analisis throughput pada kinerja load balancing jaringan...
TRANSCRIPT
6
1. Pendahuluan
Dewasa ini manusia sangat bergantung pada kebutuhan akses informasi
internet secara mudah, cepat dan praktis. Peralatan elektronik yang mendukung
teknologi wireless merupakan pilihan banyak orang sebagai koneksi internet. Hal
tersebut dikarenakan wireless memberikan kemudahan dan fleksibilitas yang
tinggi. Teknologi wireless dapat diimplementasikan di berbagai tempat yang tidak
mungkin dapat dicapai jaringan kabel, sehingga teknologi ini efektif dan populer
untuk perangkat layaknya notebook, smartphone, dan gadget-gadget lain yang
semakin lama banyak digunakan oleh masyarakat luas.
Melalui gelombang elektromagnetik, Wireless LAN mengirim dan
menerima data melalui udara, dan meminimalkan penggunaan sambungan kabel,
sehingga Wireless LAN memiliki fleksibilitas, mobilitas, kemampuan handover,
menawarkan efisiensi waktu dan biaya pemeliharaan yang murah [1]. Dalam
kenyataannya, masih banyak penggunaan teknologi wireless seperti jaringan
hotspot, yang masih menggunakan backbone kabel ke dalam setiap access point
yang dipakai. Hal ini dirasa kurang efisien dan kesulitan dalam
implementasi.Teknologi yang dapat mengatasi permasalahan tersebut yaitu
menggunakan jaringan WDS (Wireless Distribution System).Teknologi ini
memungkinkan koneksi beberapa access point secara langsung tanpa
menggunakan backbone kabel [2].
Faktor kendala yang mempengaruhi jaringan nirkabel atau biasa dikenal
dengan sebutan Wireless Local Area Network (WLAN) selain manajemen
bandwidth adalah kemacetan atau bottleneck yang terjadi dikarenakan banyaknya
user yang mengakses WLAN. Dengan jumlah user yang overload dan tanpa
pembatas user yang diatur di setiap AP tersebut akan mengakibatkan congestion,
untuk mengatasi hal tersebut akan digunakan pengaturan dalam sistem WDS
dengan mikrotik yang mengacu pada load balancing dengan mengontrol dan
membatasi jumlah user serta melakukan pembagian jumlah userdengan membesar
kecilkan cakupan Tx power APsesuai dengan bebannya menggunakan metode
cell breathing[3].
Saat ini jaringan WLAN di Pusat internet dan game Neo-Net Salatiga masih
menggunakan teknologi WLAN standar, yaitu masih terdapat dua SSID untuk
setiap WLAN dengan menggunakan satu router board mikrotik dengan dua
access point yang tidak diatur jumlah maksimal user dari setiap access point
sehingga bekerja hanya pada signal jaringan access point terkuat sehingga setiap
user yang akan terhubung dengan WLAN secara random akan terhubung apada
AP dengan cakupan Tx power yang terkuat, dengan jarak user ke AP paling
dekat sehingga dapat mengakibatkan throughput dan paket data tidak maksimal.
Dari gambaran jaringan tersebut juga mengakibatkan terjadinya overload dan
congestion. Load balancing menggunakan metode cell breathing dengan mikrotik
ini dijadikan solusi untuk mengatur kapasitas userdi setiap access point, sehingga
secara otomatis access point yang telah terisi dengan banyak user, tidak akan
terjadi overload maupun congestion. Dengan kapasitas jumlah user yang sudah
teratur menjadikan throughput menjadi maksimal dan mengurangi delay yang
terjadi.
7
Agar tidak memperluas area pembahasan, perlu adanya batasan-batasan
untuk menyederhanakan permasalahan, yaitu (1) hanya melakukan perancangan
dan konfigurasi, serta menganalisis kinerja WLAN dalam penerapan WDS dengan
konsep cell breathing di jaringan NEO-Net salatiga (2) perangkat yang digunakan
sesuai dengan alat-alat yang terdapat pada jaringan lama di Neo-Net yaitu: satu
buah Mikrotik outdoor RB 411AR yang mempunyai dua interface wireless, satu
miniPCI R52 serta satu buah antenna yang bekerja di frekuensi 2.4 Ghz.
Menggunakan ISP BMP dengan paket 2Mb up to 4Mb (3) pengujian dilakukan
pada saat sebelum dan sesudah jaringan WLAN dengan metode cell breathing(4)
menggunakan total user dengan 21 random client/device (5) pengamatan jaringan
dilakukan dari salah satu user dari total 21 user yang terhubung dengan WLAN
(6).
Tujuan dari penelitian ini adalah merancang, membangun, dan menganalisis
sebuah jaringan WLAN standar menjadi WLAN yang dikonfigurasi menggunakan
metode cell breathing untuk memaksimalkan kualitas throughput. Manfaat yang
dapat diambil dari penelitian ini adalah memberikan informasi untuk kepentingan
ke depannya dalam dunia teknologi, terutama tentang pemahaman teknologi WDS
yang mulai banyak diterapkan. Serta konsep kerja pembatasan user yang
bermanfaat diterapkan di dalam kasus WLAN di Neo-net Salatiga maupun di
tempat lain.
2. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian sebelumya dilakukan oleh Olivia Brickley dari Cork
Institute of Technology, peneliti tersebut menggunakan1 Routerboard dan 2 AP
serta menggunakan 17 random user yang aktif untuk koneksi WLAN. Tujuan
utama dari penelitian sebelumnya adalah menganalisis beban dari masing-masing
AP dengan 17 user dan membuktikan bahwa dengan menggunakan metode load
balancing untuk mencegah terjadinya kemacetan yang terjadi di dalam trafik
WLAN. Penelitian tersebut dilakukan dan dibandingkan dengan jaringan WLAN
standar sebelum dan sesudah memakai metode load balancing. Dengan topologi
jaringan WLAN standar menggunakan dua SSID dilakukan percobaan 17 user
dengan letak user secara random, secara otomatis akan terhubung pada salah satu
AP terdekat dan terbukti 17user hanya terhubung pada satu AP dan menghasilkan
kemacetan atau yang biasa disebut bottleneck sebesar 60%. Setelah merubah
topologi dari topologi WLAN kabel standar dengan membuat dua SSID dan
menggunakan WDS serta menggunakan metode Load Balancing dihasilkan
penurunan bottleneck sebesar 100%. Penelitian tersebut dilakukan sebanyak 14
kali berturut dalam waktu 9 menit dengan kapasitas 17 user yang aktif secara
random. Dalam waktu 9 menit tersebut pemutusan koneksi WLAN pada setiap
user sebanyak 19 kali. Untuk perbandingan sebelum dan sesudah menggunakan
load balancing di dalam AP tersebut dapat dilihat bahwa sebelum menggunakan
load balancing terjadi kemacetan sebesar 60% dikarenakan 17 user yang aktif
secara random.[4].
8
Tabel 1 Kemacetan Trafik Sebelum Menggunakan Load Balancing
Waktu(s) USER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
0.0-60
60-120
120-180
180-240
240-300
300-360
360-420
420-480
480-540
Pada Tabel 1 menunjukkan terjadinya bottleneck pada AP 1 di dalam
jaringan WLAN. Semua user terhubung hanya pada AP 1 dikarenakan semua user
terletak pada posisi paling mendekati AP 1 dan menjadikan bukti kelemahan pada
WLAN standar. Setelah menggunakan Load Balancing, menghasilkan jaringan
WLAN jauh lebih baik yaitu jaringan tanpa terjadi bottleneck sama sekali.
Perbandingan hasil dari penelitian tersebut membuktikan bahwa dengan
menggunakan load balancing WLAN meningkatkan performa WLAN dari
congestion yang terjadi 60% hingga tanpa terjadi congestion sama sekali. Pada
kesempatan yang diberikan untuk melengkapi penelitian sebelumya maka peneliti
dalam penelitian ini akan menerapkan teknologi cell breathing dalam kinerja
Load Balancing Mikrotik pada jaringan WLAN.
Cell breathing (Pernapasan sel) adalah mode wireless yang digunakan untuk
mencerminkan fakta bahwa cakupan area dari base station dalam sistem WLAN
akan menjadi lebih kecil jika ada lebih banyak user. Dalam metode jaringan ini
secara umum diterapkan pada jaringan seluler CDMA dengan konsep dari
cakupan base station atau sumber sinyal dan kapasitas antar pengguna yang saling
berhubungan[5]. Meningkatnya jumlah pengguna yang aktif di dalam sel
menyebabkan meningkatnya traffic rate pada sel (base station).Istilah Cell
Breathing menunjuk pada pernapasan sel yang terjadi pada base station atau
sumber sinyal elektromagnetik dari suatu jaringan. Di dalam penelitian ini
dilakukan penerapan dari cell breathing dari jaringan selular ke dalam jaringan
WLAN. Pengaturan dilakukan di dalam AP dengan mengatur cakupan transmit
power. Peningkatan jumlah user yang aktif dalam cakupan sel menyebabkan
peningkatan total interferensi pada base station dan dapat mengakibatkan
congestion. Untuk mengatasi hal tersebut di dalam cakupan sel, user perlu untuk
mengirimkan dengan daya yang lebih tinggi untuk mempertahankan rasio signal-
9
to-noise tertentu ke user. Pengaturan cakupan Tx power di dalam AP yang terjadi
overload. Konsep pengaturan cakupan Transmit Power dari AP atau base station
paling luas adalah 24dBi. Dengan memperkecil cakupan area Tx power, secara
otomatis akan membatasi jumlah user, memperbesar throughput jaringandan
mengurangi kemacetan. Bentuk cell breathing seperti pada Gambar 1.
Gambar 1 Mekanisme Kinerja Metode Cell Breathing[3]
Pada Gambar 1 adalah gambaran dari metode cell breathing secara umum
menurut IEEE. Terlihat adanya banyak user yang terhubung dengan ke 2 AP.
