anestesi spinal

48
BAB I PENDAHULUAN Istilah anestesi artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai hilangnya kesadaran 1 . Spinal anestesi telah digunakan secara luas dan aman selama kurang lebih 100 tahun, terutama untuk operasi-operasi pada daerah abdomen bawah, perineum dan ekstremitas bawah. Anestesi regional secara intratekal ini merupakan suatu alternatif yang dapat diberikan untuk analgesia selama tindakan operasi dan untuk memberikan analgesia pada periode dini pasca operasi 2 . Anestesi regional dibandingkan dengan anestesi umum mempunyai banyak keuntungan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang kecil, menghasilkan analgesi yang adekuat dan mampu mencegah respon stres secara lebih sempurna. Saat ini anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya 3 . Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk menghilangkan sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan dermatom yang diblok. Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih dominan memblok saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan tekanan darah 4 . Hipotensi adalah efek samping yang 1

Upload: harry-koesoema

Post on 14-Feb-2015

144 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Istilah anestesi artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai hilangnya kesadaran1. Spinal anestesi telah digunakan secara luas dan aman selama kurang lebih 100 tahun, terutama untuk operasi-operasi pada daerah abdomen bawah, perineum dan ekstremitas bawah.

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah anestesi artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai

hilangnya kesadaran1. Spinal anestesi telah digunakan secara luas dan aman

selama kurang lebih 100 tahun, terutama untuk operasi-operasi pada daerah

abdomen bawah, perineum dan ekstremitas bawah. Anestesi regional secara

intratekal ini merupakan suatu alternatif yang dapat diberikan untuk analgesia

selama tindakan operasi dan untuk memberikan analgesia pada periode dini pasca

operasi2.

Anestesi regional dibandingkan dengan anestesi umum mempunyai

banyak keuntungan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang

kecil, menghasilkan analgesi yang adekuat dan mampu mencegah respon stres

secara lebih sempurna. Saat ini anestesi regional semakin berkembang dan meluas

pemakaiannya3.

Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk

menghilangkan sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik

sehingga mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan

dermatom yang diblok. Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih

dominan memblok saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan

tekanan darah4. Hipotensi adalah efek samping yang paling sering terjadi pada

anestesi spinal, dengan insidensi 38% dengan penyebab utama adalah blokade

saraf simpatis5.

1

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan

penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi

spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok

intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal

ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-

L56.

2.2 Anatomi Kolumna Vertebralis

Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis adalah salah

satu faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan

tentang penyebaran analgetika lokal dalam cairan serebrospinal dan level

analgesia diperlukan untuk menjaga keamanan/keselamatan tindakan anestesi

spinal2.

Gambar 2.1 Anatomi Kolumna Vertebralis

Sumber : http://www.espine.com/

2

Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis: 7 servikal, 12

torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai 4

lekukan, yaitu lordosis servikalis, kifosis torakalis, lordosis lumbalis dan kifosis

sakralis7.

Lekukan kolumna vertebralis berpengaruh terhadap penyebaran obat

analgetika lokal dalam ruang subarakhnoid. Pada posisi terlentang titik tertinggi

pada vertebra lumbal 3 dan terendah pada torakal 57.

Segmen medula spinal terdiri dari 31 segmen: 8 segmen servikal, 12

torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya

kelompok-kelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen

tengah torakal lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau lumbal atas.

Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah.

Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus brakhialis.

Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis.

Hubungan antara segmen-segmen medula spinalis dan korpus vertebralis serta

tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada

medula spinalis dan juga untuk mencapainya pada pembedahan2,7.

Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari

luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan

duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak

sampai medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan

piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid7.

Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2,

sehingga di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub

arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang

berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang

berasal dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada

sisi vertebra lumbal 2. Dengan fleksi tulang belakang medula spinalis berakhir

pada sisi bawah vertebra lumbal2,7.

3

2.3 Mekanisme Kerja Anestesi Regional

Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana

tempat kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah

meradang tidak akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya

keasaman jaringan yang mengalami peradangan sehingga akan menurunkan

aktifitas dari zat anestesi lokal (pH nanah sekitar 5)8. Anestesi lokal mencegah

pembentukan dan konduksi impuls saraf, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit

saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi saraf terjadi karena adanya

peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran terhadap ion Na akibat

depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi

lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan voltase muatan listrik

(voltase sensitive Na+ channels). Dengan bertambahnya efek anestesi lokal di

dalam saraf, maka ambang rangsang membran akan meningkat secara bertahap,

kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan

faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini

akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan

dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf8,9.

Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan

lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan

saluran (channel) pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift)

melalui membran akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat

perpindahan natrium dengan aksi ganda pada membran sel berupa10 :

1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.

Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat

keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok.

Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi

lokal terletak di dalam saluran natrium.

2. Ekspansi membran.

Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan

reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat

non-polar lemak, misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.

4

Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus

dapat menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan

untuk melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang

bergabung dengan reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial

aksi. Agar dapat melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama sekali harus

menembus jaringan sekitarnya8.

Tabel.1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.

Potensi dan lama kerja anestesi lokal berhubungan dengan sifat individual

zat anestesi lokal dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemiknya, sehingga

semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama

kerja anestesi lokal tersebut11.

Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan

konsentrasi dan dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan

dalam lemak, karena hal ini akan memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat

anestesi lokal mencapai membran sel. Terjadinya vasokontriksi akan menghambat

serta memperpanjang efek, sedangkan vasodilatasi akan meningkatkan

pengambilan (uptake) obat dari jaringan11.

Serabut-serabut preganglionik B bermielin dengan daya hantar cepat

(faster conducting) 3 kali lebih sensitif dibandingkan dengan serabut

5

postganglionyc C yang tak bermielin dengan daya hantar lambat

(slowerconducting). Pada percobaan laboratorium dan klinik didapatkan bahwa

semua preganglionyc sensitif terhadap pengaruh obat anestesi lokal. Serabut jenis

ini banyak terdapat pada rami communicantes alba pada rantai saraf simpatis.

Efek yang terjadi adalah hipotensi. Hal ini sering didapatkan atau merupakan efek

samping anestesi regional. Glissen dan kawan-kawan, menemukan bahwa serabut

A lebih sensitif daripada serabut B dan C. Rosenberg dan kawan-kawan, justru

mendapatkan bukti bahwa hampir seluruh serabut-serabut saraf itu (A, B dan C)

mempunyai resistensi yang sama besar. Data dari percobaan laboratorium pada

suhu kamar seperti yang dilakukan Glissen tergantung pada perubahan temperatur

dan serabut bermielin memberikan reaksi terhadap pendinginan dimana serabut A

resisten terhadap obat anestesi lokal, hal ini terjadi karena serabut A-delta yang

mengatur sensasi nyeri dan suhu lebih sensitif dibanding serabut C yang juga

mengatur rasa nyeri meskipun ia mempunyai daya hantar yang lebih cepat. Nyeri

patologis (dihantarkan oleh serabut C) seperti yang terjadi pada robeknya rahim

(ruptur uteri) atau plasenta, dapat dihambat dengan melakukan blok epidural pada

penanggulangan nyeri persalinan11.

Sensitivitas serabut Aδ yang lebih besar dari pada serabut C mungkin

menerangkan fenomena ini. Serabut-serabut sensorik Aa meskipun kecepatan

hantaran kedua jenis serabut ini sama. Mungkin hal ini terjadi karena serabut

sensorik menghantarkan impuls pada frekwensi yang lebih tinggi. Semua zat

anestesi spinal memblokade bagian sensorik lebih cepat daripada motorik dan

menunjukkan selektivitas yang sama terhadap berbagai serabut saraf yang

berbeda. Sensitivitas relatif dan jenis serabut yang berbeda tergantung dari

penempatannya pada berkas saraf (nerve bundle). Kesimpulannya, tingkat

sensitivitas terhadap blokade adalah sebagai berikut (dimulai dari yang paling

sensitif) : preganglionik, nyeri dan suhu sentuh, propioseptik dan serabut motorik.

Tampak bahwa serabut motorik adalah yang paling sukar di blockade /

dihambat11.

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sangat aman khususnya

dalam meminimalkan pengaruh respirasi (pernafasan), meskipun hipoksemia

6

dapat juga terjadi selama anestesi spinal. Banyak faktor yang mempengaruhi

kejadian hipoksemia ini antara lain: umur, berat badan, tingkat blok dan tipe

pembedahan dipercaya dalam patogenesis desaturasi oksigen, body massa index

(BMI), tekanan darah dan denyut jantung11.

Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah

subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum

sampai lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3

pada bayi, sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural

berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak12.

Gambar 2.2 Anestesi Spinal

Sumber : Fundamental of Nursing

2.4 Persiapan Pasien

Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan anestesi spinal

(informed concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang

mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat

penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.

Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang

7

perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa

tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan

darah8.

Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan

perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi

umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan.

Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan

ukuran 16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah

prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal

mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal

jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan

terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik),

obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan

berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37ºC cairan

serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,0088.

Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan

duk steril juga harus disiapkan. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang

ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene)

dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak

digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal8.

2.5 Teknik Anestesi Spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis

tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas

meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi

pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan

menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal

adalah sebagai berikut4 :

1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.

Beri bantal kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang

8

stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah

teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.

Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla

spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-

3ml.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,

23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G

atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik

biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak

sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya

ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-

Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu

pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk

menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri

kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal

dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat

dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya

untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum

spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º

biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan

kateter.

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah

hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum

flavum dewasa ± 6cm.

2.6 Indikasi Anestesi Spinal

Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk

pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila

9

mammae ke bawah)13. Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi

abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki4.

2.7 Kontraindikasi

Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.

Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat

suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan

peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri.

Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya,

infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak

diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan

tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum

melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk

mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis14.

Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah

pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat

meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui

jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal,

herniasi otak dapat terjadi14.

Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma,

hal ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi

tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang

untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli

anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi

spinal seperti epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan14.

Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,

karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang

sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis,

seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro

didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius

lokal14.

10

Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi

relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai

kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan

pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati dalam perawatan anestesi mereka

deformitas dari kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam

menempatkan anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal

sebelumnya semua faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa

anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien untuk

menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba anestesi spinal14.

2.8 Komplikasi

Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan

komplikasi lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan

gastrointestinal14.

