ansar arifin

48
NELAYAN DALAM PERANGKAP KEMISKINAN (Studi Strukturasi Patron-Klien dan Perangkap Kemiskinan Pada Komunitas Nelayan di Desa Tamalate, Kec. Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan ) I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu organisasi sosial yang turut memberi kontribusi dalam membangun sistem sosial kenelayanan di Desa Tamalate, Kecamatan Galesong Utara adalah kelembagaan ponggawa-sawi. Relasi Ponggawa Sawi di daerah penelitian ini merupakan sebuah organisasi dalam sistem sosial kenelayanan di wilayah pesisir yang tumbuh dan berkembang secara organik. Di lokasi penelitian, dijumpai adanya keadaan fisik rumah milik ponggawa yang permanen dengan segala perabotan dan fasilitas lain yang dimilikinya. Ini merupakan realitas dari sebuah gambaran tentang kesejahteraan ekonomi, yang sangat kontras secara tajam dengan gubuk dari keluarga sawi yang berdinding bambu atau papan dengan perabot rumah yang sangat sederhana. Kondisi ini merupakan salah satu indikator perbedaan tingkat kesejahteraan yang tak terbantahkan dan sejak dahulu hingga saat ini, belum banyak mengalami perubahan kearah yang lebih baik atau pada tingkat hidup yang lebih tinggi. Sudah banyak ahli di Sulawesi Selatan dari berbagai bidang disiplin ilmu-ilmu social yang telah menaruh perhatian dan melakukan pengkajian tentang masyarakat nelayan dan telah menghasilkan karya-karya ilmiah di bidang maritim. Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah pada bidang maritim, seperti; Sallatang (1982), yang menelaah kelompok Pinggawa-Sawi dari sudut dan pendekatan sosiologi dengan memfokuskan pada Kelompok Kecil. Kemudian, Resusun (1985) yang menelaah tentang beberapa aspek social ekonomi nelayan bagang di Pulau Sembilan. Karim (1985), menelaah tentang aspirasi nelayan terhadap pendidikan anak di Cambayya, Ujung Pandang. Kemudian Rizal (1985), yang melihat dari sudut dan pendekatan sosiologis tentang pola perlakuan wanita masyarakat pelayar. Selanjutnya, Heddy (1988), yang mengkaji ponggawa-sawi melalui pendekatan sejarah dan politik. Nurlan (1993), yang menelaah Peranan Wanita Nelayan secara Struktural Fungsional. Salman (2002),

Upload: rini-rianti

Post on 01-Dec-2015

88 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ansar Arifin

NELAYAN   DALAM   PERANGKAP  KEMISKINAN(Studi Strukturasi Patron-Klien dan Perangkap Kemiskinan Pada

Komunitas Nelayan di Desa Tamalate, Kec. Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan )

 

 I.     PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG MASALAH

Salah satu organisasi sosial yang turut memberi kontribusi dalam membangun sistem sosial

kenelayanan di Desa Tamalate, Kecamatan Galesong Utara adalah kelembagaan ponggawa-sawi.  Relasi

Ponggawa Sawi di daerah penelitian ini merupakan sebuah organisasi dalam sistem sosial kenelayanan di

wilayah pesisir yang tumbuh dan berkembang secara organik.

Di lokasi penelitian, dijumpai adanya keadaan fisik rumah milik ponggawa yang permanen dengan

segala perabotan dan fasilitas lain yang dimilikinya. Ini merupakan realitas dari sebuah gambaran tentang

kesejahteraan ekonomi, yang sangat kontras secara tajam dengan gubuk dari keluarga sawi yang berdinding

bambu atau papan dengan perabot rumah yang sangat sederhana. Kondisi ini merupakan salah satu

indikator perbedaan tingkat kesejahteraan yang tak terbantahkan dan sejak dahulu hingga saat ini, belum

banyak mengalami perubahan kearah yang lebih baik atau pada tingkat hidup yang lebih tinggi.

Sudah banyak ahli di Sulawesi Selatan dari berbagai bidang disiplin ilmu-ilmu social  yang telah

menaruh perhatian dan melakukan pengkajian tentang masyarakat nelayan dan telah menghasilkan karya-

karya ilmiah di bidang maritim. Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah pada

bidang maritim, seperti; Sallatang (1982), yang menelaah kelompok Pinggawa-Sawi dari sudut dan

pendekatan sosiologi dengan memfokuskan pada Kelompok Kecil. Kemudian, Resusun (1985) yang

menelaah tentang beberapa aspek social ekonomi nelayan bagang di Pulau Sembilan. Karim (1985),

menelaah tentang aspirasi  nelayan terhadap pendidikan anak di Cambayya, Ujung Pandang. Kemudian Rizal

(1985), yang melihat dari sudut dan pendekatan sosiologis tentang pola perlakuan wanita masyarakat

pelayar. Selanjutnya, Heddy (1988), yang mengkaji ponggawa-sawi melalui pendekatan sejarah dan politik.

Nurlan (1993), yang menelaah Peranan Wanita Nelayan secara Struktural Fungsional. Salman (2002), yang

mengkaji Pergeseran Hubungan Isdustrial pada Komunitas Industri Pembuatan Perahu, Wisata Pantai dan

Penangkapan Ikan melalui pendekatan sosiologis. Nur Indar (2002) tentang The Ponggawa-Sawi Relationship

in Co-Management. Naping (2004) tentang Teknologi dan Perubahan Sosial Budaya Nelayan Bagang Rambo.

Anam (2007) tentang Analisis Manfaat Bantuan Kredit Pada Masyarakat Pesisir. Arief (2007) tentang

Artikulasi Modernisasi dan Dinamika Formasi Sosial Pada Nelayan Kepulauan.

Page 2: Ansar Arifin

Dari beberapa hasil karya tulis disertasi yang disebutkan di atas,  terdapat temuan-temuan, misalnya

yang diungkap oleh Sallatang, (1982) bahwa hubungan antara pinggawa dengan sawi merupakan hubungan

kepentingan yang diperkuat oleh hubungan kerabat dan hubungan yang menyerupai kerabat. Hubungan

yang menyerupai hubungan kerabat yang paling banyak tampil, khususnya antara pinggawa besar dengan

pinggawa kecil dan antara pinggawa besar dengan sawi. 

Demikian juga, Salman (2002) menemukan bahwa kondisi masyarakat nelayan di Sulawesi Selatan

menunjukkan hubungan patron-klien yang masih sangat signifikan jika dibandingkan dengan masyarakat

pertanian atau masyarakat perkotaan, sehingga kemajuan disisi produksi akibat modernisasi yang

berlangsung belum diikuti sepenuhnya oleh pergeseran hubungan patron-klien ke hubungan industrial yang

sifatnya kontraktual.

Lebih lanjut, Arief (2007) menemukan bahwa proses modernisasi perikanan melalui penetrasi capital

telah menyebabkan terjadinya pergeseran formasi social cara produksi subsisten ke cara produksi komersial

dan berlanjut ke cara produksi kapitalis.  Sedang, Anam (2007) menemukan bahwa distribusi pendapatan

pada kelompok nelayan yang menerima bantuan kredit lebih baik, ketimbang yang tidak menerima bantuan

kredit.

Diantara berbagai karya ilmiah yang telah dihasilkan, belum ada ahli yang mengkaji “dualitas antara

struktur dan actor” dalam “praktik-praktik social”masyarakat nelayan yang menghubungkan

dengan “perangkap kemiskinan” (ketidakberdayaan, kerawanan, kelemahan fisik, tingkat pendapatan

rendah, dan isolasi). Karena itu, kajian utama dalam penelitian ini difokuskan pada “dualitas struktur dan

actor yang mengkondisikan atau mengkonstruksi perangkap kemiskinan pada masyarakat nelayan”.

Bagi Giddens, antara pelaku (agency) dan struktur (structure) adalah

hubungan “dualitas”. Selanjutnya, dikatakan bahwa “dualitas” selalu terjadi pada praktik sosial yang

berulang dalam lintasan ruang dan waktu. Dualitas itu terletak dalam fakta, bahwa ia bisa dipandang sebagai

aturan yang menjadi prinsip bagi tindakan di berbagai ruang dan waktu, sekaligus ia merupakan

hasil (outcome) dan sarana perulangan tindakan kita, yang karenanya mengatasi ruang dan waktu Giddens

(2010 : 50).

Struktur relasi Ponggawa-Sawi merupakan medium (perantara) interaksi yang sekaligus sebagai

instrument bagi para pelaku jaringan. Selain itu, juga merupakan wadah bergeraknya fungsi dalam sistem

sosial kenelayanan. Karena itu, struktur kelembagaan ponggawa sawi cenderung terbentuk dari adanya

pemaknaan melalui relasi-relasi internal dan eksternal kelompok yang berlangsung melalui prasyarat

fungsional AGIL (adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi) dalam proses social budaya yang

sangat panjang (usage, folkways, mores, dan custom).

Sama halnya dengan daerah pesisir lainnya, di Desa Tamalate pekerjaan sebagai nelayan merupakan

aktivitas yang unik dan memiliki irama yang terkadang sangat mengasyikkan dan

kadang sangat menegangkan. Ketika nelayan menarik ikan dalam jumlah yang relatif banyak melalui

penggunaan alat pancing (rinta) atau dengan alat jaring (Ga’E), maka hal itu sangat menggembirakan dan

Page 3: Ansar Arifin

mengasyikkan bagi mereka. Tetapi, kalau secara tiba-tiba ombak dan badai datang menghantam perahu yang

mereka gunakan, maka disaat yang bersamaan,  rasa takut dan ketegangan mulai muncul pada diri nelayan.

Keunikan lain yang sering dijumpai oleh nelayan saat melaut adalah  terkadang gerombolan ikan

yang dikejar oleh kelompok nelayan secara tiba-tiba saja menghilang dan tidak diketahui kemana arahnya.

Karena itu, aktivitas menangkap ikan bagi pada umumnya nelayan seringkali dipandang sebagai pekerjaan

yang unik dan mengasyikkan, serta sangat misteri dan penuh dengan tantangan yang beresiko tinggi.

Demikian juga, keunikan pada sector pekerjaan sebagai buruh nelayan pada relasi patro-klien,

dimana mereka tidak menggunakan perhitungan jumlah waktu kerja (jam/hari) seperti yang umumnya

berlaku terhadap buruh pada sektor pekerjaan lainnya.  Kemudian, kapan waktu beristirahat dan kapan

melaksanakan pekerjaan menangkap ikan adalah sesuatu yang tidak jelas penjadwalannya, karena sangat

bergantung pada kondisi di laut. Kemudian, upah yang mereka terima tidak sebanding dengan segala jerih

payah, waktu dan tenaga yang telah diupayakannya.

Nelayan merupakan pekerjaan yang memiliki irama (ritme) yang sangat menarik dan

mengkondisikan individu terpencil dari ruang sosial budayanya. Umumnya nelayan Sawi hanya memiliki

kesempatan yang lebih besar dalam melakukan hubungan/relasi sosial dengan sesama anggota

kelompoknya.  Itu pun hanya dapat terjadi di saat kelompok melakukan aktivitas pelayaran dan penangkapan

ikan di laut.  Hubungan sosial dengan sanak keluarga dan tetangga dimana pemukimannya berada, sangat

terbatas dan hampir tidak ada sama sekali, sehingga ada kecenderungan nelayan sawi terkucilkan dari

lingkungan sosial-budayanya.

Aktivitas nelayan yang terkonsentrasi di laut, secara tidak disadari telah menjadi perangkap/jebakan

bagi dirinya.  Keasyikan dan keterpencilan dalam pekerjaan sebagai nelayan, telah turut mempengaruhi

kesempatan mereka untuk memperoleh keterampilan lain dan kesempatan ekonomi yang lebih luas dalam

rangka meningkatkan kapabilitasnya. Dalam keadaan demikian, mereka (Sawi) kurang dan bahkan tidak

menyadari bahwa akumulasi tekanan structural yang terjadi secara eksternal dan internal telah

mengkonstruksi dirinya kedalam sebuah kondisi yang terjebak dalam kemiskinan. Keadaan ini yang disebut

oleh Giddens (2010 :64), sebagai “motivasi tak sadar” atau ketidakmampuan sawi memberikan ungkapan

verbal terhadap tindakan, sekalipun hal itu merupakan keinginan yang berpotensi mengarahkan tindakannya.

Fenomena struktur signifikasi (struktur penandaan) dapat diamati melalui “sikap, perilaku, dan cara

berpikir” sawi terhadap ponggawa dalam relasi-relasi social kenelayanan. Struktur tersebut erat kaitannya

dengan “skemata simbolik” (tata aturan kelompok) dan “wacana” (pemaknaan) yang berlangsung

melalui“sarana antara” pada “bingkai interpretasi” dalam relasi patron-klien. Sedang, interaksi antara sawi

dengan ponggawa dalam memainkan peran dalam kelompok, berlangsung melalui komunikasi.

Tindakan signifikasi ponggawa cenderung terjadi ketika sawi berada dalam posisi yang lemah (tidak

berdaya) atau sangat membutuhkan pinjaman uang dari ponggawa. Dalam keadaan demikian, maka

cenderung apresiasi tindakan ponggawa pada saat itu, seakan-akan menyerupai tindakan securitas

sosial (social security) terhadap sawi dan keluarganya. Bahkan, terkadang dapat memukau pikiran dan

Page 4: Ansar Arifin

perasaan para sawi, terutama ketika mendapat sapaan sebagai keluarga atau ketika diberi pinjaman uang

yang mendesak untuk kebutuhan hidup sehari-hari bagi keluarganya. Melalui apresiasi tindakan signifikasi

dari ponggawa, makakesadaran yang ada pada sawi  sebagai orang yang memiliki posisi yang sangat lemah,

yang oleh Giddens (2010) disebut sebagai “kesadaran praktis”, yang telahmenunjukkan adanya

tindakan dahulukan selamat (safety first) dan selalu patuh terhadap skemata tata aturan kelompok serta

segala bentuk kebijakan ponggawa.

Fenomena “struktur dominasi” (struktur penguasaan) yang mencakup skemata penguasaan seorang

ponggawa terhadap sawi (politik) dan penguasaan barang (ekonomi). Struktur tersebut berlangsung pada

relasi patron-klien melalui “sarana-antara” berupa penguasaan peranan, fasilitas teknologi (perahu, mesin,

dan alat tangkap), modal operasional, dan penguasaan pemasaran yang interaksinya

melalui “kekuasaan” seorang ponggawa darat sebagai pemilik modal.

Di daerah penelitian ini, dominasi legitimasi dari seorang ponggawa dalam menetapkan bagi hasil

telah diperkuat dengan tidak diterapkannya  Undang-undang Oleh Presiden Republik Indonesia Nomor. 16

Tahun 1964, Tentang Bagi Hasil Prikanan (UUBHP) dari pemerintah.  Karena itu, bagi hasil yang didapatkan

oleh seorang ponggawa lompo sebagai pemilik modal (mesin, perahu dan alat tangkap) semakin bertambah

besar jumlahnya dibanding seorang sawi yang hanya bekerja sebagai buruh dalam relasi keponggawan pada

nelayan Parengge. Ini berarti bahwa sistem relasi ponggawa-sawi yang dilakukan dengan cara produksi yang

memisahkan Sawi (klien) dengan alat-alat produksi (cara kapitalisme), maka keuntungan (nilai lebih) tidak

jatuh ketangan sawi, melainkan jatuh ketangan ponggawa. Sistem kapitalisme ini yang disebut oleh Karl

Marx (2005), dalam teorinya “Historis-Materialisme” yang kemudian untuk membuktikan hal itu, maka Marx

menciptakan “Mehrwert theory”. Kemudian, bila teori tersebut kita bawah pada sistem bagi hasil dalam

komunitas nelayan, maka sistem kapitalisme yang berlangsung pada relasi patron-klien telah

menyebabkan  terjadi nilai lebih atau kelebihan harga (Mehrwert) bagi ponggawa, yang kemudian terjadi

pemusatan (Konzentration) capital, penimbunan (Akkumulation) capital, dan selanjutnya menciptakan

kesengsaraan (Verelendung) bagi kalangan sawi, yang kemudian akan terjadi krisis (Crisis) yang

menyebabkan kalangan sawi tidak lagi memiliki kekuatan membeli karena miskin, dan akhirnya terjadi

keruntuhan (Zusammenbruch)

Fenomena “struktur legitimasi” (struktur pembenaran atau pengesahan), yang menyangkut skemata

tata aturan normatif yang konkritisasinya berlangsung melalui sarana-antara pada sistem norma (ketentuan

adat, norma agama, dan kepastian hukum), dan keteraturan  interaksinya  berlangsung melalui kekuatan

sanksi yang berlaku pada relasi patron-klien.

