anti biotik
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Penemuan antibiotika terjadi secara tidak sengaja ketika Alexander Fleming, pada
tahun 1928, lupa membersihkan sediaan bakteri pada cawan petri dan meninggalkannya
di rak cuci sepanjang akhir pekan. Pada hari Senin, ketika cawan petri tersebut akan
dibersihkan, ia melihat sebagian kapang telah tumbuh di media dan bagian di sekitar
kapang 'bersih' dari bakteri yang sebelumnya memenuhi media. Karena tertarik dengan
kenyataan ini, ia melakukan penelitian lebih lanjut terhadap kapang tersebut, yang
ternyata adalah Penicillium chrysogenum syn. P. notatum (kapang berwarna biru muda
ini mudah ditemukan pada roti yang dibiarkan lembab beberapa hari). Ia lalu mendapat
hasil positif dalam pengujian pengaruh ekstrak kapang itu terhadap bakteri koleksinya.
Dari ekstrak itu ia diakui menemukan antibiotik alami pertama: penicillin G.
Penemuan efek antibakteri dari Penicillium sebelumnya sudah diketahui oleh
peneliti-peneliti dari Institut Pasteur di Perancis pada akhir abad ke-19 namun hasilnya
tidak diakui oleh lembaganya sendiri dan tidak dipublikasi.
Sampai saat ini penelitian mengenai antibiotic masih tetap menarik karena selain
pemakaiannya yang cukup luas dalam dunia pengobatan juga karena adanya
kemungkinan suatu mikroorganisme menjadi resisten/kebal terhadap suatu jenis
antibiotik.
Berbagai usaha terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
antibiotik meliputi optimasi komposisi kandungan medium, kondisi fermentasi, dan
pencarian mikroorganisme penghasil yang baru. Salah satu cara untuk mendapatkan
mikroorganisme baru adalah fusi frotoplas yang diperkenalkan oleh Hopwood pada tahun
1977.
Perbandingan proses fermentasi antibiotic Streptomyches sp. S-34 dengan duaa
rekombianannya hasil fusi dengan Pseudemonas fluorescens yanf disebut HFSP – I dan
HFSP – 2 yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa proses biosintesis
antibiotic oleh ketiga mikroorganisme tersebut secara umum adalah sama. Kandungan
medium berupa nitrogen dan berbagai kadar glukosa berpengaruh untuk mempercepat
pembentukan dan jumlah antibiotic yang dihasilkan.
Dinegara yang beriklim tropis seperti Indonesia, penyakit yang disebabkan oleh
infeksi mikroorganisme merupakan kasus yang banyak sekali terjadi. Oleh sebab itu
penggunaan obat semacam antibiotic menduduki persentase yang tinggi dalam pemakian
obat obatan. Selain digunakan untuk pengobatan, antibiotic juga digunakan untuk
peternakan, pertanian dan hal hal lain terutama yang berhubungan dengan ilmu Biologi.
Melihat kenyataan ini dan mengingat adanya kemungkinan mikroorganisme lama
kelamaan akan resiten/kebal terhadap antibiotic tertentu, maka penelitian untuk
peningkatan dan pengembangan antibiotic sampai saat ini masih tetap menarik.
Dari sekitar 3000 jenis antibiotic yang dikenal, kurang lebih 70% dihasilkan oleh
actinomycetes, terutama oelh genus Streptomyces, 20% dihasilkan oleh jamur dan 10%
dihasilkan oleh bakteri. Selain dipengaruhi oleh factor genetic dari mikroorganisme
produksi antibiotic juga dipengaruhi oleh kondisi fermentasi seperti :pH awal medium,
temperature fermentasi, aerasi, pemilihan biakan, dan yang terpenting komposisi nutrient
dalam medium untuk pertumbuhan sel dan untuk produksi antibiotic.
Berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas antibiotic terus
dilakukan, mulai dari optimasi komposisi nutrient dalam medium dan kondisi fermentasi
mikroorganisme penghasil antibiotic tertentu sampai pada mencari mikroorganisme baru
penghasil antibiotic.
Pencarian mikroorganisme baru penghasil antibiotic meliputi isolasi
mikroorganisme baik dari udara maupun tanah dan manipulasi/ mutasi genetic
mikroorganisme penghasil antibiotic yang sudah ada. Cara mutasi factor genetic meliputi
oleh zat zat mutagen tertentu dan mutasi oleh radiasi sinar tertentu seperti sinar ultra
violet (UV), sinar-X, partikel- , sinar , neutron berkecepatan tinggi dan lain lain
(Flash,1975). Termasuk kedalam cara mutasi ini adalah fusi protoplas yang baru
dikembangkan pada tahun 1977 oleh Hopwood (Hopwood,1977)
Dengan penelitian ini diharapkan potensi dan tingkat kemampuan produksi
antibiotic masing masing mikroorganisme asal dan hasil fusi protoplas dapat
dibandingkan, sehingga keuntungan dan kelebihan metoda fusi protoplas dapat
ditunjukkan. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan
pengetahuan mengenal produksi antibiotic dari mikroorganisme dan dapat menambah
penbendaharaan antibiotic yang bermanfaat.
