analisis stresor kerja, dukungan organisasional …

12
Analisis Stresor Kerja........(Wika) 565 PENDAHULUAN Kecenderungan struktur organisasi yang lebih datar (flat) memperkecil peluang bagi individu untuk meningkatkan karirnya mengikuti jenjang hirarki formal. Karenanya pencapaian puncak karir tidak lagi bergan- tung pada organisasi melainkan diperoleh melalui peningkatan kompetensi dan ter- capainya sukses secara psikologis (Wikan- ingrum, 2003). Tentu saja keduanya harus didukung oleh adanya komitmen waktu yang dicurahkan untuk pelaksanaan peker- jaan, begitupun sukses secara psikologis hanya bisa dicapai jika karyawan merasa- kan kepuasan kerja pada posisinya seka- rang. karyawan diharapkan juga pada tun- tutan untuk memenuhi tanggung jawabnya terhadap peran dalam keluarga. Maka ter- jadilah apa yang disebut work-family con- flict (konflik pekerjaan-keluarga). Motivasi wanita untuk berprestasi, sa- rana memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, memanfaatkan ilmu yang telah diperoleh dari pendidikan tinggi, ataupun kesadaran akan adanya persamaan hak dengan pria dalam dunia kerja, menjadi alasan yang semakin mengemuka. Itu semua menem- patkan tenaga kerja wanita menjadi sum- ber daya yang potensial bagi organisasi karena ketika seorang individu termotivasi lebih dari sekedar uang, komitmennya pada pelaksanaan tugas pekerjaan cenderung lebih besar. Namun, jika karyawan wanita tersebut dihadapkan pada peran ganda yang memicu munculnya konflik pekerjaan- keluarga sebagaimana telah diuraikan di atas, tentu menjadi lain lagi masalahnya. Mengingat pentingnya isu tersebut bagi kinerja organisasi serta adanya ke- pentingan untuk mempertahankan serta meningkatkan performa sumber daya ma- nusia, diperlukan juga campur tangan dari pihak manajemen (dukungan organisasion- al). Adanya dukungan organisasional yang dipersepsikan karyawan/dukungan organ- isasional persepsian (Perceived Organiza- tional Support / POS) merupakan investasi yang bernilai bagi peningkatan loyalitas, kinerja, dan komitmen individu terhadap or- ganisasi. Riset menunjukkan bahwa stresor kerja dan POS merupakan anteseden pent- ing dalam work-family conflict. Meskipun tidak ada studi yang telah menguji efek in- teraksi yang mungkin ada tersebut, penulis menduga bahwa POS memoderasi hubun- ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL PERSEPSIAN, DAN JENDER TERHADAP WORK-FAMILY CONFLICT DAN FAMILY-WORK CONFLICT TRI WIKANINGRUM Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung email:[email protected] ABSTRACT The current study examined the impact of perceived organizational support (POS), work stressor, and gender on work-family conflict (WFC) and family-work conflict (FWC) variables. The participants were 100 lecturers working full-time for a variety of universities in Semarang. T-test and hierarchical regression analysis were used to test the hypotheses. The result indicated that POS was negatively related to both WFC and FWC. POS exhibited a moderating effect of the relationships of stressor and FWC, but not WFC. The result also indicated that gender did not predict the level of conflict, and not moderated the effect of stressor on both types of the conflict. Keywords: Pos, Stressor, Gender, WFC, FWC

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL …

Analisis Stresor Kerja........(Wika) 565

PENDAHULUANKecenderungan struktur organisasi

yang lebih datar (flat) memperkecil peluang bagi individu untuk meningkatkan karirnya mengikuti jenjang hirarki formal. Karenanya pencapaian puncak karir tidak lagi bergan-tung pada organisasi melainkan diperoleh melalui peningkatan kompetensi dan ter-capainya sukses secara psikologis (Wikan-ingrum, 2003). Tentu saja keduanya harus didukung oleh adanya komitmen waktu yang dicurahkan untuk pelaksanaan peker-jaan, begitupun sukses secara psikologis hanya bisa dicapai jika karyawan merasa-kan kepuasan kerja pada posisinya seka-rang. karyawan diharapkan juga pada tun-tutan untuk memenuhi tanggung jawabnya terhadap peran dalam keluarga. Maka ter-jadilah apa yang disebut work-family con-flict (konflik pekerjaan-keluarga).

Motivasi wanita untuk berprestasi, sa-rana memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, memanfaatkan ilmu yang telah diperoleh dari pendidikan tinggi, ataupun kesadaran akan adanya persamaan hak dengan pria dalam dunia kerja, menjadi alasan yang semakin mengemuka. Itu semua menem-patkan tenaga kerja wanita menjadi sum-

ber daya yang potensial bagi organisasi karena ketika seorang individu termotivasi lebih dari sekedar uang, komitmennya pada pelaksanaan tugas pekerjaan cenderung lebih besar. Namun, jika karyawan wanita tersebut dihadapkan pada peran ganda yang memicu munculnya konflik pekerjaan-keluarga sebagaimana telah diuraikan di atas, tentu menjadi lain lagi masalahnya.

Mengingat pentingnya isu tersebut bagi kinerja organisasi serta adanya ke-pentingan untuk mempertahankan serta meningkatkan performa sumber daya ma-nusia, diperlukan juga campur tangan dari pihak manajemen (dukungan organisasion-al). Adanya dukungan organisasional yang dipersepsikan karyawan/dukungan organ-isasional persepsian (Perceived Organiza-tional Support / POS) merupakan investasi yang bernilai bagi peningkatan loyalitas, kinerja, dan komitmen individu terhadap or-ganisasi.

Riset menunjukkan bahwa stresor kerja dan POS merupakan anteseden pent-ing dalam work-family conflict. Meskipun tidak ada studi yang telah menguji efek in-teraksi yang mungkin ada tersebut, penulis menduga bahwa POS memoderasi hubun-

ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL PERSEPSIAN, DAN JENDER

TERHADAP WORK-FAMILY CONFLICT DAN FAMILY-WORK CONFLICT

TRI WIKANINGRUM

Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agungemail:[email protected]

ABSTRACT

The current study examined the impact of perceived organizational support (POS), work stressor, and gender on work-family conflict (WFC) and family-work conflict (FWC) variables. The participants were 100 lecturers working full-time for a variety of universities in Semarang. T-test and hierarchical regression analysis were used to test the hypotheses. The result indicated that POS was negatively related to both WFC and FWC. POS exhibited a moderating effect of the relationships of stressor and FWC, but not WFC. The result also indicated that gender did not predict the level of conflict, and not moderated the effect of stressor on both types of the conflict.

