anestesi regional

38
Presentasi Kasus PENATALAKSANAAN ANESTESI REGIONAL PADA PRIA 27 TAHUN DENGAN HIDRONEFROSIS GRADE I ET CAUSA URETEROLITHIASIS DEXTRA 1/3 DISTAL Disusun Oleh : SHAUMY SARIBANON G9911112129 Pembimbing: dr. RTh. Supraptomo, Sp.An

Upload: shaumy-saribanon

Post on 05-Dec-2014

152 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

laporan kasus

TRANSCRIPT

Page 1: Anestesi Regional

Presentasi Kasus

PENATALAKSANAAN ANESTESI REGIONAL PADA PRIA 27

TAHUN DENGAN HIDRONEFROSIS GRADE I ET CAUSA

URETEROLITHIASIS DEXTRA 1/3 DISTAL

Disusun Oleh :

SHAUMY SARIBANONG9911112129

Pembimbing:dr. RTh. Supraptomo, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK LAB/UPF ANESTESIOLOGI

FK UNS/RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2012

Page 2: Anestesi Regional

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga presentasi kasus

dengan judul Penatalaksanaan Anestesi Regional Pada Pria 27 Tahun dengan

Ureterolithiasi Dextra 1/3 Distal dapat diselesaikan.

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam

mengikuti kepaniteraan klinik di Unit Anestesi dan Reanimasi di FK UNS /

RSUD dr. Moewardi Surakarta.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dr.

Marthunus Judin, SpAn, selaku Kepala Bagian Anestesiologi dan Reanimasi

FK UNS / RSUD dr. Moewardi Surakarta, dr. R.T.H. Supraptomo, Sp.An

selaku pembimbing presentasi kasus ini, dan seluruh staf ahli anestesi yang

saya hormati.

Saran dan kritikan kami harapkan demi perbaikan laporan ini. Akhirnya

penyusun berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan

semua pihak yang berkepentingan.

Surakarta, 16 Mei 2012

Penyusun

ii

Page 3: Anestesi Regional

DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. i

Kata Pengantar.................................................................................................. ii

Daftar Isi........................................................................................................... iii

Bab I. Pendahuluan........................................................................................... 1

Bab II. Tinjauan Pustaka................................................................................... 2

Bab III. Laporan Kasus..................................................................................... 13

Bab IV. Pembahasan......................................................................................... 18

Bab V. Penutup................................................................................................ 20

Daftar Pustaka................................................................................................... 21

iii

Page 4: Anestesi Regional

BAB I

PENDAHULUAN

Tugas dokter yang utama adalah mempertahankan hidup dan mengurangi

penderitaan pasiennya. Anestesi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran sangat

berperan dalam mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena dapat

mengurangi nyeri dan memberikan bantuan hidup. Anestesi adalah cabang ilmu

kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi,

penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian

bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan

penanggulangan nyeri menahun (Muhardi, 1989).

Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi

lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal

subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh

penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai

setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural.

Urologi meliputi ginjal, ureter, uretra, buli-buli, prostat. Operasi pada

lower abdominalis termasuk bedah urologi sering menggunakan anestesi regional

baik spinal maupun epidural. Tidak menutup kemungkinan juga menggunakan

anestesi umum bila terdapat indikasi tertentu (Triyono et al., 2008). Ureter

merupakan struktur retroperitoneal dan mempunyai inervasi simpatik dan

nociceptive projection ke saraf spinal yang nyaris sama dengan ginjal. Segmen

spinal ini juga menyediakan inervasi somatic ke daerah lumbal, flank, area

ilioinguinal, dan scrotum atau labia. Nyeri dari ginjal dan ureter berasal dari area

itu. Saraf parasimpatik dari S2-4 saraf spinal mempersarafi ureter (Ansel and Gee,

1990).

