analisis spatial pattern dan spatial autocorrelation pada industri gerabah di kabupaten kebumen.docx

18
ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sektor industri dianggap sebagai salah satu sektor yang cukup penting dalam perekonomian karena dua hal. Pertama, kemampuannya untuk menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lain. Kedua, sektor ini memiliki kemampuan untuk menyerap tenaga kerja dalam skala yang lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya, terutama dalam industri yang bersifat padat modal. Dengan demikian, dalam perjalanannya kedua kelebihan tersebut kemudian menjadikan sektor ini memiliki perkembangan yang lebih baik dibandingkan sektor ekonomi lainnya di Indonesia. Selain, karena kedua kelebihan yang dimilikinya, sektor industri juga dapat digunakan sebagai indikator kemajuan ekonomi wilayah. Pada sebagian besar daerah yang baru berkembang, sektor pertanian serta penggalian biasanya dijadikan sebagai andalan utama pendapatan masyarakat. Sementara pada adaerah yang maju, sebagian besar sektor ekonomi yang berkembang biasanya berada pada perdagangan serta jasa. Sektor inustri memiliki peranan sebagai jembatan yang menghubungkan transformasi dari sektor ekonomi tradisional pertanian serta pertambangan,m menjadi sektor perdagangan serta jasa. Namun demikian, dalam perjalanannya sektor industri memiliki tingkat perkembangan yang berbeda-beda antara daerah. Hal ini merupakan akibat dari ketergantungan industri terhadap barang modal seperti; tanah, tenaga kerja, uang, kewirausahaan, serta teknologi. Optimasi dari kombinasi ketersediaan berbagai barang modal tersebut merupakan penentu dari perkembangan sektor industri suatu wilayah.

Upload: erie-sadewo

Post on 02-Dec-2015

620 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN

1. Pendahuluan1.1. Latar Belakang

Sektor industri dianggap sebagai salah satu sektor yang cukup penting dalam perekonomian

karena dua hal. Pertama, kemampuannya untuk menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi

dibandingkan dengan sektor lain. Kedua, sektor ini memiliki kemampuan untuk menyerap tenaga

kerja dalam skala yang lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya, terutama dalam industri

yang bersifat padat modal. Dengan demikian, dalam perjalanannya kedua kelebihan tersebut

kemudian menjadikan sektor ini memiliki perkembangan yang lebih baik dibandingkan sektor

ekonomi lainnya di Indonesia.

Selain, karena kedua kelebihan yang dimilikinya, sektor industri juga dapat digunakan

sebagai indikator kemajuan ekonomi wilayah. Pada sebagian besar daerah yang baru berkembang,

sektor pertanian serta penggalian biasanya dijadikan sebagai andalan utama pendapatan

masyarakat. Sementara pada adaerah yang maju, sebagian besar sektor ekonomi yang berkembang

biasanya berada pada perdagangan serta jasa. Sektor inustri memiliki peranan sebagai jembatan

yang menghubungkan transformasi dari sektor ekonomi tradisional pertanian serta pertambangan,m

menjadi sektor perdagangan serta jasa.

Namun demikian, dalam perjalanannya sektor industri memiliki tingkat perkembangan yang

berbeda-beda antara daerah. Hal ini merupakan akibat dari ketergantungan industri terhadap

barang modal seperti; tanah, tenaga kerja, uang, kewirausahaan, serta teknologi. Optimasi dari

kombinasi ketersediaan berbagai barang modal tersebut merupakan penentu dari perkembangan

sektor industri suatu wilayah. Diperlukan adanya kesesuaian antara potensi serta daya dukung

daerah, sehingga pada pada akhirnya, di setiap wilayah akan terjadi pengelompokan atau spesialisasi

jenis industri yang berkembang.

Spesialisasi jenis industri tersebut juga terjadi di wilayah Kabupaten Kebumen. Daerah di

selatan Pulau jawa ini memiliki kondisi wilayah yang berupa pegunungan di bagian utara, terdapat

berbagai sungai yang mengalir menuju ke daerah persawahan dan tegalan di wilayah daerah selatan.