I.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah pengaruh medium terhadap mikroorganisme yang akan
dikembangakan dan kedua rekombinannya.terhadap jalannya fermentasi ?
2. Bagaimanakah pengaruh kadar glukosa terhadap mikroorganisme yang akan
dikembangkan dan kedua rekombiinannya terhadap jalannya fermentasi ?
3. Bagaimakah perbandingan hasil antibiotic anatara mikroorganisme
Streptomyces sp.S-34 dengan kedua rekombinannya ?
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan proses dan hasil
fermentasi oleh Streptomyces sp. S-34 sebagai mikroorganisme parental dengan
fermentasi oleh dua jenis nikroorganisme rekombinannya, HFSP-1 dan HFSP-2, pada
berbagai jenis dan komposisi medium fermentasi
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat menghasilkan antibiotic yang memiliki
kualitas dan kuantitas yang bagus. Serta dapat meningkatkan potensi kemampuan
produksi antibiotic masing masing mikroorganisme asal dan hasil fusi protoplas dapat
dibandingkan, sehingga keuntungan dan kelebihan metoda fusi protoplas dapat
ditunjukkan. Selain itu, dapat menunjang pengembangan pengetahuan mengenai produksi
antibiotic dari mikroorganisme dan dapat menambah penbendaharaan antibiotic yang
bermanfaat. Antibiotik yang saat ini penggunaanya sudah meluas tidak saja dalam dunia
pengobatan, tetapi juga untuk peternakan dan pengawetan makanan, merupakan hasil
metabolisme sekunder pada beberapa makhluk hidup tersebut.
BAB II
KONSEP TEORI
II.1. Substrat
Substrat merupakan media pertumbuhan dan pembentukan produk yang sanagt
dibuthkan oleh mikroorganisme. Substart yang dipilih utnuk peneiltian ini adalah
glukosa. Glukosa merupakan gula monosakarida, adalah salah satu karbohidrat terpenting
yang digunakan sebagai sumber tenaga bagi hewan dan tumbuhan. Glukosa merupakan
salah satu hasil utama fotosintesis dan awal bagi respirasi
Berdasarkan bentuknya, molekul glukosa dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu
molekul D-Glukosa dan L-Glukosa. Faktor yang menjadi penentu dari bentuk glukosa ini
adalah posisi gugus hidrogen (-H) dan alkohol (–OH) dalam struktur molekulnya.
Glukosa yang berada dalam bentuk molekul D & L-Glukosa dapat dimanfaatkan oleh
sistim tumbuh-tumbuhan, sedangkan sistimtubuh manusia hanya dapat memanfaatkan D
Glukosa.
Glukosa terdapat dalam dua enantiomer (isomer cermin), D-glukosa dan L-
glukosa, tapi pada organisme, yang ditemukan hanya isomer D-isomer. Suatu karbohidrat
berbentuk D atau L berkaitan dengan konformasi isomerik pada karbon 5. Jika berada di
kanan proyeksi Fischer, maka bentuk cincinnya adalah enantiomer D, kalau ke kiri, maka
menjadi enantiomer L. Sangat mudah diingat, merujuk pada D untuk "dextro”, yang
merupakan akar bahasa Latin untuk "right" (kanan), sedangkan L untuk "levo" yang
merupakan akar kata "left" (kiri). Struktur cincinnya sendiri dapat terbentuk melalui dua
cara yang berbeda, yang menghasilkan glukosa-α (alfa) jeungt β (beta). Secara struktur,
glukosa-α jeung -β berbeda pada gugus hidroksil yang terikat pada karbon pertama pada
cincinnya. Bentuk α memiliki gugus hidroksil "di bawah" hidrogennya (sebagaimana
molekul ini biasa digambarkan, seperti terlihat pada gambar di atas), sedangkan bentuk β
gugus hidroksilnya berada "di atas" hidrogennya. Dua bentuk ini terbentuk bergantian
sepanjang waktu dalam larutan air, hingga mencapai nisbah stabil α:β 36:64, dalam
proses yang disebut mutarotasi yang dapat dipercepat.
. Glukosa (C6H12O6, berat molekul 180.18) adalah heksosa – monosakarida yang
mengandung enam atom karbon. Glukosa merupakan aldehida (mengandung gugus -
CHO). Lima karbon dan satu oksigennya membentuk cincin yang disebut "cincin
piranosa", bentuk paling stabil untuk aldosa berkabon enam. Dalam cincin ini, tiap
karbon terikat pada gugus samping hidroksil dan hidrogen kecuali atom kelimanya, yang
terikat pada atom karbon keenam di luar cincin, membentuk suatu gugus CH2OH.
Struktur cincin ini berada dalam kesetimbangan dengan bentuk yang lebih reaktif, yang
proporsinya 0.0026% pada pH 7.
