anomali dalam bidang bedah
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan mulai terbentuk pada kehidupan janin (22 hari) sebagai akibat dari
pelipatan janin kearah cephalo caudal dan lateral, sehingga rongga yang dibatasi entoderm
sebagian tercakup ke dalam janin dan membentuk usus sederhana. Pada bagian kepala dan
ekor mudigah, usus sederhana membentuk tabung buntu masing-masing :
Usus sederhana depan (fore gut)
Usus sederhana belakang (hind gut)
Diantaranya usus sederhana tengah (mid gut) yang untuk sementara tetap
berhubungan dengan kandung kuning telur.
Gambar 2.1 Embriologi Pencernaan
Yanwirasti,2010
Foregut
Esofagus: minggu 4 – divertikulum tabung arah sefalik – septum trakeoesofageal –
premordium respirasi, esophagus. Esophagus pendek memanjang Kelainan : atresia
esophagus dengan atau tanpa fistel
Lambung: minggu 4 sebagai pelebaran tabung usus. Perkembangannya, mengalami
perputaran 90 searah jarum jam sumbu longitudinal – kiri-anterior, kanan-posterior.
Perputaran sumbu anteroposterior – kardia-kekiri bawah, pylorus – ke kanan atas. Selama
perkembangannya, bagian posterior lebih pesat – kurvatura mayor-minor .Kelainan :
stenosis pylorus – otot-otot melingkarnya hipertrofi – nyempit – perjalanan makanan
terhambat, muntah proyektil
Duodenum: Ketika lambung berputar – duodenum mengambil bentuk lengkung C dan
berputar ke kanan sehingga berada di retroperitoneal. Perputaran ini bersamaan dengan
pertumbuhan pesat kaput pancreas
Hati dan kandung empedu: Premordium hati muncul pada pertengahan minggu ke 3
sebagai tonjolan epitel endodermis diujung distal usus depan. Tonjolan tidur dari sel sel
berproliferatif cepat – menembus septum transversum antara rongga pericardium dengan
yolk sac – penyempitan hubungan antara divertikulum hati dengan duodenum –
membentuk duktus biliaris – bentuk tonjolan lagi – kandung empedu. Kelainan: atresia
kandung empedu
Midgut
Janin 5 minggu, midgut tergantung pada abdomen dorsal oleh mesentrium dan
dengan yolk sac. Perkembangan usus tengah ditandai dengan pemanjangan cepat usus dan
mesentriumnya – lengkung usus primer. Bagian sefalik lengkung – bagian distal duodenum,
jejunum, sebagian ileum. Bagian kaudal – bagian bawah ileum, saekum, apendiks, kolon
asenden, 2/3 kolon transversal. Berotasi 270 mengelilingi sumbu arteri mesentrika superior
berlawanan jarum jam selaa herniasi dan kembali ke abdomen. Lengkung usus halus terus
memanjang. Jejenum dan ileum – kumparan. Usus besar – memanjang. Perkembangan pesat
dan terjadi ekspansi hati – rongga abdomen jadi sempit untuk menampung semua lengkung
usus – lengkung usus masuk ke ekstraembrional – herniasi umbilikalis fisiologis. Terjadi
pembentukan kumparan dan saekum. Kelainan: Omfalokel : herniasi visera dilapisi amnion
melalui umbilicus yang melebar, atresia dan stenosis usus
Hindgut
Membentuk 1/3 distal kolon tranversum, desenden, sigmoid, rectum, bagian atas kanalis
analis
• Oesopagus
– Ketika mudigah berumur ± 4 minggu, muncul diverticulum pada dinding
ventral usus sederhana depan yang disebut (diverticulum tracheo –
bronchiale). Diverticulum ini berangsur-angsur dipisahkan dari bagian dorsal
fore gut melalui septum oesopago – tracheale. Dengan cara ini usus sederhana
depan terbagi atas :
• Bagian ventral : primordium pernafasan
• Bagian dorsal : oesopagus
Gambar 2.2 Embriologi Pencernaan
Yanwirasti,2010
Lambung
Pertumbuhan lambung mulai pada minggu ke-4 sebagai suatu pelebaran usus depan yang
berbentuk kumparan. Minggu-minggu berikutnya kedudukannya sangat berubah akibat
perbedaan kecepatan pertumbuhan pada berbagai dindingnya dan perubahan kedudukan alat-
alat disekitarnya.
Gambar 2.3 Embriologi Pencernaan
Yanwirasti,2010
Perubahan kedudukan lambung karena ia berputar sekitar sumbu memanjang dan
sumbu antero posterior. Disekitar sumbu memanjang lambung melakukan putaran 90o searah
jarum jam. Akibatnya :
– Sisi kiri menghadap ke depan
– Sisi kanan menghadap ke belakang
– N.X kiri yang semula mensarafi kiri menuju depan
– N.X kanan yang semula mensafari kanan menuju belakang
Gambar 2.4 Embriologi Pencernaan
Yanwirasti,2010
Selama perputaran ini bagian dinding belakang lambung tumbuh lebih cepat dari bagian
depannya. Hal ini mengakibatkan pembentukan :curvatura mayor dan curvatura minor. Ujung
cephalic dan kaudal lambung pada mulanya terletak digaris depan. Selama
pertumbuhan,Dengan ini sumbu panjang lambung berjalan dari kiri dan kanan bawah.
Gambar 2.5 Embriologi Pencernaan
Yanwirasti,2010
Duodenum
Terbentuk dari bagian akhir fore gut dan bagian atas mid gut. Titik pertemuan fore gut
dan mid gut ini terletak tepat distal dari tunas hati. Sementara lambung berputar, duodenum
mengambil bentuk lengkung seperti huruf “C” dan akhirnya terletak retroperitonial
Gambar 2.6 Embriologi Pencernaan
Yanwirasti,2010
Hati dan Kandung Empedu
Terbentuk pada pertengahan minggu ke tiga sebagai epitel entoderm pada ujung distal
fore gut. Pertumbuhan ini dikenal sebagi diverticulum hepatis (tunas hati) .Tunas hati terdiri
atas berkas-berkas sel yang berproliferasi dengan cepat dan menempus septum transversum
yaitu lempeng mesoderm.Sementara sel-sel hati menembus septum transversum, hubungan
tunas hati dan duodenum menyempit. Dengan ini terbentuk saluran empedu. Dari saluran
empedu, terbentuk tonjolan ke ventral yang menghasilkan kandung empedu dan ductus
cysticus. Selama perkembangan sel epitel hati bercampur baur dengan v.vitelinae dan
v.umbilicus untuk membentuk sinusoid hati. Tali-tali hati berdiferensiasi menjadi jaringan
parenkim hati dan jaringan yang melapisi ductus biliaris .Sel-sel hemopoitik, sel-sel kuppfer
dan sel-sel jaringan penyambung berasal dari mesoderm septum transfersum. Akibat
pertumbuhan cepat yang terus berlangsung, hati menjadi terlalu besar bagi septum
transversum dan berangsur-angsur menonjol kedalam rongga perut. Mesoderm septum
transversum antara dinding ventral perut dan hati menjadi teregang dan sangat tipis dan
membentuk ligamentum falciforme hepatis .Mesoderm septum transversum antara hati dan
fore gut akan meregang dan membentuk selaput omentum minus (ligamentum
gastrohepaticum dan ligamentum hepatoduodenale).Pada tepi bebas omentum minus
terdapat :
• Saluran empedu
• Vena prota
• Arteri hepatica
Mesoderm pada permukaan hati berdiferensiasi menjadi peritonium viscerale, kecuali pada
permukaan atasnya. Pada daerah ini, hati tetap berhubungan dengan sisa septum transversum.
Bagian septum ini terdiri atas gumpalan mesoderm yang padat dan membentuk pars
tendinosa diafragma. Permukaan hati yang berhubungan dengan diafragma dan tidak pernah
diliputi peritonium dikenal dengan pars afixa hepatis atau bare area of the liver. Pada minggu
10 berat hati ± 10% dari berat badan seluruhnya. Hal ini disebabkan karena:
– Sejumlah besar Sinusoid
– Fungsi hemopoetik
Diantara sel hati dan dinding pembuluh darah ditemukan sarang-sarang sel yang
menghasilkan sel darah merah dan putih. Kegiatan ini berangsur-angsur berkurang dalam 2
bulan terakhir kehidupan dalam rahim. Pada saat lahir hanya pulau-pulau kecil pembentuk
darah yang tertinggal. Pada saat ini berat hati ± 5% dari berat badan seluruhnya.Fungsi hati
yang penting lainnya dimulai pada minggu ke 12 yaitu dibentuknya empedu oleh sel-sel hati.
Pada saat ini, kandung empedu dan ductus cysticus telah berkembang. Ductus cysticus
bersatu dengan ductus hepaticus membentuk ductus choledochus. Akibatnya empedu dapat
memasuki saluran pencernaan, sehingga isi saluran pencernaan berwarna hijau gelap. Karena
perubahan kedudukan duedenum, muara ductus choledochus berangsur-angsur bergeser dari
depan ke belakang. Akibatnya ductus choledochus menghilang dibelakang duodenum.
Gambar 2.7 Embriologi Pencernaan
Yanwirasti,2010
Perkembngan Usus Sederhana (Mid Gut)
Perkembangan usus tengah ditandai oleh cepat memanjangnya usus dan
mesenteriumnya, sehingga terbentuk jerat usus primer. Pada puncaknya jerat ini tetap
berhubungan dengan kandung telur melalui ductus vitellinus yang sempit. Bagian cranial
jerat usus akan membentuk:
– Bagian distal duodenum
– Yeyenum
– Ileum (sebahagian)
Gambar 2.8 Embriologi Pencernaan
Yanwirasti,2010
Bagian caudal jerat usus akan membentuk:
– Bagian bawah illeum
– Caecum
– Appendix
– Colon ascenden
– 2/3 proximal colon transfersum
Perbatasan antara bagian cranial dan caudal jerat usus: ductus vitelinus tetap ada pada
orang dewasa yang dikenal sebagai: Diferticulum meckel dan diverticulum illeal.