Dengan demikian, “struktur signifikasi” (struktur penandaan) memiliki keterkaitan yang erat satu

sama lain dengan “struktur dominasi” (struktur penguasaan) dan “struktur legitimasi” (struktur

pembenaran). Penguatan ke tiga struktur tersebut berlangsung pada relasi patron-klien melalui rentang

waktu yang sangat panjang dan cenderung telah mengkonstruksi sikap, perilaku, dan cara berpikir sawi ke

arah kondisi yang tidak berdaya.

Page 5: Ansar Arifin

Dalam kehidupan sawi, masalah yang paling mendasar dan sangat mengikat adalah tingginya

ketergantungan pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya terhadap Ponggawa Darat.  Karena itu,  eksistensi

seorang sawi dalam relasi sosial kenelayanan berada pada posisi yang paling lemah dan cenderung tidak

mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga tanpa bantuan dari ponggawa.

Melalui pengalaman penelitian, dijumpai adanya kecenderungan perilaku ponggawa terhadap sawi,

seperti yang disebut oleh Chambers (1983)  sebagai jebakan kekurangan/perangkap kemiskinan (deprivation

Trap) dengan 5 (lima) mata rantai penyebabnya yang terjadi di Desa.  Mata rantai penyebab kemiskinan yang

dimaksudkan adalah : (1) ketidakberdayaan, (2) kerawanan, (3) kelemahan fisik, (4) kemiskinan, dan (5)

isolasi.

(1)  Ketidakberdayaan yang dialami oleh pada umumnya nelayan sawi, dapat dikonkritkan pada

ketidakmampuan (disability) mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk mengadakan

modal. Dikatakan demikian, karena umumnya para sawi dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya

sehari-hari, hanya dengan meminjam dari ponggawa. Sama halnya dalam mengadakan modal operasional

selama di laut, para sawi juga meminjam dari ponggawa. Karena itu, ketergantungan hidup pada ponggawa,

telah mengkondisikan  sawi selalu  berada dalam posisi yang tidak berdaya.

(2)  Kerawanan yang seringkali dialami oleh nelayan sawi, dapat dikonkritkan pada rawan kecelakaan di laut

atau resiko pekerjaan melaut yang sangat mudah terjadi kecelakaan kerja. Dari sifat pekerjaan yang penuh

resiko kecelakaan, maka dibutuhkan adanya asuransi dari ponggawa kepada nelayan sawi. Punggawa

berdasarkan pengalamannya seringkali menanggung biaya-biaya kematian dari sawinya. Punggawa laut

(pemimpin operasional penangkapan ikan), juga memberikan perlindungan terhadap  sawinya selama berada

di laut. Seorang ponggawa laut yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang mantera-mantera untuk

menjinakkan keganasan ombak dan badai (“Erang Passimombalang” dan “Erang Pa’boya-boyang”) adalah

menjadi modal kepercayaan dan keyakinan dari para sawinya dalam hal  keselamatan pelayaran. Karena itu,

kepercayaan sawi terhadap kemampuan pelayaran bagi seorang ponggawa laut adalah sesuatu yang dapat

menetralisasi keprihatinan sawi dalam melaut.

(3)  Kelemahan fisik  yang dialami nelayan dapat dikonkritkan pada sifat pekerjaan yang mengkondisikan

bagi para sawi untuk bekerja sepanjang hari dan atau sepanjang malam dalam ruang udara yang terbuka di

tengah lautan. Kemudian, waktu istirahat bagi nelayan yang sangat tidak menentu dan keadaan status gizi

yang rendah. Keadaan inilah yang diperkirakan telah mengkondisikan fisik nelayan menjadi lemah. Karena

itu, umumnya tingkat kesehatan nelayan rendah bila dibandingkan dengan rata-rata tingkat kesehatan pada

kelompok kerja lainnya, misalnya petani padi sawah/ladang, petani tambak, peternak, buruh bangunan, dan

sebagainya.

(4)  Kemiskinan yang pada umumnya dialami oleh nelayan sawi, dapat dikonkritkan pada tingkat pendapatan

yang rendah. Selain itu, nelayan sawi juga tidak memiliki pekerjaan sampingan sebagai tambahan

pemenuhan kebutuhan keluarganya. Padahal pekerjaan sampingan sifatnya sangat dinamis dan dapat

membawa sawi keluar dari perangkap kemiskinan. Dikatakan dinamis, karena dapat digunakan berspekulasi

Page 6: Ansar Arifin

(adu untung) yang memungkinkan bagi sawi untuk terhindar dari kemiskinan atau paling sedikit dapat

mengurangi berbagai kesulitan ekonomi yang dialami. Demikian juga, tingkat keterampilan yang dimilikinya

sangat rendah, sehingga sangat sulit baginya untuk beralih pekerjaan pada sector lainnya.

(5)  Isolasi (pengucilan) sebagai keadaan hidup yang dialami oleh pada umumnya nelayan sawi, dapat

dikonkritkan pada sifat pekerjaan yang mengkondisikan aktivitas sehari-harinya harus berada di laut,

sehingga mereka terpencil dari lingkungan social budayanya. Keadaan hidup sawi yang terisolir dari dunia

social lainnya  yang telah mengkondisikan kapabilitasnya sangat rendah.

Lima mata rantai penyebab kemiskinan yang diuraikan di atas, umumnya telah menyebabkan

nelayan sawi sangat sukar keluar dari jebakan kekurangan atau perangkap kemiskinan. Tentu saja dengan

kondisi tersebut menguntungkan bagi seorang ponggawa darat, terutama dalam hal mempertahankan ikatan

kerja dengan para sawi untuk pencapaian tujuan ekonomi.  

Berkenaan dengan eksploitasi yang  tetap berlangsung pada hubungan patron-klien,  maka Scott,

mengatakan bahwa pada saat klien dalam kondisi paceklik atau ketika statusnya benar-benar rendah,

sehingga bila putus hubungan dengan patron dan ketika ia tidak punya alternatif yang lebih rendah lagi,

maka perlakuan apapun dibalik bantuan patron sulit dikaitkan dengan eksploitasi. Kemiskinan struktural

yang dialami oleh pada umumnya keluarga nelayan sawi,menyebabkan mereka selalu memiliki

prinsip “safety first” atau dahulukan selamat (Scott, 1981), dan relah mengorbankan apa saja demi

keselamatan hidupnya(safety life), yang semata-mata hanya untuk kelangsungan hidup keluarga dan

pengabdian terhadap ponggawanya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini sangat urgen untuk dikaji

secara sosiologis, karena masih sangat langkah dan bahkan di Sulawesi Selatan belum ada pengkajian dan

karya ilmiah yang diterbitkan berkenaan dengan “dualitas antara struktur dan aktor” dalam praktik-praktik

social masyarakat nelayan yang menghubungkan dengan “jebakan kekurangan” atau “perangkap

kemiskinan” (ketidakberdayaan, kerawanan, kelemahan fisik, tingkat pendapatan rendah, dan isolasi).

 

B.  FOKUS MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN

Demikian luas dan kompleksnya masalah perilaku sosial budaya masyarakat

nelayan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut dan perikanan,

sehingga focus masalah studi ini secara khusus di setting kearah yang terkait

dengan struktur kelembagaan nelayan, khususnya yang berkenaan dengan

struktur signifikasi, struktur dominasi, dan struktur legitimasi. Bagaimana

kekuatan ke tiga struktur tersebut mengkonstruksi tindakan masyarakat nelayan,

khususnya nelayan sawi, sehingga mereka sangat sukar keluar dari jebakan

kekurangan/perangkap kemiskinan, adalah masalah yang paling utama dalam

Page 7: Ansar Arifin

studi ini. Karena itu, konstruksi masalah akan didasarkan pada bentuk

pertanyaan penelitian sebagai berikut :                         

1. Bagaimana karakteristik dan penjelmaan dualitas struktur-aktor dalam praktik-praktik social pada

dinamika relasi patron-klien pada tingkat kelompok nelayan di Desa Tamalate, Kabupaten Takalar ?

2. Bagaimana keterkaitan antara praktik-praktik social pada dinamika ikatan patron-klien dengan

prasyarat fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola pada

tingkat komunitas nelayan di Desa Tamalate, Kabupaten Takalar ?

3. Bagaimana keterkaitan antara dualitas struktur pada tingkat ikatan patron-klien  dan prasyarat AGIL

pada tingkat komunitas dengan realitas perangkap kemiskinan pada tingkat masyarakat nelayan di Desa

Tamalate, Kabupaten Takalar ?

 

C.  TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menemukenali secara mendalam tentang kecenderungan adanya

kekuatan struktur yang mengkonstruksi tindakan sosial budaya nelayan, sehingga mereka terperangkap

atau terjebak dari berbagai kekurangan yang dimilikinya. Atas dasar itu, maka tujuan utama dalam

penelitian ini adalah mengungkap realitas sosial budaya tentang perangkap kemiskinan nelayan yang

kemudian dapat digunakan sebagai bahan keterangan ilmiah untuk menemukenali akar permasalahan

kemiskinan dalam relasi patron-klien. Selanjutnya, untuk tiba pada tingkatan analisis tersebut, maka

tujuan penelitian ini harus dapat :

 1. Mendeskripsikan bagaimana karakteristik dan penjelmaan dualitas struktur-aktor dalam praktik-

praktik social pada dinamika relasi patron-klien pada tingkat kelompok nelayan di Desa Tamalate,

Kabupaten Takalar

2. Mendeskripsikan bagaimana keterkaitan antara praktik-praktik social pada dinamika ikatan patron-

klien dengan prasyarat fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola pada

tingkat komunitas nelayan di Desa Tamalate, Kabupaten Takalar

3. Mendeskripsikan bagaimana keterkaitan antara dualitas struktur pada tingkat ikatan patron-

klien  dan prasyarat AGIL pada tingkat komunitas dengan realitas perangkap kemiskinan pada

tingkat masyarakat nelayan di Desa Tamalate, Kabupaten Takalar

 

Page 8: Ansar Arifin

D.  MANFAAT PENELITIAN

Secara akademis, keterangan ilmiah dari data empirik yang diperoleh melalui penelitian ini,

dapat menjadi pelengkap dalam pengembangan teori-teori tentang struktur kelembagaan sosial. Selain

itu, juga memberikan sumbangan etnografi tentang sebuah masyarakat berprofesi sebagai nelayan yang

terperangkap dalam kemiskinan ditengah-tengah kekayaan sumberdaya laut dan

perikanan.  Adapun manfaat praktisnya, paling sedikit dapat menjadi bahan informasi kepada pihak yang

menaruh perhatian dan berkepentingan dalam merancang dan merumuskan program-program kebijakan

tentang penanganan masalah kemiskinan dan pembangunan masyarakat pesisir dan pulau-pulau.

Secara khusus, studi ini dapat memberi kontribusi analisis dalam memecahkan persoalan kemiskinan

masyarakat nelayan yang sejak dahulu hingga sekarang masih menjadi lingkaran syetan.

 

 

 

II.   KAJIAN PUSTAKAA. Nelayan

Nelayan  adalah   orang    yang   mata pencaharian hidupnya sangat  tergantung pada sumberdaya laut

dan perikanan.

Pemandangan yang paling sering kita jumpai bila kita memasuki perkampungan nelayan adalah

adanya lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana.  Kalaupun ada beberapa

rumah yang menonjolkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah), rumah-rumah tersebut

umumnya dipunyai oleh ponggawa pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan

sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat tergantung pada individu yang bersangkutan. 

Dari segi status kepemilikan, nelayan dapat dikategorikan kedalam  5  (empat) kategori utama,

yakni : (1) Nelayan Sawi (buruh),  adalah seorang yang sama sekali tidak memiliki modal dan peralatan yang

bekerja sebagai buruh pada seorang ponggawa pemilik modal ; (2) Pemilik Modal Merangkap Ponggawa

Perahu (pemilik  operasional) adalah seorang ponggawa yang memiliki modal, alat tangkap dan perahu, serta

memiliki pengetahuan yang dalam tentang cara-cara penangkapan (erang pa’boya-boyang) dan cara-cara

pelayaran (Erang Passimombalang), dan memimpin langsung operasional penangkapan ikan di laut ; (3)

Ponggawa Caddi/Ponggawa Kecil, adalah seorang yang mendapat kepercayaan dari pemilik modal atau

ponggawa darat/ponggawa lompo untuk memimpin operasional penangkapan ikan di laut ; (4) Ponggawa

Darat (ponggawa lompo), yang dominan memiliki fasilitas alat-alat  penangkapan dan pelayaran serta

menyediakan bahan-bahan kebutuhan operasional bagi para sawi bersama-sama dengan ponggawa laut

(ponggawa perahu/ponggawa caddi) dan sekaligus turut menanggung biaya-biaya kebutuhan hidup keluarga

para sawi, selama sawi berada dilokasi penangkapan;  (5)  Nelayan Tunggal (Pa’boya),  adalah seorang yang

Page 9: Ansar Arifin

memiliki alat tangkap berupa pancing dan perahu katinting dan atau lepa-lepa (sampan) yang dioperasikan

sendiri (kepemilikan tunggal).

Nelayan merupakan salah satu masyarakat marginal yang seringkali tersisih dari akomodasi

kebijakan pemerintah. Problem yang dihadapi masyarakat nelayan sangatlah kompleks, mulai dari yang

bermuara pada minimnya penghasilan mereka. Seperti halnya masyarakat petani dan buruh (proletar),

masyarakat nelayan pun tercekik jerat kemiskinan yang menyerupai lingkaran setan (Wahyono, dkk, 2004).

Proses modernisasi pada masyarakat nelayan dapat dilihat  melalui adanya perubahan teknologi

seperti  fungsi layar dan dayung pada perahu yang kemudian digantikan oleh mesin motor yang  telah

membawa perubahan peranan dan bagi hasil serta turut merubah struktur sosial dalam relasi patron-klien.

Demikian juga, pada penggunaan teknologi pasang surut, seperti  adanya perkembangan dari alat perangkap

“bandrong” (teknologi pasang surut).  Kemudian berkembang melalui kombinasi antara lampu strongking

sebagai alat penerang untuk memikat ikan2 kecil dan beberapa bambu yang ditancapkan pada posisi yang

dangkal (pesisir pantai) yang  dibentuk menyerupai rumah yang tak berdinding, serta pada bagian

bawah dipadukan  dengan alat tangkap jarring. Kemudian alat ini secara lokal diistilahkan oleh komunitas

nelayan sebagai “bagang tancap”. Dalam periode waktu yang cukup panjang, alat itu kemudian

dikembangkan menjadi “bagang satu perahu”, yang selanjutnya berkembang menjadi “bagang dua

perahu’,  sampai ke alat yang nelayan sebut sebagai “Bagang Rambo” (bagang listrik) yang sekarang ini

telah banyak digunakan oleh nelayan dari Palopo.

Menurut Salman (2006), bahwa modernisasi perikanan tahun 1980-an telah memungkinkan kelas

terpinggirkan ini tampil pada puncak piramida sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa hadirnya teknologi gaE

memungkinkan mereka mereakumulasi modal dan mendiversifikasi usaha ekonomi. Konstruksi sosial yang

dahulu menempatkan mereka pada status rendah, dengan prestasi ekonomi secara bertahap didekonstruksi,

dan menempatkan mereka pada status tinggi. Pengejaran status sosial, atau tepatnya perjuangan untuk

terciptanya konstruksi sosial baru, melebur dengan ‘siri’ sebagai dasar motivasi.

Hasil penelitian Ishak Shari (1990)  di Kuala Besut dan Kuala Setiu di Timur Semenanjung Malasya,

mengungkapkan bahwa penggunaan teknologi moderen mempunyai dampak sosial yang sangat merugikan

para nelayan kecil. Sedang dalam sector tradisional, biaya peralatan yang cukup rendah bagi nelayan,

sehingga banyak nelayan mempunyai kesempatan untuk memiliki sendiri perahu dan menjadi kapten pada

unit penangkapan ikan itu sendiri.

Selanjutnya, dikatakan bahwa kemampuan untuk mengubah status seorang kru/sawi dalam struktur

sosial kenelayanan, misalnya dari kru/sawi untuk menjadi pemilik operator kecil, jauh lebih sulit karena

penghematan seorang Kru/Sawi sangat jauh lebih rendah dibandingkan investasi modal yang diperlukan. Ini

berarti bahwa ada suatu mekanisme kelembagaan yang melanggengkan struktur sosial yang ada.

Menurut Kusnadi (2002), secara faktual ada dua faktor yang menyebabkan kemiskinan pada

masyarakat nelayan, yaitu faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah disebabkan karena fluktuasi

musim tangkap ikan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Sementara faktor non alamiah

Page 10: Ansar Arifin

berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan ikan, ketimpangan dalam sistem

bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran hasil

tangkapan dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada. Selain itu, masalah teknologi konservasi atau

pengolahan yang sangat tradisional, serta dampak negatif orientasi produktivitas yang dipacu oleh kebijakan

motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap (revolusi biru) yang telah berlangsung sejak tiga

dasawarsa terakhir.

