antara helaan nafas.doc

10
Antara Helaan Nafas oleh : Insan Rani lekat menatap wajah ibunya yang tengah berseri. “Kalau memang Ibu bahagia, saya setuju saja.” Rani berkata sambil mengulum senyum. Berapa usianya, Bu ?” “ Tujuh puluh tahun.” “ Hampir sama dengan Ibu, yah ? “Iya. Makanya, Ibu tidak tega membiarkannya pulang kembali.” “Memangnya beliau dari mana, Bu?” Rani memulai kembali mencuci piring. “Dari Cisurat, Sumedang sana.” Ibu Rani tidak beranjak dari samping anak gadisnya yang berumur 22 tahun itu. “Ibu sudah makan?” tanya Rani setelah membilas piring yang terakhir. “Ehm…, belum.” “Kebetulan sekali, Bu. Tadi, sebelum pulang, Rani beli pecel lele yang dekat kantor.” “Ya sudah, kita makan sama-sama saja.” “Sekarang beliau di mana, Bu?”

Upload: ichwan

Post on 24-Jan-2016

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Antara Helaan Nafas.doc

Antara Helaan Nafas

oleh : Insan

Rani lekat menatap wajah ibunya yang tengah berseri. “Kalau memang Ibu bahagia, saya setuju saja.” Rani berkata sambil mengulum senyum. “ Berapa usianya, Bu ?”  “ Tujuh puluh tahun.” “ Hampir sama dengan Ibu, yah ? “Iya. Makanya, Ibu tidak tega membiarkannya pulang kembali.”

“Memangnya beliau dari mana, Bu?” Rani memulai kembali mencuci piring.

“Dari Cisurat, Sumedang sana.” Ibu Rani tidak beranjak dari samping anak gadisnya yang berumur 22 tahun itu.

“Ibu sudah makan?” tanya Rani setelah membilas piring yang terakhir.

“Ehm…, belum.”

“Kebetulan sekali, Bu. Tadi, sebelum pulang, Rani beli pecel lele yang dekat kantor.”

“Ya sudah, kita makan sama-sama saja.”

“Sekarang beliau di mana, Bu?”

“Sedang tidur. Ibu suruh tidur biar bisa istirahat. Bisa kau bayangkan, Ran, ia sendirian dari Sumedang.”

“Kok sendirian?”

Page 2: Antara Helaan Nafas.doc

“Ibu kan sudah bilang, dia itu diusir oleh anak-anaknya.”

“Maaf, tapi…, Ibu percaya begitu saja?”

“Dia sudah tua, Rani.”

Rani mengakhir percakapan itu dengan berlalu ke kamarnya untuk membawa bungkusan pecel lele yang telah ia beli tadi sore. Dibawanya bungkusan itu dari samping naskah-naskah yang harus ia edit pada sebuah meja di kamarnya. Selintas ia melirik ke arah kamar kakaknya yang telah menikah dan pindah rumah. Akhirnya, kamar itu berpenghuni lagi, batinnya.

“Lho, kok bu Isur tidak ikut Ibu ke masjid?” Rani heran melihat ibu tua itu sedang mengelap meja.

“Ah, Neng, Ibu kan, pembantu. Kenapa harus ke masjid segala?”

“Memangnya kenapa kalau pembantu?” tanya Rani sambil duduk.

“Pembantu kan, subuh-subuh begini harus beres-beres.”

“Beresin rumah mah, nanti saja, agak siangan, Bu. Lagian, rumah ini kan, tidak besar. Jangan terlalu capek, ya, Bu?!”

wanita tua itu berlalu cepat menuju dapur. Padahal, masih banyak yang ingin Rani tanyakan padanya. Tapi, bu Isur tampak menghindar. Mungkin masih malu, batin Rani. Ia melihat jam dinding dan bergegas mandi. Terlambat setengah jam saja bisa dipotong gaji, batinnya lagi.

Page 3: Antara Helaan Nafas.doc

Lima hari berlalu dengan suasana baru di rumah Rani. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Dia adalah seorang yang aktif mengikuti berbagai ceramah juga mengisi ceramah remaja. Dia sering dimintai nasehat oleh orang lain. Namun, di saat kesibukannya di luar rumah meningkat, ternyata seorang ibu tua yang dikehendaki Allah untuk menghuni rumahnya sebagai khadimat tidak pernah shalat. Itulah hal yang mengganggunya akhir-akhir ini. Ia pernah membicarakan hal itu dengan sahabatnya, Ratna.

“Aku menerimanya karena aku lihat ibuku senang. Lalu, aku berpikir bahwa itu bisa menjadi ladang amal yang dahsyat. Menanggung hidup ibu kandung sekaligus mengurus pembantu yang juga telah uzur. Terus terang saja, kalau aku tidak menganggap demikian, bisa-bisa aku uring-uringan terus. Kerja beliau sebagai khadimat malah semakin merepotkan aku. Sebab usianya sudah lanjut. Sebenarnya, pekerjaan rumah pun tidak banyak terbantu.” Keluhnya pada Ratna, suatu hari.

