anatomi hidung

23
ANATOMI HIDUNG Oleh Donald Marpaung Pendahuluan Hidung merupakan organ penting sesuai fungsinya yaitu sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara. Karena letaknya diantara kedua mata, kedua pipi dan di atas bibir maka hidung merupakan bagian dari wajah yang letaknya tepat di tengah. Hal ini menempatkannya menjadi pusat perhatian bila menatap wajah seseorang. Bagi sebagian orang faktor inilah yang menyebabkan begitu pentingnya bentuk hidung bahkan berupaya untuk memperbaikinya sekalipun bentuknya normal menurut penilaian orang pada umumnya. Tentu saja bentuk hidung menjadi lebih penting lagi apabila mengalami gangguan akibat trauma, infeksi, peradangan, dan lain-lain. Hidung Luar Menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas, kubah tulang, yang tak dapat digerakkan; dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bagian puncak hidung disebut apeks. Agak ke atas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai ke pangkal hidung menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa adalah mulai dari apeks, yaitu di sebelah posterior bagian tengah bibir atas dan distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas ke bawah, disebut filtrum. Sebelah kiri dan kanan kolumela adalah nares anterior atau nostril (lubang hidung) kanan dan kiri, di sebelah latero-superior dibatasi ala nasi dan di sebelah inferior oleh dasar hidung

Upload: ventrix-gunawan

Post on 07-Feb-2016

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ANATOMI HIDUNG

TRANSCRIPT

Page 1: ANATOMI HIDUNG

ANATOMI HIDUNGOleh Donald Marpaung

PendahuluanHidung merupakan organ penting sesuai fungsinya yaitu sebagai indra penghidu,

menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara. Karena letaknya diantara kedua mata, kedua pipi dan di atas bibir maka hidung merupakan bagian dari wajah yang letaknya tepat di tengah. Hal ini menempatkannya menjadi pusat perhatian bila menatap wajah seseorang. Bagi sebagian orang faktor inilah yang menyebabkan begitu pentingnya bentuk hidung bahkan berupaya untuk memperbaikinya sekalipun bentuknya normal menurut penilaian orang pada umumnya. Tentu saja bentuk hidung menjadi lebih penting lagi apabila mengalami gangguan akibat trauma, infeksi, peradangan, dan lain-lain.

Hidung LuarMenonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar

dapat dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas, kubah tulang, yang tak dapat digerakkan; dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.

Bagian puncak hidung disebut apeks. Agak ke atas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai ke pangkal hidung menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa adalah mulai dari apeks, yaitu di sebelah posterior bagian tengah bibir atas dan distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas ke bawah, disebut filtrum. Sebelah kiri dan kanan kolumela adalah nares anterior atau nostril (lubang hidung) kanan dan kiri, di sebelah latero-superior dibatasi ala nasi dan di sebelah inferior oleh dasar hidung

Page 2: ANATOMI HIDUNG

Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago alar mayor) dan tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi . Kerangka utama adalah keempat tulang yang telah disebutkan sebelumnya. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago septum nasi dan tepi kranial melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta prosesus frontal os maksila.

Tepi bawah (kaudal) kartilago lateralis superior terletak di bawah tepi atas (kranial) kartilago lateralis inferior. Bila kartilago lateralis inferior diangkat dengan retraktor, barulah akan terlihat batas bawah kartilago lateralis superior ini atau yang disebut limen nasi. Ada kalanya kedua tepi kartilago lateralis superior dan inferior tidak melekat dengan erat di bagian medial, sehingga dengan demikian akan menyebabkan kerangka hidung luar kurang kuat. Di sebelah lateral, antara kartilago lateralis superior dan inferior terdapat beberapa kartilago sesamoid. Kartilago lateralis inferior berbentuk ladam. Krus lateralnya lebar dan kuat, merupakan kerangka ala nasi. Bagian medialnya lemah, sebagian meluas sepanjang tepi kaudal kartilago septum nasi yang bebas, dan sebagian lagi ada di dalam kolumela membranosa.

Pada tulang tengkorak, lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura piriformis. Tepi latero-superior dibentuk oleh kedua os nasal dan prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Di garis tengah ada penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis anterior.

2

Page 3: ANATOMI HIDUNG

Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator, terdiri dari m. dilator nares (anterior dan posterior), m. proserus, kaput angulare m. kuadratus labii superior dan kelompok konstriktor yang terdiri dari m. nasalis dan m. depresor septi.