Ureterolithiasis adalah di dalam ureter. Penyebab pembentukan batu

meliputi idiopatik, gangguan aliran kemih, gangguan metabolisme, infeksi saluran

kemih oleh mikroorganisme berdaya membuat urease, dehidrasi, benda asing,

jaringan mati dan multifaktor. Terapi yang diberikan dapat berupa terapi

konservatif dan terapi intervensi.

1

Page 5: Anestesi Regional

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERSIAPAN PRA ANESTESI

Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan

pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk

keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:

1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai

dengan fisik dan kehendak pasien.

3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society

Anesthesiology)(Muhardi, 1989):

a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa

kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

b. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan

sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis.

Angka mortalitas 16%.

c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas

harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

d. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam

jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi

organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.

e. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan

operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam

tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat

(Muhardi, 1989).

B. PREMEDIKASI ANESTESI

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun

tujuan dari premedikasi antara lain (Muhardi, 1989):

1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

2

Page 6: Anestesi Regional

3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

4. Memberikan analgesia, misal pethidin

5. Mencegah muntah, misal : droperidol, metoklopropamid

6. Memperlancar induksi, misal : pethidin

7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.

9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin

C. ANESTESI SPINAL

Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan

obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga

impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik

dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar.

Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila

kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah

antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau

L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).

Indikasi : anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi

abdomen bagian bawah, perineum dan kaki. Anestesi ini memberi relaksasi yang

baik, tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila

digunakan obat lain misalnya bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama

operasi dapat diperpanjang sampai 2-3 jam.

Kontra indikasi : pasien dengan hipovolemia, anemia berat, penyakit

jantung, kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial yang

meninggi.

1. Untuk tujuan klinik, pembagian tingkat anestesi spinal adalah sebagai

berikut:

a. Sadle back anestesi, yang terkena pengaruhnya adalah daerah lumbal

bawah dan segmen sakrum.

b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah

umbilikus / Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan

sakral.

3

Page 7: Anestesi Regional

c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk

thoraks bawah, lumbal dan sakral.

d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk

daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.

e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih

tinggi.

2. Teknik anestesi :

a. Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik dan

berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya sementara.

b. Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi

obat anestesi lokal.

c. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil

lumbal pungsi, tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah

untuk pungsi. Asisten harus membantu memfleksikan posisi penderita.

d. Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka

kanan kiri akan memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5.

e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis.

f. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.

g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai

sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan

jarum lumbal no. 22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada bidang median

dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial

pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal

akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang terakhir

ditembus adalah duramater subarachnoid.

h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya

disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.

Cabut jarum, tutup luka dengan kasa steril.

i. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika terjadi

hipotensi diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5 mg, infus 500-1000

ml NaCl atau hemacel cukup untuk memperbaiki tekanan darah.

4

Page 8: Anestesi Regional

3. Obat yang dipakai untuk kasus ini adalah :

a. Bupivakain

Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali

lebih kuat dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama

digunakan untuk anestesi daerah luas (larutan 0,25%-0,5%)

dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000, derajat relaksasinya terhadap

otot tergantung terhadap kadarnya. Presentase pengikatannya sebesar

82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini dimetabolisasi menjadi

pipekoloksilidin (PPX). Ekskresinya melalui kemih 5% dalam keadaan

utuh , sebagian kecil sebagai PPX, dan sisanya metabolit-metabolit

lain. Plasma t1/2 1,5-5,5 jam.

Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37oC adalah

1,003-1,008. Anestesi lokal dengan berat jenis yang sama dengan CSS

disebut isobarik sedangkan yang lebih berat dari CSS adalah

hiperbarik. Anestesi lokal yang sering digunakan adalah jenis

hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur anestesi lokal dengan

dekstrosa.