Metabolisme Glukosa. Glukosa mengalami metabolisme proses glikolisis. Tahap
awal metabolisme konversi glukosa menjadi energi di dalam tubuh akan berlangsung
secara anaerobik melalui proses yang dinamakan Glikolisis (Glycolysis). Proses ini
berlangsung dengan mengunakan bantuan 10 jenis enzim yang berfungsi sebagai katalis
di dalam sitoplasma (cytoplasm) yang terdapat pada sel eukaryotik (eukaryotic cells). Inti
dari keseluruhan proses Glikolisis adalah untuk mengkonversi glukosa menjadi produk
akhir berupa piruvat.
Pada proses Glikolisis, 1 molekul glukosa yang memiliki 6 atom karbon pada
rantainya (C6H12O6) akan terpecah menjadi produk akhir berupa 2 molekul piruvat
(pyruvate) yang memiliki 3 atom karbom (C6H12O6).
Proses ini berjalan melalui beberapa tahapan reaksi yang disertai dengan
terbentuknya beberapa senyawa antara seperti Glukosa 6-fosfat dan Fruktosa 6-fosfat.
Selain akan menghasilkan produk akhir berupa molekul piruvat, proses glikolisis ini juga
akan menghasilkan molekul ATP serta molekul NADH (1 NADH3 ATP). Molekul ATP
yang terbentuk ini kemudian akan diekstrak oleh sel-sel tubuh sebagai komponen dasar
sumber energi. Melalui proses glikolisis ini 4 buah molekul ATP & 2 buah molekul
NADH (6 ATP) akan dihasilkan serta pada awal tahapan prosesnya akan mengkonsumsi
2 buah molekul ATP sehingga total 8 buah ATP akan dapat terbentuk.
Proses mtabolisme glukosa, proses respirasi.Tahap metabolisme energi berikutnya
akan berlangsung pada kondisi aerobik dengan mengunakan bantuan oksigen (O2). Bila
oksigen tidak tersedia maka molekul piruvat hasil proses glikolisis akan terkonversi
menjadi asam laktat. Dalam kondisi aerobik, piruvat hasil proses glikolisis akan
teroksidasi menjadi produk akhir berupa H2O dan CO2 di dalam tahapan proses yang
dinamakan respirasi selular (Cellular respiration).
Proses respirasi selular ini terbagi menjadi 3 tahap utama yaitu produksi Acetyl-
CoA, proses oksidasi Acetyl-CoA dalam siklus asam sitrat (Citric-Acid Cycle) serta Rantai
Transpor Elektron (Electron Transfer Chain/Oxidative Phosphorylation). Tahap kedua
dari proses respirasi selular yaitu Siklus Asam Sitrat merupakan pusat bagi seluruh
aktivitas metabolisme tubuh. Siklus ini tidak hanya digunakan untuk memproses
karbohidrat namun juga digunakan untuk memproses molekul lain seperti protein dan
juga lemak
II.2. Mikroorganisme
Mikroorganisme yang dipakai pada percobaan ini adalah Streptomyces sp.S-34.
Streptomyces sp. S-34 tidak berfragmen. Antena miselium monopodially membentuk
cabang spora bantalan hyhae dengan bentuk kait, loop, buka atau kompak spiral.
Streptomyces sp. S-34 membentuk koloni berbeda dalam bentuk bulat atau ellipsoidal
dengan permukaan mulus dan pinggiran bergelombang. Koloni benar benar tertutup
mycelium atau membentuk garis radial konsentris. Biasanya jenis dominannya bulat,
benar benar tertutup oleh mycelium udara abu abu pucat dengan sedikit tepi
bergelombang. Streptomyces sp. 34 dapat tumbuh di semua media.. Kelimpahan dan
warna miselium antena tergantung pada media komposisi massa udara. Warna bervariasi
dari putih dan pucat blue biru nuansa yang berbeda abu-abu (dari pucat abu-abu ke hijau-
abu-abu).
Warna miselium substrat bervariasi dari pucat abu-abu ke abu-abu gelap
tergantung pada komposisi medium dan usia Hal ini dapat diterima sebagai tidak berbeda
menurut Nonomura. Perubahan pH tidak mempengaruhi warna.
Di sebagian besar media yang digunakan Streptomyces sp. S-34 menghasilkan
pigmen yang larut warna bervariasi dari krem-zaitun (mineral medium, ISP-3 and ISP-5
media), ISP-3 dan ISP-5 media) untuk coklat gelap (ISP-2 media).
Karakteristik Streptomyces sp. S-34
Medium PertumbuhanUsia
(Hari)
Warna Udara
Miselium
Warna Udara
Substrat
Warna larut
Pigmen
ISP-2 Melimpah
7 Putih, abu abu Hijau Cokelat Hijau Cokelat
14 Putih, tikus abu Abu abu gelap Cokelat
21 Tikus abu Cokelat kuning Cokelat
ISP-3 Melimpah
7 Biru Abu abu gelap --
14 Biru Abu abu gelap Krem-zaitun
21 Hijau-abu Abu abu gelap Krem-zaitun
ISP-4 Melimpah
7 Putih-biru Abu abu --
14 Putih Abu abu gelap --
21 Tikus-abu Pucat kelabu --
ISP-5 Moderat
7 Abu abu violet Abu abu gelap --
14 Abu abu violet Abu abu gelap Krem zaitun
21 Abu violet Abu Violet Krem zaitun
Streptomyces sp. S – 34 menunjukkan kesamaan untuk S. chromofuscus dalam morfologi
dari sporophores (spiral), dari segi ornamen dan pada permukaan berupa spora berduri,
warna abu abu, warna mycelium substrat tanpa warna khas, warna beige-zaitun untuk
kuning pigmen. Dan dengan tidak adanya produksi Lanin pada medium ISP-7. Pada
Streptomyces sp. S – 34 berbeda dengan S. Chromofuscus dari segi pemanfaatan karbon.