Keywords: Pos, Stressor, Gender, WFC, FWC

Page 2: ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL …

EKOBIS Vol.11, No.2, Juli 2010 : 565 - 577566

gan positif antara stresor kerja dan work-family conflict. Kemudian, penulis juga menduga adanya efek pemoderasi yang serupa dari jender dalam hubungan terse-but di atas. Sebagaimana pria dan wanita menanggung peran yang berbeda dalam keluarga dan pekerjaan, persepsi mereka mengenai WFC pun cenderung berbeda, sehingga dampak stresor kerja terhadap konflik pekerjaan-keluarga bisa saja berbe-da antara pria dengan wanita.

KAJIAN PUSTAKAKonflik Pekerjaan-Keluarga (Work-Fam-ily Conflict)

Konflik antara pekerjaan & keluarga dapat bermula pada bidang pekerjaan yang kemudian mengganggu kebutuhan atau kepentingan keluarga (WFC) atau seba-liknya keluarga mengganggu tanggung ja-wab pekerjaan (FWC). �anyak riset mene-�anyak riset mene-mukan bahwa WFC dan FWC merupakan konstruk yang berhubungan tapi berbeda (Casper et al., 2002; Frone et al., 1992). WFC, konsep utama, berhubungan dengan outcomes negatif seperti sikap kerja yang buruk, kinerja yang tidak efektif, ketidak-puasan dalam keluarga, penurunan kondisi psikologis, dan gejala fisik serta keperila-kuan yang buruk (Greenhaus & Parasura-man, 1994).

�erdasarkan artikel yang ditulis oleh Parasuraman dan Simmers (2001), dari hasil penelitian ternyata menunjukkan ba-hwa work-family conflict pada pria lebih tinggi dibandingkan wanita. Hal ini mun-gkin disebabkan pekerja pria lebih terlibat secara psikologis dalam pekerjaan mereka dan mencurahkan lebih banyak waktu ser-ta usaha guna memenuhi work role, tapi disertai dengan adanya keinginan untuk menghabiskan waktu lebih banyak bagi keluarga. Terlebih lagi telah terjadi perge-seran dari karir ttradisional ke arah dual career. Disini pria dengan karir tradisional diartikan sebagai pria bekerja dengan di-milikinya anak-anak dan pasangan yang tidak bekerja. Sebaliknya, dual career di-definisikan sebagai pria dengan anak-anak dan pasangan yang juga bekerja pada level profesional atau manajerial (Higgins & Dux-bury, 1992). Dengan pasangan yang juga memiliki komitmen waktu dan keterlibatan terhadap pekerjaannya, bisa memperbesar

terjadinya konflik pada pekerja pria. Seba-gaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Parasuraman et al. (1989), yang me-nyatakan bahwa suami dengan istri mana-jerial atau profesional mengalami work-fa-mily conflict lebih besar dibandingkan para suami dengan pasangan non-manajerial atau non-profesional. Hal ini dimungkinkan karena para wanita yang bekerja dengan posisi manajerial atau profesional mem-butuhkan jam kerja yang lebih panjang se-hingga menekan pria pasangannya untuk berpartisipasi lebih besar dalam aktivitas keluarga.

Stres dan Stresor Kerjawork role stressor meliputi: (Parasur-

aman, Greenhaus, & Granrose, 1992) Role conflictKonflik peran terjadi jika individu terpaksa melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang dianutnya atau ber-tentangan dengan peran yang lain. Role ambiguity. Ambiguitas peran ini dapat dicontohkan, misal adanya ambiguitas terhadap tugas pekerjaan yang seringkali merupakan aki-bat dari tujuan organisasi atau departemen yang tidak jelas, supervisi yang kurang terk-oordinasi dengan baik, ketidakjelasan men-genai apa yang diharapkan dan bagaimana menjalankan suatu peran.Role overload. Stresor ini mungkin muncul jika individu hanya memiliki sumber daya yang terbatas dan tidak memenuhi skill yang dibutuhkan, yang mana tidak sebanding dengan beban tugas yang harus dijalankan dalam suatu peran.

Konsekuensi stres pada karyawan suatu organisasi, meliputi:Konsekuensi psikologis termasuk dian-taranya adalah tingkat iritabilitas yang ting-gi, frustasi, kegelisahan, dan agresi. �ah-�ah-kan, stres yang berlebihan bisa mengarah ke depresi, kemurungan, kejenuhan, dan hilangnya penghargaan diri.

Konsekuensi fisiologis dialaminya perubahan hormonal, tekanan darah ting-gi, sesak nafas dan konsekuensi lain yang mengarah ke masalah kesehatan yang leb-ih serius.Konsekuensi perilaku

Page 3: ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL …

Analisis Stresor Kerja........(Wika) 567

Karyawan yang mengalami stres berlebihan akan menyadari kurangnya kemampuan untuk mengambil keputusan, kelalaian, hip-ersensitifitas, dan hal lain yang bisa men-garah ke usaha mengurangi stres melalui pelarian ke alkohol dan obat-obatan.Konsekuensi organisasionalOrganisasi akan ikut merasakan akibat stres berlebihan yang dialami karyawan. Kemangkiran dan perputaran karyawan yang meningkat, produktivitas, hubungan industrial, kepuasan terhadap pekerjaan dan organisasi yang menurun.

Dukungan Organisasional Persepsian (Perceived Organizational Support)

POS merupakan bentuk pertukaran sosial yang berhubungan dengan persepsi karyawan mengenai seberapa besar mere-ka dinilai oleh organisasinya (Wayne et al., 1997) dan menunjukkan seberapa besar karyawan mempersepsikan bahwa organ-isasinya mendukung dan memperhatikan mereka. Karyawan yang mempersepsikan adanya dukungan tersebut, cenderung un-tuk membalas dengan kinerja yang lebih baik daripada mereka yang tingkat dukun-gan organisasional persepsiannya rendah. Lebih dari itu, mendorong karyawan untuk terlibat secara emosional dengan organi-sasi yang bisa mengarah pada peningka-tan kinerja, berkurangnya kemangkiran dan intensi meninggalkan pekerjaan (Rhoades dan Eisenberger, 2002).

