analisis semiotika terhadap foto karya bedu...

142
Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Saini Berjudul Civilization of Light pada Ajang Pameran Foto Jurnalistik “Peradaban Cahaya dan Bencana” 2017 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.sos) Oleh: Eva Fauziah NIM 1112051100034 JURUSAN JURNALISTIK FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARI HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019  

Upload: others

Post on 06-Feb-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Saini

Berjudul Civilization of Light

pada Ajang Pameran Foto Jurnalistik

“Peradaban Cahaya dan Bencana” 2017

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.sos)

Oleh:

Eva Fauziah

NIM 1112051100034

JURUSAN JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARI HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019

 

Page 2: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

LEMBAR PERSETUJUAN

ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO KARYA

BEDU SAINI BERJUDUL CIVILIZATION OF LIGHT

PADA AJANG PAMERAN FOTO JURNALISTIK

“PERADABAN CAHAYA DAN BENCANA” 2017

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.sos)

Oleh:

Eva Fauziah

NIM : 1112051100034

Pembimbing

Ade Rina Farida, M.Si

NIP. 197705132007012018

JURUSAN JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/2019

 

Page 3: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

 

Page 4: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Eva Fauziah

NIM : 1112051100034

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul

ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO KARYA

BEDU SAINIBERJUDUL CIVILIZATION OF LIGHT PADA

AJANG PAMERAN FOTO JURNALISTIK“PERADABAN

CAHAYA DAN BENCANA” 2017 adalah benar merupakan

karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam

penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan

karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi.

Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan

peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini

sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang

lain.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan

seperlunya.

Jakarta, 12 Juli 2019

Eva Fauziah

NIM 1112051100034

 

Page 5: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

i

ABSTRAK

Eva Fauziah

Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Saini

Berjudul Civilization of Light Pada Ajang Pameran Foto

Jurnalistik “Peradaban Cahaya Dan Bencana” 2017

Dalam rangka memperingati 11 tahun gempa dan tsunami

Aceh, digelar sebuah peluncuran buku fotografi bertajuk

Civilization of Light (Peradaban Cahaya) di Museum Tsunami,

Aceh. Menarik ketika fotografer foto-foto Bedu Saini bercerita

saat-saat gempa dan tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya

pada 26 Desember 2004 hingga dampak yang ditimbulkan akibat

bencana tersebut.

Latar belakang di atas seraya memunculkan pertanyaan

tentang apa makna peradaban dan bencana dalam foto jurnalistik

di buku foto Civilization of Light mengenai dampak gempa dan

tsunami Aceh dengan mengungkap, apa makna denotasi,

konotasi, dan makna mitos yang terkandung dalam buku foto

Civilization of Light.

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis

dengan pendekatan kualitatif. Analisa foto dikaji dengan

menggunakan metode penelitian semiotika Roland Barthes.

Metode penelitian ini memberikan titik tekan pada makna

denotatif, konotatif, dan mitos.

Makna denotasi yang memberikan gambaran bahwa

bencana yang tidak terduga dapat menimbulkan dampak yang

sangat besar. Analisis makna konotasi mengungkapkan bahwa

bencana alam yang terjadi menimbulkan dampak yang tidak

hanya berupa materi namun berdampak pula pada kehidupan

yang dialami para korban setelahnya. Dari Analisa mitos, dapat

diketahui bahwa bagaimana kuasa Tuhan yang menegur manusia.

Atas hasil penelitian ini juga kembali dibuktikan

bahwasanya foto jurnalistik mampu mengungkapkan objektifitas

terhadap sebuah fenomena bencana alam yang terjadi. Melalui

foto-foto yang ditampilkan diharap menjadi salah satu kontribusi

fotografer untuk menjadi panji visual perekam sejarah.

Kata Kunci: Fotografi, Semiotika, Bencana Alam, Civilization of

Light, Aceh.

 

Page 6: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

ii

KATA PENGATAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji dan syukur peneliti

panjatkan kepada Allah SWT karena atas nikmat dan karuniaNya

penelitian skripsi ini dapat berjalan dengan baik tanpa halangan

yang berarti. Shalawat dan serta salam juga tidak lupa

ditunjukkan kepada Nabi besar Muhamad SAW.

Begitu banyak kesan dan manfaat yang dirasakan oleh

peneliti saat menyelesaikan skripsi ini. Peneliti tidak hanya

mendapatkan ilmu tetapi juga mendapatkan pelajaran bahwa

tidak ada kesuksesan tanpa usaha dan kerja keras. Selain itu,

peneliti menjadi lebih terbuka dalam berpikir bahwa Islam adalah

agama yang begitu menjunjung tinggi perbedaan serta penuh

cinta kepada seluruh manusia.

Peneliti skripsi ini tentu memiliki beragam tantangan dalam

pengerjaannya. Namun, dengan adanya dukungan dan semangat

dari berbagai pihak, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan

sebaik-baiknya. Karena itu, dalam kesempatan ini peneliti ingin

mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Orangtua tercinta, Ayahnda Bapak Muji dan Ibunda Nur

Laila yang sangat luar biasa memerjuangkan dan mendukung

peneliti untuk bisa meraih pendidikan setinggi-tingginya,

memberikan kasih sayang doa yang tak terhingga sehingga

peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A.

3. Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta Dr. Suparto, M.Ed., Ph.D., Wakil

Dekan I Bidang Akdemik Dr. Siti Napsiyah, Wakil Dekan II

Bidang Administrasi Umum Dr. Ruli Nasrullah, Wakil

Dekan III Bidang Kemahasiswaan Cecep Sastra Wijaya MA.

4. Ketua Jurusan Jurnalistik Kholis Ridho, M.Si., Serketaris

Jurusan Jurnalistik Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. yang

telah meluangkan waktunya untuk sekedar berkonsultasi dan

meminta bantuan dalam hal perkulihan.

 

Page 7: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

iii

5. Ibu Ade Rina Farida, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing yang

telah begitu bijaksana memberikan ilmunya kepada peneliti

di tengah kesibukan yang padat, serta membimbing peneliti

dengan sabar agar skripsi ini selesai dengan baik dan juga

bermanfaat.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

yang telah mengajari dan memberi ilmu kepada peneliti.

Mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau sikap yang

menyinggung selama perkuliahan.

7. Segenap Staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan

Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

yang tela berbaik hati dalam meberikan buku-buku yang

dibutuhkan oleh peneliti.

8. Teruntuk adikku Farhan Kamil yang baru saja menyelesaikan

studinya, semoga bisa menjadi manusia yang berguna bagi

nusa, bangsa, dan agama.

9. Para tokoh-tokoh besar yang mempengaruhi pemikiran, foto,

dan penulisan penulis. Jalaludin Rumi, Ayatollah Khomeini,

Joseph Stanlin, Lao Tzu, Karl Marx, Bakunin, Che Guevara,

Fidel Castro, Haruki Murakami, Albert Camus, Leo Tolstoy,

Franz Kafka, W.S Rendra, Chairil Anwar, Seno Gumira

Ajidarma, Mahbub Djunaidi, Gunawan Muhamad, dan

Hanafi.

10. Segenap keluarga besar Klise Fotografi, yang selalu

memberikan tempat dan waktu bagi penulis untuk belajar.

11. Untuk teman-teman Jurnalistik 2012. Terima kasih telah

memberikan banyak moment yang menyenangkan sehingga

perkuliahan ini berkesan. Semoga silaturahmi di antara kami

tidak terputus sampai di sini.

12. Keluarga besar Galeri Jalanan Bau Tanah, Galeri Foto

Jurnalistik Antara, dan Panna Foto. Untuk ilmu fotografi

yang telah diberikan dan diskusi yang hangat.

13. Keluarga besar Djakarta Vespa UIN (Djavu) yang telah

memberikan semangat dan selalu mengingatkan penulis

untuk menyelesaikan skripsinya.

 

Page 8: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

iv

14. Segenap keluarga besar Mawar Merona dan Mompunk,

terima kasih untuk diskusi-diskusi feminisme dan seni yang

sangat menarik. Panjang umur perjuangan!

15. Untuk kawan-kawanku, Rahma Sari, Shinta Rosdiana, Ana

Nurjanah, Imroatus Sholihah, Ahmad Syaifullah, Andri

Setiawan, Dwi Qori Aprilliani, Budi Nur Hidayar, Rizky

Yati Rabiah, Zaki Mubarak, Adi Taruna, Kasyfi Sabastari,

Wawaw teater Akar Teras, Ridlo Sorak, Rizal Pranoto, Riza

Hamdani. Terima kasih untuk memberikan motivasi dan

semangat kepada penulis.

16. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi yang

tidak dapat disebutan stau persatu. Semoga amal dan

kebaikan kalian selalu dijabah oleh Allah SWT.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan peneliti dalam

menyelesaikan skripsi ini, semoga apa yang telah peneliti lakukan

dapat bermanfaat untuk para pembaca, memberikan nilai

kebaikan khususnya bagi peneliti maupun pembaca sekalian dan

semoga dapat menjadi kebaikan dalam bidang dakwah dan

komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Aamiin Ya Rabbal Alamiiin.

Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Jakarta, 10 Juli 2019

Eva Fauziah

 

Page 9: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

v

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ......................................................................

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..............................

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................

ABSTRAK ....................................................................................i

KATA PENGANTAR ................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................. v

DAFTAR TABEL...................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ....................................... 9

C. Tujuan Penelitian ........................................................... 10

D. Manfaat Penelitian ......................................................... 11

1. Manfaat Teoritis ...................................................... 11

2. Manfaat Praktis ....................................................... 11

E. Metodelogi Penelitian .................................................... 12

1. Paradigma Penelitian .............................................. 12

2. PendekatanPenelitian .............................................. 12

3. Metode Penelitian ................................................... 13

4. Sumber Data .......................................................... 14

5. Teknik Pengumpulan Data ...................................... 15

 

Page 10: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

vi

6. Teknik Analisis Data ............................................. 16

7. Subjek, Objek, Tempat Penelitian, dan

Narasumber ............................................................ 16

F. Tinjauan Pustaka ............................................................ 17

G. Sistematika Penulisan .................................................... 18

BAB II LANDASAN TEORI

A. Semiotika Sebagai Upaya Pemaknaan ........................... 21

1. Pengertian Semiotika .............................................. 21

2. Tokoh Semiotika ..................................................... 26

3. Konsep Semiotika Roland Barthes ......................... 35

B. Fotografi Sebagai Representasi Realitas ........................ 45

1. Pengertian Fotografi ............................................... 45

2. Sekilas Sejarah Fotografi ........................................ 53

3. Unsur-unsur Dalam Fotografi ................................. 56

C. Fotografi Bencana ......................................................... 68

BAB III GAMBARAN UMUM BUKU CIVILIZATION oF

LIGHT KARYA BEDU SAINI DAN ANUGERAH

PEWARTA FOTO INDONESIA (APFI)

A. Gambaran Umum Tentang Buku

Civilization of Light ............................................................ 72

B. Profil Bedu Saini ............................................................ 80

C. Anugerah Pewarta Foto Indonesia ................................. 81

 

Page 11: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

vii

BAB IV ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO

KARYA BEDU SAINI DALAM BUKU

CIVILIZATION OF LIGHT

A. Data Foto 1 ..................................................................... 91

B. Analisis Data Foto 1....................................................... 91

C. Data Foto 2 ..................................................................... 98

D. Analisis Data Foto 2....................................................... 98

E. Data Foto 3 ................................................................... 105

F. Analisis Data Foto 3..................................................... 106

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................. 113

B. Saran ............................................................................ 118

DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 122

LAMPIRAN .............................................................................. 126

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tabel Tanda Roland Barthes ................................. 43

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 ........................................................................... 91

Gambar 2 ........................................................................... 98

Gambar 3 ......................................................................... 105

 

Page 12: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

1

BAB I

A. Latar Belakang Masalah

Bencana alam (natural disaster) adalah suatu

kejadian alam yang berlebihan yang dapat mengganggu

aktivitas normal kehidupan manusia, misalnya luka ringan,

luka berat bahkan sampai merenggut jiwa manusia. Bencana

alam mempengaruhi kehidupan sosial akibat rusaknya alam

dan bangunan sipil, seperti rumah, bangunan, tempat ibadah,

jalan, jembatan, dan pelabuhan). Berimbas pula pada

rusaknya sarana telekomunikasi dan pelayanan umum kepada

masyarakat.

Bencana alam sering terjadi dan sebagian besar

terjadi di negara berkembang seperti di Asia Pasifik. Gempa

di Aceh pada 26 Desember 2004 silam juga membuktikan

bahwa ancaman alam yang tetap besar. Tsunami yang

diakibatkan gempa berskala 9,3 pada skala Richter di Barat

Aceh dan oleh dua gempa di Kepulauan Nicobar serta

Andaman di India. Selang waktu dua jam kemudian

menewaskan sekitar 160 ribu penduduk Aceh.

Di era kemajuan teknologi informasi, kehadiran

media massa cetak, elektronik dan online sangat diperlukan

di daerah rawan becana, yaitu daerah yang masyarakatnya

terancam bahaya, yang berisiko terjadi bencana atau di

 

Page 13: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

2

daerah yang telah terjadi bencana. Kecepatan kehadiran

media agar dapat dengan cepat memberikan informasi

kepada publik dan kepada semua pihak yang berkepentingan,

agar dapat dengan cepat melakukan pengurangan resiko dan

penanggulangan bencana.

Ketika ingatan memudar dan daya ingat terpengaruh

usia, justru foto-foto yang diharapkan dapat membantu.

Artinya, alih-alih foto menjadi ilustrasi cerita, dalam

beberapa hal adalah dari foto-foto tersebut menyusun

kembali sebuah ingatan. Bencana yang terjadi beberapa

tahun belakangan menjadi sebuah informasi yang dicari oleh

masyarakat Indonesia. Informasi tersebut tidak hanya didapat

dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi

sebuah gambar atau foto-foto menjadi hal menarik untuk

dilihat masyarakat agar mengetahui apa yang sebenarnya

terjadi secara visual tanpa harus menginterpreasikannya dari

tulisan.

Adalah Bedu Saini pria kelahiran Salang, Pulau

Simelue, Aceh. Berusia 63 tahun yang mencoba bercerita

melalui foto jurnalstik mengenai bencana gempa dan tsunami

di Aceh pada 2004 silam. Bedu Saini mencoba membuat

foto-fotonya menjadi sebuah buku yang ia buat selama 11

tahun di tanah Serambi Mekah, Aceh. Faktanya Bedu Saini

adalah satu-satunya jurnalis foto yang berhasil mengabadikan

 

Page 14: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

3

dahsyatnya detik-detik gempa dan tsunami Aceh saat

kejadian berlangsung.

Bedu Saini mengawali karirnya menjadi seorang

fotografer profesional dari seorang petugas kebersihan

selama tiga tahun di Koran Harian Serambi Indonesia pada

1990. Karena mempunyai ketertarikan pada dunia fotografi,

ia kemudian memberanikan diri untuk belajar. Lalu pihak

redaksi Serambi Indonesia mempercayakan Bedu Saini

bertugas mencetak film di kamar gelap (dark room). Enam

tahun berkutat dengan proses cuci cetak foto, Bedu kemudian

pindah ke bagian teknologi informasi (TI). Selama setahun

bergulat dengan masalah TI, lalu dipindah lagi ke bagian

penelitian dan pengembangan selama satu tahun. Sebelum

akhirnya, pada tahun 2002 resmi menjadi fotografer Serambi

Indonesia.

Bedu Saini belajar secara otodidak semua

keahliannya itu, mulai dari memegang sapu hingga kemudian

kamera digital. Hidup lelaki yang tak menamatkan kuliahnya

di salah satu perguruan tinggi swasta di Banda Aceh ini

memang penuh perjuangan. Dia harus berjuang keras untuk

menghidupi keluarga. Tetapi, lebih dari itu, dia sangat

mencintai profesi terakhirnya sebagai wartawan foto. Karena

kecintaannya pada fotografi, Bedua Saini meninggalkan

 

Page 15: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

4

keluarganya dan memotret detik-detik tragedi yang

menewaskan ibu dan dua anaknya.

Diperkirakan gelombang tsunami yang terjadi 26

Desember 2004 silam menerjang wilayah pantai barat dan

timur dua provinsi seluas 100.000 kilometer persegi. Di

antara kota-kota di Nangroe Aceh Darussalam yang tersapu

ombak, Meulaboh dan Banda Aceh tergolong daerah terparah

karena hampir seluruh wilayahnya merupakan dataran rendah

dengan elevasi di bawah 20 meter di atas permukaan laut.

Gempa bumi merupakan peristiwa bergesernya

lempengan bumi di daratan maupun dasar laut yang

merambat ke permukaan bumi. Gempa bumi disebabkan oleh

aktivitas tektonik sepanjang jalur-jalur rawan bencana.

Gempa bumi yang berpusat di dasar laut dapat menyebabkan

tsunami atau disebut gelombang pasang besar dan mampu

menghancurkan wilayah pesisir.

Gempa bumi yang berpusat tidak jauh dari kota atau

pusat permukiman penduduk akan mengakibatkan kerusakan.

Hentakan gempa yang besar dapat mengakibatkan tanah

longsor, bangunan roboh, atau retak. Merusak bangunan

waduk atau tanggul sehingga air meluap dan banjir besar.

Menyebabkan kebakaran karena rusaknya instalasi

bangunan. Tanah, jalan raya, atau jembatan merekah atau

 

Page 16: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

5

ambuk. Memakan korban jiwa makhluk hidup karena

tertimpa reruntuhan atau tersapu oleh gelombang tsunami.

Foto jurnalistik Bedu Saini bercerita tentang detik-

detik gempa dan tsunami, serta keadaan Aceh setelah tragedi

tersebut. Foto jurnalistik merupakan sajian gambar atau foto

yang dapat berdiri sendiri sebagai visualisasi suatu peristiwa.

Foto jurnalistik pun dapat menjadi pelengkap dan penguat

pesan yang disampaikan dalam berita. Melihat penjelasan

tersebut, foto jurnalistik ternyata dapat memiliki peran

ganda, yang pertama sebagai pendamping atau pelengkap

berita, dan selanjutnya disatu sisi menjadi berita itu sendiri.

Berita dan rupa-rupa artikel menyajikan persepsi, namun

fotografi jurnalistik dengan gamblang mengungkapkan

atmosfir peristiwa yang secara hakiki menjadi pondasi

jurnalisme.

Adapula pengertian fotografi jurnalistik yang

diungkap Oscar Matullah, seorang fotografer jurnalistik,

penulis buku Soul Scape Road, dan selaku Direktur Eksekutif

Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA). Bahwa fotografi

jurnalistik adalah bagian dari pencatatan visual atas

perjalanan perihal kehidupan dalam peradaban dunia. Satu

siklus di mana bencana, derita, dan kematian merupakan

bagian daripadanya. Fotografi jurnalistik merupakan medium

 

Page 17: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

6

utama yang paling dibutuhkan untuk mendapatkan seeing is

believing perihal peliputan bencana dalam berbagai skalanya.

Kisah dalam buku foto Civilization Of Light juga

membawa Bedu Saini mendapatkan penghargaan Life Time

Achievement atau fotografer sepanjang masa pada malam

Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2017 yang

diadakan di Kota Tua, Jakarta. APFI merupakan ajang

penghargaan foto jurnalistik tertinggi di Indonesia.

Penghargaan ini diberikan karena Bedu telah berkarya dalam

dunia jurnalistik selama 25 tahun dan menjadi orang pertama

yang mendapat penghargaan ini selama organisasi Pewarta

Foto Indonesia (PFI) hadir di tanah air.

Begitu juga yang terjadi pada karya foto jurnalistik

Civilization Of Light yang dibuat oleh Bedu Saini. Karya foto

yang diterbitkan oleh Galeri Foto Jurnalistik Antara pada

2015 tersebut memiliki berbagai makna yang dapat

ditangkap oleh para penikmatnya. Berbagai makna tentang

bencana alam gempa dan tsunami yang menghasilkan makna

tentang kehidupan, kematian, dan perjuangan.

Lalu apakah yang sebenarnya ingin disampaikan oleh

Bedu Saini dalam buku fotografi Civilization Of Light ini.

Dengan dasar itulah peneliti mencoba menganalisis maksud

yang terkandung dalam buku foto Civilization Of Light

dengan cara analisis semiotika.

 

Page 18: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

7

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, analisis merupakan

penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui

keadaan yang sebenarnya seperti sebab musabab, duduk

perkara dan lain sebagainya.Sedangkan, Benny H. Hoed

mengungkapkan dalam bukunya Semiotika dan Dinamika

Sosial Budaya, bahwa semiotika merupakan „pisau‟ yang

digunakan untuk membedah dan membagi bagian-bagian

dalam hal ini adalah foto dan teks yang kemudian

menghubungkan kembali semua itu menjadi satu kesatuan

bahasa komunikasi yang lebih luas dan mendalam.