Akibatnya struktur tanah yang dilalui menjadi subur, dan sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai

bahan baku pembuatan berbagai kerajianan gerabah. Pada tahun 2011 berdasarkan data Dinas

Sumber Daya Alam, Pertambangan dan Energi dapat diidentifikasi bahwa usaha penggalian Batu

Lempung masih merupakan usaha penambangan galian C terbesar yaitu sebanyak 625 usaha.

Page 2: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

Sementara itu, data besarnya eksploitasi bahan galian sampai dengan tahun 2011 belum bisa

dideteksi padahal sektor pertambangan merupakan sektor yang perlu diperhatikan mengingat

kaitannya dengan kelestarian lingkungan hidup.

Di sisi lain, terdapat jenis industri yang telah lama berkembang dengan menggunakan bahan

baku tersebut, yaitu industri batu bata dan genteng. Industri ini sangat penting bagi masyarakat

Kabupaten Kebumen karena walaupun bukan merupakan jenis industri terbanyak, namuan nilai

tambah yang dihasilkan, serta jumlah pekerja yang diserap merupakan yang terbesar dibandingkan

dengan sektro industri lainnya. Selama ini industri batu bata dan genteng berkembang pada 21 dari

26 di Kabupaten Kebumen, dengan jumlah desa/kelurahan sentra industri pada tahun 2011

mencapai 133 buah. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2008 yang mencapai 92 buah.

Sementara di tinjau dari segi jumlah, pada tahun 2011 terdapat 2090 buah industri, meningkat

sebesar 14,39 persen dibandingkan dengan tahun 2008 yang hanya sebesar 1827 unit usaha. Begitu

pentingnya industri ini bagi masyarakat, sehingga batu bata dan genteng diabadikan dalam lambang

daerah Kabupaten Kebumen.

Tabel 1. Perbandingan Jumlah Desa Sentra Industri Serta Jumlah Industri kerajinan Gerabah di Kabupaten Kebumen Tahun 2008 dan 2011 Menurut Kecamatan

Kode Wilayah

Nama Jumlah Desa/Kelurahan

Jumlah Desa Sentra Industri

Jumlah Industri

2008 2011 2008 2011(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)010 Ayah 18 3 1 40 3020 Buayan 20 6 7 130 52030 Puring 23 11 3 47 14040 Petanahan 21 11 10 84 85050 klirong 24 1 10 24 312060 Bulus Pesantren 21 1 13 10 156070 Ambal 32 - 1 - 1080 Mirit 22 - - - -081 Bonorowo 11 1 - 1 -090 Prembun 13 5 1 10 1091 Padureso 9 - - - -100 Kutowinangun 19 10 6 80 55110 Alian 16 1 3 1 3111 Poncowarno 11 - - - -120 Kebumen 29 6 9 100 137130 Pejagoan 13 8 8 537 399140 Sruweng 21 11 9 630 605150 Adimulyo 23 - 5 - 46160 Kuwarasan 22 1 8 2 26

Page 3: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

170 Rowokele 11 - - - -180 Sempor 16 7 6 61 46190 Gombong 14 1 1 5 8200 Karanganyar 11 2 4 3 87210 Karangayam 19 4 1 27 3220 Sadang 7 2 1 35 3221 Karangsambung 14 - 6 48

3305 Kab. Kebumen 460 92 113 1827 2090Sumber : Pendataan Potensi Desa Tahun 2008 dan 2011, BPS

1.2. Permasalahan

Perkembangan jumlah industri gerabah tersebut tentunya akan membawa dampak yang

sangat baik bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun karena perkembangannya

sangat dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan, maka perlu juga dipikirkan bagaimana agar

perkembangan industri yang tergantung kepada sumber daya alam tersebut dapat berjalan secara

berkesinambungan tanpa menimbulkan dampak lingkungan yang serius di kemudian hari. Salah satu

upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengelompokkan industri tersebut ke dalam cluster.

