anestesi umum pada vp shunt e.c hidrosefalus

32
PRESENTASI KASUS Penatalaksanaan Anestesi Umum pada Operasi VP-Shunt a.i Hidrosefalus

Upload: eriepkeatn

Post on 29-Jun-2015

426 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

PRESENTASI KASUS

Penatalaksanaan Anestesi Umum pada

Operasi VP-Shunt a.i Hidrosefalus

AHS

Page 2: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

Abstrak

Dilaporkan penatalaksanaan anestesi pada pasien hidrosefalus pada seorang bayi

berusia 11 bulan, dengan jenis anestesi; anestesi umum, status fisik ASA II, teknik

anestesi semi–open dengan menggunakan peralatan Jackson – Rees.

Premedikasi anestesi dengan Dexametason 5 mg; pelumpuh otot dengan Roculax

sebanyak 5 mg; medikasi induksi dilakukan dengan dua zat, yaitu secara bolus intravena

Fentanil 5 µg serta secara inhalasi menggunakan gas Sevofluran dan rumatan saat operasi

dengan Sevofluran 2% + O2 melalui endotrakeal tube no.4 non cuff. Analgetik untuk

nyeri pasca operasi menggunakan Antalgin 125 mg secara bolus intravena.

Operasi berlangsung selama 1 jam 25 menit, induksi operasi dimulai pukul 09.05

dilanjutkan dengan pembedahannya pada pukul 09.20 hingga pukul 10.30 dan selesai

ekstubasi pukul 10.40 WIB.

Page 3: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Definisi

Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya

cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi,

sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209). Pelebaran ventrikuler ini

akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal.

Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak.

Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi

pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (DeVito EE et al, 2007:328).

I.2. Epidemiologi

Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus

kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11 % - 43 % disebabkan oleh

stenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua

jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua

umur. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis.

Hidrosefalus infantil; 46% adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50%

karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor

fossa posterior (Darsono, 2005:211).

I.3. Etiologi

Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal (CSS) pada

salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat

absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS

diatasnya (Allan H. Ropper, 2005). Teoritis pembentukan CSS yang terlalu banyak

dengan kecepatan absorbsi yang abnormal akan menyebabkan terjadinya

hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi.

Page 4: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak ialah:

1) Kelainan Bawaan (Kongenital)

a. Stenosis akuaduktus Sylvii

b. Spina bifida dan kranium bifida

c. Sindrom Dandy-Walker

d. Kista araknoid dan anomali pembuluh darah

2) Infeksi

Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. Secara patologis terlihat

penebalan jaringan piamater dan arakhnoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain.

Penyebab lain infeksi adalah toxoplasmosis.

3) Neoplasma

Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS.

Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau

akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari

serebelum, penyumbatan bagian depan ventrikel III disebabkan kraniofaringioma.

4) Perdarahan

Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis

leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi

akibat organisasi dari darah itu sendiri (Allan H. Ropper, 2005:360).

I.4. Patofisiologi dan Patogenesis

CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus khoroidalis kembali ke dalam

peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan arakhnoid yang meliputi seluruh

susunan saraf pusat (SSP). Cairan likuor serebrospinalis terdapat dalam suatu sistem,

yakni sistem internal dan sistem eksternal. Pada orang dewasa normal jumlah CSS

90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan

prematur kecil 10-20 ml. Cairan yang tertimbun dalam ventrikel 500-1500 ml

(Darsono, 2005). Aliran CSS normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen

monroe ke ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus

Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan Magendie ke dalam ruang

subarakhnoid melalui sisterna magna.

Page 5: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

Penutupan sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh

sistem kapiler. (DeVito EE et al, 2007:328)

Hidrosefalus secara teoritis terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu :

1. Produksi likuor yang berlebihan

2. Peningkatan resistensi aliran likuor

3. Peningkatan tekanan sinus venosa

Konsekuensi tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai

upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya

dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama

perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :

1. Kompresi sistem serebrovaskuler.

2. Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler

3. Perubahan mekanis dari otak.

4. Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis

5. Hilangnya jaringan otak.

6. Pembesaran volume tengkorak karena regangan abnormal sutura kranial.

Produksi likuor yang berlebihan disebabkan tumor pleksus khoroid. Gangguan aliran

likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi

yang disebabkan gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor secara

proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang seimbang.

Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan

tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial bertambah

dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan untuk

mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif tinggi.

Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians tengkorak.

(Darsono, 2005:212)

Page 6: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

I.5. Klasifikasi

Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya,

berdasarkan :

1. Gambaran klinis, dikenal hidrosefalus manifes (overt hydrocephalus) dan

hidrosefalus tersembunyi (occult hydrocephalus).

2. Waktu pembentukan, dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus akuisita.

3. Proses terbentuknya, dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik.

4. Sirkulasi CSS, dikenal hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus non komunikans.

Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel, hidrosefalus eksternal

menunjukkan adanya pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks.

Hidrosefalus obstruktif menjabarkan kasus yang mengalami obstruksi pada aliran

likuor. Berdasarkan gejala, dibagi menjadi hidrosefalus simptomatik dan

asimptomatik. Hidrosefalus arrested menunjukan keadaan dimana faktor-faktor yang

menyebabkan dilatasi ventrikel pada saat tersebut sudah tidak aktif lagi. Hidrosefalus

ex-vacuo adalah sebutan bagi kasus ventrikulomegali yang diakibatkan atrofi otak

primer, yang biasanya terdapat pada orang tua. (Darsono, 2005)

I.6. Manifestasi Klinis

Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan derajat

ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Darsono, 2005). Gejala-

gejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial. Manifestasi

klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu :

1. Awitan hidrosefalus terjadi pada masa neonatus

Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus kongenital dan

pada masa bayi. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan

pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama

kehidupan. Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah

frontal. Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang,

sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena

di sisi samping kepala tampak melebar dan berkelok. (Peter Paul Rickham, 2003)

Page 7: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

2. Awitan hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak

Pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi

hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas. Dapat disertai keluhan

penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus. Secara umum

gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua

tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania

mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari

dua deviasi standar di atas ukuran normal. Makrokrania biasanya disertai empat

gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:

a. Fontanel anterior yang sangat tegang.

b. Sutura kranium tampak atau teraba melebar.

c. Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol.

d. Fenomena ‘matahari tenggelam’ (sunset phenomenon).

Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar

dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah, gangguan

kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah lanjut ada gejala

gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia respirasi).

(Darsono, 2005:213)

I.7. Diagnosis

Disamping dari pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar maupun yang

khas, kepastian diagnosis hidrosefalus dapat ditegakkan dengan menggunakan alat-

alat radiologik yang canggih. Pada neonatus, USG cukup bermanfaat untuk anak yang

lebih besar, umumnya diperlukan CT scanning. CT scan dan MRI dapat memastikan

diagnosis hidrosefalus dalam waktu yang relatif singkat. CT scan merupakan cara

yang aman dan dapat diandalkan untuk membedakan hidrosefalus dari penyakit lain

yang juga menyebabkan pembesaran kepala abnormal, serta untuk identifikasi tempat

obstruksi aliran CSS. (Darsono, 2005:214)

Page 8: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

I.8. Diagnosis Banding

Pembesaran kepala dapat terjadi pada hidrosefalus, makrosefali, tumor otak, abses

otak, granuloma intrakranial, dan hematoma subdural perinatal, hidranensefali. Hal-

hal tersebut dijumpai terutama pada bayi dan anak-anak berumur kurang dari 6 tahun.

(Darsono, 2005:215)

I.9. Terapi

Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :

a) Mengurangi produksi CSS.

b) Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat absorbsi.

c) Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ ekstrakranial. (Darsono, 2005)

Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :

1. Penanganan Sementara

Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi

hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau

upaya meningkatkan resorbsinya.

2. Penanganan Alternatif (Selain Shunting)

Misalnya : pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi

radikal lesi massa yang mengganggu aliran likuor atau perbaikan suatu

malformasi. Saat ini cara terbaik untuk melakukan perforasi dasar ventrikel III

adalah dengan teknik bedah endoskopik. (Peter Paul Rickham, 2003)

3. Operasi Pemasangan ‘Pintas’ ( Shunting )

Operasi pintas bertujuan membuat saluran baru antara aliran likuor dengan kavitas

drainase. Pada anak-anak lokasi drainase yang terpilih adalah rongga peritoneum.