Kepekaan Streptomyces sp. S – 34 pada antibiotik berbeda
Antibiotik Zona Steril (mm)
Tetraciclin 22
Streptomisin --
Gentamycin 12
Erythromycin 21
Ampicillin --
Penisilin --
Kloramfenikol --
Pemanfaatan dari Streptomyces sp. S – 34 saat ini sangat banyak dari bidang
pengobatan, peternakan, pertanian dan lain lain. Pada bidang pengobatan Streptomyces
sp. S-34 digunakan sebagai antibiotik, vitamin, enzim dan lain lain. Sedangkan pada
bidang peternakan digunakan sebagai pakan ternak yang memiliki nilai protein yang
besar sehingga bagus untuk ternak. Untuk bidang pertanian, Streptomyces sp. S – 34
berguna untuk menyuburkan tanah.
II.3. Proses Fermentasi
Selain aktivitas faktor genetik mikroorganisme yang digunakan, kecepatan proses
fermentasi sangat bergantung pada jenis dan konsentrasi substrat/ medium serta kondisi
proses fermentasi. Komposisi medium merupakan hal yang sangat penting karena akan
mempengaruhi hasil metabolisme mikroorganisme. Media merupakan sumber nutrisi
untuk pertumbuhan, sumber energi, pembentukan zat tertentu, dan pembentukan sel.
Senyawa yang harus ada dalam medium adalah sumber karbon dan sumber nitrogen.
Selain sumber karbon dan nitrogen medium ini juga harus megandung garam anorganik,
air, vitamin, dan oksigen terlarut. Kondisi fermentasi meliputi :
a. pH
pH medium akan berpengaruh pada proses pembentukan dan kestabilan antibiotik
yang dihasilkan. Walaupun belum jelas mekanismenya, pada umumnya antibiotik
akan terbentuk pada pH antara 7 dan 8. Sedangkan pada pH yang lebih tinggi dari
harga tersebut, potensi antibiotik yang ada menjadi lebih rendah. Hal ini disebabkan
oelh karena sebagian antibiotik yang sudah terbentuk terurai kembali, karena
terhidrolisis dalam suasana basa. Untuk mengatasi hal ini, biasanya pada medium
ditambahkan CaCO3, yaitu salah satu zat yang dapat mempertahankan kestabilan pH
pada daerah netral samapai sedikit basa. Sedangkan pada pH yang lebih rendah dari
pH yang telah ditetapkan maka pH proses menjadi asam, maka untuk meningkatkan
pH cairan dilakukan dengan penambahan basa sehingga pH cairan sesuai dengan pH
yang telah ditetapkan. Senyawa basa yang ditambahkan dalam proses fermentasi,
biasanya dengan larutan NaOH dengan konsentrasi NaOH 4N.
b. Suhu
Suhu mempengaruhi laju reaksi, namun bila terlalu tinggi untuk pertumbuhan
mikroorganisme maka dapat menyebabkan matinya atau rusaknya mikroorganisme
yang akan difermentasi. Sehingga akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme
tersebut. Bila suhu terlalu rendah akan nmengakibatkan aktivitas mikroorganisme
terhamabt. Oleh karena itu, untuk mengoptimalisasi pertumbuhan mikroorganisme
harus dilkakukan proses pada kondisi suhu optimum. Suhu yang optimum untuk
proses fermentasi ini adalah berkisar antara 30 – 35 0C. Pengendalian suhu dalam
proses fermentasi dapat dilakukan dengan pengaturan suhu fermentasi dilakukan
dengan mengukur selisih suhu cairan didalam sistem fermentasi dengan suhu
lingkungan.
c. Aerasi dan Agitasi
Aerasi merupakan pemasokan oksigen dalam media cait yang dapat dilakukan dengan
jalan mengalirkan oksigen. Tujuan dari pemasokan oksigen adalah untuk mencegah
terjadinya defisit oksigen selama fermentasi berlangsung.. Agitasi merupakan
penyeragaman distribusi oksigen bebas didalam media cair dilakuakan dengan jalan
pengadukan. Perpindahan oksisgen yang terjadi dalam sistem fermentasi bawah
permukaan melalui beberapa tahap yaitu fasa gas ke fasa cairdan selanjutnya ke sel
mikroorganisme yang terdapat dalam media cair fermentasi. Aerasi dan agitasi sangat
berguna untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dan mencegah terjadi
akumulasi asam laktat pada medium fermentasi.