Clustering merupakan salah satu upaya pendekatan startegis untuk membawa industri

kepada bentuk kerjasama pembiayaan, penelitian, dan meningkatkan pemasukan. Selain itu,

clustering juga akan memudahkan dalam upaya penerapan regulasi, serta menyediakan sarana bagi

industri tersebut untuk lebih kuat dalam menghadapi berbagai isu dalam perekonomian. Brookings

Institution’s dalam laporannya “Sizing the Clean Economy” menyatakan bahwa pada periode 2003

dan 2010, perusahaan yang berada dalam cluster tumbuh 1,4 persen lebih cepat dibandingkan usaha

yang menyendiri (terisolasi).1

Hasil penelitian Wang, Liu, dan Mao (2011) mengenai mekanisme cluster industri dan

fenomena Cambridge menunjukkan bahwa cluster industri regional dibentuk berdasarkan

penyebaran mengenai pengetahuan dan teknologi. Cluster industri lebih cocok dipergunakan oleh

usaha kecil, dan skala optimalnya ditentukan oleh upah buruh, biaya sewa tanah, dan permintaan

serta penawaran lokasi usaha. Selain itu usaha padat karya dan padat teknologi dengan permintaan

wilayah yang terbatas lebih memiliki kecenderungan untuk menjadi cluster.2

Mengingat betapa pentingnya pembentukan cluster dalam upaya meningkatkan

pertumbuhan industri gerabah di Kabupaten Kebumen, maka diperlukan adanya informasi mengenai

mengenai persebaran industri tersebut secara spasial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

1 http://www.forbes.com/sites/rebeccabagley/2012/02/09/the-cluster-effect

2 Wang, Z., Liu, C., Mao, K., (2012), Industry cluster: spatial density and optimal scale, Anresc vol. 49, p. 719-731

Page 4: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

bagaimana pola spasial dari persebaran industri gerabah di Kabupaten Kebumen, serta bentuk

autokorelasi spasial yang mungkin terjadi. Berdasarkan informasi tersebut diharapkan bahwa dapat

diperoleh suatu rekomendasi untuk pengelolaan kebijakan dalam rangka meningkatkan

pertumbuhan industri kerajinan gerabah sebagai salah satu industri startegis di Kabupaten

Kebumen.

Page 5: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

2. Analisis dan Pembahasan

2.1. Analisis Deskriptif

Secara geografis Kabupaten Kebumen terletak pada 7°27′ – 7°50′ Lintang Selatan dan

109°22′ – 109°50′ Bujur Timur. Kabupaten Kebumen secara administratif terdiri dari 26 kecamatan

dengan luas wilayah sebesar 128.111,50 hektar atau 1.281,115 km², dengan kondisi beberapa

wilayah merupakan daerah pantai dan perbukitan, sedangkan sebagian besar merupakan dataran

rendah. Dari luas wilayah Kabupaten Kebumen, pada tahun 2011 tercatat 39.768,00 hektar atau

sekitar 31,04% merupakan lahan sawah dan 88.343,50 hektar atau 68,96% lahan kering.

Secara kewilayahan, Kabupaten Kebumen memiliki berbagai potensi alam yang dapat

digunakan untuk pengembangan industri berbasis sumber daya alam seperti kerajinan gerabah.

Pada tahun 2008, konsentrasi industri kerajinan gerabah berada di wilayah Kecamatan Sruweng dan

Pejagoan. Sementara wilayah lain yang memiliki jumlah industri kerajinan gerabah yang cukup besar

diantaranya Kecamatan Buayan serta Kebumen. Dalam skala yang lebih kecil, industri tersebut juga

terkonsentrasi di Kecamatan Sempor, Petanahan, dan Kutowaringin. Sepintas terlihat bahwa tidak

terdapat pola pengelompokan tertentu dari industri kerajinan gerabah tersebut sebagaimana

terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kepadatan Industri Kerajinan Gerabah Kabupaten Kebumen Menurut Kecamatan Th 2008