Septum NasiSeptum nasi membagi kavum nasi menjadi dua ruangan, kanan dan kiri. Bagian

posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina serta krista sfenoid.

Kavum NasiDasar hidung. Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan

prosesus horizontal os palatum.Atap. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,

prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

Dinding lateral. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.

Konka. Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus medius, dan sebelah atas media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.

3

Page 4: ANATOMI HIDUNG

Konka inferior adalah tulang yang memanjang berbentuk seperti kulit kerang, bagian superior melekat ke dinding lateral kavum nasi. Ada tepi melengkung yang memisahkan permukaan medial dengan lateral. Tepi bebas inferior melengkung dari depan ke belakang dan dari atas ke bawah, dengan bagian cembungnya menghadap ke arah septum. Tulang yang membentuk konka berlubang-lubang seakan –akan mempunyai sel-sel, sehingga penampakannya kasar dan berlekuk-lekuk. Ujung anterior dan posterior agak meruncing. Permukaan konka berlubang-lubang di beberapa tempat untuk melalui pembuluh darah. Lekukan longitudinal atau parit-parit juga membantu distribusi pembuluh darah besar. Mukosa konka tebal, kaya pembuluh darah dan melekat erat pada perikondrium atau periosteum.

Konka media dan konka inferior dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia, yang ujung-ujung anteriornya pada orang dewasa epitelnya dapat berubah menjadi kubus atau gepeng. Stroma konka media mengandung banyak sekali kelenjar, sedangkan stroma konka inferior mengandung banyak pembuluh darah. Pada konka inferior juga ada kelenjar, tetapi tidak sebanyak seperti pada konka media. Pembuluh-pembuluh darah di sini adalah pleksus vena yang membentuk jaringan erektil hidung dan letaknya terutama pada sisi bawah konka inferior dan ujung posterior konka inferior dan media.

Meatus Superior. Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.

Meatus medius. Meatus medius, merupakan celah yang lebih luas daripada meatus superior. Di sini terdapat muara sinus frontalis, sinus maksila dan sel-sel anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum, disebut hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai

4

Page 5: ANATOMI HIDUNG

prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer, yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Ada kalanya sel-sel etmoid bermuara di atas bula etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.

Meatus inferior. Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus naso lakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.

Nares. Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring , berbentuk oval dan terdapat di kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horizontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus sfenoid.

Nares anterior menghubungkan rongga hidung dengan dunia luar. Nares anterior lebih kecil dibandingkan dengan nares posterior yang berukuran kira-kira tinggi 2,5 cm dan lebar 1,25 cm.

Mukosa Hidung

Rongga hidung, nasofaring dan sinus paranasal dilapisi oleh selaput lendir yang berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Di bagian paling anterior vestibulum nasi terdapat epitel kubus dan gepeng berlapis. Di atas bidang konka superior terdapat epitel olfaktorius; di bawahnya epitel respiratorius.

Regio respiratorius. Mukosanya, seperti epitel di atasnya, pada daerah respiratorius bervariasi sesuai dengan lokasinya yang terbuka atau terlindung. Mukosa respiratorius yang khas, didapati di bagian yang terlindung. Terdiri dari 4 macam sel. Pertama, sel torak berlapis semu yang mempunyai 200 silia tiap selnya. Tersebar di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel yang memiliki mikrovili (atau disebut juga sel sikat).

Kelenjar mukus (sel-sel goblet) pada mukosa respiratorius adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan mikroskopis tampak berbentuk piala. Sel ini menghasilkan kompleks protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Pada kondisi yang berlainan, penampilan mukus dapat berbeda-beda.

Mikrovili adalah penonjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Merupakan evaginasi plasma membran dan mengandung sitoplasma. Fungsinya belum diketahui, tetapi nyata sangat menambah luasnya permukaan sel. Terakhir, adalah sel basal (sel cadangan) yang terdapat di atas membran basal.

Regio olfaktorius. Epitel olfaktorius yang kecoklatan terdiri dari 3 macam sel: sel penunjang, sel basal, dan sel olfaktorius. Pada tunika propria didapati kelenjar Bowman yang tubuloalveolar dan bercabang-cabang.