Anestesi Lokal Berat Jenis Sifat Dosis

Bupivakain (decain)

0,5% dalam air 1,005 Isobarik 5-20 mg (1-4 mL)

0,5% dalam dekstrosa 8,25% 1, 027 Hiperbarik 5-15 mg (1-3mL)

b. Ketorolac

Ketorolac tromethamine merupakan suatu senyawa anti-

inflamasi nonsteroid (AINS) dengan aktivitas sebagai analgesik non-

narkotik. Ketorolac mampu mengatasi nyeri ringan sampai berat pada

kasus-kasus emergensi, nyeri muskuloskeletal, nyeri pasca operasi

minor atau mayor, kolik ginjal dan nyeri kanker, baik pada orang

dewasa maupun anak-anak. Ketorolac memiliki efikasi analgesik yang

setara dengan  morfin atau pethidin. Mula kerja efek analgesik

5

Page 9: Anestesi Regional

ketorolac sedikit lebih lambat, tetapi memiliki masa kerja yang lebih

panjang dibanding dengan opioid.

Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume

distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dimetabolisme di hepar

dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-hidroksi) dieksresikan

melalui ginjal dan ditemukan di urin (rata-rata 91,4%), sedangkan

sisanya (rata-rata 6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac

secara parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien.

Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek

terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah.

Durasi total ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac ampul

ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus intravena.

Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik.

Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal.

Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM

serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam

1 hingga 2 jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam.

Dosis sebaiknya disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respon

pasien.

c. Metoclopramid

Metoclopramide adalah antagonis dopamine yang menstimulasi

motilitas gastrointestinal bagian atas, meningkatkan tonus spingter

gastroesofagus, dan relaksasi pylorus dan duodenum. Selain itu juga

sebagai antiemetik. Metoklopramid mempercepat pengosongan

lambung tapi belum diketahui efeknya pada sekresi asam dan pH

cairan lambung. Dapat diberikan secara oral atau parenteral. Dosis

parenteral 5-20 mg biasanya diberikan 15-30 menit sebelum induksi.

Dosis per oral 10 mg memiliki onset 30-60 menit. T1/2 metoklopramid

kira-kira 2-4 jam.

Penggunaan sebagai gastrokinetik adalah pada pasien-pasien

yang jumlah cairan gasternya besar seperti pasien persalinan, pasien

yang dijadwalkan operasi emergensi dan baru saja makan, obesitas,

6

Page 10: Anestesi Regional

pasien trauma, rawat jalan, dan pasien DM yang akan dilakukan

gastroparesis sekunder.

Efek metoklopramid pada saluran cerna bagian atas bisa

dihalangi oleh pemberian atropin atau sebelumnya disuntikkan opioid.

Mungkin juga tidak efektif setelah pemberian natrium sulfat.

Metoklopramid terutama akan efektif mengurangi risio terjadinya

antisialogogue aspirasi paru bila dikombinasikan deng H2 reseptor

antagonis (seperti ranitidin) sebelum pembedahan elektif.

4. Keuntungan dan kerugian anestesi spinal :

a. Keuntungan

1) Respirasi spontan

2) Lebih murah

3) Ideal untuk pasien kondisi fit

4) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru pada

pasien dengan perut penuh

5) Tidak memerlukan intubasi

6) Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal

7) Fungsi usus cepat kembali

8) Tidak ada bahaya ledakan

9) Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan

b. Kerugian

1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general sistem

2) Menyebabkan post operatif headache.

5. Komplikasi tindakan anestesi spinal

a. Hipotensi berat

Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa

dicegah dengan pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml

sebelum tindakan.

b. Bradikardi

Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat

blok sampai T-2.

c. Hipoventilasi

7

Page 11: Anestesi Regional

Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali

nafas.

d. Trauma pembuluh darah

e. Trauma saraf

f. Mual-muntah

g. Gangguan pendengaran

h. Blok spinal tinggi atau spinal total

D. TERAPI CAIRAN

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus

mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan

perioperatif bertujuan untuk :

1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama

operasi.

2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang

diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :

1. Pra operasi

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,

penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti

pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan

cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap

kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.

2. Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan

cairan pada dewasa untuk operasi :

Ringan = 4 ml / kgBB/jam

Sedang = 6 ml / kgBB/jam

Berat = 8 ml / kgBB/jam

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang

dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak

3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 %

8

Page 12: Anestesi Regional

maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan

dosis 1-2 kali darah yang hilang.

3. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit

cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

Kebutuhan cairan dan elektrolit pada dewasa:10

a. Air : 30 – 40 ml/kg BB/hari

b. Na : 1 – 2 mEq/kgBB/hari

c. K : 1 mEq/kgBB/hari.

Kebutuhan kalori rata – rata/ kgBB orang dewasa, dipengaruhi oleh

faktor trauma atau stress (Prawirohardjo, 2007).

E. PEMULIHAN

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan

anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room

yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih

sadar menjadi batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau

masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca

operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena

operasi atau pengaruh anestesinya.

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan

perlu dilakukan skoring tentang keadaan pasien setelah anestesi dan

pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.

BROMAGE SCORING SYSTEM

Kriteria Skor

Gerakan penuh dari tungkai 0

Tak mampu ekstensi tungkai 1

Tak mampu fleksi lutut 2

Tak mampu fleksi pergelangan kaki

3

9

Page 13: Anestesi Regional

Bromage skor< 2 boleh pindah ke ruang perawatan.

F. ANESTESI DALAM BEDAH UROLOGI

Anestesi dalam bedah urologi merupakan suatu teknik anestesi yang

digunakan pada operasi urologi guna menghasilkan efek sedasi, analgetik dan

relaksasi pada saat berlangsungnya operasi. Bedah urologi yang biasanya

dilakukan seperti nephrotectomi, vesikolithotomi, nephrolithotomi,

prostaktektomi, ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy), TUVP

(Transurethral Vaporization of the Prostat). Penggunaan obat anestesi untuk

setiap pembedahan urologi tentunya berbeda-beda. Pada pasien dengan

kelainan ginjal yang berat, pemberian dosis obat anestesi harus dikurangi

sebab fungsi ekskresi ginjal menurun (Monk and Craig, 2001).

G. URETEROLITHIASIS

Batu ureter pada umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam sistim

kalik ginjal, yang turun ke ureter. Terdapat tiga penyempitan sepanjang

ureter yang biasanya menjadi tempat berhentinya batu yang turun dari kalik

yaitu ureteropelvic junction (UPJ), persilangan ureter dengan vasa iliaka, dan

muaraureter di dinding buli.

Komposisi batu ureter sama dengan komposisi batu saluran kencing

padaumumnya yaitu sebagian besar terdiri dari garam kalsium, seperti kalsium

oksalatmonohidrat dan kalsium oksalat dihidrat. Sedang sebagian kecil terdiri

dari batuasam urat, batu struvit dan batu sistin.

Keluhan yang disampaikan oleh pasien, tergantung pada posisi

batu,ukuran batu dan penyulit yang telah terjadi. Keluhan yang paling

dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang, baik berupa nyeri kolik maupun bukan

kolik. Nyeri kolik disebabkan oleh adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem

kalisesmeningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih.

Peningkatan peristaltik menyebabkan tekanan intraluminal meningkat

sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi

nyeri. Sedangkan nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal

10

Page 14: Anestesi Regional

karena terjadi hidronefrosis atauinfeksi pada ginjal akibat stasis urine

(Samsuhidrajat, De jong, 2004; Purnomo, 2003; Sabiston, 1997).

 Hematuria sering dikeluhkan oleh pasien akibat trauma pada

mukosasaluran kemih karena batu. Kadang hematuria didapatkan dari

pemeriksaanurinalisis berupa hematuria mikroskopik. Jika didapatkan demam,

harus dicurigaisuatu urosepsis. Pada pemeriksaan fisis, mungkin didapatkan

nyeri ketok pada daerahkosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi yang sakit akibat

hidronefrosis, terlihattanda-tanda gagal ginjal, dan adanya retensi urine. Pada

pemeriksaan sedimen urine, menunjukkan adanya leukosituria,hematuria dan

dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urinemungkin

menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea (Purnomo, 2003).