Biasanya cairan serebrospinalis didrainase dari ventrikel, namun kadang pada

hidrosefalus komunikans ada yang didrain ke rongga subarakhnoid lumbar. Ada

dua hal yang perlu diperhatikan pada periode pasca operasi, yaitu: pemeliharaan

luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan kelancaran dan fungsi

alat shunt yang dipasang. Infeksi pada shunt meningkatkan resiko akan kerusakan

intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan kematian. (Allan H. Ropper, 2005:360)

Page 9: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

I.10. Prognosis

Hidrosefalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa, gangguan neurologis

serta kecerdasan. Dari kelompok yang tidak diterapi, 50-70% akan meninggal karena

penyakitnya sendiri atau akibat infeksi berulang, atau oleh karena aspirasi pneumonia.

Namun bila prosesnya berhenti (arrested hidrosefalus) sekitar 40% anak akan

mencapai kecerdasan yang normal (Allan H. Ropper, 2005). Pada kelompok yang

dioperasi, angka kematian adalah 7%. Setelah operasi sekitar 51% kasus mencapai

fungsi normal dan sekitar 16% mengalami retardasi mental ringan. Adalah penting

sekali anak hidrosefalus mendapat tindak lanjut jangka panjang dengan kelompok

multidisipliner. (Darsono, 2005).

Page 10: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

BAB II

LAPORAN KASUS

II.1. IDENTITAS

Nama : Ahmad Syauqi Ramadhani

Umur : 11 bulan

Jenis kelamin : Laki – laki

BB : 12,5 kilogram

Agama : Islam

Alamat : Jln Platon VI No.16

Tanggal masuk : 20 Agustus 2009

II.2. ANAMNESIS (allo)

Riwayat penyakit

A.Keluhan utama : hidrosefalus

B.Keluhan tambahan : batuk

C.Riwayat penyakit sekarang : pasien datang dibawa oleh orang tuanya ke

poliklinik bedah Rumah Sakit Margono

Soekarjo Purwokerto control post operasi VF

Shunt yang pertama pada tanggal 23/06/09. Pasien

batuk sudah seminggu, dan rencana akan

dilaksanakan operasi VF Shunt yang kedua pada

hari selasa tgl 25/08/09

D. Riwayat penyakit dahulu

- Riwayat penyakit darah tinggi disangkal

- Riwayat penyakit jantung disangkal

- Riwayat penyakit kencing manis disangkal

- Riwayat penyakit asma disangkal

- Riwayat penyakit alergi obat disangkal

- Riwayat operasi VF Shunt (+) dengan diagnosa hidrosephalus

Page 11: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

II.3. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

Keadaan umum : baik

Kesadaran : compos mentis ; GCS E4 V5 M6

Vital sign : Hr 120x/menit

Nadi 100 x/menit

RR 39 x/menit

Suhu 36, 5 derajat celcius

B. Pemeriksaan kepala

Mata : Ca -/-, Si -/-

Telinga : NCH ( - ), discharge ( - )

Mulut : sianosis ( - )

C. Pemeriksaan leher

Tiroid : T.A.K

d. Pemeriksaan dada

Paru : SD.vesikuler , wheezing ( - ) , rhonki ( - )

Jantung : S1>S2.reguler , murmur ( - ) , gallop ( - )

Dinding dada : simetris , destruksi ( - )

e. Pemeriksaan abdomen

Dinding perut : intak

Hepar/lien : T.T.B

Usus : B.U ( + ), Normal

f. Pemeriksaan punggung

Columna vertebra : T.A.K

Ginjal : T.A.K

Page 12: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

II.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium tanggal : 20 Agustus 2009

Darah lengkap

Hb : 12,1 gr/dl

Lekosit : 12.450 /ml

Hematokrit : 37 %

Eritrosit : 4,8 juta/ mm³

Trombosit : 407.000/ mm³

MCV : 63,4 fl

MCH : 21,4

MCHC : 33,7 %

Elektrolit

Natrium : 142 mmol/l

Kalium : 4,6 mmol/l

Klorida : 108 mmol/l

Kalsium : 11,1 mmol/l

SGOT/ AST : 32 UI/l

SGPT/ ALT : 85 UI/l

Ureum darah : 8,2 mg/dl

Kreatinin darah : 0,29 mg/dl

II.5. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI

- Status fisik ASA II

- Acc. Operasi

III.6. LAPORAN ANESTESI PASIEN

a) Diagnosis pra-bedah : Hidrosefalus

b) Diagnosis post-bedah : Hidrosefalus

c) Jenis pembedahan : VP – Shunt

Page 13: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

d) Jenis anestesi : anestesi umum (General Anestesi)