Mukosa sinus paranasal. Mukosa sinus paranasal merupakan lanjutan mukosa hidung, hanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu

5

Page 6: ANATOMI HIDUNG

bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika proprianya melekat erat dengan periostium di bawahnya. Silia lebih banyak di dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir yang menyelimuti permukaannya ke arah hidung melalui ostium masing-masing sinus.

Persarafan Hidung

Saraf sensoris. Saraf sensoris untuk hidung (selain n. olfaktorius) terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris n. trigeminus. Cabang pertama n. trigeminus, yaitu n. oftalmikus mempercabangi n. nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi n. etmoidalis anterior dan posterior dan n. infratroklearis. N. etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama a. etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan di sini terbagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Cabang medial berjalan ke depan bawah pada septum untuk mempersarafi tepi anterior septum, sedangkan cabang lateral mempersarafi dinding lateral dan juga mempunyai cabang lagi, yaitu n.nasalis eksternus, yang menuju permukaan luar hidung.

Saraf yang berasal dari cabang maksilaris n. trigeminus akan membentuk n.nasalis superior posterior yang memasuki hidung melalui foramen sfenopalatina, berjalan di dekat dinding lateral dan dinding medial (septum) menuju ganglion sfenopalatina. Di sini terbagi menjadi cabang-cabang. Yang terprnting di antara cabang medial adalah n. nasopalatina (n. cotunnius); yang berakhir di daerah foramen insisivus dan berhubungan dengan palatina anterior.

Cabang maksilaris n. trigeminus juga membentuk n. nasalis inferior posterior, yang memasuki hidung melalui foramen sfenopalatina, kemudian berjalan ke arah bawah untuk mempersarafi konka inferior.

Gambaran mengenai ganglion sfenopalatina (ganglion Meckel) tidak dapat dijelaskan dengan pasti. Letaknya jauh di dalam fossa pterigopalatina tepat di sebelah lateral foramen sfenopalatina dan sering digambarkan seakan-akan tergantung pada n. maksilaris di atasnya. Yang menuju ganglion ini adalah n. petrosus superfisialis mayor (simpatis) dan n. petrosus superfisialis mayor (parasimpatis). Menurut Larsel, serabut-serabut saraf otak V dan sistem parasimpatis melewati ganglion ini tanpa terhenti. Sebaiknya, n. petrosus superfisialis mayor keluar dari nukleus salivatorius superior dan berakhir di ganglion ini. Serabut saraf n. petrosus superfisialis mayor setelah keluar dari ganglion akan didistribusikan ke kelenjar air mata dan mukosa traktus respiratorius atas; fungsinya untuk vasodilatasi dan merangsang pembentukan air mata dan sekresi hidung.

Dari segi anatomi agaknya ganglion sfenopalatina hampir tidak berperan dalam menghantar rasa sakit pada wajah. Tindakan melakukan anestesi terhadap ganglion sfenopalatina dengan aplikasi lokal pada foramen sfenopalatina atau penyuntikan pada ganglion akan sedikit sekali manfaatnya untuk mengontrol rasa sakit. Namun serabut-serabut saraf cabang kedua n. trigeminus letaknya sangat dekat dan bila ini dianestesi, mungkin rasa nyeri dapat hilang.

Saraf lain yang berasal dari cabang kedua n. trigeminus turun di dalam kanalis pterigopalatina dan keluar pada foramen palatina mayor di permukaan bawah palatum

6

Page 7: ANATOMI HIDUNG

durum; akan mempersarafi palatum durum dan molle, uvula, tonsil, dan berjalan terus ke depan sampai kanalis insisivus.

N. infratroklearis berasal dari cabang pertama n. trigeminus dan serabut-serabutnya akan mempersarafi kelopak mata dan kulit sisi hidung bagian atas.

N. nasalis eksternus, dari pangkalnya di sinus etmoid anterior, berjalan ke bawah di dalam celah yang terdapat pada permukaan dalam os nasal, celah ini pada foto Rontgen harus dibedakan dengan garis fraktur. Saraf ini menembus dinding hidung di antara os nasal dengan kartilago lateralis superior dan mempersarafi kulit dorsum nasi di bagian bawah sampai ke puncak hidung.

N. infraorbitalis muncul di pipi di bawah mata pada foramen infraorbita untuk mempersarafi sebagian dinding lateral hidung dan struktur lainnya di wajah.

Nervus olfaktorius. N. olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian menyebar di mukosa yang melapisi bagian atas konka superior dan bagian septum yang berhadapan; hubungan rongga-rongga sinus dengan kavum nasi lebih bebas dan berguna untuk penyebaran filamen-filamen n. olfaktorius.