Dalam penelitian ini pisau bedah analisis semiotika

dirasa sangat tepat untuk menjabarkan atau mencari arti yang

terkandung dalam foto-foto bencana alam gempa dan

tsunami di Aceh karya Bedu Saini. Dari penjelasan di atas

dapat disimpulkan dengan singkat bahwa semua yang ada

dalam kehidupan kita sebenarnya memiliki makna atau pesan

yang ingin disampaikan.

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Roland

Barthes dalam buku The Phographic Message (1961) yang

dikutip oleh Seno Gumira Ajidarma dalam buku Kisah Mata

mengungkapkan bahwa:

Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh

sumberemisi, saluran transisi dan titik resepsi. Struktur

sebuah foto bukanlah sebuahs truktur yang terisolasi, karena

 

Page 19: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

8

selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni

teks tertulis judul, keterangan, artikel yang selalu mengiringi

foto. Dengan demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh

ko-operasi dua struktur yang berbeda.

Oleh karena itu, kajian analisis tentang tanda-tanda

atau semiotik dirasa sangat tepat untuk mengungkapkan

makna-makna yang ingin disampaikan oleh Bedu Saini

kepada para penikmat dan orang-orang yang fokus dalam

mengkaji karya fotografi dalam foto demi foto yang ia buat.

Penulis memiliki ketertarikan khusus dengan

fotografi. Karena penulis menggeluti kegiatan mahasiswa di

bidang fotografi. Hal tersebut menjadi alasan yang kuat

kenapa penulis ingin meneliti buku foto “Civilization Of

Light” guna mengetahui dan memahami bagaimana

membedah esensi suatu buku foto dengan menggunakan

teroti Roland Barthes yang membaca gambar dari makna

konotasi, denotasi, dan mitos.

Dengan dasar pemikiran di atas,maka peneliti

memutuskan untuk melakukan penelitian dengan judul

“ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO KARYA

BEDU SAINI BERJUDUL CIVILIZATION OF LIGHT

PADA MALAM ANUGERAH PEWARTA FOTO

INDONESIA (APFI) 2017”.

 

Page 20: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

9

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada

karya Bedu Saini berjudul Civilization Of Light pada ajang

pameran foto jurnalistik “Peradaban Cahaya dan Bencana” di

Kota Tua, Jakarta. Penulis hanya mengambil tiga dari

sepuluh foto seri yang dipamerkan karena menurut penulis

kelima foto tersebut sudah mewakili apa yang ingin

disampaikan oleh fotografer.

Karya Bedu Saini tersebut bercerita tentang bencana

alam gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 2004

silam, serta masa pembangunan Aceh setelah tragedi

tersebut. Buku ini adalah persembahan Galeri Foto

Jurnalistik Antara (GFJA) dan Para Profesional serta mitra

institusi sejati untuk mengobarkan semangat

pendokumentasian intisari sejarah atas bencana alam maha

dasyat yang pernah terjadi di bumi sepanjang abad ini.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka

masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

 

Page 21: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

10

1. Apa makna denotasi foto karya Bedu Saini yang

terkandung dalam buku Civilization Of Light yang juga

dipamerkan dalam ajang foto jurnalistik “Peradaban

Cahaya dan Bencana” 2017?

2. Apa makna konotasi foto karya Bedu Saini yang

terkandung dalam buku Civilization Of Light yang juga

dipamerkan dalam ajang foto jurnalistik “Peradaban

Cahaya dan Bencana” 2017?

3. Apa makna mitos foto karya Bedu Saini yang terkandung

dalam buku Civilization Of Light yang juga dipamerkan

dalam ajang foto jurnalistik “Peradaban Cahaya dan

Bencana” 2017?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas

maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami makna denotasi foto

karya Bedu Saini yang terkandung dalam buku

Civilization Of Light yang juga dipamerkan dalam ajang

foto jurnalistik “Peradaban Cahaya dan Bencana” 2017.

2. Untuk mengetahui dan memahami makna konotasi foto

karya Bedu Saini yang terkandung dalam buku

 

Page 22: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

11

Civilization Of Light yang juga dipamerkan dalam ajang

foto jurnalistik “Peradaban Cahaya dan Bencana” 2017.

3. Untuk mengetahui dan memahami makna mitos foto

karya Bedu Saini yang terkandung dalam buku

Civilization Of Light yang juga dipamerkan dalam ajang

foto jurnalistik “Peradaban Cahaya dan Bencana” 2017.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai

kajian tentang teori yang diangkat dari penelitian ini yaitu

dalam bidang semiotika khususnya pada bahasan

mengenai fotografi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan

bagi para penggiat fotografi khususnya yang menekuni

fotografi jurnalistik dan dokumenter. Terutama gambaran

kejadian dan pasca gempa tsunami yang melanda Aceh

2004 silam serta 11 tahun pembangunan Aceh setelah

tragedi tersebut. Foto-foto bersejarah yang diabadikan

Bedu Saini juga memperkaya khasanah fotografi

jurnalistik Indonesia.

 

Page 23: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

12

E. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini

adalah paradigma konstruktivis. Paradigma ini menafsirkan

makna yang bersifat subjektif. Data yang diambil adalah

sesuatu yang menjadi perasaan serta keinginan pihak yang

diteliti untuk menyampaikan pesan melalui penafsiran pada

makna.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini

adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah

penelitian yang bersifat interpretatif (menggunakan

penafsiran) yang melibatkan banyak metode, dalam

menelaah masalah penelitiannya. Melalui pendekatan

kualitatif ini peneliti bertujuan untuk menjelaskan foto-foto

bencana alam gempa dan tsunami di Aceh atau serta

perbaikan setelahnya dengan pengumpulan data dan analisis

yang mendalam. Maka penelitian kualitatif dianggap lebih

cocok digunakan untuk peneliti yang mempertimbangkan

kehidupan manusia yang selalu berubah.

Bisa banyak data yang dapat diperoleh dari penelitian

kualitatif ini, seperti beragam makna atau penafsiran,

pandangan, nilai, kepercayaan, dan interpretasi-interpretasi

 

Page 24: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

13

dalam masyarakat merupakan kekayaan data yang nantinya

juga akan dianalisis oleh peneliti dan menimbulkan suatu

makna yang mungkin berbeda-beda tergantung dari latar

belakang peneliti. Oleh karena itu, dapat juga dikatakan

bahwa dalam penelitian kualitatif tidak ada suatu kebenaran

yang mutlak, juga tidak ada penelitian yang salah jika semua

penafsiran-penafsiran dari analisis terhadap data yang

diperoleh dapat dipertanggung jawabkan.

3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah

semiotika, biasanya diartikan sebagai pengkajian tanda-tanda

(study of signs). Pada dasarnya merupakan sebuah studi atas

kode-kode, yaitu sistem yang memungkinkan kita

memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau

sebagai sesuatu yang bermakna.Mengerucut pada analisis

semiotika Roland Barthes.

Ketika kita mempertimbangkan: iklan, berita, dan TV atau

teks film, hal itu akan menjadi jelas bahwa lingustik, visual

dan jenis tanda lain digunakan tidak semata-mata untuk

menunjukkan sesuatu, tetapi juga memicu berbagai konotasi

yang melekat pada tanda.

 

Page 25: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

14

Semiotika Barthes ini memaparkan cara membaca

symbol atau tanda-tanda yang terkandung dalam makna

denotasi, konotasi dan mitos.

4. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terbagi dua yaitu

sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer

merupakan sasaran utama dalam penelitian ini sedangkan

sumber data sekunder merupakan pengaplikasian dari sumber

data primer di mana sumber data ini sebagai pendukung dan

penguat dalam penelitian.

Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui

hasil foto yang dipilih penulis sesuai dengan objek

penelitian. Penulis lebih memfokuskan pada lima foto karya

Bedu Saini yang terkandung dalam buku foto Civilization Of

Light yang juga dipamerkan pada ajang pameran foto

jurnalistik “Peradaban Cahaya dan Bencana” tahun 2015.

Karena menurut peneliti foto-foto tersebut mewakili apa

yang ingin disampaikan oleh fotografer dan dapat

menyangkup keseluruhan cerita dalam keseluruhan karya.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari wawancara

dengan fotografer yang karyanya akan diteliti, yaitu Bedu

Saini, buku-buku, artikel dan serta menambahkan beberapa

referensi yang berkaitan dengan penelitian.

 

Page 26: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

15

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang

digunakan penulis adalah sebagai berikut:

a. Observasi

Karl Weick (dikutip dari Seitiz, Wringhtsan, dan Cook

1976:253) mendefinisikan observasi sebagai “Pemilihan,

pengubahan, pencatatan, dan pengodean serangkaian

perilaku dan suasana yang berkenaan dengan organisme,

sesuai dengan tujuan-tujuan empiris”. Tehnik observasi

yang peneliti lakukan adalah melakukan pengamatan

secara langsung dan bebas terhadap objek penelitian

dengan cara mengamati, mencatat, memilih, dan

menganalisa foto-foto tersebut dengan model penelitian

yang digunakan.

b. Wawancara

Wawancara adalah salah satu cara untuk mencari fakta

dengan meminjam indera (mengingat dan

merekonstruksi) sebuah peristiwa, mengutip pendapat,

dan opini narasumber. Wawancara ini ditujukan kepada

pihak yang terlibat untuk mendapat data yang akurat,

dalam hal ini adalah Bedu Saini sebagai fotografer dari

buku Civilization Of Light.

 

Page 27: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

16

c. Dokumentasi

Yaitu peneliti mendokumetasikan segala kegiatan

pencari informasi yang dibutuhkan sesuai tujuan penulis

dan mengumpulkan data-data melalui telaah. Yang

kemudian dijadikan bahan argumentasi, seperti buku,

arsip, internet dan mencetak beberapa dokumen yang

memberikan informasi tambahan sesuai dengan tujuan

penelitian.

6. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland

Barthes (1915-1980). Dikenal sebagai salah satu pemikir

strukturalis yang getol mempraktekkan model linguistik dan

Semiologi Seussurean. Barthes mempunyai konsep tentang

konotasi dan denotasi sebagai kunci analisisnya. Denotasi

adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek.

Konotasi adalah signifikasi tahap kedua yang menggunakan

tanda tahap pertama (penanda dan petanda) sebagai penanda

dan memberikannya petanda tambahan.

7. Subjek, Objek, Tempat Penelitian dan Narasumber

Subjek dari penelitian ini adalah buku foto karya

Bedu Saini yang berjudul Civilization Of Light tahun 2015

yang juga dipamerkan pada ajang pameran foto jurnalistik

“Peradaban Cahaya dan Bencana” tahun 2017. Sedangkan

 

Page 28: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

17

objek penelitiannya adalah lima foto dalam buku tersebut,

karena foto-foto tersebut dirasa oleh peneliti mewakili apa

yang ingin disampaikan oleh fotografer secara

menyeluruh.Tempat penelitian akan dilakukan di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H.

Juanda N0. 95 Ciputat, Jakarta, Indonesia. Narasumber

utama penelitian ini adalah Bedu Saini.

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang berjudul “Analisis Semiotika

Terhadap Foto Karya Bedu Saini Berjudul Civilization Of

Light Pada Ajang Pameran Foto Jurnalistik Peradaban

Cahaya dan Bencana 2017” terinspirasi oleh skripsi :

1. “Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Romi

Perbawa Berjudul The Riders of Destiny Pada Ajang

PameranThe Jakarta International Photo Summit

Tahun 2014” oleh M. Hanggi Tyo, mahasiswa

Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi jurusan

Jurnalistik UIN Jakarta yang membahas pengorbanan

para Juki Jara cilik dalam menjalankan adat istiadat

Pacoa Jara yang terjadi di kabupaten yang mayoritas

penduduknya beragama Islam, Bima, Nusa Tenggara

Barat, Indonesia.

 

Page 29: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

18

2. “Analisis Semiotika Foto pada Buku Foto Jakarta

Estetika Banal karya Erik Prasetya”, mahasiswa

mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi jurusan Jurnalistik UIN Jakarta yang

bercerita tentang emosi kota Jakarta dalam kegiatan

sehari-hari.

Dari beberapa skripsi yang telah disebutkan di

atas belum ada yang membahas tentang ANALISIS

SEMIOTIKA TERHADAP FOTO KARYA BEDU

SAINI BERJUDUL CIVILIZATION OF LIGHT

PADA AJANG PAMERAN FOTO JURNALISTIK

PERADABAN CAHAYA DAN BENCANA 2017.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Pembahasan mengenai berbagai dasar

tentang penelitian yang berisi pendahuluan di

mana di dalam itu terdapat latar belakang

masalah, batasan dan rumusa nmasalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metodologi

penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika

penulisan yang seluruhnya mendasari

penelitian“Analisis Semiotika Terhadap Foto

Karya Bedu Saini Berjudul Civilization Of

Light Pada Ajang Pameran Foto Jurnalistik

Peradaban Cahaya Dan Bencana 2017”.

 

Page 30: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

19

BAB II : Penjabaran mengenai landasan teori yang

digunakan untuk penelitian ini, yaitu berisi

tentang tinjauan umum mengenai fotografi

(pengertian fotografi, sejarah dan tokoh

fotografi, unsur-unsur fotografi, perkembangan

fotografi dunia, aliran-aliran fotografi, fotografi

jurnalistik dan fotografi dokumenter), tinjauan

umum tentang pemaknaan visual dan semiotika.

BAB III : Pemaparan mengenai gambaran umum tentang

bencana alam gempa dan tsunami di Aceh,

gambaran umum tentang buku foto Civilization

of Light, tentang buku foto jurnalistik

“Peradaban Cahaya dan Bencana” 2017,

Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) dan

biodata atau profil Bedu Saini.

BAB IV : Hasil penelitian Analisis Semiotika. Pada bab

ini, berisi deskripsi hasil penelitian yaitu

pembahasan mengenai foto-foto bencana alam

gempa dan tsunami serta rehabilitasi, dan

rekonstruksi hingga 2014. Terdapat pada buku

foto Civilization Of Light karya Bedu Saini

mendapatkan penghargaan pada malam

Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2017.

 

Page 31: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

20

BAB V : Merupakan penutup, yaitu kesimpulan dari

hasil penelitian serta saran-saran untuk

memajukan para fotografer dan yang ingin

menggeluti bidang fotografi jurnalistik atau

dokumenter agar tidak sembarang dan memiliki

konsep yang matang dalam setiap pengambilan

foto.

 

Page 32: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

21

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SEMIOTIKA SEBAGAI `UPAYA PEMAKNAAN

1. Pengertian Semiotika

Semiotika didefinisikan sebagai pengkajian tada-tanda (the

study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-

kode, yaitu sistem apa pun yang memungkinkan untuk

memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau

sebagai sesuatu yang bermakna. Sejak pertengahan abad ke-20,

semiotika telah tumbuh menjadi bidang kajian yang sungguh

besar, melampaui di antaranya kajian bahasa tubuh, bentuk-

bentuk seni, wacana retoris, komunikasi visual, media, mitos,

naratif, bahasa, artefak, isyarat, kontak mata, pakaian, iklan,

makanan, atau diadopsi manusia untuk memproduksi makna.

Semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai

suatu tanda-tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat

dilekati (dimaknai) sebagai penggantian yang signifikan untuk

sesuatu yang lainnya. Sebenarnya, istilah semeiotics (dilafalkan

demikian) diperkenalkan oleh Hippocrates (460-377 SM),

penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala. Gejala,

menurut Hippocrates, merupkan semion-bahasa Yunani untuk

“penunjuk” (mark) atau “tanda” (sign) fisik. Maka, semiotika

berarti studi tentang tanda (sign) dan bagaimana tanda itu bekerja.

 

Page 33: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

22

Istilah ini telah digunakan oleh pakar filsafat Stoik dalam

ilmu bahasa Yunani kuno. Orang-orang stoik merupakan orang

pertama yang mengembangkan teori tentang tanda ini dalam abad

ketiga dan kedua sebelum masehi. Tanda mengalami perdebatan

antara penganut mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena.

Inti perdebatan mereka berkaitan dengan perbedaan antara “tanda

natural” dan “tanda konvensional”. Semiotika itu sendiri

merupakan ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda,

lambang-lambang, sistem-sistemnya, dan prosesnya lebih dalam.

Semiotika telah dikembangkan oleh beberapa ahli dalam

berbagai perspektif penelitian maupun ilmu pengetahuan. Seperti

kajian tentang foto dan musik oleh Roland Barthes, film oleh

Christian Metz, Psikoanalisis oleh Gilles Deleuze, media dan

identitas masyarakat oleh Jean Baudrillard, dan lainnya. Pada

dasarnya semiotika tidak pernah berkembang sendirian, baik

sebagai metode atau pendekatan. Pada akhirya akan bertemu

dengan beragam disiplin ilmu, teori, budaya, dan karya seni.

Dalam perkembanganya, semiotika mempunyai dua tokoh

sentral yang memiliki latar belakang berbeda, yaitu Charles

Sanders Pierce dan Ferdinand de Saussure. Tokoh pertama

Charles Sanders Pierce merupakan seorang filsuf Amerika yang

terlahir dari keluarga intelektual pada 1839. Pierce memandang

bahwa semiotika merupakan sesuatu yang berkaitan dengan

logika. Logika memperlajari bagaimana manusia bernalar yang

 

Page 34: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

23

menurut Pirce dapat dilakukan melalaui tanda-tanda. Tanda-tanda

tesebut memungkinkan manusia dalam berpikir, berkomunikasi

dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang

ditampikan oleh kehidupan manusia.

Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Pierce berkehendak

untuk menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia.

Teori Pierce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar ini

sehingga tidak mengherankan apabila ia mentimpulkan bahwa

semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim logika.

Tanda yang dimaksud Pierce dapat berupa tanda visual dan

bersifat verbal maupun non-verbal. Selain itu dapat juga berupa

lambang, contohnya lampu merah yang mewakili sebuah

larangan.

Pemikiran berbeda datang dari tokoh semiotika asal Swedia,

Ferdinand De Saussure, berpandangan bahwa semiotika

merupakan sebuah kajian yang mempelajari tentang tanda-tanda

yang menjadi bagian dari kehidupan sosial. Saussure memiliki

latar belakang keilmuan linguistik. Ia memandang tanda sebagai

sesuatu yang dapat dimaknai dengan meliht beberapa antara

petanda dan penanda yang biasa disebut signifikasi. Dalam hal ini

Saussure mengatakan bahwa dalam memaknai sebuah tanda perlu

adanya kesepakatan sosial, tanda-tanda tersebut berupa bunyi-

bunyian dan gambar.

 

Page 35: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

24

Saussure juga menyebutkan objek yang dimaknai sebagai

unsur tambahan dalam proses penandaan. Contohnya, ketika

orang menyebut kata “babi” dengan nada mengumpat maka hal

tersebut merupakan tanda kesialan. Penanda dan petanda yang

dikemukakan Saussure merupakan sebuah kesatuan, tak dapat

dipisahkan, seperti dua sisi sebuah koin. Jadi Saussure lebih

mengembangkan bahasa dalam pandangannya.

Perbedaan kedua tokoh ini dalam mengkaji semiotika

terlihat jelas bagaimana tanda dapat dimaknai. Saussure mengkaji

semiotika melalui bahasa yang dituturkan oleh manusia.

Sedangkan Pierce lebih kepada logika atau cara berpikir manusia

dalam melihat suatu tanda yang dapat dimaknai di kehidupan

sehari-hari berkaitan dengan makna.

Terdapat tiga cabang penelitian (branches of inquiry) dalam

semiotika, yaitu sintatik, semantik, dan pragmatik. Pertama

sintatik merupakam suatu cabang penyelidikan yang mengkaji

tentang hubungan formal antara satu tanda dengan tanda yang

lain yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Kedua,

semantik yaitu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari

hubungan antara tanda dengan design objek-objek yang diacunya.

Menurut Moris, desain yang dimaksud adala makna tanda-tanda

sebelum digunakan dalam urutan tertentu. Ketiga, pragmatik

adalah cabang penyelidikam semiotika yang mempelajari

hubungan antara tanda dengan interpretasi. Cabang yang

 

Page 36: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

25

dikemukakan Moris tersebut memiliki keterkaitan antara satu

sama lain yang dapat dimaknai sebagai tingkatan suatu makna

dalam tanda.

Ketiga cabang tersebut juga memiliki spesifikasi kerja dan

objek kajian tersendiri, sehingga apabila dipakai untuk metode

analisa akan menghasilkan “pembacaan” yang mendalam. Selain

itu terdapat beberapa elemen penting dalam semiotik, yaitu

komponen tangga, aksis tangga, tingkatan tanda, dan relasi antar

tangga. Komponen tangga yang merupakan komponen penting

yang pertama dalam semiotik memandang praktik sosial, politik,

ekonomi, budaya, dan seni selain sebagai fenomena bahasa, juga

dapat dipandang sebagai tanda.

