362 282 Sumber : Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2014

Tingkat kepuasan masyarakat

terhadap peningkatan kualitas lingkungan permukiman yang dihasilkan dari implementasi kegiatan program PLPBK, diketahui melalui

jawaban responden pada kuesioner yang selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mendapatkan presentase tingkat kepuasan masyarakat sebagai berikut:

%100IdealSkor

Didapat YangKelompok Skor MasyarakatKepuasan % ×=

= %1005885

5) (282 4) (362 3) (0 2) (29 1) (7×

×××+×+×+×+×

Page 98: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

296

= %10034002923

×

= 85,97%

Berdasarkan hasil perhitungan di atas didapatlah nilai 85,97%, dimana nilai tersebut masuk dalam skala 5 (80% - 100%) dengan kategori sangat baik. Selain dari pada itu, dilihat dari indikator capian yang diharapkan dari Program PLPBK pemanfaat puas dengan peningkatan kualitas lingkungan permukiman lebih dari 80%, maka dapat disimpulkan bahwa program PLPBK di Kelurahan Pipareja dinilai sangat baik atau efektiv dalam mewujudkan perbaikan kualitas lingkungan permukiman sesuai dengan standard yang telah ditetapkan.

Hasil pembangunan yang telah dilaksanakan pada kawasan prioritas program PLPBK menurut tingkat kepuasan masyarakat sangat memuaskan. Hal ini tergambar dari tingkat kepuasan masyarakat yang masuk pada katagori sangat baik. Masyarakat menilai dengan ada perbaikan lingkungan permukiman mereka diantaranya peningkatan akses, peningkatan kenyamanan dan peningkatan kualitas infrastruktur berdampak pada peningkatan penghidupan berlingkungan di tempat mereka bermukim. Adanya perubahan tata bangunan dan infrastruktur di lingkungan permukiman ini, juga berdampak pada perubahan perilaku

secara sosial dan ekonomi kemasyarakatan.

Penutup

Dari 85 responden masyarakat di lokasi prioritas, 85,97% menyatakan puas dengan peningkatan kualitas lingkungan permukiman di Kelurahan Pipareja berdasarkan indikator capaian yang diharapkan dari Program PLPBK di mana pemanfaat puas dengan peningkatan kualitas lingkungan permukiman yaitu lebih dari 80%.

Dengan adanya program PLPBK di kawasan prioritas masyarakat dapat merubah perilaku keseharian terhadap lingkungan permukiman yaitu lebih peduli pada kebersihan, kegiatan gotong royong, serta peka terhadap lingkungan permukiman dengan berinisiatif membuat aturan bersama yang disepakati bersama dan dijalankan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama.

Daftar Pustaka

Anonim. 2012. Pedoman Teknis Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) PNPM

Page 99: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

297

Mandiri Perkotaan. Kementerian Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Ciptakarya.

Anonim. 2012. Petunjuk Teknis Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) PNPM Mandiri Perkotaan. Kementerian Pekerjaan umum. Direktorat Jenderal Ciptakarya.

Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Duenas, Stefanie and Emiel Wegelin. 2011. Bridging the Urban Infrastructure Project Preparation Gap in Asia: The Cities Development Initiative for Asia – Its Rationale and Initial Operational Experience. Environment and Urbanization Asia. Sagepub journals.

Dobbs, R. & Shanke, S. 2010. Comparing urbanization in China and India – Juli 2010. Retrieved online from http://www.mckinseyquaterly.com/Economic _Studies/Country_Reports/Comparing_urbanization_in_China_and_India_2641.

Johnson, D.L., S.H. Ambrose, T.J. Bassett, M.L. Bowen, D.E. Crummey, J.S. Isaacson, D.N. Johnson, P. Lamb, M. Saul, and A.E. Winter-Nelson (1997). “Meanings of

environmental terms” dalam Journal of Environmental Quality; 26; 581–89. doi:10.2134/jeq1997.00472425002600030002x.

Muta’ali, L., 2011. Daya Dukung Lingkungan Untuk Perencanaan Pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFG) Universitas Gadjah Mada.

Slamet, Y., 1994. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Soemarwoto, O., 2005. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sriati. 2005. Modul Kuliah Sosiologi Lingkungan. Palembang. Sriwijaya University.

Sugiono. 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Page 100: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. I, No. 4, Sept. 2015

Panduan Penulisan Bagi Kontributor

Jurnal ETNOHISTORI adalah publikasi ilmiah yang diterbitkan dengan tujuan turut serta mengembangkan ilmu Antropologi dan ilmu Sejarah di Indonesia. Karena itu, Redaksi Jurnal ETNOHISTORI menerima karangan dalam kedua ranah disiplin ilmu tersebut. Karangan dapat bersifat ulasan teoritis, refleksi metode, ataupun hasil penelitian lapangan.