N. terminalis, yang berasal dari ganglion terminalis di sebelah medial bulbus olfaktorius, mempunyai 3 atau 4 cabang yang berjalan melalui bagian anterior lamina kribrosa menuju ke bagian superior anterior septum bertulang rawan. Saraf ini beranastomosis dengan n.nasopalatina dan n. etmoidalis

Perdarahan hidung

Perdarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama:1. a. etmoidalis anterior 2. a. etmoidalis posterior cabang dari a. oftalmika 3. a. sfenopalatina, cabang terminal a. maksilaris interna, yang berasal dari a. karotis

eksterna.Septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung mendapat perdarahan dari a. etmoidalis anterior; a. etmoidalis posterior yang kecil hanya memperdarahi daerah yang kecil di regio superior posterior. Kedua arteri etmoidalis, setelah meninggalkan a.

7

Page 8: ANATOMI HIDUNG

oftalmika. Menyeberangi lamina kribrosa dan masuk hidung melalui foramen etmoid anterior dan posterior, disertai oleh serabut saraf pasangannya. Arteri dan nervus etmoidalis anterior merupakan petunjuk letak lamina kribrosa bagi operator.

Biasanya a. maksilaris muncul sebagai cabang terakhir a. karotis eksterna dan berjalan di lateral lamina pterigoideus lateral untuk memasuki fossa pterigopalatina. Cabang terakhirnya, a. temporalis superfisialis, berjalan ke atas melalui permukaan luar pangkal zigoma dimana pulsasinya dapat diraba. Di dalam fossa a. maksilaris terbagi menjadi cabang-cabang yang berjalan bersama cabang kedua dan cabang ketiga n. trigeminus. Cabang-cabang berikut ini dapat dikenali: a. alveolaris superior posterior, a. palatina minor, a. asesorius nasal dan a. faringeus superior, a. infraorbitalis, arteri-arteri untuk foramen rotundum dan kanalis pterigoideus, a. palatina mayor, dan terakhir a. sfenopalatina terminalis, yang melalui foramne sfenopalatina untuk masuk ke dalam rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. A. sfenopalatina terbagi menjadi aa. nasales posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan aa. septi posterior, yang menyebar pada septum nasi).

Oleh karena aa. nasales posterolateral ukurannya cukup besar, maka pada operasi pengangkatan konka media atau inferior akan disertai perdarahan yang cukup banyak. Ada anastomosis bebas antara aa. nasales lateralis dengan a. etmoidalis anterior, sehingga pada pengangkatan konka, perdarahan dapat timbul dari kedua sumber ini meskipun hanya satu arteri yang terkena.

A. septi posterior mempunyai 3 cabang utama: satu untuk bagian posterior, satu untuk bagian inferior dan satu lagi untuk bagian tengah dan posterior septum. Cabang-cabang yang sampai di bagian inferior anterior septum akan beranastomosis bebas dengan cabang a. labialis superior untuk septum dan aa. palatina mayor.

Cabang lain dari a. sfenopalatina turun di dalam kanalis palatina mayor untuk masuk ke dalam rongga mulut melalui foramen palatina mayor dan kemudian menyebar di permukaan bawah palatum.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena pada vestibulum dan struktur luar hidung mempunyai hubungan dengan sinus kavernosus melalui v. oftalmika superior.

Kepustakaan

1. Boies, Buku ajar penyakit THT, Edisi 6, hal 173-183.

8

Page 9: ANATOMI HIDUNG

2. Ballenger, Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Edisi 13, Jilid 1, hal 1-15.

9

Page 10: ANATOMI HIDUNG

FISIOLOGI HIDUNG

Hidung mempunyai 4 fungsi utama, yaitu: 1. Sebagai lokasi epitel olfaktorius2. Saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius bagian bawah3. Organ yang mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru4. Sebagai organ yang mampu membersihkan dirinya sendiri .

10

Page 11: ANATOMI HIDUNG

Berarti hidung merupakan alat pelindung tubuh terhadap zat-zat berbahaya yang masuk bersama udara pernapasan. Hidung juga berperan sebagai resonator dalam fonasi, hal ini nyata pada seseorang yang terserang selesma.