Selanjutnya, Kusnadi (2002) mengatakan bahwa kawasan laut yang begitu luas dan di dalamnya

terkandung berbagai potensi sumberdaya, dan bila dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya,

maka  akan menjadi sumber penghidupan masa depan bagi masyarakat.  Selanjutnya, dikatakan

bahwanelayan yang kadangkala diposisikan hanya sebagai pekerja di laut, telah diopinikan tidak memiliki

kemampuan yang signifikan dalam mengisi pemberdayaan bangsa, berbagai keraguan tentang keahlian

nelayan yang sesungguhnya tidak dimiliki oleh masyarakat lain. Padahal keahlian spesifik dari nelayan ini

merupakan keunggulan kooperatif yang dimiliki bangsa ini. Karena itu, Nelayan sebenarnya dapat menjadi

pemicu utama dalam upaya meraih keberhasilan pembangunan perikanan dan kelautan.

Dalam keadaan yang secara multidimensi demikian miskin, akan sangat sulit bagi para nelayan

untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan begitu sulit untuk bersaing dalam pemanfaatan hasil laut di era

globalisasi sekarang ini. Mereka akan selalu kalah bersaing dengan perusahaan penangkapan ikan, baik

nelayan asing, maupun nasional, yang menggunakan peralatan modern.

 

 

B.  KemiskinanIstilah kemiskinan pada dasarnya sangat konsepsional dan bersifat relative, sehingga untuk

membatasinya secara baku bukanlah pekerjaan mudah. Meski secara umum diungkapkan bahwa istilah

kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak berharta benda atau serba kekurangan.

Menurut Nawawi (2009), yang mendasarkan pada analisis Karl Marx dan Frederick Engels sebagai

pendukung teori demokrasi-sosial (Theory Social-Democracy), bahwa kemiskinan bukanlah persoalan

individu, melainkan persoalan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan

ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai

sumber-sumber kemasyarakatan.

Secara mendasar, kemiskinan adalah suatu istilah yang negatif yang mengandung arti kekurangan

atau ketiadaan kekayaan materil. Ketiadaan atau kekurangan yang demikian ini, jarang bersifat mutlak.

Karena itu, maka istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan situasi ketidakcukupan yang terjadi

atau dialami secara berkali-kali dalam jangka waktu lama, baik mengenai ketidakcukupan dalam hal

pemilikan kekayaan, maupun dalam hal pendapatan yang diperoleh atau diterima (Sallatang, 1986; 2-3).

Menurut Ismanto (1994:43), bahwa kemiskinan dapat didefinisikan dari dimensi sosial, politik, dan

ekonomi. Sehubungan dengan itu, dikenal adanyakemiskinan sosial, kemiskinan politik, dan kemiskinan

Page 11: Ansar Arifin

ekonomi. Kemiskinan sosial diartikan sebagai lemahnya jaringan sosial dan struktur sosial yang kurang

mendukung serta keterbatasan akses bagi seseorang untuk meningkatkan sumberdaya yang ada (Effendi

1993:202-203).

Sedang kemiskinan politik yaitu ketidakberdayaan atau ketidakmampuan politik suatu kelompok,

atau golongan masyarakat luas dalam mempengaruhi proses alokasi sumberdaya (Bulkin, 1988:19).

Kemudian kemiskinan ekonomi diartikan sebagai keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk

mempertahankan kehidupan yang layak. Fenomena kemiskinan ekonomi umumnya dikaitkan dengan

kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak tersebut (Esmara, 1986:286). 

Rustiadi, dkk (2007), mengatakan bahwa secara hakiki kemiskinan didefinisikan sebagai suatu

keadaan dimana tingkat pendapatan seseorang menyebabkan dirinya tidak dapat mengikuti tata nilai dan

norma yang berlaku di masyarakat. Penggunaan istilah miskin dan tidak miskin selama ini sering

meresahkan beberapa kalangan akibat penggolongan daerah miskin, sangat miskin dan seterusnya dalam

kehidupan sehari-hari seringkali berkonotasi merendahkan.

Kemudian, Amartya Sen (Mikkelsen, 2001) mengatakan bahwa ada inti yang absolut darI kemiskinan.

Wabah kelaparan berkaitan dengan ide tentang kemiskinan absolut, demikian pula ketidakmampuan dalam

menghadapi kehinaan sosial, dan ketidakmampuan dalam membesarkan dan mendidik anak. Pemikiran

mengenai kemiskinan berubah sejalan dengan berlakunya waktu, tetapi pada dasarnya berkaitan dengan

ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (fundamental needs). Bagian dari standar hidup bukan

barang atau sifatnya, melainkan kemampuan untuk melakukan berbagai hal dengan menggunakan barang

atau pelayanan tersebut.

Kemiskinan adalah suatu pemikiran yang absolut dalam lingkup kemampuan, tetapi seringkali

mengambil bentuk relatif dalam lingkup komoditas atau sifat. Kemiskinan pada dasarnya sangat

konsepsional dan bersifat relatif, sehingga untuk membatasinya secara baku bukanlah pekerjaan mudah.

Meski secara umum diungkapkan bahwa istilah kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak

berharta benda atau serba kekurangan. Karena itu, Hobsbawm (dalamInternational Encyclopedia Of The

Social Sciences), mengatakan bahwa  kemiskinan mengandung tiga arti, yaitu : (a) kemiskinan sosial (social

poverty), (b) pauparism (keadaan jatuh menjadi miskin), dan (c) kemiskinan moral (moral poverty).

Menurutnya, kemiskinan sosial (social poverty) tidak hanya mengandung arti ketidaksamaan yang bersifat

ekonomi, misalnya menyangkut  kepemilikan kekayaan materil dan pendapatan, tetapi juga bersifat sosial,

seperti adanya perasaan rendah diri (inferiorty) dan ketergantungan.  Selanjutnya, pauperism (keadaan jatuh

menjadi miskin) diartikan sebagai orang-orang yang termasuk kategori tidak mempunyai kemampuan untuk

memelihara dirinya sendiri sampai pada tingkat pemenuhan kebutuhan minimal tanpa bantuan dari orang

lain. Sedang, kemiskinan moral (moral poverty), erat kaitannya dengan nilai-nilai sosial yang dianut oleh

masyarakat yang bersangkutan.

  Dengan demikian, kemiskinan sebagai suatu gejala ekonomi akan

berbeda dengan kemiskinan selaku gejala sosial yang membudaya (budaya

Page 12: Ansar Arifin

miskin).  Kemiskinan ekonomi merupakan gejala yang terjadi di sekitar

lingkungan penduduk miskin dan seringkali dikaitkan dengan masalah

kekurangan pendapatan, sebaliknya sebagai gejala sosial yang membudaya lebih

banyak terletak di dalam diri penduduk miskin itu sendiri seperti sikap,

perilaku,  dan cara hidupnya.

Menurut ADB (1999), bahwa gejala-gejala kemiskinan dengan mudah dapat diketahui seperti

kekurangan gizi, buta huruf, penyakit, lingkungan hidup yang serba kotor, tingginya tingkat kematian bayi

dan rendahnya harapan hidup. Namun demikian, untuk mengoperasionalkan konsep kemiskinan tersebut

masih diperlukan beberapa perkiraan kuantitatif untuk lebih mempertajam permasalahan yang dihadapi.

Selanjutnya, pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan

kebutuhan.  Perkiraan kebutuhan hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum,

sehingga memungkinkan seseorang dapat hidup secara layak.  Karena itu, bila sekiranya tingkat pendapatan

tidak dapat mencapai kebutuhan minimum, maka orang atau keluarga tersebut dapat dikatakan miskin.

Dengan demikian, diperlukan suatu tingkat pendapatan minimum, sehingga memungkinkan orang

atau keluarga memperoleh kebutuhan dasarnya.  Dengan kata lain, bahwa kemiskinan dapat diukur dengan

memperbandingkan tingkat pendapatan orang atau suatu keluarga dengan tingkat pendapatan yang

dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimum. 

Dalam pada itu, tingkat pendapatan minimum akan merupakan pembatas antara keadaan miskin dan

tidak miskin atau biasa disebut sebagai garis kemiskinan. Konsep ini lebih dikenal sebagai kemiskinan

mutlak (absolut).  Sebaliknya, jika tingkat pendapatan sudah mampu mencapai tingkat kebutuhan dasar

minimum tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya, maka orang

atau keluarga tersebut masih berada dalam keadaan miskin.  Hal ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak

ditentukan oleh keadaan lingkungan kebudayaan sekitarnya daripada lingkungan orang atau keluarga yang

bersangkutan.  Konsep ini dikenal sebagai kemiskinan relative (ADB, 1999:26).

Menurut Sayogyo (1992), bahwa seseorang disebut miskin bila pendapatannya setara atau kurang

dari 320 kg beras per tahun per orang untuk di pedesaan dan 480 kg beras per tahun per orang untuk di

perkotaan. Selanjutnya, dikatakan bahwa cara yang lebih akurat untuk menetapkan garis kemiskinan adalah

dengan menghitung Kebutuhan Hidup Minimal (KHM) tiap rumah tangga. Kebutuhan hidup dalam hal ini

adalah kebutuhan pokok (basic needs) yang meliputi makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan,

transportasi, dan partisipasi masyarakat. Ukuran ini akan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya

serta sesuai jenis-jenis kebutuhan pokoknya.

Menurut Todaro (1995: 31-32), bahwa versi lain untuk mendefinisikan kemiskinan absolute adalah: “tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi “Kebutuhan Fisik Minimum” (KFM) terhadap makanan, pakaian dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup”.  Angka KFM ini berbeda-beda

Page 13: Ansar Arifin

dari satu negara ke negara lainnya, bahkan dari satu daerah ke daerah lainnya serta bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu. PBB pernah menentapkan “Garis Kemiskinan Internasional” sebesar US $ 125,- per orang per tahun atas dasar harga konstan tahun 1980. Itu berarti seseorang yang konsumsinya kurang dari US $ 125,- per tahun dapat digolongkan berada di bawah Garis Kemiskinan atau berada dalam kemiskinan absolute.   Lebih lanjut,  dikatakan oleh Todaro (1995: 150-151) bahwa kemiskinan relatif dapat dilihat dengan memperbandingkan proporsi atau persentase penduduk yang berada pada dan di bawah garis kemiskinan absolut dengan jumlah penduduk keseluruhan. Untuk lebih memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang tingkat kemiskinan relatif atau pemerataan kesejahteraan ekonomi perlu diketahui distribusi pendapatan.

Kesulitan utama dalam konsep kemiskinan mutlak adalah penentuan komposisi dan tingkat

kebutuhan minimum.  Kebutuhan minimum tidak hanya dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan, tetapi juga erat

hubungannya dengan tingkat pembangunan, iklim dan berbagai faktor ekonomi lainnya. 

Berdasarkan realitas kehidupan yang sedang dialami atau ringkat hidup masyarakat, khususnya

yang berkenaan dengan tingkat pendapatan, J. Rubinow (dalam Rubinow, Vol. XI-XII, 285)  mengemukakan

suatu klasifikasi yang terdiri dari lima tingkatan. Bertrut-turut dari bawah ke atas masing-masing adalah: (a)

keadaan serba tak berkecukupan (insufficiency), (b) hidup secara minimal (minimum subsistence), (c) hidup

sehat dan tertib, wajar dan berkepantasan atau layak (health and decency), (d) hidup menyenangkan

(comfort), dan (e) hidup mewah (luxury).

Charles Booth (dalam Rubinow, Vol. XI-XII, 286), menggunakan klasifkasi yang terdiri atas empat

kategori atau tingkatan, yaitu: (a) orang-orang yg sangat miskin (the very poor), (b) orang-orang miskin (the

poor), (c) orang-orang yang hidup senang (the comfortable),  dan (d) orang-orang yang baik untuk berbuat

(the well to do).

Berbagai komponen telah dipergunakan dalam mengukur tingkat kehidupan manusia.  Sebuah

laporan PBB, Report on International Definition and measurement of Standards and Level of

Living (selanjutnya disebut Laporan PBB-I) mengemukakan 12 macam komponen sebagai dasar untuk

memperkirakan kebutuhan dasar manusia.  Komponen-komponen itu terdiri dari kebutuhan langsung

maupun tidak langsung terutama yang berkaitan dengan keadaan lingkungan kehidupan.  Komponen-

komponen tersebut terdiri dari kesehatan, pangan dan gizi, pendidikan, kondisi pekerjaan, situasi

kesempatan kerja, konsumsi dan tabungan, pengangkutan, perumahan, sandang, rekreasi dan hiburan,

jaminan sosial dan kebebasan manusia.

Dalam konsep kemiskinan relatif, garis kemiskinan ditentukan oleh keadaan masyarakat sekitarnya dari pada

orang atau keluarga itu sendiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Atkinson (dalam Anto dan Benget, 2004),

bahwa suatu garis kemiskinan tidak dapat ditentukan dalam keadaan vakum, tetapi dilihat dalam

hubungannya dengan lingkungan masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Sedangkan

Page 14: Ansar Arifin

Townsend   (dalam Suyanto dan Karnaji, 2005), mengemukakan bahwa kebutuhan yang tidak terpenuhi

hanya dapat dijelaskan secara memuaskan jika dihubungkan dengan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan

relatif biasanya diperkirakan dengan memperhatikan golongan berpendapatan rendah dari suatu pola

pembagian pendapatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa x % dari suatu pola pembagian pendapatan

golongan bawah akan berada dalam posisi kemiskinan. Atau garis kemiskinan tersebut dikaitkan dengan

nilai-nilai statistik seperti nilairata-rata (mean) atau median. Berdasarkan konsep kemiskinan relatif ini, garis

kemiskinan akan mengalami perubahan bila seluruh tingkat kehidupan masyarakat mengalami

perubahan.  Hal ini jelas merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan mutlak.  Tetapi kelemahan konsep ini

terletak pada sifatnya yang dinamis. Secara implisit akan terlihat bahwa “kemiskinan akan selalu berada di

antara kita”. Dalam setiap waktu akan selalu terdapat x% dari jumlah penduduk yang dapat dikategorikan

miskin. Sehingga berbeda dengan konsep kemiskinan mutlak, yaitu jumlah orang miskin tidak mungkin akan

habis sepanjang zaman.

Untuk menghindari hal tersebut, Kincaid (dalam Wie, 1981) melihat masalah kemiskinan dari aspek

ketimpangan sosial. Semakin besar ketimpangan antara tingkat kehidupan golongan atas dan golongan

bawah, akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan sebagai miskin. Selanjutnya,

Miller dan Roby (dalam Suyanto dan Karnaji, 2005) juga melihat masalah kemiskinan ini dari sifat dan ukuran

perbedaan golongan 20% atau 10% penduduk berpendapatan rendah dengan golongan masyarakat lainnya.

Namun demikian, ketimpangan pembagian pendapatan dan kemiskinan bukanlah merupakan suatu

hal yang sama, walaupun mempunyai hubungan yang erat satu sama lainnya.  Sebagaimana dikemukakan

oleh Sen (dalam Wie, 1981), bahwa transfer pendapatan dari golongan berpendapatan sedang ke golongan

berpendapatan tinggi akan memperbesar tingkat ketimpangan, tetapi sebaliknya golongan miskin tidak

mengalami perubahan apapun.

Menurut Rahardjo (1995), bahwa kondisi kemiskinan ini disebabkan oleh beberapa faktor yang

berbeda-beda, diantaranya :

1.    Kesempatan kerja, seseorang itu miskin karena menganggur sehingga tidak memperoleh

penghasilan ataupun kalau bekerja tidak penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan atau

tahunan.

2.    Upah/gaji di bawah standar minimum,

3.    Produktifitas yang rendah,

4.    Ketiadaan asset,

5.    Adanya diskriminasi, sex misalnya,

6.    Tekanan Harga, hal ini terutama berlaku pada petani kecil dan pengrajin dalam industri rumah

tangga,

7.    Adanya penjualan tanah.

Lebih lanjut lagi, Mubyarto (1995) mengemukakan bahwa kemiskinan di pedesaan masih tetap

menyolok sekurang-kurangnya disebabkan oleh 4 (empat) faktor berikut:

Page 15: Ansar Arifin

1.    Adanya  pemusatan pemilikan tanah yang dibarengi dengan adanya proses fragmentasi pada arus

bawah masyarakat pedesaan. Jumlah penduduk pedesaan terus bertambah tetapi tidak dibarengi

dengan bertambahnya tanah (semakin kurangnya pemilikan tanah bagi petani kecil).

2.    Nilai tukar hasil produksi dari warga pedesaan khususnya sektor pertanian yang semakin jauh

tertinggal dengan hasil produksi lain, termasuk kebutuhan hidup sehari-hari warga pedesaan.