Page 6: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

Pada Tahun 2011, terjadi perubahan pola kepadatan industri kerajinan gerabah pada

beberapa wilayah. Terjadi penurunan konsentrasi industri kerajinan gerabah di wilayah Kecamatan

Sempor, Buayan, serta Pejagoan. Sementara itu, peningkatan konsentrasi jumlah industri justru

terjadi di wilayah Kecamatan Karanganyar, Klirong, serta Bulus Pesantren. Hasilnya, secara sepintas

terlihat bahwa telah terjadi perubahan pola pengelompokan industri kerajinan gerabah di

Kabupaten Kebumen dari menyebar pada tahun 2008 menjadi mengelompok pada tahun 2011

dimana wilayah-wilayah yang berdekatan memiliki kepadatan yang hampir serupa (Gambar 2).

Gambar 2. Kepadatan Industri Kerajinan Gerabah Kabupaten Kebumen Menurut Kecamatan Th 2011

2.2. Analisis Inferensi2.2.1. Analisis Pola Spasial

Analisis pola spasial dilakukan terhadap jumlah desa/kelurahan sentra industri kerajinan

gerabah di Kabupaten Kebumen Tahun 2011. Dalam analisis ini, desa/kelurahan yang memiliki

industri kerajinan gerabah dianggap sebagai titik pengamatan. Pengujian dilakukan dengan

menggunakan tiga metode, untuk membandingkan hasil yang didapatkan, yaitu Quadrat Test untuk

mendapatkan Varians to Means Ratio, Uji Kolmogorov Smirnov, serta Nearest Neighborhood Index

(NNI). Dari pengolahan dengan menggunakan Microsoft Excell, didapatkan hasil sebagai berikut:

Page 7: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

2.2.1.1. Quadrat Test-Varians To Mean Ratio (VMR)

H0 dalam uji ini adalah bahwa jumlah sentra industri kerajinan gerabah di Kabupaten

Kebumen menyebar secara seragam.Langkah pertama dalam melakukan Quadrat Test adalah

menghitung jumlah quadrats (area yang akan diobservasi). Dalam penelitian ini, unit observasi

adalah kecamatan, sehingga jumlah quadrat diasumsikan adalah sebanyak jumlah kecamatan di

wilayah Kabupaten Kebumen, yaitu 26 unit. Setelah itu dilakukan penghitungan terhadap mean

(rata-rata) jumlah sentra industri dari ke-26 kecamatan tersebut sehingga dihasilkan nilai mean

sebesar 4,35 unit. Kemudian didapatkan nilai varians dari ke-26 pengamatan tersebut sebesar 15,59,

sehingga nilai rasio varians terhadap means sebesar 3,59.

Berdasarkan rasio tersebut, selanjutnya didapatkan nilai statistik signifikansi sebesar 89,71.

Angka tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai statistik berdistribusi Chi-square dengan tingkat

kepercayaan 95 persen sebesar 14,61. Karena nilai signifikansi lebih besar dibandingkan dengan nilai

teoritis, maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah sentra industri kerajinan

gerabah di Kabupaten Kebumen tahun 2011 tidak menyebar secara seragam. Nilai VMR yang lebih

besar dari 1 (satu) mengindikasikan bahwa terdapat pengelompokan dalam pola spasial penyebaran

jumlah industri tersebut.

2.2.1.2. Quadrat Test-Kolmogorov Smirnov Test

Metode ini menguji pola dalam quadrat dengan membandingkan frekuensi yang diamati,

dengan distribusi statistik tertentu. Dalam penelitian ini, H0 adalah frekuensi pengamatan

merupakan proses acak yang mengikuti fungsi distribusi Poisson. Hasil uji Kolmogorov Smirnov

menghasilkan nilai statistik sebesar 0,354, yang merupakan selisish absolute terbesar antara

distribusi sebenarnya dengan distribusi teoritis. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai

kritis sebesar 5 persen sebesar 0,267. Karena nilai hasil perhitungan lebih besar dibandingkan

dengan nilai kritis, maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpilkan bahwa jumlah sentra industri dalam

setiap Quadrat menunjukkan pola yang tidak acak, atau dengan kata lain terdapat pola

mengelompok dalam persebaran jumlah sentra industri di wilayah Kabupaten Kebumen tahun 2011.