Penghidu

Epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan mempunyai 3 macam sel-sel saraf: sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Pada permukaan bebas sel penunjang yang ramping terdapat lempengan kecil-kecil atau jaringan zat tanduk menyebabkan sel-sel tersebut bertautan erat satu sama lain. Pada permukaan bebasnya terdapat sejumlah jonjot mikro villi yang menonjol ke dalam lapisan lendir yang menyelimuti permukaan. Pada sitoplasma bagian apikal terdapat kompleks Golgi kecil dan granul pigmen coklat yang membuat epitelnya mempunyai warna khas. Lamina propria di daerah olfaktorius juga mengandung kelenjar-kelenjar olfaktorius Bowman yang bercabang-cabang dan berbentuk tubulo-alveolar. Sel penunjang dan kelenjar Bowman (Graziadei) menghasilkan mukus cair yang menyelimuti daerah olfaktorius, yang sifatnya agak berbeda dengan mukus pada daerah respiratorius; namun komposisi histokimianya belum diketahui. Di antara dasar sel-sel penunjang terdapat sel basal yang mungkin berfungsi sebagai cadangan untuk menggantikan sel-sel penunjang dan mungkin sel-sel olfaktorius.

Di antara sel-sel penunjang terdapat sel n. olfaktorius yang bipolar, sedangkan di bagian puncak sel terdapat dendrit yang telah berubah bentuk dan memanjang ke permukaan epitel, kemudian membentuk bulatan yang disebut batang atau vesikel olfaktorius. Dari vesikel ini keluar 6-8 silia yang tidak dapat bergerak, yang panjangnya 50-200 mikrometer dan di dalamnya terdapat mikrotubulus yang tersusun menurut pola “9 tambah 2” seperti silia respiratorius. Pada potongan melintang, bagian proksimal batang silia tampak lebih tebal, ke distal makin tipis dan mikrotubulusnya tinggal dua. Belum diketahui apa makna susunan yang demikian ini. Letak silia sejajar dengan permukaan mukosa dan diselimuti oleh lapisan lendir. Silia ini berasal dari badan basal di bagian distal sel tanpa mempunyai tempat akar, kalaupun ada tempat akar, letaknya tidak beraturan (lihat mengenai silia respiratorius).

Menurut teori stereokimia, untuk penghidu setiap bau dari ketujuh bau-bauan kimia atau dasar indra pencium mempunyai molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat elektrofilik atau nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai reseptor-reseptor yang bentuk dan dimensinya tertentu, sehingga satu molekul bau yang spesifik membutuhkan partikel reseptor tersendiri. Bai-bauan primer adalah bau-bauan eterial, kamper, “musky” wangi bunga, bau permen, pedas dan bususk. Bau tambahan termasuk bau amandel, merupakan kombinasi yang ditimbulkan oleh pertautan molekul-molekul dengan 2 atau lebih reseptor primer.

Teori lain berpendapat bahwa kualitas molekul yang dianggap sebagai bau adalah interaksi antara vibrasi ini dengan organ reseptor. Setiap bau-bauan primer (menurut Wright dapat sampai 25 macam) memiliki frekuensi masing-masing.

Kemungkinan besar, permulaan perjalanan impuls pada n. olfaktorius adalah rangsangan pada batang olfaktorius atau silia, mungkin oleh larutan partikel bau-bauan dalam lendir. Sering dijumpai vakuol pinositik yang berhubungan dengan batang-batang olfaktorius. Pada perangsangan sel reseptor, akan timbul perubahan potensi listrik yang

11

Page 12: ANATOMI HIDUNG

menghasilkan penjalaran impuls ke bulbus olfaktorius untuk merangsang sel mitral. Perubahan pada potensi membran dapat diukur, dan disebut sebagai olfaktogram. Amplitudonya bervariasi untuk daerah –daerah epitel olfaktorius yang berlainan; dan bentuk, lamanya dan periode laten, semua dipengaruhi oleh intensitas rangsangan. Bulbus olfaktorius mempunyai aktivitas listrik yang menetap dan terus-menerus. Bila ada rangsang penghidu, akan terjadi peningkatan aktivitas, dapat terjadi singkat atau lama. Kualitasnya tergantung pada pola eksitasi reseptor atau sel mitral.