H. HIDRONEFROSIS

Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau

kedua ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan

urin mengalir balik sehingga atekanan di ginjal meningkat (Smeltzer dan Bare,

2002). Apabila obstruksi ini terjadi di uretra atau kandung kemih, tekanan

balik akan mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu

ureter akibat adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.

Apapun penyebab dari hidronefrosis, disebabkan adanya obstruksi

baik parsial ataupun intermitten mengakibatkan terjadinya akumulasi urin di

piala ginjal. Sehingga menyebabkan disertasi piala dan kolik ginjal. Pada saat

ini atrofi ginjal terjadi ketika salah satu ginjal sedang mengalami kerusakan

bertahap maka ginjal yang lain akan membesar secara bertahap

(hipertrofikompensatori), akibatnya fungsi renal terganggu (Smeltzer dan

Bare, 2002)

I. URETERORENOSKOPI

Penemuan ureteroskopi pada tahun 1980-an telah mengubah secara

dramatis manajemen batu saluran kemih. Ureteroskopi rigid digunakan

bersama dengan litotripsi ultrasonic, litotripsi elektrohidrolik, litotripsi laser,

dan litotripsi pneumatik agar memberikan hasil lebih baik. Pengangkatan batu

juga dapat dilakukan dengan ekstraksi keranjang di bawah pengamatan

langsung dengan fluoroskopi. Perkembangan dalam bidang serat optik dan

11

Page 15: Anestesi Regional

sistem irigasi menghasilkan alat baru yaitu uretroskop semirigid yang lebih

kecil (6,9 sampi 8,5 F). penemuan miniskop semirigis dan uteroskop fleksibel

membuat kita dapat mencapai ureter atas dan sistem pengumpul intrarenal

secara lebih aman. Namun, keterbatasan dari alat semirigid dan fleksibel ini

adalah sempitnya saluran untuk bekerja. Saar ini, pilihan alat tergantung lokasi

batu, komposisi batu dan pengalaman klinikus, serta ketersediaan alat.

J. DJ STENT

Dj stent merupakan singkatan dari double J stent. Alat ini sering

digunakan urolog dengan bentuk seperti 2 buah huruf J. Alat ini dipasang di

ureter, satu ekornya berada di sistem pelvikokaliks ginjal dan satu lagi di

kandung kemih.

Fungsi dari benda ini adalah untuk mempermudah aliran kencing dari

ginjal ke kandung kencing, juga memudahkan terbawanya serpihan batu

saluran kencing. Ketika ujung DJ stent berada di sistema pelvikokaliks  maka

peristaltik ureter terhenti sehingga seluruh ureter dilatasi. (Sumber peristaltik

berada di kaliks minoris ginjal). Urine dari ginjal mengalir di dalam lubang DJ

stent dan juga antara DJ stent dengan ureter. DJ stent dipasang ketika (indikasi

pemasangan DJ stent):

1. menyambung ureter yang terputus.

2. jika saat tindakan URS lapisan dalam ureter terluka.

3. setelah operasi URS batu ureter distal, karena dikhawatirkan muara ureter

bengkak sehingga urine tidak dapat keluar.

4. stenosis atau penyempitan ureter. DJ stent berfungsi agar setelah dipasang

penyempitan tersebut menjadi longgar.

5. setelah URS dengan batu ureter tertanam, sehingga saat selesai URS

lapisan dalam ureter kurang baik.

6. operasi batu ginjal yang jumlahnya banyak dan terdapat kemungkinan batu

sisa. Jika tidak dipasang dapat terjadi bocor urine berkepanjangan.

7. batu ginjal yang besar dan direncanakan ESWL. Seandainya tidak

dipasang maka serpihan batu dapat menimbulkan rasa nyeri.

