angiofibroma nasofaring

27
BAB I PENDAHULUAN Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di daerah nasofaring yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat seperti tumor ganas karena mempunyai kemampuan mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya. Tumor ini dapat meluas ke daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat mudah menimbulkan perdarahan dan susah untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak. 1,2 Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki prepubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun sehingga tumor ini disebut juga Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah juvenile tidak sepenuhnya tepat, karena neoplasma ini kadang ditemukan

Upload: viantiayu

Post on 23-Jan-2016

41 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

REFERAT

TRANSCRIPT

Page 1: Angiofibroma Nasofaring

BAB I

PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di

daerah nasofaring yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat

seperti tumor ganas karena mempunyai kemampuan mendekstruksi tulang dan

meluas ke jaringan sekitarnya. Tumor ini dapat meluas ke daerah sinus paranasal,

pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat mudah menimbulkan perdarahan dan susah

untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah

dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya

dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari

fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus

paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah

mengerosi dasar tengkorak.1,2

Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki

prepubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21

tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma

nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun sehingga tumor ini disebut juga

Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah juvenile tidak sepenuhnya tepat,

karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. Juvenile

Nasopharyngeal Angiofibroma jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05%

dari seluruh tumor kepala dan leher. Insiden angiofirboma nasofaring diperkirakan

antara 1 : 5.000-60.000 pada pasien THT.1,2

Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring

dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,

diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala

(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-

18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum

serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma

nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus

sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan

perdarahan yang ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan

Page 2: Angiofibroma Nasofaring

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias

gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan

hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya

angiofibroma nasofaring. 2,3

Page 3: Angiofibroma Nasofaring

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Anatomi

Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan

beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring

berhubungan dengan rongga hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di

bagian inferior melalui bagian terbawah dari palatummolle.

Sedangkan di bagian superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan

korpus vertebra. Tuba eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan

bagian superior dan posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut

sebagai torus tubarius. Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak

di bagian superior dan posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari

karsinoma nasofaring. Banyak terdapat foramen kranial yang membawa struktur

syaraf dan pembuluh darah penting yang terletak di dekat nasofaring. Nasofaring

diliputi oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel

kolumner pseudokompleks.4

Gambar 1. Anatomi nasofaring

Batas-batas nasofaring

Page 4: Angiofibroma Nasofaring

Dinding depan (anterior) dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut

juga dengan koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval

yang berhubungan dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah

oleh septum nasi. Dinding atas (superior) dan belakang (posterior) sedikit

menonjol, dinding atas dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput, dinding

belakang dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis

pertama (tulang atlas) dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas

dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini

dapat meluas sampai ke muara tuba eustachius.

Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan

berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit

yang disebut dengan istmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian

yang terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan

muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba

Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai

torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada

supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring

adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior yang

dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini

mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen

spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis,dan kanalis hypoglosus. Struktur ini

penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.1

II.2. Definisi

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara

histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan

mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,

pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1,5

Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile

angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor,

Page 5: Angiofibroma Nasofaring

nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal

tumor, atau angiofibroma nasofaring belia.6

II.3. Epidemiologi

Tumor ini biasanya paling banyak terjadi pada laki-laki prepubertas dan

remaja.Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s / d 21 tahun dengan insidens

terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun2 . Tumor

ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor

kepala dan leher1,2. Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada

pasien THT2.Di RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2001 – Nopember 2002

dijumpai 11 kasus angiofibroma nasofaring.

II.4. Etiologi

Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah

satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan

spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor

ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab dari

tumor ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue

yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini

dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah

masa remaja (puberty). 1,4,6,8

Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-

hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor

progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan

bahwa reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan

teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang

memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari

penyimpanan jaringan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi

pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining,

menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif antibodi RP dan

negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil membuktikan langsung adanya antibodi

dari reseptor androgen pada angiofibroma.