Dalam konteks organisasi, social ex-change theory (teori pertukaran sosial) di-gunakan sebagai dasar untuk memahami peran organisasi dalam membentuk perilaku pro-organisasional, misalnya seperti kiner-ja dan citizenship. Teori ini mengembang-kan hubungan pertukaran antara karyawan dengan organisasi yang mana persepsi atas hubungan tersebut membentuk du-kungan organisasional persepsian (POS). POS berfokus pada hubungan pertukaran antara karyawan dengan organisasi yang mana karyawan mempersepsikan tingkat sejauhmana organisasinya menilai kontri-busi mereka.

Komponen kunci teori ini dalam hu-bungannya dengan POS adalah the norm of reciprocity, yang berpendapat bahwa individu yang diperlakukan dengan meny-enangkan oleh orang/pihak lain merasa

berkewajiban untuk menanggapi secara positif atau membalas dengan cara yang sama (Wayne et al., 2002). Teori dukungan organisasional juga mengarah pada proses psikologis yang mendasari konsekuensi POS. Pertama, berdasarkan norma ‘reci-procity’, POS seharusnya menghasilkan perasaan berkewajiban menjaga kemajuan organisasi dan membantunya mencapai tu-juan. Pada tingkat dimana baik karyawan maupun pemekerja menerapkan norma ‘re-ciprocity’ pada hubungan mereka, perlaku-an menguntungkan yang diterima oleh ke-dua belah pihak tentu saja akan mengarah pada outcomes yang menguntungkan bagi keduanya. Kedua, kesepakatan dan respek diartikan oleh POS sebagai pemenuhan kebutuhan sosioemosional yang menga-rahkan para karyawan untuk menyertakan keanggotaan organisasi dan status peran ke dalam identitas sosial mereka. Ketiga, POS harus memperkuat keyakinan karya-wan bahwa organisasi akan memberikan imbalan atas peningkatan kinerja. Proses psikologis tersebut seharusnya menimbul-kan outcomes yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Gouldner dalam artikelnya Rhoades dan Eisenberger (2002), menyatakan ba-hwa ketika seorang individu memperlaku-kan individu atau pihak lain dengan baik, norma tersebut mengharuskan balasan perlakuan yang menguntungkan. Karyawan yang merasa bahwa organisasi menghar-gai kontribusi mereka dan peduli pada ke-sejahteraannya menunjukkan peningkatan pada kinerja in-role dan extra-role mereka. Sebaliknya, ada indikasi berulang bahwa bila organisasi tidak menghargai kontribusi karyawannya dan tidak memberi reward atas peningkatan kinerja, akan menurun-kan perasaan berkewajiban karyawan ter-hadap organisasi.

HipotesisSebagaimana telaah literatur di atas,

dapat disimpulkan bahwa ada 2 (dua) tipe kekuatan yang berbeda. Yang satu mening-katkan konflik (stresor kerja meningkatkan konflik pekerjaan-keluarga), sedangkan kekuatan yang lain mengurangi konflik (du-kungan organisasional yang dipersepsikan karyawan akan mengurangi konflik pekerja-an-keluarga). Kemudian juga dianggap ba-

Page 4: ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL …

EKOBIS Vol.11, No.2, Juli 2010 : 565 - 577568

hwa konflik keluarga-pekerjaan (FWC) dan konflik pekerjaan-keluarga (WFC) secara simultan dapat meningkat atau menurun, dan bukannya peningkatan pada satu kon-struk menurunkan konstruk yang lain.

Individu yang mempersepsikan ting-kat dukungan organisasional persepsian yang tinggi, kecil kemungkinannya mela-porkan tingkat WFC yang tinggi pula (Cas-per et al., 2002; Grant-Vallone & Ensher, 2001). Ketika individu mempersepsikan adanya dukungan organisasional, mereka cenderung mengalami WFC yang rendah sepanjang organisasinya tersebut bisa me-nawarkan kebijakan yang family-friendly atau tuntutan pekerjaan yang fleksibel un-tuk menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dengan tuntutan keluarga yang lebih baik. Kebijakan ini mungkin sekali untuk dilaku-kan asal organisasi bersimpati dengan ma-salah pribadi dan keluarga karyawannya serta komit dalam menjalankan praktek maintenance sumber daya manusia. Du-kungan organisasional juga akan memiliki main effect terhadap FWC, yang mana ka-ryawan yang bekerja pada organisasi yang suportif akan mengalami konflik yang lebih rendah ketika tuntutan keluarga “meng-ganggu” tugas pekerjaan. Misal, jika seo-rang karyawan meninggalkan pekerjaan karena ada masalah sehubungan dengan kepentingan anak sedang organisasinya suportif, maka berkurangnya stres dalam berbagai situasi bisa menghasilkan sen-tuhan emosional yang lebih besar pada organisasi tersebut (Casper et al., 2002). Sehingga dapat dikatakan bahwa pada organisasi yang dipersepsikan suportif, ka-ryawannya seharusnya merasakan tingkat FWC dan WFC yang lebih rendah. Hipote-sis yang dapat dirumuskan, adalah

H1a : POS berpengaruh negatif terhadap family-work conflict (FWC). Semakin besar individu mempersepsikan dukungan orga-nisasional, semakin rendah FWC yang dia-lami.

H1b : POS berpengaruh negatif terhadap work-family conflict (WFC). Semakin besar individu mempersepsikan dukungan organ-isasional, semakin rendah WFC yang dia-lami.

Sebagaimana pria dengan wanita yang berbeda dalam peran mereka pada pekerjaan dan keluarga, tingkat konflik work-family mereka pun bisa berbeda. Menurut Simon (1995), mayoritas istri mera-sa bahwa tugas pekerjaannya menghalangi mereka dalam memenuhi tanggung jawab utamanya kepada anak-anak dan pasan-gan (suami), yang mana secara historis wanita memiliki keterlibatan yang tinggi da-lam peran tersebut. Kecenderungan bek-erja dengan jam kerja yang panjang dan ketiadaan kebijakan organisasional yang responsif terhadap keluarga menciptakan konflik antara pemenuhan tanggung jawab pada pekerjaan dengan tanggung jawab pada keluarga (Aryee et al., 1999). Dan lagi, nilai-nilai kultural tradisional mengenai peran jender berpendapat bahwa suami memiliki partisipasi yang terbatas dalam pengasuhan anak dan tugas rumah tang-ga, sedangkan istri, sekalipun mereka bek-erja atau berkarir di luar rumah tetap masih memiliki tanggung jawab dalam pekerjaan rumah tangga (Ngo, 1992). Meskipun para-digma kesetaraan jender khususnya dalam kesempatan berkarir semakin mengemuka, namun secara kultural para profesional wanita yang telah menikah menerima per-an sosial tradisional mereka tersebut. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa wanita bekerja merasakan atau mengalami tingkat FWC yang lebih tinggi dibandingkan pria. Sehingga dapat dirumuskan hipotesis, sebagai berikut:

H2a : Perempuan mengalami tingkat FWC lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Sejumlah studi yang pernah di-jalankan di berbagai negara menemukan tidak adanya perbedaan jender dalam WFC yang dialami karyawan (Frone et al., 1992a; Kinnunen & Mauno, 1998). Penu-lis berpendapat bahwa wanita dan pria akan mengalami tingkat WFC yang serupa sepanjang perubahan sosial dan pengem-bangan ekonomis menawarkan banyak pe-luang pekerjaan dan pendidikan bagi para wanita. Peningkatan tingkat pendidikan wanita dan semakin besarnya kepedulian terhadap kesetaraan gender merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi partisi-pasi wanita pada angkatan kerja. Dalam

Page 5: ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL …

Analisis Stresor Kerja........(Wika) 569

masyarakat yang didorong bisnis, ada jam kerja yang panjang dan kondisi kerja yang high stress yang mempengaruhi baik pria maupun wanita (Lo, 2003; Lo et al., 2003). Sedang penelitian yang pernah dilakukan di Hongkong menemukan bahwa serupa dengan rekan kerja prianya, wanita memi-liki aspirasi karir yang tinggi dan komitmen kerja yang kuat (Ngo & Lau, 1998). Jadi, dari pihak pemekerja ada tuntutan peran yang sama tingginya dalam pekerjaan baik itu terhadap karyawan pria maupun wanita. Sedangkan dari sisi karyawan, tidak hanya pria, bahkan wanita pun memiliki kebutu-han pencapaian prestasi kerja yang tinggi. Itu semua menuntut keterlibatan dalam peran pada pekerjaan yang sama apapun jendernya. Sehingga dapat dirumuskan hipotesis, sebagai berikut:

H2b : Perempuan dan laki-laki mengalami tingkat WFC yang sama.

Riset secara konsisten menunjuk-kan hubungan positif antara stresor peran kerja (role ambiguity, role conflict, dan role overload) dan WFC (Greenhaus & Beutell, 1985; Kopelman et al., 1983). Kemudian lagi, penulis menghipotesiskan hubungan positif antara stresor peran kerja dan FWC, oleh karenanya, stresor kerja merupakan mekanisme yang mengkaitkan domain pe-kerjaan dan keluarga. Stresor yang bera-sal dari domain pekerjaan bisa berdampak bagi keluarga (Fu & Shaffer, 2001), oleh ka-renanya tekanan atau stresor (misal stresor kerja) yang dialami dalam satu peran bisa memunculkan pengalaman dan outcomes negatif pada peran yang lain. Sehingga da-pat dirumuskan hipotesis, sebagai berikut:

H3a : Stresor kerja berpengaruh positif terhadap FWC.H3b : Stresor kerja berpengaruh positif terhadap WFC.

Dukungan organisasional yang dip-ersepsikan karyawan memainkan 2 (dua) peran yang berbeda dalam proses stress (Parasuraman et al., 1992). Pertama, dukungan organisasional bisa memberi pengaruh langsung dengan mengurangi konflik yang dirasakan seseorang. Kedua, dukungan organisasional berperan sebagai

penahan atau pemoderasi efek dari stresor kerja terhadap konflik yang dialami seseo-rang dalam suatu organisasi.

Dukungan organisasional persepsi-an misal berupa ketersediaan bantuan dan dukungan emosional dari organisasi dapat mengurangi atau meringankan konflik yang mungkin dirasakan ketika mereka menga-lami stresor pekerjaan. Dukungan organi-sasional dapat meningkatkan coping skills (keahlian mengatasi/menghadapi stress) yang responsif pada situasi stressful ter-tentu (Stamper & Johlke, 2003). POS tidak hanya dapat membantu menghilangkan stres peran yang dialami oleh individu, tapi juga bisa menahan efek negatif dari teka-nan peran yang tidak dapat dihilangkan ka-rena terkait dengan sifat tugas pekerjaan-nya (Stamper & Johlke, 2003). Dukungan organisasional berinteraksi dengan stresor sedemikian rupa hingga situasi stressful memiliki dampak negatif yang lemah pada mereka yang menerima tingkat dukungan organisasional yang tinggi, disebabkan sumber daya atau informasi yang lebih baik membantu mereka mengatasi masalah (Grant-Vallone & Ensher, 2001). Sehingga bisa dirumuskan hipotesis, sebagai be-rikut:

H4a : POS memoderasi pengaruh stresor kerja terhadap FWC. Pengaruh positif stre-sor kerja terhadap FWC berkurang seiring dengan meningkatnya tingkat POS.H4b : POS memoderasi pengaruh stresor kerja terhadap WFC. Pengaruh positif stre-sor kerja terhadap WFC berkurang seiring dengan meningkatnya tingkat POS.

Antara pria dan wanita menetapkan prioritas pada peran mereka secara berbe-da. Pria dikabarkan memprioritaskan pada peran pencari nafkah, sedangkan wanita memprioritaskan pada peran sebagai ibu rumah tangga. Para wanita saat ini masih mengutamakan tanggung jawab pada pe-ran keluarga, sekalipun berada dalam si-tuasi karir ganda, dan bagi mereka, kom-binasi peran pekerjaan dan keluarga men-ghasilkan evaluasi diri yang negatif dan munculnya perasaan tidak terpenuhinya tu-gas sebagai orang tua maupun pasangan/istri (Simon, 1995). Meningkatnya stres pada pekerja wanita sebagian disebabkan

Page 6: ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL …

EKOBIS Vol.11, No.2, Juli 2010 : 565 - 577570

oleh banyaknya waktu yang harus dicura-hkan untuk membimbing dan mengasuh anak-anak mereka serta menjaga orang tua yang sudah lanjut usia (Lo et al., 2003), sedang di sisi yang lain harus komit dalam pemenuhan peran pekerjaan. Oleh kare-nanya stresor dari peran pekerjaan di luar rumah kemungkinan menyebabkan peker-jaan berbenturan dengan keluarga, dan di-bandingkan pria, wanita akan lebih berkon-flik karena adanya kepentingan menyela-raskannya dengan peran domestik. Wanita memiliki tanggung jawab yang lebih besar di rumah dibandingkan pria, oleh karena itu stress yang dialami wanita pada pekerjaan-nya kemungkinan meningkatkan FWC pun menjadi lebih besar. Sehingga dapat diru-muskan hipotesis, sebagai berikut:

H5a : Jender memoderasi pengaruh stre-sor kerja terhadap FWC. Pengaruh posi-tif stresor kerja terhadap FWC lebih kuat pada wanita daripada pria.H5b : Jender memoderasi pengaruh stre-sor kerja terhadap WFC. Pengaruh positif stresor kerja terhadap WFC lebih kuat pada wanita daripada pria.