Fermentor atau bioreaktor yang digunakan pada penelitian ini adalah Fermentor
Batch(Curah), yang mana proses fermentasi berlangsung secara tertutup tanpa ada
penambahan umpan atau nutrien ke dalam media fermentasi, produk yang dihasilkan
diambil setelah proses fermentasi berakhir.Ukuran fermentor untuk penelitian ini adalah
10 – 500 liter, karena hanya untuk skala penelitian, sedangkan jika untuk skala iondustri
berukuran 500 – 400.000 liter.Fungsi dasar Suatu tempat yang menyediakan lingkungan
yang tepat dan dapat dipantau untuk pertumbuhan dan aktivitas mikrobia atau kultur
campuran tertentu untuk menghasilkan produk yang diinginkan
Fermentor berfungsi menyediakan lingkungan bagi pertumbuhan organisme atau
sel di bawah kondisi terkontrol. Dalam industri fermentasi, fermentor harus
memungkinkan pertumbuhan dan biosintesis paling baik bagi biakan mikroba (yang
bermanfaat bagi industri) dan memberikan kemudahan untuk manipulasi semua operasi
yang berhubungan dengan penggunaan fermentor.
Fermentor harus dilengkapi pengontrol dan pengatur kondisi fermentasi misalnya
kontrol temperatur dengan mengatur pemanas atau pendingin, kontrol pH dengan
menambah asam atau alkali, kontrol agitasi dengan mengatur kecepatan stirrer dan
ukuran impeller, kontrol aerasi dengan mengatur aliran gas dan kecepatan stirrer dan
sebagainya.
BAB III
METODE PENELITIAN
Bahan bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah :
1. Medium Cair Kentang Glukosa, terdiri dari 200 gram kentang segar, 20 gram
glukosa, dan 1000 ml air.
2. Medium Mc Daniel, terdiri dari 25 gram glukosa, ekstrak susu, 40 gram tepung
kacang kedelai, ekstrak ragi 5 gram, 2,5 gram NaCl dan 1000 ml air.
3. Medium Sintetik Lumb, dengan komposisi sebagi berikut, glukosa, MgSO4,
7H2O, Na-sitrat, glisin, NaCl, CaCl2, 6H2O, KH2PO4, FeSO4, CuSO4, ZnSO4,
Mo(Na-molibdat)
4. Medium Nutrien Broth, terdiri dari 1 gram Beef ekstrak, 2 gram ekstrak ragi, 5
gram pepton, 5 gram NaCl dan 1000 ml air.
5. Medium Tauge Agar, terdiri dari 100 gram tauge, 60 gram dekstosa, 17 gram
agar, dan 1000 ml air.
Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah ketiga jenis mikroorganisme,
yaitu Streptomyces sp. S – 34 , HFSP-1dan HFSP-2 mula mula dibiakkan pada agar
miring PDA dengan menggunakan alat Ose secara aseptis. Biakan ini digunakan sebagai
sediaan.
Inokulasi dilakukan pada berbagai medium yang dipakai untuk fermentasi dengan
cara memasukkan ± 5 ml medium cair yang steril ke dalam sediaan biakan tersebut,
kemudian dikocok hingga diperoleh suspensi yang homogen. Suspensi ini dimasukkan ke
dalam 50 ml medium dalam labu erlemenyer 250 ml. Kocok di atasa alat pengocok
selama satu atau dua malam.
Fermentasi dilakukan dengan cara yang sama, hanya dilakukan dalam labu 500 ml
dengan 200 ml medium dan biakan diambil dari medium inokulasi. Pengocokan
dilakukan terus menerus selama 10 x 24 jam dengan kecepatan 90 rpm.
Pengamatan kurva tumbuh dan jumlah sel dinyatakan dengan kerapatan optik
yang diukur dengan Spectronic – 20 pada panjang gelombang 610 nm. Penguikuran
dilakukan setiap 4 jam sekali pada 32 jam pertama dan kemudian 24 jam sekali sampai
hari ke-10.
Potensial antibiotik dan pH medium diamati setiap 24 jam sekali selama 10 hari.
Potensi antibiotik ditentukan dnegan metode difusi agar menggunakan kertas cakram dan
diujikan pada Bacillus cereus.
Sama halnya dengan penentuan potensi antibiotik dan pH medium, penentuan
kadar gula pereduksi ini juga dilakukan setiap 24 jam selama 10 hari pada sentrat
medium. Dalam penelitian ini, kadar gula pereduksi ditentukan dengan metode Somogyi-
Nelson.