Komponen penting selanjutnya adalah aksis tangga, analisis

tangga yang mengkombinasikan pembendaharaan tanda atau kata

dengan cara pemilihan dan pengkombinasian pembendaharaan

tanda berdasarkan aturan atau kode tertentu, sehingga

menghasilkan ekspresi yang memiliki makna. Selanjutnya adalah

tingkatan tanda. Dalam tingakatan tanda yang dikembangkan

Roland Barthes ini terdapat dua tingkatan lainnya, yaitu denotasi

(makna sebenarnya) dan konotasi (makna tidak sebenarnya).

Terakhir adalah relasi tanda relasi atau hubungan tangga ini

terdapat dua bentuk interaksi, yaitu metafore dan metomimi.

Studi semiotika dibagi menjadi tiga macam, yaitu tanda,

kode, dan kebudayaan. Tanda adalah kode, kode adalah suatu

 

Page 37: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

26

medan asosiatif yang memiliki gagasan-gagasan struktural. Kode

ini merupakan beberapa jenis dari hal yang sudah pernah dilihat,

dibaca, didengar, dirasakan dengan itu konstitutif bagi enulisan

yang dilakukan.

Tanda memiliki cara penyampaian makna yang berbeda dan

hanya dapat dipahami oleh seseorang yang menggunakannya.

Sedangkan untuk studi yang membahas tentang kode,

mencangkup cara bagaimana kode dikembangkan dalam

memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mengeksploitasi saluran

komunikasi yang tersedia. Kebudayaan yang menjadi tempat

tanda dan kode bekera menjelaskan bagaimana keberadaan dan

bentuk dan penggunaan kode-kode tersebut. Tanda atau kode

dapat ditemukan di mana saja. Misal sebuah rambu lalu lintas

“tanjakan terjal” yang terletak di pinggir jalan. Rambu tersebut

berisi peringatan bagi para pengguna jalan bahwa di depan ada

kemungkinan bahaya atau tempat berbahaya yang harus dilewati

dengan hati-hati. Rambu tersebut merupakan sebuah tanda atau

kode yang ditempatkan sesuai dengan fungsinya.

2. Tokoh Semiotika

a. Ferdinand de Saussure

Saussure memang terkenal karena teorinya tentang tanda.

Ia sebetulnya tidak pernah mencetak pemikirannya menjadi buku,

catatan-catatannya dikumpulkan oleh murid-muridnya menjadi

 

Page 38: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

27

sebuah outline. Karyanya yang disusun dari tiga kumplan catatan

kuiah saai ia memberi kuliah linguistik umum di Universitas

Jenewa pada tahun 1907, 1908-1909, dan 1910-1911 ini

kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Course in

General Linguistics (Lechte, 2001:232). Karya ini di kemudian

hari merupakan sumber teori linguistik yang paling berpengaruh

dan dikenal dengan istilah “strukturalisme”.

Ferdinad de Saussure merupakan tokoh semiotika yang

berasal dari Swedia. Pengaruh Saussure memang menjadi faktor

utama yang membuat semiotika berhubungan sangat erat dengan

linguistik struktural. Sebagai perintis ilmu bahasa struktural,

nama Saussure berkaitan erat dengan semiotika. Dapat dikatakan

bahwa muara semiotika modern yang berkembang di Eropa

adalah pemikiran Saussure. Ia berbicara mengenai keberadaan

tanda dengan menggunakan istilah semiologi.

Bertumpu pada konsepnya mengenai tanda, Saussure

mendefinisikan bahasa sebagai sitem tanda. Maksudnya bahasa

terjadi dari berbagai tanda. Maksudnya, terjadi dari berbagai

tanda, yang terkait satu sama lain sehingga membentuk sistem,

seperti sistem kosa kata, sistem pembentukan kata, sistem

kalimat, dan sebagainya. Kemudian, secara keseluruhan semua

sistem dalam bahasa yang bersangkutan membentuk sistem yang

lebih besar, yaitu sistem tanda bahasa. Jadi, manakala berbicara

tentang bahasa, kita dapat mempelajarinya sebagai sistem tanda.

 

Page 39: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

28

Maka, ketika mempelajari bahasa sebagai sistem tanda,

mempergunakan konsep Saussure yang sudah disebutkan

(parole, langue, dan seterusnya). Begitulah yang dilakukan

Saussure ketika menerapkan semiotika dalam bidang linguistik.

Sehingga dalam kaitan antara semiotika dengan konsepsi

struktual Saussure mengenai bahasa terlihat jelas sekali.

b. Charles Sanders Pierce

Pierce kerapkali disebut bahwa selain menjadi menjadi

seorang pendiri pragmatisme. Ia juga memberikan sumbangan

yang penting pada logika filsafat dan matematika, khususnya

semiotika yang jarang disebut adalah bahwa Pierce melihat teori

semiotikanya (karyanya tentang tanda) sebagai yang tak

terpisahkan dari logika. Menurut Pierce bahwa secara umum

tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.

Pierce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle

meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign),

object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk

fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan

merupakan sesuatu yang merujuk pada hal lain di luar tanda itu

sendiri. Tanda menurut Pierce terdiri dari Simbol (tanda yang

muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari

perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan

sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek

 

Page 40: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

29

atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi

dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

Pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang

mengunakan tanda itu dan menurukannya ke suatu makna

tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang

objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam

proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah

tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.

Contohnya, seperti saat seorang perempuan memiliki tato dan

merokok, maka wanita itu sedang mengomunikasi dirinya kepada

orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol

kenakalan. Begitu pula ketika Fahrani muncul di film Punk In

Love dengan akting dan penampilan fisiknya yang penuh tato,

para penonton bisa saja memaknainya sebagai ikon perempuan

nakal dan memiliki pergaulan yang bebas.

c. Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir

strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan

semiologi Saussurean. Ia dengan kajian tentang denotasi,

konotasi, dan mitos. Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes

pada tahun 1915-1980, dalam teorinya tesebut Barthes

mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan penandaan,

yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat penandaan

yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,

 

Page 41: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

30

menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi

adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda

dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna dan tidak

eksplisit tidak langsung, dan tidak pasti.

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure.

Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan

cara-cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi

kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa

saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang

berbeda situasinya.

Meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan

interaksi antar teks dengan pengalaman personal dan kultural

penggunaannya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan

konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.

Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Order of Signification”

mencakup denotasi makna sebenarnya dan konotasi makna ganda

yang lahir dari pengalaman kultural dan personal. Di sinilah titik

perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap

menggunakan istilah signifier dan signified yang diusung

Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu

“mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut

Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah

terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan

 

Page 42: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

31

menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua

dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang

memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna

denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.

Misalnya seperti memakai pakaian berwarna hijau saat

berenang di pantai selatan menimbulkan konotasi „tabu‟ akan

hilang atau tenggelam karena akan diculik oleh penguasa pantai

selatan „Nyi Roro Kidul‟. Konotasi tabu ini kemudian

berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol

pakaian berwarna hijau di pantai selatan. Sehingga memakai

pakaian berwarna hijau di pantai selatan bukan lagi menjadi

sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan

tingkat kedua. Pada tahap ini “memakai pakaian kaberwarna

hijau di pantai selatan” akhirnya dianggap sebuah Mitos.

Dalam argumennya tentang mitos, Barthes mencontohkan

foto Paris Match dengan cover seorang pemuda kulit hitam

hormat pada bendera Prancis. Mari kita membayangkan foto

seorang pemuda Papua yang sedang hormat pada Merah Putih.

Dalam tataran makna pertama, foto ini adalah signifier (sebuah

gambar) yang bermakna denotasi atau satu peristiwa, yaitu

pemuda Papua hormat pada bendera. Di tataran kedua pada level

mitos, foto ini bermakna lain: bahwa Indonesia adalah sebuah

idntitas bebar (Barthes menggunakan “imprelialisme”) yang

menguasai Papua. Karena mitos selalu dikonfrontasi oleh

 

Page 43: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

32

counter-myth, maka foto semacam ini adalah pertentangan atas

foto-foto tentang Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang

menuntut melepaskan dii dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Sifat mitos adalah meniadakan realitas sejarah dan

konstruksi sosial. Karena mitos menghilangkan atau

menyebunyikan konteks tanda sebelumnya dan menggantinya

dengan makna yang berbeda.

d. Jacques Derrida

Derrida terkenal dengan model semiotika

dekonstruksinya. Dekonstruksi menurut Derrida adalah sebagai

alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun

bentuk kesimpulan yang baku. Konsep dekonstruksi yang dimulai

dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran

rasional yang percaya pada kemurniaan realitas, pada dasarnya

menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (signifier)

melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori

Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah

membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda

senantiasa sudah mengandung artikulasi lain.

Dekonstruksi, pertama kali, adalah usaha membalik secara

terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan

bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat,

 

Page 44: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

33

fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi

fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan

dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen

sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.

Sebuah gereja dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal

bisa mereflkesikan banyak hal. Maknanya bisa merefleksikan

ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan.

Seseorang bisa menafsirkan baha ajaran yang dihantarkan dalam

gereja tersebut cenderung sesat atau menggiring jemaatnya pada

hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan

yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-

persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.

Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda,

sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti

dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat

menyingkirkan makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti

hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak

terbatas. Berbeda dari Baudrillard yang meihat tanda sebagai

hasil konstruksi simulatif suatu realitas Derrida lebih melihat

tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah

ideologi yang membentuk atau dibentuk oeh makna tertentu.

Makna-makna dan ideologi itu dibongar melalui teknik

dekonstruksi. Namun, baik Baudrillard maupun Derrida sepakat

 

Page 45: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

34

bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk

makna tersebut.

e. Umberto Eco

Stephen W. Littlejohn, membentuk Umberto Eco sebagai

ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai

tanda yang paling kompherensif dan kontemporer. Menurut

Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-

teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih

mendalam.

Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan

menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada

modofikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda

menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimpulkan bahwa satu

tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan

suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen yang

berasal dari dua sistem berbeda, dari dua tingkat yang berbeda

yakni, ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan

pengkodean.

Eco juga menggunakan kode yang dipakai sesuai struktur

bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki

arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak

berfugsi secara linguistik kode bisa bersifat denotatif bila suatu

pernyataan bisa dipahami secara harfiah atau konotatif bila

 

Page 46: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

35

tampak kode lain dalam pernyataan yang sama. Penggunaan

istilah ini hampir sama dengan karya Saussure, namun Eco ingin

memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode yang lebih

versifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure,

di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.

2. Konsep Semiotika Roland Barthes

Pernyataan Barthes dalam buku Imaji, Musik, dan Teks,

bahwa penafsiran terhadap foto selalu bersifat historis, di mana

pembaca harus mengerti sisi dari latar belakang suatu gambar

yang akan ditelaah dalam beberapa rangkaian visual. Ungkapan

tersebut relevan digunakan dalam menafsirkan atau mengartikan

tanda dalam sebuah buku foto yang memiliki genre dokumenter

seperti Civilization of Light. Merekam visual sejarah

perkembangan Aceh pasca gempa dan tsunami yang begitu

relevan terhadap makna mitos yang akan dikaji dengan konsep

semiotika Barthes terhadap dinamika sosial budaya.

Tanda atau kode dapat ditemukan di mana saja. Misalnya,

sebuah rambu lalu lintas “tikungan tajam” yang terletak di

pinggir jalan. Rambu tersebut untuk memberitahukan bahwa

terdapat sebuah tinkungan yang harus dilewati secara hati-hati.

Rambu tersebut merupakan sebuah tanda atau kode yang

ditempatkan sesuai dengan fungsinya yang berguna membaca

tanda. Semasa hidupnya Bartes telah banyak menulis buku, di

antaranya adalah le degree zero de l‟ecriture atau “nol derajat di

 

Page 47: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

36

bidang menulis” (diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, writing

degree zero 1977).

Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan

hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda

terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai

denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda . konotasi adalah

istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi

tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika

tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta

nilai-nilai dari kebudayaannya. Pada signifikasi tahap kedua yang

berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos.

a. Makna Denotasi

Makna denotasi adalah tingkat penandaan yang

menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,

menghasilkan makna yang eksplisit dan pasti. Dengan kata lain

denotasi merupakan kata yang memiliki arti sesuai dengan apa

yang ada dalam kamus bahasa Indonesia, yang dapat

merupakan makna sesungguhnya atau makna sebenarnya dari

apa yang tertulis atau terlihat. Dalam terminologi Barthes,

denotasi adalah sistem signifikasi tahap pertama yang umum.

Dalam terminologi Barthes, konotasi adalah sistem signifikasi

tahap kedua.

 

Page 48: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

37

Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang

deskriptif dan literal serta dipahami oleh hampir semua anggota

suatu kebudayaan tertentu tanpa harus melakukan penaffsiran

terhadap tanda denotatif tersebut, tanda disebut juga sebagai

analogan. Pada tingkat makna lapiasan kedua, yaitu konotasi,

makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-petanda

dengan aspek kebudayaan yang lebih luas: keyakinan-

keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu

formasi sosial tertentu.

Barthes menyebut realitas dalam foto yang kita alami

sebagai real unreality. Disebut unreality karena apa yang

dihadirkan sudah lewat (temporal anteriority), tidak pernah

dapat memenuhi kategori sekarang disini dan disebut nyata

karena fotografi tidak menghadirkan ilusi melainkan presence

secara spasial. Kategori ini merupakan pengalaman orang

modern yang hidup dalam mass image akan realitas.

Komunikasi visual dalam bentuk foto menurut Barthes ialah

meliputi pesan tanpa kode message without a code dan juga

sekaligus pesan dengan kode message with a code.

Foto yang pada hakikatnya merupakan representasi

sempurna atau analogon dari realitas yang sebenarnya

(denotasi) ternyata sampai pada pembaca sudah dalam bentuk

konotasi dan mitos. Barthes mengajukan ssebuah hipotesis

bahwa dalam foto beritapun rupanya terdapat konotasi. Akan

 

Page 49: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

38

tetapi konotasi ini tidak terdapat pada tahap pesan itu sendiri

melainkan pada tahap proses produksi foto. Disamping itu,

konotasi muncul karena foto berita akan dibaca oleh publik

dengan kode mereka. Dua hal inilah yang memungkinkan foto

berita mempunyai konotasi atau mengandung kode.

Pengertian kode di dalam strukturalisme dan semiotik

adalah sistem yang memungkinkan manusia untuk memandang

entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda menjadi sesuatu

yang dapat dimaknai. Umberto Eco meyebut kode sebagai

aturan yang menjadi tanda tampilan yang konkrit dalam sistem

komunikasi. Dalam foto, Barthes tidak membicarakan

pentingnya kode dalam membaca tulisan pada foto, dengan

asumsi bahwa kita hanya membaca berita dalam bahasa yang

sudah kita kuasai.

b. Makna Konotasi

Makna konotasi berbanding balik dengan denotasi di mana

tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan

petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang implisit dan

tidak pasti. Secara sederhana konotasi dapat dijelaskan sebagai

tanda yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu atau

nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum. Dalam

terminologi Barthes, konotasi adalah sistem signifikasi tahap

kedua. Barthes mengajukan tiga tahapan dalam membaca foto

 

Page 50: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

39

yang bersifat konseptual/diskursif, yaitu: perseptif, konotasi

kognitif, dan etis-ideologis.

Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke

kategori verbal atau verbalisasi gambar yang bersifat

imajinatif. Sedangkan tahap konotasi kognitif adalah tahap

pengumpulan dan upaya menghubungkan unsur-unsur sejarah

dari analogon (denotasi) ke dalam imajinasi paradigmatik.

Dengan demikian pengetahuan kultural sangat menentukan.

Kemudian tahap Etisideologis adalah tahap pengumpulan

berbagai penanda yang siap dikalimatkan sehingga motifnya

dapat ditentukan.

Ketiga tahap di atas tersebut merupakan tahapan-tahapan

konseptual atau diskursif untuk menentuka wacana suatu foto

dan ideologi atau moralitas yang berkaitan. Dengan demikian

objektifitas pesan foto dapat diamati dan diukur.

Foto ibarat kata kerja tanpa kata dasar, Barthes

menyebutkan enam produser atau kemungkinan untuk

mempengaruhi gambar sebagai analogon. Analogon yaitu apa

yang dihasilkan dalam menulis dengan bahasa gambar,

menulis dengan bahasa foto berarti sebuah kegiatan intervensi

pada tingkat kode. Menurut Barthes, citra pesan iconic

message dapat kita lihat, baik berupa adegan, lanskap, atau

realitas harfiah yang terekam, dapat dibedakan lagi dalam dua

 

Page 51: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

40

tataran. Tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan

pesan simbolik.

Pesan simbolik atau pesan ikonik berkode (coded iconic

message), sebagai analogan yang berada pada tataran konotasi

yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau

familiaritas terhadap steorotip tertentu. Pada tataran ini,

Barthes mengemukakan enam produser konotasi citra

khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan

konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes.

Produser-produser tersebut terbagi dalam dua bagian besar,

yaitu konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau

intervensi langsung terhadap realita itu sendiri seperti Trick

Effect, Pose, dan Objects. Kemudian konotasi yang diproduksi

melalui wilayah estetis foto seperti Photogenia, Aestheticism,

dan Syntax.

Trick Effect ialah memanipulasi gambar secara artifisial,

artinya apakah suatu gambar memiliki penambahan,

pengurangan, penggantian dalam bentuk analogon, sehingga

membuat keaslian dari sebuah foto memiliki makna yang

berkurang.

Pose adalah posisi subjek dalam suatu gambar, ekspresi

terhadap analogon yang ditemukan, sikap objek yang ada

dalam gambar dan gaya subjek foto. Pose dalah tahap konotasi

 

Page 52: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

41

menjadi begitu penting ketika karena merupakan penentuan

penafsiran makna yang ada di dalam foto itu sendiri.

Object merupakan suatu penentuan point of interest atau

pusat perhatian dalam sebuah foto. Dalam hal ini, penentuan

object berdasarkan beberapa temuan yang ada di dalam

analogon kemudian dapat ditafsirkan secara subjektif dalam

pemaknaan konotasi.

Photogenia adalah teknik dalam pengambilan gambar,

seperti teknik pemotretan apa yang digunakan dalam

pencahayaan, ketajaman gambar, sudut pandang, dan lainnya.

Aestheticism yaitu suatu format gambar atau estetika

komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan

makna konotasi. Komposisi begitu menjadi penentu dalam

menafsirkan makna konotasi.

Sintaksis yaitu rangkaian cerita dari isi foto, yang

biasanya berada pada caption dalam foto dokumenter dan

dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, denotasi ialah

apa yang difoto yang memunculkan pertanyaan, sedangkan

konotasi adalah bagaimana ia bisa difoto, atau menitikberatkan

pertanyaan mengapa fotonya ditampilakan dengan cara seperti

itu.

 

Page 53: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

42

c. Makna Mitos

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan

operasi ideologi, yang disebut dengan „mitos‟ dan berfungsi

untuk mengungkapkan dan memberikan bagi nilai-nilai

dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Jadi

nitos adalah suatu tanda yang memiliki makna konotasi

kemudian berkembang menadi makna denotasi, maka makna

denotasi tersebut akan menjadi mitos atau singkatnya mitos

merupakan suatu kejadian yang terjadi berulang-ulang di

suatu kelompok masyarakat sehingga diakui sebagai

kebudayaan yang ada di dalam kalangan atau masyarakat

tersebut.

Mitos oleh Barthes disebut sebagai tipe wicara. Ia

juga menegaskan bahwa mitos merupakan sistem

komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal ini

memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa mitos tak

bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide; mitos adalah

cara penandaan (signification), sebuah bentuk, segala sesuatu

bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana.

Mitos dalam pengalaman Barthes adalah pengkodean makna

dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter dan konotatif)

sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Mitos menurut Alex

Sobur dalam buku Semiotika Komunikasi adalah bagaimana

 

Page 54: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

43

kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek

tentang yang ada dianggap sebagai realitas.

Dalam mitos, sekali lagi kita mendapati pola dimensi

yang disebut Barthes sebagai: penenda, petanda, dan tanda.

Ini bisa dilihat dala peta tanda Barthes yang dikutip dari buku

Semiotika Komunikasi, karya Alex Sobur:

Tabel 1

Tabel tanda Roland Barthes

Signifier

(Penanda)

Signified

(Petanda)

Denotative Sign (tanda

denotatif)

CONNOTATIVE

SIGNIFIER

(PENANDA

KONOTATIF)

CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF)

CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Sumber: Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2004) h. 69

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3)

terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat

 

Page 55: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

44

bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4).

Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material:

hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi

seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi

mungkin. Jadi dalam konsep Barthes, terdapat tanda konotatif

yang bukan hanya sekedar memiliki makna tambahan, namun

juga mengandung kedua bagian tanda denotasi yang melandasi

keberadaannya.

Berdasarkan pemaparan di atas, semiotik Roland Barthes

bertumpu pada tiga hal yaitu: denotasi, konotasi, dan mitos.