Page 6: Angiofibroma Nasofaring

Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi

proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1

(TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang

disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan

kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi

fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi

pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua

spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.

Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil

mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor

gene p53 sama seperti Her-2/neu oncogene. Gen glutation-S-transferase M1

(GSTM1) yang biasa terdapat pada sel manusia dan mempunyai fungsi sebagai

sitoprotektor terhadap antioksidan biasanya gen ini menghilang pada para

perokok. Hilangnya GSTM1 memicu keganasan pada traktus respiratorius bagian

atas. Gautham dkk menyelidiki hubungan perubahan pada GSTM1 pada pasien

non perokok yang menderita JNA. Hasilnya menunjukkan tiga dari delapan pasien

tidak menunjukkan tidak terdapatnya GSTM1.

Growth factor yang mirip dengan insulin II (IGFII) adalah protein

perangsang pertumbuhan yang terlibat dalam pertumbuhan janin. IGFFII

ditemukan bersamaan dengan pertumbuhan jaringan tumor pada 53 % dari pasien

JNA. Ini juga membuktikan bahwa gen IGFII mungkin terlibat pada pertumbuhan

tumor JNA.

Hubungan kausal sudah pernah dilaporkan antara JNA dengan familiar

adenomatous polyposis syndrome (FAP). Sindrom ini adalah suatu kondisi

autosomal dominan yang ditandai dengan beberapa adenoma di traktus

gastrointestinal, kecenderungan terjadinya adenokarsinoma dan keganasan-

keganasan lain di ekstrakolon. JNA merupakan salah satu maifestasi FAP

ekstrakolon dengan JNA yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi pada

pasien dengan sindrom ini.

Page 7: Angiofibroma Nasofaring

II.5. Patogenesis

Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat anyaman

pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan gumpalan sel

serta terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir. Tumor ini

tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi orbita, sinus

paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial. Tumor

pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana

di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa

sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah

bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke

arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral

dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah

foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak

dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa

intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di

wajah. Apabila tumor mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan

tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan disebut “muka kodok”.1,8

Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan

pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa

serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.1

Gambar 3.Perjalanan penyebaran angiofibroma nasofaring

Page 8: Angiofibroma Nasofaring

II.6. Manifestasi klinik

Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan

epistaksis berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan

penciuman, rinolalia, dan anosmia. Tuli atau otalgia akibat okulasi pada tuba

eustachius, dan dapat terjadi otitis media. Sefalgia hebat terjadi bila tumor sudah

meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan deformitas pada muka, disfagi,

proptosis dan gangguan visus. Gejala-gejala dini adalah kongesti dari sumbatan

hidung dengan disertai perdarahan. Perdarahan ini kadang-kadang merupakan

komplikasi berat. Suara menjadi datar atau “mati”, pernafasan dan proses menelan

terhalang jika proses berlanjut. Pada stadium lanjut timbul rasa nyeri dan sekret

muko purulen. Jika pertumbuhan tumor mencapai besar tertentu, maka wajah

seperti “muka kodok” jelas terlihat, tulang maksila merenggang dan tampak

eksopthalmus yang menonjol. Sering disertai “aprosexsia” dan rasa ngantuk.5,7

Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor,

sampai penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar

rongga hidung atau faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan

ini nekrosis akibat penekanan tulang tidak terlalu besar.7

Tanda :

1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal

posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat

tidak bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka

kejadian massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.

2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a

bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral

buccal mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan

zygoma (umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka

kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%,

sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-

15%.

Page 9: Angiofibroma Nasofaring

3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba

eustachius, pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot

rahang) yang merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa

infratemporal. Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan

optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.

Gambar 4. Foto seorang anak dengan JNA. Perhatikan penonjolan mata dan

bagian tengah wajahnya karena penekanan dari tumor.