Diketahui bahwa jika terdapat banyak user yang akan terhubung dengan WLAN
tersebut, dan skalabilitas random browsing yang dilakukan oleh semua user,
secara otomatis akan mempengaruhi jumlah throughput yang akanditerima setiap
user. Pada Gambar 1 terlihat perubahan cakupan Tx Power dari AP, pada AP 1
cakupan Tx power dikecilkan sehingga range AP ke user menjadi terbatas, tetapi
throughput dari AP 1 semakin besar. Secara otomatis, user yang lain akan
terhubung pada AP2. Dari proses tersebut secara otomatis beban trafik yang
terjadi akan menjadi seimbang untuk masing-masing AP dan pembagian beban
trafik tersebut dapat dilakukan sesuai jumlah user yang terhubung di dalam
WLAN [6].
Dari konsep Cell Breathing dalam kasus ini dieketahui bahwa titik persoalan
dari studi kasus yaitu banyaknya jumlah user yang selalu berubah-ubah setiap
waktu dan dari total proses penggunaaan bandwidth yang selalu berkurang setiap
waktunya. Dari masalah tersebut juga menghasilkan throughput yang tidak
maksimal dan sering terjadi kemacetan. Oleh karena itu dalam penelitian ini
peneliti menggunakan formula pendekatan “user distribution” [3]:
Formula yang digunakan adalah perbandingan dari jumlah user dan
kapasitas pemakaian WLAN(SDM) dengan kinerja WLAN sebelumnya yang
dikonfigurasi dengan Load balancing dan berdasar sistem throughput normal
jaringan sebelumnya. (TN) didefinisikan sebagai fraction of time (kumpulan waktu
dari channel yang berhasil terhubung dengan transmit payload tiap bitsnya).
Untuk perhitungan Ttr (kemungkinan bahwa ada 1 tranmisi yang diberikan slot
dalam AP) dan Ps(kemungkinan tranmisi yang berhasil terhubung) serta r(
kemungkinan bahwa user melakukan transmit data); n(jumlah client yang
terhubung dengan AP) dapat dihitung dengan menggunakan formula:
10
Hasil yang didapat dari rumus tersebut dikelompokkan dan dirangkum dalam
Tabel 2. Tabel 2 Hasil Perhitungan dari Rumus user distribution
parameter Keterangan Hasil dari rumus
E[P] Rata-rata ukuran payload(diukur dalam
satuan 50 )
61.8 slot /detik
Durasi slot/waktu yang kosong 50
Ts Rata-rata waktu dari channel AP yang
sibuk /putus
57 slot /detik
Tc Rata-rata waktu dari channel AP yang
terjadi bottleneck
53 slot/detik
Kondisi kemungkinan terjadi bottleneck 0.6n
W Maksimum throughput 128kb/s
3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode
NDLC (Network Development Life Cycle) adapun siklus tahapannya berisi
analysis, design, simulation, prototyping, implementation, monitoring sehingga
perencanaan yang akan dilakukan diharapkan bisa maksimal. Gambar 2adalah
gambaran dari NDLC yang merupakan metode penelitian yang digunakan.Tahap
Analysisadalah tahap dimana dilakukannya analisis permasalahan yang muncul,
analisis topologi dan juga analisis kebutuhan.
Gambar 2 NetworkDevelopmentLife Cycle[7]
Gambar 3 menggambarkan topologi jaringan lama di Neo-net, dimana pada
topologi yang digunakan masih menggunakan metode WLAN standar. Dengan
menggunakan 2SSID dalam jaringan tersebut, masing-masing AP memiliki SSID
11
dan keduanya tanpa menggunakan fitur WDS. Sehingga di dalam jaringan WLAN
tersebut masih beresiko sering terjadinya congestion. Pengetesan throughput
dilakukan menggunakan software Jperf. Jperf adalah software berbasis java yang
digunakan untuk mengukur bandwith, paket loss dan jitter. Hasil pengujian
throughput jaringan wireless WLAN standar di Neo-net yang lama oleh salah satu
user dari 21 random user yang mengakses WLAN standar.