Makna denotasi adalah makna yang paling nyata dari tanda

yang memiliki arti sebenarnya dari tanda yang terlihat, dengan

kata lain denotasi merupakan kata yang tidak mengandung

makna atau perasaan-perasaan tambahan yang terdapat dalam

buku foto Civilization Of Light dalam bentuk kalimat-kalimat

yang menjelaskan visualisasi gambar tersebut.

Sedangkan makna konotasi adalah tanda yang

menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu

dengan perasaan atau emosi dari pembaca seta nilai-nilai dari

kebudayaannya dan mempunyai makna yang sejektif sehingga

kehadirannya tidak disadari. Pada makna konotasi ini peneliti

membuat interpretasi dari makna denotasi yang didasarkan

pada rumusan masalah yang dibuat oleh peneliti, sehingga

konotasinya akan mempresentasikan citra bencana gempa dan

 

Page 56: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

45

tsunami Aceh yang terlihat dalam buku foto Civilization Of

Light.

Kemudian peneliti akan menemukan makna mitos yang

terkandung dalam suatu gambar dengan menggabungkan

makna denotasi dan makna konotasinya. Dalam penelitian ini,

mitos merupakan wacana bencana gempa dan tsunami Aceh

yang dipakai dalam buku foto Civilization Of Light, yang

terlihat dalam setiap rangkaian visualnya.

B. Fotografi Sebagai Representasi Realitas

1. Pengertian Fotografi

Secara etimologi, fotografi berasal dari bahasa Inggris, yakni

Photography. Sedangkan kata photography didaptasi dari bahasa

Yunani, yakni photos yang berarti cahaya atau graphein yang

berarti gambar atau menggambar. Dengan demikian, secara

harfiah, fotografi bermakna „menggambar dengan cahaya‟.

Pegertian sederhana ini dekemukakan oleh John Hedgecoe dalam

bukunya yang berjudul John Hedgeoe‟s Complete Guide to

Photography; A Srep-by-Step Course from The World‟s Best-

Selling Photographer. Ia menyataan bahwa, “The words

„photography‟ means drawing with light...” (Hedgecoe, 1990: 6).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fotografi

merupakan seni dan proses penghasilan gambar melalui cahaya

pada film atau permukaan yang dipekakan. Fotografi juga

 

Page 57: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

46

merupakan sebuah proses pengambilan gambar dimana seorang

fotografer dapat membekukan gerak, waktu, dan peristiwa. Hal

tersebut didukung pula teknologi yang telah ada pada saat proses

tersebut ditemukan, seperti kertas film atau bahan yang mudah

peka terhadap cahaya.

Fotografi memiliki kelebihan dibandingkan dengan

tulisan. Foto dapat memberikan gambaran secara langsung

kepada masyarakat mengenai sebuah peristiwa tanpa harus

membayangkannya terlebih dahulu. Karena foto dapat

mengabadikan peristiwa yang mungkin tidak akan terulang

kembali. Saat ini kebanyakan orang lebih memilih untuk melihat

sebuah gambar dibandingkan dengan membaca tulisan untuk

mengetahui informasi, karena gambar tersebut dapat dengan

mudah dipahami dan dimengerti.

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Arnold Gassan dan

A.J. Meek dalam bukunya Exploring Black and White

Photography (1993) yang mengungkapkan bahwa:

“The earlist photographs widely known by the public

were made Daguerre, painter. When is small metal plate images

were first presented, another painter examined them and

proclaimed that from that day, painting was dead ! he meant that

the painter‟s struggle to describe the visible world with such

sufficient detail and exactitude to fool the eye was no longer the

first goal for the artist.”

 

Page 58: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

47

Pada tahun 1558 ilmuan Italia Giambasista Della Forta

menyebut kamera “Camera Obscura” pada sebuah kotak yang

membantu pelukis menangkap bayangan gambar. Suatu fakta

bahwa fotografi lahir sebagai upaya menyempurnakan karya seni

visual dan bentuk prototif sebuah kamera yang disebut kamera

Obscura. Meski percobaan alat rekam gambar sudah mencapai

taraf yang menguntungkan dan perkembangan dari saat ke saat

semakin behasil tetap saja belum bisa disebut fotografi karena

media perekam gambarnya masih belum bisa membuat gambar

permanen.

Sejarah fotografi mencatat, sejak masa pra fotografi pada

abad 17, para astronom memanfaatkan camera obcsura untuk

merekam konstelasi bintang-bintang secara tepat. Alat bantu ini

kemudian digunakan pula untuk bidang-bidang kegiatan lain,

termasuk seni lukis, terutama untuk bagian realisme dan

naturalisme, dalam abad 18 dan 19, sebagai mesin gambar yang

sangat berguna untuk merekam dan menghadirkan kembali

realitas visual.

Aktivitas fotografi sejatinya adalah kegiatan merekam

sebuah peristiwa menjadi gambar. Fotografi juga merupakan

suatu produk dari seni rupa, selain karena arti harfiahnya, yaitu

melukis dengan cahaya, dalam proses perekaman momentum

dalam satu frame (bingkai) bukan hanya melibatkan kamera

 

Page 59: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

48

sebagai alat, namun juga melibatkan emosional yang ada dalam

diri seorang fotografer.

Prinsip fotografi adalah mefokuskan cahaya dengan

bantuan pembiasan sehingga mampu membakar medium

penangkap cahaya. Medium yang telah dibakar dengan ukuran

luminitas cahaya yang tepat akan menghasilkan bayangan identik

dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya

disebut lensa).

Hal tersebut kemudian mengingatkan pada satu nama,

Hendry Cartier- Bresson, seorang pelukis dan fotografer dari

Perancis yang mendirikan agensi foto internasional – Magnum

Photo, sekaligus sebagai pencetus teori yang terkenal dalam

bidang fotografi, dessesive moment, yaitu saat dimana mata, hati,

dan pikiran melebur ketika menekan shutter kamera dalam

merekam sebuah gambar.

Hal demikian seraya menjelaskan, bahwa fotografi bukan

hanya bertumpu pada penguasaan teknis operasional kamera

secara jitu, melainkan dibutuhkan pula sentuhan nilai estetis saat

menyusun komposisi yang baik untuk menghasilkan sebuah

karya foto. Kemanapun fotografi sebagai sarana pencipta imaji

visual yang terpercaya dimanfaatkan dalam berbagai tujuan dan

fungsi. Fotografi selanjutnya berkembang menjadi sarana yang

berguna bagi pengembangan ilmu dan teknologi untuk

kemaslahatan manusia.

 

Page 60: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

49

Barthes mengajukan tesis di dalam bukunya Image Music

Text, tentang pesan fotografi, ia mengatakan apa isi pesan

fotografi? Apa yang foto itu sampaikan? Tentu gambar bukanlah

realitas tapi setidaknya itu adalah analogon sempurna dan itu

adalah persis kesempurnaan analogis ini yang ada, dengan akal

sehat. Fotografi itu adalah pesan tanpa kode, dari mana proporsi

merupakan konsekuensi penting yang harus segera ditarik: pesan

fotografi adalah pesan yang terus menerus.

Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi,

saluran transmisi dan titik resepsi. Struktur sebuah foto bukanlah

sebuah struktur yang terisolasi, karena selalu berada dalam

komunikasi dengan struktur lain, yakni teknis tertulis, judul,

keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto. Dengan

demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua

struktur yang berbeda.

Kalau salah satu fungsi bahasa adalah representatif

(fungsi menghadirkan), munculnya foto harus mendapatkan

perhatian secara serius karena foto mempunyai kemampuan

representatif yang sempurna. Foto menjadi bentuk yang lain dari

informasi yang disajikan dalam bentuk kajian jurnalistik, selain

sebagai pendamping berita, foto dapat sebagai daya tarik sendiri

untuk dikaji dan didalami sebagai sebuah cabang dari bahasa

visual yang ada dalam foto tersebut. Melalui kajian semiotika

dapat terungkap yang tersirat dan tersurat dalam foto tersebut

 

Page 61: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

50

karea kelebihan fotografi terletak pada kemampuannya untuk

merekam semua hal yang dilihat oleh fotografer lewat lensanya.

Hasil karya fotografi dikerjakan dengan menggunakan

kamera, yang memiliki cara kerja yang sama dengan cara kerja

mata manusia, kamera memiliki lensa, dan mengambil pantulan

cahaya terhadap suatu objek agar menjadi sebuah gambar, sebuah

kamera dapat merekam sebuah gambar ke dalam sebuah film dan

hasilnya dapat diperbanyak, dan diperlihatkan kepada orang lain.

Sedangkan mata, hanya dapat merekam gambar ke dalam otak

dan tidak bisa dilihat secara langsung kepada orang lain.

Fotografi menjadi sebuah perubahan dalam cara pandang

manusia, kemudian fotografi bukan hanya menciptkan citraan

yang begitu akurat, rinci, dan obyektif dalam menangkap realitas

lewat sebuah kamera, namun lebih dari pada itu fotografi bagi

Moholy Nagy adalah dapat menyelesaikan atau melengkapi alat

optik kita, mata. Dan bagi Moholy Nagy, perkembangan

penglihatan manusia di luar yang diberikan oleh mata demikian

terhubung dengan kapasitas sosial dan biologis untuk

berpartisipasi dalam representasi.

Kemanapun fotografi sebagai sarana pencipta imaji visual

yang terpercaya dimanfaatkan dalam berbagai tujuan dan fungsi.

Fotografi selanjutnya berkembang menjadi sarana yang berguna

bagi pengembangan ilmu dan teknologi untuk kemaslahatan

manusia. Perkembangan teknologi yang semakin maju, seraya

 

Page 62: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

51

membuat fotografi menjadi lebih dekat dengan masyarakat.

Komunikasi saat ini bukan hanya terjadi lewat budaya yang

disepakati bersama, yaitu secara verbal maupun non verbal.

Fotografi mampu menempatkan posisinya sebagai media

penyampai pesan lewat medium visual.

Selain penguasaan teknis operasional kamera seara jitu,

dibutuhkan pula sentuhan nilai estetis saat menyusun komposisi

yang baik untuk menghasilkan sebuah karya foto, sehingga dalam

merekam peristiwa sejarah juga menghasilkan kandunga seni di

dalamnya dan membuat foto lebih menarik. Oleh karena itu,

beberapa rangkaian foto di dalam buku Civilization Of Light ini,

Bedu Saini selaku fotografer merekam peristiwa penting dalam

sejarah perkembangan Aceh secara khusus pasca gempa dan

tsunami selama 10 tahun terakhir secara umum dengan

memasukan unsur seni di dalam gambar.

2. Sekilas Sejarah Fotografi

A. Sejarah Fotografi Dunia

Dalam perkembangan fotografi di dunia, beberapa

universitas melakukan penelitian terkait dengan sejarah

dan peradaban teknologi fotografi. Abad ke 17, tepatnya

pada 1725, sebuah eksperimen yang tidak berkaitan,

Johan Heinrich Schulze, seorang profesor ilmu

kedokteran dari Universitas Altdorf di Jerman, membuat

gambar pertama yang juga tidak bisa bertahan lama.

 

Page 63: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

52

Schulze meletakan sebuah botol berisi campuran asam

garam perak pada cahaya matahari. Ketika ia

memeriksanya beberapa menit kemudian, ia menemukan

bahwa sisi cairan yang terkena sinar matahari langsung,

telah berubah menjadi warna lembayung tua, sedangkan

sisi cairan yang tidak terkena sinar tetap berwarna

keputihan.

Ketika ia mengguncang botol, warna

lembayungnya menghilang. Schulze kemudian

melekatkan selembar kertas stensil pada botol dan

meletakannya langsung menghadap matahari. Kemudia ia

mencabut kertas stensil, pada kertas stensil itu terdapat

sketsa dari endapan berwarna gelap di sekitarnya, yaitu

pola keputih-putihan, siluet negatif, dari cahaya yang

tertahan di sekitar kertas. Untuk memastikan apakah sinar

matahari atau kepanasan menyebabkan senyawa kimia

berubah menjadi gelap, Schulze meletakkan botol lain

yang berisi bahan kimia yang sama dalam oven. Senyawa

dalam botol tersebut tidak bereaksi; ternyata cahaya yang

menyebabkan perubahan.

Fotografi mulai populer sejak tahun 1901 setelah

Kodak Brownie diperkenalkan. Memasuki perkembangan

teknologi modern fotografi, peralatan modern dalam

bentuk Kodak dan gulungan film yang digunakan

 

Page 64: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

53

sekarang, baru mulai ditemukan oleh George Eastman

pada tahun 1877, di New York. Ketika itu ia sedang

bekerja sebagai seorang karyawan bank di kota Rochester,

New York. Eastman kemudian mengembangkan

temuannya itu, hingga pada tahun 1889 ia membuka

usaha dalam bidang fotografi yang lebih modern. Ketika

itu ia memperkenalkan film transparan dalam entuk

flexibel film. Bentuk kamera kecil mulai populer di

Amerika pada tahun 1920-an. Demikianlah seterusnya,

dunia fotografi berkembang hingga seperti apa yang kita

lihat sekarang.

B. Sejarah Fotografi Indonesia

Fotografi masuk dan berkembang di bumi

Nusantara sejak masa kolonialisme yang dilakukan oleh

Belanda. Umur fotografi yang cukup tua di Indonesia

tidak dibarengi dengan lahirnya fotografer lokal, selain itu

kamera masih termasuk barang mewah, juga tentu saja

karena Belanda hanya mempercayakan proses pemotretan

pada ilmuan dari negaranya serta fungsi fotografi yang

masih berkaitan dengan kepentingan riset kolonialisasi.

Tahun 1841, Juriaan Munich seorang pegawai

kesehatan Belanda mendapat perintah dari Kementerian

Kolonial untuk berlayar ke Batavia dengan membawa

daguerreotype guna mengabadikan tanaman-tanaman

 

Page 65: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

54

serta mengumpulkan informasi mengenai kondisi

alamnya.

Adalah Kassian Cephas seorang fotografer

berdarah pribumi pertama yang merupakan anak angkat

dari pasangan 7 Belanda dengan foto pertamanya yang

diidentifikasikan tahun 1975. Cephas kemudian dikenal

dalam dunia fotografi sebagai fotografer Keraton

Yogyakarta, tepatnya pada era kekuasaan Sri Sultan

Hamengkubuwono ke-VII.

Kassian Cephas adalah seseorang yang menjadi

pelopor fotografi di tanah nusantara, hal ini sebagai titik

awal perkembangan dan kemajuan fotografi di Indonesia.

Fotografi diawali sebagai dokumen bagi seseorang atau

kelompok, dan selanjutnya foto menjadi santapan

khalayak umum baik sebagai seni maupun sumber

informasi.

Foto-foto Franz Mendur tahun 1945 adalah bukti

bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia telah teradi

pada 17 Agustus tahun itu. Subuh di bulan yang

mencekam karena tentara Nippon bersenjata lengkap

masih rutin berpatroli di jalanan Jakarta, dua bersaudara

Alex dan Franz membawa kamera menuju kediaman

Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Mereka

 

Page 66: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

55

berangkat karena mendengar informasi adanya peristiwa

penting terkait perjuangan.

Peristiwa itu adalah proklamasi kemerdekaan.

Sekitar pukul 10.00 WIB, momen bersejarah itu terekam

dalam lembaran film. Tentara Jepang yang mengetahui

pendokumentasian proklamasi berhasil merampas kamera

Alex Mendur dan menghancurkan isinya. Namun, Franz

beruntung dan sempat menyembunyikan negatif karyanya.

Ia menanam film itu di bawah pohon di halaman kantor

Asia Raya. Saat tentara Jepang menggeledahnya ia

mengaku filmnya telah dirampas oleh Barisan Pelopor.

Ketika keadaan berangsur aman, Alex dan Franz mencuri-

curi kesempatan untuk mencetak foto itu di kamar gelap

Kantor Berita Domei.

Perkembangan fotografi di tanah air semakin

konsisten dan berkelanjutan setelah kantor berita Antara

mendirikan Galeri Foto Jurnalistik Antara tahun 1992,

selain berisi galeri, GFJA juga mendirikan sekolah untuk

para penikmat fotografi dan banyak melahirkan

fotografer berkualitas. Hingga saat ini keberadaan dan

perkembangan fotografi di Indonesia semakin menjamur

ke setiap generasi, ke institusi pendidikan dan fotografi

juga menjadi kebutuhan dalam bersosial media pada saat

ini.

 

Page 67: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

56

3. Unsur-unsur dalam Fotografi

Sebuah foto tidak akan terlihat bagus dan bisa

menyampaikan makna jika tidak didukung dengan

kualitas fotografer. Fotografer harus mampu mendapatkan

momen tertentu atau decisive moment tentang suatu

peristiwa, karena itu yang membedakan foto dengan

video.

Kapabilitas fotografer mempengaruhi karya foto

yang diabadikannya, dengan menciptakan sebuah foto

dengan nilai informatif yang didukung dengan unsur

teknis dalam fotografi seperti unsur pengambilan, teknik

foto, komposisi, dan elemen visual lain sebagai penguat

informasi tersebut. Sebuah foto tidak semata tercipta

dengan sebatas memfoto saja, seorang fotografer harus

mampu menyampaikan pesan melalui foto tersebut.

Unsur-unsur yang harus diperhatikan dibagi menjadi dua

macam yaitu unsur teknis dan estetis.

a. Pencahayaan

Fotografi memiliki arti melukis dengan

cahaya, maka peran utama dalam

menghasilkan karya foto ialah cahaya.

Pencahayaan sebagai hal yang sangat penting,

karena jika tidak ada maka tidak akan jadi.

 

Page 68: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

57

Dalam pemahaman dasar fotografi,

menghasilkan sebuah foto perlu memahami

bagaimana mengendalikan cahaya tersebut,

membuat objek dengan pencahayaan yang

dibutukan. Pemahaman dasar dalam materi

fotografi disebut dengan triangle fotografi.

Triangle fotografi terdiri dari International

Organization for Standardization (ISO),

diafragma, dan shutter speed (kecepatan rana).

Triangle ini sebagai dasar pemahaman

fotografer untuk menciptakan sebuah foto

dengan pencahayaan yang sempurna. Terdapat

tiga istilah pencahayaan dalam dunia fotografi,

yaitu normal exposure (normal), under

exposure (rendah), dan over exposure (tinggi).

Pencahayaan (exposure) adalah proses

pemasukan cahaya untuk mengekspos medium

peka cahaya berupa film maupun sensor digital

pada luminitas tertentu hingga tercipta sebuah

gambar. Ada tiga unsur dalam pengaturan

tingkat pencahayaan, antara lain:

1. Shutter Speed atau tombol rana (s),

yaitu jendela pada kamera yang

mengatur masuknya cahaya dengan

 

Page 69: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

58

cara buka-tutup dalam satuan waktu

tertentu sehingga dapat mengatur

cepat-lambatnya cahaya masuk ke

dalam kamera. Satuan angka indikator

dimulai dari: blub; 1/4; 1/5; 1/8; 1/10;

1/13; 1/15; 1/20; 1/25; 1/30; 1/40; 1/50;

1/60; 1/80; 1/100; 1/125; 1/160; 1/200;

1/250; 1/320; 1/400; 1/500; 1/640;

1/800; 1/1000; 1/1250; 1/1600; 1/2000;

1/2500; 1/3200; 1/4000.

2. Diafragma (f/), mengatur lebar

sempitnya bukaan lubang cahaya pada

lensa yang bekerja untuk menyesuaikan

sedikit-banyaknya lubang cahaya yang

masuk ke dalam kamera. Satuan angka

indikatornya dimulai dari: 1,2; 1,4; 1,8;

2; 2,8; 3,5; 4; 4,5; 5,0; 5,6; 6,3; 7,1; 8;

9; 10; 11; 13; 14; 16; 18; 20; 22; 25;

29; 32.

3. Tingkat kepekaan film atau sendor

digital dalam menangkap cahaya yang

dinyatakan dalam satuan International

Standard Organization (ISO). Angka

 

Page 70: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

59

indikatornya dimulai dari: 50; 100;

200; 400; 800; 1600; 3200; 6400.

Untuk mengatur ketepatan

pencahayaan pada suatu tingkat

luminitas tertentu digunakan light

meter, baik yang terdapat kamera

maupun light meter genggam (hand

healt). Light meter berguna sebagai

petunjuk untuk mendapatkan

pencahayaan dengan kombinasi dari

bukaan diafragma (f/), speed (s), dan

ISO dalam satuan tepat

(normal/correct), kurang (under), dan

lebih (over) dalam suatu kondisi

cahaya tertentu.

Light meter berupa senyawa kimia

yang peka terhadap cahaya. Saat

cahaya menerpa light meter, light meter

lalu memberitahukan berapa kecepatan

dan berapa diafragma yang harus

digunakan.

Bila dilihat dari sumbernya, cahaya

memiliki dua jenis pencahayaan, yaitu

cahaya natural (available light), yaitu:

 

Page 71: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

60

matahari; dan cahaya buatan (artificial

light), yaitu cahaya yang bersumber

baik dari berbagai jenis lampu, cahaya

lilin, maupun flash/blitz. Untuk

mendapatkan cahaya normal, fotografer

harus mengerti bagaimana cara

mengatur bukaan diafragma, speed, dan

ruang tajam.