Ujung proksimal sel olfaktorius menipis sampai hanya berbentuk filamen setebal 1 mikrometer, yakni akson. Bersama-sama akson lain berkumpul membentuk gabungan 20 filamen, disebut fila olfaktoria, yang berjalan melalui lubang pada lamina kribrosa dan memasuki bulbus olfaktorius di otak. Fila ini tidak bermielin. Epitel olfaktorius juga mempunyai serabut saraf yang bermielin yang berasal dari n. trigeminus. Serabut-serabut distal n. trigeminus ini terlindung di antara sel-sel penunjang pada permukaan epitel, di sini sudah tidak bermielin. Serabut ini meneruskan rangsang sensoris (tapi bukan bau-bauan).

Di dalamn bulbus olfaktorius akson dari n. olfaktorius akan berhubungan dengan sel-sel mitral, dan akson ini meninggalkan bulbus untuk membentuk traktus olfaktorius, yang berjalan sepanjang dasar lobus frontalis untuk kemudian masuk korteks piriformis yang rumit susunannya, komisura anterior, nukleus kaudatus, tuberkulus olfaktorius, dan limbus anterior kapsul internus, dengan hubungan sekunder.

Makhluk hidup dapat dibagi menjadi mikrosomatik dan makrosomatik, tergantung pada ketajaman indra penghidu. Manusia termasuk golongan pertama, yang indra penghidunya tidak berkembang dengan baik karena tidak penting untuk mempertahankan keselamatan jiwanya atau untuk mencari makanan. Golongan makrosomatik indra penghidunya berkembang dengan baik karena berperan penting dalam kehidupannya.

Jalan napas

Hidung merupakan tempat lewatnya udara pernapasan, masuk dan keluar. Di bagian depan ditunjang oleh kartilago lateralis superior dan inferior yang setengah kaku, pada inspirasi kuat dinding lateral hidung dapat tertarik ke dalam. Sedang di bagian posterior saluran udara ini kaku.

Alur udara pernapasan terutama ditentukan oleh hasil efek nares anterior yang arahnya ke atas dan bentuk rongga hidung. Udara masuk hidung dengan arah hampir vertikal, membelok 80o sampai 90o ke arah posterior sewaktu memasuki rongga hidung. Aliran udara utama kemudian berjalan horizontal sampai membentur dinding posterior nasofaring, menikung 80o sampai 90o ke arah bawah, bergabung dengan aliran dari sisi hidung satunya, berjalan di belakang palatum masuk ke faring. Kedua belokan tajam 80o - 90o ini disebut sebagai titik benturan dan membantu untuk menyingkirkan partikel yang tak diinginkan. Benturan udara dengan adenoid memberi kesempatan bagi adenoid untuk berfungsi dengan cara menjajaki partikel yang tersaring di dalam kripta dan mengadakan reaksi imunologik. Sebagian dari udara pernapasan mencapai daerah olfaktorius. Dengan mengendus aliran udara ke daerah olfaktorius akan meningkat.

Rute udara ekspirasi pada umumnya adalah kebalikan dari inspirasi, tetapi karena ada obstruksi relatif di katup nasal anterior maka timbulah perputaran arus. Defleksi

12

Page 13: ANATOMI HIDUNG

septum atau penyebab obstruksi yang lain juga menambah perputaran arus ini. Perputaran arus ini paling kecil pada pernapasan tenang namun bertambah bila kecepatan aliran napas meningkat.

Aliran udaraAliran udara ini kecil, hanya 1-2 mm, sedangkan permukaan lateral hidung luas.

Hal ini menyebabkan adanya pertemuan bebas antara udara pernapasan dengan permukaan mukosa. Sebaliknya, rasio udara pernapasan dengan luasnya permukaan mukosa di bagian lain tidak sebaik itu lagi sampai mencapai bronkiolus.

Katup nasal anterior atau ostium internum pada lumen nasi, terletak kira-kira 1,5 sampai 2 cm di belakang nares anterior. Pada titik ini potongan melintang saluran udara tiap sisi hidung sebesar 10 sampai 40 mm2 dan merupakan bagian traktus respiratorius yang paling sempit. Pada hidung terdapat kira-kira 50% tahanan dari seluruh traktus respiratorius. Di belakang katup ini potongan melintang saluran utama (horizontal) hidung lebih lebar, sedangkan aliran udara tetap sempit, sehingga membuat kesempatan hubungan bebas antara permukaan yang luas dengan aliran udara. Kemudian pada koana posterior potongan melintang menyempit kembali. Hal ini yang dapat menerangkan mengapa terjadi variasi tekanan intranasal dari -5 atau -6 mm H2O sampai +5 atau +6 pada inspirasi dan ekspirasi.