Komplikasi sirkulasi14:

1. Hipotensi

Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi.

Biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga

tekanan darah perlu diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan,

sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini.

Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau

terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka kita harus bertindak

cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi

terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin

berat hipotensi.

Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan

kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan

anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat

tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti

efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal total dengan

anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus

11

melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru, serta berikan

penanganan seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini, biasanya blok

spinal total dapat diatasi dalam 2 jam14.

2. Bradikardia

Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau

karena blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit,

berikan atropin 0,5 mg intravena14.

3. Sakit Kepala

Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi

anestesi spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal

biasanya akan memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila

pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital

dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan

oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin

besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat

dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh

menggunakan satu bantal) selama 24 jam. 14.

Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan

menjadi 4 skala yakni:

1. Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk /

berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.

2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada

pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di

sertai dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan

penglihatan.

3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat

tidur, berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering

disertai dengan mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran.

4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang

berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila

12

duduk atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual

dan muntah.15

Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH,

baik invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi.

Walaupun tidak semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap,

tetapi kebanyakan telah diterima dengan baik oleh berbagai kalangan

anestesiolog. Terapi non-invasif meliputi tirah baring, status hidrasi,

posisi, ikatan abdominal, analgesia, dan obat-obat farmakologis lain

seperti kaffein intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif meliputi

Epidural Blood Patch dan Epidural Dextran.15

Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen

abdomen, pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien

tetap supine akan mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan

keluar dari lubang dura dan meminimalkan nyeri kepala. Medikasi

analgesia bisa berkisar dari asetaminofen sampai NSAID. Hidrasi dan

kaffein bekerja menstimulasi produksi CSF. Kaffein membantu dengan

menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial. Salah satu yang

menjadi faktor penentu terjadinya PDPH adalah status hidrasi pasien,

dimana konsep hidrasi pada PDPH masih banyak salah dimengerti. Tujuan

dari hidrasi adalah untuk memastikan kecepatan produksi CSF optimal,

dimanaselama 10 menit. Bila terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka

dinyatakan Tilt Test positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan

cukup.15

Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif

terhadap PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke

ruang epidural pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan

dura. Hal ini dipercaya akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada

CSF oleh karena efek massa atau koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera

atau beberapa jam setelah tindakan ketika produksi CSF secara perlahan

akan meningkatkan tekanan intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak 90%

pasien akan memberikan respon terhadap tindakan blood patch ini15.

13

4. Komplikasi Respirasi

a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila

fungsi paru-paru normal.

b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok

spinal tinggi.

c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau

karena hipotensi berat dan iskemia medulla.

d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan

tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani

dengan pernafasan buatan14.

5. Komplikasi gastrointestinal

Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis

berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus

gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi

lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada

perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam

pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua

lebih jarang dan pada kehamilan meningkat14.

2.9 Obat-Obat Anestesi Spinal

BUPIVAKAIN

Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai

berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.

Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih

kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af

Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 196312. Secara komersial

bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih

menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan

untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah16.

14

Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun

hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi

abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan

konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain

hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-

22,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah

kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan

bila dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari

bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya

yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain16. Bupivakain juga

mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai

kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri

pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2

jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat

berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi

kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25

– 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah.

Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk pembedahan.

Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %, epidural 0,5 –

0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg.

Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB17.

1. Farmakologi bupivakain

Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara

menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam

memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan

dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena

menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik, nyeri, suhu,

raba, propriosepsi, tonus otot skelet16. Eliminasi bupivakain terjadi di hati dan

melalui pernafasan (paru-paru). Bila pasien mengalami syok hipovolemik,

septikemia, infeksi pada beberapa organ, atau koagulopati, suntikan epidural,

kaudal atau subarachnoid harus dihindari. Kadar bupivakain plasma toksik

15

(contohnya toksik, akibat suntikan intravaskuler) dapat menyebabkan colaps

kardiopulmonal dan kejang. Pencegahan terjadinya komplikasi dengan cara

mencegah overdosis (memberikan obat sesuai dosis yang dianjurkan), hati-hati

dalam memberikan penyuntikan intravena dengan menggunakan tehnik yang

benar, mengaspirasi terlebih dahulu sebelum bupivacaine dimasukkan, test dose

10% dari dosis total, mengenali gejala awal dari toksisitas, mempertahankan

kontak verbal dengan pasien, memonitor frekuensi dan pola pernafasan, tekanan

darah, dan frekwensi nadi. Tanda dan gejala prapemantauan dimanifestasikan

sebagai rasa tebal dari lidah dan rasa logam, gelisah, tinitus, dan tremor.

Dukungan sirkulasi (cairan intravena, vasopresor, natrium bikarbonat IV 1 – 2

mEq / kg untuk mengobati toksisitas jantung (blokade saluran natrium), bretilium

IV 5 mg/kg, kardioversi/defibrilasi DC untuk aritmia ventrikuler dan

mengamankan saluran pernapasan pasien (ventilasi dengan oksigen 100 %)

merupakan hal yang penting. Tiopental (0,5 – 2 mg/kg IV), midazolam (0,02 –

0,04 mg/kg IV), atau diazepam (0,1 mg/kg IV) dapat digunakan untuk profilaksis

dan atau pengobatan kejang. Tingkat blokade simpatik (bradikardia dengan blok

diatas T5) menentukan tingkat hipotensi (sering ditandai dengan mual dan

muntah) setelah bupivakain spinal / subarakhnoid. Hidrasi cairan (10-20 ml/kg

larutan NS atau RL), obat vasopresor (contohnya efedrin) dan pergeseran uterus

ke kiri pada pasien hamil, dapat digunakan sebagai profilaksis dan pengobatan.