Premedikasi anestesi : Dexametason 5 mg

Induksi : Fentanil 5 µg

Sevofluran 2%

Relaksasi : Roculax 5 mg

Pemeliharaan anestesi : Sevofluran + O2

Analgetik : Antalgin 125 mg

Teknik anestesi : Semi – open

Induksi intravena dengan Fentanil 5 µg dan induksi inhalasi

dengan Sevofluran 2%

Intubasi dengan ET no.4 (tanpa cuff) dengan laringoskop blade

lengkung no.1 1/2 didahului oleh pelumpuh otot Roculax 5 mg

Maintenance dengan Sevofluran + O2

Respirasi : Kendali + T-Jackson Rees

Posisi : Supine

Infus : KAEN 1B

Status fisik : ASA II

Induksi mulai : 09.05 WIB

Operasi mulai : 09.20 WIB

Operasi selesai : 10.30 WIB

Berat badan pasien : 12,5 Kg

Durasi operasi : 1 jam 10 menit

Pasien puasa : 4 jam

Terapi cairan

Maintenance = 10 kg I = 4 cc/KgBB/jam

= 4 cc x 10 Kg/jam = 40 cc/jam

= 10 kg II = 2 cc x 2,5 kg/jam = 5 cc/jam +

45cc/jam

Page 14: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

Pengganti puasa = puasa x maintenance

= 4 jam x 45 cc/jam

= 180 cc

Stress operasi = 4 cc/KgBB/jam

= 4 cc x 12,5 Kg/jam

= 50 cc/jam

EBV = 80 cc/KgBB

= 80 cc x 12,5

= 1000 cc

ABL = ∆Ht x EBV x 3

100

= (37-30) x 1000 x 3

100

= 210 cc

Jadwal pemberian cairan (lama operasi 1 jam)

Jam I = ½ PP + SO + M

= 90 + 50 + 45

= 185cc

Jam II = ¼ PP + SO + M

= 45 + 50 + 45

= 140cc

Jam III = ¼ PP + SO + M

= 45 + 50 + 45

= 140cc

Jam IV = M + SO

= 45 + 50

= 95cc

Input durante operasi

Page 15: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

KAEN IB = ½ x 500 = 250 cc

Total Cairan yang masuk durante operasi = 250 cc

Output durante operasi

Urin Tampung : 50 cc dalam 1 jam

Perdarahan

- Tabung Suction : 100 cc

- Kassa : 30 cc

Total Perdarahan = jam I + urine output + (Perdarahan + Kassa )

= 185 + 50 + 30

= 265 cc

Page 16: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

III.7. PENATALAKSANAAN PASCA PEMBEDAHAN

Perawatan bangsal Cempaka

Masuk Tanggal : 20 Agustus 2009

Jam : 12.30 WIB

Airway : Clear, MP I

Breathing : Spontan, SD vesikuler Rh -/- , Wh -/-

Circulation : S1 > S2; Reguler, murmur ( - ), gallop ( - )

Disability : GCS ; E2 V3 M4

Ass : Post operasi VP - Shunting e.c Hidrosefalus

Instruksi post operasi observasi :

Awasi TNSP

Kaen 3A : 400 cc / 24 jam

Obat : Cefotaxim 2 x 15 0 mg

Kaltofren supp : 2 supp 1/5

Infus RL 15 x tetes/menit

Prognosis : Dubia ad Bonam

III.8. PEMANTAUAN ANESTESI

Terlampir

Page 17: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

BAB III

PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA dan diputuskan

kondisi pasien termasuk ASA II, serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan

dilakukan yaitu general anestesi dengan intubasi.

Setelah dilakukan pemeriksaan tentang keadaan umum pasien diputuskan untuk

dilakukan anestesi umum dengan intubasi, dengan alasan tindakan operasi tersebut

dilakukan di regio capitis, termasuk operasi mayor, sehingga dengan teknik tersebut

diharapkan jalan napas dapat dikendalikan dengan baik.

Pertama dilaksanakan premedikasi anestesi dengan bolus Sulfat Atropin 0,1 mg

yang berfungsi sebagai vagolitik dan anti sekresi. Sulfat Atropin bekerja sebagai anti

sekresi pada reseptor post neuro-muscular junction dengan cara melakukan hambatan di

reseptor muskarinik secara spesifik sehingga transmisi asetilkolin pada reseptor tersebut

dapat digagalkan. Sulfat Atropin bekerja sebagai vagolitik dengan cara mengganggu

sistem kolinergik pada jantung, tujuannya adalah untuk meningkatkan frekuensi denyut

ventrikel agar curah jantung meningkat.