Gambar 3Topologi Jaringan Neo-Net Lama
. Tabel 3 Hasil Pengujian Pembebanan UDP 1 MB
Interval
(s)
Transfer
(kbytes)
Bandwith
(kbits/s)
Jitter
(ms)
Loss data
(%)
0.0-1.0 86.4 788 6.031 4
1.0-2.0 73.5 517 13.252 7
2.0-3.0 111 835 10.188 22
3.0-4.0 121 882 7.436 6.7
4.0-5.0 108 906 10.358 3.8
5.0-6.0 109 953 4.084 13
6.0-7.0 75 553 16.437 11
7.0-8.0 87.6 894 8.981 36
8.0-9.0 69.7 964 7.276 0
9.0-10.0 124 906 15.223 9.2
Tabel 3 menampilkan hasil pengukuran dengan ukuran UDP Bandwith
sebesar 1 Mbytes pada salah satu userpada congestion dengan 21 random user
jaringan lama adalah sebagai berikut, totalinterval = 0.0-10.0s, total transfer =
12
965.2kbytes, rata-rata bandwith = 0.797Mbit/s, dengan rata-rata jitter = 9.92 ms
dan rata-rata loss data= 11.27 %. Berdasarkan standar ITU, rata-rata loss data
yang dipersyaratkan untuk layanan multimedia dengan kualitas baik yaitu 0-0.5
%[8], Sehingga bisa dikatakan jaringan WLANyang lama masuk kategori buruk,
dan tidak layak untuk digunakan apalagai sebagai layanan multimedia. Setelah
melakukan analisis pada jaringan yang lama selesai, lalu dilakukan analisis
kebutuhan hardware dan software yang mendukung pembuatan dari metode cell
breathing pada Tabel 4. Komponen yang digunakan yaitu RB411AR, Mini PCI
R52, Mini antena omni directional 20dBi, kabel pigtail untuk menyambungkan
antena dan aplikasi Winbox V2.2.15
Tabel 4 Hardware dan Software yang Digunakan
No Komponen Jumlah Spesifikasi
1 Wireless Mikrotik RB411AR 1 -Atheros AR7130
300MHz
--1 buah embedded
Atheros Wireless
802.11b+g 54Mbps
2.4GHz
-2 types ethernet
cap
wireless Tx Power
20dBi
2 MiniPCI R52 1 -
2.4GHz~2.4835GHz
-8 dBi
typ.(excluding cable
loss)
3 Mini Antenna omni directional 1 OM-2024 2.4 GHz
15 dBm.
4 Kable Pigtail 1 RP-SMA Male
5 Winbox 1 Winbox Loader
V2.2.15
Tahap analisis dilakukan pada saat survei lokasi untuk untuk mengetahui
kondisi sebenarnya dilapangan. Denah lokasi bangunan Neo-Net dengan dua
lantai yang digunakan untuk lokasi WLAN umum. Lantai 1 adalah cafe dan
Lantai dua adalah untuk game. Tanda bulat merah adalah tanda untuk masing-
masing AP untuk masing-masing lantai yang dilangsungkan dari lantai 1 ke lantai
2 dengan lubang di lantai 2 serta diperkuat dengan antena 20dBi. Ukuran gedung
dengan Lebar gedung 5meter dan Panjang 10 meter terlihat pada Gambar 4.
13
Cakupan Tx Power AP pada jaringan sebelumnya ini masih menggunakan sistem
WLAN standar tanpa konfigurasi lain, masih menggunakan dua SSID dan
masing-masing AP berdiri sendiri, dalam arti jika ada banyak user yang akan
mengakses WLAN, secara otomatis semua user akan terhubung dengan AP yang
cakupan Tx Powernya paling kuat dan tentunya adalah AP yang jaraknya paling
dekat dengan user. Jika terjadi secara terus menerus maka akan terjadi congestion
atau kemacetan pada jaringan WLAN tersebut khususnya pada AP 1.
Gambar 4 Denah dan Cakupan Tx Power dari Masing-Masing AP di Setiap Lantai
Tahap kedua adalah Design dimana pada tahap ini membuat gambar desain
topologi jaringan yang dibangun. Untuk membuat desain topologi baru
berdasarkan jaringan lama, tidak menambah atau mengurangi device yang sudah
ada. Gambar 5 merupakan desain jaringan baru untuk menerapkan metode cell
breathing. Di dalam topologi ini terdapat perbedaan yaitu pada sistem WDS dan
pengaturan pada Tx Power dari setiap AP berdasar total dari user yang terhubung
pada WLAN. Di dalam penelitian ini menggunakan total 21user. Alasan utama
memakai fitur WDS adalah Teknologi ini memungkinkan koneksi beberapa
access point secara langsung tanpa menggunakan backbone kabel. Keuntungan
yang bisa terlihat dari WDS dibanding solusi lainnya adalah bahwa dengan sistem
ini header MAC address dari paket traffic tidak berubah antar link access point.
Tidak seperti pada proses encapsulation misalnya pada komunikasi antar router
yang selalu menggunakan MAC address pada hop berikutnya. Terminologi
distribution system dalam IEEE 802.11 merupakan sistem yang mampu
melakukan interkoneksi jaringan Basic Service Sets (BSS). Sistem ini lebih baik
dalam membuat sel untuk menghubungkan antar BSS yang dikontrol oleh sebuah
acces point utama. Jadi tujuan utama distribution system yaitu untuk memperluas
14
jaringan wireless yang memungkinkan client melakukan roaming antar jaringan
atau tetap tinggal pada jaringan yang tersedia sebelumnya. Sebuah aspek penting
pada WDS yaitu memiliki perbedaan dalam implementasi, misalnya skema pada
koneksi yang dilakukan pada AP outdoor yang menggunakan channel berbeda
pada penerapan WDS, PC card pada accesspoint melakukan multiple access pada
waktu yang bersamaan[2].