Memberikan sulfas atropin untuk mengobati bradikardi16.

2. Farmakokinetik bupivakain dalam ruang subarakhnoid.

Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan

mengalami penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya:

dilusi dan pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh

jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh

pembuluh darah8. Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan struktur

jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut

saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-

akar saraf di medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu

anterior dan posterior (sekunder) dan traktus asenden dan desenden parenkim di

16

medula spinalis17. Lama analgesik anestetik subarakhnoid tergantung pada

beberapa faktor, yang pertama adalah konsentrasi anestetik lokal dalam liquor

cerebro spinalis dan yang kedua adalah absorpsi obat anestetik oleh sistim

vaskuler. Semakin besar konsentrasinya akan semakin lama efek analgesiknya.

Konsentrasi analgesik akan menurun sesuai paruh waktu terhadap jarak dari

tempat dengan konsentrasi yang terbesar, dan secara klinis akan terjadi suatu

regresi analgesik dari atas ke bawah menuju daerah dengan konsentrasi terbesar8,9.

Penilaian terhadap lama kerja anestetik 1okal pada blok subarakhnoid

dapat dilakukan dengan berbagai cara : waktu hilangnya analgesi pada daerah

operasi, waktu yang diperlukan pemberian analgesik yang pertama kali paska

bedah, waktu yang diperlukan untuk terjadinya regresi motorik dan waktu yang

diperlukan untuk terjadinya regresi analgesik pada 2 atau 4 segmen9.

3. Mula Kerja Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Isobarik

Mula kerja anestesi spinal sangat ditentukan oleh nilai pKa, semakin

rendah nilai pKa semakin cepat mula kerjanya. Bupivakain mempunyai tingkat

daya ikat protein tinggi (95,6%) namun nilai pKa juga tinggi. Pada saat ini,

bupivakain 0,5% isobarik maupun hiperbarik banyak digunakan untuk operasi

abdominal bawah dengan anestesi spinal. Telah dilaporkan bahwa bupivakain

0,5% 9,75 mg isobarik mempunyai mula kerja 5 menit lebih cepat dibandingkan

hiperbarik. Namun hal ini berbeda dengan penelitian lain menemukan fakta bahwa

pada 20 sampel yang mendapatkan anestesi spinal dengan bupivakain 10 mg

hiperbarik mempunyai mula kerja blokade sensorik dan motorik 2 kali lebih cepat

(rata-rata 9 menit) dibandingkan 10 mg bupivakain isobarik (rata-rata 18 menit)18.

Bupivakain 0,5% hiperbarik mempunyai kualitas analgesik dan relaksasi

motorik intraoperatif yang kurang memuaskan, mula kerja blokade sensorik dan

motorik lebih cepat dan lama kerja blokade sensorik dan motorik lebih panjang

bila dibandingkan dengan ropivakain hiperbarik19.

4. Lama Kerja Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Isobarik

Mengenai lama kerja anestetik ditentukan oleh kecepatan absorbsi

sistemiknya, jenis anestesi lokal, besarnya dosis, vasokonstriktor dan penyebaran

anestesi lokal. Semakin tinggi daya ikat protein terhadap reseptor semakin

17

panjang lama kerjanya. Dikatakan bahwa lama kerja blokade sensorik dan motorik

bupivakain hiperbarik lebih panjang dibandingkan dengan bupivakain isobarik.

Sedangkan penelitian menemukan fakta yang berlainan yaitu pada 20 sampel yang

mendapatkan anestesi spinal dengan bupivakain 0,5% 10 mg hiperbarik

mempunyai lama kerja blokade sensorik dan motorik 2 kali lebih cepat ( rata-rata

92 menit) dibandingkan isobarik (rata-rata 177 menit)11.

Pada spinal anestesi dengan bupivakain 0,5% isobarik mempunyai lama

kerja blokade sensorik dan motorik 2 kali lebih panjang dibandingkan bupivakain

0,5% hiperbarik. Pemberian bupivakain 0,5% isobarik 15 mg telah dilaporkan

dapat menghasilkan efek spinal blok anestesi yang lebih cepat jika dibandingkan

dengan pemberian bupivakain 0,5% 15 mg hiperbarik. Banyak faktor yang dapat

mempengaruhi hasil ini antara lain: umur, tinggi badan, anatomi batang spinal,

tehnik injeksi, volume Cerebro Spinal Fluid (CSF), density CSF dan baricity obat

anesthesi, posisi pasien, dosis serta volume obat anestesi. Bupivakain 0,5%

isobarik diberikan secara injeksi akan bercampur dengan CSF (paling sedikit 1:1),

ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat blockade neural meliputi tingkat

injeksi, tinggi badan dan anatomi kolumna vertebralis, Sedangkan bupivakain

0,5% hiperbarik dapat diberikan tergantung dari area spinal (secara normal T4-T8

dalam posisi telentang)11.