Kecepatan rana merupakan ukuran

kecepatan membuka dan menutup

jendela rana. Semakin cepat jendela

rana tersebut menutup dan membuka

(kecepatan tinggi, angka besar),

semakin sedikit cahaya yang masuk.

Sebaliknya, semakin lama jendela rana

tersebut menutup dan membuka

(kecepatan rendah, angka kecil),

semakin banyak cahaya yang masuk.

Sedangkan diafragma adalah

sebuah lempengan baja yang terdapat

dalam kamera yang dapat diatur besar

kecilnya. Pengaturan diafragma dapat

diakukan dengan cara mengubah angka

skala yang terdapat pada gelang yang

 

Page 72: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

61

melingkar di lensa atau pada badan

kamera itu sendiri.

Teori diafragma yaitu, “makin

besar diafragma (ditunjukkan dengan

angka kecil), makin banyak cahaya

yang bisa lolos ke kamera melalui

lensa”. Sebaliknya, “makin kecil

diafragma (ditunjukkan dengan angka

besar) maka makin sedikit cahaya yang

bisa lolos ke dalam kamera melalui

lensa”.

b. Teknik Pemotretan

Setelah memahami tiga unsur pencahayaan di

atas atau biasa disebut triangle photography,

selanjutnya fotografer harus memahami

teknik-teknik dasar pemotretan dalam dunia

fotografi, antara lain:

1) Moving

Moving atau yang berarti gerak

adalah teknik foto dengan menghasilkan

karya foto berunsur gerak. Maksudnya

adalah, objek atau subjek yang ada di foto

memiliki perpaduan sebuah hasil karya

 

Page 73: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

62

yang gerak atau tidak statis. Melakukan

teknik ini dengan menggunakan speed

menengah hingga rendah untuk

mendapatkan sebuah foto dengan

pergerakan si objek atau subjek.

2) Freeze

Freeze adalah teknik memotret

pada objek atau subjek bergerak.

Menginginkan objek atau subjek tersebut

berhenti (diam/freeze) setelah dipotret.

Layaknya suatu momen sebagai klimaks

dari suatu peristiwa.

3) Panning

Adalah teknik memotret dengan

menggerakan kamera sesuai gerakan objek

atau subjek foto. Tujuannya adalah supaya

gerakan tersebut terekam kamera hanya

lintasannya saja pada latar belakang objek

atau subjek foto secara blur bergaris.

4) Siluet

Adalah teknik memotret dengan

menempatkan kamera menghadap

 

Page 74: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

63

langsung sumber cahaya, sementara objek

atau subjek foto berada di tengah-tengah

sumber cahaya dengan kamera. Hasil

fotonya, objek atau subjek foto akan gelap,

sementara latar belakang (sumber cahaya)

terang. Sehingga terjadi teknik yang

bernama siluet (objek atau subjek lebih

gelap dari latar belakang).

Dengan memanfaatkan teknik

tersebut, foto akan terlihat lebih menarik

dan dinamis serta tidak monoton.

Menghasilkan sebuah foto sesuai dengan

situasi dan kondisi menggunakan teknik

yang dibutuhkan, agar objek tampak

seperti kondisi aslinya.

c. Sudut Pandang (Angle)

Terdapat lima sudut pandang (angle)

dalam pengambilan gambar. Pertama adalah

Frog Eye, kamera jauh lebih rendah daripada

objek atau subjek, Frog Eye yang berarti mata

kodok, memiliki posisi yang hampir sama

dengan mata kodok itu sendiri yang selalu

melihat objek ke atas. Melalui angle ini, objek

atau subjek yang ditampilkan menjadi terlihat

 

Page 75: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

64

lebih tinggi dan besar dengan arti tertentu yang

mengikutinya. Posisi kamera hampir tegak

lurus ke atas, dengan sudut pandang di atas 45

derajat di bawah menghadap ke atas.

Kedua adalah Low Angle, menepatkan

kamera lebih rendah dari objek atau subjek.

Atau berada berada lebih tinggi dari kamera

sehingga objek atau subjek terkesan tinggi dan

membesar. Sudut pandang kamera sekitar 45

derajat di bawah menghadap ke atas.

Sudut pandang selanjutnya adalah Eye

Level, merupakan sudut pandang yang

menempatkan kamera sejajar dengan objek

atau subjek. Untuk menghasilkan sebuah foto

pada objek atau subjek hampir mendekati

dengan pola pandangan mata manusia saat

melihatnya.

High Angle adalah sudut pandang yang

menempatkan objek atau subjek lebih rendah

dari pada kamera atau kamera lebih tinggi dari

pada objek atau subjek. Sehingga yang terlihat

pada kaca pembidik objek atau subjek yang

terkesan mengecil. Sudut pengambilan gambar

tepat di atas objek atau subjek, pengambilan

 

Page 76: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

65

seperti ini memiliki arti yang dramatis yaitu

kecil atau kerdil. Sudut pandang kamera

sekitar 45 derajat di atas menghadap ke bawah

namun tidak terlalu angle yang tinggi.

Terakhir, adalah sudut pandang Bird Eye,

yaitu pengambilan gambar yang dilakukan dari

atas ketinggian tertentu, sehingga

memperlihatkan lingkungan yang sedemikian

luas dengan benda-benda lain yang tampak di

bawah sedemekian kecil. pengambilan gambar

biasanya menggunakan helikopter maupun dari

gedung-gedung tinggi. Posisi kamera hampir

tegak lurus ke bawah, dengan sudut pandang di

atas 45 derajat di atas menghadap ke bawah.

d. Komposisi

Komposisi merupakan pengaturan tatanan

dari elemen-elemen dalam sebuah foto.

Menciptakan keselarasan antara objek atau

subjek sebagai Point of Interest dengan

elemen-elemen lain yang mendukung dan

menguatkan objek tersebut. Mengatur

komposisi dalam menciptakan sebuah foto bisa

dilakukan dengan beberapa teknik,

diantaranya:

 

Page 77: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

66

1) Rule of Third (1/3)

Rule of Third atau berarti 1/3

adalah perpaduan komposisi peletakan

objek dengan ruang yang ada di sekitar

objek tersebut. Menyelaraskan objek atau

subjek utama dengan lokasi dirinya berada.

Objek atau subjek utama biasanya hanya

memiliki ruang 1/3 dan total 3/3 ruang

yang ada.

2) Diagonal

Komposisi diagonal merupakan

komposisi dalam fotografi yang objek atau

subjeknya terletak dari sudut gambar

sehingga terlihat membentuk silang pada

gambar. Komposisi ini banyak digunakan

di dalam suatu gambar fotografi arsitektur.

3) Kurva

Kurva adalah komposisi yang objek

atau subjeknya berupa suatu gambar

berbentuk huruf letter “S” sehingga

membuat suatu gambar menjadi lebih

menarik.

 

Page 78: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

67

4) Warna

Dalam makalah visual literasi yang

dikeluarkan oleh Pannafoto Institute

dengan mentor Edy Purnomo selaku

freelancer fotografer menjelaskan

menjelaskan bahwa warna masuk dalam

kajian tersebut. Warna merupakan simbol

maa suatu warna memiliki interpetasinya

sendiri yang juga mendukung dan

menguatkan simbol lain.

Daftar warna ini berada dalam

kebudayaan barat, dalam kebudayaan

berbeda, asosiasi warna pun berbeda.

Seperti di negara-negara asia jika warna

putih menyimbolkan kesucian, sementara

Meksiko menggunakan warna biru. Namun

pemaknaan warna-warna tersebut memiliki

dominasi di banyak negara.

Warna juga berfungsi sebagai

penanda dan budaya tergantung konteks

yang meyertai. Berikut daftar warna

sebagai penanda: hitam mengkilap

menunjukkan pakaian resmi, dan tingkatan

kelas, sementara hitam kusam

 

Page 79: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

68

menunjukkan kesedihan atau kematian.

Biru: kesopanan, maskulin, dan kedamaian

batin. Hijau: lingkungan hidup, kesehatan,

dan kesuburan. Coklat: umi kenyamanan.

Kuning: kebahagiaan, sukses, intelek.

Jingga: sedih, penguasaan spiritual. Merah:

passion, vitalitas, kreatifitas, dan hangat.

Mengatur komposisi gambar, selain

bermanfaat sebagai pemanis tampilan foto,

juga berguna untuk memperkaya pesan

yang ingin disampaikan fotografer dalam

karyanya. Komposisi layaknya

penyempurnaan estetika sebuah foto, selain

foto menyampaikan pesan dan nilai

informasi, estetika sebagai pemanis dan

penguat elemen visual dari sebuah foto.

C. Fotografi Bencana

Fotografi bencana adalah bidang foto jurnalstik yang

penuh dengan tantangan. Foto jurnalis sering menghadapi

hambatan fisik dan emosional tetapi harus tetap tenang dalam

menagkap gambar. Tidak ada yang tahu kapan bencana akan

terjadi, tidak ada yang siap untuk itu, bahkan seorang

fotografer. Memotret foto bencana mungkin tidak cocok

untuk semua orang, tetapi foto-foto ini memiliki banyak

 

Page 80: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

69

tujuan. Bagi sebagaian orang, mereka adalah pengingat akan

pengalaman yang tidak ingin mereka lalui lagi. Bagi yang

lain, foto bencana dapat digunakan untuk mendapatkan

dukungan dan bantuan bagi para korban dan penyintas.

Hal pertama yang perlu diingat ketika mengambil foto

bencana adalah kepekaan. Fotografer harus peka tentang

bagaimana foto dapat mempengaruhi seseorang, hindari

mengambil foto yang terlalu menggangu korban atau

merusak grafis. Penting juga untuk mengambil foto dengan

jujur karena cara terbaik untuk menyampaikan emosi dan

pesan yang ingin disampaikan. Ketika memotret bencana

gempa dan tsunami, selama gempa akan sulit bagi fotografer

mengambil foto saat bencana terjadi. Pilihan terbaik adalam

mengambil foto setelah bencana termasuk dampak bencana

bagi orang-orang. Hal terpenting yang harus diingat ketika

mengambil foto bencana adalah keamanan. Fotografer bisa

mendapatkan hasil yang sangat baik, tetapi jika itu berarti

mempertaruhkan hidup, itu tidak akan berarti apa-apa.

Peralatan yang dibutuhkan dalam merekam sebuah foto

bencana adalah kamera tetapi karena inilah fotografer perlu

membawa peralatan ekstra, khususnya yang akan menjaga

kamera dari air, debu bahkan api. Anda harus memiliki

sesuatu seperti pelindung tahan air dan tahan guncangan

untuk kamera. Kamera yang tahan air dan tahan guncangan

 

Page 81: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

70

sehingga fotografer tidak perlu membawa benda besar seperti

peralatan pelindung. Ada DSLR yang tahan debu dan

lembab, jadi kamera akan aman bahkan ketika fotografer

perlu mengambil foto di tengah tanah longsor atau letusan

gunung berapi. jika fotografer memotret kebakaran hutan,

jangan menggunakan plastik apapun untuk melindungi

kamera karena panas akan melelehkan plastik tersebut. Cara

terbaik untuk melindungi kamera adalah dengan

membungkusnya dengan kain yang dilapisi alumunium foil

Jika fotografer mengambil foto letusan gunung berapi,

tanah longsor, angin topan atau kebakaran hutan, berhati-

hatilah setiap saat. Ambil foto dari jarak yang aman tetapi

pastikan bahwa sudut pandang fotografer berada di sudut

yang tepat. Lakukan hal yang sama saat mengambil foto

tanah longsor, banjir, atau longsoran salju. Jika anda ingin

mengambil foto orang-orang, terutama para korban dan

orang yang selamat, hasil bidikan menggunakan angle close

up karena paling baik menangkap emosi namun, pastikan

bahwa foto tidak terlalu dramatis karena fotografi bencana

seharusnya menangkap kenyataan bukan sesuatu yang tidak

di rekayasa. Penting untuk menjadi sensitif karena para

korban berurusan dihadapkan dengan kehilangan,

kehancuran, dan kesedihan.

 

Page 82: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

71

Sebagai fotografer bencana, ada banyak hal yang bisa

terjadi seperti fasilitas yang tidak memadai pasca bencana.

Kelelahan fisik dan mental, gangguan psikologis hingga

ancaman keselamatan jiwa. Hal tersebut diperkuat oleh

pernyataa Beawiharta selaku fotografer Reuters saat mengisi

dialog fotografi kebencanaan dalam Journalis Literacy di

Kampus STIK-P Medan pada 9 Juli 2019.

Adalah hal memilukan ketika berdiri dihadapkan ratusan

jenazah dan orang-rang yang mencari anggota

keluarganya yang hilang dengan pandangan kosong.

Beban isi yang tak dapat saya tanggung, sehingga saya

sempat dibawa ke psikiater. Berhadapan dengan resiko

gangguan psikologi adalah konsekuensi yang penting

untuk dapat diatasi bagi fotografer kebencanaan,

sehingga memulihkan psikologi adalah hal yang wajib

dilakukan pasca penugasan.

Moralitas sebagai dasar kemanusiaan sangat

tergerak ketika momentum itu menjadi tanggung jawab

seorang pewarta foto untuk dapat menyampaikan

informasi kepada khalayak ramai. Metode utama yang

dilakukan saat di lokasi bencana adalah observasi,

eksekusi dan perangkuman materi. Dalam observasi, akan

menentukan bekal yang penting untuk dipersiapkan, baik

itu makanan, peralatan, terutama mental.

 

Page 83: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

72

BAB III

GAMBARAN UMUM BUKU FOTO CIVILIZATION OF

LIGHT KARYABEDU SAINI dan ANUGERAH PEWARTA

FOTO INDONEIA (APFI)

A. Gambaran Umum Tentang Buku Civiliazation Of Light

Gempa dan tsunami secara jurnalisme adalah peristiwa

visual. Dalam panji visual, fotografi jurnalistik menjadi

kesaksian terdepan yang diusung segenap pewarta foto

kepada khalayak global seluas-luasnya. Sebentuk kesaksian

yang juga menjadi suara kemanusiaan dari lubuk sanubari

terdalam para pencipta imaji. Fotografi jurnalistik merupakan

medium utama yang paling dibutuhkan untuk mendapatkan

seeing is believing perihal peliputan bencana dalam berbagai

skalanya. Jika menilik spektrum jurnalisme dalam siklus

mata rantai sastra-cita, foto dan narasi maka momentum dari

peristiwa sedasyat tsunami Aceh 15 tahun silam, adalah porsi

yang menundukkan fotografi jurnalistik sebagai gerbang

menuju analisis-analisis kritis selanjutnya.

Hanya beberapa saat setelah gempa akbar episentrumnya

terletak di dekat pulau Simelue itu, beritanya telah

menggema ke segenap penjuru dunia. Namun sebelum

masyarakat dunia melihat atmosfir peristiwa yang tertangkap

secara visual, maka artikel ataupun esei seputar bencana yang

 

Page 84: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

73

mengakibatkan tsunami maha dasyat itu tetap menyisakan

seberkas tanda tanya. Kehadiran fotografi jurnalistik menjadi

kesaksian yang sesungguhnya pada setiap peristiwa luar

biasa termasuk bencana alam dan juga tragedi yang

diakibatkan oleh manusia. Berita dan rupa-rupa artikel

menyajikan persepsi, namun fotografi jurnalistik dengan

gamblang mengungkapkan atmosfir peristiwa yang secara

hakiki menjadi pondasi jurnalisme.

Saat tahap jurnalisme bencana memasuki periode

penyintasan (survival) maka fotografi jurnalistik mengemban

tugas untuk terus menyalakan realita pada lensa mereka

sebagai harapan. Ketika masa darurat telah berlalu secara

waktu, maka tahapan rekonstuksi, rehabilitasi dan revitalisasi

menjadi elemen-elemen fotografi jurnalistik selanjutnya.

Jurnalisme, citra dan narasi, secara utuh harus mendorong

bagaimana suasana para penyintas menjadi inspirasi bagi

kehidupan. kehidupan yang dibaca sebagai peradaban. Pada

setiap lapis spektrumnya, fotografi senantiasa merupakan alat

utama untuk terus mengabarkan secara visual bagaimana

spirit kebersamaan mampu membangkitkan kota dan jiwa

dari keterpurukan tsunami.

Fotografi jurnalistik adalah bagian dari pencatatan visual

atas perjalanan perihal kehidupan dalam peradaban dunia.

Suatu siklus di mana bencana, derita dan kematian

 

Page 85: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

74

merupakan bagian daripadanya. Karena sumber pencatatan

sejarah tsunami dan proses kebangkitannya sejak 15 tahun

silam telah ditorehkan melalui lensa Bedu Saini yang

membela pemberitaaan di atas segala-galanya. Maka kiranya

kita semakin mafhum, bahwa fotografi jurnalistik bukanlah

profesi yang rampung setelah shutter ditekan. Namun

bagaimana muatan para pencipta imaji itu disajikan dengan

penu dedikasi dan rasa tanggung jawa pada profesinya.

Atasnya, tak berlebihan jika memberi apresiasi kepada para

pembela visual kita, seperti Bedu dan para pionir fotografi

jurnalistik Indonesia, yang telah mengantarkan barometer

kehidupan pada peradaban cahaya.

Buku fotografi Civilization of Light, disertai cakram video

mini dokumentasi karya Eddy Hasby dan kawan-kawan

secara sukarela, bukanlah diterbitkan untuk merayakan

sebentuk momentum dalam pengertian verbal perihal

bencana dan tsunami sebagai artefak fana. Buku ini adalah

persembahan Galeri Foto Jurnalistik Antara yang dikuratori

Oscar Motuloh, bekerjasama dengan Solidaritas Fotografer

dan Para Profesional serta mitra institusi sejarah atas bencana

alam yang pernah terjadi di bumi sepanjang abad ini.

Hakekat dari kompilasi karya fotografi jurnalistik ini

sejatinya juga diarahkan pada kesungguhan para pejuang

negeri melawan lupa. Sekaligus untuk memetakan bencana

itu sendiri sebagai jalan keluar. Kita hidup di atas kepulauan

 

Page 86: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

75

bernama cincin api di mana tragedi itu pasti akan terulang.

Tanpa pernah kita tahu kapan fotografer asal Indonesia, Bedu

Saini menjadi saksi mata terhadap sejarah saat peristiwa

dasyat tersebut sedang terjadi.

“Awal pertemuan dengan Oscar Motuloh saat ia

berkunjung ke Banda Aceh termasuk Eddy Hasby Kompas,

ternyata di luar dugaan saya mereka sangat mendukung

pembuatan buku Civilization of Light. Saat itu Oscar

Mutuloh menyarankan ke saya memotret ulang tempat

kejadian yang pernah saya motret saat tsunami dan kendala

saat itu hampir tidak ada, paling saat mencari tempat

memotret ulang di mana lokasinya sudah berbeda. Dalam

buku tersebut berceita tentang foto-foto tsunami di Aceh dan

semoga suata saat nanti bisa dijadikan sebagai saksi sejarah,

bahwa di aceh pernah terjadi tsunami pada 2004 silam,” Ujar

Bedu Saini.

Sebuah rumah kecil di Lambaro Skep, Kecamatan Kuta

Alam, Banda Aceh, Minggu pagi 26 Desember 2004. Bedu

saini tengah bersantai di dalam rumah sambil menonton

televisi bersama ibunya, Rawani (65), dua anaknya, Nisrina

alifa (6), dan Qatrun Nada (4). Sedangkan istrinya, Khalidah

(35), menggendong si bungsu, bayi laki-laki usia empat

bulan yang belum diberi nama. Semangatnya untuk memotret

itu pula yang membuatnya meninggalkan keluarga beberapa

 

Page 87: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

76

saat setelah goncangan itu. Hampir pukul 08.00 pagi, tak

lama kemudian Bedu Saini memutuskan untuk pergi sambil

bergegas masuk ke rumah untuk mengambil kameranya,

Nikon D1000.

Gempa adalah keseharian warga Banda Aceh, namun

Bedu merasakan gempa pagi itu lebih besar dari biasanya.

Lelaki berprawakan kecil itu, meloncat keluar rumah sambil

menenteng kamera. Ibunya memintanya tetap di rumah,

Bedu bersikeras pergi. Sebuah dorongan yang bertahun-

tahun mengalir dalam nadinya mengalahkan semuanya:

dorongan untuk meliput, melihat dari dekat apa yang tengah

terjadi, dan mengabadikannya dalam kamera. Sepeda motor

dikebutnya ke arah pusat kota Banda Aceh di Simpang Lima.

Dan di sana, Bedu dibuat tersentak oleh ribuan orang yang

berlarian dikejar lidah air hitam bergulung-gulung. Suasana

panik dan mencekam.

