analisis terhadap hubungan kausalitas antara inflasi dan pengangguran di indonesia periode 1990-2001
DESCRIPTION
ANALISIS TERHADAP HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA INFLASI DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA PERIODE 1990-2001Baca selengkapnya di http://www.contohmakalah77.comTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Inflasi dan pengangguran sudah sejak lama menjadi permasalahan yang dihadapi
oleh banyak negara, terutama negara sedang berkembang. Inflasi sering didefinisikan
sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus
(Boediono,1992). Dengan kenaikan harga barang tersebut, perekonomian akan
mengalami ketidakstabilan secara menyeluruh dan akan mempengaruhi perilaku
pemerintah dan masyarakat.
Pemerintah berusaha untuk menekan laju inflasi di bawah 10% karena persentase tersebut
menjadi semacam batas psikologis yang dipakai sebagai ukuran stabilitas harga, dan itu
juga berarti stabilitas perekonomian makro secara menyeluruh (Prasentiontono,1993,hal
126).
T.Nakamura dalam artikelnya yang berjudul “Inflation in the Republic of Korea,
Phillipine and Indonesia” menyebutkan alasan mengapa inflasi begitu penting untuk
mendapatkan perhatian pemerintah, yaitu :
a) inflasi dapat memperburuk neraca pembayaran
1
b) inflasi dapat menurunkan tabungan domestik yang merupakan sumber dana investasi
bagi negara sedang berkembang
c) defisit neraca perdagangan akan dapat menaikkan jumlah utang luar negeri
Dengan alasan-alasan tersebut, maka pemerintah menetapkan untuk menekan inflasi tidak
mencapai dua digit.
Pembicaraan mengenai inflasi mulai sangat populer di Indonesia ketika terjadi
inflasi yang mencapai 650% pada pertengahan tahun 1960-an. Berdasarkan pengalaman
pahit tersebut, pemerintah senantiasa berusaha untuk mengendalikan laju inflasi. Di
bawah ini adalah laporan inflasi dari November 1999 s/d Juni 2002 berdasarkan
perhitungan inflasi tahunan.
Tabel 1.1
Bulan Tahun Tingkat Inflasi
June 2002 11.48 %May 2002 12.93 %April 2002 13.30 %March 2002 14.08 %
February 2002 15.13 %January 2002 14.42 %
December 2001 12.55 %November 2001 12.91 %October 2001 12.47 %
September 2001 13.01 %August 2001 12.23 %
July 2001 13.04 %June 2001 12.11 %May 2001 10.82 %April 2001 10.51 %March 2001 10.62 %
February 2001 9.14 %January 2001 8.28 %
December 2000 9.35 %November 2000 9.12 %October 2000 7.97 %
September 2000 6.79 %August 2000 6.11 %
July 2000 4.56 %June 2000 2.15 %May 2000 1.28 %April 2000 0.15 %
2
March 2000 - 1.10 %February 2000 -0.84 %January 2000 0.35 %
December 1999 2.01 %November 1999 1.75 %
Sumber : Laporan Bank Indonesia Juli 2002
Pengangguran adalah kelompok masyarakat yang sudah masuk dalam golongan
angkatan kerja, tapi mereka tidak bekerja, atau tidak mendapatkan pekerjaan atau sedang
mencari pekerjaan (Paul R.Milgran dan John Robert,1992)
Pengangguran merupakan masalah yang ada di seluruh negara di dunia, terutama
negara-negara sedang berkembang. Sebenarnya pengangguran merupakan masalah sosial,
namun pada akhirnya menjadi masalah ekonomi juga karena akan mempengaruhi tingkat
pertumbuhan perekonomian negara. Sebagai negara baru/negara miskin (kebanyakan),
jumlah lapangan pekerjaan di negara sedang berkembang masih belum dapat menampung
jumlah pencari kerja.