Efek samping anestesi spinal yang sering terjadi adalah hipotensi dan

bardikardi. Biasanya terjadi 5 menit setelah anestesi spinal. Dilaporkan juga

setelah 45 menit pemberian bupivakain 0,5% isobarik akan terjadi penurunan

tekanan darah dan penurunan denyut jantung. Disamping itu mual-muntah,

blokade spinal tinggi, keracunan, menggigil, retensi urin, post dural puncture

headache dan henti jantung dapat juga terjadi. Pasien dengan henti jantung harus

segera dilakukan resusitasi jantung paru dan jika perlu dilakukan pijat jantung.

Bretylium merupakan obat pilihan bila terjadi disritmia11.

KLONIDIN

Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis α2 yang digunakan untuk

obat antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek

18

kronotropik negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat α2 agonis lain juga

mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi

dari pemberian secara oral (3-5μg/kg), intramuscular (2μg/kg), intravena

(1-3μg/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150μg) dan epidural

(1-2μg/kg) dari pemberian klonidin. Secara umum klonidin menurunkan

kebutuhan anestesi dan analgesi (menurunkan MAC) dan memberikan efek sedasi

dan anxiolisis. Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan

stabilitias sirkulasi intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin.

Selama anestesi regional, termasuk peripheral nerve block, klonidin akan

meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada medula spinalis mungkin

dibantu oleh reseptor postsinaptik α2 dengan ramus dorsalis. Keuntungan lain

juga mungkin berupa menurunkan terjadinya postoperative shivering, inhibisi dari

kekakuan otot akibat obat opioid, gejala withdrawal dari opioid, dan pengobatan

dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek samping dapat berupa bradikardia,

hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut kering11.

Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang bekerja

secara sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya

untuk menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini

telah terbukti efektif digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit

renin-dependen. Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg.

Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk pemberian secara mingguan

pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral11.

1. Manfaat klinis lain

Agonis alfa-adrenergik (klonidin dan dexmedetomidine) menghasilkan

sedasi, menurunkan kebutuhan obat anestesi dan meningkatkan stabilitas

hemodinamik perioperatif ( kestabilan tekanan darah dan frekuensi nadi terhadap

stimulasi bedah) dan stabilitas simpatoadrenal. Sebagai tambahan, reseptor alfa2

didalam korda spinalis memodulasi jalur nyeri yang menghasilkan analgesia.

Penggunaan klonidin secara rutin sebagai adjuvan anestesia dan untuk memenuhi

kebutuhan sedasi postoperatif tanpa depresi pernafasan, telah dibatasi karena

waktu paruh yang panjang mencapai 6-10 jam11.

19

2. Analgesia

Klonidin tanpa bahan pengawet yang diberikan ke dalam rongga epidural

atau subarachnoid (150 sd 450 μg) menghasilkan analgesia yang dose-dependent,

tidak seperti opioid, tidak menyebabkan depresi pernafasan, gatal-gatal, mual dan

muntah, atau perlambatan pengosongan lambung. Retensi urin, yang merupakan

komplikasi umum dari opioid epidural, jarang ditemukan ketika diberikan

klonidin epidural untuk analgesi post operatif. Klonidin menghasilkan analgesia

diperkirakan melalui mekanisme aktivasi reseptor alfa2 post sinaps di substansia

gelatinosa dari korda spinalis. Klonidin dan morfin, ketika digunakan secara

bersamaan sebagai analgesia neuroaxial, tidak menghasilkan toleransi silang.

Hipotensi, sedasi, dan mulut kering dapat terjadi pada penggunaan klonidin

neuroaksial untuk menghasilkan analgesia. Penambahan klonidin sebesar 1μ/kg

terhadap lidokain yang digunakan untuk anestesi regional intravena total akan

meningkatkan analgesia post operatif. Penggunaan klonidin regional intravena

sebesar 1μ/kg terbukti efektif dalam mengurangi nyeri yang difasilitasi oleh

sistem saraf simpatis11.

3. Medikasi pre anestetik

Pemberian medikasi klonidin per oral (5μ/kg) dapat (a)menumpulkan

refleks takikardi yang berkaitan dengan laringoskopi direk untuk intubasi trakea,

(b) menurunkan ketidakstabilan tekanan darah dan frekuensi nadi, (c) menurunkan

konsentrasi katekolamin plasma, dan (d) menurunkan secara dramatis kebutuhan

zat anestetik inhalasi (MAC) dan obat yang diberikan intra11.

Dosis klonidin yang sama dapat meningkatkan analgesia post operatif

yang dihasilkan oleh morfin dan tetrakain intratekal tanpa meningkatkanintensitas

efek samping dari morfin. Aktivasi sistem saraf simpatis yang dihasilkan oleh

pemberian desfluran dan ketamin dapat ditumpulkan oleh klonidin. Sebagai

contoh, premedikasi klonidin oral 5μ/kg yang diberikan 90 menit sebelum induksi

anestesi akan menstabilkan peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi yang

secara normal mengikuti pemberian ketamin 1m/kg i.v. Itu telah diobservasi

20

bahwa medikasi konidin oral sebelum anestesi meningkatkan respons tekanan

efedrin i.v11.