Gambar 5Desain Topologi Jaringan
Tahap ketiga adalah tahap Simulation Prototyping yang merupakan tahap
untuk pembuatan sebuah bentuk simulasi dengan bantuan tools khusus.Pada tahap
simulation prototyping dilakukan proses simulasi dengan software GNS 3 ini
dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Simulasi dengan GNS 3
Dengan aplikasi GNS 3 ini didiskripsikan tentang sistem jaringan yang
akan dibangun. GNS 3 adalah salah satu aplikasi simulasi dalam jaringan dengan
15
spesifikasi yang lengkap. Terdapat fitur mikrotik dalam pembuatan jaringan
secara sederhana ataupun kompleks. Di dalam konfigurasi desain ini dilakukan
pengaturan dari model modem dengan kapasitas bandwidth sebesar 2Mb, dua
router, ip server mikrotik 192.168.5.1, 2 AP, dan 20 userterdapat pada Tabel 5.
Tabel 5 Desain GNS 3
Desain Keterangan
Modem ADSL Bandwidth2Mb
Jumlah Router 1
IP server mikrotik 192.168.5.1
Jumlah AP 2
Jumlah Server 1
Jumlah client 21
Tahap keempat adalah tahap Implementasi, merupakan tahap yang paling
menentukan karena semua perencanaan yang telah dibuat akan diterapkan. Tahap
implementasi akan diterapkan setelah apa yang telah di desain sebelumnya. Tahap
yang dilakukan pada implementasi yang pertama adalah instalasi WDS. Dalam
penelitian ini, peneliti memakai fitur WDS dengan alasan mendasar yaitu fitur
WDS menyediakan layanan untuk menghubungkan beberapa AP tanpa
kabel.Langkah pertama yaitu menghubungkan Main AP (192.168.5.1/24) dan
Slave AP (192.168.5.1/24) dengan mode bridge. Dalam mode tersebut dapat
membentuk koneksi WDS yang bekerja dengan identifikasi SSID kedua access
point untuk sinkronisasi dan beberapa kesamaan konfigurasi diantaranya,
penggunaan channel radio yang sama (channel 11), mode standar wireless yang
sama (802.11 n). Slave AP pada jaringan WDS ini berfungsi sebagai repeater
yang menyediakan link koneksi terhadap Main AP dan menyediakan koneksi
infrastruktur kepada client.Konfigurasi jaringan WDS yang terbentuk selanjutnya
dikoneksikan ke mikrotik router. Hal tersebut dilakukan dengan menyambungkan
interface LAN pada Main AP (192.168.5.1/24) menuju interface mikrotik eth1-to-
Loc (192.168.3.99/24). Melalui konfigurasi tersebut maka jaringan WDS dapat
terhubung dengan mikrotik sebagai gateway jaringan.Mikrotik sebagai gateway
jaringan WDS memiliki beberapa konfigurasi diantaranya pemberian
namainterface dan IP address yang sudah dibahas sebelumnya. Konfigurasi lain
yaitu pada penggunaan DNS server dengan alamat 114.30.80.34 yang mengacu
pada alamat BMP bandwidth 2Mb, pengaturan default gateway router yang
menuju IP 192.168.5.1 (IP BMP).
Access Point mempunyai daya untuk menyalurkan sinyal pada frekuensi
tertentu, daya tersebut disebut Transmit ( Tx ) power dan dihitung dari besar
16
energi yang disalurkan melalui satu lebar frekuensi (bandwidth). Di dalam
penelitian ini Access Point 1 mempunyai besar TxPower 20 dBm pada mode
wireless 802.11g 54Mbps yang dapat mencakup area standar sebesar 1 Km.
Dalam penelitian ini untuk menghitung TxPower, peneliti menggunakan rumus
yaitu: EIRP = Tx Output Power +Antenna Gain. Penelitian ini dilakukan dengan
parameter faktor luas Neo-Net sebesar 10m x 5m, penempatan user dan besar
bandwidth 2Mb.
Tahap kelima adalah tahap Monitoring. Tahap monitoring berfungsi untuk
meninjau atau mengamati kinerja dari jaringan yang telah dibuat tadi agar tetap
berjalan sesuai keringinan dan tujuan awal dari user pada tahap analisis.
Monitoring disini hanya melakukan pengamatan dan analisis pada beberapa
parameter seperti reliabilitas kinerja jaringan dan throughputyang dihasilkan
dengan melakukan pembebanan dengan User Datagram Protocol(UDP).