3.    Lemahnya posisi dari masyarakat desa khususnya dalam mata rantai perdagangan,

4.    Karakter struktur sosial masyarakat pedesaan yang terpolarisasi.

Faktor-faktor penyebab kemiskinan di atas menjadi perangkap bagi masyarakat untuk mencapai

tingkat hidup yang lebih baik. Sementara itu bila ditelusuri sebab-sebab kemiskinan dalam masyarakat, maka

menurut Kusnadi (2003), ada dua kategori yaitu bersifat eksternal dan internal, kemudian dia menguraikan

bahwa kategori yang bersifat internal adalah: (1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan, (2)

keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan, (3) hubungan kerja dalam organisasi

penangkapan yang dianggap kurang mengutungkan nelayan buruh, (4) kesulitan melakukan diversifikasi

usaha penangkapan, (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut, dan (6) gaya hidup yang di

pandang boros sehingga kurang berorientasi kemasa depan.

Lebih lanjut, sebab-sebab kemiskinan yang bersifat eksternal menurut Kusnadi, adalah: (1)

kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang

pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial, (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih

menguntungkan pedagang perantara, (3) kerusakan ekosistem pesisir laut karena pencemaran dari wilayah

darat, (4) penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan, (5) penegakan hukum yang

lemah  terhadap perusak lingkungan.

Perkiraan mengenai tingkat kemiskinan di Indonesia berdasarkan konsep kemiskinan mutlak maupun

konsep kemiskinan relatif.  Melalui konsep kemiskinan mutlak, perkiraan garis kemiskinan dikaitkan dengan

kebutuhan minimum yang diperlukan seseorang atau keluarga tanpa mengalami perubahan dari suatu

periode ke periode lainnya, sebaliknya konsep kemiskinan relatif memperkirakan garis kemiskinan dari

perkembangan tingkat kehidupan masyarakat secara keseluruhannya melalui pendekatan konsep pola

pembagian pendapatan atau nilai-nilai statistik. Perkiraan garis kemiskinan nasional berdasarkan

pendekatan kebutuhan pangan telah dilakukan oleh Esmara, Sajogyo, Ginneken, Booth, dan Gupta. 

Di samping itu, perkiraan garis kemiskinan berdasarkan pendekatan pengeluaran minimum telah dilakukan

pula oleh Esmara, Sajogyo, Perera, Ginneken, Hasan, dan Staff Bank Dunia (Development Policy Staff).

Selain itu, perkiraan garis kemiskinan internasional di dalam mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia.  Hal

tersebut terlihat dalam penelitian Esmara, Ahluwalia dan Staff Bank Dunia (interim report). Selanjutnya,

hampir seluruh perkiraan tingkat kemiskinan yang pernah dilakukan   di Indonesia diperhitungkan dari

konsep kemiskinan mutlak kecuali Esmara berdasarkan pendekatan relatif.  Namun demikian, perkiraan yang

pernah dilakukan oleh Esmara sukar dibandingkan dengan perkiraan yang dilakukan berdasarkan

pendekatan kebutuhan dasar.  Garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran rata-rata untuk kebutuhan dasar

Page 16: Ansar Arifin

hanya 67% sampai 81% dari pengeluaran rata-rata keseluruhannya.  Di samping konsep kemiskinan relatif,

Esmara juga telah mempergunakan pendekatan kemiskinan mutlak.

Sedangkan Bank Dunia mengadakan beberapa perkiraan mengenai tingkat kemiskinan di Indonesia.  Suatu

studi yang dilakukan oleh staff Bank Dunia memperkirakan tingkat kemiskinan penduduk di daerah kota

sebesar 18,7% dan di daerah pedesaan sebesar 50,2%.  Sebaliknya, Gupta tidak memperkirakan jumlah

penduduk di bawah garis kemiskinan, tetapi mempergunakan konsep kesenjangan kemiskinan sebagai

dasar pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia.  

Selanjutnya, dikatakan bahwa atas dasar karakteristik demografi dan penduduk miskin teridentifikasi secara

umum rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin di Indonesia adalah 5-8 orang sedangkan yang bukan

miskin 4,5 orang, dan perbandingan antar-regional menunjukkan bahwa Jawa-Bali mempunyai anggota

keluarga lebih banyak dibandingkan luar Jawa-Bali.    

Lebih lanjut, dikatakan bahwa bila kita mengacuh pada pekerjaan kepala rumah tangga ternyata pada

umumnya mereka lebih banyak kepala rumah tangga miskin bekerja sebagai pengusaha (berusaha sendiri)

ketimbang sebagai buruh. Sedangkan berdasarkan penghasilan rumah tangga miskin, sumber penghasilan

dibagi menjadi 4 (empat) yaitu, sumber penghasilan dari upah dan gaji, penghasilan dari usaha, penghasilan

dari transfer rumah tangga lain, dan penghasilan lainnya. Penghasilan dari upah/gaji merupakan imbalan dari

jabatannya sebagai buruh, penghasilan dari usaha merupakan imbalan dari jabatannya sebagai pemilik

usaha, penghasilan dari transfer terdiri dari uang kiriman, warisan, sumbangan, hadiah, hibah, dan bantuan.

Sedangkan penghasilan lainnya meliputi penghasilan dari sewa, bunga, deviden, pensiun, bea siswa, klaim

asuransi jiwa dan sebagainya.

Lebih lanjut lagi, berdasarkan pola pengeluaran rumah tangga miskin, maka hal ini dibagi atas pola

pengeluaran makanan dan non makanan. Dari sudut ini terlihat bahwa secara umum porsi pengeluaran

makanan dari rumah tangga miskin jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan porsi pengeluaran non-

makanannya. Karena umumnya rumah tangga miskin masih sangat mengutamkan kebutuhan primernya

dibandingkan dengan kebutuhan sekunder.

Pandangan Bank Dunia, bahwa dari aspek karakteristik sosial-budaya yang diwakili oleh tingkat pendidikan

anggota keluarga dan nisbah (pertalian darah/hubungan keluarga) jumlah lulusan suatu tingkat pendidikan

terhadap jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan. Nisbah (pertalian

darah/hubungan keluarga) disini selain menunjukkan tingkat partisipasi dalam memperoleh pendidikan dari

anggota rumah tangga, sekaligus menggambarkan tingkat keberhasilan anggota rumah tangga dalam

menempuh suatu pendidikan hingga selesai. Keberhasilan menempuh pendidikan hingga lulus di pengaruhi

oleh banyak faktor, diantaranya adalah ketersediaan biaya, kemampuan dan kemauan fisik maupun mental

para siswa untuk mengikuti pelajaran / kuliah di bangku pendidikan, dan sebagainya.

Karakteristik lain dari masyarakat miskin dan terbelakang khususnya di kawasan timur Indonesia di

identifikasi oleh Syamsuddin (2002) sebagai berikut :

1.    Umumnya mereka tersebar di wilayah dan pulau-pulau kecil

Page 17: Ansar Arifin

2.    Mereka adalah kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya

laut

3.    Usaha mereka bersifat subsisten

4.    Aksesnya terhadap sumber daya perikanan yang dapat terjangkau (pantai) semakin terbatas

karena kerusakan habitat ikan bernilai ekonomis

5.    Aksesnya terhadap pasar terbatas

6.    Permodalan mereka lemah

7.    Status kesehatan mereka rendah

8.    Tingkat pendidikan mereka rendah

9.    Harapan mereka terhadap masa depan ekonomi keluarganya rendah

10. Mereka tergolong usia produktif tapi belum berproduksi secara optimal

11. Mereka merupakan pencari kerja dan penganggur.  

Selama ini, berbagai hasil kajian penelitian tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan

telah mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka, khususnya yang tergolong nelayan buruh atau

nelayan-nelayan kecil (sawi), hidup dalam kubangan kemiskinan.

Kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat

terbatas. Bagi masyarakat nelayan, diantara beberapa jenis kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang

paling penting adalah pangan. Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pangan setiap hari sangat berperan

besar untuk menjaga kelangsungan hidup mereka (Kusnadi, 2006).

Lebih lanjut lagi, Kusnadi, 2006 mengidentifikasi sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan

nelayan:

a. Belum adanya kebijakan dan aplikasi pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan

yang terintegrasi atau terpadu di antara para pelaku pembangunan,

b.           Menjaga konsistensi kuantitas produksi (hasil tangkap) sehingga aktivitas sosial ekonomi

perikanan di desa-desa nelayan berlangsung terus,

c. Masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar masuknya barang, jasa,

kapital, dan manusia. Berimplikasi melambatkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya

masyarakat nelayan,

d.           Keterbatasan modal usaha atau investasi sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan

kegiatan ekonomi perikanannya,

e. Adanya relasi sosial ekonomi ”eksploitatif” dengan pemilik perahu dan pedagang perantara

(tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan,

f.   Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, berdampak sulitnya peningkatan skala

usaha dan perbaikan kualitas hidup,

g.           Kesejahteraan sosial nelayan yang rendah sehingga mempengaruhi mobilitas sosial

mereka,

Page 18: Ansar Arifin

h.           Lemah karsa (Prof. Herman Soewardi).

Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir khususnya nelayan, lebih

banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang erat kaitannya dengan karakteristik

sumberdaya dan teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud telah membuat nelayan tetap

dalam kemiskinannya. Karena itu, Smith (1776) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di

berbagai Negara Asia, serta Anderson (1972) yang dilakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara

yang tiba pada kesimpulan bahwa kekacauan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah

alasan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan.

 

C. Perangkap KemiskinanBerdasarkan hasil studi Chambers di Asia Selatan dan Afrika, Soetrisno (Awan Setya D.et.all, 1995),

menyimpulkan bahwa inti dari masalah kemiskinan terletak pada apa yang disebut dengan “deprivation

trap” (jebakan kekurangan). Di dalam “deprivation trap” (jebakan kekurangan) tersebut terdiri dari lima

ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin, yaitu (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan

fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan dan (5) ketidakberdayaan. Kelima ketidakberuntungan tersebut saling

terkait satu sama lain, sehingga merupakan “deprivation trap” ini.

Dari lima ketidakberuntungan yang disebutkan di atas, menurut Chambers ada dua hal yang

memerlukan perhatian serius, yaitu (1) kerentanan dan (2) ketidakberdayaan. Hal ini disebabkan dua jenis

ketidakberuntungan yang sering menjadi sebab orang miskin menjadi lebih miskin. Berdasarkan ciri-ciri

kemiskinan tersebut, maka apabila dalam konsep pembangunan manusia ditunjukkan dengan kemajuan

manusia atau derajat manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup, maka kemiskinan ditunjukkan dengan

ketidakmampuan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dengan kata lain, antara pembangunan

manusia dan kemiskinan merupakan kondisi yang masing-masing menempati kutub yang berlawanan.

Karena itu, Chamber yang juga dikutip oleh Mikkelsen (2001) mendefinisikan kemiskinan sebagai “suatu

keadaan melarat dan ketidakberuntungan, suatu keadaan minus (deprivation)”, bila dimasukkan dalam

konteks tertentu (India), hal itu berkaitan dengan “minimnya pendapatan dan harta, kelemahan fisik, isolasi,

kerapuhan dan  ketidakberdayaan”.

 

D.  KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIK

Pokok pikiran yang dirumuskan oleh Giddens ke dalam apa yang ia sebut sebagai Teori Strukturasi,

adalah bahwa tidak ada ‘struktur’ tanpa ’pelaku’ dan tidak ada ‘tindakan’ tanpa ‘struktur’. Selanjutnya, atas

dasar perspektif strukturasi, lalu ia kembali menginterpretasi berbagai permasalahan besar yang berkenaan

dengan modernitas, globalisasi, Negara (bangsa) dan sebagainya.

Giddens, pada mulanya menempatkan posisi pendekatannya melalui kritik terhadap beberapa

mazhab pemikiran ilmu social, seperti Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. Kemudian,  ia

mengarahkan kritikannya pada pemikiran sosiologi klasik yang telah menjadi mazhab sekarang ini, seperti

Page 19: Ansar Arifin

fungsionalisme imperatives Talcott Parsons, interaksionisme-simbolik Erving Goffman, marxisme,

strukturalisme Ferdinand de Saussure dan C. Lévi-Strauss, dan sebagainya (Herry-Priyono, 2003: 6-7).

Pandangan strukturalis-positivistik dan voluntarisme-interpretatif melihat hubungan antara struktur

dan actor sebagai dualisme. Bagi Giddens, dualisme adalah tegangan

antara subyektivisme dan obyektivisme, voluntarisme dan determinisme.

Selanjutnya, subyektivisme dan voluntarisme merupakan cara pandang yang mengutamakan tindakan atau

pengalaman actor (individu) di atas gejala keseluruhan.  Sedang, obyektivisme dan determinisme adalah

cara pandang yang cenderung mengutamakan gejala keseluruhan di atas tindakan dan pengalaman individu

(actor). Karena itu, teori strukturasi tidak melihat struktur  dan actor (agen) sebagai dua hal yang bersifat

dikotomi atau tak dapat dipahami dalam keadaan saling terpisah satu sama lain; agen dan struktur ibarat dua

sisi dari satu mata uang logam (dwi rangkap); agen dan struktur saling jalin menjalin tanpa terpisahkan

dalam praktik atau aktivitas manusia. Dengan demikian, maka seluruh tindakan social memerlukan struktur

dan seluruh struktur memerlukan tindakan social (Ritzer, 2008: 508).

 

 

KETERKAITAN STRUKTURASI DAN FUNGSIONALISME IMPERATIVE PADA RELASI PONGGAWA-SAWI

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 20: Ansar Arifin

1. TEORI STRUKTURASI (GIDDENS)

Pada dasarnya, Teori Strukturasi Giddens yang memusatkan perhatiannya pada praktik social yang

berulang adalah sebuah teori yang menghubungkan antara agen dan struktur. Berstein mengatakan dalam

Rizter (2008: 508) bahwa “tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah untuk menjelaskan hubungan

dialektika dan saling pengaruh mempengaruhi antara agen dan struktur”.

Berkaitan dengan itu, menurut  Giddens (1984: 29), bahwa setiap struktur besar memiliki tiga gugus

struktur yang membangunnya. Ketiga gugus struktur itu adalah: (1). Struktur signifikasi yang berkaitan

dengan skemata simbolik dan wacana; (2). Struktur dominasi, yang mencakup skemata penguasaan atas

orang (politik) dan barang (ekonomi); dan, (3). Struktur legitimasi yang berkaitan dengan skemata aturan

normatif yang tertuang dalam tata hukum/aturan main.

Pada gambar di atas, menunjukkan bahwa tingkat stabilitas dan fluktuasi suatu struktur jaringan

akan ditentukan oleh keseimbangan hubungan dalam tiga gugus tersebut. Mengenai terbentuk dan

berubahnya suatu struktur jaringan itu, ada tiga pengandaian penting yang diajukan dalam teori strukturasi

ini (Giddens, 1984 : 16-25).

(1).    Struktur jaringan diandaikan sebagai medium (perantara) interaksi sekaligus juga sebagai

instrument bagi para pelaku jaringan. Konsekuensinya, struktur jaringan bukan hanya memiliki

dimensi untuk mengekang (constraint) perilaku actor (individu) supaya sesuai dengan norma-

norma dan regulasi-regulasi yang ada di dalamnya.

(2). Dengan tingkat otonomi yang dimiliki para pelaku jaringan, baik individu maupun

organisasi, mereka memiliki apa yang disebut sebagai kemampuan mawas diri, self-

reflection  (Giddens, 1984 : 41-45). Dalam arti, bahwa para pelaku jaringan dianggap memiliki

kapasitas kekuasaan yang kuat (agential power) untuk mengubah dan atau memepertahankan

struktur jaringan.

(3). Adanya interaksi-interaksi yang terjadi secara berulang-ulang yang didasari pada

kepentingan praksis (bidang kehidupan), yang akan membentuk dan mengubah struktur itu

(Giddens, 1984 : 162-213).

Dengan demikian, tiga pengandaian dalam teori strukturasi yang diuraikan di atas, dapat dipahami

bahwa terbentuknya dan berubahnya struktur jaringan terjadi lewat hubungan dualitas antara struktur

jaringan dan tindakan-tindakan para pelaku jaringan. Selanjutnya, meskipun agent (aktor) memiliki peran

penting dalam proses interaksi, namun struktur  juga memiliki peran yang menentukan (Lihat: Giddens

dalam Priyono, 2003). Perilaku sosial para actor diarahkan, dibatasi, dibentuk, dan bahkan dikerangkai oleh

struktur yang dapat saja terjadi dalam tataran tindakan yang berupa struktur signifikasi, struktur dominasi,

dan struktur legitimasi.

Page 21: Ansar Arifin

Lebih lanjut lagi, dikatakan bahwa cara berpikir para actor, aturan main yang mengkerangkai relasi,

serta pola distribusi sumberdaya sangat mempengaruhi pilihan perilaku para actor yang terlibat dalam

jaringan. Sebagian atau semua struktur ini bisa menghalangi (constraining) atau pun memberdayakan

(enabling) para actor untuk mengelola interaksi horizontal antar actor. Karena itu, untuk dapat mengelola

jaringan dengan baik, para actor (individu) berkepentingan untuk merestrukturasi tiga gugus struktur secara

berkelanjutan agar tipe struktur yang menghalangi (constraining) bisa digeser menjadi memberdayakan

(enabling).