Respon peningkatan ini penting pada pemberian dosis efedrin untuk

mengatasi hipotensi yang berkaitan dengan pemberian klonidin selama periode

perioperatif. Fakta bahwa efek yang paling jelas dari klonidin terlihat pada

penurunan aktivitas sistem saraf simpatis mendahului kemungkinan peningkatan

respon kardiovaskular terhadap hipotensi. Namun, didapatkan bukti bahwa

konsentrasi katekolamin plasma dapat meningkat sebagai respon terhadap

hipotensi meskipun sudah diberikan klonidin sebelumnya11.

4. Memperpanjang Efek Anestesia Regional

Penambahan klonidin sebesar 75 sampai 150 μg dalam larutan yang

mengandung tetrakain atau bupivakain yang diberikan dalam ruang subaraknoid

dapat memperpanjang waktu blokade saraf sensorik dan motorik yang dihasilkan

oleh anestetik lokal. Klonidin sebesar 150μg yang ditambahkan ke dalam

bupivakain intratekal adalah dosis yang disarankan untuk memperpanjang efek

anestetik dan analgesi tanpa menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan11.

Kebutuhan pemberian cairan dan dan penurunan tekanan darah diastolik

kemungkinan lebih besar terjadi pada pasien yang mendapat larutan anestetik

lokal yang mengandung klonidin. Efek bradikardi pada janin membatasi

penggunaan klonidin subaraknoid dalam kebidanan. Klonidin oral sebesar 150-

200μg yang diberikan 1-1,5 jam sebelum anestesi spinal dengan tetrakain atau

lidokain menghasilkan pemanjangan anestesi sensorik yang jelas. Pada laporan

yang lain, klonidin oral sebesar 200μg dapat memperpendek onset dari tetrakain

untuk memblokade sensorik dan memperpanjang waktu blokade sensorik dan

motorik. Namun, premedikasi klonidin meningkatkan risiko bradikardi dan

hipotensi yang bermakna secara klinis. Mekanisme tentang bagaimana klonidin

oral dapat memperpanjang anestesi spinal belum dapat ditentukan. Penambahan

0,5μg/kg klonidin ke dalam larutan yang mengandung mepivacain 1% dapat

memperpanjang durasi blok pleksus brakialis yang diberikan lewat aksila11.

EFEDRIN

21

Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang

secara alami ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai

gugus OH pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan dalam “efek secara

langsung” pada sel efektor1.

1. Farmakodinamik

Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor α, α1, α219. Efek

pada α1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase. Efek

pada α1 dan α2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek α1

berupa takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada baroreseptor karena

efek peningkatan TD20. Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui

pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis

(pemberian efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu singkat akan

menimbulkan efek yang makin lemah karena semakin sedikitnya sumber NE yang

dapat dilepas, efek yang menurun ini disebut takifilaksis terhadap efek

perifernya.21 Hanya I-efedrin dan efedrin rasemik yang digunakan dalam klinik20.

Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik

dan mendesak NE keluar21. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek

Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik

meningkat juga biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar.

Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi

terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung

dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat reflex

kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan

visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rangka

meningkat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis

rendah tidak nyata pada efedrin20.

Efek efedrin terhadap hemodinamik lebih rendah dibanding epinefrin

karena efek efedrin pada α1 di vena lebih dominan dibanding di arteri, sehingga

respon peningkatan TD lebih lemah 250 kali dibanding adrenalin. Efek efedrin

berupa peningkatan TD, HR, CO, aliran darah koroner dan peningkatan SVR.

Efedrin bolus 5-10 mg pada orang dewasa normal sedikit meningkatkan SVR dan

22

peningkatan TD yang terjadi pada pemberian efedrin adalah hasil dari akumulasi

dari peningkatan SVR, preload, HR< CO. Setelah pemberian efedrin terjadi

vasokontriksi pada vascular band, juga disertai vasodilatasi pada daerah lain

melalui reseptor α2. Melalui reseptor â1 akan meningkatkan kontraktilitas otot

jantung21.

Efedrin adalah vasopresor yang sering digunakan untuk kasus hipotensi

karena subarakhnoid block (SAB), blok epidural, karena obat induksi IV dan

inhalasi. Untuk mengatasi hipotensi ini efedrin diberikan 3-10 mg IV atau 25-50

mg IM. Pemberian efedrin sampai dosis 70μ/kgBB tidak meningkatkan TD secara

bermakna. Efedrin dapat menurunkan renal blood flow (RBF), dan efek metabolik

berupa peningkatan gula darah, namun peningkatan gula darah ini tidak sebesar

akibat epinefrin. Efek efedrin terhadap uterus akan mengurangi aktivitas otot

uterus, dan pada bronkus akan menyebabkan relaksasi otot polos bronkus,

sehingga dapat dipakai untuk pengobatan asthma bronchial . Bronkorelaksasi oleh

efedrin lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama dibandingkan dengan

epinefrin21.

Penetesan larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasis. Reflek

cahaya, daya akomodasi dan tekanan intraokuler tidak berubah. Aktivitas uterus

dikurangi oleh efedrin : efek ini dapat dimanfaatkan pada dismenore. Efedrin

kurang efektif dalam meningkatkan kadar gula darah dibandingkan dengan

Epinefrin. Efek sentral efedrin menyerupai efek amfetamin tetapi lebih lemah.