II.7. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang

seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering

ditemukan (>80%) ialah hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang

berulang dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi pada ruangan di belakang

hidung akibat berkurangnya drainase di tempat tersebut.2 Gejala-gejala lain

muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.1,2

II.8. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor

yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah

Page 10: Angiofibroma Nasofaring

muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput

lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring

berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia

yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya.

Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya

ulserasi.1

II.9. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada

keadaan ini.

2. Biopsi

Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah

dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-

macam pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh

darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka kekurangan

elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal. Inilah yang

dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi perdarahan.

Karena karakteristik klinis dan gambaran raadiografi mungkin banyak

klinisi yang merasa perlu untuk melakukan biopsi. Akan tetapi biopsi

dari lesi JNA dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Kebanyakan kasus

dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi

sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis

yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma.

Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya

dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan,

biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di ruang

operasi.

Page 11: Angiofibroma Nasofaring

3. Pemeriksaan Radiologis

Foto Sinar-X

Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam

nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor

ini pada foto lateral, yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke

belakang sehingga fissura pterigopalatina membesar. Akan terlihat juga

adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi

dinding orbita, arjus zigoma dan daerah di sekitar nasofaring.

Gambar 5. Gambaran Holman Miller

4. CT SCAN dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang

besar, atau invasif dari pterygo maksillaris dan fossa infra temporal biasanya

terlihat.

MRI sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari

lesi JNA sehingga bisa menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan

keganasan yang lain. Lesi juga menunjukkan peningkatan kontras pada CT scan

dan MRI dan aliran vaskuler dalam lesi akan teridentifikasi pada MRI. Gambaran

Page 12: Angiofibroma Nasofaring

pembesaran yang hampir homogen dari lesi ini membedakannya dengan massa

vaskuler lain seperti arteriovenous malformation. Untuk membedakan dengan

gambaran jaringan lunak homogen lainnya seperti peradangan sinus dan mukosa

hidung akan dapat jelas dibedakan dengan MRI. Selain itu CT scan dan MRI apat

menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus

dari keterlibatan intrakranial.

Gambar 6. CT scan coronal dari lesi yang mengisi rongga hidung kiri dan sinus

ethmoidalis. Lesi juga menutup sinus maksilaris dan mendorong septum nasi berdeviasi

ke kanan.

Page 13: Angiofibroma Nasofaring

Gambar 7. CT scan axial yang menutup rongga hidung kanan dan sinus paranasal

Gambar 8. CT scan coronal yang menunjukkan ekspansi lesi ke sinus kavernosus.

5. Angiografi

Pada pemeriksaan angiografi arteri karotis interna, akan memperlihatkan

vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang a. maksila interna

homolateral. Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi

trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan

mempermudah pengangkatan tumor.1

Page 14: Angiofibroma Nasofaring

Gambar 9. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma sebelum

embolisasi

Gambar 10. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma setelah

embolisasi

II.10. Histopatologi

Pada pemeriksaan histopatologi angiofibroma nasofaring, ditemukan

jaringan fibrous yang matur yang terdiri dari berbagai ukuran pembuluh darah

dengan dinding yang tipis. Pembuluh darah tersebut dibatasi endotelium tetapi

pada dinding pembuluh darahnya sedikit mengandung elemen kontraktil otot yang

normal. Hal inilah yang menyebabkan angiofibroma nasofaring mudah berdarah.

Gambar 11. Gambaran histopatologi angiofibroma nasofaring

Page 15: Angiofibroma Nasofaring

II.11. STADIUM

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem

yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.1,3

Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :

- Stage IA :Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring

- Stage IB :Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring

dengan perluasan ke satu sinus paranasal.

- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.

- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa

erosi ke tulang orbita.

- Stage IIIA :Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang

minimal.

- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke

dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch :

- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa

destruksi tulang.

- Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal

dengan destruksi tulang.

- Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau

daerah parasellar sampai sinus kavernosus.

- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum

dan/atau fossa pituitary.

II.12. Differensial Diagnosis

1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal,

teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma,

rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skumous).

