anestesi regional
DESCRIPTION
laporan kasusTRANSCRIPT
Presentasi Kasus
PENATALAKSANAAN ANESTESI REGIONAL PADA PRIA 27
TAHUN DENGAN HIDRONEFROSIS GRADE I ET CAUSA
URETEROLITHIASIS DEXTRA 1/3 DISTAL
Disusun Oleh :
SHAUMY SARIBANONG9911112129
Pembimbing:dr. RTh. Supraptomo, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK LAB/UPF ANESTESIOLOGI
FK UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga presentasi kasus
dengan judul Penatalaksanaan Anestesi Regional Pada Pria 27 Tahun dengan
Ureterolithiasi Dextra 1/3 Distal dapat diselesaikan.
Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam
mengikuti kepaniteraan klinik di Unit Anestesi dan Reanimasi di FK UNS /
RSUD dr. Moewardi Surakarta.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dr.
Marthunus Judin, SpAn, selaku Kepala Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
FK UNS / RSUD dr. Moewardi Surakarta, dr. R.T.H. Supraptomo, Sp.An
selaku pembimbing presentasi kasus ini, dan seluruh staf ahli anestesi yang
saya hormati.
Saran dan kritikan kami harapkan demi perbaikan laporan ini. Akhirnya
penyusun berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan
semua pihak yang berkepentingan.
Surakarta, 16 Mei 2012
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. i
Kata Pengantar.................................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................... iii
Bab I. Pendahuluan........................................................................................... 1
Bab II. Tinjauan Pustaka................................................................................... 2
Bab III. Laporan Kasus..................................................................................... 13
Bab IV. Pembahasan......................................................................................... 18
Bab V. Penutup................................................................................................ 20
Daftar Pustaka................................................................................................... 21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Tugas dokter yang utama adalah mempertahankan hidup dan mengurangi
penderitaan pasiennya. Anestesi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran sangat
berperan dalam mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena dapat
mengurangi nyeri dan memberikan bantuan hidup. Anestesi adalah cabang ilmu
kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi,
penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian
bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan
penanggulangan nyeri menahun (Muhardi, 1989).
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi
lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal
subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh
penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai
setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural.
Urologi meliputi ginjal, ureter, uretra, buli-buli, prostat. Operasi pada
lower abdominalis termasuk bedah urologi sering menggunakan anestesi regional
baik spinal maupun epidural. Tidak menutup kemungkinan juga menggunakan
anestesi umum bila terdapat indikasi tertentu (Triyono et al., 2008). Ureter
merupakan struktur retroperitoneal dan mempunyai inervasi simpatik dan
nociceptive projection ke saraf spinal yang nyaris sama dengan ginjal. Segmen
spinal ini juga menyediakan inervasi somatic ke daerah lumbal, flank, area
ilioinguinal, dan scrotum atau labia. Nyeri dari ginjal dan ureter berasal dari area
itu. Saraf parasimpatik dari S2-4 saraf spinal mempersarafi ureter (Ansel and Gee,
1990).
Ureterolithiasis adalah di dalam ureter. Penyebab pembentukan batu
meliputi idiopatik, gangguan aliran kemih, gangguan metabolisme, infeksi saluran
kemih oleh mikroorganisme berdaya membuat urease, dehidrasi, benda asing,
jaringan mati dan multifaktor. Terapi yang diberikan dapat berupa terapi
konservatif dan terapi intervensi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERSIAPAN PRA ANESTESI
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology)(Muhardi, 1989):
a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis.
Angka mortalitas 16%.
c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
d. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi
organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
e. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam
tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat
(Muhardi, 1989).
B. PREMEDIKASI ANESTESI
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain (Muhardi, 1989):
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
2
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. Memberikan analgesia, misal pethidin
5. Mencegah muntah, misal : droperidol, metoklopropamid
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin
C. ANESTESI SPINAL
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan
obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga
impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik
dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah
antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau
L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Indikasi : anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah, perineum dan kaki. Anestesi ini memberi relaksasi yang
baik, tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila
digunakan obat lain misalnya bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama
operasi dapat diperpanjang sampai 2-3 jam.
Kontra indikasi : pasien dengan hipovolemia, anemia berat, penyakit
jantung, kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial yang
meninggi.
1. Untuk tujuan klinik, pembagian tingkat anestesi spinal adalah sebagai
berikut:
a. Sadle back anestesi, yang terkena pengaruhnya adalah daerah lumbal
bawah dan segmen sakrum.
b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah
umbilikus / Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan
sakral.
3
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk
thoraks bawah, lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk
daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih
tinggi.
2. Teknik anestesi :
a. Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik dan
berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya sementara.
b. Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi
obat anestesi lokal.
c. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil
lumbal pungsi, tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah
untuk pungsi. Asisten harus membantu memfleksikan posisi penderita.
d. Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka
kanan kiri akan memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5.
e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis.
f. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.
g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai
sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan
jarum lumbal no. 22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada bidang median
dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial
pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal
akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang terakhir
ditembus adalah duramater subarachnoid.
h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.
Cabut jarum, tutup luka dengan kasa steril.
i. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika terjadi
hipotensi diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5 mg, infus 500-1000
ml NaCl atau hemacel cukup untuk memperbaiki tekanan darah.
4
3. Obat yang dipakai untuk kasus ini adalah :
a. Bupivakain
Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali
lebih kuat dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama
digunakan untuk anestesi daerah luas (larutan 0,25%-0,5%)
dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000, derajat relaksasinya terhadap
otot tergantung terhadap kadarnya. Presentase pengikatannya sebesar
82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini dimetabolisasi menjadi
pipekoloksilidin (PPX). Ekskresinya melalui kemih 5% dalam keadaan
utuh , sebagian kecil sebagai PPX, dan sisanya metabolit-metabolit
lain. Plasma t1/2 1,5-5,5 jam.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37oC adalah
1,003-1,008. Anestesi lokal dengan berat jenis yang sama dengan CSS
disebut isobarik sedangkan yang lebih berat dari CSS adalah
hiperbarik. Anestesi lokal yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur anestesi lokal dengan
dekstrosa.
Anestesi Lokal Berat Jenis Sifat Dosis
Bupivakain (decain)
0,5% dalam air 1,005 Isobarik 5-20 mg (1-4 mL)
0,5% dalam dekstrosa 8,25% 1, 027 Hiperbarik 5-15 mg (1-3mL)
b. Ketorolac
Ketorolac tromethamine merupakan suatu senyawa anti-
inflamasi nonsteroid (AINS) dengan aktivitas sebagai analgesik non-
narkotik. Ketorolac mampu mengatasi nyeri ringan sampai berat pada
kasus-kasus emergensi, nyeri muskuloskeletal, nyeri pasca operasi
minor atau mayor, kolik ginjal dan nyeri kanker, baik pada orang
dewasa maupun anak-anak. Ketorolac memiliki efikasi analgesik yang
setara dengan morfin atau pethidin. Mula kerja efek analgesik
5
ketorolac sedikit lebih lambat, tetapi memiliki masa kerja yang lebih
panjang dibanding dengan opioid.
Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume
distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dimetabolisme di hepar
dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-hidroksi) dieksresikan
melalui ginjal dan ditemukan di urin (rata-rata 91,4%), sedangkan
sisanya (rata-rata 6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac
secara parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien.
Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek
terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah.
Durasi total ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac ampul
ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus intravena.
Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik.
Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal.
Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM
serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam
1 hingga 2 jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam.
Dosis sebaiknya disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respon
pasien.
c. Metoclopramid
Metoclopramide adalah antagonis dopamine yang menstimulasi
motilitas gastrointestinal bagian atas, meningkatkan tonus spingter
gastroesofagus, dan relaksasi pylorus dan duodenum. Selain itu juga
sebagai antiemetik. Metoklopramid mempercepat pengosongan
lambung tapi belum diketahui efeknya pada sekresi asam dan pH
cairan lambung. Dapat diberikan secara oral atau parenteral. Dosis
parenteral 5-20 mg biasanya diberikan 15-30 menit sebelum induksi.
Dosis per oral 10 mg memiliki onset 30-60 menit. T1/2 metoklopramid
kira-kira 2-4 jam.
Penggunaan sebagai gastrokinetik adalah pada pasien-pasien
yang jumlah cairan gasternya besar seperti pasien persalinan, pasien
yang dijadwalkan operasi emergensi dan baru saja makan, obesitas,
6
pasien trauma, rawat jalan, dan pasien DM yang akan dilakukan
gastroparesis sekunder.
Efek metoklopramid pada saluran cerna bagian atas bisa
dihalangi oleh pemberian atropin atau sebelumnya disuntikkan opioid.
Mungkin juga tidak efektif setelah pemberian natrium sulfat.
Metoklopramid terutama akan efektif mengurangi risio terjadinya
antisialogogue aspirasi paru bila dikombinasikan deng H2 reseptor
antagonis (seperti ranitidin) sebelum pembedahan elektif.
4. Keuntungan dan kerugian anestesi spinal :
a. Keuntungan
1) Respirasi spontan
2) Lebih murah
3) Ideal untuk pasien kondisi fit
4) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru pada
pasien dengan perut penuh
5) Tidak memerlukan intubasi
6) Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal
7) Fungsi usus cepat kembali
8) Tidak ada bahaya ledakan
9) Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan
b. Kerugian
1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general sistem
2) Menyebabkan post operatif headache.
5. Komplikasi tindakan anestesi spinal
a. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml
sebelum tindakan.
b. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat
blok sampai T-2.
c. Hipoventilasi
7
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas.
d. Trauma pembuluh darah
e. Trauma saraf
f. Mual-muntah
g. Gangguan pendengaran
h. Blok spinal tinggi atau spinal total
D. TERAPI CAIRAN
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk :
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap
kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml / kgBB/jam
Sedang = 6 ml / kgBB/jam
Berat = 8 ml / kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang
dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak
3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 %
8
maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan
dosis 1-2 kali darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
Kebutuhan cairan dan elektrolit pada dewasa:10
a. Air : 30 – 40 ml/kg BB/hari
b. Na : 1 – 2 mEq/kgBB/hari
c. K : 1 mEq/kgBB/hari.
Kebutuhan kalori rata – rata/ kgBB orang dewasa, dipengaruhi oleh
faktor trauma atau stress (Prawirohardjo, 2007).
E. PEMULIHAN
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih
sadar menjadi batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau
masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang keadaan pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.
BROMAGE SCORING SYSTEM
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki
3
9
Bromage skor< 2 boleh pindah ke ruang perawatan.
F. ANESTESI DALAM BEDAH UROLOGI
Anestesi dalam bedah urologi merupakan suatu teknik anestesi yang
digunakan pada operasi urologi guna menghasilkan efek sedasi, analgetik dan
relaksasi pada saat berlangsungnya operasi. Bedah urologi yang biasanya
dilakukan seperti nephrotectomi, vesikolithotomi, nephrolithotomi,
prostaktektomi, ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy), TUVP
(Transurethral Vaporization of the Prostat). Penggunaan obat anestesi untuk
setiap pembedahan urologi tentunya berbeda-beda. Pada pasien dengan
kelainan ginjal yang berat, pemberian dosis obat anestesi harus dikurangi
sebab fungsi ekskresi ginjal menurun (Monk and Craig, 2001).
G. URETEROLITHIASIS
Batu ureter pada umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam sistim
kalik ginjal, yang turun ke ureter. Terdapat tiga penyempitan sepanjang
ureter yang biasanya menjadi tempat berhentinya batu yang turun dari kalik
yaitu ureteropelvic junction (UPJ), persilangan ureter dengan vasa iliaka, dan
muaraureter di dinding buli.
Komposisi batu ureter sama dengan komposisi batu saluran kencing
padaumumnya yaitu sebagian besar terdiri dari garam kalsium, seperti kalsium
oksalatmonohidrat dan kalsium oksalat dihidrat. Sedang sebagian kecil terdiri
dari batuasam urat, batu struvit dan batu sistin.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien, tergantung pada posisi
batu,ukuran batu dan penyulit yang telah terjadi. Keluhan yang paling
dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang, baik berupa nyeri kolik maupun bukan
kolik. Nyeri kolik disebabkan oleh adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem
kalisesmeningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih.
Peningkatan peristaltik menyebabkan tekanan intraluminal meningkat
sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi
nyeri. Sedangkan nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal
10
karena terjadi hidronefrosis atauinfeksi pada ginjal akibat stasis urine
(Samsuhidrajat, De jong, 2004; Purnomo, 2003; Sabiston, 1997).
Hematuria sering dikeluhkan oleh pasien akibat trauma pada
mukosasaluran kemih karena batu. Kadang hematuria didapatkan dari
pemeriksaanurinalisis berupa hematuria mikroskopik. Jika didapatkan demam,
harus dicurigaisuatu urosepsis. Pada pemeriksaan fisis, mungkin didapatkan
nyeri ketok pada daerahkosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi yang sakit akibat
hidronefrosis, terlihattanda-tanda gagal ginjal, dan adanya retensi urine. Pada
pemeriksaan sedimen urine, menunjukkan adanya leukosituria,hematuria dan
dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urinemungkin
menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea (Purnomo, 2003).
H. HIDRONEFROSIS
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau
kedua ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan
urin mengalir balik sehingga atekanan di ginjal meningkat (Smeltzer dan Bare,
2002). Apabila obstruksi ini terjadi di uretra atau kandung kemih, tekanan
balik akan mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu
ureter akibat adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.
Apapun penyebab dari hidronefrosis, disebabkan adanya obstruksi
baik parsial ataupun intermitten mengakibatkan terjadinya akumulasi urin di
piala ginjal. Sehingga menyebabkan disertasi piala dan kolik ginjal. Pada saat
ini atrofi ginjal terjadi ketika salah satu ginjal sedang mengalami kerusakan
bertahap maka ginjal yang lain akan membesar secara bertahap
(hipertrofikompensatori), akibatnya fungsi renal terganggu (Smeltzer dan
Bare, 2002)
I. URETERORENOSKOPI
Penemuan ureteroskopi pada tahun 1980-an telah mengubah secara
dramatis manajemen batu saluran kemih. Ureteroskopi rigid digunakan
bersama dengan litotripsi ultrasonic, litotripsi elektrohidrolik, litotripsi laser,
dan litotripsi pneumatik agar memberikan hasil lebih baik. Pengangkatan batu
juga dapat dilakukan dengan ekstraksi keranjang di bawah pengamatan
langsung dengan fluoroskopi. Perkembangan dalam bidang serat optik dan
11
sistem irigasi menghasilkan alat baru yaitu uretroskop semirigid yang lebih
kecil (6,9 sampi 8,5 F). penemuan miniskop semirigis dan uteroskop fleksibel
membuat kita dapat mencapai ureter atas dan sistem pengumpul intrarenal
secara lebih aman. Namun, keterbatasan dari alat semirigid dan fleksibel ini
adalah sempitnya saluran untuk bekerja. Saar ini, pilihan alat tergantung lokasi
batu, komposisi batu dan pengalaman klinikus, serta ketersediaan alat.
J. DJ STENT
Dj stent merupakan singkatan dari double J stent. Alat ini sering
digunakan urolog dengan bentuk seperti 2 buah huruf J. Alat ini dipasang di
ureter, satu ekornya berada di sistem pelvikokaliks ginjal dan satu lagi di
kandung kemih.
Fungsi dari benda ini adalah untuk mempermudah aliran kencing dari
ginjal ke kandung kencing, juga memudahkan terbawanya serpihan batu
saluran kencing. Ketika ujung DJ stent berada di sistema pelvikokaliks maka
peristaltik ureter terhenti sehingga seluruh ureter dilatasi. (Sumber peristaltik
berada di kaliks minoris ginjal). Urine dari ginjal mengalir di dalam lubang DJ
stent dan juga antara DJ stent dengan ureter. DJ stent dipasang ketika (indikasi
pemasangan DJ stent):
1. menyambung ureter yang terputus.
2. jika saat tindakan URS lapisan dalam ureter terluka.
3. setelah operasi URS batu ureter distal, karena dikhawatirkan muara ureter
bengkak sehingga urine tidak dapat keluar.
4. stenosis atau penyempitan ureter. DJ stent berfungsi agar setelah dipasang
penyempitan tersebut menjadi longgar.
5. setelah URS dengan batu ureter tertanam, sehingga saat selesai URS
lapisan dalam ureter kurang baik.
6. operasi batu ginjal yang jumlahnya banyak dan terdapat kemungkinan batu
sisa. Jika tidak dipasang dapat terjadi bocor urine berkepanjangan.
7. batu ginjal yang besar dan direncanakan ESWL. Seandainya tidak
dipasang maka serpihan batu dapat menimbulkan rasa nyeri.
8. untuk mengamankan saluran kencing pada pasien kanker cervix.
12
9. untuk mengamankan ginjal saat kedua ginjal/ureter tersumbat dan baru
dapat diterapi pada 1 sisi saja. Maka sisi yang lain dipasang DJ stent.
10. pada pasien gagal ginjal karena sumbatan kencing, (jika tidak dapat
dilakukan nefrostomi karena hidronefrosis kecil).
13
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn A.M.
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No RM : 01087623
Diagnosis pre operatif : Ureterolithiasis Dextra 1/3 Distal, Hidronefrosis
grade I dextra
Macam Operasi : Ureterorenoskopi (URS) dan DJ stent
Macam Anestesi : Anestesi spinal
Tanggal Masuk : 7 Mei 2012 jam 10.23
Tanggal Operasi : 10 Mei 2012 jam 10.35
B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI
1. Anamnesa
a. Keluhan utama : Nyeri pinggang kanan bawah
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh nyeri pinggang < 1 tahun kemudian menjalar
ke perut seperti kram. ± 1 hari SMRS pasien kencing keluar darah,
sebelumnya pasien sudah pernah kencing darah 1 bulan yang lalu dan
pernah diobati serta disarankan di laser tetapi pasien belum melakukan
dan diberi obat kemudian hilang nyerinya. ± 1 hari SMRS nyeri
pinggang kambuh lagi kemudian ke RS terdekat dan dirujuk ke RSUD
Moewardi.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat asma (–)
Riwayat alergi (–)
Riwayat hipertensi atau penyakit jantung (–)
Riwayat DM (–)
Riwayat operasi sebelumnya (-)
14
2. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : baik, CM, gizi kesan cukup, GCS E4V5M6
Vital sign : T : 130/80 mmHg
N : 65 x/menit
Rr : 16 x/menit
t : 36,70C
BB : 55 kg
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
Mulut : malampati I
Jalan nafas : tersumbat (-), ompong (-), gigi palsu (-), oedem (-),
kekakuan sendi rahang (-), kaku leher (-)
Thorax : retraksi (-)
Cor : BJ I – II intensitas normal, reguler bising (-)
Pulmo : Suara dasar vesikuler : kanan/kiri = +/+
Suara tambahan whezing kanan/kiri = -/-
RBK kanan/kiri = -/-
RBH kanan/kiri = -/-
Abdomen :
I : datar, distended (-), massa (-), skar (-), caput medusa (-)
A : Bising usus (+) normal
P : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
P : Timpani pada 4 kuadran
Ekstremitas : Oedem akral dingin
3. Pemeriksaan penunjang :
a. Laboratorium
Hemoglobin
Hct
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Gol darah
:
:
:
:
:
:
14,3 g/dl
43 %
4,54.106 ul
7,5.103 ul
197.103 ul
O
GDS
Ureum
Creatinin
Albumin
Natrium
Kalium
:
:
:
:
:
:
76 mg/dl
24 mg/dl
1,1 mg/dl
3,5 g/dl
144 mmol/L
3,8 mmol/L
15
PT
APTT
:
:
12,4 detik
30,5 detik
Clorida
HbsAg
:
:
115 mmol/L
Non reaktif
b. Foto Polos
Tampak opasitas pada paravertebra kanan setinggi regio sacrum
c. Pielografi Intravena (IVP)
Ginjal kanan : Bentuk, ukuran dan axis kesan normal, fungsi ekskresi
baik, siste pielokalis sedikit melebar dengan bentuk kaliks cupping-
flattening.
Ginjal kiri : Bentuk, ukuran dan axis kesan normal, fungsi ekskresi
baik, sistem pielokalis tak melebar.
Ureter kanan : sedikit melebar dengan tanda-tanda bendungan (filling
defect) pada paravertebra kanan setinggi regio sacrum.
Vesica urinaria : Dinding rata, tak tampak indentasi, filling defect
maupun additionan shadow
Kesan : Cenderung gambaran hidronefrosis grade 1 dan mild
hidroureter karena obstruksi di bagian distalnya ec ureterolithiasis
distal ureter setinggi paravertebra kanan setinggi regio sacrum. Tak
tampak sumbatan maupun bendungan pada traktus urinarius kiri.
4. Kesimpulan :
Kelainan sistemik : (–)
Kegawatan : (-)
Status fisik ASA : I
C. RENCANA ANESTESI
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis (+)
b. Puasa > 6 jam
c. Daftar OK IBS
d. Dulcolax tab II
e. Infus RL 20 tetes /menit
f. Injeksi Ceftriaxon 1 amp
2. Jenis Anestesi : Regional Anestesi
16
3. Teknik Anestesi : intradural spinal anestesi
4. Analgesi spinal : bupivakain 20 mg
5. Maintenance : O2 2 lt/menit
6. Monitoring : tanda vital selama operasi tiap 5 menit, kedalaman
anestesi, cairan, perdarahan.
7. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan
D. TATALAKSANA ANESTESI
1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi
b. Periksa tanda vital dan keadaan umum
c. Lama puasa > 6 jam.
d. Cek obat-obat dan alat anestesi.
e. Infus RL 40 tetes/menit.
f. Posisi terlentang.
g. Pakaian pasien diganti pakaian operasi.
2. Di ruang operasi
a. Jam 10.35 : pasien ditidurkan di ruang operasi dengan posisi
telentang, dilakukan pemasangan, manset, monitor, infus RL 500 cc.
b. Jam 10.40 : Pasien duduk ditopang oleh seorang asisten, diberikan
suntikan bupivakain 20 mg.
c. Jam 10.50 : Operasi dimulai dan pasien diberikan metoclopramide 10
mg dan ketorolac 30 mg.
d. Jam 11.10 : Pasien dipasang catheter no. 16
e. Jam 11.15 : Operasi selesai
Monitoring Selama Anestesi
Jam Tensi Nadi Sa02
10.35 126/85 62 10010.40 119/86 65 10010.45 122/72 63 10010.50 113/75 60 10010.55 112/74 60 10011.00 112/75 64 10011.05 105/70 61 10011.10 113/71 63 10011.15 109/75 62 100
17
3. Di ruang pemulihan
a. Jam 11.25 : pasien dipindahkan ke ruang pulih sadar dalam keadaan
sadar, posisi terlentang, diberikan O2 3 liter/menit, dan tanda-tanda
vital dimonitoring tiap 5 menit.
b. Jam 12.00 : pasien stabil baik, dipindahkan ke Bangsal Mawar 3.
Monitoring Pasca Anestesi
Jam Tensi Nadi RR Keterangan11.25 120/70 68 20 O2 3 L/menit, monitoring tanda vital11.30 120/70 68 2011.35 120/70 64 2011.40 120/70 64 2011.45 120/70 68 2011.50 120/80 64 2011.55 120/80 68 20 Bromage score < 212.00 120/70 64 20 Pasien dipindah ke Bangsal
4. Instruksi Pasca Anestesi
a. Rawat pasien posisi supine, oksigen 3 L/mnt, kontrol tanda vital.
Bila tensi turun dibawah 90/60mmHg, berikan ephedrin 10 mg.
Bila muntah berikan injeksi ondansetron 4 mg IV. Bila kesakitan
berikan injeksi ketorolac 30 mg IV.
b. Lain-lain
- Antibiotik sesuai operator
- Post op cek DR3 dan elektrolit, koreksi jika perlu
- Monitor tanda vital, kontrol balance cairan
- Tirah baring 24 jam post operasi
BAB IV
18
PEMBAHASAN
Pada pasien ini, dilakukan anestesi secara regional karena memiliki
keuntungan yaitu:
1. Bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil karena pasien dalam keadaan
sadar.
2. Relaksasi otot yang lebih baik.
3. Analgesi yang cukup kuat.
A. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH
1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.
2. Resiko kerusakan organ yang diakibatkan tindakan pembedahan.
Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan
teknik anestesi yang aman untuk operasi, juga perlu dipersiapkan darah
untuk mengatasi perdarahan.
B. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI
1. Premedikasi
Puasa pasien sudah mencapai 6 jam atau lebih.
2. Analgesi spinal
Pada kasus ini digunakan bupivakain 20 mg, karena mula kerjanya
cepat, lebih kuat, dan lebih lama dibandingkan lidokain.
3. Maintenance
Dipakai O2 3 liter/menit
Pada anestesi spinal komplikasi yang biasanya sering terjadi adalah
hipotensi. Hipotensi dapat terjadi pada sepertiga pasien yang menjalani
anestesi spinal. Hipotensi terjadi karena :
1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac out put.
2. Penurunan resistensi perifer.
Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 75 mmHg atau terdapat
gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi untuk
menghindari cedera ginjal, jantung dan otak, di antaranya dengan memberikan
oksigen dan menaikkan kecepatan tetesan infus dan jika perlu diberikan
19
vasokonstriktor seperti pada pasien ini diberikan efedrin 10 μg yang telah
diencerkan jika tekanan sistolik dibawah 100 mmHg.
Penurunan venous return juga dapat menyebabkan bradikardi. Untuk
mengatasi bradikardi yang terjadi dapat diberikan sulfas atropin 0,25 mg IV.
Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot
pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami
kesulitan bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen
yang adekuat dan pengawasan terhadap depresi pernafasan yang mungkin
terjadi.
Akan tetapi pada kasus ini tidak terjadi hambatan yang berarti baik
dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.
20
BAB V
PENUTUP
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi
yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi regional pada
tindakan ureterorenoskopi dan DJ stent operasi pada penderita laki-laki, usia 27
tahun, status fisik ASA I dengan diagnosis hidronefrosis grade I dextra et causa
ureterolithiasis 1/3 distal dextra dengan menggunakan teknik anestesi spinal.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan
yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya
komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung
dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ansell J.S., Gee W.F. 1990. Disease of the Kidney and Ureter. In Bonica J.J. (ed).
The Management of Pain. Philadelphia: Lea & Febiger. p: 1233.
Ery L. 1998. Belajar Ilmu Anestesi. Semarang: FK-UNDIP.
Monk, Terri G. and Craig Weldon. 2001. The Renal System and Anesthesia for
Urologic Surgery Edition 4. Lippincoat Williams & Wilkin Publishers. p:
42.
Muhardi, M., et al. 1989. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif FKUI.
Purnomo B. 2003. Batu Ginjal dan Ureter Dalam Dasar-Dasar Urologi.
Yogyakarata: Sagung Seto. p: 57-68.
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan, edisi ke 3. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sabiston C. D. Jr, MD. 1997. Batu Ginjal dan Ureter . Buku Ajar Bedah 2. Jakarta: EGC. p:
472 ± 483.
Samsuhidrajat R., De JongW. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.
p: 756-764.
Triyono, Bambang. 2008. Protap. http://alamanda.blogdetik.com/index.php/2008/07/06/prosedur-tetap-anestesi/.(9 Mei 2012)
22