Pengangguran di berbagai negara akan menimbulkan banyak gejolak ekonomi
seperti halnya dengan inflasi akan mempengaruhi kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
Tidak tertampungnya tenaga kerja dalam suatu kegiatan ekonomi disebabkan oleh banyak
hal diantaranya, kurangnya keahlian yang dimiliki oleh si tenaga kerja dan terbatasnya
jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Menurut Dr. Payaman J.Simanjuntak, dunia
ketenagakerjaan nasional kini tengah menghadapi masalah besar yaitu timpangnya laju
kesempatan kerja dibandingkan dengan pertambahan angkatan kerja setiap tahunnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran di Indonesia
menunjukkan kecenderungan naik sejak tahun 1997 hingga 1999 dan sedikit menurun
pada tahun 2000. Tingkat pengangguran pada tahun 2000 tercatat sebesar 6,14 persen,
sedangkan tahun 1999 sebesar 6,36 persen. Pihak BPS sendiri menyatakan belum
mempublikasikan berapa tepatnya jumlah pengangguran di tahun 2000. Tingkat
3
pengangguran tersebut dinyatakan sebagai persentase dari penjumlahan banyaknya
penganggur terbuka dan setengah penganggur terpaksa terhadap banyaknya orang yang
tercakup sebagai angkatan kerja.
Berbicara mengenai pengangguran di Indonesia, maka yang dimaksud adalah
pengangguran terbuka dan belum meliputi mereka yang termaksud dalam pengangguran
terselubung (disguised unemployment) atau setengah pengangguran yang angkanya
selama ini jauh lebih besar dibandingkan angka pengangguran terbuka dan yang lebih
menarik, pengangguran terbuka ini didominasi oleh keluarga masyarakat yang
berpendidikan cukup tinggi. Data pengangguran tercatat di Indonesia adalah data
pengangguran terbuka, tidak termasuk pengangguran terselubung atau setengah
pengangguran seperti ibu RT, dan mahasiswa yang masih belajar. Pengangguran terbuka
adalah angkatan kerja yang masuk dunia kerja namun tidak memperoleh pekerjaan atau
masih mencari pekerjaan.
Kondisi setengah pengangguran terbagi lagi menjadi dua keadaan, yaitu setengah
pengangguran kentara dan setengah pengangguran tidak kentara. Setengah pengangguran
kentara (visible underemployment) mencerminkan ketidakcukupan dalam volume
pekerjaan, sedangkan setengah pengangguran tidak kentara (invisible underemployment)
mencerminkan ketidaktepatan penempatan sumber daya manusia atau ada
ketidakseimbangan antara tenaga kerja dengan faktor produksi.
Definisi bekerja sangat longgar sehingga batas antara orang yang bekerja dan
pengangguran tipis. Orang dikatakan telah bekerja jika telah melakukan kegiatan
ekonomi dengan maksud memperoleh pendapatan atau keuntungan dalam satu jam secara
tidak terputus selama satu minggu yang lalu. Definisi ini berbeda antara negara yang satu
4
dengan lainnya, tergantung dari keadaan negara tersebut, terutama dalam menentukan
berapa jam seseorang dapat digolongkan menjadi kelompok yang telah bekerja.
Dengan minimnya jam kerja yang dipersyaratkan dalam definisi ini, sangat banyak orang
yang termasuk dalam angkatan kerja. Dalam angka kelompok pengangguran terlihat lebih
sedikit dari keadaan nyatanya. Dapat saja jumlah penganggur di Indonesia dalam angka
terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan negara tetangga. Padahal kenyataannya tidak
demikian, secara riil mungkin saja sebenarnya jumlah pengangguran lebih tinggi di
Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena standar minimum jam bekerja di negara lain lebih
tinggi dibandingkan dengan standar yang digunakan di Indonesia.
Sebagai perbandingan, Orgasisasi Buruh Internasional (ILO-International Labour
Organization) juga mengeluarkan definisi baku tentang pengangguran dan setengah
pengangguran.
Definisi ini disusun atas tiga kriteria, yaitu tidak bekerja, bersedia bekerja, dan sedang
mencari pekerjaan. Penganggur didefinisikan sebagai seseorang yang termasuk kelompok
penduduk usia kerja yang selama periode tertentu tidak bekerja, bersedia menerima
pekerjaan, serta sedang mencari pekerjaan. Orang yang termasuk dalam kelompok ini
disebut penganggur terbuka atau penganggur penuh (open unemployment).