Hernia phisiology
Pertumbuhan jerat usus primer sangat pesat terutama bagian cranialnya. Akibat
pertumbuhan yang cepat ini dan perluasan hati yang serentak, rongga perut untuk sementara
terlalu kecil untuk menampung jerat-jerat usus ini. Akibatnya jerat ini memasuki celom extra
embrional dan tali pusat (hernia umbilicalis phisiologic) yang terjadi pada minggu ke enam.
Gambar 2.8 Embriologi Pencernaan
Yanwirasti,2010
Bersamaan dengan pertumbuhan memanjangnya, jerat usus sederhana akan berputar
disekitar poros yang dibentuk oleh A.Mesenterica superior. Perputaran terjadi 270o yang
terdiri atas:
– 90% selama herniasi
– 180o selama jerat usus kembali ke rongga perut.
– Perputaran ini berlawanan dengan arah jam.
Usus besar juga cukup bertambah panjang, sedangkan yeyenum dan ileum selain bertambah
panjang juga akan membentuk jerat-jerat bergelung selama perputaran.
Gambar 2.9 Embriologi Pencernaan
Yanwirasti,2010
Usus sederhana belakang membentuk:
– 1/3 distal colon transversum
– Colon ascendens
– Sigmoid
– Rectum
– Bagian atas canalis analis
Bagian usus sederhana belakang bermuara kedalam cloaka (suatu rongga yang di lapisi
entoderm yang berhubungan langsung dengan entoderm permukaan). Pada pertemuan antara
entoderm dan ektoderm terbentuk membrana cloacalis. Pada perkembangan selanjutnya
tumbuh septum urorectal pada sudut antara alantois dan usus belakang. Sekat ini berlanjut
tumbuh ke caudal sambil membagi cloaka menjadi :
– Sinus urogenitalis sederhana (depan)
– Canalis anorectalis (belakang)
Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum urorectal mencapai membran cloacalis
yang akan terbagi menjadi :
– Membran analis (dibelakang)
– Membran urogentalis (didepan)
Membran analis dikelilingi oleh tonjolan-tonjolan mesenchim. Pada minggu ke 8 selaput
ini ditemukan pada dasar lekukan ektoderm yang akan menjadi lobang anus atau proktodium.
Dalam minggu ke 9, membran analis koyak dan terbentuklah jalan terbuka antara rektum dan
dunia luar. Bagian atas canalis analis berasal dari entoderm dan didarahi oleh A.mesenterica
inferior. Bagian bawah (1/3 bawah) berasal dari ektoderm dan didarahi oleh A.pudenda
interna. Pertemuan keduanya disebut linea dentata atau linea pertinatum.
Gambar 2.10 Embriologi Pencernaan
Yanwirasti,2010
2.2 Atresia Esofagus
Gambar 2.11 Atresia Esofagus
2..2.1 Pengertian Atresia Esophagus
Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang atau
muara (buntu), pada esofagus (+). Pada sebagian besar kasus atresia esofagus ujung esofagus
buntu, sedangkan pada ¼ -1/3 kasus lainnya esophagus bagian bawah berhubungan dengan
trakea setinggi karina (disebut sebagai atresia esophagus dengan fistula). Kelainan lumen
esophagus ini biasanya disertai dengan fistula trakeoesofagus. Atresia esofagaus sering
disertai kelainan bawaan lain, seperti kelainan jantung, kelainan gastroin testinal (atresia
duodeni atresiasani), kelainan tulang (hemivertebrata).
Atresia esofagus adalah malpormasi yang disebabkan oleh kegagalan esofagus untuk
mengadakan pasase yang kontinu : esophagus mungkin saja atau mungkin juga tidak
membentuk sambungan dengan trakea ( fistula trakeoesopagus) atau atresia esophagus
adalah kegagalan esophagus untuk membentuk saluran kotinu dari faring ke lambung selama
perkembangan embrionik adapun pengertian lain yaitubila sebua segmen esoofagus
mengalami gangguan dalam pertumbuhan nya( congenital) dan tetap sebaga bagian tipis
tanpa lubang saluran.
Fistula trakeo esophagus adalah hubungan abnormal antara trakeo dan esofagus . Dua
kondisi ini biasanya terjadi bersamaan, dan mungkin disertai oleh anomaly lain seperti
penyakit jantung congenital. Untuk alas an yang tidak diketahui esophagus dan trakea gagal
untuk berdeferensiasi dengan tepat selama gestasi pada minggu keempat dan kelima. Atresia
Esofagus termasuk kelompok kelainan kongenital terdiri dari gangguan kontuinitas esofagus
dengan atau tanpa hubungan persisten dengan trachea.
2.2.2 Epidemiologi Atresia Esophagus
Atresia esofagus pertama kali dikemukakan oleh Hirschprung seorang ahli anak dan
Copenhagen pada abad 17 tepatnya pada tahun 1862 dengan adanya lebih kurang 14 kasus
atresia esophagus. Kelainan ini sudah diduga sebagai suatu malformasi dari traktus
gastrointestinal. Meskipun sejarah penyakit atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus telah
dimulai pada abad ke 17, namun penanganan bedah terhadap anomali tersebut tidak berubah
sampai tahun 1869. Baru pada tahun 1939, Leven dan Ladd telah berhasil menyelesaikan
penanganan terhadap atresia esophagus. Lalu di tahun 1941 seorang ahli bedah Cameron
Haigjit dad Michigan telah berhasil melakukan operasi pada atresia esofagus dan sejak itu
pulalah bahwa Atresia Esofagus sudah termasuk kelainan kongenital yang bisa diperbaiki.
Di Amerika Utara insiden dari Atresia Esofagus berkisar 1:3000-4500 dari kelahiran
hidup, angka ini makin lama makin menurun dengan sebab yang belum diketahui. Secara
Internasional angka kejadian paling tinggi terdapat di Finlandia yaitu 1:2500 kelahiran hidup.
Atresia Esofagus 2-3 kali lebih sering pada janin yang kembar. Kecenderungan peningkatan
jumlah kasus atresia esophagus tidak berhubungan dengan ras tertentu. Namun dari suatu
penelitian didapatkan bahwa insiden atresia esophagus paling tinggi ditemukan pada populasi
kulit putih (1 kasus per10.000 kelahiran) dibanding dengan populasi non-kulit putih (0,55
kasus per 10.000 kelahiran).
Jenis kelamin laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan pada perempuan
untuk mendapatkan kelainan atresia esophagus. Rasio kemungkinan untuk mendapatkan
kelainan esophagus antara laki-laki dan perempuan adalah sebesar 1,26:1. Atresia esophagus
dan fistula trakeoesofagus adalah kelainan kongenital pada neonatus yang dapat didiagnosis
pada waktu-waktu awal kehidupan. Beberapa penelitian menemukan insiden atresia
esophagus lebih tinggi pada ibu yang usianya lebih muda dari 19 tahun dan usianya lebih tua
dari 30 tahun, dimana beberapa penelitian lainnya juga mengemukakan peningkatan resiko
atresia esophagus terhadap peningkatan umur ibu.
2.2.3 Etiologi Atresia Esophagus
Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan terjadinya
kelainan atresia esophagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2 % jika salah satu dari
saudara kandung yang terkena. Atresia esophagus lebih berhubungan dengan sindroma
trisomi 21,13 dan 18 dengan dugaan penyebab genetik. Namun saat ini, teori tentang
terjadinya atresia esophagus menurut sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan
kelainan genetik. Perdebatan tentang proses embriopatologi masih terus berlanjut.
Selama embryogenesis proses elongasi dan pemisahan trakea dan esophagus dapat
terganggu. Jika pemisahan trekeoesofageal tidak lengkap maka fistula trakeoesofagus akan
terbentuk. Jika elongasi melebihi proliferasi sel sebelumnya, yaitu sel bagian depan dan
belakang jaringan maka trakea akan membentuk atresia esophagus. Atresia esophagus dan
fistula trakeoesofagus sering ditemukan ketika bayi memiliki kelainan kelahiran seperti :
Trisomi
Gangguan saluran pencernaan lain (seperti hernia diafragmatika, atresia duodenal,
dan anus imperforata).
Gangguan jantung (seperti ventricular septal defect, tetralogifallot, dan patent
ductus arteriosus).
Gangguan ginjal dan saluran kencing (seperti ginjal polisistik atau horseshoe
kidney, tidak adanya ginjal,dan hipospadia).
Gangguan Muskuloskeletal
Sindrom VACTERL (yang termasuk vertebr, anus, candiac, tracheosofagealfistula,
ginjal, dan abnormalitas saluran getah bening).
Lebih dari setengah bayi dengan fistula atau atresia esophagus memiliki kelainan
lahir
Atresia Esophagus dapat disebababkan oleh beberapa hal, diantaranya sebagai berikut :
Faktor obat => Salah satu obat yang dapat menimbulkan kelainan kongenital yaitu
thali domine .
Faktor radiasi => Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin dapat menimbulkan
kelainan kongenital pada janin yang dapat menimbulkan mutasi pada gen
Faktor gizi
Deferensasi usus depan yang tidak sempurna dan memisahkan dari masing –
masing menjadi esopagus dan trachea .
Perkembangan sel endoteal yang lengkap sehingga menyebabkan terjadinya
atresia.
Perlengkapan dinding lateral usus depan yang tidak sempurna sehingga terjadi
fistula trachea esophagus.
Tumor esophagus.