2.2.1.3. Nearest Neigborhood Index

Metode ini membandingkan antara rata-rata jarak yang didapatkan dari setiap titik dan

tetangga terdekatnya, dengan rata-rata jarak yang diharapkan akan muncul jika data mengikuti

distribusi normal. Karena data jarak antara setiap kecamatan tidak diketahui, maka dilakukan

pendekatan dengan menggunakan jarak Euclidean yang dihasilkan dari pengukuran titik tengah

Page 8: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

antar kecamatan. Dari kumpulan tersebut, diambil jarak terkecil antar dua kecamatan, sehingga

diperoleh hasil berikut:

Tabel 2. Jarak Terdekat Antar Kecamatan di Kabupaten Kebumen

Kode Wilayah Nama Tetangga Terdekat Jarak (Km)(1) (2) (3) (4)010 Ayah Buayan 7,20020 Buayan Kuwarasan 9,44030 Puring Adimulyo 6,24040 Petanahan klirong 4,80050 klirong Bulus Pesantren 4,64060 Bulus Pesantren klirong 4,64070 Ambal Bulus Pesantren 5,92080 Mirit Bonorowo 5,12081 Bonorowo Mirit 5,12090 Prembun Kutowinangun 5,12091 Padureso Poncowarno 5,12100 Kutowinangun Prembun 5,12110 Alian Poncowarno 5,76111 Poncowarno Padureso 5,12120 Kebumen Kutowinangun 6,40130 Pejagoan Kebumen 6,72140 Sruweng Pejagoan 5,12150 Adimulyo Kuwarasan 6,00160 Kuwarasan Gombong 5,76170 Rowokele Sempor 7,36180 Sempor Gombong 6,72190 Gombong Karanganyar 4,48200 Karanganyar Gombong 4,48210 Karangayam Pejagoan 8,32220 Sadang Karangsambung 6,72221 Karangsambung Alian 6,24

Sumber : Pemetaan 2009 BPS, Data diolah

Dari tabel 2, diperoleh rata-rata jarak terdekat antar kecamatan di Kabupaten Kebumen

adalah sebesar 5,91 Km, sementara nilai jarak yang diharapkan sebesar 3,51 Km. Dengan demikian

diperoleh nilai indeks NNI sebesar 1,68. Selanjutnya dilakukan pengujian dengan menggunakan

statistik Z, diperoleh nilai sebesar 6,67. Nilai tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan nilai

statistik teoritis untuk tingkat kepercayaan 95 persen sebesar 1,96. Akibatnya H0 ditolak, sehingga

dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pola yang acak. Dengan kata lain, kepadatan industri

kerajinan gerabah di Kabupaten Kebumen tahun 2011 mengikuti pola tertentu.

2.2.2. Uji Autokorelasi Spasial

Page 9: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

Analisis uji autokorelasi spasial dilakukan terhadap jumlah industri kerajinan gerabah yang

terdapat dalam setiap kecamatan di kabupaten Kebumen tahun 2011. Dalam analisis ini, kecamatan

dianggap sebagai suatu area yang mengandung nilai tertentu, yaitu jumlah industri kerajinan

gerabah. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Moran I Global, LISA dengan

menggunakan Moran I, serta metode Getis. Pengolahan dengan menggunakan software Microsoft

Excell dan Geoda. Namun sebelumnya dilakukan pembuatan penimbang kedekatan spasial dengan

metode Queen Contiguity diperoleh matriks berikut:

Berdasarkan matriks tersebut terlihat bahwa secara spasial, terdapat hanya satu kecamatan

yang berbatasan dengan satu kecamatan saja. Sementara itu, dua kecamatan berbatasan hanya dua

kecamatan lain, empat kecamatan yang berbatasan dengan setidaknya tiga kecamatan, lima

kecamatan berbatasan dengan setidaknya empat kecamatan, tujh kecamatan berbatasan dengan

setidaknya lima kecamatan, dan tujuh kecamatan lainnya berbatasan dengan setidaknya enam

kecamamatan

3.2.2.1. Uji Moran I Global

Page 10: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

Metode Morans I digunakan untuk mengetahui korelasi antara nilai yang dihasilkan suatu

kecamatan, dengan rata-rata nilai di kecamatan di sekitarnya. Nilai ini dihitung baik secara

unstandardized maupun standardized. Hasilnya kemudian diuji signifikansi dengan menggunakan

statistik Z. dengan H0 adalah tidak terdapat autokorelasi spasial. Nilai unstandardized Morans I

sebesar 0,04 mengindikasikan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial, dan kepadatan jumlah

industri kerajinan gerbah di tiap kecamatan menyebar secara acak. Dengan nilai harapan statistik I

sebesar -0,04 dan varians I sebesar 0,014 maka didapatkan nilai statistik Z untuk Morans I yang tidak

distandarkan sebesar 0,678. Karena nilai Z kurang dari 1,96 maka tidak cukup bukti untuk menolak

H0.

Namun jika matriks penimbang kedekatan tersebut distandarkan, maka didapatkan nilai

Morans I sebesar 0,297. Hasil yang sama dihasilkan antara perhitungan secara manual dengan

menggunakan Microsoft excel dan Geoda mengindikasikan bahwa terdapat pola autokorelasi spasial

antar jumlah industri kerajinan gerabah pada setiap kecamatan. Dengan nilai harapan statistik I

sebesar -0,04 dan varians I sebesar 0,006 maka didapatkan nilai statistik Z untuk Morans I yang tidak

distandarkan sebesar 4,397. Karena nilai Z lebih besar dari Z tabel dengan α = 5 persen, maka H0

ditolak. Artinya dengan menggunakan penimbang kedekatan yang ditandarkan, terdapat pola

autokorelasi spasial serta indikasi bahwa jumlah industri kerajinan gerabah di Kabupaten Kebumen

menyebar mengikuti pola tertentu.

Gambar 3. Scatter Plot untuk Standardized Morans I

Page 11: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

Dari Gambar 3 terlihat bahwa terdapat tujuh daerah yang memiliki nilai spatial

autocorrelation positif yang tinggi atara kecamatan tersebut dengan wilayah di sekitarnya.

Sementara itu terdapat empat daerah yang autokorelasi spasialnya negatif rendah, namun daerah di

sekitarnya tinggi. Sementara sisanya memiliki nilai autokorelasi spasial positif yang sama-sama

rendah antara kecamatan tersebut dengan daerah di sekitarnya.

3.2.2.1. Uji Moran I Local (Anselin’s LISA)

Metode LISA dengan Morans I digunakan untuk mengetahui korelasi antara nilai yang

dihasilkan suatu kecamatan, dengan rata-rata nilai di kecamatan di sekitarnya dalam versi local,

yaitu penghitungan dilakukan dengan memperhatikan batas wilayah bersama antar kecamatan. Nilai

ini dihitung baik secara unstandardized maupun standardized. Hasilnya kemudian diuji signifikansi

dengan menggunakan statistik Z. dengan H0 adalah tidak terdapat autokorelasi spasial. Nilai

unstandardized Morans I sebesar 0,17 mengindikasikan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial,

dan kepadatan jumlah industri kerajinan gerbah di tiap kecamatan menyebar secara acak.

Namun jika matriks penimbang kedekatan tersebut distandarkan, maka didapatkan nilai

Morans I sebesar 0,297, sama dengan nilai Morans I secara global. Hasil yang sama dihasilkan antara

perhitungan secara manual dengan menggunakan Microsoft excel dan Geoda mengindikasikan

bahwa terdapat pola autokorelasi spasial antar jumlah industri kerajinan gerabah pada setiap

kecamatan. Berdasarkan nilai tersebut, dapat dibuat tingkat signifikansi antar masing-masing

kecamatan, dimana dari Gambar 4 terlihat bahwa terdapat enam kecamatan yang signifikan pada α

= 1 persen, empat kecamatan signifikan pada α = 5 persen, sementara 16 kecamatan sisanya tidak

signifikan.