Sepeda motor ditepikan. Bedu Saini segera beraksi

dengan kameranya. Dari arah Pasae Peuyanong, Bedu

memotret orang-orang berlarian, mobil-mobil terapung

dihanyut air hitam pekat, seorang lelaki yang membopong

anak kecil tak berbaju, dua pemuda yang mencoba menarik

lelaki tua yang terjebak dalam air, dan beberapa foto lain.

Dia terus memotret, tanpa jeda. Air yang terus medekat tak

menciutkan nyalinya. Bedu naik ke tempat yang lebih tinggi

 

Page 88: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

77

untuk menghindari air. Nalurinya sebagai fotografer

melupakan segala resiko dan bahaya, termasuk sejenak

melupakan nasib keluarga yang ditinggalkan di rumah.

Hingga itu sudah lewat tengah hari. Bergegas dipacunya

sepeda motor pulang ke rumah. Jarak sekitar lima kilometer

terasa jauh. Jalanan dipenuhi orang dan air juga mulai

menggenang. Sepeda motor diparkirnya di pertokoan di

depan RS Zainoel Abidin. Lalu tas berisi kamera ditaruhnya

di lantai dua di dalam toko itu. Kemudian berjalan ke arah

Lembaro Skep. Sekitar 500 meter dari rumahnya dia terhenti.

Air membuncah di mana-mana. Bedu mencoba meerobos

genangan air itu. Namun, dia terperosok ke dalam lubang di

selokan dan tenggelam. Seseorang menariknya. Bedu tak

jera. Dia kembali berjuang menuju rumahnya.

“aku kehilangan dua anak, ibu, dan seluruh harta benda

akibat tsunami. Aku memang mendapat kepuasan batin

sebagai wartawan foto, namun sekaligus perasaan gagal

sebagai ayah dan anak,” kata Bedu Saini, 42 tahun, redaktur

foto Harian Serambi Indonesia.”

Dua puluh hari setelah tsunami yang merenggut dua

anaknya, sekaligus keceriannya. Siang itu Bedu kembali

berbahagia, kameranya kembali ditemukan leh tetangganya,

Chairul Amri. Dia seperti menemukan kembali separuh

jiwanya yang yang hilang. Bukan hanya kamera kamera itu

 

Page 89: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

78

yang membuat Bedu Saini serasa menemukan kembali

jiwanya setelah kehilangan dua anaknya, tetapi 28 frame foto

yang sempat dibuatnya pada tragedi 26 Desember itu yang

berhasil diselamatkan bersama kembalinya kamera itu. Foto-

foto Bedu yang langka dan eksklusif itu segera diburu kantor

berita kantor berita asing, juga dipakai banyak media massa

di Indonesia.

Aceh sepuluh tahun setelah tsunami adalah kehidupan

yang baru. Datangnya perdamaian seiring dengan bencana itu

turut menjadi katalisator perubahan. Dari segi pembangunan

fisik, Aceh kini jauh berubah, bahkan lebih maju

dibandingkan sebelum tsunami yang melanda pada 2004.

Jalan mulus menyerupai tol membentang dari Banda Aceh

hingga Calang, Aceh Jaya, sepanjang 145 kilometer.

Sekalipun tak sebaik kualitas jalan Banda Aceh-Calang, jalan

Calan ke Kota Meulaboh sepanjang 120 kilometer relatif

mulus.

Rangkaian foto di dalam buku Civilization of Light

dikemas melalui pendekatan foto dokumenter dan cenderung

beraliran jurnalistik. Kumpulan foto di dalam buku ini

berjumlah 111 foto termasuk sampul buku. Buku ini

diterbitkan pada tanggal 25 Desember 2015 di Museum

Tsunami Aceh dan bertepatan dengan 11 tahun tsunami.

Acara yang dibuat oleh Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh

 

Page 90: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

79

ini turut dihadiri Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin

dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Serta mantan

Gubernur Aceh Irwwandi Yusuf, anggota DPD RI Rafly

Kande, Kabid Humas Polda Aceh, Kapendam IM.

Buku foto Civilization of Light merupakan salah satu dari

sedikitnya buku literasi kebudayaan Aceh dalam bentuk

komunikasi visual di Indonesia, terlihat dari hampir semua

halaman berisi rangkaian foto . buku foto yang merekam

aktivitas dari tiga daerah di Aceh yakni, Banda Aceh, Aceh

Besar, dan Aceh Tengah, secara tidak langsung akan

menambah kekayaan pemikiran fotografi Indonesia. Proses

pengambilan foto-foto pada buku Civilization of Light

dimulai pada 26 Desember 2004 hingga 20 Desember 2014.

Secara teknis, buku ini begitu menarik dengan desain dan

tampilan yang sederhana. Pengantar kuratorial dari Osacar

Motuloh sebagai Kurator, berfungsi untuk mengetahui

tentang buku ini secara umum. Kemudian berikutnya masuk

ke bagian utama, foto-foto terjadi tanpa teks, hanya tanggal

dan lokasi pengambilan foto. Serta bagian akhir Postscript

yang terdapat CD mini-doku, keterangan cetak, ISBN buku.

Terdapat tulisan dari Ahmad Arif selaku wartawan Harian

Kompas dan tulisan suara dari sahabat.

Buku foto ini juga dikemas dalam ukuran A5, 15 cm X 21

cm, sehingga memudahkan pemirsa untuk membaca foto-

 

Page 91: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

80

foto yang menggunakan pendekatan dokumenter. Buku ini

merupakan buku perdana Bedu Saini yang banyak juga

dipublikasikan dibeberapa acara fotografi yang saat ini sudah

menjadi daya tarik masyarakat fotografi di Indonesia, yang

umumnya masih baru dapat perhelatan fotografi dunia.

Indonesia banyak memiliki fotografer yang membukukan

karyanya dalam bentuk foto dokumenter, salah satunya buku

ini.

“Selama pengerjaan buku foto Civilization of Light tidak

ada kendala yang berarti, sebab semua dikerjakan bersama

dengan kawan-kawan fotografer di Jakarta yang

dikoodinasikan secara langsung oleh Oscar Motuloh dan

Eddy Hasbi,” Ungkap Bedu Saini melalui wawancaranya.

Secara umum, titik puncak seorang fotografer adalah

memiliki karya, dalam bentuk pameran ataupun buku sebagai

masterpiece yang mereka raih. Begitu pun dengan Bedu

Saini, sebagai seorang yang bergelut di dunia fotografi, buku

Civilization of Light ini merupakan buku perdana fotografer

yang bekerja untuk Harian Serambi Indonesia.

B. Profil Bedu Saini

Lelaki yang lahir di Sinabang, 10 Maret 1963, ini mulai

bekerja di Serambi Indonesia tahun 1990. Dia memulai

karirnya sebagai tukang sapu, yang dijalaninya selama tiga

 

Page 92: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

81

tahun. Kemudian pindah ke bagian laboraturium foto, yang

waktu itu masih menggunakan film. Enam tahun berkutat

dengan proses cuci cetak foto, Bedu kemudian dipindah ke

bagian teknologi informasi (TI). Selama setahun dia bergulat

dengan masalah TI. Kemudian dia dipindah lagi ke bagian

penelitian dan pengembangan juga selama satu tahun,

sebelum akhirnnya, pada tahun 2002 resmi menjadi fotografer

Serambi Indonesia.

Bedu belajar secara otodidak semua keahliannya itu,

mulai dari memegang sapu hingga kemudian kamera digital.

Hidup lelaki yang tak menamatkan kuliahnya di salah satu

perguruan tinggi swasta di Banda Aceh ini memang penuh

perjuangan. Dia harus beruang keras untuk menghidupi

keluarga. Tetapi, lebih dari itu, dia sangat mencintai profesi

terakhirnya: wartawan foto.

C. Anugerah Pewarta Foto Indonesia

Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) telah

menyelenggarakan penganugerahan karya foto jurnalistik sejak

2010. APFI merupakanajang kompetisi sekaligus penghargaan

dari Pewarta Foto Indonesia untuk pewarta foto. APFI sebagai

ajang prestisius di dunia foto jurnalistik nasional, karena menjadi

wadah berkumpulnya karya-karya terbaik pewarta foto dari

seluruh Indonesia. Ribuan karya foto berlomba-lomba untuk

 

Page 93: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

82

memenangkan dalam setiap kategori dan terpilih menjadi karya

terbaik tahunan (Photo of TheYear).

Selain itu, APFI juga memberikan penghargaan khusus

kepada tokoh yang memberikan andil besar dalam sejarah

perkembangan fotojurnalistik di Indonesia. Apresiasi foto

jurnalistik juga diberikan kepada masyarakat umum melalui

kategori foto warga. Penyelenggaraan APFI 2017

diselenggarakan di cagar budaya kawasan Kota Tua, Jakarta.

Tahun ini, penghargaan foto stori diberikan pada setiap kategori

dan menambahkan kategori multimedia.

Terdapat 11 kategori penghargaan yang diberikan pada

malam penghargaan APFI 2017. Pemenang APFI 2017 diberikan

kepada Jessica Helena Wusyang pewarta foto yang bekerja di

Antara Foto yang dinobatkan sebagai Photo of The Year. Selain

itu terdapat 10 penghargaan, antara lain:

1. Arts and Entertainment

Pemenang 1 : Maman Sukirman (Koran Sindo)

Pemenang 2 : Dedi Sinuhaji (European Pressphoto Agency)

Pemenang 3 : Wienda Parwitasari (thejakartapost.com)

Pemenang Foto Story : Agung Parameswara (Getty Image)

2. Daily Life

 

Page 94: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

83

Pemenang 1 : Dhoni Setiawan (The Jakarta Post)

Pemenang 2 : Adhi Wicaksono (CNN Indonesia)

Pemenang 3 : Sahrul Manda Tikupandang (Antara Foto)

Pemenang Foto Story : Adhy Wicaksono (Antara Foto)

3. Nature Environment

Pemenang 1 : Edwin Agustyan (Kaltim Post)

Pemenang 2 : Iggoy El Fitra (Antara Foto)

Pemenang 3 : Agatha Capri (Xinhua)

Pemenang Foto Story : Nova Wahyudi (Antara Foto)

4. General News

Pemenang 1 : Bambang Ekoros Purnama (Bintang.com)

Pemenang 2 : Irsan Mulyadi (Antara Foto)

Pemenang 3 : Grandyos Zafna (detik.com)

Pemenang Foto Story : Resa Esnir (hukumonline.com)

5. People in The News

Pemenang 1 : Isra Triansyah (sindonews.com)

 

Page 95: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

84

Pemenang 2 : Wisnu Widiantoro (Kompas)

Pememang 3 : Wihdan Hidayat (Republika)

Pemenang Foto Story : Ramdani (Media Indonesia)

6. Spot News

Pemenang 1 : Jessica elena Wusyang (Antara Foto)

Pemenang 2 : Veri Sanovri (Xinhua)

Pemenang 3 : Arie Basuki (merdeka.com)

Pemenang Foto Story : Aditia Noviansyah (Tempo)

7. Sport

Pemenang 1 : Kris Samiaji (Sumatera Ekspress)

Pemenang 2 : Rommy Pujianto (Media Indonesia)

Pemenang 3 : Wahyudin (Jawapos)

Pemenang Foto Story : Edi Ismail (Barcoft Media)

8. Citizen Journalist

Pemenang 1 : Muhammad Rifqi Riyanto

Pemenang 2 : Achmad Basarudin

 

Page 96: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

85

Pemenang 3 : Mukhamad Faeis

9. Multimedia

Pemenang 1 : Clara Prima

Pemenang 2 : Kurniawan Mas‟ud

Pemenang 3 : Ramdani Roderick Adrian Mozen

Organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI) menobatkan

Bedu Saini yang sekarang menjadi Redaktur Foto Harian

Bedu Saini sebagai “Fotografer Sebagai Masa” (Life Time

Achievement). Penghargaan tersebut diserahkan oleh Menteri

Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Anak Agung Gusti

Ngurah Puspayoga pada malam anugerah PFI di Gedung Pos

Indonesia, Kota Tua, Jakarta, pada Jumat (21/4/2017).

Penghargaan ini diberikan karena Bedu Saini sudah berkarya

dalam dunia jurnalistik selama 25 tahun dan menjadi orang

pertama yang mendapat penghargaan ini selama organisasi

PFI hadir di Indonesia.

Organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI) lahir di saat

euphoria reformasi 1998 menggelora di Indonesia. Sebuah

periode dramatis yang dimulai sejak 1997 akhirnya

menemukan momentum sejarah di bulan Mei 1998, saat

kekuasaan Orde Baru berakhir. Momen itu membawa

pengaruh besar terhadap kebebasan pers. Dideklarasikan

 

Page 97: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

86

pada 22 Maret 1992 dengan nama Focus, dan atas prakarsa

pewarta foto media cetak di Jakarta pada 19 Desember 1998,

didirikan menjadi Pewarta Foto Indonesia.

PFI sebagai organisasi nirlaba, berdiri dengan tujuan

memajukan dan melindungi kepentingan pewarta foto

sebagai profesi yang terhormat. PFI dibentuk untuk

menyusun dan menegakkan standar etika dan profesi pewarta

foto, melakukan advokasi bagi anggotanya dan pewarta foto

pada umumnya, menjalin jaringan kerjasama internasional,

serta meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap profesi

dan karya pewarta foto melalui kegiatan pameran,

pendidikan, penerbitan, dan penghargaan.

Seperti halnya jurnalis, pewarta foto menghasilkan karya

jurnalistik dalam bentuk foto. Foto jurnalistik merupakan

produk atau karya visual dari jurnalisme yang memiliki nilai

berita atau pesan yang penting diketahui khalayak dan

disebarluaskan melalui media massa (Laba, Laba,

Rusmiwari, & Diahloka, 2013). Foto jurnalistik memiliki

sifat serupa seperti berita tulis yakni memuat unsur apa

(what), siapa (who), dimana (where), kapan (when), dan

mengapa (why), dengan kekuatan pada penyampaian tentang

bagaimana (how) yaitu: pembaca tidak perlu berandai-andai

tentang bagaimana kejadian berlangsung karena hal tersebut

jelas dalam foto, secara langsung foto jurnalistik

 

Page 98: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

87

menciptakan persepsi kejadian, serta foto jurnalistik mampu

menimbulkan respon emosional lebih cepat daripada tulisan

(Novia, 2012).

Pewarta foto merekam berbagai obyek atau peristiwa

untuk disampaikan kembali kepada khalayak ramai. Oleh

karena itu, seorang pewarta foto perlu memiliki kompetensi

tertentu dalam mengungkapkan obyek foto sebagai fakta

yang kemudian diolah sebagai produk jurnalistik. Di

Indonesia, Pewarta Foto Indonesia menjadi wadah bagi

mereka yang berprofesi sebagai pewarta foto, baik yang

berstatus karyawan di media tertentu maupun freelance atau

dikenal juga dengan istilah stringer.

Pewarta Foto Indonesia menjelaskan bagaimana

organisasi profesi ini berawal. Sejarah pewarta foto

Indonesia dimulai ketika pewarta foto kantor berita Jepang,

Domei, Alex Mendur, dan adiknya Frans yang bekerja

sebagai fotografer koran Asia Raya, mengabadikan Soekarno

yang membacakan Proklamasi Kemerdekaan di Pegangsaan

Timur 56 pada pagi tanggal 17 Agustus 1945. Sejarawan

Asvi Warman Adam bahkan menggugah, seandainya

Mendur bersaudara tidak ada di Pegangsaan Timur 56 ketika

itu, maka boleh jadi Proklamasi diyakini tidak benar terjadi.

Sejarah Indonesia kemudian bergerak terus sampai

bergulirnya reformasi menandai berakhirnya kekuasaan Orde

 

Page 99: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

88

Baru yang kemudian jadi tonggak lahirnya kebebasan pers di

Indonesia. Perusahaan pers tumbuh subur seiring hilangnya

pemberlakuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)

untuk mendirikan perusahaan pers. Seiring dengan itu lahir

banyak pewarta foto sejalan dengan meningkatnya kebutuhan

akan profesi tersebut. Proses transisi politik menuju era

reformasi dalam perjalanannya mengalami banyak turbulensi

dimana kebebasan pers belum sesuai dengan marwahnya dan

tindakan represif dialami insan pers terutama pewarta foto.

Oleh karenanya, dilandasi nafas yang sama untuk

membangun sistem perlindungan profesi yang kuat, maka

sejumlah pewarta foto kemudian menggagas dibentuknya

organisasi Pewarta Foto Indonesia

 

Page 100: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

89

BAB IV

ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO KARYA

BEDU SAINI DALAM BUKU CIVILIZATION OF LIGHT

Bencana alam merupakan suatu kejadian yang tidak

direncanakan sebelumnya. Bencana tersebut menimbulkan

dampak yang tidak sedikit bagi kehidupan masyarakat sekitar.

Selain harta benda yang rusak ataupun hilang, tidak sedikit pula

korban jiwa yang berjatuhan. Berita tentang bencana alam pun

telah disiarkan oleh berbagai media baik cetak, elektronik

maupun online sesaat setelah bencana tersebut terjadi. Untuk

mendapatkan berita atau informasi yang akurat, wartawan harus

rela terjun langsung ke tempat terjadinya bencana alam. Berita

yang diberikan kepada masyarakat bukan hanya sekedar tulisan,

namun terdapat foto untuk mendukung berita atau informasi

tersebut.

Memasuki bab ini, peneliti akan mengalisis tiga foto

sebagai sampling data yang mewakilkan keseluruhan foto di

dalam buku foto Civilization Of Light. Peneliti memutuskan

hanya menganalisis tiga foto karena ingin fokus kepada foto-foto

yang bercerita mengenai dampak dari gempa dan tsunami Aceh.

Bencana alam merupakan keadaan yang mengerikan karena

bencana alam umumnya menimbulkan dampak yang sangat

besar. Seperti dampak terhadap lingkungan, terhadap

infrastruktur, dan terhadap kehidupan.

 

Page 101: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

90

Peneliti akan menggunakan pendekatan semiotika konsep

Roland Barthes dalam menganalisis tiga foto terkait dampak dan

tsunami yang ada di dalam buku tersebut. Seperti apa yang telah

peneliti jabarkan pada bab dua, terdapat tiga tahap dalam konsep

semiotika Roland Barthes. Pertama, tahap Denotasi, peneliti akan

menjabarkan elemen yang terdapat di dalam foto. Kedua tahap

Konotasi, terdapat enam komponen, yang pembagiannya

menjelaskan secara rinci makna dalam suatu elemen gambar,

yakni Trick Effect (efek tiruan), pose atau gestur tubuh, objek,

Photogenia (teknik foto), Aestheticsm (komposisi), dan Sintaktis.

Dan yang ketiga adalah tahap Mitos.

Karena pendekatan semiotika konsep Roland Barthes

lebih relevan dalam memaknai dinamika sosial dan budaya. Oleh

karena itu, peneliti memahami bahwa tujuan dari analisis tentang

kebudayaan menggunakan konsep Roland Barthes ini, bukanlah

mencari suatu kebenaran atau mengatakan itu suatu kesalahan,

melainkan untuk menguji sejauh mana peneliti dapat memahami

dan menganalisis beberapa foto yang terkandung dalam buku

Civilization of Light.

 

Page 102: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

91

A. Data Foto 1

B. Analisis Data Foto 1

1. Tahap Denotasi

Tahap denotasi adalah tahap pemaknaan pada lapisan

pertama. Pemaknaan dilakukan secara deskriptif dan literal

serta dapat dipahami oleh pembaca tanpa harus melakukan

penafsiran terlebih dahulu. Tahap ini dapat dilihat secara

jelas oleh mata. Dalam data foto pertama ini, didapati objek

(analogan) apa saja yang terdapat dalam foto tersebut, antara

lain sebagai berikut:

 

Page 103: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

92

a. Tampak dua orang pria sedang membantu salah satu

korban tsunami. Pria paruh baya yang berada di tengah foto

terlihat sangat ketakutan karena terhanyut oleh gelombang

tsunami yang cukup deras.

b. Gelombang tsunami yang mulai naik ke jalan raya,

terlihat dari trotoar yang terdapat pada foto pertama. Trotoar

merupakan jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan

jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk

menjamin keamanan pejalan kaki yang bersangkutan.

c. Terdapat puing-puing kayu dan bangunan yang dapat

diartikan sebagai kehancuran akibat dampak dari gempa dan

tsunami.

Data foto 1 tercipta dengan pencahayaan normal yang

berasal dari samping objek gambar, sehingga posisi

fotografer menyampingi cahaya matahari. Dengan posisi

cahaya berada di samping, maka bagian depan objek akan

terlihat jelas. Dalam pencahayaan fotografi disebut Side

Light. Pencahayaan normal ini disebut menerpadukan antara

kecepatan rana, diafragma, dan ISO dalam unsur fotografi

dikenal dengan Triangle Photography di mana unsur ini

menjadi bagian paling mendasar dalam pembuatan foto.