8. untuk mengamankan saluran kencing pada pasien kanker cervix.

12

Page 16: Anestesi Regional

9. untuk mengamankan ginjal saat kedua ginjal/ureter tersumbat dan baru

dapat diterapi pada 1 sisi saja.  Maka sisi yang lain dipasang DJ stent.

10. pada pasien gagal ginjal karena sumbatan kencing, (jika tidak dapat

dilakukan nefrostomi karena hidronefrosis kecil).

13

Page 17: Anestesi Regional

BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn A.M.

Umur : 27 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

No RM : 01087623

Diagnosis pre operatif : Ureterolithiasis Dextra 1/3 Distal, Hidronefrosis

grade I dextra

Macam Operasi : Ureterorenoskopi (URS) dan DJ stent

Macam Anestesi : Anestesi spinal

Tanggal Masuk : 7 Mei 2012 jam 10.23

Tanggal Operasi : 10 Mei 2012 jam 10.35

B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI

1. Anamnesa

a. Keluhan utama : Nyeri pinggang kanan bawah

b. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengeluh nyeri pinggang < 1 tahun kemudian menjalar

ke perut seperti kram. ± 1 hari SMRS pasien kencing keluar darah,

sebelumnya pasien sudah pernah kencing darah 1 bulan yang lalu dan

pernah diobati serta disarankan di laser tetapi pasien belum melakukan

dan diberi obat kemudian hilang nyerinya. ± 1 hari SMRS nyeri

pinggang kambuh lagi kemudian ke RS terdekat dan dirujuk ke RSUD

Moewardi.

c. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat asma (–)

Riwayat alergi (–)

Riwayat hipertensi atau penyakit jantung (–)

Riwayat DM (–)

Riwayat operasi sebelumnya (-)

14

Page 18: Anestesi Regional

2. Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum : baik, CM, gizi kesan cukup, GCS E4V5M6

Vital sign : T : 130/80 mmHg

N : 65 x/menit

Rr : 16 x/menit

t : 36,70C

BB : 55 kg

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor

Mulut : malampati I

Jalan nafas : tersumbat (-), ompong (-), gigi palsu (-), oedem (-),

kekakuan sendi rahang (-), kaku leher (-)

Thorax : retraksi (-)

Cor : BJ I – II intensitas normal, reguler bising (-)

Pulmo : Suara dasar vesikuler : kanan/kiri = +/+

Suara tambahan whezing kanan/kiri = -/-

RBK kanan/kiri = -/-

RBH kanan/kiri = -/-

Abdomen :

I : datar, distended (-), massa (-), skar (-), caput medusa (-)

A : Bising usus (+) normal

P : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba

P : Timpani pada 4 kuadran

Ekstremitas : Oedem akral dingin

3. Pemeriksaan penunjang :

a. Laboratorium

Hemoglobin

Hct

Eritrosit

Leukosit

Trombosit

Gol darah

:

:

:

:

:

:

14,3 g/dl

43 %

4,54.106 ul

7,5.103 ul

197.103 ul

O

GDS

Ureum

Creatinin

Albumin

Natrium

Kalium

:

:

:

:

:

:

76 mg/dl

24 mg/dl

1,1 mg/dl

3,5 g/dl

144 mmol/L

3,8 mmol/L

15

Page 19: Anestesi Regional

PT

APTT

:

:

12,4 detik

30,5 detik

Clorida

HbsAg

:

:

115 mmol/L

Non reaktif

b. Foto Polos

Tampak opasitas pada paravertebra kanan setinggi regio sacrum

c. Pielografi Intravena (IVP)

Ginjal kanan : Bentuk, ukuran dan axis kesan normal, fungsi ekskresi

baik, siste pielokalis sedikit melebar dengan bentuk kaliks cupping-

flattening.

Ginjal kiri : Bentuk, ukuran dan axis kesan normal, fungsi ekskresi

baik, sistem pielokalis tak melebar.