Kehamilan dengan hidramnion
Bayi lahir prematur,
Tapi tidak semua bayi yang lahir premature mengalami penyakit ini. Dan ada alasan
yang tidak diketahui mengapa esefagus dan trakea gagal untuk berdiferensiasi dengan tepat
selama gestasi pada minggu ke empat dan ke lima.
2.2.4 Patofisiologi Atresia Esophagus
Patogenesis dan etiologi atresia esofagus tidaklah jelas. Trakea dan esofagus
normalnya berkembang dan terpisah akibat lipatan cranial, ventral, dan dorsal yang muncul di
dalam foregut. Atresia esofagus dengan fistula distal akibat dari invaginasi ventral yang
berlebihan pada lipatan faringo-esofagus, yang menyebabkan kantung esofagus bagian atas
mencegah lipatan cranial dari menuju ke bawah ke lipatan ventral. Untuk itu, sambungan
dipasangkan antara esofagus dan trakea.
Terdapat beberapa tipe atresia esofagus, tetapi anomali yang umum adalah fistula
antara esofagus distal dan trakea, sebanyak 80% bayi baru lahir dengan kelainan esofagus.
Atresia esofagus dan tracheoesophageal fistula diduga sebagai akibat pemisahan yang tidak
sempurna antara lempengan paru dari foregut selama masa awal perkembangan janin.
Sebagian besar anomali kongenital pada bayi baru lahir meliputi vertebra, ginjal, janutng,
muskuloskeletal, dan sistem gastrointestinal.
Walaupun kelainan perkembangan pada esofagus merupakan hal yang tidak umum
terjadi, tetapi apabila terjadi ketidaknormalan harus segera dikoreksi, karena dapat
mengancam nyawa. Karena hal ini dapat menyebabkan regurgitasi ketika bayi diberi makan.
Agenesis pada esofagus sangat jarang terjadi, kebanyakan atresia dan pembentukan fistula.
Pada atresia, segmen esofagus hanya berupa thin, noncanalized cord, dengan kantung
proksimal yang tersambung ke faring dan kantung bagian bawah yang menuju ke lambung.
Atresia sering terdapat pada bifurksasi (dibagi menjadi dua cabang) trakea terdekat. Jarang
hanya atresia sendiri, tetapi biasanya sering dijumpai bersamaan dengan fistula yang
menyambungkan kantung bawah atau atas dengan bronkus atau trakea. Anomali yang
berhubungan meliputi congenital heart disease, neurologic disease, genitourinary disease, dan
other gastrointestinal malformations. Atresia terkadang dihubungkan dengan arteri umbilikus
tunggal.
2.2.5 Klasifikasi Atresia Esophagus
Klasifikasi asli oleh Vogt tahun 1912 masih digunakan sampai saat ini . Gross pada
tahun 1953 memodifikasi klasifikasi tersebut, sementara Kluth 1976 menerbitkan "Atlas
Atresia Esofagus" yang terdiri dari 10 tipe utama, dengan masing-masing subtipe yang
didasarkan pada klasifikasi asli dari Vogt. Hal ini terlihat lebih mudah untuk menggambarkan
kelainan anatomi dibandingkan memberi label yang sulit untuk dikenali.
Atresia Esophagus diklasifikasikan sebagai berikut :
Atresia Esofagus dengan fistula trakheooesophageal distal ( 86% Vogt 111.grossC)
Merupakan gambaran yang paling sering pada proksimal esofagus, terjadi dilatasi dan
penebalan dinding otot berujung pada mediastinum superior setinggi vetebra thoracal
III/IV. Esofagus distal (fistel), yang mana lebih tipis dan sempit, memasuki dinding
posterior trakea setinggi carina atau 1-2 cm diatasnya. Jarak antara esofagus proksimal
yang buntu dan fistula trakheooesofageal distal bervariasi mulai dari bagian yang overlap
hingga yang berjarak jauh.
Atresia Esofagus terisolasi tanpa fistula ( 7%, Vogg II, Gross A)
Esofagus distal dan proksimal benar-benar berakhir tanpa hubungan dengan segmen
esofagus proksimal, dilatasi dan dinding menebal dan biasanya berakhir setinggi
mediastinum posterior sekitar vetebra thorakalis II. Esofagus distal pendek dan berakhir
pada jarak yang berbeda diatas diagframa.
Fistula trakheo esofagus tanpa atresia ( 4 %, Groos E)
Terdapat hubungan seperti fistula antara esofagus yang secara anatomi cukup intak
dengan trakhea. Traktus yang seperti fistula ini bisa sangat tipis/sempit dengan diameter
3-5 mm dan umumnya berlokasi pada daerah servikal paling bawah. Biasanya single tapi
pernah ditemukan dua bahkan tiga fistula.
Atresia esofagus dengan fistula trakeo esofagus proksimal (2%. Vogt III & Gross B).
Gambaran kelainan yang jarang ditemukan namun perlu dibedakan dari jenis terisolasi.
Fistula bukan pada ujung distal esofagus tapi berlokasi 1-2 cm diatas ujung dinding depan
esofagus.
Atresia esofagus dengan fistula trakheo esofagus distal dan proksimal
Pada kebanyakan bayi, kelainan ini sering terlewati (misdiagnosa) dan di terapi sebagai
atresia proksimal dan fistula distal. Sebagai akibatnya infeksi saluran pernapasan
berulang, pemeriksaan yang dilakukan memperlihatkan suatu fistula dapat dilakukan dan
diperbaiki keseluruhan. Seharusnya sudah dicurigai dari kebocoran gas banyak keluar
dari kantong atas selama membuat/ merancang anastomose.
2.2.6 Tanda dan Gejala Atresia Esophagus
Tanda dan gejala Atresia Esofagus yang mungkin timbul:
Batuk ketika makan atau minum
Bayi menunjukkan kurangnya minat terhadap makanan atau ketidakmampuan untuk
menerima nutrisi yang cukup (pemberian makan yang buruk
Gelembung berbusa putih di mulut bayi
Memiliki kesulitan bernapas
Memiliki warna biru atau ungu pada kulit dan membran mukosa karena kekurangan
oksigen (sianosis)
Meneteskan air liur
Muntah-muntah
Biasanya disertai hidramnion (60%) dan hal ini pula yang menyebabkan kenaikan
frekuensi bayi lahir prematur, sebaiknya dari anamnesis didapatkan keterangan
bahwa kehamilan ibu diertai hidramnion hendaknya dilakukan kateterisasi esofagus.
Bila kateter terhenti pada jarak ≤ 10 cm, maka di duga atresia esofagus.
Bila pada bbl Timbul sesak yang disertai dengan air liur yang meleleh keluar, di
curigai terdapat atresia esofagus.
Segera setelah di beri minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena
aspirasi cairan kedalam jalan nafas.
Pada fistula trakeosofagus, cairan lambung juga dapat masuk kedalam paru, oleh
karena itu bayi sering sianosis
2.2.7 Diagnosis Atresia Esophagus
Atresia Esophagus dapat di diagnosa dari beberapa hal, diantaranya adalah sebagai
berikut :
Biasanya disertai denga hydra amnion (60 %) dan hal ini pula yang menyebabkan
kenaikan frekuensi bayi ang lahir premature. Sebaliknya bila dari ananese ditetapkan
keterangan bahwa kehamilan ibu disertai hidraamnion, hendakla dilakukan
kateterisasiesofagus dengan kateter pada jarak kurang dari 10 cm , maka harus didiga
adanya atresia esophagus.
Bila pada bayi baru lahir timbul sesak napas yang disertai air liur meleleh keluar, harus
dicurigai adanya atresia esfagus.
Segera setlah diberi minum, bay akan berbangkis, batuk dan sianosis karena aspiasi cairan
kedam jalan nafas.
Dianosis pasti dapat dibuat denga foto toraks yang akan menunjukkan gambaran kateter
terhenti pada tempat atresia. Pemberian kontras kedalam esophagus dapat memberikan
gambaran yang lebih pasti, tapi cara ini tidak dianjurkan.
Perlu dibedakan pada pemeriksaan fisis apakah lambung terisi udara atau kosong untuk
menunjang atau menyingkirkan terdapatnya fistula trakeoesofagus. Hal ini dapat terlihat
pada foto abdomen.
2.2.8 Penatalaksanaan pada Atresia Esophagus
Pasang sonde lambung no. 6 – 8 F yang cukup halus. Dan radioopak sampai di
esophagus yang buntu. Lalu isap air liur secara teratur setiap 10 – 15 menit.
Pada Gross type II, tidur terlentang kepala lebih tinggi. Pada Gross type I, tidur
terlentang kepala lebih rendah. Bayi dipuasakan dan diinfus. Kemudian segera siapkan
operasi.
Pemberian minum baik oral/enteral merupakan kontra indikasi mutlak untuk bayi ini.
Bayi sebaiknya ditidurkan dengan posisi “prone”/ telungkup, dengan posisi kepala 30o lebih
tinggi. Dilakukan pengisapan lendir secara berkala, sebaiknya dipasang sonde nasogastrik
untuk mengosongkan the blind-end pouch. Bila perlu bayi diberikan dot agar tidak gelisah
atau menangis berkepanjangan.
Penatalaksanaan oleh bidan adalah sebagai berikut :
Pasang sonde lambung antara No 6-8 F yang cukup kalen dan radio opak sampai di
esophagus yang buntu. Lalu isap air liur secara teratur setiap 10-15 menit.
Pada groos II bayi tidur terlentang dengan kepala lebih tinggi.
Pada groos I bayi tidur terlentang dengan kepala lebih rendah.