Pada tahap keenam adalah manajemen atau pengelolaan dan pengaturan
merupakan tahap akhir dalam penggunaan metode NDLC. Manajemen yang
dilakukan adalah pada channel frequency yang digunakan oleh peneliti pada
jaringan yang dibuat dengan menggunakan frequency 2437 MHz dan 2462 MHz ,
pemilihan channel frequency pada frequency 2.4 GHz didasarkan pada 3 channel
frequency yang non-overlapping. Frequency yang diijinkan dalam penggunaannya
ada 14 channel yaitu 2412 MHz, 2417 MHz, 2422 MHz, 2432 MHz, 2437 MHz,
2422 MHz, 2447 MHz, 2542 MHz, 2457 MHz, 2462 MHz, 2467 MHz, 2472
MHz dan 2477MHz. Frekuensi yang non-overlapping hanya ada 3 channel yaitu
channel 1, 6, 11 pada frekuensi 2412 MHz, 2437 MHz serta 2462 MHz [7]
4. Hasil dan Pembahasan
Hasil dan pembahasan dimulai dari konfigurasi yang disederhanakan dalam
bentuk tabel untuk memudahkan dalam membacanya disertai dengan pembahasan
pada tiap-tiap hasil yang ditampilkan dalam bentuk gambar. Pada Tabel 6
merupakan tabel konfigurasi cell breathing. dan hasil konfigurasi pada WLAN
yang telah dibuat, dimana untuk IP address pada RB adalah 192.168.5.1, lalu
ditampilkan juga mac address dan juga remote mac address dimana dimana
menjadi patokan dalam koneksi pada tiap WLAN pada transmit dan juga receive.
Lalu untuk tx/rx band menggunakan yang 2GHz karena bekerja pada frekuensi2.4
GHz dimana masing-masing stream atau tiap link mempunyai channel width 20
MHz, sedangkan untuk frekuensiyang digunakan adalah 2412 untuk menghindari
channel overlapping. Interfacedi routerboard sudah selesai dikonfigurasi setelah
itu dilakukan pengecekan status pada tiap interface.
17
Tabel 6 Konfigurasi Cell Breathing pada Router
Keterangan Routerboard Gedung Neo
IP address 192.168.5.1
Interface name Cell breathing
Mac address D4:CA:6D:B0:92:67
WLAN 1 name WLAN 1
WLAN 2 name WLAN 2
Tx/Rx Band 2GHz-N
Frequency use WLAN 1& WLAN 2 2412
WLAN 1 mode Cell breathing
WLAN 2 mode WDS
Enable cell breathing WLAN 1 yes
Tx power WLAN 1 17dBm
Tx power WLAN 2 24 dBm
Mode Bridge name Bridge1
Pada Tabel 6 dapat dilihat konfigurasi WLAN secara keseluruhan dengan
spesifikasi setiap fitur. Seluruh konfigurasi yang telah dilakukan dirangkum dalam
satu tabel dari IP address, interface name, MAC address, Tx power dan mode
WLAN.
Pada Gambar 7 dapat dilihat interface list dari WDS yang telah dibuat.
Bekerja pada frekuensi yang sama dengan Band 2GHz-G dikarenakan hanya
mempunyai 1 SSID. Kemudian untuk traffic hasil konfigurasi pada interface cell
breathing yang dibebani dengan 21 random useryang aktif.
Gambar 7 Status Interface List
18
Gambar 8 Traffic WLAN 1 dan WLAN 2 Tanpa Cell Breathing
Pada Gambar 8 menunjukkan perbedaan besar Traffic WLAN interface
tanpa menggunakan cell breathing. Terlihat yang telah dikonfigurasi dengan
beban random 21 user untuk WLAN 1 dan 2. Dalam grafik traffic terlihat bahwa
pada WLAN 1 mengalami beban yang padat sehingga pelonggaran sel harus
dilakukan. Maka dilakukan penerapan cell breathing untuk cakupan Tx power dari
24 menjadi 17 AP 1 akan diperkecil sehingga memaksimalkan throughput dengan
membagi jumlah userdengan AP 2. Untuk perbandingan lain dari WLAN 1 dan 2
Setelah dilakukan metode cell breathing adalah seperti pada Gambar 9.
Gambar 9Traffic WLAN 1 dan WLAN 2 Setelah Menggunakan Cell Breathing
Pada Gambar 9 menampilkan traffic tiap-tiap WLAN yang telah
dikonfigurasi cell breathingdi gedung Neo. Disini tiap-tiap WLAN hanya
menangani pembagian beberapa user sesuai dengan konfigurasi cell breathing.
Secara teknis rongga sel di AP 1 akan diperkecil sehingga cakupannya area Tx
19
Power akan menjadi kecil tetapi total throughput akan lebih maksimal sedangkan
di sisi AP 2 rongga sel akan diperluas untuk menampung user lain yang akan
terhubung dengan WLAN. Traffic yang tampil memperlihatkan bahwa WLAN
1dan WLAN 2 menangani 21 usersecara random. Dengan 1 SSID akan
memudahkan proses penyambungan dengan jaringan WLAN. Secara otomatis
WLAN 1 akan menampung hanya beberapa user saja dan selebihnya akan
terhubung ke WLAN 2[7].