METODE PENELITIANPopulasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua dosen yang berstatus karyawan tetap pada institusi pendidikan tinggi yang berada di Kota Semarang. Sedangkan pengambilan sampel berdasarkan teknik purposive sampling, yaitu para dosen tetap yang sudah bekerja lebih dari dua tahun, karena biasanya sudah diangkat menja-di dosen tetap serta diperbolehkan mela-kukan kegiatan mengajar dan melakukan penelitian secara mandiri. Jumlah sampel

yang digunakan dalam penelitian ini seba-nyak 100 responden dosen tetap, pada uni-versitas negeri dan tiga universitas swasta terkemuka di kota Semarang.

Uji Validitas dan ReliabilitasItem pertanyaan yang digunakan

dalam penelitian ini dinyatakan valid, kar-ena factor loading nya lebih besar dari 0,4. Namun ada 2 item pada variabel POS yang dikeluarkan dan tidak diolah lebih lan-jut karena berdasarkan pengujian terbukti tidak mampu mengukur apa yang seharus-nya diukur pada penelitian ini. Sedangkan nilai alpha pada seluruh variabel lebih be-sar dari 0,7 sehingga bisa dikatakan bahwa semua instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel.

Metode Analisis DataHipotesis 1. Diuji dengan mengguna-

kan analisis regresi, yang mana skor POS dari setiap responden diregres dengan skor FWC dan kemudian skor POS diregres kembali dengan skor WFC sebagai varia-bel dependennya.

Hipotesis 2. Diuji dengan mengguna-

kan independent sample t test dan analisis regresi, antara variabel jender dengan FWC dan WFC sebagai variabel dependennya.

Hipotesis 3. Diuji dengan meng-gunakan analisis regresi, yang mana skor tanggapan atas variabel stresor kerja (role ambiguity, role conflict, dan role overload) dari setiap responden diregres dengan skor FWC dan WFC.

Hipotesis 4 dan 5. Pengujian dilaku-kan dengan menggunakan hierarchical re-gression analysis. Analisis ini digunakan untuk menguji apakah variabel independen

 

POS  

Jender  

Stresor  Kerja  

FWC  

WFC  

Gambar 1Kerangka Pemikiran Teoritis

Page 7: ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL …

Analisis Stresor Kerja........(Wika) 571

mempengaruhi variabel dependen dan un-tuk menguji pula apakah hubungan varia-bel independen dan dependen dipengaruhi oleh variabel independen lain. Ini dikenal sebagai interaction effect, yang terjadi ke-tika variabel pemoderasi merubah bentuk hubungan antara variabel independen dan dependen (Hair et al., 1998).

HASIL DAN PEMBAHASANResponden yang dilibatkan dalam

penelitian ini jumlahnya relatif seimbang antara pria dengan wanita. Tidak semuanya sudah menikah dan di antara yang menikah pun tidak semuanya sudah memiliki anak. Pasangan responden (suami/istri) sebagian menekuni pekerjaan baik level manajerial/profesional maupun wiraswasta, dan yang sebagian lagi tidak bekerja. Keberagaman karakteristik responden ini dibutuhkan un-

tuk mendukung analisis data sesuai tuju-an penelitian. Sebagian besar responden yang menikah telah memiliki anak yang masih membutuhkan banyak perhatian dan kedekatan fisik dengan orang tuanya (be-rusia kurang dari 15 tahun). Namun hanya sebagian diantaranya yang memiliki pem-bantu rumah tangga untuk membantu me-nyelesaikan pekerjaan rumah dan menjaga anak selagi orang tuanya bekerja. Kemu-dian dari 89 responden yang sudah meni-kah, sebanyak 63% di antaranya memiliki pasangan yang juga bekerja baik dengan posisi manajerial atau profesional maupun wiraswasta. Kepemilikan anak yang belum mandiri, ditambah lagi pasangan yang juga dituntut keterlibatannya pada pekerjaan rentan memicu konflik baik dalam rumah tangga maupun di tempat kerja.

Pengujian hipotesis 1a dengan men-gunakan analisis regresi menunjukkan bah-wa POS berpengaruh negatif dan signifikan terhadap FWC (b= -0,485; p= 0,000). Ini membuktikan bahwa ada pengaruh negatif dukungan organisasi yang dipersepsikan

karyawan terhadap terjadinya konflik dalam pekerjaan yang dikarenakan pemenuhan peran dalam keluarga. Hal tersebut bisa di-Hal tersebut bisa di-pahami jika POS mempengaruhi FWC seo-rang karyawan dalam suatu organisasi/pe-rusahaan. Ketika dukungan dari organisasi kepada karyawan (yang dipersepsikan) se-makin besar, maka dukungan tersebut bisa menurunkan konflik yang dialami karyawan yang bersangkutan ketika tuntutan peran dalam keluarganya relatif besar. Tabel 1 juga menunjukkan hasil pengujian Hipo-tesis 1b, yang mana dukungan organisasi yang dipersepsikan karyawan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap terjadinya konflik dalam keluarga yang dikarenakan pemenuhan peran dalam pekerjaan. (b= -0,699; p= 0,000). Hasil ini dimaknai bahwa ketika karyawan mempersepsikan orga-nisasinya kurang memperhatikan kondisi

well-being mereka, maka keterlibatan me-reka dalam memenuhi tuntutan pekerjaan berpotensi menimbulkan konflik yang me-nyulitkan perannya dalam keluarga. Me-skipun demikian POS lebih besar kemam-puannya dalam menjelaskan variasi pada variabel WFC (Adj R2 = 0,199; F= 25,664; p= 0,000), dibandingkan kemampuan POS menjelaskan 18,2% variasi pada FWC (Adj R2 = 0,182; F= 23,053; p= 0,000). �egitu-pun koefisien regresinya menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan hipotesis yang pertama. Kenyataan ini bisa dipa-hami mengingat ketika karyawan mene-rima tingkat dukungan organisasional yang tinggi maka prinsip reciprocity berjalan. Ada kecenderungan akan komitmen yang semakin besar dalam pemenuhan tuntu-tan perusahaan, yang diiringi peningkatan keahlian dan kemampuan yang tentunya menguntungkan perusahaan. Sebagaima-na pernyataan Wayne et al. (1997) bahwa berdasarkan teori pertukaran sosial, POS berkontribusi terhadap komitmen pada or-ganisasi. Oleh karenanya POS lebih besar

Variabel Beta Sig. Adj R2 F POS FWC

POS WFC

-0,485 -0,699

0,000* 0,000*

0,182 0,199

23,053* (p=0,000) 25,664 (p=0,000)

Tabel 1Hasil Analisis Regresi untuk Menguji Hipotesis 1

Sumber: data primer yang diolah (2008)

Page 8: ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL …

EKOBIS Vol.11, No.2, Juli 2010 : 565 - 577572

kemampuannya dalam menjelaskan WFC dibandingkan FWC.