Telah dibuktikan bahwa ada penggiliran siklus resistensi yang berkepanjangan (misalnya pembesaran adenoid atau tampon hidung padat) dapat mengakibatkan korpulonale, kardiomegali dan edema paru. Akibat resistensi hidung yang tinggi paling sering adalah pernapasan mulut sehingga fungsi pembersihan udara dan “fungsi pengatur kondisi udara” hidung tidak dijalani. Resistensi saluran udara bronkhial akan meningkat bila selaput lendir hidung dan nasofaring mengalami iritasi (misalnya oleh debu silika).

Kecepatan aliran udara

Aliran udara ini tercepat pada katup nasal anterior, sampai 3,3 m/detik pada aliran udara inspirasi sebesar 200 ml/detik dibandingkan dengan 1 m/detik pada bronkus sekunder (Gambar 1-14). Selanjutnya pada bagian saluran udara yang horizontal kecepatan aliran melambat, walaupun penampang melintang nya melebar dan aliran udaranya tetap kecil. Hal ini memberi kesempatan untuk udara pernapasan mengadakan kontak bebas lebih lama dengan daerah permukaan yang luas. Kondisi ini sangat ideal untuk fungsi “pengatur kondisi udara” dan ditempat ini juga sekret sinus yang bebas kontaminasi memasuki hidung pada saat yang sangat dibutuhkan.

Penyaringan partikelPartikel yang berukuran 5 sampai 6 mikrometer atau lebih, 85 sampai 90%

disaring di dalam hidung dan nasofaring. Partikel yang lebih besar dapat ditangkap oleh bulu hidung. Partikel yang lebih kecil masuk lebih dalam ke traktus respiratorius bagian bawah dan mengangkut apa saja yang terbawa dari permukaannya. Droplet yang mengandung virus berkelompok membentuk partikel yang biasa berukuran lebih besar dari 5-6 mikrometer sehingga sebagian besar tertahan dalam hidung. Sehubungan dengan ini, sebaiknya diketahui bahwa pada pernapasan hidung, semprotan aerosol akan lebih

13

Page 14: ANATOMI HIDUNG

banyak yang tertahan di dalam hidung daripada yang masuk ke traktus respiratorius bawah. Jelas juga bahwa penyaringan partikel di dalam hidung meningkat akibat bertambahnya kecepatan alian udara di kedua tempat penyempitan yang telah dibicarakan. Pengatur kondisi udara

Pengaturan suhu dan kelembaban sebagian besar terjadi dalam tempo singkat pada waktu udara pernapasan melintasi bagian horizontal saluran hidung. Di sini udara dipanaskan (atau didinginkan) oleh radiasi yang berasal dari pembuluh darah mukosa. Proses pelembaban udara pernapasan terjadi oleh evaporasi dari lapisan lendir yang menyelimuti permukaan mukosa. Mekanisme yang efisien ini dibuktikan dengan mengamati udara inspirasi di nasofaring yang ternyata suhunya mendekati suhu tubuh normal dan kelembaban nisbinya mendekati 100%. Pembuluh darah mukosa terbagi dalam 2 tingkat yang letaknya sejajar. Salah satu letaknya lebih superfisial dan mempunyai kapiler-kapiler yang masuk ke dalam epitel. Arah aliran darah ini dari belakang ke depan, berlawanan dengan arah aliran udara inspirasi dan lendir. Tatanan ini sangat efisien dalam mengatur suhu dan kelembaban dan membersihkan udara.

Suhu mukosa hidung lebih rendah beberapa derajat daripada udara ekspirasi. Oleh karena itu terjadi pengembunan dan pemanasan mukosa hidung pada waktu ekspirasi, hal ini yang disebut sebagai pertukaran panas dan kelembaban regeneratif. Hal ini menerangkan mengapa terjadi ujung hidung yang “basah” pada cuaca dingin (dengan suhu -10 sampai -2o C).

Konka inferior, yang paling kaya akan pembuluh darah, ternyata fungsi utamanya bukan sebagai radiator panas melainkan katup yang mengontrol kapasitas hidung.