Diantara tujuan-tujuan kebijakan ekonomi makro, inflasi dan pengangguran merupakan
masalah tersendiri yang cukup menyita perhatian pemerintah. Untuk mengatasi inflasi,
sebelum mengambil kebijakan, harus diketahui terlebih dahulu faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya inflasi. Harga barang-barang umum yang dipantau oleh
pemerintah ditentukan oleh permintaan dan penawaran agregat. Bila laju pertumbuhan
5
permintaan agregat lebih besar daripada laju pertumbuhan penawaran agregat, maka akan
timbul inflasi yang didorong oleh permintaan (demand pull inflation-Nopirin,1997)
Dalam kaitannya dengan inflasi, jumlah pengangguran bisa dipengaruhi melalui
perusahaan tempat pekerja bekerja, atau lewat pasar tenaga kerja. Pada perusahaan, saat
terjadi inflasi, harga barang produksinya naik sehingga perusahaan mendapat keuntungan
tambahan. Tambahan keuntungan tersebut digunakan untuk meningkatkan kapasitas
produksinya. Peningkatan kapasitas produksi memerlukan tambahan sumber daya
termasuk tenaga kerja, sehingga menyerap tenaga kerja, dan hal itu menyebabkan angka
pengangguran berkurang.
Namun jika terjadi deflasi (inflasi negatif), harga barang-barang turun, sehingga
pendapatan perusahaan berkurang. Di sisi lain, pengeluaran perusahaan tetap, antara lain
untuk gaji karyawan. Sehingga untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan dilakukan
PHK oleh pemilik perusahaan terhadap karyawan, terutama yang tidak atau kurang
produktif.
Tabel 1.2
Pengangguran berdasar Tingkat Pendidikan pada th 1997, 1998, 1999, 2000 dan 2001
Tingkat Pendidikan 1997 1998 1999 2000*) 2001**)1. Tidak Bersekolah 216,495 257,330 278,500 221,242 851,4262. SD 760,172 911,782 1,151,252 1,216,976 1,893,5653. SLTP 736,375 984,104 1,159,478 1,367,892 1,786,3174. SLTA 2,106,182 2,479,739 2,886,216 2,546,355 2,933,4905. Diploma I/II 37,676 47,380 90,230 - -6. Akademi/Diploma III 104,054 128,037 153,696 184,690***) 251,134***)7. Universitas 236,352 254,111 310,947 276,076 289,099
Total 4,197,306 5,062,783 6,030,319 5,813,231 5,813,231*) Tidak termasuk Provinsi Maluku **) Mencari kerja, mendirikan usaha/perusahaan baru, tidak ada kesempatan kerja, dan akan memulai pekerjaan di masa depan ***) Academi / Diploma I/II/IIISumber : Survei Tenaga Kerja Nasional 1997, 1998, 1999, 2000 dan 2001
6
Hampir sama halnya dengan pasar tenaga kerja. Saat terjadi inflasi, pendapatan
perusahaan meningkat, sehingga perusahaan berniat meningkatkan kapasitas
produksinya. Perusahaan menbutuhkan tenaga kerja baru, dan bersedia membayar upah
diatas upah nominal. Tingginya upah tersebut menarik minat tenaga kerja untuk
bergabung bersama perusahaan tersebut. Berbeda jika terjadi deflasi. Pendapatan
perusahaan berkurang, sementara pengeluaran tetap. Dalam situasi ini perusahaan tidak
akan menaikkan upah pekerjanya, malah ada kemungkinan melakukan pemutusan
hubungan kerja, sehingga menambah jumlah angka pengangguran.
Salah satu alat untuk mengamati hubungan antara tingkat inflasi dan pengangguran
adalah kurva Phillips, yang dihasilkan dari pengamatan A.W Phillips terhadap hubungan
empiris antara tingkat perubahan upah dan pengangguran di Inggris pada tahun 1861-
1957. Hasil pengamatan tersebut menyatakan bahwa antara tingkat perubahan upah dan
pengangguran memiliki hubungan yang negatif atau terbalik. Phillips menggunakan
tingkat perubahan upah karena upah akan mempengaruhi daya beli konsumen, yang
kemudian mempengaruhi harga barang dan jasa, dan pada akhirnya juga mempengaruhi
inflasi (Mankiew,1997). Kurva Phillips adalah suatu fenomena empirik untuk mencari
suatu teori, dan pada saat itu, terdapat dua teori inflasi yang bersaing, keduanya
dikemukakan oleh Keynes dalam tempat yang berlainan yaitu : “demand-pull” inflation
dan “cost-push” inflation. Teori infasi “demand-pull” dan “cost-push” inflation
keduanya dapat direkonsiliasikan dengan fenomena empirik yang dirangkum ke dalam
kurva Phillips: pada saat tidak ada pengangguran (full employment), maka inflasi upah
dan harga akan meningkat. Sebagai sebuah kurva yang menjelaskan hubungan antara
7
perubahan upah pekerja/tingkat inflasi dan tingkat pengangguran, kurva Phillips
merupakan salah satu alat analisis bagi pengambil kebijakan moneter atau pemerintah
Penelitian ini dimaksud untuk mengetahui bentuk kurva Phillips di Indonesia. Apakah
kurva Phillips di Indonesia betul-betul berbentuk kurva, atau garis linier. Hal ini
dilakukan karena menurut data dan sejarah perekonomian moneter Indonesia, perubahan
inflasi sangat besar, dan dipengaruhi oleh banyak kejadian di dalam maupun luar negeri.