Bayi di puasakan dan di infuse
Konsultasi dengan yang lebih kompeten
Rujuk ke rumah sakit
Pengobatan pada Atresia Esophagus
Penderita atresia esophagus seharusnya ditengkurapkan untuk mengurangi
kemungkinan isi lambung masuk ke dalam paru-paru. Kantong esophagus harus secara
teratur dikosongkan dengan pompa untuk mencegah aspirasi sekret. Perhatian yang cermat
harus diberikan terhadap pengendalian suhu, fungsi respirasi dan pengelolaan anomaly
penyerta kadang-kadang, kondisi penderita mengharuskan operasi tersebut dilakukan secara
bertahap:
Tahap pertama biasanya adalah pengikatan fistula dan pemasukan pipa gastrotomi
untuk memasukkan makanan,
Tahap kedua adalah anastomosis primer, makanan lewat mulut biasanya dapat
diterima. Esofagografi pada hari ke 10 akan menolong menilai keberhasilan anastomosis.
Malformasi struktur trakhea sering ditemukan pada penderita atresia dan fistula esophagus.
Trakeomalasia, pneumonia aspirasi berulang, dan penyakit saluran nafas reaktif sering
ditemukan. Perkembangan trakheanya normal jika ada fistula, stenosis esophagus dan refluks
gastroesofagus berat lebih sering pada penderita ini.
Pengobatan pada atresia etsophagus setelah dirujuk, yaitu antara lain:
Keperawatan => Sebelum dilakukan operasi, bayi diletakkan setengah duduk untuk
mencegah terjadinya regurgitasi cairan lambung ke dalam paru, cairan lambung harus
sering diisap untuk mencegah aspirasi.
Medik => Pengobatan dilakukan dengan operasi. Pada penderita atresia anus ini dapat
diberikan pengobatan sebagai berikut :
Fistula yaitu dengan melakukan kolostomia sementara dan setelah 3 bulan dilakukan
koreksi sekaligus
Eksisi membran anal
2.2.9 Komplikasi Atresia Esophagus
Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul setelah operasi perbaikan pada atresia
esofagus dan fistula atresia esophagus adalah sebagai berikut :
Dismotilitas esophagus => Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dingin esophagus.
Berbagai tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini. Komplikasi ini terlihat saat
bayi sudah mulai makan dan minum.
Gastroesofagus refluk => Kira-kira 50 % bayi yang menjalani operasi ini kana
mengalami gastroesofagus refluk pada saat kanak-kanak atau dewasa, dimana asam
lambung naik atau refluk ke esophagus. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan obat
(medical) atau pembedahan.
Trakeo esogfagus fistula berulang => Pembedahan ulang adalah terapi untuk keadaan
seperti ini.
Disfagia atau kesulitan menelan => Disfagia adalah tertahannya makanan pada tempat
esophagus yang diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air untuk
tertelannya makanan dan mencegah terjadinya ulkus.
Kesulitan bernafas dan tersedak => Komplikasi ini berhubungan dengan proses menelan
makanan, tertaannya makanan dan saspirasi makanan ke dalam trakea.
Batuk kronis => Batuk merupakan gejala yang umum setelah operasi perbaikan atresia
esophagus, hal ini disebabkan kelemahan dari trakea.
Meningkatnya infeksi saluran pernafasan => Pencegahan keadaan ini adalah dengan
mencegah kontakk dengan orang yang menderita flu, dan meningkatkan daya tahan
tubuh dengan mengkonsumsi vitamin dan suplemen.
2.3 Atresia Billier
2.3.1 Definisi Atresia bilier
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/saluran-
saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu
(gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang berarti terjadi saat kelahiran.
Gambar 2.12 Atresia Billier
2.3.2 Klasifikasi Atresia bilier
Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
1. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
2. IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan
kandung empedu semuanyanormal).
IIb. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus.
Kandung empedu normal.Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami
obliterasi, sampai ke hilus. Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat
dioperasi (correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi
(non-correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang
tergolong tipe I dan II
2.3.2 Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan
bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom
trisomi17, 18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun,
sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang
merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi. Beberapa anak, terutama mereka
dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa,
atau usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan penyakit
keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1
anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier kemungkinan besar disebabkan oleh
sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan
yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
infeksi virus atau bakteri
masalah dengan sistem kekebalan tubuh
komponen yang abnormal empedu
kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
hepatocelluler dysfunction
2.3.3 Manifestasi Klinis
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala penyakit ini
biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala termasuk:
Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi
(pigmen empedu) dalam aliran darah.
Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir.
Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang
bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang
pada dua atau tiga minggu setelah lahir
Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari
hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam
urin.
Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk
ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat
pembesaran hati.
Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan
hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut
dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air
serta gagal tumbuh
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
Gatal-gatal
Rewel
o splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal /
Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut
darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
2.3.4 Patofisiologi
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran
empedu, dan tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier
ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu .Obstruksi saluran bilier
ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat
disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah :
sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus koledokus, karsinoma kaput pancreas,
karsinoma ampula vateri, striktura pasca peradangan atau operasi.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan
menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati. Dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati. Bahkan hati
menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena portal
sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati.
Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa gatal.
Bilirubin yang tertahan dalam hati juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang dapat
mewarnai kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning. Degerasi secara gradual
pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly. Karena tidak ada aliran empedu
dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi, kekurangan
vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal tumbuh.
Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat diserap
oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan lemak didalam
tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi berlebihan vitamin yang
larut dalam lemak dapat membuat anda keracunan sehingga menyebabkan efek samping
seperti mual, muntah, dan masalah hati dan jantung.
2.3.5 Pemeriksaan Diagnostik
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar,
pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi
hati (darah,urin, tinja)
2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati
3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia
bilier.
Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin
untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan
darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak
sesuaidengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan
gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya,
peningkatan SGOT < 5kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke
kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin
serum total atau bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9%
dalam menentukan atresia bilier.
- Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan adanya
bendungan saluran empedu total.
- Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja /
stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
- Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time, partial
thromboplastin time.
Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup
sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari
pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam
empedu hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka tidak
adanya asam empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier.
Pencitraan
Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat ditingkatkan
bilapemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah
minum.Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia
bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier,
tidak ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung
diagnosisatresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.
Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m
mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada
pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari.
Pada kolestasisintrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi
ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal
tetapi ekskresinya keusus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis
intrahepatik yang beratjuga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk
meningkatkan sensitivitas danspesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan
indeks hepatik (penyebaran isotop dihati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5
dapat menyingkirkan kemungkinanatresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan
petunjuk kuat adanya atresia bilier.Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan
DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam
mendetcksi atresia bilier, yang terbaik adalahmenggabungkan basil pemeriksaan USG dan
sintigrafi.
Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary Iminodeacetic
Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat
menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.
Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography).
Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier
dengan kolestasisintrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan kolangiografi durante operasionam.
Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas untuk membedakan
kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.
Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan.
Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai
95%,sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi
eksplorasi, danbahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu
pasca operasi Kasai di 6 tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati.
Bila diameter duktus100 200 u atau 150 400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet
dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada saat laparatomi eksplorasi,
untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati
yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi
pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari,
terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia
bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk
melakukan biopsi pada usia < 6 minggu.
2.3.6 Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa
Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asamlitokolat), dengan memberikan :
Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
Fenobarbital akan merangsang enzimglukuronil transferase (untuk mengubah
bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzimsitokrom P-450 (untuk oksigenisasi
toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliranempedu). Kolestiramin 1
gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.
Kolestiraminmemotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder
Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam ursodeoksikolat, 310
mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolatmempunyai daya ikat
kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.
2. Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang seoptimal
mungkin, yaitu :
1).Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme. Disamping itu, metabolisme
yang dipercepat akan secara efisien segera dikonversi menjadi energy untuk secepatnya
dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak dalam tubuh. Makanan
yang mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega, minyak kelapa, dan lainnya.
2)Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin A, D, E, K
3. Terapi bedah
a. Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu keusus.
Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati
atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan
yang disebut prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan
sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.
b. Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier dan
kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir.
Karena hati adalah organ satu-satunya yang bisa bergenerasi secara alami tanpa perlu obat
dan fungsinya akan kembali normal dalam waktu 2 bulan. Anak-anak dengan atresia bilier
sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai anak. Kemajuan
dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan untuk dilakukannya
transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati dari anak kecil
yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok. Baru-baru ini, telah
dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang dewasa, yang disebut"reduced
size" atau "split liver" transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan atresia bilier.
Berdasarkan treatment yang diberikan :
Palliative treatment
Dilakukan home care untuk meningkatkan drainase empedu dengan mempertahankan
fungsi hati dan mencegah komplikasi kegagalan hati.
Supportive treatment
o Managing the bleeding dengan pemberian vitamin K yang berperan dalam
pembekuan darah dan apabila kekurangan vitamin K dapat menyebabkan
perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam penyembuhan. Ini bisa ditemukan
pada selada, kubis, kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau tua
adalah sumber terbaik vitamin ini.
o Nutrisi support, terapi ini diberikan karena klien dengan atresia bilier
mengalami obstruksi aliran dari hati ke dalam usus sehingga menyebabkan
lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi. Oleh karena itu
diberikan makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT)
seperti minyak kelapa.
o Perlindungan kulit bayi secara teratur akibat dari akumulasi toksik yang
menyebar ke dalam darah dan kulit yang mengakibatkan gatal (pruiritis) pada
kulit.
o Pemberian health edukasi dan emosional support, keluarga juga turut
membantu dalam memberikan stimulasi perkembangan dan pertumbuhan
klien.
2.3.7 Komplikasi
Kolangitis:
Komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan aliran empedu
yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. Hal ini terjadi terutamadalam
minggu-minggu pertama atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60% kasus.Infeksi
ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan. Ada tanda-tanda sepsis (demam,
hipotermia,status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang, feses acholic dan mungkin
timbul sakitperut. Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur darah dan / atau biopsi hati.
Hipertensi portal:
Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak setelah
portoenterostomy. Hal paling umum yang terjadi adalah varises esofagus.
Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal:
Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara spontan (sirosis atau prehepatic
hipertensi portal) atau diperoleh (bedah) portosystemic shunts, shunts pada arterivenosus
pulmo mungkin terjadi. Biasanya, hal inimenyebabkan hipoksia, sianosis, dan dyspneu.
Diagnosis dapat ditegakan dengan scintigraphyparu. Selain itu, hipertensi pulmonal dapat
terjadi pada anak-anak dengan sirosis yang menjadi penyebab kelesuan dan bahkan kematian
mendadak. Diagnosis dalam kasus ini dapat ditegakan oleh echocardiography. Transplantasi
liver dapat membalikan shunts, dan dapat membalikkan hipertensi pulmonal ke tahap semula.
Keganasan:
Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas dapat timbul
padapasien dengan atresia bilier yang telah mengalami sirosis. Skrining untuk keganasan
harusdilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang berhasil.
Hasil setelah gagal operasi Kasai
Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai gagal untuk memulihkan aliran
empedu,dan pada keadaan ini harus dilakukan transplantasi hati. Hal ini biasanya dilakukan
di tahun kedua kehidupan, namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk
mengurangi kerusakan dari hati. Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari indikasi
untuk transplantasi hati di masa kanak-kanak. Hal ini juga mungkin diperlukan dalam kasus-
kasus dimana pada awalnya sukses setelah operasi Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren
(kegagalan sekunder operasi Kasai), atau untuk berbagai komplikasi dari sirosis
(hepatopulmonary sindrom).
2.3.8 Prognosis
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran
histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri.
Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71,86%,
sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya
34,43%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun
hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami
operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi
adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik
hati, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi
portal.
2.4 Hernia Diafragmatika
2.4.1 Definisi Hernia Diafragmatika
Hernia adalah penonjolan gelung atau ruas organ atau jaringan melalui lubang
abnormal. Henia diafragmatika adalah sekat yang membatasi rongga dada dan rongga perut.
Hernia Diafragmatika adalah penonjolan organ perut ke dalam rongga dada melalui suatu
lubang pada diafragma. Akibat penonjolan viscera abdomen ke dalam rongga thorax melalui
suatu pintu pada diafragma. Terjadi bersamaan dengan pembentukan sistem organ dalam
rahim. Hernia diafragmatika termasuk kelainan bawaan yang terjadi karena tidak
terbentuknya sebagian diafragma, sehingga ada bagian isi perut masuk kedalam rongga torak.
Gambar 2.13 Herni Diafragmatika
2.4.2 Etiologi Hernia Diafragmatika
Ditemukan pada 1 diantara 2200-5000 kelahiran dan 80-90% terjadi pada sisi tubuh
bagian kiri. Janin tumbuh di uterus ibu sebelum lahir, berbagai sistem organ berkembang dan
matur. Diafragma berkembang antara minggu ke-7 sampai 10 minggu kehamilan. Esofagus
(saluran yang menghubungkan tenggorokan ke abdomen), abdomen, dan usus juga
berkembang pada minggu itu. Pada hernia tipe Bockdalek, diafragma berkembang secara
tidak wajar atau usus mungkin terperangkap di rongga dada pada saat diafragma berkembang.
Pada hernia tipe Morgagni, otot yang seharusnya berkembang di tengah diafragma tidak
berkembang secara wajar. Pada kedua kasus di atas perkembangan diafragma dan saluran
pencernaan tidak terjadi secara normal. Hernia difragmatika terjadi karena berbagai faktor,
yang berarti “banyak faktor” baik faktor genetik maupun lingkungan.
2.4.3 Patofisiologis Hernia Diafragmatika
Disebabkan oleh gangguan pembentukan diafragma. Diafragma dibentuk dari 3
unsur yaitu membrane pleuroperitonei, septum transversum dan pertumbuhan dari tepi yang
berasal dari otot-otot dinding dada. Gangguan pembentukan itu dapat berupa kegagalan
pembentukan seperti diafragma, gangguan fusi ketiga unsure dan gangguan pembentukan
seperti pembentukan otot. Pada gangguan pembentukan dan fusi akan terjadi lubang hernia,
sedangkan pada gangguan pembentukan otot akan menyebabkan diafragma tipis dan
menimbulkan eventerasi. Para ahli belum seluruhnya mengetahui faktor yang berperan dari
penyebab hernia diafragmatika, antara faktor lingkungan dan gen yang diturunkan orang tua.
2.4.4 Tanda dan Gejala Hernia Diafragmatika
Gejalanya berupa:
a. Retraksi sela iga dan substernal
b. Perut kecil dan cekung
c. Suara nafas tidak terdengar pada paru karena terdesak isi perut.
d. Bunyi jantung terdengar di daerah yang berlawanan karena terdorong oleh isi perut.
e. Terdengar bising usus di daerah dada.
f. Gangguan pernafasan yang berat
g. Sianosis (warna kulit kebiruan akibat kekurangan oksigen)
h. Takipneu (laju pernafasan yang cepat)
i. Bentuk dinding dada kiri dan kanan tidak sama (asimetris)
j. Takikardia (denyut jantung yang cepat).
2.4.5 Gambaran klinis
Kelainan yang sering ditemukan adalah adanya penutupan yang tidak sempurna dari
sinus pleuroperitoneal ( foramen bochdalek ) yang terletak pada bagian postero-lateral dari
diafragma, tetapi jarang di temukan hernia sinussubsternal (foramen morgagni) yang melalui
hiatus esofagus.
2.4.6 Penatalaksanaan Diafragmatika
a. Pemeriksaan fisik
1) Pada hernia diafragmatika dada tampak menonjol, tetapi gerakan nafas tidak nyata
2) Perut kempis dan menunjukkan gambaran scafoid
3) Pada hernia diafragmatika pulsasi apeks jantung bergeser sehingga kadang-kadang
terletak di hemitoraks kanan
4) Bila anak didudukkan dan diberi oksigen, maka sianosis akan berkurang
5) Gerakan dada pada saat bernafas tidak simetris
6) Tidak terdengar suara pernafasan pada sisi hernia
7) Bising usus terdengar di dada
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto thoraks akan memperlihatkan adanya bayangan usus di daerah toraks
2) Kadang-kadang diperlukan fluoroskopi untuk membedakan antara paralisis
diafragmatika dengan eventerasi (usus menonjol ke depan dari dalam abdomen)
Yang dapat dilakukan seorang bidan bila menemukan bayi baru lahir yang mengalami hernia
diafragmatika yaitu :
1. Berikan oksigen bila bayi tampak pucat atau biru.
2. Posisikan bayi semifowler atau fowler sebelum atau sesudah operasi agar tekanan dari
isi perut terhadap paru berkurang dan agar diafragma dapat bergerak bebas.
3. Awasi bayi jangan sampai muntah, apabila hal tersebut terjadi, maka tegakkan bayi
agar tidak terjadi aspirasi.
4. Lakukan informed consent dan informed choice untuk rujuk bayi ke tempat pelayanan
yang lebih baik.
c. Perencanaan
Apabila pada anak dijumpai adanya kelainan – kelainan yang biasa mengarah pada
Hernia diafragmatika, maka anak perlu segera dibawa ke dokter atau rumah sakit agar segera
bisa ditangani dan mendapatkan diagnosis yang tepat. Tindakan yang bisa dilakukan sesuai
dengan masalah yang keluhan – keluhan yang dirasakan :
1.Anak ditidurkan dalam posisi duduk dan dipasang pipa nasogastrik yang dengan teratur
dihisap.
2.Diberikan antibiotika profilaksis dan selanjutnya anak dipersiapkan untuk operasi. Organ
perut harus dikembalikan ke rongga perut dan lubang pada diafragma diperbaiki.
2.4.7 Komplikasi Hernia Diafragmatika
Lambung, usus dan bahkan hati dan limpa menonjol melalui hernia. Jika hernianya
besar, biasanya paru-paru pada sisi hernia tidak berkembang secara sempurna. Setelah lahir,
bayi akan menangis dan bernafas sehingga usus segera terisi oleh udara. Terbentuk massa
yang mendorong jantung sehingga menekan paru-paru dan terjadilah sindroma gawat
pernafasan. Sedangkan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita hernia diafragmatika
tipe Bockdalek antara lain 20 % mengalami kerusakan kongenital paru-paru dan 5 – 16 %
mengalami kelainan kromosom. Selain itu dapat menimbulkan beberapa komplikasi
misalnya:
a. Gangguan Kardiopulmonal karena terjadi penekanan paru dan terdorongnya mediastinum
ke arah kontralateral.
b. Sesak nafas berat berlanjut dengan asfiksia.
c. Mengalami muntah akibat obstruksi usus.
d. Adanya penurunan jumlah alveoli dalam pembentukan bronkus.
2.5 Atresia Duodeni
2.5.1 Definisi
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang baik. Pada
kondisi ini deodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga menghalangi
jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses absorbsi. Apabila
penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut dengan doudenal stenosis.
Gambar 2.14 Atresia Duodenum
2.5.2 Etiologi
Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat ini belum
diketahui. Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi pada neonatus
lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa anomali ini disebabkan karena gangguan
yang dialami pada awal kehamilan. Pada beberapa penelitian, anomali ini diduga karena
karena gangguan pembuluh darah masenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena
volvulus, malrotasi, gastrokisis maupun penyebab yang lainnya. Pada atresia duodenum, juga
diduga disebabkan karenakegagalan proses rekanalisasi. Faktor risiko maternal sampai saat
ini tidak ditemukan sebagai penyebab signifikan terjadinya anomali ini.Pada sepertiga pasien
dengan atresia duodenal menderita pula trisomi 21 m(sindrom down), akan tetapi ini
bukanlah faktor risiko yang signifikan menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa 12-13% kasus atresis duodenal disebabkan karena
polihidramnion. Disamping itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa annular
pankreasberhubungan dengan terjadinya atresia duodenal.