Hipotesis 2a menyatakan, bahwa di-bandingkan pria, wanita mengalami tingkat konflik keluarga-pekerjaan (FWC) yang le-bih besar. Pengujian hipotesis tahap per-tama dengan membuktikan terlebih dahulu apakah memang ada perbedaan tingkat FWC yang berbeda antara responden pria dengan wanita. Karena tujuannya adalah membandingkan rata-rata dua kelompok yang tidak berhubungan satu dengan yang lain, maka digunakan Independent-Samp-les T Test. Levene test menunjukkan ba-hwa varians FWC antara responden pria dengan wanita adalah sama (p=0,079). Ra-ta-rata tingkat konflik keluarga-pekerjaan kedua kelompok juga hampir sama, yang mana ditunjukkan dengan perbedaan nilai mean yang hanya 0,170. Dengan meng-gunakan asumsi equal variance assumed, nampak pada Tabel 2 bahwa perbedaan rata-rata konflik keluarga-pekerjaan yang dialami pria dengan wanita tersebut tidak signifikan (p=0,190).

Hipotesis 2b menyatakan bahwa

wanita dan pria mengalami tingkat konflik pekerjaan-keluarga (WFC) yang serupa. Karena tujuannya adalah membandingkan rata-rata dua kelompok yang tidak ber-hubungan satu dengan yang lain, maka digunakan Independent-Samples T Test. Levene test menunjukkan bahwa varians WFC antara responden pria dengan wanita adalah sama (p=0,584). Rata-rata tingkat konflik pekerjaan-keluarga kedua kelompok juga hampir sama, yang mana ditunjukkan dengan perbedaan nilai mean yang ha-nya 0,106. Dengan menggunakan asumsi equal variance assumed, nampak pada Ta-bel 2 bahwa perbedaan rata-rata konflik pe-kerjaan-keluarga yang dialami pria dengan wanita tersebut tidak signifikan (p=0,555).

Oleh karenanya hasil pengujian Hiptesis 2b menunjukkan tidak didukungnya hipote-sis tersebut. Sejumlah penelitian di bidang yang sama menunjukkan hasil yang tidak konsisten. �eberapa menunjukkan bahwa work-family conflict pada pria lebih tinggi dibandingkan wanita. Keterlibatan pekerja pria secara psikologis dalam pekerjaan mereka dan mencurahkan lebih banyak waktu serta usaha guna memenuhi work role, tapi disertai dengan adanya keinginan untuk menghabiskan waktu lebih banyak bagi keluarga, mendorong kondisi terse-but. Apalagi jika pasangannya juga bekerja dan memiliki posisi manajerial di tempat kerjanya. Namun sejumlah penelitian lain menunjukkan hasil sebaliknya. Keterlibatan dan komitmen waktu pada keluarga yang didasari tanggung jawab terhadap tugas ru-mah tangga dan menjaga anak, membuat para wanita terutama ibu bekerja seringkali mengalami konflik untuk menyeimbangkan tuntutan peran dalam keluarga dengan pe-ran dalam pekerjaan. Jika dianalisis antara satu hasil riset dengan hasil riset lainnya, salah satu penyebab perbedaan hasil pen-

gujian tersebut adalah profesi atau bidang pekerjaan responden yang menjadi subyek penelitian. Sebagaimana pekerja profesio-nal lainnya, self-actualization needs dan esteem needs pada dosen relatif tinggi di-banding kebutuhan dasar manusia lainnya. Keduanya mendorong responden untuk lebih ”terlibat” dalam peran pekerjaannya, terlepas dari apakah yang bersangkutan pria ataukah wanita. Oleh karenanya bisa dipahami jika hasil penelitian ini menunjuk-kan tidak ada perbedaan signifikan antara konflik yang dialami wanita dengan pria.

Dari hasil pengujian hipotesis 3a terbukti bahwa stresor kerja yang melip-uti role ambiguity, role conflict, dan role overload secara signifikan mampu men-

Variabel Mean Pria Mean Wanita Mean Diff. Sig

Levene test

FWC ~ Jender

2,498

2,328

0,170

0,079 0,190

Levene test

WFC ~ Jender

2,166

2,060

0,106

0,584 0,555

Tabel 2.Hasil Analisis Regresi untuk Menguji Hipotesis 2a dan 2b

Sumber: data primer yang diolah (2008)

Page 9: ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL …

Analisis Stresor Kerja........(Wika) 573

jelaskan 17% variasi pada variabel FWC. Pengaruhnya terhadap variabel dependen pun signifikan dan memiliki arah hubungan positif (b=0,642; p= 0,000; Adj R2 =0,17). Jadi ketika ambiguitas peran, konflik peran, dan beban berlebih dari suatu peran yang dialami seorang karyawan meningkat, akan cenderung meningkatkan konflik keluarga-pekerjaan yang dialami individu yang ber-sangkutan. �isa dipahami bahwa peran karyawan dalam keluarga yang menuntut komitmen waktu seringkali berbenturan dengan tuntutan pemenuhan kewajiban di tempat kerja yang juga memakan waktu kerja karyawan. Ketidakselarasan pemenu-han peran akan menimbulkan ketegangan yang berpotensi menimbulkan konflik bagi individu yang mengalaminya.