Seperti terjadi Perang Teluk pada tahun 1991 atau deregulasi perbankan tahun 1983 dan
1988 yang dampaknya terhadap peredaran uang cukup besar.
Selain itu, akan dilihat pula bagaimana kurva Phillips di Indonesia dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Secara teoritis, dalam jangka panjang kurva Phillips berbentuk
garis vertikal (Thomas M. Humphrey, 1976).
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menilai bahwa permasalahan tersebut
menarik untuk diteliti, karena kausalitas antara inflasi dan pengangguran dengan
menggunakan analisis Phillips Curve di Indonesia terbilang masih jarang. Hal ini
disebabkan karena adanya asumsi bahwa Phillips Curve tidak berlaku di Indonesia.
Periode yang dipilih adalah tahun 1990-2001 dengan alasan ketersediaan data dan
rentang waktu yang cukup panjang untuk meneliti kausalitas antara inflasi dan
pengangguran di Indonesia. Sehingga judul yang diambil penulis dalam penelitian ini
adalah :
Analisis Terhadap Hubungan Kausalitas Antara Inflasi Dan Pengangguran Di
Indonesia
(Dengan Menggunakan Analisis Phillips Curve)
1.2 Landasan Teori
8
Pada saat pengangguran rendah, inflasi cenderung akan meningkat. Sebaliknya
pada saat pengangguran tinggi, inflasi cenderung menurun. Hubungan yang berlawanan
antara inflasi dan pengangguran dikenal dengan kurva Phillips.
Kurva Phillips adalah hubungan relatif. Pengangguran yang dipertimbangkan rendah atau
tinggi berhubungan dengan apa yang disebut dengan tingkat pengangguran alami. Inflasi
yang dipertimbangkan rendah atau tinggi berhubungan dengan tingkat inflasi yang
diharapkan.
Gambar 1.1 – Kurva Phillips
Kurva Phillips mengaitkan inflasi upah dengan pengangguran melalui persamaan sbb :
(dw/dt)/w = h(U)
dimana h’<0, maka ketika pengangguran meningkat, akan menyebabkan inflasi upah
menurun. Menahan pergerakan harga satu demi satu ke arah pergerakan upah, sehingga
dapat ditulis kembali sbb :
= (dp/dt)/p = h(U)
maka inflasi harga akan berkorelasi negatif dengan pengangguran.
9
Ketika Friedman memberikan ceramahnya pada tahun 1976, hubungan jangka
panjang antara inflasi dan pengangguran masih diperdebatkan. Selama tahun 60-an,
kebanyakan ahli ekonomi percaya bahwa rata-rata tingkat pengangguran yang lebih
rendah dapat terjadi terus-menerus jika ada yang bersedia untuk menerima tingkat inflasi
yang secara permanen lebih tinggi (tapi stabil).