Kriteria Artikel/Karangan. Ada tiga kriteria artikel atau karangan yang dimuat dalam jurnal ini. Pertama, artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif berkaitan dengan aspek kehidupan tertentu pada suatu kelompok sosial di Indonesia. Kedua, hasil penelitian yang dilakukan pengarang bersama-sama dengan institusi lainnya. Kategori ini sering juga disebut sebagai penelitian kolaboratif, penelitian terapan. Biasanya terkait dengan penelitian dalam rangka menyusun, merumuskan, memantau, atau mengevaluasi suatu kebijakan pembangunan. Termasuk dalam kategori ini adalah program-program intervensi berkaitan dengan relasi antara kebudayaan, sejarah, politik, lingkungan, dan pembangunan. Ketiga, diskusi mengenai teori atau metodologi dalam ilmu Antropologi dan ilmu Sejarah.

Ketentuan Naskah. Naskah yang dikirimkan ke Redaksi ditulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu, naskah dapat juga ditulis dalam Bahasa Inggris. Naskah diketik dalam format MS. Word; spasi 1,5; ukuran kerats A4; margin 2,5 cm dan 2 cm masing-masing pada bagian

tepi atas-bawah dan kiri-kanan. Panjang artikel maksimal 5000 kata. Abstrak ditulis dalam kedua bahasa: Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, dengan panjang maksimal 250 kata. Abstrak disertai kata kunci minimal 3 kata kunci dan maksimal 6 kata kunci.

Sistematika Penulisan Karang-an/Artikel. Sistematika artikel ditulis tidak menyerupai ringkasan tesis/diserta-si/laporan penelitian. Artikel ditulis tanpa nomor atau abjad dengan sistematika seperti berikut ini.

- Judul Artikel - Nama Penulis - Lembaga Afiliasi Penulis - Abstrak (Bahasa Indonesia) - Abstract (Bahasa Inggris) - Pendahuluan. Bagian ini

mencakup uraian latar belakang dan permasalahan yang dikaji. Referensi yang menunjang kajian dapat ditampilkan pada bagian ini.

- Pembahasan/ulasan. Bagian ini merupakan uraian teoritis atau hasil penelitian yang dikemukakan penulis. Subjudul dan anak subjudul dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan gagasan pokok penulisnya.

- Penutup. Bagian ini mencakup kesimpulan dan saran atau rekomendasi penulis berkaitan dengan topik diskusi atau ulasan dalam artikel.

- Daftar Pustaka. Catatan Kaki. Catatan kaki agar

ditulis di bagian bawah halaman (footnote), bukan pada bagian belakang

Page 101: Antropology Etnohistori  Journal v1 e4 2015

Jurnal ETNOHISTORI, Vol. I, No. 4, Sept. 2015

(endnote) artikel. Catatan kaki ditulis dengan format angka (1, 2, 3, dst) secara berurutan.

Ucapan Terima Kasih. Penulis dapat menyampaikan ucapan terima kasih kepada individu, lembaga, dll yang dalam kapasitasnya masing-masing dipandang memiliki kontribusi bagi lahirnya karangan atau penelitian penulis. Ucapan terima kasih ditulis sebagai bagian dari catatan kaki.

Biografi Singkat penulis dicantumkan pada bagian akhir artikel.

Daftar Pustaka ditulis dengan ketentuan sebagai berikut. Referensi ditulis dengan APA Sty le dan diurutkan secara alfabetis. Semua sumber kutipan yang terdapat di dalam teks harus dimasukkan ke dalam Daftar Pustaka. Sebaliknya, pustaka yang tidak dikutip di dalam teks tidak perlu dimasukkan ke dalam Daftar Pustaka.

Contoh penulisan Daftar Pustaka dapat dilihat seperti berikut ini.

Bourdieu, P. 1984. Distinction: A Social

Critique of the Judgement of Taste. London and New York: Routlegde.

Frost, Nicola. 2004. “Adat di Maluku: Nilai Baru atau Eksklusivisme Lama?”, Antropologi Indonesia XXVIII (74):1-11.

Winarto, Y.T dan Choesin, E.M. 2001. “Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial: Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan.” Antropologi Indonesia XXV (64): 91-106.

Wiadnya, D.G.R., Djohani, R., Erdmann, M.V., Halim, A., Knight. M., Mous, P.J., Pet, J., dan Pet-Soede, L. 2003.

‘Kajian Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Indonesia: Menuju Pembentukan Kawasan Perlindungan laut,’ dalam Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut 2003,Wiadnya, J., dkk (eds.). Jakarta: PURSRIPT-BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Ibrahim, Gufran A. 2014. Narasi Upin-Ipin dan Jejaring Persona Melayu Nusantara. Makalah disampaikan pada Seminar dan Dialog Internasional Kemelayuan di Indonesia Timur II’ yang diselenggarakan Divisi Kajian Melayu Pusat Penelitian dan Pengembangan Dinamika Masyarakat, Budaya, dan Humaniora Universitas Hasanuddin, Makassar 26 – 27 November 2014.