Ketiga gugus besar struktur di atas, memiliki keterkaitan satu sama lain dan merupakan satu

kesatuan unit analisis, yakni ;

 Pertama,  struktur signifikasi (signification) cenderung menyangkut skemata simbolik, pemaknaan,

penyebutan, dan wacana. Kategori tindakan yang terkandung dalam struktur penandaan atau struktur

signifikasi (signification) dapat digambarkan melalui tindakan sekuritas sosial (social security) seorang

ponggawa terhadap keluarga nelayan (sawi). Misalnya, ketika kelompok nelayan sawi masih berada di laut

untuk melakukan pengumpulan produksi, lalu kemudian keluarganya membutukan tambahan biaya hidup

atau biaya kesehatan dan lain-lainnya yang mendesak, maka ponggawa lompo bertanggungjawab memberi

pinjaman kepada keluarga sawi (fungsi Ponggawa sebagai lembaga perkreditan). Demikian juga, ketika

adanya kebutuhan akan biaya-biaya upacara lingkaran hidup (life cycle) bagi keluarga sawi, maka ponggawa

berkewajiban untuk membantu. Tataran tindakan ini merupakan wacana yang terkandung dalam struktur

penandaan atau struktur signifikasi, yang dimaknai seakan-akan tindakan ponggawa telah menyelamatkan

permasalahan sosial budaya dan ekonomi keluarga mereka. Namun semua itu, tidak lain dari keterikatan

sawi melalui ketergantungan utang-piutang yang harus dilunasi. Demikian juga, bagaimana seorang

ponggawa dalam memperlakukan sawinya yang seakan-akan sebagai kerabat dekat atau menyerupai

keluarga (pseudo khinsip), merupakan penjelmaan “tidakan penjinakan” (domestication) dalam membangun

struktur kepercayaan dan keyakinan seorang sawi terhadap ponggawa. Tindakan penjinakan (domestication)

seorang ponggawa terhadap sawi dimaksudkan bahwa selain berupa pengakuan sebagai keluarga (Pseudo

Kinship), juga terkadang berupa pemujian (recommendation) terhadap kinerja sawi. Sehingga, diluar

kesadaran seorang sawi, dengan segala bentuk tindakan penjinakan yang dilakukan oleh seorang

ponggawa, telah membuat sawi merasa terpesona terhadap perlakuan ponggawanya. Semua itu,

berimplikasi terhadap struktur penguasaan atau struktur dominasi seorang ponggawa terhadap perasaan

dan cara berpikir sawi. Hal ini yang disebut oleh Giddens (2010: 64) sebagai  “motivasi tak sadar” yang

merupakan ketidakmampuan memberikan ungkapan verbal (kata/lisan) terhadap tindakannya, meskipun hal

itu merupakan keinginan yang berpotensi mengarahkan tindakan sawi.

Kedua, struktur penguasaan atau struktur dominasi (domination), dimaksudkan bahwa selain keterkaitannya

dengan penguasaan terhadap perasaan dan cara berpikir sawi (kepribadian), juga penyediaan biaya

operasional yang merupakan pinjaman modal kelompok yang harus dibayar setelah produksi, sampai

Page 22: Ansar Arifin

dengan penyediaan alat-alat produksi, dan pemasaran produksi yang semuanya dikuasai oleh seorang

ponggawa lompo. Ini berarti bahwa  struktur dominasi mencakup penguasaan atas sawi (politik) dan

barang/hal (ekonomi) atau dalam arti penguasaan untuk pencapaian tujuan politik dan ekonomi.

Ketiga,  struktur pembenaran/pengesahan atau struktur legitimasi (legitimation) dapat digambarkan melalui

tindakan ponggawa lompo dalam menetapkan kebijakan bagi hasil dalam kelompok (fungsi lembaga bagi

hasil) yang harus disetujui/diterima sebagaimana yang ditetapkan oleh ponggawa lompo. Demikian juga,

kebijakan dalam memasarkan hasil produksi (fungsi lembaga pemasaran) yang harus diterima dan disetujui

oleh kelompok sebagai suatu tindakan pembenaran/pengesahan terhadap kebijakan ponggawa

lompo.  Struktur tersebut menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap dalam tata aturan

kelompok ponggawa-sawi.

Dalam kondisi demikian, maka seorang sawi cenderung berada dalam posisi yang sangat lemah,

karena disamping memiliki peranan yang sangat kecil, juga tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri

tanpa adanya bantuan dari seorang ponggawa. Sebaliknya, ponggawa cenderung berada dalam posisi yang

sangat kuat, karena disamping ia sebagai pemilik modal, juga sebagai orang yang memiliki atau menguasai

peranan dalam praktik-praktik sosial relasi patron-klien. Konsekuensi dari segalah pemenuhan kebutuhan

sawi dan keluarganya yang menjadi tanggungan seorang ponggawa, adalah bahwa seorang sawi

cenderung merasa tidak memiliki tantangan hidup dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Karena itu,

kebiasaan inilah yang menjadi daya tarik atau yang mendorong seorang sawi memiliki kesetiaan yang sangat

tinggi dan selalu terpesona dengan fasilitas materi, fasilitas moral, dan fasilitas kepercayaan dari

seorang   ponggawa, yang secara tidak disadari (“kesadaran praktis”) justru telah menjadi perangkap bagi

dirinya.

Giddens (2010: 64-70) membedakan adanya tiga dimensi internal actor (pelaku) yang berkaitan

dengan (1) “motivasi tak sadar”, (2) “kesadaran praktis”, dan (3) “kesadaran diskursif”. Bagi Giddens,

“Motivasi tak sadar” diartikan sebagai ketidakmampuan memberikan ungkapan verbal (kata/lisan) terhadap

tindakan, meskipun hal itu merupakan keinginan yang berpotensi mengarahkan tindakan.  “Kesadaran

diskursif” berarti kemampuan membahasakan sesuatu, dalam arti bahwa berdasarkan pada kapasitas

individu dalam merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan. Sedang,

“kesadaran praktis”, menunjuk pada kesadaran diri terhadap aturan berdasarkan  pengetahuan praktis yang

tidak selalu bisa diurai. 

Dari ke tiga dimensi kesadaran pelaku, maka kesadaran praktis merupakan kunci untuk memahami

proses bagaimana berbagai tindakan dan praktik social lambat laun menjadi struktur, dan bagaimana

struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/praktik social.

Ada kalanya relasi sosial yang berlangsung antara ponggawa dan sawi pada komunitas

nelayan, seakan-akan menyerupai hubungan antar kerabat dekat atau keluarga, sehingga hubungan yang

terjadi cenderung mengutamakan perasaan dari pada keuntungan ekonomi. Keluarga yang dimaksudkan

disini adalah “keluarga tiruan” atau “keluarga imitasi” (Pseudo Kinship), yang merupakan penjelmaan dari

Page 23: Ansar Arifin

proses signifikasi yang berlangsung lama melalui konstruksi tindakan ponggawa terhadap sawi.   Bagi

seorang ponggawa, selalu berupaya agar bagaimana dapat menciptakan  hubungan kekerabatan yang erat

dengan sawinya atau menyerupai hubungan antar keluarga, sehingga sistem relasi yang berlangsung dapat

terpelihara keseimbangannya secara otomatis (homeostatis).

Melalui pengalaman penelitian, bahwa salah satu unsur dari cara berpikir yang dianut dalam relasi

ponggawa-sawi pada komunitas nelayan, ialah bahwa sesuatu yang dinilai tinggi atau yang utama harus

dapat mendasari pada setiap unsur atau bagian dalam sistem relasi, misalnya nilai-nilai tentang “Siri na’

Pacce”yang selama ini turut mendasari relasi antara ponggawa dan sawi, misalnya dalam sistem perekrutan

anggota sawi, terutama pada masa lampau. Sehingga dengan demikian, maka proses diferensiasi sosial

yang berlangsung dalam komunitas nelayan pada masa itu telah menjelmakan hubungan kesesuaian,

keserasian, dan harmonisasi antara ponggawa dan sawi (Arifin, 1991).

Dengan demikian, bila teori strukturasi kita bawa pada struktur relasi patron-klien yang dibangun

melalui praktik-praktik social kenelayanan yang berulang, maka eksistensi kekuatan struktur relasi yang

dibangun oleh aktor (ponggawa dan sawi), cenderung disebabkan karena terpeliharanya interdependensi

dan pengawasan kerjasama oleh system nilai dan norma yang secara ketat diantara aktor. Selain itu,

optimalisasi system pengelolaan dan pemanfaatan relasi aktor dalam kelompok dilakukan secara otonom.

Sehingga dengan kondisi demikian, maka meskipun penetrasi globalisasi yang terjadi selama ini semakin

gencar, namun kekuatan relasi ponggawa-sawi masih menunjukkan eksistensinya sebagai struktur

kelembagaan yang kuat.

 

2. TEORI FUNGSIONAL IMPERATIF (PARSONS)

Dalam karya ini, digunakan juga teori fungsional imperatif dari Talcott Parsons sebagai bagian dari

kerangka pemikiran teoritik untuk membantu menjelaskan realitas sosial budaya patron-klien pada

komunitas nelayan yang tak dapat atau tak mampu dijelaskan melalui teori strukturasi Giddens. 

Menurut Talcott Parsons (1990), kehidupan sosial itu harus dipandang sebagai sebuah sistem

(social). Hal ini dimaksudkan bahwa kehidupan sosial harus dilihat sebagai suatu keseluruhan atau totalitas

unsur-unsur atau bagian-bagian yang saling berhubungan dan memiliki ketergantungan satu sama lain dan

berada dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, dikatakan bahwa sistem sosial juga dapat didefenisikan sebagai

suatu pola interaksi sosial yang terdiri dari komponen-komponen sosial yang teratur dan melembaga

(institutionalized). Salah satu karakteristik dari sistem sosial adalah ia merupakan kumpulan dari beberapa

unsur atau komponen yang dapat kita temukan dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan tersebut terdiri

dari beberapa peran sosial, seperti peran dalam bidang pemerintahan, peran dalam bidang pendidikan, peran

dalam bidang kesehatan, dan semacamnya. Karakteristik dari sistem yang disebutkan memperlihatkan

bahwa peran-peran sosial sebagai komponen sistem sosial itu saling berhubungan dan saling

ketergantungan satu sama lain. Karena itu, dalam masyarakat mana pun tidak akan mungkin seseorang

dapat hidup wajar, jika ia bersikap soliter dan tidak mau peduli pada sesamanya (lingkungan sosialnya)

Page 24: Ansar Arifin

termasuk kepedulian terhadap lingkungan budayanya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem

sosial cenderung lebih bersifat konseptual, yang berarti keberadaannya hanya dapat dimengerti melalui

sarana berpikir dan bukan melalui sarana panca indera.

Premis mayor Talcott Parson tentang ”functional imperatives” atau yang disejajarkan pengertiannya

oleh banyak ahli  sebagai konsep functional structuralialah, bahwa (1). Masyarakat adalah sebuah

sistem,  (2). Sistem sosial ini eksis karena dibangun oleh sejumlah sub-sistem yang fungsional, (3).

Pengkomplesan sistem selalu mengarah pada keseimbangan (equilibrium). Karena itu,  dalam setiap sistem

sosial, terdapat empat fungsi penting, yaitu apa yang diistilahkan sebagai AGIL: (A). Adaptation, (G). Goal

Attainment, (I) Integration, dan (L) Latensi.

Selanjutnya, Parsons (dalam Ritzer dan Goodman, 2008) menjelaskan

bahwa Adaptation (adaptasi) adalah sebuah sistem yang harus menjalankan fungsinya untuk menanggulangi

situasi eksternal yang gawat, sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan

lingkungan dengan kebutuhannya atau dirinya. Goal attainment (pencapaian tujuan) adalah sebuah sistem

yang harus menjalankan fungsinya dalam menentukan tujuannya dan mencapai tujuan-

tuuan utamanya. Integration (integrasi) adalah sebuah sistem yang harus menjalankan fungsinya untuk

mengatur  hubungan antar bagian-bagian atau sub-sub sistem yang menjadi komponennya. Sistem juga

harus menjalankan fungsinya mengatur hubungan antar fungsi sistem lain, yakni  Adaptation, Goal

atteinment, dan Latensi. Sedang Latensi (pemeliharaan pola) dimaksudkan bahwa sistem harus menjalankan

fungsinya untuk melengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola

kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

Empat sistem tindakan yang diuraikan di atas, pada  dasarnya tidak muncul dalam kehidupan nyata,

tetapi  lebih merupakan ”Alat Analisis” untuk memudahkan kita  memahami secara mendalam kehidupan

nyata. Agar lebih jelasnya sistem tindakan menjalankan fungsinya masing-masing sesuai spesialisasinya

dalam rangka menciptakan keteraturan dan keseimbangan, maka perlu memadukan  sistem ”Hierarki

Sibernetika” menurut skema AGIL, yang biasa disebut sebagai struktur sistem tindakan umum. (lihat: Talcott

Parsons dalam Ritzer dan Goodman, 2008).

   

              STRUKTUR SISTEM TINDAKAN UMUM 

 

 

 

Page 25: Ansar Arifin

 

 

A. Fungsi Adaptasi Pada Organisme PerilakuUraian teori diatas menunjukkan bahwa, nampak sekali Parsons yang dijelaskan dalam Ritzer dan

Goodman ( 2008 : 115-135) mempunyai gagasan yang jelas mengenai ”tingkatan” analisis sosial, termasuk

hubungan antara berbagai tingkatan tersebut. Dapat dipahami bahwa susunan hierarkisnya jelas, dan tingkat

integrasinya terjadi melalui dua cara,  yakni (1). Masing-masing tingkat yang lebih rendah menyediakan

kondisi atau memberi kekuatan (energi) yang diperlukan kepada tingkat yang lebih tinggi, sedang (2). Tingkat

yang lebih tinggi mengendalikan atau memberi pengaturan (regulator) pada tingkat yang berada dibawahnya.

 Dengan demikian, bila konsep AGIL yang berlangsung dalam “Sibernetika Sistem”, kita bawah pada

praktik-praktik sosial kenelayanan, makajastifikasinya adalah bahwa bentuk-bentuk tindakan yang

dilakukan oleh seorang aktor nelayan dalam menjalankan fungsi dan perannya pada relasi patron-klien,

harus mampu  menyesuaikan dirinya (secara biologik) atau berfungsi secara organik, serta mampu

mengubah lingkungan eksternalnya (G, I, L).  Dalam keadaan demikian, maka secara tidak disadari kekuatan

adaptasi yang berada dalam kondisi kesesuaian, keserasian, dan kebersamaan yang dilakukan dalam proses

adaptasi ekonomi, telah memberi energi yang sangat berarti terhadap sistem kepribadian (Goal

Atteinment) yang ada dalam komunitas nelayan. Proses adaptasiaktor nelayan yang berlangsung pada

tataran organisme perilaku, terkadang ada yang membutuhkan proses sosio-psiko-biologik yang cukup

panjang, dan adakalanya adaptasi berlangsung tidak terlalu lama untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungannya. Dalam proses interaksi antar aktor nelayan (adaptasi pada tataran organisme perilaku)

dengan lingkungan eksternalnya, terutama dalam menjalankan fungsi pencapaian

tujuan ekonomi (pencapaian tujuan pada tataran sistem kepribadian), maka cenderung membutuhkan

adanya keteraturan internal sebagai dasar untuk terciptanya keseimbangan dinamis dalam sistem organisme

perilaku dan sistem kepribadian. Karena itu, semakin tinggi tingkat keteraturan yang ada dalam proses

adaptasi yang berlangsung pada relasi patron-klien komunitas nelayan, terutama dalam melaksanakan atau

menjalankan fungsi adaptasinya terhadap pencapaian tujuan (Goal Atteinment), maka akan lebih

memungkinkan semakin besarnya energi yang dapat disumbangkan kedalam ”sistem kepribadian” yang ada

pada lembaga  sosial kemasyarakatan nelayan.

 

B. Fungsi Pencapaian Tujuan Pada Sistem KepribadianDalam sistem kehidupan komunitas nelayan, dimana individu-individu (ponggawa dan

sawi) pada relasi patron-klien harus dapat  melaksanakan fungsi mendefinisikan dan pencapaian tujuan

utamanya, khususnya tujuan ekonomi (Goal Attainment). Selanjutnya, fungsi mendefinisikan dan pencapaian

tujuan utama yang dilakukan  oleh sistem kepribadian di masing-masing aktor nelayan sebagai aktor politik

Page 26: Ansar Arifin

(bersama dengan penentu kebijakan dan strategi politik dalam komunitas nelayan),  berlangsung dengan

menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk pencapaian tujuan

politik ekonominya. Proses pencapaian tujuan politik ekonomi yang dilakukan oleh individu-

individu (ponggawa dan sawi) pada relasi-relasi sosialnya, sesungguhnya membutuhkan adanya keteraturan

pada berbagai tingkatan interaksi sosial yang ada dalam lingkungan kepribadian pada relasi-relasi

sosial kenelayanan. Karena itu, keteraturan yang ada dalam lingkungan sistem kepribadian pada komunitas

nelayan, sesungguhnya merupakan totalitas fungsi sub-sub-sistem (AGIL) dari sistem kehidupanmasyarakat

nelayan. Dan jika fungsi pencapaian tujuan politik ekonomi berada dalam keseimbangan yang dinamis, maka

dengan sendirinya akan memberi energi (kekuatan) kepada sistem sosial (social system). Sebaliknya, sistem

sosial akan mengendalikan atau memberi pengaturan yang lebih efektif terhadap pola pencapai tujuan yang

berlangsung pada tataran sistem kepribadian (Goal Atteinment).

 

C. Fungsi intengrasi Pada Sistem SosialSistem sosial (social system) tidak lain adalah suatu sistem yang bersifat konseptual, yang berarti

keberadaannnya hanya dapat dimengerti melalui sarana berpikir dan bukan melalui panca indera manusia.

Sistem sosial yang memiliki fungsi integrasi sosial, sesungguhnya berada pada lembaga Hukum, Adat dan

Agama. Selanjutnya, sistem sosial juga dipandang sebagai bahagian dari ”sistem kehidupan manusia”,

yang secara konseptual dalam sistem ini terkandung unsur-unsur seperti: struktur sosial, pranata sosial,

peranan-peranan, interaksi-interaksi, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, komunitas, dan

masyarakat, dimana interaksi sosial yang terjadi ketika aktor nelayan (ponggawa dan sawi) atau

kelompok nelayan menjalankan perannya, harus berdasarkansistem nilai dan norma (kepastian hukum,

ketentuan adat, dan norma agama) yang berlaku dimasyarakat. Selanjutnya, interaksi sosial yang

berlangsung antarnelayan (ponggawa dan sawi) pada relasi patron-klien dalam sistem sosial

kenelayanan, harus didasarkan atas  sistem nilai dan norma (sistem budaya) yang disepakati

bersama. Karena itu, setiap individu atau kelompok nelayan harus mampu menyesuaikan dirinya dan

kelompoknya (adaptation) secara serasi dan bekerjasama  satu sama lain berdasarkan sistem nilai dan

norma yang ditaati dan dipertahankan bersama. Dalam kondisi demikian, berarti keseimbangan dinamis yang

memungkinkan terciptanya integrasi sosial pada tataran sistem sosial kenelayanan, dapat berlangsung

sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh mayarakat pendukungnya. Demikian pula, kekuatan energi yang

ada dalam sistem sosial (social system) kenelayanan yang diberikan kepada sistem budaya (cultural system)

kenelayanan, akan semakin besar dan kuat. Demikian juga, fungsi pengaturan yang ada pada sistem sosial

(social system) terhadap sistem kepribadian (personality system) para aktor nelayan,  akan berlangsung

secara efektif. Dalam keadaan demikian, maka dapat dikatakan bahwa fungsi masing-masing sistem (A,

G, I, L) berada dalam keseimbang yang dinamis. Ini berarti bahwa pada gilirannya akan memberi energi yang

besar terhadap pemeliharaan pola (Latensi) yang berlangsung pada sistem budaya (cultural system)

masyarakat nelayan. Dalam keadaan demikian, jelas bahwa ”sistem sosial” telah manjalankan fungsi

Page 27: Ansar Arifin

integrasinya dalam kelompok-kelompok sosial nelayan, melalui berbagai tingkatan peran yang ada dalam

struktur sosial. Akan tetapi, jika seandainya komponen-komponen atau bagian-bagian yang mengalami

perubahan dapat berada dalam kondisi keteraturan dan keseimbangan sesuai dengan harapan-harapan dari

sistem nilai dan norma yang mengendalikan atau mengaturnya, maka sistem sosial kenelayanan akan

memiliki fungsi integrasi pada tingkat yang lebih tinggi. Dalam kondisi seperti itu, maka interaksi pada relasi

patron-klien dalam sistem sosial (social system) kenelayanan, akan memberikan kekuatan atau energi

yanglebih besar terhadap sistem budayanya (cultural system). Semakin besar energi yang diberikan oleh

”sistem sosial” terhadap ”sistem budaya” (cultural system), maka semakin tinggi tingkat pengendalian atau

pengaturan dalam pemeliharaan pola integrasi yang akan diberikan oleh sistem budaya (cultural system)

terhadap sistem sosial (social system).

 

D. Fungsi Pemeliharaan Pola Pada Sistem BudayaSistem budaya (cultural system) yang berfungsi sebagai pemeliharaan pola dalam sistem sosial

nelayan, sesungguhnya ada pada lembaga pendidikan dan keluarga. Sistem budaya (cultural

system)  melaksanakan fungsi pemeliharaan pola (Latensi) dengan menyediakan seperangkat nilai dan

norma yang memotivasi individu-individu dan kelompok-kelompok keluarga nelayan untuk bertindak dalam

rangka integrasi sosial. Selanjutnya, sistem budaya yang berfungsi sebagai latensi, dimana sistem ini harus

menjalankan fungsinya untuk mengarahkan, membatasi, memelihara, memperbaiki dan memotivasi individu

termasuk  pola-pola perilaku sosial, guna  menciptakan keteraturan sosial dan keseimbangan yang dinamis

pada proses interaksi dalam sistem sosial keluarga nelayan.  Selanjutnya, proses pelembagaan norma yang

terjadi didalam struktur sosial kenelayanan melalui berbagai proses sosial-budaya yang sangat

panjang, dan tentu saja diawali dari tingkat rumah tangga kemudian berlanjut pada tingkat sosial yang lebih

besar. Karena itu, interaksi sosial yang selama ini berlangsung di dalam relasi-relasisosial kenelayanan,

telah menunjukkan bahwa adanya keteraturan dan keseimbangannya diwujudkan oleh kekuatan sistem

budaya (fungsi Latensi) .  Kekuatan pengaturan dan keseimbangan yang tercipta dalam sistem

sosial kenelayanan, sesungguhnya merupakan fungsi pemeliharaan pola yang dijalankan oleh sistem

budaya (cultural system). Karena itu, dapat dikatakan bahwa semakin kuat fungsi pemeliharaan pola

(Latensi) yang dijalankan oleh sistem budaya (cultural system), maka semakin besar potensi

integrasi sosial yang akan terwujud dalam sistem sosial (social system) bersangkutan. Dalam keadaan

demikian seperti yang telah disebutkan di atas, maka energi (penguatan) yang diberikan oleh sistem

sosial (social system) kepada sistem budaya (cultural system) akan lebih besar.

 

 

3. TEORI PATRON-KLIEN (SCOTT)

Menurut Scoot (1972), bahwa hubungan patron-klien merupakan suatu kasus khusus hubungan

antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang dengan

Page 28: Ansar Arifin

“status sosial ekonomi lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdaya untuk memberikan

perlindungan dan/atau keuntungan kepada seseorang dengan status yang lebih rendah (klien) yang pada

gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada

patron". Patron selain menggunakan kekuatannya untuk melindungi kliennya, ia juga menggunakan

kekuatannya untuk menarik keuntungan atau hadiah sebagai imbalan atas perlindungannya.

Pelras (1981), mengatakan bahwa kata “patron” berasal dari bahasa latin, yakni “patronus” yang

berarti bangsawan, “klien” yang berasal dari kata “clien”yang artinya pengikut. Selanjutnya, dikatakan

bahwa hubungan patron-klien bermakna hubungan yang tidak setara antara seorang bangsawan dengan

sejumlah jelata pengikut berdasarkan pertukaran barang dan jasa yang didalamnya ketergantungan klien

kepada patron dibalas dengan dukungan perlindungan patron kepada klien.  Lebih lanjut, Pelras (1981) juga

mengatakan bahwa menunjuk pada kaitan antara patron-klien dengan kriteria askripsi dalam system status

masyarakat. Hal itu diartikan bahwa apabila seorang individu adalah bangsawan, maka otomatis ia berstatus

sebagai patron dan sebaliknya, apabila individu adalah rakyat jelata/budak, maka ia berstatus sebagai klien.

Defenisi Pelras di atas, yang terlalu menekankan hubungan patron-klien identik dengan hubungan

bangsawan-jelata, sangat tidak fleksibel digunakan pada relasi keponggawaan yang ada pada komunitas

nelayan. Dikatakan demikian, karena dalam relasi ponggawa-sawi, status kebangsawanan bukanlah ukuran

yang secara otomatis menempati posisi sebagai patron (ponggawa).

Pada dasarnya, penelitian tentang relasi patron-klien juga telah dilakukan oleh Sallatang (1981),

Mappewata (1986), Hafidz (1988), Suryani (1997), dan Salman (2002), yang mengungkapkan bahwa realitas

relasi patron-klien sangat mengakar pada komunitas nelayan di Sulawesi Selatan. Kemudian dalam relasi

tersebut, patron yang berstatus bangsawan sering disebut ponggawa dan klien dengan status anak buah

atau pengikut yang disebut sawi, dimana relasi tersebut berbasis pada ketimpangan alat-alat produksi dan

modal.

Ahimsa Putra (1988), juga membuat kesimpulan tentang relasi patron-klien di Sulawesi Selatan,

bahwa kondisi yang dinyatakan oleh Scott memang terbukti dalam tatanan masyarakat di masa lalu. Kondisi

yang dimaksudkan adalah adanya ketimpangan kekuasaan, ketimpangan kekayaan, dan ketidakamanan

social.

Menurut Scott (1972), bahwa agar hubungan patronase dapat berjalan dengan mulus, maka

diperlukan adanya unsur-unsur tertentu, yakni : (1) apa yang diberikan oleh satu pihak merupakan sesuatu

yang berharga di mata pihak lain, baik berupa pemberian barang maupun jasa (pekerjaan), dan bisa dalam

berbagai macam ragam bentuk pemberian, dan (2) adanya hubungan timbal-balik, dimana pihak yang

menerima bantuan merasa mempunyai suatu kewajiban untuk membalas pemberian tersebut.

Berangkat dari fenomena horisontalisme relasi antar aktor sawi dalam komunitas nelayan, dimana

teori jaringan didasarkan pada asumsi bahwa relasi para aktor itu bersifat saling tergantung satu sama lain

(interdependence). Dalam makna yang lebih operasional, dapat dipahami bahwa para aktor tidak akan

mampu mencapai tujuan‐tujuannya tanpa menggunakan sumberdaya yang dimiliki oleh aktor lain.  

Page 29: Ansar Arifin

Bagi Rhodes dan Marsh, (1992), memandang bahwa mekanisme saling ketergantungan ini berjalan

melalui adanya pertukaran (exchange) sumberdaya antar actor.  Selanjutnya, interaksi dan mekanisme

pertukaran sumberdaya dalam jaringan itu akan terjadi secara berulang‐ulang dan terus‐menerus dalam

jangka waktu yang lama dalam kehidupan sehari-hari (Rhodes dan Marsh, 1992; Klijn dan Koppenjan, 2000).

Perulangan dan kontinuitas proses‐proses itu kemudian secara bertahap akan memunculkan suatu norma

yang mengatur perilaku mereka dalam jaringan, dari yang paling rendah tingkat mengikatnya sampai pada

yang lebih kuat.

Menurut Scott (1972a: 92), dalam menjelaskan tentang ciri ikatan patron-klien, bahwa:

(1) Terdapatnya ketidaksamaan dalam pertukaran (inequality of exchange) yang menggambarkan

perbedaan dalam kekuasaan, kekayaan, dan kedudukan. Klien adalah seseorang yang masuk dalam

hubungan pertukaran tidak seimbang, dimana ia tidak mampu membalas sepenuhnya pemberian

patron, sehingga hutang kewajiban mengikatnya dan bergantung kepada patron;

(2) Adanya sifat tatap muka (face to face character). Walaupun hubungan ini bersifat instrumental

dimana ke dua pihak memperhitungkan untung rugi, namun unsur rasa tetap berpengaruh karena

adanya kedekatan hubungan;

(3)   Ikatan ini bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility). Sifat meluas terlihat pada tidak

terbatasnya hubungan pada hubungan kerja saja, melainkan juga hubungan pertetanggaan, kedekatan

secara turun temurun atau persahabatan dimasa lalu, selain itu juga terlihat pada jenis pertukaran

yang tidak melulu uang atau barang tetapi juga bantuan tenaga dan dukungan kekuatan.

Selanjutnya, Scott mengatakan bahwa hubungan patron-klien tumbuh dan berkembang dengan

subur karena ; (1) adanya perbedaan yang menyolok dalam penguasaan kekayaan, status yang diakui oleh

masyarakat yang bersangkutan, (2) tidak adanya jaminan keselamatan fisik, status, posisi atau kekayaan, (3)

kekerabatan yang ada tidak mampu lagi berfungsi sebagai sarana pelindung bagi keamanan dan

kesejahteraan pribadi.

Pemikiran Scott yang telah diuraikan di atas, menunjukkan bahwa ikatan patron-klien didasarkan

pada pertukaran tidak setara yang berlangsung antara kedua belah pihak, dimana patron adalah pihak yang

memiliki modal, kekuasaan, status yang diakui dan memperoleh pembagian yang lebih besar,

sedang klienadalah pihak yang memiliki posisi yang lemah, tidak ada securitas sosial, dan masuk pada

pertukaran yang tidak seimbang atau memperoleh pembagian yang sangat kecil.  

Ketiga unsur yang dikemukakan oleh Scott (1972), sangat relevan dengan pandangan Chambers

( 1983), tentang perangkap kemiskinan atau jebakan kekurangan (deprivation trap).

 

4. TEORI PERANGKAP KEMISKINAN (CHAMBERS)

Menurut Chamber (1983) bahwa kemiskinan sebagai “suatu keadaan melarat dan

ketidakberuntungan, suatu keadaan minus (deprivation)”, bila dimasukkan dalam konteks tertentu (India), hal

Page 30: Ansar Arifin

itu berkaitan dengan “minimnya pendapatan dan harta, kelemahan fisik, isolasi, kerapuhan

dan  ketidakberdayaan”.

Selanjutnya, Chambers (1983: 145-148), menyimpulkan bahwa perangkap kemiskinan atau jebakan

kekurangan (deprivation trap) yang terdiri dari lima ketidakberuntungan yang melilit keluarga miskin, yaitu:

(1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Ke

lima ketidakberuntungan ini saling terkait satu sama lain, sehingga merupakan jebakan

kekurangan (deprivation trap).

Kemudian, dari lima ketidakberuntungan yang disebutkan di atas, bagi Chambers ada dua hal yang

memerlukan perhatian serius, yaitu (1) kerentanan dan (2) ketidakberdayaan. Hal ini disebabkan dua jenis

ketidakberuntungan ini sering menjadi sebab orang miskin menjadi lebih miskin.

Dengan demikian, bila kita hubungkan apa yang didefenisikan oleh Chambers (1983) tentang

“perangkap kemiskinan” dengan teori “patron-klien” oleh Scott dan teori “Fungsional Imperatif” oleh

Parsons, serta teori “Strukturasi oleh Giddens, dan kemudian kita bawa pada permasalahan yang selama ini

dialami oleh umumnya keluarga nelayan sawi (klien) dalam komunitas nelayan, maka diduga ada

kemungkinan bahwa kesulitan bagi nelayan sawi untuk keluar dari perangkap kemiskinan (Chambers, 1983),

merupakan penjelmaan dari kekuatan tiga gugus struktur (Giddens, 1984) yang telah mengkonstruksi

tindakan nelayan dalam praktik-praktik sosial pada relasi patron-klien (Scott, 1972). Kemudian semua ini

tentu saja berlangsung dalam proses adaptasi socio-psiko-biologik (Parsons, 1990) yang sangat panjang dan

cenderung mengutamakan keseimbangan sistem melalui pemeliharaan interdependensi dan pengawasan

kerjasama yang sangat ketat. Sehingga dalam keadaan demikian, maka dapat diasumsikan bahwa eksistensi

struktur sosial ponggawa-sawi mampu mempertahankan kekuatan kelembagaannya, sebagai akibat dari

proses social budaya yang diuraikan di atas.  

 

5.  Ekologi Sosial Masyarakat Bahari Dan Modernisasi Perikanan 

Arah pembahasan studi ini diharapkan juga dapat memberi gambaran tentang karakteristik budaya

masyarakat nelayan dalam hubungannya dengan ekologi pantai.  Selain itu, juga akan memuat penjelasan

tentang bagaimana struktur cara berpikir nelayan dalam memaknai lingkungan laut setelah adanya

modernisasi perikanan dan kelautan.