 

Page 104: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

93

2. Tahap Konotasi

Tahap konotasi adalah tahap dimana kita

menghubungkan petanda-petanda yang terdapat dalam foto

dengan aspek kebudayaan secara umum, sehingga tercipta

sebuah makna dari foto tersebut.

a. Trick Effect

Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa trick effect

merupakan suatu upaya manipulasi gambar pada tingkat

yang berlebihan guna menyampaikan maksud si fotografer.

Dalam wilayah foto jurnalistik hal ini jelas merupakan hal

yang dilarang karena sama saja memanipulasi realitas.

Walaupun sebuah foto jurnalistik sebenarnya bukan berarti

100% atas realitas, artinya hasil foto adalah apa yang

menjadi pikiran seorang fotografer.

Data foto 1 tidak mengandung Trick Effect atau

mengubah keaslian foto. Dalam data foto 1 ini, fotografer

sama sekali tidak mengubah keaslian gambar tidak ada

gambar yang digabungkan ataupun dirubah. Secara warna

gambar juga tidak terlihat fotografer mengubah warna

gambar, karena jelas warna tersebut asli ketika seorang

melihat warna gambar ini tampak dengan jelas tidak ada

perubahan warna yang dilakukan karena rangkaian foto ini

merupakan foto jurnalistik di mana seorang fotografer tidak

 

Page 105: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

94

dapat merubah gambar secara digital imaging, harus benar-

benar memperlihatkan keaslian gambar tersebut.

b. Pose

Pose yang dimaksud di dalam data foto 1 ini adalah

gestur dan sikap tubuh objek yang ada pada data foto 1 ini.

c. Objek

Bermacam-macam objek terdapat dalam foto 1 ini, antara

lain seperti terdapat tiga laki-laki yang sedang berada di

antara gelombang tsunami yang cukup deras. Terlihat trotoar

yang berarti gelombang tsunami mulai naik ke jalan raya dan

puing-puing reruntuhan yang ikut terbawa arus. penempatan

objek berada di samping tengah foto. Objek yang menjadi

Point of Interest (POI) adalah ketiga laki-laki, di mana saat

pertama kali pembaca melihat foto tersebut, mata kita akan

langsung tertuju kepada ketiga laki-laki.

d. Photogenia (Teknik Foto)

Terdapat beberapa teknik foto yang digunakan fotografer

ketika menjempret moment yang ada di dalam foto pertama

ini. Freeze digunakan fotografer dalam membuat foto ini,

terlihat semua objek seperti memiliki kesan membeku,

kecepatan rana dalam menangkap cahaya yang ada dalam

foto ini, membuat semua objek tidak ada yang bergerak.

 

Page 106: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

95

Kemudian menggunakan angle atau sudut pandang eye level,

dimana lensa kamera sejajar dengan kepala dua laki-laki

yang sedang menyelamatkan seorang lelaki paruh baya yang

sedang terbawa arus tsunami. Secara pencahayaan,

lightmeter yang digunakan fotografer begitu normal

perpaduan dalam triangle fotografi.

Bukaan rana yang digunakan oleh fotografer adalah

bukaan luas karena tidak ada objek atau gambar lain yang

dibuat buram. Penulis melihat bahwa dengan menggunakan

teknik bukaan luas, fotografer ingin memperlihatkan

bagaimana

Fotogafer mengambil cahaya dari depan, mata fotografer

begitu tajam dalam pengambilan cahaya, karena beda arah

datangnya cahaya akan membuat makna objek foto berbeda.

Fotografer menggunakan kecepatan rana yang begitu tinggi

sehingga objek gambar tidak terlihat moving. Kepekaan

fotografer begitu baik dalam rasa, sehingga membuat makna

dalam data foto 1 ini begitu terasa.

e. Aestheticism (Komposisi)

Setelah diamati, komposisi dalam foto ini terlihat

menarik walaupun pada kenyataannya fotografer tidak

memikirkan komposisi karena sedang terburu-buru. Menurut

penulis, dalam foto ini dituntut keprofesionalan seorang

 

Page 107: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

96

fotografer, apakah dia tetap ingin menyelamatkan diri sendiri

tanpa mengabadikan moment tersebut atau tetap mengambil

gambar untuk disampaikan kepada masyarakat apa yang

sedang terjadi pada saat itu dengan tidak mengabaikan

keselamatannya sendiri.

f. Syntax

Tanpa adanya caption pada foto 1 ini, pesan yang ingin

disampaikan oleh fotografer dapat diterima oleh masyarakat.

3. Mitos

Mitos merupakan salah satu kebudayaan yang telah

ada sejak masa lampau. Mitos dapat berkembang dari

bagaimana cara masyarakat menanggapinya. Terjadinya

bencana alam selalu dikaitkan dengan mitos yang telah ada

sebelumnya. Masih banyak masyarakat yang percaya

terhadap mitos walaupun belum diketahui benar atau

tidaknya. Dalam foto ini mitos yang dapat dikembangkan

adalah dahsyatnya kekuatan alam. Betapa tidak berdayanya

manusia ketika alam sudah menunjukkan kekuatan sejatinya.

Kekacauan hingga kematian bisa muncul di mana-mana,

dalam hal ini tidak ada satupun senjata manusia yang mampu

menandinginya.

Apapun mitos yang marak dibicarakan masyarakat

terkait dengan bencana yang terjadi, kehendak Tuhan tetap

 

Page 108: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

97

yang paling menentukan. Apabila Tuhan sudah berkehendak,

tidak ada satupun manusia yang mampu menghindarinya.

Mungkin itu sebuah teguran dari Tuhan kepada manusia

yang kurang menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar.

Bencana alam merupakan hal yang sangat tidak

diinginkan oleh siapapun begitu pula warga disekitar pantai

di Aceh. Mereka juga tidak menyangka bahwa bencana yang

terjadi pada tahun 2004 itu menimbulkan banyak korban

jiwa. Pada saat terjadi bencana, warga yang menjadi korban

dari amukan gelombang tsunami tersebut mungkin tidak bisa

menyelamatkan diri karena sedang berada dekat dengan

pantai.

 

Page 109: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

98

C. Data Foto 2

D. Analisis Data Foto 2

1. Tahap denotasi

Pada data kedua, didapati objek (analogon) apa saja yang

terdapat dalam foto tersebut, antara lain sebagai berikut:

a. Pohon kelapa sebagai identitas masyarakat pesisir. Pohon

kelapa dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis serta

daerah yang dekat dengan garis khatulistiwa. Indonesia

adalah negara kepualauan yang termasuk dalam daerah

tropis, cocok sekali untuk tempat tumbuh kelapa. Laut yang

menghubungkan pulau-pulau di Indonesia juga sekaligus

 

Page 110: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

99

menjadi alat untuk menyebarkan kelapa, itu sebabnya pohon

kelapa tumbuh di pantai-pantai Indonesia.

b. terlihat puing-puing bangunan pada foto kedua. Puing

menurut KBBI adalah peninggalan reruntuhan bangunan,

gedung, pesawat terbang, dan sebagainya. Bencana alam

menyisakan berbagai puing sisa bangunan, puing dapat

diartikan sebagai sebuah kehancuran.

c. Terlihat perempuan mengenakan jilbab biru menatap puing-

puing bangunan. Aceh sebagai daerah yang menerapkan

hukum Syariat Islam ditantandai dengan kewajiban

mengenakan jilbab bagi kaum perempuan. Jilbab berfungsi

sebagai bahasa yang menyampaikan pesan-pesan sosial dan

budaya. Tradisi berjilbab pada awal kemunculannya

merupakan penegasan dan pembentukan keberagamaan

seseorang. Dimulai pada abad ke 15 M pernah mendapat

gelar yang sangat terhormat dari umat islam nusantara, Aceh

dijuluki Serambi Mekkah. Sebuah gelar yang penuh nuansa

keagamaan, keimanan, dan ketaqwaaan.

2. Tahap Konotasi

a. Trick Effect

Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, trick effect

adalah sebuah proses manipulasi foto secara berlebihan yang

dilakukan oleh fotografer. Dalam foto ini, penulis tidak

 

Page 111: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

100

menemukan adanya manipulasi foto yang dimaksud.

Memanipulasi foto terutama foto jurnalistik sama saja

dengan memanipulasi realita yang sebenarnya terjadi. Foto

jurnalistik adalah foto yang diambil berdasarkan realita yang

ada tanpa unsur editing yang berlebihan.

b. Pose

Sikap tubuh atau gesture yang ada di dalam data foto

kedua ini, terdapat seorang wanita paruh baya yang sedang

melihat ke arah reruntuhan bangunan dengan tatapan mata

yang kosong, seperti tidak percaya dengan apa yang

dilihatnya. Posisi badannya yang menyamping dari kamera,

sehingga ekspresi wajahnya tidak terlihat jelas. Sedangkan

sikap yang ditunjukkan memperlihatkan sosok pendiam. Hal

itu terlihat dari sorotan mata yang mengarah ke puing

bangunan.

c. Objek

Keseluruhan elemen yang ada dalam satu bingkai foto

sebenarnya bisa dikatakan sebagai objek foto. Namun terkait

dengan objek dalam membaca foto disini, sebagaimana yang

penulis jabarkan dalam bab 2, objek dipahami sebagai satu

subjek utama (point of interest) dalam satu bingkai foto.

Point of interest dalam fotografi dipahami penulis

 

Page 112: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

101

merupakan bagian yang paling menarik atau menonjol dalam

sebuah foto.

Fotografer menjadikan wanita paruh baya yang

menghadap kearah puing-puing bangunan menjadi sebagai

latar depan (foreground). Sedangkan latar belakangnya

(background) adalah reruntuhan bangunan seperti kayu, besi,

dan tembok serta pohon-pohon kelapa yang masih berdiri

kokoh. Terlihat sebelum terjadinya bencan agempa dan

tsunami, daerah tersebut merupakan perkampungan

penduduk.

d. Photogenia

Photogenia memperlihatkan bagaimana teknik

pengambilan foto yang dilakukan fotografer, seperti

pencahayaan (lighting), ketajaman foto (exposure),

keburaman (bluring), efek gerak (moving), efek beku

(freezing), efek kecepatan (panning), dan sudut pandang

(angle). Penulis dapat mengamati bahwa foto ini diambil

diluar ruangan dengan bantuan cahaya matahari dan

pengaturan pada kamera sehingga terlihat normal (normal

exposure). Tidak ada teknik yang menampilkan efek beku

(freezing), efek kecepatan (panning), dan efek gerak

(moving) dalam foto ini. Sedangkan untuk teknik keburaman

dipakai untuk latar belakang foto walaupun tidak terlalu

terlihat keburamannya.

 

Page 113: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

102

Seperti pada foto kedua, pemilihan angle tersebut tidak

memiliki makna khusus. Eye level adalah sudut standar atau

normal. Pada sudut ini, kamera diletakkan sejajar dengan

objek. Efek yang ditimbulkan dari sudut pandang ini adalah

pandangan normal atau seperti kita melihat langsung ke

objek dengan mata kita. Foto yang diambil diluar ruangan

tersebut memperlihatkan teknik pencahayaan normal, namun

sedikit gelap karena fotografer ingin memberikan kesan

yang lebih mendalam.

e. Aestheticism (komposisi)

Seperti pada foto sebelumnya, komposisi yang dapat

diamati dalam foto II ini tidak terlalu sulit. Objek dalam foto

tersebut diletakan sebagai foreground (latar depan). Terdapat

istilah rule of third atau komposisi 1/3, yaitu objek berada

pada bagian sepertiga kanan atau kiri foto. Rule of Thirds

adalah sebuah teknik komposisi yang paling banyak

digunakan oleh fotografer. Dengan rule of third, pusat

perhatian ditempatkan pada setiap titik simpang garis yang

membagi gambar atau foto dari atas ke bawah dan dari kiri

ke kanan.

Pengambilan foto yang cenderung close up ini

memperlihatkan bahwa fotografer ingin menyampaikan

bagaimana perasaaan kehilangan yang dialami oleh wanita

paruh baya dengan terfokus pada latar belakang

 

Page 114: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

103

(background) foto yaitu reruntuhan bangunan akibat

dahsyatnya gelombang tsunami. Komposisi yang terdapat

pada foto kedua ini, menempatkan objek di sebelah kanan

dalam keseluruhan porsi gambar.

Selain menjadi nilai estetisme, penempatan yang

digunakan fotografer dalam menambah komposisi ini. Setiap

foto portrait, biasanya banyak menggunakan komposisi atau

penempatan objek di tengah dalam porsi keseluruhan

gambar, tetapi kepekaan fotografer dalam merekam suatu

momen itu menjadi lebih bermakna dan berkarakter.

f. Syntax

Syntax merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam

penyajian suatu karya yang biasanya terdapat pada foto atau

teks. Namun dalam foto ini, peneliti tidak menemukan teks

pada data foto kedua, oleh karena itu peneliti lebih melihat

dari susunan elemen yang terdapat dalam foto ini. Dalam

data foto ini, pembaca diajak untuk melihat bahwa korban

bencana alam gempa dan tsunami di Aceh meninggalkan

luka mendalam bagi korbannya, terlihat dari ratapan wanita

paruh baya yang kosong melihat hamparan reruntuhan

bangunan. Sintaksis dalam foto dibangun dengan

penempatan objek sesuai dengan pesan yang akan

disampaikan oleh fotografer.

 

Page 115: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

104

3. Mitos

Bencana alam merupakan hal yang sangat tidak

diinginkan oleh siapapun begitu pula warga disekitar pesisir

atau pantai Aceh. Mereka juga tidak menyangka bahwa

bencana yang terjadi pada tahun 2004 itu menimbulkan

banyak korban jiwa. Pada saat terjadi bencana, warga yang

menjadi korban dari amukan gelombang tsunami tersebut

mungkin tidak bisa menyelamatkan diri karena sedang

berada dekat dengan pesisir atau pantai.

Bencana kerap kali dikaitkan dengan aktivitas manusia

disekitarnya. Banyak yang mengatakan bahwa bencana alam

terjadi akibat pengingkaran-pengingkaran yang dilakukan

manusia. Dengan demikian, manusia hendaknya merenungi

dan mengambil hikmah dari berbagai bencana alam yang

bertubi-tubi mengguncang negeri ini. Pada dasarnya, bencana

alam yang biasa terjadi, ataupun merupakan teguran atas

dosa-dosa manusia.

Bencana alam yang melanda berbagai tempat di muka

bumi ini mungkin saja memiliki makna untuk mengingatkan

manusia agar tidak lupa mensyukuri nikmat dan bermaksud

untuk membangunkan manusia dari tidur lelapnya. Mulai

dari kelalaian yang menenggelamkannya dalam kenikmatan

duniawi hingga keserakahannya mengambil keuntungan

dengan merusak sumber daya lain, sehinnga dapat memicu

 

Page 116: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

105

reaksi alam yang sewaktu-waktu merespon perlakuan

manusia.DroeKeu Droe

C. Data Foto 3

 

Page 117: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

106

D. Analisis Data Foto 3

1. Tahap Denotasi

Pada data foto ketiga, didapati objek (analogon)

apa saja yang terdapat dalam foto tersebut, antara lain

sebagai berikut:

a. Terlihat lima orang laki-laki sedang bersantai di dalam

Masjid Raya Baiturrahman. Salah satu unsur penting

dalam struktur masyarakat Islam adalah masjid. Selain

sebagai tempat ibadah masjid berfungsi sebagai kegiatan

ibadah sosial atau Muamalah, seperti penerimaan dan

penampungan. Dalam kondisi darurat, seperti terjadinya

bencana alam, masjid punya peran sosial sebagai tempat

perlindngan warga. Karena itu, masjid dibangun sekokoh

dan senyaman mungkin dengan kapasitas ruang memadai

dan sarana pendukung. Terbukti masjid menjadi tempat

mengungsi sementara warga saat terjadinya bencana.

b. Ornamen di dalam masjid mengalami kerusakan akibat

gempa. Ornamen masjid adalah sebuah elemen hiasan

atau dekorasi yang terdapat pada bangunan arsitektural

masjid, baik interior maupun eksterior masjid. Sementara

Masjid Raya Aceh Darussalam yang lebih dikenal dengan

nama Masid Raya Baiturrahman, sebagaimana diceritakan

dalam Bustan as-Salatin dan Hikayat Aceh, pada waktu

 

Page 118: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

107

Perang Aceh sekitar 1873 M terbakar dan kemudian

diganti dengan bentuk masjid bergaya Timur Tengah.

Masjid-masjid kuno di Indonesia ditinjau dari

fungsi utamanya tetap sebagai tempat peribadatan umat

Islam. Sebagai salah satu aspek kebudayaan materian

yang mengandung nilai-nilai budaya spiritual atau

nonmaterial dari keagamaan Islam dengan ciri-ciri

arsitektur ditambah beberapa ragam hiasnya yang

merupakan tradisi sebelumnya serta mengandung makna

keagamaan atau kepercayaan pra-Islam.

2. Tahap Konotasi

a. Trick effect

Pada data foto ketiga juga tidak terdapat unsur

dalam memanipulasi gambar, terlihat dari kesempurnaan

cahaya dan tidak ada yang ganjal pada data foto 3. Data

foto 3 ini juga tidak mengandung trick effect karena ini

merupakan bagian dari foto jurnalistik, di mana fotografer

tidak diperkenankan untuk menambah, mengurangi,

mengganti apapun yang ada di dalam suatu foto.

Dalam retouching atau pengeditan foto, fotografer

hanya sekedar merapikan cahaya jika ada yang terlalu

gelap ataupun terlalu terang, fotografer juga dapat

melakukan cropping jika dibutuhkan.

 

Page 119: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

108

b. Pose

Sikap tubuh atau gesture yang ada di dalam data foto 3

ini, terdapat lima orang laki-laki yang sedang duduk di dalam

masjid. Terlihat satu dari mereka sedang berbaring yang

menandakan istirahat dan empat lainnya sedang berbicara satu

sama lain.

c. Objek

Bermacam-macam objek terdapat dalam data foto ketiga,

terdapat lima orang laki-laki yang sedang duduk di dalam

masjid. Dalam foto juga terlihat bangunan masjid yang rusak

akibat gempa. Salah satu dampak gempa adalah rusaknya

sarana ibadah yang ada di masyarakat. Kerusakan pada

bangunan di foto tersebut termasuk kerusakan struktur, ciri

utamanya adanya keretakan dengan lebih lebih dari 2 mm dan

tembus pada sisi dinding lainnya.

d. Photogenia

Teknik dalam foto ini memperlihatkan bahwa fotografer

ingin memfokuskan dampak yang terjadi akibat gempa dan

tsunami. angle yang diambil pun tidak terlalu ekstrim, yaitu

eye level. Seperti pada foto ketiga, pemilihan angle tersebut

tidak memiliki makna khusus. Eye level adalah sudut standar

atau normal. Pada sudut ini, kamera diletakkan sejajar dengan

objek. Efek yang ditimbulkan dari sudut pandang ini adalah

 

Page 120: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

109

pandangan normal atau seperti kita melihat langsung ke objek

dengan mata kita. Foto yang diambil diluar ruangan tersebut

memperlihatkan teknik pencahayaan normal, namun sedikit

gelap karena fotografer ingin memberikan kesan yang lebih

mendalam., yaitu kerusakan akibat gempa dan tsunami yang

merugikan manusia.

e. Aestheticism

Pengambilan foto yang cenderung long shot ini

memperlihatkan bahwa fotografer ingin menyampaikan

bagaimana kondisi masjid Baiturrahman yang mengalami

kerusakan yang cukup parah akibat dahsyatnya gelombang

tsunami. Kepekaan fotografer dalam merekam suatu momen

itu menjadi lebih bermakna dan berkarakter.

f. Syntax

Syntax merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam

penyajian suatu karya yang biasanya terdapat pada foto atau

teks. Namun dalam foto ini, peneliti tidak menemukan teks

pada data foto ketiga, oleh karena itu peneliti lebih melihat

dari susunan elemen yang terdapat dalam foto ini. Dalam

data foto ini, pembaca diajak untuk melihat bahwa bencana

alam gempa dan tsunami di Aceh meninggalkan dampak

tidak hanya kepada manusia tetapi juga kepada bangunan

yang digunakan manusia.

 

Page 121: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

110

Jika dilihat dari beberapa aspek yang telah

disebutkan sebelumnya, pada foto ini terlihat bagaimana

dampak pasca terjadinya gempa dan tsunami yang telah

menimbulkan dampak berupa kerusakan bangunan.

Penulis mengamati bahwa fotografer ingin menyampaikan

mengenai bangunan yang tersisa dari bencana tersebut.

Kawasan pesisir pantai Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa,

Kota Banda Aceh, menjadi salah satu lokasi terparah di

mana masjid Baiturrahman berdiri. Tsunami menyampu

seluruh permukaan warga hingga rata dengan tanah,

padahal letajnya hanya terpaut 300m dari bibir pantai.

Empat dusun di wilayah itu hilang ditelan gelombang

dengan 6 ribu penduduk di dalam dan sekitarnya menjadi

korban.