2.5.3 Perkembangan Embriologi Duodenum
Deodenum dibentuk dari bagian akhir usus depan dan bagian sefalik dari usus tengah.
Titik pertemuan kedua bagian ini terletak tepat di sebelah distal pangkal tunas hati. Ketika
lambung berputar, duodenum mengambil bentuk melengkung seperti huruf C dan memutar
ke kanan. Perputaran ini bersama-sama dengan tumbuhnya kaput pankreas, menyebabkan
duodenum membelok dari posisi tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga abdomen.
Deodenum dan kaput pankreas ditekan ke dinding dorsal badan, dan permukaan kanan
mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritonium yang ada didekatnya. Kedua lapisan
tersebut selanjutnya menghilang dan duodenum serta kaput pankreas menjadi terfikasasi di
posisi retroperitonial. Mesoduodenum dorsal menghilang sama sekali kecuali di daerah
pilorus lambung, dengan sebagian kecil duodenum ( tutup duodenum) yang tetap
intraperitonial.Selama bulan ke dua, lumen duodenum tersumbat oleh ploriferasi sel di
dindingnya. Akan tetapi, lumen ini akan mengalami rekanalisasi sesudah bulan kedua. Usus
depan akan disuplai oleh pembuluh darah yang berasal dari arteri sefalika dan usus tengah
oleh arteri mesenterika superior, sehingga duodenum akan disuplai oleh kedua pembuluh
darah tersebut.
2.5.4 Patogenesis
Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya atresia
duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini karena kegagalan
rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan bagian sefalik
midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya dan segera
mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8-10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan
atresia duodenum. Perkembangan duodenum terjadi karena proses ploriferasi endoderm yang
tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi ploriferasinya atau disebabkan kegagalan
rekanalisasi epitelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa epitel duodenum berploriferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari ataupada kehamilan
minggu ke 5 atau minggu ke 6, kemudian akan menyumbat lumen duodenum secara
sempurna. Kemudian akan terjadi proses vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami
proses apoptosis yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan
terjadinya degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11 kehamilan. Proses ini
mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila proses ini mengalami
kegagalan, maka lumen duodenum akan mengalami penyempitan.Pada beberapa kondisi,
atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena
gangguan perkembangan struktur tetangga, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan
dengan pankreas anular. Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi
sekeliling duodenum, terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkan
gangguan perkembangan duodenum.
2.5.5 Klasifikasi
Atresia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe morfologi. Atresia tipe I terjadi pada
lebih dari 90 % kasus dari semua obstruksi duodenum. Kandungan lumen diafragma meliputi
mukosa dan submukosa. Terdapar windsock deformity, dimana bagian duodenum yang
terdilatasi terdapat pada bagian distal dari duodenum yang obstruksi. Pada tipe I ini, tidak ada
fibrous cord dan duodenum masih kontinu. Atresia tipe II, dikarakteristikan dengan dilatasi
proksimal dan kolaps pada segmen area distal yand terhubung oleh fibrous cord. Atresia tipe
III memiliki gap pemisah yang nyata antara duodenal segmen distal dan segmen
proksimal.
2.5.6 Manifestasi Klinis
Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan nampak
dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul gejala dalam beberapa
jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus menerus merupakan gejala
yang paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal. Muntah yang terus-
menerus ditemukan pada 85% pasien.Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah
mengandung cairan empedu (biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu
non-biliosa apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri.
Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah neonatus mendapat ASI.
Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka
jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna
kuning atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah
akan berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama
kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan
pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus.
Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada
anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit,
konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang
normal.
Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti normal.
Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu. Akan tetapi, pada
beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan cepat,
maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan
elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau
hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna empedu
(biliosa) dalam jumlah bermakna.5,6
Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran
lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml.
Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas anak. Pada
beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien mengalami
dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F, maka kemungkinan pasien mengalami ruptur
intestinal atau peritonitis.Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi
distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat.
Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat tidak
terlihat jika pasien terus menerus muntah.
Pada kasus lain, distensi tidak nampak sampai neonatus berusia 24-48 jam, tergantung
pada jumlah susu yang dikonsumsi neonatus dan muntah yang dapat menyebabkan traktus
alimentari menjadi kosong. Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke
tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga
cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia
duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid.Saat auskultasi, terlihat
gelombang peristaltik gastrik yang melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang
peristaltik duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum
maupun kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut.
2.5.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan saat prenatal maupun saat postnatal.
Prenatal
Diagnosis saat masa prenatal yakni dengan menggunakan prenatal ultrasonografi.
Sonografi dapat meng-evaluasi adanya polihidramnion dengan melihat adanya struktur yang
terisi dua cairan dengan gambaran double bubble pada 44% kasus. Sebagian besar kasus
atresia duodenum dideteksi antara bulan ke 7 dan 8 kehamilan, akan tetapi pada beberapa
penelitian bisa terdeteksi pada minggu ke 20.
Postnatal
Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir dengan kecurigaan atresia
duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan
laboratorium yang diperiksa yakni pemeriksaan serum, darah lengkap, serta fungsi ginjal
pasien. Pasien bisanya muntah yang semakin progresive sehingga pasien akan mengalami
gangguan elektrolit. Biasanya mutah yang lama akan menyebabkan terjadinya metabolik
alkalosis dengan hipokalemia atau hipokloremia dengan paradoksikal aciduria. Oleh karena
itu, gangguan elektrolit harus lebih dulu dikoreksi sebelum melakukan operasi. Disamping
itu, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui apakah pasien mengalami
demam karena peritonitis dan kondisi pasien secara umum.Pemeriksaan roentgen yang
pertama kali dilakukan yakni plain abdominal x-ray. X-ray akan menujukkan gambaran
double-bubble sign tanpa gas pada distal dari usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak
gambaran gambaran lambung yang terisi cairan dan udara dan terdapat dilatasi dari
duodenum proksimal pada garis tengah agak kekanan. Apabila pada x-ray terdapat gas distal,
kondisi tersebut tidak mengekslusi atresia duodenum. Pada neonatus yang mengalami
dekompresi misalnya karena muntah, maka udara akan berangsur-angsur masukke dalam
lambung dan juga akan menyebabkan gambaran double-bubble.
2.5.8 Tatalaksana
Tata laksana yang dilakukan meliputi tata laksana preoperatif, intraoperatif serta
postoperatif.
Tata Laksana Preoperatif
Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat diperlukan dengan
melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan abnormalitas elektrolit serta
melakukan kompresi pada gastrik. Dilakukan pemasangan orogastrik tube dan menjaga
hidrasi IV. Managemen preoperatif ini dilakukan mulai dari pasien lahir. Sebagian besar
pasien dengan duodenal atresia merupakan pasien premature dan kecil, sehingga perawatan
khusus diperlukan untuk menjaga panas tubuh bayi dan mencegah terjadinya hipoglikemia,
terutama pada kasus berat badan lahir yang sangat rendah, CHD, dan penyakit pada respirasi.
Sebaiknya pesien dirawat dalam inkubator.
Tata Laksana Intraoperatif
Sebelum tahun 1970, duodenojejunostomi merupakan teknik yang dipilih untuk
mengoreksi obstruksi yang disebabkan karena stenosis maupun atresia. Kemudian,
berdasarkan perkembangannya, ditemukan berbagai teknik yang bervariasi, meliputi side-to-
side duodenoduodenostomi, diamnond shape duodenoduodenostomi, partial web resection
with heineke mikulick type duodenoplasty, dan tapering duodenoplasty. Side-to-side
duodenoplasty yang panjang, walaupun dianggap efektif, akan tetapi pada beberapa
penelitian teknik ini memyebabkan terjadinya disfungsi anatomi dan obstruksi yang lama.
Pada pasien dengan duodenoduodenostomi sering mengalami blind-loop syndrome. Saat ini,
prosedur yang banyak dipakai yakni laparoskopi maupun open duodenoduodenostomi.
Teknik untuk anastomosisnya dilakukan pada bagian proksimal secara melintang ke bagian
distal secara longitudinal atau diamond shape. Dilakukan anastomosis diamond-shape pada
bagian proksimal secara tranversal dan distal secara longitudinal. Melalui teknik ini akan
didapatkan diamater anatomosis yang lebih besar, dimana kondisi ini lebih baik untuk
mengosongkan duodenum bagian atas. Pada beberapa kasus, duodenoduodenostomi dapat
sebagai alternatif dan menyebabkan proses perbaikan yang lebih mudah dengan pembedahan
minimal.
Untuk open duodenoduodenostomi, dapat dilakukan insisi secara tranversal pada
kuadran kanan atas pada suprambilikal.6 Untuk membuka abdomen maka diperlukan insisi
pada kulit secara tranversal, dimulai kurang lebih 2 cm diatas umbilikus dari garis tengah dan
meluas kurang lebih 5 cm ke kuadran kanan atas. Setelah kita menggeser kolon ascending
dan tranversum ke kiri, kemudian kita akan melihat duodenal yang mengalami obstruksi.
Disamping mengevaluasi duodenal stresia, dapat dievaluasi adanya malrotasi karena 30%
obstruksi duodenal kongenital dihubungkan dengan adanya malrotasi. Kemudian dilakukan
duodenotomi secara tranversal pada dinding anterior bagian distal dari duodenum proksimal
yang terdilatasi serta duodenostomi yang sama panjangnya dibuat secara vertikal pada batas
antimesenterik pada duodenum distal. Kemudian akan dilakukan anstomosis dengan
menyatukan akhir dari tiap insisi denganbagian insisi yang lain. Disamping melakukan open
duodenoduodenostomi, pada negara maju dapat dilakukan teknik operasi menggunakan
laparoscopic.