Selama fermentasi diperlukan tempat yang berisi media bernutrisi untuk
pertumbuhan mikroorganisme, sehingga organisme tersebut dapat berkembang dan
menghasilkan produk yang diinginkan. Di dalam laboratorium, fermentasi antibiotik
dapat dilakukan dengan berbagai cara antira lain:
1. Pada media padat.
Penelitian mikroorganisme penghasil antibiotik biasanya membutuhkan media
padat untuk pertumbuhannya. Misalnya pada waktu skrining, suspensi mikroorganisme
terpilih ditumbuhkan pada media padat, setelah inkubasi dalam waktu cukup, aktivitas
antibiotik yang dihasilkan dapat diuji terhadap berbagai bakteri indikator. Dalam hal
fermentasi antibiotik pada media padat, temperatur dan komposisi media merupakan
faktor yang sangat penting dan menentukan keberhasilan produksi antibiotik. Untuk
mengontrol temperatur supaya konstan dan sesuai dengan yang dikehendaki,
dapamenggunakan inkubator atau alat lain.
2. Pada media cair dengan shaker
Fermentasi antibiotik biasanya menggunakan fermentor untuk pertumbuhan
biakan submerged. Namun jika fermentor tidak tersedia, teknik shake flask dapat dipakai
untuk menggantikannya, tetapi dengan kondisi lebih terbatas dan kontrol parameter
kurang optimum dibandingkan dengan fermentor. Teknik ini biasanya digunakan untuk
berbagai percobaan fermentasi pendahuluan sebelum menggunakan fermentor
sebenarnya. Sebagai con toh, setelah organisme diperoleh sebagai biakan murni, maka
perlu memeriksa karakteristik biokimia atau morfologi mereka dengan menumbuhkannya
pada kondisi biakan submerged. Untuk tujuan tersebut teknik shake flask dapat
digunakan karena sederhana dan dapat memberikan informasi yang hetguna. lnformasi
yang dapat diperoleh dri percobaan dengan teknik ini antara lain, komposisi medium,
tingkat aerasi, pola pH dan parameter-parameter yang berkaitan dengan pertumbuhan dan
produk yang dihasilkan.
Pengaturan temperatur dapat dilakukan dengan menggunakan inkubator shaker
atau dengan meletakkan shaker pada ruangan yang dikontrol temperaturnya misalnya
dengan menggunakan heater dan termostat untuk mengontrol temperatur yang
diperlukan. Flask dapat menggunakan baffled flask atau plain flask. Pada baffled flask
laju transfer oksigen akan lebih tinggi dan biasanya menyebabkan terjadinya buih.
Agitasi pada shake flask selain memberikan aerasi juga memungkinkan transfer substrat
dan organisme. Pada waktu fermentasi menggunakan shake flask, biasanya akan terjadi
kehilangan air dari medium karena evaporasi. Seperti pernah diamati oleh Solomons
(1969) pada medium biakan 100 ml dalamflask. 1000 ml dengan waktu inkubasi 48 jam
pada temperatur 37°C, agitasi menggunakan reciprocating shaker laju transfer
oksigen ± 55 m MO/jam, maka kehilangan air mencapai 20%. Untuk mengimbangi
kehilangan air ini, ke dalam medium dapat ditambahkan akuades.
Teknik shake flask pertama kali dilakukan oleh Kluyver dan Perquin (1933). Pada
dasarnya ada dua macam mekanisme dari teknik ini yaitu:
a. Reciprocating Shaker
Pada alat ini Variasi dapat dilakukan dengan mengatur panjang stroke.
Keuntungan alat ini, secara mekanis lebih sederhana dibandingkan rotary shaker.
Kecepatannya dapat diatur misalnya 60 120 stroke per menit. Panjang stroke
juga dapat diatur misalnya 4 8 cm. Alat ini paling sesuai digunakan untuk menumbuhkan
organisme uniseluler bakteri dan yeast.
b. Rptary Shaker
Alat ini bergerak dengan arah melingkar. Variasi dapat dilakukan dengan
mengatur panjang radius orbit. Alat ini dianggap sebagai tipe standar karena dapat
digunakan untuk menumbuhkan semua mikroorganisme termasuk sel tanaman dan
hewan. Alat ini selain mempunyai kekuatan senfrifugal juga harus mampu beroperasi
pada kecepatan tinggi. Kecepatan dapat diatur misalnya antara 100-400 rpm dan radius
orbit juga dapat diatur misalnya 1-5 cm.
3. Pada Media Cair dengan Fermentor
Teknik shake flask dengan rotary shaker atau reciprocating shaker merupakan
cara konvensional dan berguna pada tahap pendahuluan proses fermentasi, penelitian dan
pengembangan dalam laboratorium fermentasi. Namun cara ini akan memberikan
estimasi kondisi fermentasi skala besar yang kurang baik mengenai potensi
mikroorganisme dalam mensintesis produk. Oleh karena itu untuk mendapatkan estimasi
kondisi fermentasi yang ideal perlu menggunakan fermentor volume kecil. Karena
kondisi fermentasi dalarn fermentor kecil ini akan lebih menggambarkan kondisi
fermentasi skala besar yang sebenarnya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1.Pengrauh Unsur Pokok Dalam Medium
Dalam penelitian ini dilakukan fermentasi antibiotik pada 4 jenis medium dengan
kandungan unsur pokok yang berbeda. Keempat jenis tersebut adalah :
1. Kentang glukosa, suatu medium komplek yang penuh dengan karbohidrat
2. Medium Mc Daniels yang merupakan medium komplek yang sangat baik untuk
fermentasi streptomisin oleh Streptomyces griseus. Medium ini padat dengan
kandungan protein nabati.
3. Medium Lumb, yaitu suatu medium sintetik untuk fermentasi streptomisin
4. Nutrien Broth, yaitu suatu medium kompleks dengan kandungan protein hewani
yang besar, tetapi tanpa kandungan gula. Medium ini baik untuk pertumbuhan
Pseudeomonas Fluorescens, induk yang lain dari hasil fusi protoplas.
Dari data pengamatan terhadap potensi antibiotik selama proses fermentasi 10
hari, seperti tercantum pada Tabel 1, ternyata antibiotik hanya terbentuk pada medium
yang mengandung gula saja dan potensi yang terbesar diperoleh dari fermentasi medium
dengan kandungan karbohidrat yang tinggi, yakni kentang glukosa. Hal ini wajar terjadi,
karena hampir seluruh antibiotik yang dihasilkan oleh genus Streptomyces bahkan oleh
kelas Actinomycetes disintesis dari senyawa gula.
Terlihat pula bahwa kandungan nitrogen akan mempengaruhi terbentuknya
antibiotik. Dari sini dapat diketahui bahwa mikroorganisme hasil fusi tidak dapat
memproduksi antibiotik pada medium yang banyak mengandung nitrogen. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh pada saat regenerasi protoplas, sehingga
menjadi sel yang utuh kembali untuk HFSP-1 dan HFSP-2 ini digunakan medium PDA.
Oleh karena itu, kemungkinan faktor faktor genetik yang tidak sesuai dengan kondisi
pada saat regenerasi tidak dapat terus tumbuh dan berkembang.
Tabel-1. Potensi Antibiotik Hasil Fermentasi pada Berbagai Jenis Medium
Kentang
Glukosa
Mc Daniels Lumb Nutrien
Broth
S - 34 + r(3) - -
HFSP-1 + - r(4,5) -
HFSP-2 + - r(4,8) -
Keterangan : + = ada antibiotik
- = tidak ada antibiotik
r(x,y) = antibiotik resik pada hari x sampai hari ke–y
Tidak hanya itu, kandungan nitrogen ternyata juga berpengaruh terhadap
kecepatan tumbuh (Gambar 1) dan pada pH medium. Kecepatan tumbuh berhubungan
dengan kecepatan terbentuknya antibiotik, karena seperti kita ketahui bahwa antibiotik
biasanya terbentuk pada masa idiofasa (fasa produksi) yaitu pada saat pertumbuhan
menjadi relatif lebih lambat. Jadi semakin cepat mencapai idiofasa, maka semakin cepat
pula antibiotik terbentu.
Faktor yang mungkin menyebabkan kurang baiknya pertumbuhan pada medium
komplek Mc Daneils adalah ketidakmampuan mikroorganisme itu untuk menguraikan
sumber protein dari tumbuhan, dalam hal ini kacang kedelai.
pH medium akan berpengaruh pada process pembentukan dan kestabilan
antibiotik yang dihasilkan. Walaupun belum jelas mekanismenya, pada umumnya
antibiotik akan terbentuk pada harga pH anatar 7 dan 8. Sedangkan pada pH yang lebih
tinggi dari harga tersebut, potensi antibiotik yang ada menjadi lebih rendah. Hal ini
disebabkan oleh karena sebagaian antibiotik yang sudah terbentuk terurai kembali, karena
terhidrolisis dalam suasana basa. Untuk mengatasi hal ini, biasanya pada medium
ditambahkan CaCO3, yaitu salah satu zat yang dapat mempertahankan kestabilan pH pada
daerah netral sampai sedikit basa.
IV.2. Pengaruh Kadar Glukosa
Kadar glukosa dalam medium jelas berpengaruh untuk pembentukan antibiotik
terutama untuk mikroorganisme yang peka terhadap kekurangan dan kelebihan
kandungan glukosa. Untuk Streptomyces sp. S-34 (Gambar 2) yang relatif lebih mampu
menghidrolisis polisakarida, kadar glukosa yang kecil sampai optimum hanya
berpengaruh pada jumlah atau potensi antibiotik yang dihasilkan, tetapi tidak
berpengaruh pada kecepatan pembentukannya.
Sedangkan pada HFSP-1, antibiotik tidak terbentuk pada medium tanpa glukosa
dan hanya sedikit terbentuk pada medium dengan glukosa yang minimum. Hal ini besar
kemungkinan karena HFSP-1, kurang mampu menghidrolisis polisakarida yang ada
dalam medium, sehingga medium kekurangan ”senyawa antara” atau prekursor untuk
biosintesis antibiotik. Demikian pula halnya yang terjadi pada HFSP-2 pada medium
tanpa glukosa dan kadar glukosa minimum.