Menurut Soemarwoto (1987:15), bahwa permasalahan utama lingkungan hidup adalah hubungan

mahluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya. Karena itu, permasalahan lingkungan

hidup pada hakekatnya adalah permasalahan ekologi. Selanjutnya, dikatakan bahwa ekologi dan ekonomi

mempunyai banyak persamaan, hanya saja dalam ekologi mata uang yang dipakai dalam transaksi bukan

uang rupiah atau dollar, melainkan materi, energi, dan informasi.

Page 31: Ansar Arifin

Arus materi, energi, dan informasi dalam suatu habitat atau antara beberapa komunitas merupakan

perhatian utama dalam ekologi, yang menyerupai atau seperti halnya arus uang dalam ekonomi. Karena itu,

ekologi dapat juga dikatakan ekonomi alam yang melakukan transaksi dalam bentuk materi, energi, dan

informasi.

Adaptasi ekologi sosial masyarakat nelayan dalam memanfaatkan lingkungannya, khususnya

biofisik lingkungan laut, selalu membutuhkan adanya nilai-nilai, norma-norma, pengetahuan, teknologi,

kepercayaan, dan simbolisasi. Proses adaptasi ini berlangsung dalam rentang waktu yang sangat

panjang dalam sistem sosial masyarakat maritim dan telah mewujudkan kebudayaan yang diistilahkan

dengan kebudayaan bahari. Sistem budaya bahari yang selama ini beroperasi mengatur sistem sosial

kenelayanan, didasarkan pada sistem nilai-nilai dan norma-norma kenelayanan. Sistem nilai dan norma

pengetahuan tradisional masyarakat nelayan seringkali dihubungkan dengan lingkungan alam metafisik.

Karena itu, keteraturan dalam system ekologi masyarakat maritim dapat terwujud sebagai akibat dari adanya

keeratan hubungan antara lingkungan social dan budaya masyarakat nelayan dengan ekosistem bahari.

Menurut Tobing (1959) dalam Sallatang (1987: 4), bahwa cara berpikir yang ada di dunia sederhana

ialah apa yang disebutnya “The Totalitarian Way of Thinking” (cara berpikir totalitas), sedang yang dianut di

dunia modern ialah apa yang disebutnya “The Obyectivating Way of Thinking” (cara berpikir obyektif).

Menurutnya, ke dua cara berpikir ini berbeda dan bahkan bertentangan satu sama lain.

Jauh sebelumnya, adaptasi komunitas nelayan dengan ekosistem laut cenderung berlangsung

secara persuasif, dalam arti bahwa komunitas nelayan memandang bio-fisik lingkungan kelautan sebagai

bahagian dari sistem kehidupannya.  Lingkungan laut bersama dengan segala isinya mereka maknai sebagai

sesuatu yang memiliki kekuatan ghaib dan penuh dengan misteri.  Karena itu, dalam pemanfaatan

sumberdaya perikanan dan kelautan di masa lalu, amat mengutamakan kesesuaian, keserasian, dan

harmonisasi dengan alam kelautan, sehingga antara ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan

mangrove (bakau) relatif tetap terjaga keseimbangannya.

Demikian juga, hal-hal yang bersifat metafisik yang terkandung dalam sistem kepercayaan nelayan,

banyak terwujud dalam sistem pengetahuannya yang berkaitan dengan mitologi, ritualisasi, kultural, dan

magik (perilaku ritual dan magis), terutama yang berkenaan dengan sistem ekologi sosial  kenelayanan.

Bahkan, dalam keadaan dimana nelayan menghadapi rintangan yang berat situasi yang gawat, seperti ketika

ombak dan badai besar datang menghantam perahunya, maka tindakan manipulasi metafisik sering

dilakukan untuk menjinakkan alam kelautan (Lihat: Arifin, 1991).

Umumnya kelompok-kelompok nelayan masih menggunakan simbolisasi alam dan simbolisasi

perilaku sebagai alat komunikasinya dengan alam kelautan dalam rangka melakukan pelayaran dan

penangkapan ikan di laut.. Selain itu, ke dua symbol tersebut cenderung masih dipergunakan untuk

memperkirakan kapan adanya kemungkinan perubahan antara musim barat ke musim timur atau

sebaliknya;  kapan waktu-waktu yang baik untuk melakukan penangkapan ikan; dimana letak lokasi-lokasi

Page 32: Ansar Arifin

“Taka” (gugusan karang) dengan mengamati gerakan ombak; kapan waktu-waktu yang baik untuk

melakukan penangkapan jenis hasil laut tertentu, misalnya cumi-cumi.    

Meskipun demikian, namun ketika modernisasi perikanan (innovasi kapitalis) mulai berlangsung di

dalam masyarakat maritim sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka “cara

berpikir totalitas”      (“The Totalitarian Way of Thinking”) seperti yang dikemukakan oleh Tobing (1959)

dalam Sallatang, (1987:4), telah turut mengalami perubahan.

Demikian juga sebaliknya, meskipun modernisasi perikanan telah memberi pengaruh terhadap

aktivitas pemujaan-pemujaan yang dahulu seringkali dilakukan dipinggir pantai, namun tidak berarti bahwa

nilai-nilai dasar atau keyakinan dasar dari kepercayaan nelayan terhadap kekuatan ghaib di lingkungan laut

telah berubah sama sekali. Sistem pengetahuan penangkapan (“Erang Pa’boya-boyang”) dan pengetahuan

pelayaran (“Erang Passimombalang”), cenderung masih merupakan suatu pengetahuan yang harus dimiliki

oleh seorang ponggawa perahu. Pengetahuan (“Erang”) masih diyakini dapat digunakan dalam memaknai

simbol-simbol dan menjinakkan keganasan lingkungan alam kelautan. Karena itu, Adat di bidang perikanan

dan kelautan, masih sering kita jumpai dalam komunitas nelayan.

Menurut Giddens (2005), bahwa kita seharusnya melihat kapitalisme dan industrialisme sebagai dua

“pengelompokan organisasional” atau dimensi berbeda yang terdapat dalam institusi- institusi modernitas.

Selanjutnya, dikatakan bahwa kapitalisme adalah sistem produksi komoditas, yang terpusat pada relasi

antara kepemilikan modal pribadi dan pekerja upahan yang tidak menguasai hak milik, relasi ini membentuk

poros utama sistem kelas. Lebih lanjut, dikatakan bahwa perusahaan kapitalis bergantung kepada produksi

yang ditujukan kepada pasar kompetitif, harga yang menjadi tanda bagi para investor, produsen dan

konsumen. Sedang, karakteristik utama industrialisme adalah pemakaian sumber-sumber kekuasaan

material yang tidak berjiwa dalam produksi barang yang dipadukan dengan peran sentral mesin dalam

proses produksi. “Mesin” dapat didefenesikan sebagai artefak yang menyelesaikan pelbagai tugas dengan

menggunakan sumber-sumber kekuasaan sebagai sarana operasinya.

Konsep-konsep utama yang juga dapat dijadikan sebagai dasar analisis proses

modernisasi dibidang perikanan dan kelautan  yaitu diferensiasi sosial, rasionalisasi tindakan, pengetahuan

simbolik, dan relasi patron-klien. Keterkaitan konsep-konsep utama yang disebutkan memiliki makna yang

saling terkait satu sama lain. Hubungan diferensiasi sosial dan rasionalitas tindakan harus dapat dilihat

melalui sejauhmana pola patron-klien berperan atau mengalami pergeseran.Rasionalisasi tindakan juga

dapat dilihat pada tataran pengaruh simbolik melalui proses mitologi, proses ritualisasi,  dan mistik yang

masih mengakar dalam sebuah komunitas (lihat: Salman, 2006). Selanjutnya (Salman, 2006), bahwa

diferensiasi sosial berlangsung pada tingkat struktur, sedang rasionalisasi tindakan berlangsung pada

tingkat actor atau individu. Diferensiasi sosial yang terjadi pada tingkat struktur, telah menuntut adanya

lembaga-lembaga  khusus yang dapat mengayomi fungsi-fungsi baru dalam sistem sosial yang

bersangkutan..  Selanjutnya, dikatakan bahwa ketika differensiasi sosial tidak berproses, maka masyarakat

itu akan bertahan pada community (gemainschaft), dan ketika differensiasi bertransformasi melewati batas-

Page 33: Ansar Arifin

batas differensiasi sosial, maka akan terjadi proses society. Ini berarti bahwa differensiasi sosial

berlangsung pada tingkat struktur.

Diferensiasi sosial biasanya erat hubungannya dengan proses semakin meningkatnya kebutuhan

akan peranan yang harus dimainkan sesuai dengan pertambahan pembagian kerja berdasarkan tugas-tugas

dan fungsi-fungsi baru yang bersifat spesifik. Selain itu, diferensiasi sosial juga telah mengintegrasikan

masyarakat local kedalam masyarakat yang skalanya lebih besar (perbesaran skala), sehingga jaring

hubungan sosial juga terasa semakin merenggang. Perbesaran skala dimaksudkan bahwa pada mulanya

kondisi hubungan sosial kekerabatan yang terjadi pada suatu komunitas sangat erat satu sama lain, menjadi

merenggang sebagai akibat semakin bertambahnya jumlah relasi atau intensitasnya yang ada dalam

kesatuan sosial (lihat:  Soekanto, 1986, Parsons, 1990, Sztompka, 2008).

Diferensiasi structural dalam bentuk organisasi-organisasi baru diberbagai bidang dengan

fungsinya masing-masing, telah mengambil alih fungsi dari kelompok-kelompok kekerabatan dan atau

lembaga-lembaga sosial yang ada dalam masyarakat.  Aspek yang paling spektakuler pada proses

diferensiasi sosial dalam suatu masyarakat ialah pergantian teknik-teknik produksi dan pemasaran dari cara-

cara tradisional ke cara-cara modern, dimana hal tersebut telah melahirkan struktur dan spesialisasi fungsi-

fungsi baru didalam kehidupan sosial masyarakat yang tertampung dalam pengertian revolusi industri.

Realitas dari proses revolusi industri itu hanya satu bagian atau satu aspek saja dari suatu proses yang jauh

lebih luas. Dikatakan demikian, karena modernisasi suatu masyarakat adalah suatu proses transformasi dan

atau suatu proses perubahan masyarakat dari berbagai aspek (lihat: Parsons, 1990. Soekanto, 1986.

Giddens, 2005. Salman, 2006).

Karena itu, Salman (2006), mengatakan bahwa diferensiasi sosial diartikan sebagai suatu proses

dimana fungsi-fungsi didalam sebuah entitas social (apa saja yang mempunyai eksistensi social) mengalami

pertambahan dan perkembangan sedemikian rupa sehingga diikuti oleh lahirnya kelembagaan atau sub

sistem khusus dalam rangka memenuhi atau menangani fungsi-fungsi baru tersebut. Selanjutnya, dikatakan

bahwa beberapa aspek dalam memahami fenomena diferensiasi sosial yaitu, a) ada tuntutan fungsi baru

dalam masyarakat tetapi tidak lahir lembaga baru, b) ada lembaga baru muncul/eksist tetapi fungsinya

semakin lama semakin menurun atau sama sekali tidak manifest, c) fungsi eksist dan lembaga eksist, dan d)

lembaga tersebut eksist akan tetapi fungsinya salah atau tidak sesuai tujuan dari keberadaan lembaga itu

(disfungsi). Dengan demikian kalau sebuah komunitas tidak mengalami perbanyakan fungsi atau ada fungsi

baru tetapi lembaga yang menjalankan fungsi itu tidak muncul atau semakin menurun atau lembaga

berfungsi tetapi disfungsi, maka komunitas akan mengalami perlambatan fungsinya menjadi ciri society

(gesselschaft).

 

III.          METODE DAN PROSEDUR KERJA PENELITIANA.  Metode Penelitian1.   Keterkaitan Disiplin Ilmu Dalam Penelitian

Page 34: Ansar Arifin

Disiplin ilmu yang erat kaitannya dengan penelitian ini adalah Sosiologi, terutama yang berkenaan

dengan praktik-praktik sosial yang berulang dalam lintasan ruang dan waktu. Demikian juga, mengenai

perspektif yang digunakan untuk melihat perkembangan komunitas nelayan di Desa Tamalate,  lebih

bersifat diakronik.

Menurut Giddens (dalam Priyono, 2002), bahwa obyek utama dalam kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah

“peran sosial” (social role) seperti dalam fungsionalisme Parsons, bukanlah “kode tersembunyi” (hidden

code) seperti yang diuraikan dalam strukturalisme Levis-Strauss, bukan juga “keunikan situasional” seperti

yang dijelaskan dalam interaksionisme simbolik Goffman. Bukan keseluruhan, bukan bagian; bukan struktur,

bukan pelaku perorangan, melainkan titik temu antara keduanya, yakni “praktik sosial yang berulang serta

terpola dalam lintas waktu dan ruang”.

Karena pusat perhatian utama dalam penelitian ini mengarah pada praktik-praktik sosial yang

berulang yang terkonstruksi melalui proses signifikasi, dominasi, dan legitimasi pada relasi patron-

klien dalam komunitas nelayan, maka penelitian ini sangat erat kaitannya dengan kajian ilmu-ilmu sosial,

khususnya bidang sosiologi.

   

2.    Paradigma Penelitian Paradigma penelitian adalah suatu pendekatan atau strategi yang dilakukan oleh seorang peneliti,

sebelum ia melakukan penelitian lapangan. Seorang peneliti sebelum mengkonstruksi penelitian yang akan

dilakukan, maka sangat penting untuk menentukan paradigma penelitiannya. Hal ini dianggap penting,

karena paradigma akan membentuk metodologi. Faktor yang menjadi pertimbangan utama dalam memilih

paradigma adalah sifat masalah dan kesesuaian asumsi. Karena itu,  paradigma yang cocok digunakan pada

penelitian ini adalah paradigma naturalistik dengan metode fenomenologi.

Menurut Skinner (dalam Ritzer, 2009 : 70), bahwa untuk tidak menjadikan sosiologi sebagai objek

studi yang bersifat mistik, dan menjauhkannya dari objek studi berupa barang sesuatu yang konkrit-realistis,

maka paradigma naturalistik adalah yang tepat untuk digunakan. Selanjutnya dikatakan bahwa  objek studi

sosiologi yang konkrit-realistis itu adalah perilaku manusia yang tampak serta kemungkinan perulangannya

(behavior of man and contingencies of reinforcement).

 

3.    Metode Fenomenologi Fenomenologi berasal dari kata phenomenon (bahasa Inggris) artinya yang tampil terlihat jelas

dihadapan kita. Suatu phenomenon dapat tampil dalam pikiran kita, sejauh dia jelas bagi kita. Selain

merupakan pemikiran filsafat, fenomenologi juga merupakan suatu metode dalam alur berpikir manusia

(Siregar,2005).

            Fenomenologi diartikan sebagai ; (1) pengalaman subjektif atau fenomenologikal, dan (2) suatu studi

tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang  (Husserl,1970). 

Page 35: Ansar Arifin

Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya

terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu. Filsafat fenomenologi merupakan suatu pemikiran

filosofis yang dipakai terutama berhubungan dengan usaha mencari penyelesaian hubungan lahiriah,

alamiah dengan ciptaan alam di dalam dunia kehidupan. Manusia diharapkan selalu mengingat sisi

batin/kejiwaannya ketika ia bermaksud mengembangkan ilmu pengetahuan demi kesejahteraan ummat

manusia secara utuh meliputi jiwa dan raganya, lahir dan bathin, atau fisik dan nonfisik.

Dalam pandangan fenomenologi, manusia tidak hanya hidup dalam dunia relasi biologis dan cultural, tetapi

juga dalam dunia relasi sosial, yakni suatu realitas yang memiliki kualitasnya tersendiri dan berbeda dengan

realitas budaya dan biologis. Kualitas-kualitas yang membedakan realitas sosial adalah wilayah–wilayah

mental, yang dihasilkan dari proses kehidupan bersama.

Dalam suatu penelitian ilmiah peneliti tidak secara langsung berhadapan dengan data yang secara

langsung menyajikan makna yang dapat ditangkap oleh peneliti.  Peneliti berupaya untuk menangkap

makna  pada objek penelitian melalui gejala-gejala yang ditangkap oleh peneliti. Fenomenologi tidak

berasumsi bahwa peneliti mengetahui sesuatu bagi orang-orang atau objek yang sedang

diteliti.  Tujuan   subjek peneliti, yaitu melihat dari segi makna yang dikandung oleh objek atau dari segi

pandangan nilai yang ada pada objek adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengungkap nilai

yang terkandung dalam objek penelitian.