2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.

3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.

Page 16: Angiofibroma Nasofaring

4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).

5. Polip koanal (choanal polyp).

6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).

7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).

8. Kordoma (chordoma).

9. Karsinoma nasofaring.

II.13. Penatalaksanaan

Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau

radioterapi, namun ada buku yang menyebutkan bahwa tumor ini cenderung

mengalami regresi ketika penderita tumor ini masuk ke masa pubertas, jadi

operasi diindikasikan jika ada komplikasi akibat tumor ini seperti jika

angiofibroma tumbuh membesar, menghalangi saluran udara atau menyebabkan

epistaksis menahun.1,4

Operasi tumor ini sendiri harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas

cukup, karena resiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat

dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui

transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial atau kombinasi dengan

kraniotomi bila sudah meluas ke intrakranial. Untuk tumor yang sudah meluas ke

jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan

radioterapi prabedah yakni dengan penanaman radium dan sinar rontgen yang

dilanjutkan dengan elektrokoagulasi atau dapat pula diberikan terapi hormonal

meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi.3 Pada pemberian hormonal terapi

menggunakan testosterone receptor blocker flutamide didapatkan penurunan

staging pada staging I dan II sebesar 44%.3

Perlu dicatat bahwa pengangkatan tumor seringkali sulit dilakukan karena

tumor terbungkus dan menyusup ke dalam, sehingga setelah pengangkatan tumor

seringkali terjadi kekambuhan. Cara lain yang dapat digunakan yaitu embolisasi

(penyumbatan arteri dengan suatu bahan) yang bisa menyebabkan terbentuknya

jaringan parut pada tumor dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan

dengan cara menyuntikkan suatu zat ke dalam pembuluh darah untuk menyumbat

aliran darah yang melaluinya. Embolisasi efektif untuk mengatasi perdarahan

Page 17: Angiofibroma Nasofaring

hidung dan tindakan ini bisa diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat

tumor.6

II.14. Komplikasi

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit

stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury

terhadap struktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila

tumor sudah berekspansi ke intrakranial atau pasca operasi basis cranii.

Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding).

Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini

jarang terjadi.

II.14. Prognosis

Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga

lebih menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil

yang tidak memenuhi rongga nasofaring lebih muda diangkat daripada yang telah

memenuhi rongga tersebut sesudah umur 25 tahun pertumbuhan cenderung

berkurang.6

Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan

dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi pada pasien

dengan usia yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien berusia

lebih muda, tumor jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi yang ganas dan

memiliki prognosis yang buruk.1

Page 18: Angiofibroma Nasofaring

BAB III

KESIMPULAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara

histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan

mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,

pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.

Angiofibroma nasofaring khusus menyerang jenis kelamin laki-laki prepubertas

dan remaja.

Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori asal jaringan

asal dan teori ketidakseimbangan hormonal.

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan

lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah

mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke

arah bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior.

Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan

epistaksis berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya

tumor dan arah pembesarannya.

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang

seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Tindakan operasi merupakan

pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi.

Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan

pambedahan dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik.

Page 19: Angiofibroma Nasofaring

DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A. Dharmabaktio S. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi

AIN, editors: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

2007:188-190.

2. Asroel HA, Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id, diakses

tanggal 20 April 2007.

3. Mansfield E. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. June 26, 2006.

Available from : http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm .

4. Adam G. Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : EffendiH, Santoso

K, editors Boeis. Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC,1991:322-346

5. Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wardhani IW, Setiowulan W.

Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1.

Jakarta.1999.111

6. Pradhana D. 2009. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Referat

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas

Trisakti. Jakarta.

7. Ballengger JJ.Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Dan leher, jilid

1. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994.

8. Anonymous, Juvenile Angifibroma Nasopharynx , http://www.brownmed.com

9. Averdi R, Umar SD. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS,

Nurbaiti I. Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

Leher. Edisi ke 5, Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2

10. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL :

http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm