anemia aplastik merupakan keadaan yang disebabkan berkurangnya sel darah dalam darah tepi
DESCRIPTION
snxn sTRANSCRIPT
Anemia aplastik merupakan keadaan yang disebabkan berkurangnya sel darah dalam
darah tepi, sebagai akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum
tulang. Sistem yang mengalami aplasia meliputi sistem eritropoetik, granulopoetik
dan trombopoetik. Sebenarnya sistem limfopoetik dan RES juga mengalami aplasia,
tetapi relatif lebih ringan dibandingkan dengan ketiga sistem hemopoetik lainnya4,8.
Anemia aplastik termasuk penyakit yang jarang ditemukan. Di Amerika
Serikat memiliki angka kejadian 2 : 1.000.000 penduduk. Anemia aplastik lebih
sering terjadi di Asia, angka kejadian di Bangkok adalah 4 : 1.000.000 penduduk,
angka kejadian di Thailand adalah 6 : 1.000.000 penduduk dan angka kejadian di
Jepang 14 : 1.000.000 penduduk. Angka yang lebih tinggi di Asia berkaitan dengan
lebih banyaknya paparan terhadap bahan kimia yang terjadi1,7,9.
Anemia aplastik dapat terjadi pada segala umur1,7. Kecuali jenis kongenital,
anemia aplastik biasanya terdapat pada anak besar berumur lebih dari 6 tahun.
Depresi sumsum tulang oleh obat atau bahan kimia, meskipun dengan dosis rendah
tetapi berlangsung sejak usia muda secara terus-menerus, baru akan terlihat
pengaruhnya setelah beberapa tahun kemudian. Misalnya pemberian kloramfenikol
yang terlampau sering pada bayi (sejak umur 2-3 bulan), baru akan menyebabkan
gejala anemia aplastik setelah ia berumur lebih dari 6 tahun. Di samping itu pada
beberapa kasus gejala sudah timbul hanya beberapa saat setelah ia kontak dengan
agen penyebabnya4.
Sekitar 50-75% etiologi anemia aplastik merupakan idiopatik. Sekitar 5%
etiologi berhubungan dengan infeksi virus terutama hepatitis. Sekitar 10-15%
berhubungan dengan obat-obatan 6,9.
Etiologi dari anemia aplastik dapat dibagi menjadi:4
a. Faktor kongenital
Sindrom Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali,
strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.
b. Faktor didapat
1. Bahan kimia : benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb
2. Obat : kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin (antihistamin),
santonin-kalomel, obat sitostatika (myleran, methotrexate, TEM, vincristine,
rubidomycine dan sebagainya)
3. Radiasi : sinar rontgen, radioaktif
4. Faktor individu : alergi terhadap obat, bahan kimia dan lain-lain
5. Infeksi : tuberkulosis milier, hepatitis dan sebagainya
6. Idiopatik merupakan penyebab yang paling sering
Pada kasus ini, anemia aplastik yang terjadi bersifat idiopatik dan terjadi
setelah anak berumur 11 tahun. Hal ini berdasarkan riwayat penyakit penderita dan
riwayat penyakit keluarga. Anak tidak pernah menderita sakit sebelumnya. Anak
tinggal bersama orang tua yang bergolongan ekonomi menengah ke atas. Lingkungan
jauh dari daerah pertanian dan tidak pernah terpapar insektisida atau bahan
sejenisnya. Keluarga anak juga tidak ada yang menderita penyakit yang serupa,
karena penyebab yang tidak jelas ini maka etiologinya digolongkan idiopatik.
Manifestasi klinis pada prinsipnya berdasarkan pada gambaran sumsum
tulang yang berupa aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik, serta
aktifitas relatif sistem limfopoetik dan RES. Gejala anemia dapat berupa pucat, sakit
kepala, palpitasi dan mudah lelah. Pada anemia yang sangat berat dapat terjadi
dispneu, edema pretibial dan gejala lain yang disebabkan kegagalan jantung.
Trombositopenia mengakibatkan perdarahan pada mukosa dan gusi atau timbulnya
petekie dan purpura pada kulit. Granulositopenia sangat memudahkan timbulnya
infeksi sekunder dan berulang, hal ini biasanya ditandai dengan demam yang kronik
atau tanda infeksi yang lain sesuai agen penyebabnya1,2,3,4. Pada anemia aplastik tidak
terjadi pembesaran organ (hepatosplenomegali, limfadenopati)2,4.
Manifestasi klinis yang berat dari anemia seperti dispneu, edema pretibial
akibat kegagalan jantung tidak didapatkan baik dari anamnesa maupun pemeriksaan
fisik. Dari riwayat tidak didapatkan adanya infeksi sekunder yang dapat memperberat
kondisi pasien saat ini.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa pucat, perdarahan dan tanpa
organomegali. Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan limfositosis
relatif. Diagnosis pasti ditentukan dari pemeriksaan sumsum tulang yaitu gambaran
sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem
eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik. Diantara sel sumsum tulang yang
sedikit ini banyak ditemukan limfosit, sel RES (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel
endotel)4.
Pada kasus ini didapatkan manifestasi klinis berupa gejala anemia yaitu
penderita tampak pucat, mukosa konjungtiva anemis dan tanda granulositopenia
berupa petekie yang tampak di seluruh tubuh. Pada kasus ini tidak didapatkan adanya
organomegali.
Pada kasus ini ditegakkan berdasarkan adanya gejala dan tanda anemia dan
granulositopenia tanpa adanya organomegali. Hal ini diperkuat dengan pemeriksaan
penunjang yang mendukung dimana semua sel darah mengalami penurunan jumlah.
Dari pemeriksaan BMA didapatkan sumsum tulang hiposeluler, aktivitas semua
sistem tertekan. Tampak dominasi limfosit dan sel lemak.
Diagnosis banding yaitu ITP dapat disingkirkan karena pemeriksaan darah
rutin dan blood smear pada ITP hanya akan terjadi trombositopenia. Diagnosis
leukemia dapat disingkirkan karena biasanya terjadi organomegali dan pada blood
smear akan ditemukan sel-sel muda. Kedua diagnosis banding di atas akan jelas dapat
disingkirkan apabila dilakukan pemeriksaan BMA.
Secara umum penatalaksanaan anemia aplastik adalah terapi primer dan terapi
suportif6,7. Terapi primer dapat berupa transplantasi sumsum tulang terutama pada
pasien yang berusia muda. Transplantasi sumsum tulang ini memiliki angka
kesembuhan yang tinggi yaitu sekitar 70% dengan efek jangka panjang yang baik
yaitu 67%. Jika transplantasi tidak dapat dilakukan karena adanya reaksi penolakan
maka dapat diberikan terapi imunosupresif dengan antilimfosit globulin dan
siklosporin dengan angka keberhasilan jangka panjang 36,6%7. Terapi suportif adalah
pemberian transfusi sesuai dengan kebutuhan penderita6,7.
Penatalaksanaan pada anemia aplastik pada FKUI adalah sebagai berikut4:
1. Prednison dan testosteron
Prednison diberikan dengan dosis 2-5 mg/kgBB/hari peroral, sedangkan
testosteron dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari sebaiknya secara parenteral.
Penelitian menyebutkan bahwa testosteron lebih baik diganti dengan oksimetolon
yang mempunyai daya anabolic dan merangsang sistem hemopoetik lebih kuat
dan diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari peroral. Pengobatan biasanya
berlangsung berbulan-bulan, bahkan sampai dapat bertahun-tahun. Bila telah
terdapat remisi, dosis obat diberikan separuhnya dan jumlah sel darah diawasi
setiap minggu. Bila kemudian terjadi relaps, dosis obat harus diberikan penuh
kembali. Remisi biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan (dengan
oksimetolon 2-3 bulan), mula-mula terlihat perbaikan pada sistem eritropoetik,
kemudian sistem granulopoetik dan terakhir sistem trombopoetik. Kadang-kadang
remisi terlihat pada sistem granulopoetik terlebih dahulu, disusul oleh sistem
eritropoetik dan trombopoetik. Pemeriksaan BMA sebulan sekali merupakan
indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah
tercapai bahaya perdarahan yang fatal masih ada, sehingga anak sebaiknya
dipulangkan dari rumah sakit setelah jumlah trombosit mencapai 50.000-
100.000/mm3.
2. Transfusi darah
Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan kadar
hemoglobin yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang terlampau sering,
akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat menyebabkan timbulnya
reaksi hemolitik (reaksi transfusi), sehingga dalam hal ini transfusi darah gagal
karena eritropoesit, leukosit dan trombosit akan dihancurkan sebagai akibat
timbulnya antibodi terhadap sel darah tersebut. Dengan demikian transfusi darah
hanya diberikan bila diperlukan.
3. Pengobatan terhadap infeksi sekunder
Untuk menghindarkan anak dari infeksi, sebaiknya anak diisolasi dalm ruangan
yang suci hama. Pemberian obat antibiotik hendaknya dipilih yang tidak
menyebabkan depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak boleh diberikan.
4. Makanan
Disesuaikan dengan keadaan anak, umumnya diberikan makanan lunak.
5. Istirahat
Untuk mencegah terjadinya perdarahan, terutama perdarahan otak.
Pada kasus ini penanganan yang terbaik adalah dilakukan transplantasi
sumsum tulang karena umur penderita masih muda dengan efek jangka panjang yang
baik, akan tetapi hal ini tidak memungkinkan dilakukan karena kurangnya sarana dan
prasarana yang ada. Pilihan terapi yang lain yaitu terapi imunosupresif. Terapi
imunosupresif yang memungkinkan untuk dilaksanakan adalah dengan pemberian
kortikosteroid yang dalam hal ini adalah prednison. Program terapi dengan prednison
ini hanya dapat kita lakukan apabila didapatkan kepastian diagnosa dari BMA.
Sekitar 12 hari setelah diagnosis ditegakkan dengan BMA anak kemudian diberi
pengobatan imunosupresif berupa metilprednisolon, kemudian tanggal 4 Agustus 205
setelah dikonsulkan dengan dr. Pudji Andayani, Sp.A, anak mendapatkan terapi
Donazol. Pemberian metil prednisolon direncanakan sampai 7 hari. Pemberian
Donazol direncanakan sampai 180 hari. Terapi imunosupresif dilakukan pada anak ini
dengan alasan agar terjadi perbaikan pada sumsum tulangnya. Pemeriksaan ulang
sumsum tulang dilakukan ± 1 bulan setelah terapi dilakukan utuk mengetahui respon
sumsum tulang terhadap obat. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat menentukan
prognosis dari penyakit anak.Terapi suportif yang diberikan adalah transfusi sesuai
kebutuhan, akan tetapi hal ini tidak akan bermanfaat bila tidak dilakukan terapi
primer. Pada pasien ini diberikan terapi suportif berupa transfusi darah karena
keadaan umum penderita baik dan dilanjutkan dengan program pemberian
imunosupresif.
Imunosupresan glukokortikoid yaitu prednisolon dan prednison. Terhadap
respon imun humoral, efek glukokortikoid belum dapat disimpulkan secara tuntas
yang jelas terlihat ialah pengurangan jumlah immunoglobulin. Terhadap respon imun
selular, glukortikoid menghambat efek MIF sehingga makrofag dibebaskan dari
jeratan disekitar tempat pembebasan MIF dan jaringan setempat terhindar dari
kerusakan akibat penghancuran oleh makrofag. Dalam hal ini, efek glukokortikoid
sebenarnya terjadi berdasarkan mekanisme antiinflamasi10.
Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena prednisone
dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon. Pada penderita dengan hipertensi,
gangguan cor, atau keadaan lain yang retensi garam merupakan masalah, maka dipilih
kortikosteroid yang efek mineralokortikoidnya sedikit atau tidak ada, terlebih-lebih
bila diperlukan dosis kortikosteroid yang tinggi 11.
Prognosis bergantung pada gambaran sumsum tulang (hiposeluler atau
seluler) sehingga parameter yang paling baik dalam menentukan prognosis adalah
hasil pemeriksaan BMA. Selain itu, jika kadar Hb F lebih dari 200 mg%, jumlah
granulosit lebih dari 2.000/mm3 dan infeksi sekunder dapat dikendalikan maka
prognosis akan lebih baik4.
Penyebab kematian terbanyak pada anemia aplastik adalah infeksi sekunder
seperti bronkopneumonia atau sepsis atau terjadi perdarahan otak dan abdomen4.
Penyebab kematian pada anak ini diduga adalah terjadinya perdarahan spontan pada
otak dan abdomen. Penyebab terjadinya perdarahan spontan pada anak adalah adanya
trombositopenia. Selain itu produksi semua komponen darah yang tertekan
mempercepat terjadinya proses kegagalan kompensasi tubuh dalam perfusi organ-
organ vital sehingga kematian terjadi.
PENUTUP
Demikian telah dilaporkan suatu laporan kaus anemia aplastik pada seorang
anak laki-laki berumur 11 tahun yang dirawat di bangsal anak RSUD Ulin
Banjarmasin. Diagnosa ditegakkan berdasarkan adanya gejala anemia,
granulositopenia dan trombositopenia ringan tanpa adanya organomegali serta
pansitopenia pada pemeriksaan darah rutin dan blood smear. Diagnosa pasti
ditegakkan dengan BMA. Etiologi diduga adalah idiopatik. Selama dirawat diberikan
terapi suportif berupa transfusi dan direncanakan terapi imunosupresif dengan
kortikosteroid. Selama dirawat keadaan anak sempat membaik, kemudian perlahan-
lahan kembali memburuk dan akhirnya meninggal akibat perdarahan setelah dirawat
selama 26 hari di RSU Ulin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Aplastic Anemia (Severe). Dalam : Medical Center, 2004. Dari URL: http://www.medical center.com/
2. Anonim. Blood Disease Aplastic Anemia. Dalam : Universitas of Maryland, 2004. Dari URL: http://www.UMMC.com/
3. Bakhsi S. Aplastic Anemia. Dalam : Emedicine Article, 2004. Dari URL: http://www.emedicine.com/
4. Hasan R, Alatas H ed. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Buku I, 1985; Jakarta.
5. Salonder, H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga, 2001; Jakarta.
6. Small BM. Bone Marrow Failure. Dalam : SMBS Education Fact Sheet, 2004. Dari URL: http://www.smbs.buffallo.edu/
7. American Cancer Society. Aplastic Anemia. Dalam : ACS Information and Guide, 2005. Dari URL: http://www.cancer.org/
8. Young NS. Acquired Aplastic Anemia. Dalam : Annals of Internal Medicine, 2002. Vol 136 No 7 Dari URL: http://www.annals.org/
9. Lee D. Bone Marrow Failure. Dari URL: http://www.medsqueensu.ca/
10. Tirza D dan Handoko T Imunosupresan. Dalam : Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Editor : Sulistia G. Ganiswara. 1995: FKUI, Jakarta hal709-710.
11. Djuanda A Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam Bidang Dermato-venerologi. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 3. Editor : Adhi Djuanda. 2001: FKUI, Jakarta hal 316
ATG kuda dosis 20 mg/kg per hri selama 4 hari atau ATG kelinci thymoglobulin dosis 3.5 mg/kg per hari selama 5 hari dan CsA 12-15 mg/kg umumnya selama 6 bulan. Kortikosteroid ditambahkan untuk melawan penyakit serum instrinsik terhadap ATG, yaitu prednisone 1 mg/kgBB selama 2 minggu pertama pemberian ATG