Vasopresor yang ideal sebaiknya mempunyai efek sebagai berikut:

Mempunyai efek kronotropik dan inotropik positif

Tidak menstimulasi saraf pusat

Tidak menyebabkan hipertensi yang berkepanjangan20.

2. Farmakokinetik

Efedrin yang merupakan golongan nonkatekolamin, digunakan dalam

klinik umumnya efektif pada pemberian oral karena efedrin resisten terhadap

COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus, hati dan ginjal20.

3. Efek Samping, Toksisitas dan Kontraindikasi

23

Efek samping penggunaan efedrin serupa dengan efek samping pada

penggunaan epinefrin, dengan tambahan efek sentral efedrin. Pemberian efedrin

dapat menimbulkan gejala seperti perasaan takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri

kepala berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing, pucat, sukar bernafas dan

palpitasi21.

Dosis efedrin yang besar dapat menimbulkan perdarahan otak karena

kenaikan tekanan darah yang hebat. Efedrin juga dapat menyebabkan terjadinya

aritmia yang bersifar fatal pada penderita penyakit jantung organik. Insomnia,

yang sering terjadi pada pengobatan kronik, mudah diatasi dengan pemberian

sedatif20.

Efedrin dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat α-blocker

nonselektif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor α pembuluh

darah dapat menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak20.

EPINEFRIN (ADRENALIN)

Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh

bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh

neuron-neuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin

merupakan stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf simpatis,

dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut jantung dan

meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan

efek metabolik lain. Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan

dilepas sebagai respon terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain22.

Preparat sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai

vasokonstriktor topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan

secara intranasal, intraoral, parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprine

(noradrenalin) adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon yang

dilepaskan oleh saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga

disekresi oleh medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splanchnicus

dan disimpan dalam granul kromafin. Norepineprine merupakan neurotransmitter

utama yang bekerja pada reseptor adrenergik α- dan β1. Norephineprine

24

merupakan vasopressor kuat dan biasanya dilepaskan dalam tubuh sebagai respon

terhadap hipotensi dan stres. Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya

dalam bentuk garam bitartat22.

Aktivitas neural adrenergik mempengaruhi aktivitas renin plasma. Efek

adrenalin, adalah menstimulasi reseptor β pada jantung, meningkatkan frekuensi

denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung, meningkatkan curah jantung,

meningkatkan metabolisme otot jantung dan konsumsi oksigen, mengakibatkan

sistole jantung abnormal karena tingginya frekuensi denyut jantung, dan aritmia

ventrikel. Sedangkan efek noradrenalin 2-10 kali lebih kecil dari adrenalin, yaitu

menghasilkan vasokonstriksi pada pembuluh darah kulit, dan membran mukosa,

vasodilatasi pada pembuluh darah otot skelet dengan peningkatan jumlah reseptor

β,berakibat menurunnya tahanan perifer pembuluh darah. Efek

adrenalin/noradrenalin pada kerja jantung, meningkatkan tekanan sistole jantung

oleh karena aktivitas otot jantung dan menurunkan tekanan diastole dengan

peningkatan tahanan perifer. Efek kedua hormon ini terhadap kerja otot jantung

dapat dihambat dengan agent pemblok reseptor β seperti propranolol22.

Adrenalin (epinefrin) digunakan sebagai adjuvant pada anestesi regional.

Adrenalin digunakan untuk mengurangi konsentrasi plasma pada obat dan

meningkatkan tindakan anestesi. Adrenalin bersifat vasokonstiksi, dengan

mengurangi aliran darah pada tempat penyerapan lokal anestesi dan dan opioid,

dapat menguatkan dan memperpanjang obat-obat anestesi. Mekanisme yang

kedua yaitu dengan memperbaiki hambatan perifer oleh adrenalin dijelaskan

dalam dua jenis kompartemen, kompartemen luar (jaringan epineurial) dan

kompartemen dalam (endoneurium dan serabut-serabut saraf)22.

Adrenalin 200-500 µg (dosis tunggal) ditambahkan ke dalam anestesi

spinal sehingga memberikan hasil yang bervariasi sehingga memperpanjang blok

yang mempengaruhi dosis adrenalin dan anestesi lokal yang digunakan. Selain itu,

misalnya, pemberian adrenalin 200 µg intratekal pada 7,5 mg bupivakain dapat

memperpanjang modalitas sensorik, memperpanjang blokade motorik, dan

memperpanjang waktu untuk hambat sekitar 30-50 menit.

25

FENTANYL

Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika

digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM

(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan

kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan

rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang

persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap

menggunakan analgesik narkotika23.

Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa

sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf

pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak

sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa

terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah

efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan

periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan23.

Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)

meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia

pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah

dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 µg

menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek

apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping24.

Saat ini Bupivakain 0,5% digunakan umumnya untuk anestesi spinal dan

epidural. Jika digabungkan dengan fentanyl intratekal dapat memberikan

kedalaman anestesi dengan mengurangi dosis bupivakain. Fentanyl merupakan

opioid lipofilik dan mempunyai onset kerja cepat dan lama kerja pendek sehingga

insidensi depresi pernafasan lebih rendah. Dari hasil penelitian didapatkan

dimulainya blok terhadap sensorik pada T6.25

Dari penelitian ini terbukti bahwa dengan penambahan fentanil pada

anastesi spinal dapat mengurangi dosis bupivacain sehingga insidensi hipotensi

dan penurunan tekanan darah sistolik dapat menurun juga25.