Friedman menggunakan pidato Nobelnya untuk menyampaikan dua argumentasi tentang
pertukaran inflasi dan pengangguran ini. Pertama, dia melihat kembali alasan pertukaran
pada jangka pendek tidak akan berlaku pada jangka panjang. Meningkatkan permintaan
nominal untuk menurunkan pengangguran akan mengakibatkan peningkatan upah
selama perusahaan berusaha untuk menarik pekerja tambahan. Perusahaan akan bersedia
untuk memberikan upah yang lebih tinggi jika mereka mengharapkan harga output lebih
tinggi di masa depan karena adanya ekspansi. Friedman mengasumsikan, bagaimanapun,
para pekerja pada awalnya akan merasa kenaikan upah nominal mengakibatkan kenaikan
pada upah riil. Mereka merasa demikian karena “persepsi dari harga umum” yang akan
menyesuaikan secara perlahan-lahan, maka upah nominal akan dirasakan mengalami
kenaikan lebih cepat dari harga. Sebagai responnya, penawaran tenaga kerja akan
meningkat, dan kesempatan kerja dan output akan mengalami ekspansi. Pada akhirnya,
pekerja akan menyadari bahwa tingkat harga umum telah mengalami kenaikan dan upah
riil mereka sebenarnya tidak meningkat, mengarah pada penyesuaian yang akan
mengembalikan perekonomian pada tingkat penggangguran alaminya.
Argumen yang kedua dari Friedman adalah bahwa kemiringan dari kurva Phillips
sebenarnya dapat menjadi positif--inflasi yang lebih tinggi akan diasosiasikan dengan
10
rata-rata pengangguran yang lebih tinggi. Pada tahun 1970-an, banyak perekonomian
yang mengalami kenaikan inflasi dan pengangguran secara simultan. Friedman berusaha
memberikan suatu hipotesis yang bersifat sementara untuk fenomena ini. Dalam
pandangannya, inflasi yang lebih tinggi cenderung diasosiasikan dengan inflasi yang
mudah berubah-rubah dan ketidakpastian inflasi yang lebih besar. Ketidakpastian ini
mengurangi efisiensi ekonomi yang seharusnya seimbang sesuai dengan perencanaannya,
ketidaksempurnaan dalam sistem indeksasi menjadi lebih terlihat, dan pergerakan harga
menimbulkan tanda-tanda yang membingungkan mengenai jenis-jenis perubahan harga
relatif yang mengindikasikan perlunya ada perubahan pada sumber daya.
Korelasi positif antara inflasi dan pengangguran yang dikemukakan oleh Friedman
setelah itu digantikan oleh korelasi negatif pada awal 1980-an, dimana pada saat itu
terjadi disinflasi yang diiringi oleh resesi. Sekarang ini, kebanyakan ahli ekonomi akan
melihat pergerakan inflasi dan pengangguran sebagai penggambaran dari gangguan
penawaran dan permintaan agregat seperti halnya dengan penyesuaian dinamis dari
perekonomian sebagai respon dari gangguan tersebut. Ketika gangguan permintaan
mendominasi, pada awalnya inflasi dan pengangguran akan cenderung berkorelasi negatif
, sebagai contoh, suatu ekspansi akan menurunkan pengangguran dan meningkatkan
inflasi. Seperti halnya dengan penyesuaian perekonomian, harga akan terus meningkat
dan pengangguran akan mulai meningkat lagi dan kembali pada tingkat alaminya. Ketika
gangguan penawaran mendominasi (seperti yang terjadi pada tahun 1970-an), inflasi dan
pengangguran pada awalnya akan cenderung bergerak ke arah yang sama.
Hampir semua ahli ekonomi mengikuti Friedman untuk menerima bahwa tidak ada
pertukaran dalam jangka panjang yang akan mengakibatkan pengangguran permanen
11
yang lebih rendah untuk dipertukarkan dengan inflasi yang lebih tinggi. Dan sebagai
bagian dari alasan penerimaan ini adalah berdasarkan kontribusi dari Lucas.
1.3 Perumusan Masalah
Masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan
antara inflasi dan pengangguran di Indonesia? Bahasan masalah ini juga akan melihat
bagaimana kurva Phillips di Indonesia, apakah berslope negatif atau positif? Bagaimana
fluktuasi yang terjadi dan pengaruhnya terhadap kurva Phillips, baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Selain itu akan dibahas juga bentuk kurva Phillips di Indonesia,
berupa garis lurus (linier) atau berupa kurva (kemungkinan antara cembung dan cekung),
atau tidak keduanya.
Secara keseluruhan, masalah yang timbul adalah benarkah tingkat inflasi dan tingkat
pengangguran di Indonesia memilik hubungan seperti yang tergambar pada kurva
Phillips? Bagaimana kurva Phillips mempengaruhi kebijakan moneter selama ini?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1) Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimanakah hubungan sebab akibat
(kausalitas) antara inflasi dan pengangguran di Indonesia. Jika salah satu variabel di
antara variabel inflasi dan pengangguran diketahui variabel mana yang paling besar
pengaruhnya terhadap variabel lainnya, maka akan lebih mudah bagi pembuat
keputusan untuk membuat kebijakan yang efektif dengan memakai hasil penelitian ini
sebagai bahan pertimbangan.
12
2) Mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap kurva Phillips;
kemungkinan terjadinya penyimpangan pada kurva Phillips di Indonesia bukan hal
yang mustahil. Penyimpangan itu bisa berupa bentuk kurva Phillips, atau
penyimpangan yang terjadi pada model kurva Phillips. Jika pada model kurva
Phillips, tingkat inflasi (perubahan upah) merupakan variabel dependen, dimana
tingkat inflasi akan dipengaruhi oleh jumlah pengangguran. Bisa terjadi kemungkinan
bahwa tingkat inflasi akan lebih mempengaruhi jumlah pengangguran.
1.5 Metodologi Penelitian
Dalam penelitian pada skripsi ini penulis menggunakan pendekatan analisis
deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif disusun berdasarkan data sekunder, jurnal
artikel, dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan. Sedangkan
untuk analisis kuantitatif penulis menggunakan alat bantu ekonometrika yaitu Eviews
software dan Excell software.
Data-data diregresi dengan menggunakan OLS. Untuk kriteria penilaian model
dilakukan pengujian terhadap persamaan-persamaan tersebut.
1.5.1 Model
1.5.1.1 Model Linier
Model linier standar dari kurva Phillips jangka pendek berdasarkan teori dan literatur
empiris ditunjukkan oleh persamaan:
dimana :
13
= tingkat inflasi
= tingkat pengangguran
* = non accelerating inflation rate of unemployment (NAIRU) : dimana pada saat
tingkat penggangguran = *, tingkat inflasi sama dengan tingkat inflasi ekspektasi.
= inflasi ekspektasi ; diasumsikan masyarakat melakukan ekspektasi berdasarkan
informasi terdahulu.
1.5.1.2 Model Non-linier Kurva Phillips
ditunjukkan oleh persamaan :
1.5.1.3 Model Dinamis Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi
Berdasarkan konsep-konsep yang telah diuraikan, estimasi tentang hubungan
variabel-variabel penyebab inflasi di Indonesia didasarkan atas faktor-faktor yang
mempengaruhi besarnya tingkat harga agregat di Indonesia.
Spesifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia dinyatakan dalam
fungsi berikut ini :
Pt = C0 + C1(wp) + C2(e) + C3log(Mt/Pt-1) + C4log(y) + C5i
Dimana :
wp = biaya tenaga kerja (upah buruh)
e = nilai tukar nominal (nominal exchange rate)
Mt = jumlah uang yang beredar pada tahun t
Pt = tingkat harga dalam negeri pada tahun t
14
y = pendapatan nasional riil (real income), dan
i = tingkat bunga deposito (deposit interest rate)
1.5.2 Variabel-variabel Penelitian
Variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
a) Tingkat inflasi : kenaikan harga-harga barang umum secara terus menerus dalam satu
periode tertentu. Pada penelitian ini akan diamati tingkat inflasi natural dan tingkat
inflasi ekspektasi.
b) Indeks harga konsumen : suatu angka yang mengukur tingkat harga barang-barang
dan jasa kebutuhan umum ke dalam suatu angka indeks berdasarkan tahun dasar
tertentu, atau menurut harga berlaku.
c) Pengangguran : angkatan kerja yang sudah memasuki usia kerja yang kehilangan
pekerjaan atau sedang mencari pekerjaan selama satu bulan lalu dan beberapa minggu
terakhir atau sedang menunggu pekerjaan baru dalam 30 hari ke depan.
1.5.3 Data
Data pengamatan diperoleh dari BPS, Laporan Keuangan BI, Depnaker, Laporan
International Monetary Funds melalui International Financial Statistic.
Terdapat kelemahan dalam perolehan data, terutama data pengangguran. Data
pengangguran selama ini hanya diperoleh dari BPS, yaitu data sensus penduduk, SUPAS,
dan SAKERNAS. Data pengangguran tidak diterbitkan tiap tahun. Untuk memenuhi
kekurangan data ini akan diolah dengan data yang diperoleh dari instansi lainnya.
15
Kelemahan lainnya adalah tidak tersedianya data pengangguran secara kuartalan
sehingga harus dilakukan interpolasi linier (kuartalan) data, dengan menggunakan rumus
Q1t = ¼[Yt – 4,5/12(Y-Yt-1)]
Q2t = ¼[Yt – 1,5/12(Yt-Yt-1)]
Q3t = ¼[Yt + 1,5/12(Yt-Yt-1)]
Q4t = ¼[Yt + 4,5/12(Yt-Yt-1)]
Dimana
Yt = data yang akan diinterpolasi pada tahun ke-t
Yt-1 = data kelambanan
Qnt = hasil interpolasi data untuk kuartal n, tahun t
1.5.4 Alat analisis
Analisis data dalam penelitian ini akan menggunakan metode runtun waktu untuk
melakukan estimasi terhadap kurva Phillips di Indonesia. Selain itu juga menggunakan
beberapa alat uji. Alat uji yang pertama yaitu uji akar-akar unit. Uji ini merupakan suatu
uji untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model autoregresif yang ditaksir
mempunyai nilai 1 atau tidak. Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui adanya
anggapan stasionaritas pada persamaan yang sedang diestimasi. Untuk mengetahui
adanya unit root dilakukan pengujian Dickey-Fuller (DF – Test), antara lain ;
Yt = ρYt – 1 + Ut
H0 : ρ = 0 (terdapat unit roots, variabel Y tidak stasioner)
H1 : ρ # 0 (tidak terdapat unit roots, variabel Y stasioner)
16
Kedua adalah uji derajat integrasi. Uji ini dilakukan untuk mengetahui pada derajat atau
order diferensiasi ke berapa data yang diamati akan stasioner. Integrasi disini berarti,
suatu data runtun waktu dikatakan berintegrasi pada derajat Q atau I(d) bila data tersebut
didiferensiasi Q kali untuk dapat menjadi data yang stasioner atau I(Q).
Ketiga adalah uji kointegrasi. Uji ini merupakan kelanjutan dari dua uji sebelumnya. Hal
ini untuk menyakinkan bahwa variabel terkait dalam pendekatan ini mempunyai derajat
integrasi yang berbeda, misal X = I(1) dan YI(2), maka kedua variabel tersebut tidak
dapat berkointegrasi. Uji ini untuk mengetahui apakah dalam jangka panjang dan variabel
yang terkait memiliki hubungan jangka panjang atau tidak.
1.5.5 Pengujian Statistik
Pengujian dilakukan untuk mengetahui adanya anggapan stasioneritas pada
persamaan yang diestimasi.
Dalam penelitian ini akan dihitung koefisien determinasi (R2), yaitu angka yang
menunjukkan besarnya kemampuan varians/penyebaran dari variabel-variabel bebas
menerangkan variabel-variabel tidak bebas dengan tujuan untuk menyakinkan kebenaran
hubungan fungsi tersebut. Besarnya koefisien determinasi berkisar antara nol s/d satu.
Model dianggap baik apabila koefisien determinasi sama dengan 1, artinya varians dari
variabel bebas semakin dapat menjelaskan varians variabel tidak bebas (mendekati
100%). Untuk melihat kesesuaian antara hasil model dengan teori yang ada dapat dilihat
dari tanda yang terdapat pada koefisien parameter hasil regresi.
Pengujian statistik lainnya dilakukan juga untuk menguji model dalam penelitian ini,
yaitu antara lain :
17
1. Uji t, untuk menguji pengaruh parsial dari masing-masing variabel bebas yang
digunakan dalam model terhadap variabel tidak bebasnya.
2. Uji F, untuk menguji signifikansi seluruh variabel bebas sebagai satu kesatuan.
3. Uji multikolinieritas, dilakukan bila dalam pengolahan data ditemukan R2 yang tinggi
tetapi tidak satupun atau sangat sedikit koefisien yang ditaksir yang penting secara
statistik, dilihat dari tidak signifikannya beberapa variabel melalui test individual
t-test. Uji hubungan variabel bebas terhadap variabel tidak bebas (t-test) yang tidak
signifikan, dan koefisien korelasi antara variabel yang tinggi.
4. Uji autokorelasi, adanya autokorelasi diuji dengan menggunakan uji Durbin-Watson
atau menggunakan run test jika hasil dari uji sebelumnya memberikan hasil yang
tidak jelas.
18
19