Teknik dimulai dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi, kemudian akan
diinsersikan dua instrument. Satu pada kuadran kanan bayi, dan satu pada mid-epigastik
kanan. Duodenum dimobilisasi dan diidentifikasi regio yang mengalami obstruksi. Kemudian
dilakukan diamond shape anastomosis. Beberapa ahli bedah melakukan laparoscopik
anatomosis dengan jahitan secara interrupted, akan tetapi teknik ini memerlukan banyak
jahitan. Metode terbaru yang dilaporkan, kondisi ini dapat diselesaikan dengan menggunakan
nitinol U-clips untuk membuat duodenoduodenostomi tanpa adanya kebocoran dan bayi akan
lebih untuk dapat segera menyusui dibandingkan open duodenoduodenostomi secara
konvensional. Untuk duodenal obstruksi yang disebabkan annular pankreas, maka dilakukan
duodenoduodenostomi antara segmen duodenum diatas dan dibawah area cincin pankreas.
Operator tidak boleh melakukan pembedahan pada pankreas karena akan menyebabkan
pankreatik fistula, kondisi demikian menyebabkanstenosis atau atresia duodenum akan
menetap.
2.5.9 Tata Laksana Postoperatif
Pada periode postoperatif, maka infus intravena tetap dilanjutkan. Pasien
menggunakan transanastomotic tube pada jejunum, dan pasien dapat mulai menyusui setelah
48 jam pasca operasi. Untuk mendukung nutrisi jangka panjang, maka dapat dipasang kateter
intravena baik sentral maupun perifer apabila transanastomotic enteral tidak adekuat untuk
memberi suplai nutrisi serta tidak ditoleransi oleh pasien. Semua pasien memiliki periode
aspirasi asam lambung yang berwarna empedu. Kondisi ini terjadi karena peristaltik yang
tidak efektif atau distensi pada duodenum bagian atas. Permulaan awal memberi makanan
oral tergantung pada penurunan volume gastrik yang diaspirasi.
2.5.10 Prognosis
Angka harapan hidup untuk bayi dengan duodenal atresia yakni 90-95%. Mortalitas
yang tinggi disebabkan karena prematuritas serta abnormalitas kongenital yang multiple.
Komplikasi post operatif dilaporkan pada 14-18% pasien, dan beberapa pasien memerlukan
operasi kembali. Beberapa kondisi yang sering terjadi dan menyebabkan pasien perlu
dioperasi kembali, yakni kebocoran anstomosis, obstruksi fungsional duodenal, serta adanya
adhesi.
2.6 Omphalocele
2.6.1 Definisi
Omphalocele adalah kegagalan penutupan dinding abdomen pada masa embrio yang
berakibat penonjolan visera melalui opening umbilical cord.
2.6.2 Epidemiologi
Omphalocele merupakan kelainan kogenital defek dinding abdominal yang terbanyak
kedua setelah gastroschisis, insiden gastrochisis dari 0,4 dan 3 per 10,000 kelahiran
meningkat, sedangkan insiden omphalocele dari 1,5 dan 3 per 10,000 kelahiran adalah stabil.
Gambar 2.15 Omphlocele
Gambar 2.16 Omphlocele
2.6.3 Etiologi
Penyebab utama kelainan ini masih belum diketahui. Namun banyak teori yang
mengatakan bahwa kelainan ini terjadi karena usus tidak dapat masuk kembali ke abdomen
pada minggu ke 10-12 atau kegagalan lipatan mesodermal berpindah ke central.
2.6.4 Klasifikasi
Banyaknya usus dan organ perut lainnya yang menonjol pada omfalokel berikut
tergantung pada besarnya lubang di pusar. Jika lubangnya kecil mungkin hanya usus yang
menonjol, tapi jika lubangnya besar hati juga bisa menonjol melalui lubang tersebut.
Klasifikasi Omfalokel / Omphalokel menurut Moore,yaitu:
Tipe 1 : diameter defek <2,5 cm
Tipe 2 : diameter defek 2,5 – 5 cm
Tipe 3 : diameter defek >5cm
Suatu defek yang sempit dengan kantong yang kecil mungkin tak terdiagnosis saat
lahir. Dalam kasus ini timbul bahaya tersendiri bila kantong terpit klem dan sebagian isinya
berupa usus, bagiannya teriris saat ligasi tali pusat. Bila omphalokel dibiarkarn tanpa
penanganan, bungkusnya akan mengering dalam beberapa hari dan akan tampak retak-retak.
Pada saat tersebut akan menjalar infeksi dibawah lapisan yang mengering dan berkrusta.
Kadang dijumpai lapisan tersebut akan terpecah dan usus akan prolaps.
2.6.5 Faktor resiko
a.Infeksi dan penyakit pada ibu
b. Penggunaan obat-obatan berbahaya, merokok,
c. Kelainan genetik
d. Defesiensi asam folat
e. Hipoksia
f. Salisil dapat menyebabkan defek pada dinding abdomen.
g. Asupan gizi yang tak seimbang
h. Unsur polutan logam berat dan radioaktif yang masuk ke dalam tubuh ibu hamil.
2.6.6 Manifestasi klinis
Gangguan pencernaan, karena polisitemia dan hiperinsulin
Berat badan lahir > 2500 gr
Protrusi dari kantong yang berisi usu dan visera abdomen melalui defek dinding
abdomen pada umbilikus
2.6.7 Patofisiologi
Kelemahan yang terjadi dalam dinding abdomen semasa embrio II herniasi pada isi
usus pada salah satu samping umbilicus (yang biasanya pada samping kanan) organ visera
abdomen keluar dari kapasitas abdomen dan tidak tertutup oleh kantong. Malrotasi dan
menurunnya kapasitas abdomen dianggap sebagai anomaly. Pada janin usia 5-6 minggu isi
abdomen terletak di luar embrio di rongga selam. Pada usia 10 minggu terjadi pengembangan
lumen abdomen sehingga usus dari extra peritoneum akan masuk ke rongga perut. Proses ini
dihambat oleh kantong di pangkal umbilicus yang berisi usus, lambung kadang hati.
Dindingnya titip terdiri dari lapisan peritoneum dan lapisan amnion yang keduanya bening
sehingga isi kantong tengah tampak dari luar. Bila usus keluar dari titik terlemah di kanan
umbilicus, usus akan berada di luar rongga perut tanpa dibungkus peritoneum dan amnion.
2.6.8 Diagnosis
Diagnosis prenatal terhadap omphalocele sering ditegakkan dengan USG. Defek
dinding abdomen janin biasanya dapat dideteksi pada saat minggu ke 13 kehamilan. Pada
pemeriksaan USG tampak gambaran garis-garis halus dengan gambaran kantong atau selaput
yang ekhogenik pada daerah tali pusat berkembang. Pemeriksaan penunjang selain USG
adalah ekhocardiografi, MSAPF (maternal serum alpha-fetoprotein), dan analisa kromososm
melalui amniosintesis.
Diagnosis postnatal ialah terdapat defek sentral dinding abdomen pada daerah tali pusat.
Defek bervariasi ukurannya, dengan diameter mulai 4cm sampai dengan 12cm, mengandung
herniasi organ-organ abdomen baik solid maupun berongga dan masih dapat dilapisi oleh
selaput atau kantong serta tampak tali pusat berinsersi pada puncak kantong. Omfalokel
raksasa (giant omphalocele) mempunyai suatu kantong yang menempati hampir seluruh
dinding abdomen, berisi hampir semua organ intraabdomen dan berhubungan dengan tidak
berkembangnya rongga peritoneum serta hipoplasi pulmoner.
2.6.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan segera bayi dengan Omfalokel / Omphalokel adalah sbb:
1. Tempatkan bayi pada ruangan yang asaeptik dan hangat untuk mencegah kehilangan
cairan, hipotermi dan infeksi.
2. Posisikan bayi senyaman mungkin dan lembut untuk menghindari bayi menangis dan air
swallowing. Posisi kepala sebaiknya lebih tinggi untuk memperlancar drainase.
3. lakukan penilaian ada/tidaknya distress respirasi yang mungkin membutuhkan alat bantu
ventilasi seperti intubasi endotrakeal.
4.Pasang pipa nasogastrik atau pipa orogastrik untuk mengeluarkan udara dan cairan dari
sistem usus sehingga dapat mencegah muntah, mencegah aspirasi, mengurangi distensi
dan tekanan (dekompresi) dalam sistem usus sekaligus mengurangi tekanan intra
abdomen, demikian pula perlu dipasang rectal tube untuk irigasi dan untuk dekompresi
sistem usus.
5. Pasang kateter uretra untuk mengurangi distensi kandung kencing dan mengurangi tekanan
intra abdomen.
6. Pasang jalur intra vena (sebaiknya pada ektremitas atas) untuk pemberian cairan dan nutrisi
parenteral sehingga dapat menjaga tekanan intravaskuler dan menjaga kehilangan protein
yang mungkin terjadi karena gangguan sistem usus, dan untuk pemberian antibitika broad
spektrum.
7. Lakukan monitoring dan stabilisiasi suhu, status asam basa, cairan dan elektrolit
8. Pada omphalokel, defek ditutup dengan suatu streril-saline atau povidone -iodine soaked
gauze, lalu ditutup lagi dengan suatu oklusif plastik dressing wrap atau plastik bowel bag.
Tindakan harus dilakukan ekstra hati hati dimana cara tersebut dilakukan dengan tujuan
melindungi defek dari trauma mekanik, mencegah kehilangan panas dan mencegah infeksi
serta mencegah angulasi sistem usus yang dapat mengganggu suplai aliran darah.
9. Pemeriksaan darah lain seperti fungsi ginjal, glukosa dan hematokrit perlu dilakukan guna
persiapan operasi bila diperlukan.