Selanjutnya induksi dilakukan dengan menggunakan fentanil 5 µg secara

intravena serta sevofluran 2% secara inhalasi. Fentanil 5 g bolus intravena digunakan

sebagai analgesi opioid. Setelah suntikan intravena, ambilan dan distribusi Fentanyl

secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi sebagian besar dirusak paru ketika

pertama kali melewatinya. Dosis analgesi 1-3 g/kgBB intravena untuk lama kerja 30

menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan bukan untuk pasca

bedah. Sevofluran (ultane) merupakan halogenisasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi

lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak

merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping

halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia.

Sevofluran pada dosis anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak

terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.

Page 18: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial ini dapat dikurangi dengan teknik

anestesi hiperventilasi, sehingga sevofluran banyak digunakan untuk bedah otak.

Sebelum dilakukan intubasi diberikan pelumpuh otot terlebih dahulu yakni pada

kasus ini adalah Suksinilkolin 5 mg. Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif,

leptokurase) bekerja seperti asetilkolin, tetapi dicelah saraf otot tak dirusak oleh

kolinesterase, sehingga cukup lama berada dicelah sinaptik, sehingga terjadilah

depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik. Didalam vena

suksinilkolin dimetabolisir oleh kolinesterase plasma, pseudo-kolinesterase menjadi

suksinil-monokolin.

Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop

blade lengkung no.1 ½ (sesuai anatomis leher bayi usia 6 bulan) dengan metode chin-lift

dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara mulut dengan trakea.

Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah dimasukkan pipa endotrakeal no.3 ½

tanpa cuff yang mempunyai diameter 3,0-4,0 mm. Digunakan ETT tanpa cuff karena

penampang trakea bayi dan anak kecil berbeda dengan dewasa, penampang melintang

trakea bayi dan anak kecil dibawah usia 5 tahun hampir bulat. Apabila digunakan cuff

pada bayi dapat mengakibatkan trauma selaput lendir trakea yang nantinya dapat

menimbulkan edema disekitarnya, dan apabila terjadi edema akan mengakibatkan spasme

laring dan dilanjutkan dengan apneu.

Setelah ETT terfiksasi dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan rumatan

atau yang biasa dikenal dengan maintenance menggunakan O2 + Sevofluran Vol %

ditambah dengan pemberian cairan parenteral yakni ringer laktat untuk mensubstitusi

cairan, baik darah maupun cairan tubuh lainnya, yang keluar selama pembedahan.

Selesai pembedahan untuk meringankan rasa nyeri pasca pembedahan diberikan

Ketoprofen ½ tablet ; 50 mg secara suppositoria melalui anus pasien. Ketoprofen

merupakan analgetik non-opioid turunan asam propionate. Golongan obat non-opioid ini

digunakan sebgai tambahan penggunaan opioid dosis rendah untuk menghindari efek

samping opioid yang berupa depresi pernafasan. Golongan analgetik non-opioid selain

bersifat anti inflamasi juga bersifat analgesik, antipiretik, dan anti pembekuan darah.

Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghambat aktivitas enzim siklo-oksigenase,

sehingga terjadi penghambatan sintesis prostaglandin perifer. Prostaglandin dihasilkan

Page 19: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

oleh fosfolipid dari dinding sel yang rusak akibat trauma bedah. Prostaglandin sendiri

secara langsung tidak menyebabkan nyeri, tetapi menurunkan respons terhadap inflamasi,

sehingga mengurangi nyeri perifer.

Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita dipindahkan ke ruang

pulih. Disini diawasi seperti di kamar bedah, walaupun kurang intensif dibandingkan

dengan pengawasan sebelumnya. Untuk memindahkan penderita ke ruangan biasa

(bangsal) dihitung dulu skorya menurut Lockhart.