Pada medium dengan kadar glukosa yang tinggi, yakni 4%, Streptomyces sp. S-34
dan HFSP-1 sama sekali tidak menghasilkan antibiotik, tetapi HFSP-2 dapat
memproduksinya pada hari ke-6, walaupun hanya sedikit. Fenomena ini terjadi mungkin
disebabkan oleh terlalu rendahnya pH medium pada fermentasi oleh Streptomyces sp. S-
34 dan HFSP-1. Harga pH medium yang demikian rendah tersebut karena pola
metabolisme yang terjadi lebih ”aktif” terhadap karbohidrat atau gula. Ini berbeda dengan
pola metabolisme pada HFSP-2 yang kurang ”aktif”” terhadap karbohidrat.
Mengenai perbedaan pola metabolisme tersebut juga dapat kita interpresentasikan
dari data pH selama proses fermentasi dalam medium sintetik Lumb yang tercantum pada
tabel 2. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa Streptomyces sp. S-34 sangat aktif
terhadap karbohidrat, dalam hal ini glukosa. Mula mula ada dalam medium, sehingga pH
larutan menjadi kecil karena dalam medium banyak tertinggal sisa sisa garam sulfat. Dari
harga pH yang naik sedikit saja, dapat disimpulkan bahwa Streptomyces sp. S-34 kurang
dapat memanfaatkan sumber nitrogen berupa glisin. HFSP-1, walaupun tidak seaktif
Streptomyces sp. S-34 juga memanfaatkan glukosa terlebih dahulu, baru kemudian tanpa
memanfaatkan kation yang ada langsung menguraikan protein yang ada dalam medium,
sehingga pH medium menjadi naik kembali dengan cepat. Pada HFSP-2 tidak begitu
memanfaatkan glukosa, tetapi langsung memanfaatkan protein.pH medium tidak ekstrim
sehingga bisa memungkinkan sintesis antibiotik
Tabel 2. pH Medium Lumb Selama Proses Fermentasi
Hari S – 34 HFSP-1 HFSP-2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
7,0
3,4
3,7
3,8
3,7
3,9
3,95
4,05
4,05
4,05
4,4
5,8
8,0
8,45
8,7
9,0
9,05
9,15
9,10
9,15
6,3
6,3
6,4
6,45
6,15
7,85
8,65
8,7
8,75
8,7
IV.3. Jalannya Proses Fermentasi
Untuk mengetahui jalannya proses fermentasi, maka dilakukan pengamatan
terhadap gula pereduksi, pH dan kerapatan optik selama proses fermentasi pada medium
kentang glukosa 2%. Ternyata ketiga mikroorganisme menunjukkan proses yang hampir
sama dalam fermentasinya. Secara garis besar proses fermentasi berjalan sebagai berikut
(Gambar 3)
Mula mula jumlah sel meningkat terus seiring denagn menurunnya kadar gula
pereduksi, pH medium turun dan antibiotik mulai terbentuk. Menurunnya kadar gula
pereduksi berbeda beda bergantung pada jenis mikroorgansimenya. HFSP-1dan HFSP-2
memakai glukosa dengan jumlah yang hampir sama untuk pertumbuhannya, sedangkan
pada Streptomyces sp. S-34 kadar gula pereduksi masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan
karena Streptomyces sp.S-34 sudah mampu menghidrolisis karbohidrat dari medium.
Selanjutnya jumlah sel mencapai maksimum, antibiotik juga terbentuk, sehingga
mencapai harga maskimum, pH larutan mulai meningkat, dan kadar gula pereduksi
berfluktasi karena selain dipakai untuk sintesis antibiotik dan sumber energi juga ada
pemasukan gula pereduksi sebagai hasil hidrolisis karbohidrat.
Tahap akhir adalah saat jumlah sel mulai menurun karena kandungan nutrien
medium sudah habis, potensi antibiotik sedikit berkurang karena terhidrolisis pada pH
tinggi, pH larutan semakin meningkat karena adanya tambahan nitrogen terlarut dari sel
yang mati dan kadar gula pereduksi meningkat lagi karena hasil hidrolisis karbohidrat
baik oleh mikroorganisme secara enzimatik maupun yang terhidrolisis karena suasana
larutan basa tidak banyak terpakai lagi. Penutrunan jumlah sel pada HFSP-2 yang sanagt
cepat menunjukkan bahwa mikroorganisme tersebut ”kurang menyukai” karbohidrat.
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil hsail yang didapat dalam penelitian ini, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Proses fementasi antibiotik oleh ketiga jenis mikroorganisme yang diteliti
berlangsung dengan baik pada medium dengan kandungan karbohidrat yang
besar dan kurang baik pada medium dengan kandungan nitrogen yang besar.
2. Glukosa merupakan senyawa anatar atau prekursor untuk biosintesis antibiotik
oleh ketiga jenis mikroorganisme tesebut dan kadar glukosa berpengaruh
terhadap jumlah antibiotik yang dihasilkan
3. Secara umum proses biosintesis antibiotik oleh ketiga jenis mikroorganisme
tersebut adalah sama tanpa memperhatikan kondisi optimum untuk fasa
pertumbuhan dan fasa produksi oleh masing masing mikroorganisme, ternyata
Streptomyces sp. S-34 mampu menghasilkan antibiotik dengan potensi yang
lebih besar dari kedua rekombinan.