10.Evaluasi adanya kelainan kongenital lain yang ditunjang oleh pemeriksaan rongent
thoraks dan ekhokardiogram.
11.Bila bayi akan dirujuk sebaiknya bayi ditempatkan dalam suatu inkubator hangat dan
ditambah oksigen
2.6.10 Komplikasi
Komplikasi dini adalah infeksi pada kantong yang mudah terjadi pada permukaan
yang terbuaka
Kekurangan nutrisi dapat terjadi sehingga perlu balans cairan dan nutrisi yang adekuat
misalnya dengan nutrisi parenteral.
.Dapat terjadi sepsis terutama jika nutrisi kurang dan pemasangan ventilator yang
lama.
Nekrosis
Kelainan kongenital dinding perut ini mungkin disertai kelainan bawaan lain yang
memperburuk prognosis.
2.6.11 Prognosis
Yang memperburuk prognosis adalah kelainan kogenital dinding perut yang disertai
dengan kelainan bawaan yang lain.
2.7 Atresia Ani
2.7.1 Definisi Atresia ani
Atresia ani adalah suatu kelainan kogenital tanpa anus atau anus tidak sempurna,
termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rectum dan atresia rectum.
Gambar 2.17 Atresia Ani
2.7.2 Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000
kelahiran. Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki dari pada
perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada banyak
laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang
paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal.
2.7.3 Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan
3. Berkaitan dengan sindrom down
2.7.4 Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestra cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila
urine mengalir melalui fistel menuju rectum, maka urine akan diabsorbsi sehingga terjadi
asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan
infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rectum dengan
organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesikaurinaria atau ke
prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju
ke uretra (rektouretralis).
2.7.5 Manifestasi klinis
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala
itu dapat berupa:
1. Perut kembung
2. Muntah
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat
sampai dimana terdapat penyumbatan.
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal
adalah: Kelainan kardiovaskular, gastrointestinal, tulang belakang, medulla spinalis dan
traktus genitourinarius.
2.7.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pada
anamnesis dapat ditemukan:
Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelahlahir
Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula
Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah
Inspeksi perianal sangat penting. Flat “bottom” aatu flat perineum ditandai dengan tidak
adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot
perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan
harus dilakukan colonostomy. Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan
atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, “bucket-handle” (skin tag
yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membrane pada anus (tempat keluarnya
mekonium).
2.7.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus
dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani
menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan
inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Keberhasilan penatalaksanaan
atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisny, fungsi
fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat,
harus ditentukan ketinggian akhiran rectum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara
antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Pada atresia ani letak tinggi dan
intermediate dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi
definitive setelah 4-8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah
posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti.
2.7.8 Prognosis
Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai pengendalian defekasi,
pencernaan pakaian dalam. Sensibilitas rectum dan kekuatan kontraksi otot sfingter pada
colok dubur. Fungsi kontinesia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau
sensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan mental
penderita.
2.8 Hischprung
2.8.1 Definisi Hirschprung
Penyakit Hirschprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh kelainan
inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang
usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rectum.
2.8.2 Epidemiologi
Insiden penyakit Hirschprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000
kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35
permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschprung.
Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
2.8.3 Etiologi
Sampai tahun 1930-an etiologi penyakit Hirschprung belum jelas diketahui. Penyebab
sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin,
Chandler, dan Faber pada tahun 1940 mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit
Hirschprung primer disebabkan oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di
usus bagian distal. Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah defek
ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschprung ataukah defek ganglion
pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari stasis feses dalam kolon. Dari segi etiologi,
Bodian, dkk menyatakan bahwa aganglionosis pada penyakit Hirschprung bukan disebabkan
oleh kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh lesi primer,
sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan
simpatektomi.
2.8.4 Manifestasi klinis
Gambaran kilinis penyakit Hirschprung dapat dibedakan berdasarkan usia, dan gejala klinis
yang terlihat pada:
1) Periode Neonatal
Manifestasi penyakit Hirschprung yang khas biasanya terjadi pada neonates cukup
bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans.
Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium
dapat dikeluarkan segera. Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus
letak rendah dan dapat disebabkan oleh kelainan lain, seperti atresia ileum dan lain-
lain. Muntah yang berwarna hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula
terjadi pada kelainan lain dengan gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum,
enterokolitis netrotikan neonatal, atau peritonitis intrauterine. Tanda-tanda edema,
bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung, dan di sekitar
genetalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis.
2) Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan
gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding
abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya
buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk
defekasi.
2.8.5 Diagnosis
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakan diagnosis penyakit Hirschprung.
Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti,
pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsy isap rectum, diagnosis
penyakit Hirschprung pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan.
Pemeriksaan Fisik
Pada neonates biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi. Bila
dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar
dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut anak sudah kemps lagi.
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Biopsy Rectal
Simple suction Rectal Biopsy
Manometri Anorektal
2.8.6 Penatalaksanaan
Pengobatan medis
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:
1. Penanganan komplikasi dari penyakit Hirschprung yang tidak terdeteksi
2. Penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitive dilakukan
3. Untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi
Tindakan bedah
Beberapa prosedur definitive telah digunakan, kesemuanya telah memberikan hasil yang
sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. 3 jenis teknik yang sering
digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan Soave. Apapun teknik yang dilakukan,
membersihkan kolon sebelum operasi definitif sangat penting.
1. Prosedur Swenson
Prosedur Swenson merupakan teknik definitive pertama yang digunakan untuk
menangani penyakit Hirschprung.
Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian anastomosis oblique
dilakukan antara kolon normal dengan rectum bagian distal.
2. Prosedur Duhamel
Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifiasi
prosedur Swenson.
Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan beberapa bagian rectum
yang aganglionik dipertahankan.
Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rectum dan rectum dijahit. Usus bagian
proksimal kemudian diposisikan pada ruang retrorektal (diantara rectum dan sacrum),
kemudian end-to-side anastomosis dilakukan pada rectum yang tersisa.
3. Prosedur Soave
Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang mukosa
dan submukosa dari rectum dan menarik usus ganglionik kea rah ujung muskuler
rectum aganglionik.
Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal, tergantung dari
pembentukan jaringan parut antara segmen yang ditarik dan usus yang aganglionik.
Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan membuat anastomosis primer
pada anus.
2.8.7 Komplikasi
Enterokolitis
Kebocoran Anastomose
Stenosis
2.8.8 Prognosis
Secara umum prognosis baik, 90% pasien yang segera dilakukan tindakan pembedahan
akan mengalami penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C, Hall,John E.2007.Fisiologi Kedokteran edisi 11.Jakarta : EGC
Murray, Robert K, Granner, Daryl K, Mayes, Peter A, Rodwell, Victor W.2005.Biokimia
Harper edisi 25.Jakarta : EGC
Fisiologi Sistem Pencernaan. (Online). http://medicastore.com/nutracare/isi_enzym.php.
(diakses tanggal 22 Oktober 2013)
Sudarti. 2010. Kelainan Dan Penyakit Pada Bayi dan Anak. Nuha Medika. Yogyakarta.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatn Pediatrik. EGC: Jakarta.
C, William J. 2013. Esophageal Atresia. The Merck Manual.
L, George S. Digestive Tract Defects. Merck Manual Home Health Handbook. 2006
Oldham, Keith T.et all (eds); Biliary Atresia at Principles and Practice of Pediatric Surgery,
4th Edition
Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang
berkepanjangan. From : url :http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2010/02/07/atresia-
bilier waspadai-bila-kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/
Mark Davenport. Biliary Atresia. London: 2010. Available from : url :
http://asso.orpha.net/OFAVB/__PP__4.html
ST.Louis Children's Hospital. Biliary Atresia. Washington University School of
Medicine.2010.Available from : url :
http://www.stlouischildrens.org/content/greystone_779.htm
North American Society For Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.Biliary
Atresia. From : url: http: //www.naspghan.org/ userassets/ Documents/pdf
/diseaseInfo/BiliaryAtresia-E.pdf
Steven M. Biliary Atresia. Emedicine. 2009. Available From: url: http:// emedicine.
medscape.com/ article/927029-overview
Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan Anak FK
UNAIR.Surabaya. 2006. Available from : url :http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-
ena504-pkb.pdf
http://rskariadi.co.id/article/view/atresia-bilier-gangguan-fungsi-empedu.html 29-September-
2011 | hit : 4499
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/868
Nelson. (2010). Ilmu Kesehatan Anak. EGC. Jakarta
http://emedicine.medscape.com/article/932917-overview Pediatric Duodenal Atresia
Author: Frederick Merrill Karrer, MD; Chief Editor: Carmen Cuffari, M
Felicitas EW, Afu AJ, Sanjay K. Duidenal Atresia and Stenosis. 2009;
Kessel D, Bruyn D, Drake F. Case report: Ultrasound Diagnosis Of Duodenal Atresia
Combined With Isolated Oesophageal Atresia. The British Journal of Radiology.2011;
Irwan, Budi, 2003. Pengamatan fungsi anorektal pada penderita penyakit Hirschprung pasca
operasi pull-through. Available from : Usu digital library (Akses 26 Library 2012).
Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Sjamsuhidajat.R,De
Jong,Win. Dalam:Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 11. Jakarta. Penerbit buku Kedokteran
EGC, 646-647.
FK UII.Atresia Ani. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia, 2006. (diakses 7 Juli
2013)
Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007, 2:33.
http://www.ojrd.com/content/2/1/33 (diakses 7 Juli 2013).
Sudarti, Afroh Fauziah.2012.Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Anak
Balita.Yogyakarta: Nuha Medika.
Laura K, Jay GL, Karen WW, Frederick JR, Scherer LR, Schott AG. Intestinal Atresia and
Stenosis. Arch Surg. 2007;113:490-497
Tamer S, Mustafa K, Ulas A, Ali SK, Duodenal Atresia and Hirchsprung Disease in a