Ureter kanan : sedikit melebar dengan tanda-tanda bendungan (filling

defect) pada paravertebra kanan setinggi regio sacrum.

Vesica urinaria : Dinding rata, tak tampak indentasi, filling defect

maupun additionan shadow

Kesan : Cenderung gambaran hidronefrosis grade 1 dan mild

hidroureter karena obstruksi di bagian distalnya ec ureterolithiasis

distal ureter setinggi paravertebra kanan setinggi regio sacrum. Tak

tampak sumbatan maupun bendungan pada traktus urinarius kiri.

4. Kesimpulan :

Kelainan sistemik : (–)

Kegawatan : (-)

Status fisik ASA : I

C. RENCANA ANESTESI

1. Persiapan Operasi

a. Persetujuan operasi tertulis (+)

b. Puasa > 6 jam

c. Daftar OK IBS

d. Dulcolax tab II

e. Infus RL 20 tetes /menit

f. Injeksi Ceftriaxon 1 amp

2. Jenis Anestesi : Regional Anestesi

16

Page 20: Anestesi Regional

3. Teknik Anestesi : intradural spinal anestesi

4. Analgesi spinal : bupivakain 20 mg

5. Maintenance : O2 2 lt/menit

6. Monitoring : tanda vital selama operasi tiap 5 menit, kedalaman

anestesi, cairan, perdarahan.

7. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan

D. TATALAKSANA ANESTESI

1. Di ruang persiapan

a. Cek persetujuan operasi

b. Periksa tanda vital dan keadaan umum

c. Lama puasa > 6 jam.

d. Cek obat-obat dan alat anestesi.

e. Infus RL 40 tetes/menit.

f. Posisi terlentang.

g. Pakaian pasien diganti pakaian operasi.

2. Di ruang operasi

a. Jam 10.35 : pasien ditidurkan di ruang operasi dengan posisi

telentang, dilakukan pemasangan, manset, monitor, infus RL 500 cc.

b. Jam 10.40 : Pasien duduk ditopang oleh seorang asisten, diberikan

suntikan bupivakain 20 mg.

c. Jam 10.50 : Operasi dimulai dan pasien diberikan metoclopramide 10

mg dan ketorolac 30 mg.

d. Jam 11.10 : Pasien dipasang catheter no. 16

e. Jam 11.15 : Operasi selesai

Monitoring Selama Anestesi

Jam Tensi Nadi Sa02

10.35 126/85 62 10010.40 119/86 65 10010.45 122/72 63 10010.50 113/75 60 10010.55 112/74 60 10011.00 112/75 64 10011.05 105/70 61 10011.10 113/71 63 10011.15 109/75 62 100

17

Page 21: Anestesi Regional

3. Di ruang pemulihan

a. Jam 11.25 : pasien dipindahkan ke ruang pulih sadar dalam keadaan

sadar, posisi terlentang, diberikan O2 3 liter/menit, dan tanda-tanda

vital dimonitoring tiap 5 menit.

b. Jam 12.00 : pasien stabil baik, dipindahkan ke Bangsal Mawar 3.

Monitoring Pasca Anestesi

Jam Tensi Nadi RR Keterangan11.25 120/70 68 20 O2 3 L/menit, monitoring tanda vital11.30 120/70 68 2011.35 120/70 64 2011.40 120/70 64 2011.45 120/70 68 2011.50 120/80 64 2011.55 120/80 68 20 Bromage score < 212.00 120/70 64 20 Pasien dipindah ke Bangsal

4. Instruksi Pasca Anestesi

a. Rawat pasien posisi supine, oksigen 3 L/mnt, kontrol tanda vital.

Bila tensi turun dibawah 90/60mmHg, berikan ephedrin 10 mg.