26

BAB III

KESIMPULAN

1. Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan

penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.

2. Anestesi spinal menyebabkan penurunan potensial aksi pada membran

sehingga terjadilah kegagalan konduksi saraf.

3. Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah

subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen

magnum sampai lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-

anak dan lumbal 3 pada bayi, sedangkan sacus duralis, ruang

subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa

dan sakral 3 (S3) pada anak-anak.

4. Indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan

daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila

mammae ke bawah).

5. Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan

komplikasi delayed.

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Gunawan, S. G. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 2007. Hal

786-787.

2. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural

Blockade. In : Cousins MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in Clinical

Anesthesia and Management of Pain. Third Edition. Philadelphia : Lippincott-

Raven. 1998. Pages 203-209

3. Marwoto.2000. Mula dan lama kerja antara lidokain, lidokain-bupivakain dan

bupivakain pada blok epidural. Dalam: Kumpulan makalah pertemuan ilmiah

berkala X-IDSAI. Bandung; 520-521.

4. Dobson, M. B. Anestesi Spinal dalam Buku Penuntun Praktis Anestesi. EGC.

Jakarta. 1994. Hal 101-104.

5. Covino BG, Scott DB, Lambert DH. Handbook of Spinal Anesthesia and

Analgesia. Mediglobe. Fribourg. 1994. Pages 71-104.

6. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 1.

FKUI. Jakarta. 2001. Hal 124-127.

7. Snell R, Liliana S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.

EGC. Jakarta. 2006.

8. Mansjoer, Arif, dkk. Anestesi Spinal dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran.

Edisi 3. Aesculapius. Jakarta. 2000. Hal 261-264.

9. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D,

Isbandiati E, Basori A. Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2002. Hal

170-171.

10. Hodgson PS, Liu SS. 2001. Local Anesthetics. In Textbook Clinical

Anesthesia. Forth Edition. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins Co.

2001. Pages 449-465.

28

11. Aziz, AA. Perbandingan antara Klonidin 2ug/kgbb dan 4ug/kgbb Per Oral

terhadap Level Sedasi, Pemanjangan Blokade Sensorik dan Motorik pada

Anestesi Spinal dengan Bupivakain 5 % Isobarik untuk Operasi Abdomen

Bawah. Tesis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2010.

12. Morgan GE, Mikhail MS. Regional Anesthesia and Pain Management. In

Clinical Anasthesiology. Forth Edition. New York. Pretince Hall International

Inc. 2006. Pages 266-267.

13. Muhiman, M, Thaib,R,dkk. Anestesi Regional dalam Buku Anestesiologi.

FKUI. Jakarta. 2004.

14. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal Anesthesia. 2009.

Available in Website : www.nysora.com.

15. Campbell, NJ. Effective Management of The Post Dural Puncture Headache.

Anaesthesia Tutorial of The Week 181. 2010. Available at website :

http://www.totw.anaesthesiologists.org

16. Tuominen, M. Bupivacaine Spinal Anesthesia. Acta Anesthesiology Scand.

Vol 35:1-10.

17. Veering, B. Local Anesthesics. In Regional Anaesthesia and Analgesia.

Philadelphia. WB Saunders company. 1996. Pages 188-197.

18. Stamtiou, G. The Effect of Hyperbaric Versus Isobaric Spanal Bupivacaine on

Sensory and Motor Blockade Post Operative Pain and Analgesic

Requiretments for Turp. Anesthesiology : 43-6

19. Srivastava U, Kumar A, Gandhi NK. Hyperbaric or Plain Bupivacaine

Combined with Fentanyl for Spinal Anesthesia During Caesarean Delivery.

Indian Journal of Anesthesiology. Vol 48 : 44-6

20. Setiawati, A. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. FKUI. Jakarta. 2005. Pages 67-

71.

21. Kusumawardhani, RR. Perbandingan Dosis Efedrin 0,1 mg/kgbb dengan 0,2

mg/kgbb untuk Mencegah Hipotensi Akibat Spinal Anestesi. Skripsi. Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2009.

22. Lamanepa, Maria EL. Perbandingan Profil Lipid dan Perkembangan Lesi

Aterosklerosis pada Tikus Wistar yang Diberi Diet Perasan Pare dengan Diet

29

Perasan Pera dan Statin. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro.

Semarang. 2005.

23. Anonymous. Obat Analgetik Antipiretik. 2006. Available at website :

http://www.medicastore.com

24. Harsoor, Vikram. Spinal Anaesthesia with Low Dose Bupivacaine with

Fentanyl for Caesarean Section. SAARC Journal of Anaethesia. Vol 12 : 142-

145. 2008. Available at website : http://www.saarcaa.com

25. Bogra, Arora, Srivastava. Synergistic Effect of Intrathecal Fentanyl and

Bupivacaine in Spinal Anaesthesia for Cesarean Section. BioMed Central

Journal. Vol 5. 2005. Available at website : http://www.biomedcentral.com\

30