Gambar 10traffic ping dari user ke WLAN yang telah dikonfigurasi
Gambar 11Cakupan Tx Power AP setiap lantai setelah menggunakan cell breathing
Pada Gambar 10 menampilkan hasil testping antara user ke routerboard di
gedung NEO telah dikonfigurasi tadi untuk memastikan koneksi WLAN sudah
berjalan dengan baik. Ping dari 192.168.5.1 merupakan ip routerboard yang
merupakan WLAN 1 dengan jarak dari user ke AP 3 Meter. Pada gambar 11
menunjukkan cakupan Tx power dari AP setiap lantai yang telah menggunakan
cell breathing. Hasil cakupan tersebut telah dilakukan pengujian dari penempatan
user random dari berbagai sisi di ruangan tersebut. Terlihat bahwa cakupan Tx
power menunjukkan sifat sinyal dinamis yaitu dengan cakupan AP power sesuai
dengan bebannya.
20
Gambar 12 Test download WLAN 1 dengan beban overload 10 usertanpa cell breathing
Pada Gambar 12 menampilkan hasil download pada salah satu random user
dari 21user pada jaringan lama dimana jaringan ini tanpa menggunakan cell
breathinghanya mampu melakukan transfer rate 30.988 kb/sec. Hasil dari
download ratekurang maksimal karena jaringan lama masih menggunakan metode
transmisi WLAN standar dan masih mengalami overload dan congestion,
kemudian dilakukan pengujian berikutnya dengan menggunakan jaringan yang
telah diterapkan cell breathing pada salah satu random user di WLAN 1.
Gambar 13 Test download ratedengan metode cell breathing
Pada Gambar 13 menampilkan hasil download pada salah satu random user
dari 21user pada jaringan baru dimana jaringan ini menggunakan metode cell
breathing dengan hasil mampu melakukan transfer rate 101.305 kb/sec. Hasil dari
download rate terlihat sudah lebih baik dari jaringan lama karena jaringan ini
sudah dikonfigurasi dengan membagi user dengan memperkecil area cakupan Tx
Power pada WLAN 1. Untuk mendapatkan nilai throughput rata-rata maka
dilakukan uji coba, dengan cara melakukan perhitungan secara manual
Diketahui : File Size = 23.141MB = 23696,384 kb
waktu (s) = 1menit 26 detik = 86 s
Transfer rate / download terbaik = 101.305kb/sec
Parameter perhitungan pertama diambil dari transfer rate/download terbaik,
hasil bandwidth yang bisa diperoleh:
download terbaik = 101.305 kb/sec
bandwidth = 101.305 x 8 = 810.4kb/sec
21
Parameter perhitungan kedua diambil berdasarkan file size dan waktu lama
download. Sisa file yang belum terdownload berdasarkan Gambar 13 file size
yang belum terdownload adalah:
23.141Mb – 14.611MB
8.63MB = 8734.72kb =69877.76kb
waktu lama download = 86s
waktu lama download = filesize/bandwidth
bandwidth = filesize / waktu lama download
bandwidth = 69877.76kb/86s = 812.532093kb/sec
Berdasarkan hasil perhitungan yang telah diolah, perbandingan perhitungan
bandwidth berdasarkan lama waktu download, ukuran file serta download rate
yang didapat hasilnya tidak begitu jauh.
Tabel 7Pengujian dengan Beban 1 MB
Interval Transfer Bandwidth Jitter Loss
(s) (KBytes) Kbps (ms) (%)
0.0 - 1.0 sec 122 Kbytes 1000 Kbits/sec 1.285 ms 1
1.0 - 2.0 sec 119 Kbytes 976 Kbits/sec 0.408 ms 1
2.0 - 3.0 sec 125 Kbytes 1023 Kbits/sec 0.777 ms 0
3.0 - 4.0 sec 122 Kbytes 1000 Kbits/sec 0.522 ms 1
4.0 - 5.0 sec 122 Kbytes 1000 Kbits/sec 1.078 ms 0.4
5.0 - 6.0 sec 122 Kbytes 1000 Kbits/sec 1.549 ms 0
6.0 - 7.0 sec 122 Kbytes 1000 Kbits/sec 0.018 ms 0.3
7.0 - 8.0 sec 122 Kbytes 1000 Kbits/sec 1.574 ms 0.7
8.0 - 9.0 sec 122 Kbytes 1000 Kbits/sec 1.312 ms 0
9.0 - 10.0 sec 122 Kbytes 999 Kbits/sec 1.599 ms 0.5
Pada Tabel 7 merupakan pengujian pertama pada salah satu user dengan cell
breathing menampilkan hasil pengujian menggunakan jperf. Didapatkan hasil
pengukuran dengan ukuran UDP bandwidth sebesar 1 Mbytes adalah sebagai
berikut total interval = 0.0-10.0s, total transfer = 12.2 Mbytes, rata-rata
bandwidth = 1.004 Mbits/s, dengan rata-rata jitter = 1.62 msdan rata-rata loss
22
data = 0.2%. Berdasarkan data yang telah didapat, selanjutnya melakukan
penempatan berdasarkan standard dari ITU untuk mengetahui kualitas dari
jaringan.
Tabel 8 Jitter Standar dari ITU
Berdasarkan pada Tabel 8 rata-rata jitter yang didapat dengan pembebanan
UDP 1 MB didapatkan adalah 1.62 ms dikategorikan baik, karena masuk dalam
range jitter 0 - 20 ms dengan kategori jaringan yang baik.