“Benar, nggak pernah shalat?”

“Serius, kata ibuku juga.”

“Cobalah kau tanya baik-baik. Selidiki dulu sebelum memvonis.” Ratna membuat Rani tercenung.

Rani melangkahkan kakinya dengan gontai. Jarak antar rumahnya dengan rumah Ratna bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama lima belas menit. Ia tidak menyia-nyiakan waktu berjalannya. Dia terus berpikir cara apa yang dapat mendekatkan dirinya dengan bu Isur. Selama lima hari ini, bu Isur selalu menanggapi pertanyaannya dengan dingin dan menjawab dengan jawaban-jawaban singkat. Ia mendesah mengingat percekcokan antara ibunya dengan bu Isur tentang masalah sambal. Ia tidak mengerti mengapa masalah sambal harus pakai kencur atau tidak saja bisa menjadi bahan percekcokan. Bagaimana mungkin, ibunya yang biasanya arif bisa terlibat percekcokan gara-gara sambal. Ia kembali menghela nafas panjang. Dilihatnya langit sore yang digantungi oleh awan-awan Cumulus. Ya Rabb, beilah aku kesabaran dan kekuatan untuk mengambil hikmah dari semua ini, bisik hatinya di antar helaan nafas.

“Bu, sudah maghrib. Kita shalat, yuk!” Rani mengusap tangan ibunya yang tertidur di hadapan televisi. Rani menunggu di mushola sementara ibunya berwudhu. Sesekali ia melihat ke arah kamar bu Isur yang tertutup rapat. Ketika ibunya sudah berada di mushola, Rani menanyakan bu Isur pada ibunya.

“Biarkan saja.” Jawab ibu dengan ketus.

Page 4: Antara Helaan Nafas.doc

Rani bisa menebak kalau sebelumnya Ibu dengan bu Isur sudah berperang lagi. Selesai shalat maghrib, Rani sekilas manangkap sosok bu Isur yang pergi ke dapur. Ditinggalkannya Ibu yang sedang membaca al Quran. Rani menyusul bu Isur ke dapur. Terlihat bu Isur sedang mengiris bawang merah.

“Kok, maghrib-maghrib begini ngiris bawang, Bu? Kalau untuk makan malam, santai saja, Bu. Saya sudah beli, kok, untuk kita semua.” Kata Rani sambil pura-pura sibuk hendak menyeduh teh.

“Buat besok, Neng.” bu Isur mengatakannya tanpa menoleh ke Rani.

“Oh…. Ehm…, nggak shalat, Bu?” tanya Rani dengan hati-hati.

“Ah, nggak, Neng.”

“Kenapa, Bu?”

“Nggak ada mukenanya.”

“Itu kan, di mushola banyak, Bu. Pakai saja punya saya. Dari Sumedang Ibu tidak bawa mukena, yah? Aduh, Ibu, coba Ibu bilang dari kemarin kalau Ibu tidak bawa mukena.” Rani berkata dengan lega.

“Nggak, kok. Ibu mah, nggak punya mukena.”

“Maksud Ibu?”

“Ya, Ibu mah, dari dulu juga tidak pernah punya mukena.”

Page 5: Antara Helaan Nafas.doc

“Tapi, maaf ya, Bu, Ibu Islam, kan?”

“Iya.”

“Kok, nggak punya mukena?”

“Ibu nggak pernah shalat.”

“Kenapa?”

“Memang nggak pernah aja. Bapak Ibu nggak shalat, suami Ibu juga. Tapi, semuanya Islam.” Jawab bu Isur datar. Rani tercenung. Ia sudah tidak mengaduk air teh manisnya lagi.

“Bu, duduk, yuk.” Ajak Rani.

“Ah, nggak. Neng aja sana.”

“Bu, shalat itu kan, wajib untuk orang Islam.”

“Ah, Ibu mah, nggak.”

“Gini aja, Bu, nanti Isya, Ibu ikut shalat dengan kami, yah?!”

“Sok aja Neng, ah.” Bu Isur meninggikan suaranya.

Page 6: Antara Helaan Nafas.doc

“Bu, kalau kita rajin shalat, katanya Allah akan lebih mencintai kita.” Rani berkata penuh harap. Bu Isur tidak merespon. Ia tetap mengiris bawang merah.

“Bu, Ibu lihat saja, ya, Bu? Ibu lihat saja nanti ketika kami shalat Isya.” Bujuk Rani manja.

“Neng aja, lah. Ibu mah, nggak shalat. Kenapa, sih?”

Rani terkesiap. Sudah tertutupkah hatinya dari hidayah Allah, batin Rani sambil menatap wajah bu Isur yang berkeriput di sana-sini.

“Aku sudah mengajaknya dengan berbagai cara. Malah, sudah aku belikan mukena baru.” Rani membolak-balikkan buku yang ada di tangannya.

“Ya, kalau memang sudah diusahakan, kamu jangan bersedih hati. Hidayah itu kan, datangnya dari Allah. Rasulullah saja tidak bisa mengislamkan Abu Thalib, pamannya sendiri.” Hibur Ratna.

“Aku tidak habis pikir, Rat. Suaminya tidak shalat, dia juga. Mungkin anak-anaknya juga. Pantas saja beliau diusir oleh anak-anaknya sendiri. Bisa dibayangkan, anak yang tidak dididik dengan ajaran Islam akan sulit untuk bersabar menghadapi orang tua yang pikun dan sering uring-uringan.” Buku di tangan Rani yang berjudul Tazkiatun Nafs-sebuah ilmu mensucikan jiwa-masih dipegangnya. Sudah lama Rani ingin memilikinya.

“Kalau pinjam terus punya teman, tidak bisa dicorat-coret.” Bisiknya pada Ratna. Rani membeli buku itu sebelum mereka pulang.

 Rani membuka pintu perlahan ketika sayup-sayup ia mendengar ibunya dan bu Isur perang mulut.

“Ibu itu gimana, sih? Saya tidak mengerti jalan pikiran Ibu.” Terdengar suara ibu Rani.

Page 7: Antara Helaan Nafas.doc

“Saya kan, cuma ingin niis, Neng.”

“Ya, kalau mau duduk di teras jangan sambil ngulek! Kalau mau ngulek jangan di teras!”

“Bu, ada apa?” Rani menyela dengan halus. Ibu menatapnya sambil mengerutkan alis.

“Nggak apa-apa.” Ibu berkata pelan dan pergi ke ruang tengah. Sementara itu, bu Isur pergi ke kamarnya. Rani terpaku sendirian.

“Bu, ada apa, sih?” tanya Rani setelah duduk di samping ibunya yang sedang mengganti-ganti channel di televisi.

“Tadi dia ngulek di teras rumah.”

“Ibu marah?”

“Ya, kesal, Ran! Ngulek itu di dapur saja. Masa’ ngulek bumbu ikan di teras, sih? Padahal, Ibu yang racik. Dia tinggal ngulek saja, eh…, dibawa ke teras luar sana. Mau sambil niis katanya.” Ibu berkata dengan suara yang sudah terkendali.

“Bu, kasihan ya bu Isur? Sudah tidak punya harta, miskin iman pula. Kita harus bisa lebih bersabar untuk menuntunnya, ya Bu?!”

“Ibu juga berpikir demikian. Tapi, darah tinggi Ibu kadang-kadang sulit dikendalikan, Ran.”

Baru saja Rani akan membuka mulut, bu Isur sudah ada di sampingnya membawa tas besar.

Page 8: Antara Helaan Nafas.doc

“Lho, Ibu mau ke mana?” tanya Rani.

“Saya pulang saja. Mau kembali ke Sumedang sama anak-anak saya.”

“Lho, kenapa, Bu?” tanya Rani lagi.

“Ya, mau balik aja atuh, Neng.” Jawab bu Isur datar. Ibu Rani berjalan ke kamarnya. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sejumlah uang.

“Terserah Ibu. Tapi ini bayaran Ibu, sesuai dengan yang saya bilang dulu.” Bu Isur terdiam.

“Dan bawa mukena pemberian Rani, Bu. Terus, maafkan saya kalau menyakiti Ibu. Ya, namanya juga manusia, kan, ada saja salahnya.” Ibu berkata panjang lebar. Bu Isur menerima uang dari Ibu Rani lalu mencium uang itu dan menempelkannya ke keningnya beberapa kali. Rani kemudian membawa mukena yang ia beli untuk bu Isur. “Ini, Bu, mukenanya. Simpan saja, yah?!”

“Makasih, Neng.” Bu Isur menerima mukena itu dengan tersenyum. Selama dua minggu, baru kali itu Rani melihat senyum bu Isur.

“Semoga anak-anak Ibu kembali menerima Ibu.” Kata Ibu Rani disusul tangisan bu Isur.

“Memang salah saya, Neng. Tidak bisa mendidik anak. Ibu dulu pergi pagi pulang sore, jagain jongko jamu di pasar. Sekarang Ibu pengen balik ke mereka. Ibu akan memaksa, Neng, supaya mereka menerima Ibu.” Kata bu Isur terbata-bata. Lalu ia menjabat tangan Ibu Rani, berpamitan. Rani dan ibunya mengantar sampai ke tepi jalan raya.

“Hati-hati, Bu!” teriak Rani. Ditatapnya angkot yang berjalan pelan setelah dinaiki bu Isur.

Page 9: Antara Helaan Nafas.doc

Ya Allah, berikan padanya husnul khatimah. Ampuni aku yang sombong ini, ya Allah, hindarkan aku dari kesia-siaan masa muda dan ketakberartian masa tua. Rani menghela nafas. Ia masih menatap angkot yang sudah terlihat seperti sebuah titik di ujung mata. Di antara helaan nafasnya, ia lantunkan kembali doa untuk kebaikan bu Isur, ibunya, dan untuknya sendiri. (FLP Bandung).***

24/3/2004 7:34 WIB