Hasil pengolahan data primer se-bagaimana ditampilkan pada Tabel 3, menunjukkan bahwa stresor kerja tidak ha-nya berpengaruh positif dan signifikan ter-hadap konflik keluarga-pekerjaan, namun juga terhadap konflik pekerjaan-keluarga

(b=1,130; p= 0,000). Adapun kemampuan variabel stresor kerja dalam menjelaskan variasi pada variabel WFC lebih besar (Adj R2 = 0,282; F= 39,795; p= 0,000) dibanding-kan variabel FWC, yaitu sebesar 28,2%. Tuntutan peran dalam pekerjaan dan ada-nya ambiguitas tugas sedangkan sumber daya yang dimiliki terbatas, memicu diala-minya time-based conflict dan strain-based conflict. Keduanya secara signifikan dapat mempengaruhi pemenuhan peran kelu-arga. Khususnya pada penelitian ini yang mana respondennya adalah dosen, ada kewajiban pemenuhan Tri Dharma Pergu-ruan Tinggi yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Kesemuanya itu membutuh-kan keterlibatan waktu maupun pemikiran yang seringkali melampaui jam kerja pada umumnya.

Hipotesis 4a menyatakan bahwa POS memoderasi pengaruh stresor kerja terhadap konflik keluarga-pekerjaan (FWC). Hasil pengujian dengan menggunakan hie-rarchical regression analysis menunjukkan bahwa interaksi antara perceived organi-zational support dan stresor kerja menje-laskan secara signifikan variasi pada fa-mily-work conflict sebesar 70,1% (Adj R2

= 0,701; F= 24,097; p= 0,000). �egitu pula interaction effect terhadap variabel depen-den FWC (b= 2,046; p= 0,000) adalah sig-nifikan. Didukungnya hipotesis ini semakin menguatkan hasil-hasil penelitian sebelum-nya, bahwa dukungan organisasional tidak hanya dapat membantu menghilangkan stres peran yang dialami oleh individu, tapi juga bisa menahan efek negatif dari teka-nan peran yang tidak dapat dihilangkan ka-rena terkait dengan sifat tugas pekerjaan-nya (Stamper & Johlke, 2003). Dukungan organisasional berinteraksi dengan stresor sedemikian rupa sehingga situasi stressful memiliki dampak negatif yang lemah pada

mereka yang menerima tingkat dukungan organisasional yang tinggi. Namun tidak demikian halnya dengan hipotesis 4b, yang tidak didukung dalam penelitian ini. Inte-raction effect terhadap variabel dependen WFC (b= 0,683; p= 0,307) tidaklah signifi-kan. Kemampuan menjelaskan variasi WFC pun tidak banyak peningkatannya (Adj R2 = 0,484) jika dibandingkan tahap sebelumnya ketika belum ada interaksi variabel POS dengan stresor kerja (Adj R2 = 0,483). Do-sen yang involvement-nya tinggi terhadap pemenuhan tuntutan peran kerja yang de-mikian, menyebabkan dukungan organisasi lebih efektif mengurangi pengaruh stresor terhadap time-based conflict dan strain-ba-sed conflict yang bersumber dari tuntutan peran keluarga. Sebaliknya pada konflik dalam peran keluarga yang bersumber dari

Variabel Beta Sig. Adj R2 F Stresor FWC

Stresor WFC

0,642 1,130

0,000* 0,000*

0,169 0,282

21,172* (p=0,000) 39,795* (p=0,000)

Tabel 3Hasil Analisis Regresi untuk Menguji Hipotesis 3

Sumber: data primer yang diolah (2008)

Page 10: ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL …

EKOBIS Vol.11, No.2, Juli 2010 : 565 - 577574

tuntutan peran pekerjaan, intervensi dari organisasi kurang efektif memoderasi.

Hipotesis 5a menyatakan bahwa jen-der memoderasi pengaruh stresor kerja ter-hadap konflik keluarga-pekerjaan (FWC). Hasil pengujian dengan menggunakan hie-rarchical regression analysis menunjukkan bahwa variabel jender dan stresor kerja menjelaskan secara signifikan variasi pada family-work conflict sebesar 46,7% (Adj R2

= 0,467; F= 9,599; p= 0,000). Namun inte-raction effect terhadap variabel dependen FWC (b= -0,279; p= 0,298) tidaklah signi-fikan. Menilik step 2, yang mana interaksi jender dengan stresor belum dimasukkan, secara signifikan peningkatan stresor akan mendorong meningkatnya konflik keluarga-pekerjaan yang dialami individu (b= 0,946; p= 0,000). Ini berarti faktor jender respon-den tidak memperlemah pengaruh stresor kerja terhadap konflik keluarga-pekerjaan. �egitupula dengan hasil pengujian hipo-tesis 5b. Dengan menggunakan metode analisis data yang sama, hasilnya pun menunjukkan bahwa interaction effect ter-hadap variabel dependen WFC (b= -0,084; p= 0,840) tidaklah signifikan. Namun bila di-bandingkan dengan hipotesis sebelumnya, kemampuan variabel jender dan stresor kerja menjelaskan secara signifikan variasi pada work-family conflict lebih besar, yaitu sebesar 51,5% (Adj R2 = 0,515; F= 11,460; p= 0,000). Secara umum dikatakan bahwa pekerja wanita lebih besar kecenderungan mengalami dampak negatif stresor. Namun pria pun apabila memiliki pasangan yang bekerja terlebih lagi memiliki posisi mana-jerial, juga memiliki kecenderungan yang sama dengan pekerja wanita. �egitupun sebaliknya, baik pria maupun wanita, disa-dari ataukah tidak mereka berusaha men-gurangi atau bahkan menghilangkan sum-ber konflik yang memicu stres tersebut. Intervensi untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sumber stres tersebut bisa datang dari individu itu sendiri (intervensi individual), terlepas dari apapun jendernya.

Itulah kenapa pada penelitian ini faktor jen-der tidak memperkuat ataupun memperle-mah pengaruh ambiguitas peran, konflik peran dan kelebihan peran terhadap WFC dan FWC.

SIMPULAN DAN SARAN�erdasarkan hasil analisis data dan

pembahasan sebagaimana paparan se-belumnya, dapat disimpulkan bahwa du-kungan organisasional yang dipersepsikan karyawan secara signifikan berpengaruh negatif terhadap dialaminya konflik baik berupa kurang tersedianya waktu maupun ketegangan yang memengaruhi pemenu-han peran keluarga/pekerjaan dikarenakan keterlibatan dalam pekerjaan/ keluarga. Dukungan dari organisasi tersebut juga se-cara signifikan melemahkan pengaruh po-sitif stresor kerja terhadap konflik keluarga-pekerjaan, namun bukan terhadap konflik pekerjaan-keluarga. Stresor kerja itu sendi-ri, baik role ambiguity, role conflict, maupun role overload berpengaruh positif dan signi-fikan terhadap family-work conflict maupun work-family conflict. Adapun jenis kelamin responden, pria ataukah wanita tidak mem-pengaruhi besarnya konflik yang mereka alami. Demikian pula faktor jender tersebut tidak mampu secara signifikan memoderasi pengaruh stresor kerja terhadap FWC mau-pun WFC yang dialami sampel.