Gambar 4. Peta Signifikansi Morans I LISA

Page 12: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

Maka dari tingkat signifikansi tersebut dapat dibuat suatu model cluster, dimana Kecamatan

Petanahan, Klirong, Kebumen, Pejagoan, serta Sruweng yang memiliki autokorelasi spasial local

positif tinggi antar masing-masing wilayah dapat diklasisikasikan sebagai cluster utama untuk

wilayah pengembangan industri kerajinan gerabah. Wilayah ini dapat dikembangkan dengan

memasukkan Kecamatan Karanggayam, dan Adimulyo, karena walaupun rendah, keduanya memiliki

spasial autokorelasi positif dengan daerah disekitranya. Sementara untuk Kecamatan Padureso dan

Prembun, memiliki autukorelasi spasial yang rendah.

Gambar 5. Peta Cluster Morans I LISA

Page 13: ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN.docx

3. Kesimpulan dan Saran

3.1. Kesimpulan

i) Pada tahun 2008, konsentrasi industri kerajinan gerabah berada di wilayah Kecamatan Sruweng

dan Pejagoan. Sementara wilayah lain yang memiliki jumlah industri kerajinan gerabah yang

cukup besar diantaranya Kecamatan Buayan serta Kebumen. Pada Tahun 2011, terjadi

penurunan konsentrasi industri kerajinan gerabah di wilayah Kecamatan Sempor, Buayan, serta

Pejagoan. Sementara itu, peningkatan konsentrasi jumlah industri justru terjadi di wilayah

Kecamatan Karanganyar, Klirong, serta Bulus Pesantren. Hasilnya, secara sepintas terlihat

bahwa telah terjadi perubahan pola pengelompokan industri kerajinan gerabah di Kabupaten

Kebumen dari menyebar pada tahun 2008 menjadi mengelompok pada tahun 2011.

ii) Uji analsis pola spasial dengan menggunakan tiga metode yaitu Quadrat Test untuk

mendapatkan Varians to Means Ratio, Uji Kolmogorov Smirnov, serta Nearest Neighborhood

Index (NNI) menghasilkan kesimpulan yang sama, jumlah sentra industri kerajinan gerabah di

Kabupaten Kebumen tahun 2011 tidak menyebar secara seragam.

iii) Uji autokorelasi spasial dengan menggunakan metode Morans I global menghasilkan

kesimpulan yang berbeda. Dengan menggunakan matriks penimbang kedekatan yang tidak

distandarkan, diperoleh nilai Morans I yang mengindikasikan bahwa tidak terdapat autokorelasi

spasial, dan kepadatan jumlah industri kerajinan gerbah di tiap kecamatan menyebar secara

acak. Sementara jika menggunakan matriks penimbang yang distandarkan, diperoleh nilai

Morans I yang mengindikasikan sebaliknya.

iv) Sebagaimana pada uji autokrelasi spasial secara global, uji autokorelasi spasial dengan

menggunakan metode Morans I LISA, juga menghasilkan kesimpulan yang serupa. Uji tersebut

menghasilkan enam kecamatan yang signifikan pada α = 1 persen, empat kecamatan signifikan

pada α = 5 persen, sementara 16 kecamatan sisanya tidak signifikan.

3.2. Saran

i) Diperlukan pembinaan serta kebijakan khusus untuk mencegah menurunnya jumlah usaha

industry kerajinan gerabah seperti di Kecamatan Sempor, Buayan, serta Pejagoan.

ii) Cluster untuk industry kerajian gerabah di Kabupaten Kebumen dapat dibuat pada kelompok

Kecamatan Petanahan, Klirong, Kebumen, Pejagoan, serta Sruweng untuk memudahkan

pembinaan serta pengembangan.

iii) Ke depannya cluster tersebut dapat dikembangkan dengan memasukkan Kecamatan

Karanggayam dan Adimulyo.