Tabel 9 Packet LossStandar dari ITU
Packet loss % Penjelasan
0 - 0.5 Baik
0.5 – 1.5 Cukup
1 - 5 Buruk
Berdasarkan pada Tabel 9 Paket loss standard ITU, didapatkan packet loss
pada pembebanan UDP 1 MB adalah 0,49 %, hal ini termasuk dalam kategori
baik karena masuk dalam range 0 – 0.5 % dalam tabel standard packet loss dari
ITU.
Gambar 14 Hasil Analisis sebelum dan sesudah implementasi Cell breathing
(Throughput )
Jitter (ms) Penjelasan
0 – 20 Baik
20 – 50 Cukup
>50 Buruk
23
Dari Gambar 14 terlihat perubahan throughput jaringan WLAN sebelum
dan sesudah menerapkan metode cell breathing. Terbukti throughput menjadi
lebih baik untuk jaringan WLAN dengan cell breathing, meningkat sebesar= 60%.
Gambar 15 Hasil Analisis sebelum dan sesudah implementasi Cell breathing(paket loss)
Dari Gambar 15 terlihat perubahan throughput jaringan WLAN sebelum
dan sesudah menerapkan metode cell breathing. Terbukti throughput menjadi
lebih baik untuk jaringan WLAN dengan cell breathing, meningkat sebesar= 80%.
Gambar 16 Hasil Analisis sebelum dan sesudah implementasi Cell breathing(jitter)
Dari Gambar 16 terlihat perubahan throughput jaringan WLAN sebelum dan
sesudah menerapkan metode cell breathing. Terbukti throughput menjadi lebih
baik untuk jaringan WLAN dengan cell breathing, meningkat sebesar= 70%.
5. Simpulan
Dari hasil penelitian yang diperoleh throughput jaringan lama yang
diperoleh hanya mampu melakukan transfer rate 30 kBps setelah diterapkan Cell
Breathing mampu melakukan transfer rate sebesar 101 kBps karena WLAN
dengan metode cell breathing inimampu menghasilkan throughputyang besar.
Cell breathing menghasilkan traffic lebih baik untuk setiap user yang terhubung
dengan WLAN. Metode ini terbukti dapat mengatasi congestion dan overloading.
24
Hasil analisis dari pembagian user dan akses 21 user secara random ini
membuktikan bahwa metode ini jauh lebih baik daripada jaringan WLAN standar.
Selain mengoptimalkan kinerja AP, setiap user tidak akan mengalami kegagalan
traffic di dalam jaringan WLAN sehingga user dapat maksimal dalam memakai
layanan WLAN.
6. Daftar Pustaka
[1] Arianto, Tri, 2009, Implementasi Wireless Local Area Network dalam
RT/RW Net, Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK, 14(2) :152-157.
[2] Putra, Dimas Lazuardi Adya, 2011, Analisis Kinerja Implementasi Wireless
Distribution System Pada Perangkat Access Point 802.11 G Menggunakan
OPENWRT, http://repo.eepis-its.edu/494/1/1305.pdf. (Diakses tanggal 8
Januari 2014).
[3] Shengling Wang, 2009 “Cell Breathing Based on Supply-Demand Model in
Overlapping WLAN Cells” dalam Proc.IEEE PIMRC'98, Vol. 2, pages 677-
681, Boston, MA, USA, September.
[4] Olivia Brickley, 2005 “Load Balancing in Wireless LANs Utilising Advanced
Cell Breathing To Decrease Bottleneck Rate” Centre for Adaptive Wireless
Systems,Department of Electronic Engineering,IEEE Cork Institute of
Technology, Cork, Ireland. 0-7803-8887.
[5] A. Jalali, 1998On cell breathing in CDMA networks. In Proc. IEEE ICC'98,
Vol. 2, pages 985 - 988, Atlanta, Georgia, USA.
[6] P. Bahl, M. T. Hajiaghayi, K. Jain, V. Mirrokni, L. Qiu, and A. Saberi. Cell
breathing in a wireless lans: Algorithms and evaluation. Microsoft Technical
Report, 2005.
[7] James E. Goldman, Philips T. Rawles, Third Edition, John Wiley & Sons,
2001, Applied Data Communications, A business-Oriented Approach 470.
[8] ITU, 2011, http://www.Itu.Int/En/Pages/default.aspx. Diakses tanggal 6
Februari 2014.
[9] IEEE Cell Breathing in Wireless LANs: Algorithms and Evaluation, 2004,
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/summary?doi=10.1.1.106.7891. (Diakses
tanggal 10 Januari 2014).
[10] Wilkins, Sean, 2011, Designing for GNS3 Internetwork Solutions (DESGN),
United States.
[11] “Channel dan Interfensi pada WLAN (802.11)”
http://www.ilmujaringan.com/?p=618(diakses 2 january 2014)
[12] A. Balachandran, P. Bahl, G. Voelker, 2002"Hot-Spot Congestion Relief
inPublic-Area Wireless Networks" WMCSA.