Bila muntah berikan injeksi ondansetron 4 mg IV. Bila kesakitan

berikan injeksi ketorolac 30 mg IV.

b. Lain-lain

- Antibiotik sesuai operator

- Post op cek DR3 dan elektrolit, koreksi jika perlu

- Monitor tanda vital, kontrol balance cairan

- Tirah baring 24 jam post operasi

BAB IV

18

Page 22: Anestesi Regional

PEMBAHASAN

Pada pasien ini, dilakukan anestesi secara regional karena memiliki

keuntungan yaitu:

1. Bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil karena pasien dalam keadaan

sadar.

2. Relaksasi otot yang lebih baik.

3. Analgesi yang cukup kuat.

A. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH

1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.

2. Resiko kerusakan organ yang diakibatkan tindakan pembedahan.

Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan

teknik anestesi yang aman untuk operasi, juga perlu dipersiapkan darah

untuk mengatasi perdarahan.

B. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI

1. Premedikasi

Puasa pasien sudah mencapai 6 jam atau lebih.

2. Analgesi spinal

Pada kasus ini digunakan bupivakain 20 mg, karena mula kerjanya

cepat, lebih kuat, dan lebih lama dibandingkan lidokain.

3. Maintenance

Dipakai O2 3 liter/menit

Pada anestesi spinal komplikasi yang biasanya sering terjadi adalah

hipotensi. Hipotensi dapat terjadi pada sepertiga pasien yang menjalani

anestesi spinal. Hipotensi terjadi karena :

1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac out put.

2. Penurunan resistensi perifer.

Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 75 mmHg atau terdapat

gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi untuk

menghindari cedera ginjal, jantung dan otak, di antaranya dengan memberikan

oksigen dan menaikkan kecepatan tetesan infus dan jika perlu diberikan

19

Page 23: Anestesi Regional

vasokonstriktor seperti pada pasien ini diberikan efedrin 10 μg yang telah

diencerkan jika tekanan sistolik dibawah 100 mmHg.

Penurunan venous return juga dapat menyebabkan bradikardi. Untuk

mengatasi bradikardi yang terjadi dapat diberikan sulfas atropin 0,25 mg IV.

Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot

pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami

kesulitan bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen

yang adekuat dan pengawasan terhadap depresi pernafasan yang mungkin

terjadi.

Akan tetapi pada kasus ini tidak terjadi hambatan yang berarti baik

dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.

20

Page 24: Anestesi Regional

BAB V

PENUTUP

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi

yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui

kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat

mengantisipasinya.

Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi regional pada

tindakan ureterorenoskopi dan DJ stent operasi pada penderita laki-laki, usia 27

tahun, status fisik ASA I dengan diagnosis hidronefrosis grade I dextra et causa

ureterolithiasis 1/3 distal dextra dengan menggunakan teknik anestesi spinal.

Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan

yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya

komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.

Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang

berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang

pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.

Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung

dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.

21

Page 25: Anestesi Regional

DAFTAR PUSTAKA

Ansell J.S., Gee W.F. 1990. Disease of the Kidney and Ureter. In Bonica J.J. (ed).

The Management of Pain. Philadelphia: Lea & Febiger. p: 1233.

Ery L. 1998. Belajar Ilmu Anestesi. Semarang: FK-UNDIP.

Monk, Terri G. and Craig Weldon. 2001. The Renal System and Anesthesia for

Urologic Surgery Edition 4. Lippincoat Williams & Wilkin Publishers. p:

42.

Muhardi, M., et al. 1989. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anastesiologi dan Terapi

Intensif FKUI.

Purnomo B. 2003. Batu Ginjal dan Ureter Dalam Dasar-Dasar Urologi.

Yogyakarata: Sagung Seto. p: 57-68.

Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan, edisi ke 3. Jakarta: Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sabiston C. D. Jr, MD. 1997. Batu Ginjal dan Ureter . Buku Ajar Bedah 2. Jakarta: EGC. p:

472 ± 483.

Samsuhidrajat R., De JongW. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.

p: 756-764.

Triyono, Bambang. 2008. Protap. http://alamanda.blogdetik.com/index.php/2008/07/06/prosedur-tetap-anestesi/.(9 Mei 2012)

22