SiliaSecara filogenetik, silia termasuk struktur tua, dapat ditemukan pada organisme

satu sel yang primitif, yang dapat pindah dari satu tempat ke tempat lain oleh karena gerakan silia. Pada manusia silia pernapasan dapat ditemukan di seluruh traktus respiratorius, kecuali bagian hidung yang paling depan, dinding posterior orofaring, sebagian laring dan cabang terminal bronkus. Silia terdapat juga pada tuba eustachius, sebagian besar telinga tengah , dan di dalam sinus paranasal, terutama di dekat ostium sinus. Silia dalam bentuk lain, juga didapati pada makula dan krista di telinga dalam dan sebagai batang-batang retina mata.

Akhir-akhir ini telah banyak terungkap pengetahuan mengenai ultrastruktur silia respiratorius (Gambar 1-15 dan 1-16). Silia manusia memanjang kira-kira 6 mikrometer di atas permukaan luminal sel dan lebarnya sekitar 0,3 mikrometer. Setiap sel dapat mempunyai silia sampai 200 helai. Tiap silia agaknya tertanam pada badan basal yang letaknya tepat di bawah permukaan sel. Struktur sentriol sel yang sedang membelah, mirip dengan yang terdapat pada sel basal, sel basal berasal dari sel yang sedang membelah itu.

Tiap silia diselubungi oleh lanjutan membran sel atau membran plasma. Di dalam silia ada sehelai filamen (atau fibril) yang disebut aksonema. Di bawah aksonema terdapat badan basal yang silindris dan pendek, lebih ke bawah lagi fibril memanjang sampai ke sitoplasma apikal dan di sini disebut sebagai tempat akar. Di sini silia tertanam kuat dan kemungkinan tempat akar ini meneruskan impuls saraf dari satu silia

14

Page 15: ANATOMI HIDUNG

ke silia di sebelahnya sehingga dapat timbul irama yang selaras. Filamen ini adalah pasangan tubulus yang tersusun seperti roda pedati, ada 9 pasangan terletak di bagian luar sepanjang perifer aksonema dan satu pasang di tengah.

Kesembilan pasangan luar ini msaing-masing terdiri dari dua mikrotubulus juksta: subfibril A, yang letaknya agak di sentral dan subfirbril B yang letaknya agak di tepi dan lebih pendek. Ada 2 lengan yang tersusun teratur, terdiri dari ATPase yang dinamakan dynein, menghubungkan subfibril A dengan B dari pasangan sebelahnya. Selain itu ada penghubung lain antara subfibril A dan B dari pasangan sebelahnya, yang tersusun teratur seperti halnya dynein, yaitu dengan interval tertentu di sepanjang subfibril. Diduga ini berasal dari bahan elastis yang disebut neksin. Dari A menuju pasangan yang di tengah ada jari-jari yang radial. Di bagian dasar silia, pasangan tubulus sentral berkahir dan masing-masing pasangan perifer melanjutkan diri ke bawah untuk masuk ke badan basal sebagai tripel, karena ada tambahan subfibril C.

Dapat diterangkan bahwa gerakan silia terjadi karena tubulus saling meluncur di atas tubulus lainnya, sehingga timbul gerakan seperti mencukur dan mengakibatkan silia menunduk. Energi untuk ini berasal dari lengan dynein (ATPase) yang memecah adenosin tri fosfat (ATP). Pada waktu menunduk terjadi proses penambatan kembali jari-jari. Poros gerakan silia adalah garis tegak lurus pada bidang yang menghubungakan pasangan tubulus sentral. Sleigh berpendapat bahwa tekanan yang terasa oleh silia akibat kontak dengan silia di sebelahnya yang menunduk merupakan stimulus untuk menunduk juga, mengikuti irama yang beraturan (Gambar 1-17).

Sel-sel bersilia gugur dan diganti secara teratur. Kemungkinan besar sel-sel basal mempunyai potensi untuk berdiferensiasi menjadi sel goblet atau sel bersilia sesuai dengan kebutuhan.

Belum diketahui dengan jelas apa yang mengontrol gerak silia. Pada manusia tidak ada saraf pengontrol, meskipun pada faring kodok ada. Tetapi kontrol saraf akan mempengaruhi komposisi. Asetilkolin akan meningkatkan frekuensi gerak silia pada kodok, dan 5 hidroksi triptamin (serotonin) meningkatkan gerak silia pada moluska tetapi efeknya kecil pada mamalia. ATP merupakan sumber energi utama pada aktivitas silia mamalia.

15

Page 16: ANATOMI HIDUNG

16