Penelitian selanjutnya mengenai Dukungan Organisasional Persepsian dan WFC perlu menggali dan menguji secara lebih mendalam subyek penelitian dengan profesi lain. Sehingga akan lebih efektif da-lam memberikan analisis mendalam dan pemahaman akan inkonsistensi hasil pene-litian yang dilatarbelakangi oleh perbedaan profesi responden.

Variabel moderator selain yang dikaji dalam model penelitian ini juga patut untuk dianalisis. Diantaranya variabel dukungan pasangan, diduga bisa mempengaruhi kon-flik yang dialami oleh yang bersangkutan.

Page 11: ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL …

Analisis Stresor Kerja........(Wika) 575

DAFTAR PUSTAKA

Aryee, S., Fields, D., & Luk, V. (1999). A Cross-cultural Test of A Model of the Work-Family Interface, Journal of Management, Vol. 25, pp. 491–511.

Casper, W. J., Martin, J. A., Buffardi, L. C., & Erdwins, C. J. (2002). Work-family Conflict, Perceived Organizational Support, and Organizational Commitment among Employed Mothers, Journal of Occupational HealthPsychology, Vol. 7, pp. 99–108.

Eisenberger, R., Fasolo, P.M., & Davis-LaMastro, V. (1990). Effects of Perceived Organizational Support on Employee Diligence, Innovation, and Commitment. Journal of Applied Psychology, Vol. 53, pp. 51-59.

Eisenberger, R., Huntington, R., Hutchison, S., & Sowa, D. (1986). Perceived Organizational Support, Journal of Applied Psychology, Vol. 71, pp. 500-507.

Frone, M. R., Russell, M., & Cooper, M. L. (1992). Antecedents and outcomes of work-family conflict: Testing a model of the work-family interface, Journal of Applied Psychology, Vol. 77, pp. 65–78.

Fu, C. K., & Shaffer, M. A. (2001). The tug of Work and Family: Direct and indirect Domain-specific Determinants of work-family Conflict, Personnel Review, Vol. 30, pp. 502–522.

Grant-Vallone, E. J., & Ensher, E. A.(2001). An examination of Work and Personal Life Conflict, Organizational Support, and employee Health among International Expatriates, International Journal of Intercultural Relations, Vol. 25, pp. 261–278.

Greenhaus, J. H., & Beutell, N. J. (1985). Sources of Conflict Between Work and Family Roles, Academy of Management Review, Vol. 10, pp. 76–88.

Greenhaus, J. H., & Parasuraman, S. (1994). Work-Family Conflict, Social Support, and Well-�eing. In M. J. Davidson and R. J. �urke (Eds.), Women in management: Current research issues: 213–229. London: Paul Chapman.

Hair, J. F., Anderson, R. E., Tatham, R. L., & Black, W. C. (1998). Multivariate data analysis. Prentice-Hall, Inc. Fifth edition.

Higgins, C.A., & Duxbury, L.E. (1992). Work–family conflict: A comparison of Dual- career and Traditional-career men. Journal of Organizational Behavior, Vol.13, pp. 389-411.

Kinnunen, U., & Mauno, S. (1998). Antecedents and Outcomes of Work-Family Conflict among Employed Women and Men in Finland. Human Relations, Vol. 51, pp. 157–177.

Kopelman, R. E., Greenhaus, J. H., & Connolly, T. F. (1983). A model of Work, Family, and Interrole Conflict: A Construct Validation study.,Organizational Behavior and Human Performance, Vol. 32, pp. 198–215.

Lo, S. (2003). Perceptions of Family-Work Conflict among Female Married Professionals in Hong Kong, Personnel Review, Vol. 32, pp. 376–390.

Lo, S., Stone, R. J., & Ng, W. (2003). Work-Family Conflict and Coping Strategies Adopted by Female Married Professionals in Hong Kong. Women in Management Review, Vol. 18, pp. 182–190.

Ngo, H.Y. (1992). Employment Status of Married Women in Hong Kong, Sociological Perspectives, Vol. 35, pp. 281–315.

Ngo, H. Y., & Lau, C. M. (1998). Interference between Work and Family among Male and Female Executives in Hong Kong. Research and Practice in Human Resource Management, Vol. 6, pp.17–34.

Parasuraman, S., Greenhaus, J.H., & Granrose, C.S. (1992). Role Stressors, Social Support, and Well-�eing among Two-Career Couples, Journal of Organizational Behavior, vol.13, pp. 339-356.

Parasuraman, S., Greenhaus, J.H., Rabinowitz, S., Bedeian, A.G., & Mossholder, K.W. (1989). Work and Family Variables as Mediators of The Relationship between Wives’ Employment and Husbands’ Well-�eing, Academy of Management Journal, Vol. 32, No. 1, pp. 185-201.

Page 12: ANALISIS STRESOR KERJA, DUKUNGAN ORGANISASIONAL …

EKOBIS Vol.11, No.2, Juli 2010 : 565 - 577576

Parasuraman, S., & Simmers, C.A. (2001). Type of employment, work-family conflict, and well-being: A comparative study, Journal of Organizational Behavior. Vol.22, pp. 551-568.

Rhoades, L., & Eisenberger, R. (2002). Perceived Organizational Support: A review of the literature. Journal of Applied Psychology, Vol. 87, No. 4, pp. 698-714.

Rizzo, J. R., House, R. J., & Lirtzman, S. I. (1970). Role Conflict and Ambiguity in Complex Organizations, Administrative Science Quarterly, Vol. 15, pp. 150–163.

Simon, R. W. (1995). Gender, Multiple Roles, Role Meaning, and Mental Health, Journal of Health and Social Behavior, Vol. 36, pp.182–194.

Stamper, C. L., & Johlke, M. C. (2003). The Impact of Perceived Organizational Support on The Relationship between �oundary Spanner Role Stress and Work Outcomes, Journal of Management, Vol. 29, pp. 569–588.

Wayne, S.J., Shore, L.M., & Liden, R.C. (1997). Perceived Organizational Support and Leader-Member Exchange: A Social Exchange Perspective, Academy of Management Journal.Vol. 40, No. 1, pp. 82-111.

Wikaningrum, T. (2003). Copying and �alancing Work-Life: Intervensi individual dan organisasional untuk menghadapi stres pekerja, Jurnal FOKUS Ekonomi, Vol.2, No.3.