Page 20: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

BAB IV

KESIMPULAN

Anestesia pada bayi dan anak kecil berbeda dengan anestesia pada orang dewasa,

karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Seperti pada anestesia untuk

orang yang dewasa anestesia anak kecil dan bayi khususnya harus diketahui betul

sebelum dapat melahirkan anestesia karena itu anestesia pediatri seharusnya ditangani

oleh dokter spesialis anestesiologi atau dokter yang sudah berpengalaman

Page 21: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

DAFTAR PUSTAKA

1. Steward DJ. Outpatient pediatric anesthesia. Anesthesiology. 1975; 43 : 268 276.

2. Loder RE. The anaesthetist and the daysurgery unit. Anaesth. 1982; 37 1037 1039.

3. Epstein BS. Recovery from anesthesia (editorial views) Anesthesiology. 1975; 43 : 285

288.

4. Gregory GA. Out patient anesthesia didalam ANESTHESIA. editor Miller RD. New

York Churcill Livingstone, 1981, hal.1323 1333.

5. Hain WR. Peer modelling and paediatric anaesthesia. Anaesth.1983.38 : 158 161.

6. Epstein BS. Recovery from anesthesia (editorial views) Anesthesiology. 1975; 43 : 285

288.

7. Malins AF. Do they do as they are instructed ? A review of out patient anaesthesia.

Anaesth. 1978; 33 : 832 835.

8. Desjardins R, Ansara S Charest J. Pre-anaesthetic medication in pediatric day-care

surgery. Canad anaesth Soc J. 1981, 28 : 141 148.

9. Goresky GV, Steward DJ. Rectal methohexitone for induction of anaesthesia in

children. Canad Anaesth Soc J. 1979, 26 : 213 215.

10. Steward DJ. A Trial of enflurane for paediatric outpatients anaesthesia. Canad

Anaesth Soc J 1977; 24 .603 608.

11. Crawford ME, Carl P dkk. Comparison between midazolam and thiopentone based

balanced anaesthesia for daycase surgery. Br J Anaesth 1984; 56 : 165 169.

12. Lyle DJR. Suxamethonium pains in out-patient children. Anaesth 1982; 37 : 774 780.

13. Casey WF, DrakeLee AB. Nitrous oxyde and middle ear pressure. Anesth. 1982, 37 :

896 900.

14. Nilsson K, Larsson S dkk. Blood glucose concentration during anaesthesia in

children, effect of starvation and perioperative fluid therapy. Br J Anaesth. 1984; 56 : 375

379.

15. Steward DJ. A Simplified scoring system for the post operative recovery room. Canad

Anaesth Soc J. 1975; 22 : 111 113.

Page 22: Anestesi Umum Pada VP Shunt e.c Hidrosefalus

16. Meridy HW. Criteria for selectionx of ambulatory surgical patients and guidelines for

anesthetic management : A retrospective study of 1553 cases. Anaesth Analg 1982; 61 :

921 926.

17. Fishburne JI, Fulghum MS, Hulka JF, Mercer JP : General Anesthesia for Out patient

laparoscopy with an objective measure of recovery. Anesth Analg 1974 : 53 : 1 6.

18. Ogg TW, Fischer EBJ, Bethune DW, Collis JM. Day case anesthesia and memory.

Anaesth 1979; 34 : 784 789.

19. Natof HE. Complications Associated with ambulatory surgery. JAMA. 1980;

244 :1116 1118.

20. Brindle GF, Soliman MG. Anaesthetic complications in surgical outpatients. Canad

Anaesth Soc J 1975; 22 : 613 619.

21. Ong BY, Palatniuk RJ. Cumming M. Gastric volume and pH in outpatients. Canad.

Anaesth Soc J 1978; 25 : 36 39.

22. Owen H. Post extubation laryngospasm abolished by doxapram, Anaesth 1982; 37 :

112 1114.

23. Sylvia A, Price. Patofisiologi “Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”. Edisi 6. EGC.

Jakarta. 2006.

24. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Anestesiologi. FKUI.

Jakarta. 1989.

25. Michael. B, Dobson. Penuntun Praktis Anestesi. EGC. Jakarta. 1994.

26. Departemen Kesehatan RI Dirjen POM. Iinformatorium Obat Nasional Indonesia

2000. Sagung Seto. Jakarta. 2001.

27. Arif Mansoer,dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi Ketiga. Media

Aesculapius FKUI. Jakarta. 2000.

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_AnestisiaAnakTanpaMondok.pdf/

12_AnestisiaAnakTanpaMondok.html

http://medlinux.blogspot.com/2007/10/terapi-cairan-pasca-pembedahan.html