Menurut Gunawan Tjahjono (1999), Metode fenomenologi adalah suatu prosedur kognitif yang

khusus, berdasarkan intuisi dalam pengamatan intelektual terhadap objek. Intuisi ini mengacu pada yang

diberikan. Aturan utama fenomenologi adalah “kembali kepada benda itu sendiri”. Dalam hal ini, benda itu

berarti yang diberikan (atau yang dihadapi). Untuk itu  perlu dilaksanakan tiga reduksi.:

Pertama, reduksi dari seluruh subyektivitas, karena apa yang diperlukan disini adalah pendapat obyektif. Ini

berarti seseorang mengamati apa adanya yang dihadapinya dan kosentrasikan ke hal itu saja dengan

menghilangkan segala prasangka (jika ada) yang telah merasuki benak kita.

Kedua, reduksi dari seluruh pengetahuan yang ada seperti teori, hipotesis, bukti yang diperoleh dari sumber

lain. Sehingga data atau informasi yang didapatkan pada saat itu merupakan satu-satunya acuan

Ketiga, reduksi dari seluruh tradisi yang ada, seperti yang pernah diartikan orang lain tentang obyek

tersebut. Kita harus memiki keyakinan bahwa apapun yang kita dapatkan sekarang  itu adalah  relitasnya .

Lebih lanjut, Gunawan Tjahjono (1999), mengatakan bahwa kekuatan fenomenologi terletak pada

menghapuskan praduga kita dalam memahami suatu masalah dan pada detail pengamatan. Keharusan

bersikap tiada hal yang sederhana, hingga suatu gambaran baru muncul. Dengan cara itu kita dapat

menemukan hal-hal yang tersembunyi dan mengungkapkannya. Dari situlah akan terbentuk konsepsi baru

tentang masalah yang sedang diselidiki.

Page 36: Ansar Arifin

 

B.  PROSEDUR KERJA PENELITIAN

1.   Setting Daerah Penelitian

Penelitian ini akan saya lakukan di Desa Tamalate, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten

Takalar. Desa ini saya pilih secara sengaja (purpossip), karena mata pencaharian dan pekerjaan

penduduknya  mayoritas nelayan, baik penduduk lokal maupun penduduk yang didatangkan dari Kabupaten

Jeneponto dan dari daerah pulau-pulau di luar kabupaten dan dalam wilayah Kabupaten  Takalar.  Penetapan

secara sengaja pada lokasi penelitian di Desa Tamalate, didasarkan pada indikator yang relevan, yakni

daerah yang termasuk Desa pantai; Desa yang terbanyak penduduknya sebagai nelayan; Desa yang ramai

dikunjungi oleh nelayan dari desa lain, sebagai tempat transaksi jual-beli hasil-hasil laut (ikan, kepiting,

udang, cumi-cumi, kerang-kerangan, teripang, dsb) yang dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI); desa

yang terbanyak memilik perahu, terutama yang berukuran besar (“Perahu Lambo”) yang umumnya

digunakan oleh Pa’rengge.   

Untuk menjangkau lokasi penelitian ini, maka kita dapat menggunakan jalur yang melalui GMTDC,

yang arah jalannya menuju ke Barombong. Waktu yang dibutuhkan selama perjalanan menuju lokasi

penelitian, lebih-kurang 1 Jam. Selain jalur itu, kita juga dapat menggunakan jalur lewat Sultan Alauddin

menuju ke perbatasan antara Kabupaten Gowa  dan KabupatenTakalar. Selanjutnya, lokasi ini dapat

dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Oleh karena lokasi ini akan dijadikan

kasus dalam penelitian ini, maka di setting dengan sengaja, untuk melihat bagaimana kekuatan struktur

keponggawaan yang ada pada nelayan parengge di Desa Tamalate, dalam mengkonstruksi tindakan para

sawi.

2.   Pendekatan Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan perspektif diakronik (sejarah). Agar

penelaahannya lebih mendalam, maka digunakan Metode Studi Kasus.  Kasus dalam penelitian ini adalah

nelayan Pa’rengge yang ada di Desa Tamalate, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar.

 

 

3.   Setting Informan 

Nelayan subyek akan dipilih secara purposip, yang terdiri dari ponggawa lompo (besar), ponggawa

ca’di (kecil), dan nelayan sawi (buruh) pada dua lokasi penelitian ini. Nelayan yang dijadikan informan adalah

Page 37: Ansar Arifin

yang diketahui memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang kebutuhan akan keterangan-keterangan

atau data-data bagi peneliti. Penelitian ini juga menggunakan “Pemuka Masyarakat”, “Pemangku Adat”, dan

“Tokoh Agama” sebagai informan, sepanjang dibutuhkan keterangan atau data dari mereka yang terkait

dengan objek penelitian ini.  

 

4.   Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan saya lakukan adalah dengan cara penelitian pustaka (Library

Research). Hal ini saya maksudkan bahwa data-data yang bersifat teoritik perlu dilakukan dengan cara

mengumpulkan literatur (buku-buku) yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Kemudian saya

akan lakukan observasi terhadap perilaku terselubung (Covert Behavior) pada relasi patron-klien yang tak

dapat dijangkau melalui wawancara. Kemudian wawancarayang akan saya lakukan sifatnya mendalam (in-

depth interviewing) dengan informan melalui wawancara tatap muka (“face to face”). Sedang alat pengumpul

data melalui wawancara dengan informan, akan menggunakan pedoman wawancara

dan buku catatan  (note book), dan tape recorder.

 

5.   Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif. Cara ini dimaksudkan dengan menghubung-

hubungkan antara makna dari berbagai keterangan yang relevan, dan kemudian ditarik makna yang lebih

lanjut atau lebih tinggi tingkatannya, sampai pada rangkaian makna yang telah dianggap merupakan

kesimpulan dari hasil penelitian ini.

 

6.   Teknik Keabsahan Data

Uji kredibilitas data yang berkenaan dengan validitas dan realiabilitas, akan dilakukan melalui cara

peningkatan ketekunan terhadap objek yang diamati, diskusi dengan teman yang paham dengan objek

penelitian, dan triangulasi sumber, teknik, dan waktu.

 

Daftar Pustaka

Page 38: Ansar Arifin

Acheson, J.M. 1981. Anthropology of Fishing. Ann.Rev.Anthropol. 10: 275-316

Adhuri, Dedi S & Ary Wahyono (editor). 2004. Konflik-konflik kenelayanan: Distribusi, pola, akar masalah dan resolusinya. LIPI,  Jakarta

Agger, Ben, 2009. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Agussalim, 2009. Mereduksi Kemiskinan: Sebuah Proposal baru Untuk Indonesia, Nala Cipta Litera, Makassar.

Ahimsa Putra, HS. 1991 Minawang : Ikatan Patron-Klien di Sulawei Selatan. Yogyakarta: UGM Press.

Alfian, dkk, 1980. Kemiskinan Struktural, YIIS, Malang.

Amartya Sen, 2001, Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin (Terjemahan, On Ethics and Economics), Penerbit Misan, Jakarta.

Andersen, Raoul (1972) Hunt and deceive: Information management in  Newfoundland deep-sea trawler fishing. In R. Andersen & C. Wadel, eds., North Atlantic Fishermen, pp. 120-140. St. John’s: Memorial University of     Newfoundland.

Anto, J dan Benget Silitonga, 2004. Menolak Menjadi Miskin: Gerakan rakyat Melawan Konspirasi Gurita Indorayon, Bakumsu, Medan.

Arraiyyah, Hamdar, 2007. Meneropong Fenomena Kemiskinan: Telaah Perspektif Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Arief Pallampa, A. Adri, 2007. Artikulasi Modernisasi dan Dinamika formasi sosial Pada Nelayan Kepulauan di Sul-Sel (Disertasi). Universitas Hasanuddin.Arifin, Ansar, 1991, Proses Pelembagaan Undang-Undang Lingkungan Hidup di Dalam Masyarakat Nelayan, (Thesis), Universitas Hasanuddin, Makassar.

Bavinck, Maarten, 1984. Fish trade; Fishers; Government policy; History; Sri Lanka; Kadalur. VU Uitgeverij  (Amsterdam)

Barker, Chris. 2000,  Cultural Studies, Kreasi Wacana, Yogyakarta.Bulkin, Farchan., 1988. Kemiskinan Dalam Politik Indonesia, Seri III, Transpormasi, Jakarta.

Chambers, Robert. 1983. Pembangunan Desa: Mulai Dari Belakang, LP3ES, Jakarta

Denzin, Norman K dan Yvonna S. Lincoln, 2009. Handbook of Qualitative Research (Terj:Dariyantno dkk.), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Eaton, Joseph W, 1986. Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional: Dari Konsep ke Aplikasi, UI Press, Jakarta.

Efendi, Tadjuddin Noer., 1993. Sumberdaya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta.

Esmara, Henra., 1986. Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

Firth, Raymond W. 1975. "An Appraisal of Modern Social Anthropology." Annual Review of Anthropology, 4: 1–25.

Giddens, Anthony,  2003. Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial, Pedati, Pasuruan.

_______, 2005. Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. Penerbit Kreasi Wacana.

_______, dan Jonathan Turner, 2008. Social Theory Today: Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

_______, 2009. Problema Utama Dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur, dan Kontradiksi Dalam Analisis Sosial., Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

_______, 2010. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hamilton, Peter, 1990, Talcott Parsons dan Pemikirannya, PT. Tiara Wacana, Yogya.

Haq, Mahbub Ul, 1983. Tirai Kemiskinan,  Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Page 39: Ansar Arifin

Hanif, Hasrul, 2008. Mengembalikan Daulat  Warga Pesisir,  Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hikmat, Harry, 2010. Stretegi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora, Bandung.

Hobsbawn, D. J. Poverty, Dalam International Encyclopedia Of The Social Sciences, Editor David L. Sill, Vol. XII, Macmillan and Free Press, hal. 398.

Ismanto, IGN., 1994. Kemiskinan di Indonesia dan Program IDT. Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia. CSIS, Jakarta.

Johson, Doyle, 1994, Teori Klasik dan Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kerlingger, Fred N, 2005. Asas-asas Penelitian Behavioral, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Klijn Eric-Hans and Joop Koppenjan, 2000). ‘Public Management And Policy Network Foundation Of a Network Approach to Governance’, Public Management, Vol. 2 Issue 2, 2000.

Kusnadi, 2003. Akar Kemiskinan Nelayan, LKIS, Yogyakarta.

______, 2004.  Polemik Kemiskinan Nelayan, Pondok Edukasi dan Pokja Pembaruan, Bantul.

Lampe, Munsi, D. Salman, dan A. Arifin. 1996. Laporan Studi Analisis Sosial Untuk Program Perencanaan dan Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: LIPI-Unhas.

Lewis, Oscar, 1988. Kisah Lima Keluarga : Telaah-telaah Kasus Orang Meksico Dalam Kebudayaan Kemiskinan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Lewis, John.P dan Valeriana Kallab, 1987, Mengkaji Ulang Strategi-strategi Pembangunan (terj. oleh Pandan Guritno dari buku: Development Strategies Reconsidered, (Overseas Development Council and Transaction Books, New Brunswick USA and Oxford UK), UI Press, Jakarta.

Mikkelsen, Britha, 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan : Sebuah Buku Pegangan bagi Praktisi Lapangan, Penterjemah : Mathios Nalle, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Mubyarto, dkk, 1984. Nelayan dan Kemiskinan, Studi Ekonomi Antropologi di Dua desa Pantai, Rajawali, Jakarta.

Nawawi, Ismail, 2009. Pembangunan dan Problema Masyarakat: Kajian Konsep, Model, Teori dari Aspek Ekonomi dan Sosiologi. Putra Media Nusantra, Surabaya.

Parsons, Talcott, 1990. Talcott Parsons Dan Pemikirannya (penerjemah), Hartono Hadikusumo. Pt. Tiara Wacana Jogya.

Pelras, Christian. 1981. Hubungan Patron-Klien Dalam Masyarakat Bugis-Makassar. Ujung Pandang (Monografi).Poloma, Margaret M, 1979. Sosiologi kontemporer (Penerjemah). Raja Grafindo. Jakarta.

Priyono, B. Herry, 2003. Anthony Giddens: Suatu Pengantar, Kepustakaan Populer Gramedia, Yogyakarta.

Rahardjo, M. Dawam, 1990,         Transformasi Pertanian, Industrilisasi dan Kesempatan Kerja, UI Jakarta.

Remi, Sutyastie Soemitro dan Prijono Tjiptoherijanto,  2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.

Rhodes, R. A. W. and David Marsh, (1992), ‘New Direction In The Study Of Polyce Networks’, European Journal Of Political Research, 21.

Roxborough, Ian, 1978. Teori-teori Keterbelakangan, LP3ES, Jakarta.Rubinow, I. M. Poverty, Dalam Encyclopedia Of The Social Sciences,

Vol. XI – XII.

Rustiadi, E dan Pranoto. (2007). Agropolitan Membangun. Ekonomi Perdesaan. Crestpent Press, Bogor.

Page 40: Ansar Arifin

Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo, 1992, Sosiologi Pedesaan (kumpulan bacaan), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sajogyo, Pudjiwati, 1985, Sosiologi Pembangunan . Pascasarjana IKIP dan BKKBN JakartaSalman, Darmawan, 2006. Jagat Maritim: Dialektika Modernitas dan Artikulasi Kapitalisme pada Komunitas Konjo Pesisir di Sulawesi Selatan,Ininnawa, Makassar.

Sallatang, M. Arifin, 1982. Pinggawa Sawi, Suatu Studi Sosiologi Kelompok Kecil,  (Disertasi) Universitas Hasanuddin

-------------, 1986, Kemiskinan dan Mobilisasi Pembangunan, Penerbit Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin (LEPHAS), Ujung Pandang.

_______, 1987, Perubahan Perilaku Dan Cara Berpikir (Pidato Pengukuhan) Penerbit : Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin.

-------------, 2000, Pembangunan, Partisipasi dan Kelembagaan Sosial di Sulawesi Selatan, Universitas Hasanuddin.

Schoorl, J.W, 1984, Modernisasi . PT. Gramedia Jakarta.

Scott, James C. 1981, Moral Ekonomi Petani: pergolakan dan subsistensi di Asia Tenggara.

LP3ES, Jakarta.-------------, 1985. Senjatanya Orang-orang yang Kalah: Bentuk-bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani. penerjemah, A. Rahman Zainuddin (2000), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Shari, Ishak, and Chang Yii Tan, 1993. Technology and social change : the impact of technological development on fishing communities in east coast of Peninsula Malaysia , Penerbit Universiti Kebangsaan, Bangi, Malaysia

Siregar G. Laksmi, (2006), Menyingkap Subjektivitas Fenomena, UI. Press , Jakarta.

Siswanto, Budi. 2008. Kemiskinan dan Perlawanan Kaum Nelayan, Laksbang Mediatama, Malang.

Smith, Adam, An Inquiry Into The Nature And Cause Ot The Wealth of nations.; New York, Modern Library, 1776

Soedjito, 1986, Transformasi sosial menuju masyarakat Industri, CV. Bayu Grafika.

Soekanto, Soerjono, 1986 Talcott Parsons, Fungsionalisme Imperatif. CV. Rajawali, Jakarta.

Soemarwoto, Otto, 1987, Ekologi Lingkungan Hidup Dan Pembangunan, Penerbit Djambatan. Jakarta.

Soetomo, 2008.  Masalah Sosial dan Upaya pemecahannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R dan D, Alfabeta, Bandung.

Suyanto, Bagong dan Karnaji, 2005. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial: Ketika Pembangunan Tak Berpihak Kepada Rakyat, Airlangga University Press, Surabaya.

Svalastoga, Kaare, 1989. Diferensiasi Sosial, Bina Aksara, Jakarta.

Swasono, Sri Edi, dkk, 1999. Sekitar Kemiskinan dan Keadilan, Dari Cendekiawan Kita Tentang Islam, UI Press, Jakarta

Syamsuddin, A.Maimun: Teologi Kemiskinan: Doktrin Dasar dan Solusi Islam atas Problem Kemiskinan / Yusuf Qaradhawi

Tashakkori, Abbas dan Charles Teddlie, 2010. Mixed Methodes: In Social and Behavioral Research,  Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Tjahjono,Gunawan,(1999),”Metode Perancangan,Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang’UI, Jakarta.

Todaro, Michael P. 1986. Perencanaan Pembangunan : Model dan Metode, Intermedia, Jakarta.

Page 41: Ansar Arifin

Todaro, P, Michael, 1995, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta.

Turner, H, Jonathan, 1990, The Structure Of Sosiological Theory, Wadworth Publishing Company, California.

Ushijima, Iwao and, Cynthia Neri Zayas, eds. Fishers of the Visayas: Visayas Maritime Anthropological Studies, Cleveland, OH, U.S.A

`Wahyono, Ary, dkk, 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan,  Media Pressindo, Yogyakarta.

Wie, Thee Kian, 1981. Pemerataan Kemiskinan Ketimpangan: Beberapa Pemikiran tentang Pertumbuhan Ekonomi. Sinar Harapan. Jakarta.

Yustika, Erani Ahmad, 2003. Negara Vs. Kaum Miskin, Pustaka pelajar, Yogyakarta.