3. Mitos

Dalam foto ketiga ini, mitos yang dikembangkan

adalah kuasa Tuhan dalam bencana alam. Di tengah porak

porandanya pusat ibu kota Aceh, Masjid Raya

Baiturrahman ikon kebanggaan masyarakat Aceh ini,

masih berdiri kokoh. Meski di sekelilingnya dipenuhi

lumpur dan puing-puing reruntuhan akibat hanyut dibawa

air. Masjid ini menjadi saksi bisu keganasan gelombang

tsunami menggulung bumi Serambi Mekkah.

 

Page 122: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

111

Masjid yang berada di jantung kota Banda Aceh

itu merupakan ikon Provinsi Aceh. Masjid ini merupakan

salah satu pusat pembelajaran Islam tempo dulu. Masjid

yang dibangun pada masa Kesultanan Iskandar Muda

tahun 1022 H/1612 M mempunyai sejarah panjang pada

masa penjajahan Belanda. Masjid Raya Baiturrahman

pernah dibakar oleh tentara Belanda pada bulan April

1873 M. Pimpinan pasukan tentara Belanda kala itu,

Mayjen Khohler, juga turut menjadi korban tewas. Untuk

meredam kemarahan warga Aceh, pertengahan tahun

1877 M, Belanda kembali membangun masjid Masjid

Raya Baiturrahman. Pada saat itu, Aceh berada di bawah

pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah Johan atau

Sultan Aceh yang terakhir.

Masjid Baiturrahman menarik perhatian karena

masih bisa berdiri tegak, sementara bangunan di

sekitarnya rata dengan tanah. Meski masih berdiri kokoh,

masjid ini sempat ditelan tsunami. Air masuk ke dalam

masjid hingga ketinggian 20 meter.

Mitos dapat diartikan sebagai unsur penting yang

membentuk sebuah ideologi atau pemahaman yang telah

tertanam dalam suatu masyarakat. Hal tersebut yang

menyebabkan mengapa mitos merupakan bagian penting

dari sebuah ideologi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan

 

Page 123: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

112

Kolektor Manuskrip Kuno, Tarmizi Abdul Hamid,

mengatakan kekokohan masjid Raya Baiturrahman,

merupakan bukti kebesaran Tuhan. Selain itu, kekokohan

masjid-masjid yang ada di Aceh tidak terlepas dari usaha

manusia dalam membangun masjid itu sendiri. Di Aceh

masid dibangun secara gotong royong oleh masyarakat

dengan niat ikhlas dan tulus.

Konstruksi bangunan masjid pada zaman dahulu

dikerjakan oleh Utoh (tukang) pada bidangnya masing-

masing. Setelah dirancang kemudian baru dikerjakan

bersama oleh masyarakat. Selain itu, adat istiadat

masyarakat Aceh, sebelum memulai pembangunan atau

saat peletakan batu pertama didahului dengan kenduri

(syukuran).

 

Page 124: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

113

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil interpretasi dan penjelasan peneliti

tentang pemaknaan foto melalui pendekatan semiotika

konsep Roland Barthes, dimana pemaknaan tersebut

melalui tiga tahap yakni, tahap denotasi, tahap konotasi,

dan tahap mitos pada buku foto Civilization of Light karya

Bedu Saini. Oleh karena itu, peneliti dapat memberikan

kesimpulan terhadap penelitian sebagai berikut:

1. Tahap Denotasi

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan

terhadap ketiga foto yang merupakan bagian dari

rangkaian buku foto Civilization of Light ini

memberikan gambaran tentang upaya fotografer

dalam menyampaikan sebuah informasi mengenai

suatu bencana alam. Melalui foto-foto ini, terlihat

jelas bagaimana kondisi setelah terjadinya bencana

yang menimbulkan banyak korban jiwa tersebut.

Fotografer dalam penyampaian pesan atau

informasinya, tidak menggunakan manipulasi foto

yang mengakibatkan perubahan makna pada foto itu

 

Page 125: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

114

sendiri. Foto-foto tersebut menunjukkan bagaimana

realita yang terjadi.

Dalam tahap ini juga dapat disimpulkan bahwa

fotografer ingin memberikan informasi kepada

masyarakat secara akurat tanpa adanya rekayasa dan

opini visual. Dengan gambaran mengenai kondisi

pada saat dan setelah terjadinya bencana tersebut,

fotografer menyampaikan pesan kepada masyarakat

bahwa bencana yang tidak terduga dapat

menimbulkan dampak yang sangat besar. Sehingga

masyarakat akan lebih waspada dalam menghadapi

bencana yang suatu saat akan terjadi kembali.

Tugas fotografer bencana tidak hanya merekam

dampak yang ditimbulkan dari sebuah bencana, tidak

sekedar menggugurkan tugas sebagai seorang jurnalis

foto untuk menyampaikan fakta kepada khalayak.

Lebih dari itu, tugas mulia seorang fotografer bencana

adalah untuk menumbuhkan empati kepada pembaca

yang melihat foto-toto tersebut. Fotografi dapat

digunakan sebagai media komunikasi dalam

masyarakat yang memiliki pengaruh besar terhadap

emosi seseorang.

Semenjak kehadirannya fotografi disebut sebagai

alat perekam dan penghadir ulang kenyataan yang

 

Page 126: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

115

paling ampuh. Kepekaannya terhadap detail dan

ketepatannya akan waktu akan membuat kita, manusia

modern, megagungkannya sebagai bagian dari

kemajuan manusia dalam merekam sejarah umum

maupun diri kita sendiri. Kenyataan ini turut

menggiring kita kepada anggapan bahwa fotografi

merupakan media penghadir

2. Tahap Konotasi

Dalam tahap ini penulis menemukan makna-

makna konotasi yang terdapat pada ketiga foto

tersebut. Selain itu tahap ini juga memperlihatkan

bahwa foto dapat dipahami tidak hanya dengan

melihat fotonya saja tetapi terdapat cara-cara dalam

membaca foto agar pesan yang diterima sesuai dengan

apa yang ingin disampaikan oleh fotografer.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa makna

konotasi yang terdapat pada foto Civilizatin of Light

antara lain, mengenai bencana alam yang terjadi

menimbulkan dampak yang tidak hanya berupa materi

namun berdampak pula pada kehidupan yang dialami

para korban setelahnya. Makna selanjutnya

menunjukkan bahwa korban gempa dan tsunami

mengalami suatu kesedihan yang mendalam. Mereka

terlihat sudah tidak memiliki harapan untuk

 

Page 127: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

116

melanjutkan hidup karena bencana alam telah

merenggut apa yang mereka miliki, seperti harta

benda bahkan sanak saudara. Beberapa makna yang

dapat penulis pahami menunjukkan bahwa bencana

alam tidak hanya menimbulkan dampak pada

kerusakan infrastruktur saja tetapi mental serta

psikologis para korban juga mengalami dampak cukup

besar terutama pada anak-anak. Lalu terdapat makna

bagaimana dampak pasca terjadinya gempa dan

tsunami yang telah menimbulkan dampak berupa

kerusakan bangunan. Penulis mengamati bahwa

fotografer ingin menyampaikan mengenai bangunan

yang tersisa dari bencana tersebut yaitu Masjid

Baiturrahman yang masih berdiri kokoh di antara

bangunan yang telah hancur.

3. Tahap Mitos

Bencana gempa dan tsunami di Aceh 2004

silam tidak terlepas dari mitos yang berkembang di

masyarakat. Mitos sudah menjadi kebudayaan

masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat

pedesaan. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat

sekitar pantai atau laut yang masih percaya pada

mitos. Mitos dibangun dari kepercayaan masyarakat

secara turun menurun. Pada buku foto Bedu Saini ini

 

Page 128: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

117

menunjukkan bahwa sebuah bencana alam seperti

gempa dan tsunami yang terjadi di daerah Aceh dan

sekitarnya ini menimbulkan dampak yang tidak

sedikit. Kehilangan harta benda bahkan sanak saudara

dapat dialami oleh korban bencana alam. Dalam foto

ini juga memperlihatkan bagaimana kuasa Tuhan yang

menegur manusia dengan mendatangkan sebuah

bencana besar sebagai akibat dari ulah manusia itu

sendiri yang lalai akan perintah-Nya.

Pada foto pertama mitos yang dapat

dikembangkan adalah dahsyatnya kekuatan alam.

Berlokasi di Cincin Api Pasifik (wilayah dengan

banyak aktivitas tektonik), Indonesia harus terus

menghadapi resiko letusan gunung berapi, gempa

bumi, banjir dan tsunami. Bencana-bencana alam yang

mengerikan dan menyebabkan kematian ratusan ribu

manusia dan hewan, serta menghancurkan wilayah

daratannya (termasuk banyak infrastruktur sehingga

mengakibatkan kerugian ekonomi).

Foto kedua mengenai bencana alam yang

melanda berbagai tempat di muka bumi ini mungkin

saja memiliki makna untuk mengingatkan manusia

agar tidak lupa mensyukuri nikmat dan bermaksud

untuk membangunkan manusia dari tidur lelapnya.

 

Page 129: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

118

Mulai dari kelalaian yang menenggelamkannya dalam

kenikmatan duniawi hingga keserakahannya

mengambil keuntungan dengan merusak sumber daya

lain, sehinnga dapat memicu reaksi alam yang

sewaktu-waktu merespon perlakuan manusia.

Dalam foto ke 3 ini, mitos yang dikembangkan

adalah kuasa Tuhan dalam bencana alam. Di tengah

porak porandanya pusat ibu kota Aceh, Masjid Raya

Baiturrahman ikon kebanggaan masyarakat Aceh ini,

masih berdiri kokoh. Meski di sekelilingnya dipenuhi

lumpur dan puing-puing reruntuhan akibat hanyut

dibawa air. Masjid ini menjadi saksi bisu keganasan

gelombang tsunami menggulung bumi Serambi

Mekkah.

Selain masjid Baiturrahman di Aceh,

fenomena masjid yang tetap berdiri kokoh meski

dihantam gempa dan tsunami terjadi juga di empat

masjid di daerah Palu dan Donggala. Yaitu masjid Ar

Raham, masjid Babul Jannah, masjid Al-Amin, dan

masjid Terapung

B. Saran

Wacana tentang seni fotografi khususnya, tidak

lagi hanya mendebatkan foto dari segi teknis bagaimana

foto itu dibuat, melainkan sudah harus bergerak pada

 

Page 130: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

119

ranah filosofis. Sehingga budaya visual di Indonesia dapat

terus berjalan kearah perkembangan, dan bukan hanya

sekedar pengulangan. Oleh karena, ternyata ranah

fotografi dapat terintegrasi dengan banyak hal yang

berkaitan dengan fenomena budaya yang berkembang di

masyarakat, bekal wawasan budaya secara meluas dapat

membuat sebuah karya foto jurnalistik lebih

kayainformasi.

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ada

beberapa hal yang dapat menjadi saran baik kepada

segenap akademisi Fakultas Ilmu Dakwah dan

Komunikasi, khususnya Program Studi Jurusan Jurnalistik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta bagi para peminat

fotografi khususnya yang menekuni foto jurnalistik, yaitu:

1. Melihat hasil analisis atas makna denotasi yang di

dapat dari keempat foto yang penulis teliti,

memberikan suatu referensi tentang tampilan foto-

foto mengenai sebuah bencana alam. Referensi

tampilan foto-foto tersebut menjadi acuan bagi

para fotografer khususnya pemula. Tampilan

tersebut dapat dilihat dari sisi komposisi yang

digunakan oleh fotografer.

2. Sedangkan dari hasil analisis atas makna konotasi

yang di dapat dari keempat foto yang diteliti, dapat

 

Page 131: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

120

dijadikan sebuah kamus visual bagi para penikmat

fotografi, khususnya fotografi jurnalistik. Metode

Roland Barthes dalam membaca foto juga dapat

menjadi acuan seorang fotografer untuk

memahami bagaimana suatu kesan dapat

terbentuk, ketika menyampaikan suatu pesan

melalui foto.

3. Melihat dari hasil analisis pada makna mitos yang

terdapat pada kelima foto tersebut, secara umum

memuat fakta-fakta atas fenomena alam yang

terjadi dapat menjadi sebuah peringatan untuk

lebih waspada dalam menghadapinya. Kemudian

bagi para akademisi yang juga concern dalam seni

membaca sebuah foto, metode semiotika yang

dikemukakan oleh Barthes ini dapat pula menjadi

pegangan dalam mengembangkan paradigma

konstruktivis dan menggabungkannya dengan

fenomena yang terjadi pada masyarakat zaman

sekarang.

4. Selain yang telah disebutkan diatas, penulis juga

dapat menyimpulkan bahwa sebagai seorang

pewarta foto, Bedu Saini ingin memberikan

informasi kepada masyarakat tentang bagaimana

dampak dari bencana yang terjadi dengan

menampilkan foto-foto yang berisi realita tanpa

 

Page 132: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

121

adanya proses editing yang berlebihan ataupun

opini visual. Ia ingin masyarakat benar-benar

melihat apa yang sebenarnya terjadi melalui foto-

foto tersebut.

 

Page 133: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

122

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno G. 2002. Kisah Mata,

FotografiantaraDuasubjek: Perbincangantentang Ada.

Yogyakarta: Galang Press

Ajidarma, Seno G. 2015. JejakMata Pyongyang. Bandung: Mizan

Media Utama

Asa Berger, Arthur. 2010. Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda

dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara

Wacana

Bachtiar, Ray. 2005. Ritual Fotografi, Chip Foto Video edisi

spesial

Barthes, Roland. 2010. Imaji, Musik, Teks. Yogyakarta: Jalasutra

Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. New

York: Mancester University Press

Birowo, Antonius M. 2004. Metode Penelitian Komunikasi: Teori

dan Aplikasi. Yogyakarta: Gitanyali

Budiman, Kris. 2011. Semotika Visual, Konsep, Isu, dan

Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra

Christomy, Tommy. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Universitas

Indonesia

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta:

Jalasutra

Darmawan, Ferry. 2009. Dunia dalam Bingkai dari Fotografi

Film hingga Fotografi Digital. Yogyakarta: Graha Ilmu

 

Page 134: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

123

Freedy Susanto, Anthon. 2005. Semiotika Hukum dari

Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna. Bandung:

PT. Refika Aditama

Gani, Rita dan Ratri Rizki Kusuma lestari. 2013. Jurnalistik Foto

Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

H. Hoed, Benny. 2008.Semiotik dan DinamikaSosialBudaya.

Depok: KomunitasBambu

Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa,Konteks dan

Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik

Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University

Ida, Rachmah. 2014. Studi Media dan KajianBudaya. Jakarta:

Prenada Media Group

Ikawati, Yuni. 2005. Bencana Gempa dan Tsunami Nangroe

Aceh Darussalam dan Sumatra Utara. Jakarta: Penerbit

Buku Kompas

Kusumaningrat, Hikmat. 2005. Jurnalistik, Teori, dan Praktik.

Bandung: Remaja Rosda Karya

Morissan. MetodePenelitianSurvei. 2014.Jakarta:

KencanaPrenada Media Group

Natawijayaa, Danny H. 2005. Bencana Gempa dan Tsunami

Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas

Noth, Winfried. 1990. Hand Book Of Semiotics. Indiana

University Press

 

Page 135: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

124

Pawirodikromo, Widodo. 2012. Seismologi Teknik dan Rekayasa

Kegempaan. Jogja: Pustaka Pelajar

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Metode Penelitian Komunikasi.

Bandung: Remaja Rosda Karya

Saini, Bedu. 2015. Civilization Of Light. Jakarta: Galeri Foto

Jurnalistik Antara

Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Penerbit

Remaja Rosada

Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk

Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Soedjono, Soeprapto. 2007. Pot-Pourri Fotografi. Jakarta:

Universitas Trisakti

Soelarko. 1978. Fotografi untuk Salon Foto dan Lomba Foto.

Bandung: PT Karya Nusantara

Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media da Pertarungan Wacana.

Yogyakarta: LKIS

Tim RedaksiKamus Bahasa Indonesia. 2008.Kamus Bahasa

Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa

Wijaya, Taufan. 2018. Literasi Visual, Manfaat dan Muslihat

Fotografi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Wijaya, Taufan. 2011. Foto Jurnalistik. Klaten: CV Sahabat

Yunus, Syafrudin. 2010. Jurnalistik Terapan. Jakarta: PT Ghalia

Indonesia.

 

Page 136: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

125

Referensi Lain:

Afif. “Foto gelombang tsunami menerjang Aceh karya Bedu

Saini dibukukan” Artikeldiakses pada 15 September 2018,

darihttp://merdeka.com/peristiwa/foto-gelombang-

tsunami-menerjang-aceh-karya-bedu-saini-

dibukukan.html

Nurdin, Nasir “Luar Biasa, Bedu Saini Jadi 'Fotografer Sepanjang

Masa”. Artikel diakses pada 28 Oktober 2018,

darihttps://aceh.tribunnews.com/2017/04/21/luar-biasa-

bedu-saini-jadi-fotografer-sepanjang-masa

Saputra, Aidil “Bedu Saini Luncurkan Buku Civilization of Light.

Artikel diakses pada 28 Oktober 2018, dari

https://www.kanalaceh.com/2015/12/27/bedu-saini-

luncurkan-buku-civilization-of-light/

 

Page 137: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

126

LAMPIRAN

Naskah Wawancara 1

Nama : Bedu Saini

Tempat Tanggal Lahir : Sinabang, 10 Maret 1963

Alamat : Meunsah Manyang PA, Ingin

jaya, Aceh Besar

Pekerjaan : Fotografer

Keterangan : Wawancara untuk penelitian

Analisis Semiotika Terhadap Foto

Karya Bedu Saini Berjudul

Civilization Of Light Pada Ajang

Pameran Foto Jurnalistik

“Peradaban Cahaya Dan

Bencana” 2015

Daftar Pertanyaan

1. Bagaimana latar belakang cerita dibuatnya buku foto

Civilization Of Light?

Jawab: awalnya ketemu dengan Oscar Motuloh di Banda

Aceh termasuk Eddy Hasby Kompas, ternyata diluar

dugaan saya mereka sangat mendukung pembuatan buku

tersebut.

2. Berapa lama proses pemotretannya dan apa saja

kendalanya?

 

Page 138: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

127

Jawab : Saat itu Oscar Muruloh menyarankan ke saya

memotret ulang tempat kejadian yang pernah saya motret

saat tsunami dan kendala saat itu hampir tidak ada,

paling saat mencari tempat motret ulang di mana

lokasinya sudah berbeda.

3. Apa pesan yang ingin disampaikan melalui buku foto

tersebut?

Jawab: Dalam buku tersebut hanya berceita tentang foto-

foto tsunami di Aceh dan semoga suata saat nanti bisa

dijadikan sebagai saksi sejarah, bahwa di aceh pernah

terjadi tsunami 2004.

4. Apa saja kendala proses pembuatan buku foto Civilization

Of Light?

Jawab : kendala pembuatan buku itu sepertinya tidak ada

kendala sebab semua dikerjakan kawan-kawan fotografer

di Jakarta yang yang dikoordinasi oleah Oscar Motuloh

dan Eddy hasby.

5. Siapa saja yang mendorong anda untuk membukukan

foto-foto anda?

Jawab: Yang berperan dalam buku itu Ocar Mutuloh dan

Eddy hasby serta dibantu kawan-kawan fotografer di

Jakarta.

6. Saya membaca sebuah berita, bahwa foto-foto tsunami

Aceh anda telah dipublikasikan oleh beberapa media

 

Page 139: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

128

internasional. Media apa sajakah yang menerbitkan foto-

foto anda?

Jawab : Saya lupa nama medianya, salah satunya Media

cetak Ashahi Simbun Jepang dan pernah juga di Majalah

Time.

7. Bagaimana pengalaman anda ketikakarya anda diapresiasi

di luar negeri?

Jawab : Kalau pengalaman biasa saja.

8. Apa buku foto yang anda buat ini sudah terkonsep

sebelumnya atau seperti apa ?

Jawab : Belum terkonsep sbelumnya tiba-tiba ketemu

Oscar Motuloh, beliau langsung merespon.

9. Mengapa buku foto anda berjudul “Civilization of Light”?

Jawab: Tanyakan saja sama Oscar Motuloh beliau yang

betul judul buku itu.

10. Kurator foto Civilization Of Light adalah Oscar Matuloh,

mengapa anda memilih Oscar Matuloh dan apa tanggapan

beliau terkait foto-foto anda?

Jawab : Bukan memilih beliau kebetulan ketemua di aceh

waktu itu dan saya beranikan diri bercerita tentang foto

tsunami, ternyata beliau langsung respon.

11. Untuk teknis pemotretan, jenis kamera dan lensa apa yang

anda gunakan?

Jawab: saya gak ada teknis untuk motret hanya secara

manual aja aja yang bisa ditangkap kamera.

 

Page 140: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

129

12. Foto tsunami Aceh anda pernah dipamerkan dibeberapa

tempat, bagaimana proses pemilihan foto-foto tersebut?

Jawab : Proses sederhana aja apa yang bisa dipamerkan.

13. Apa harapan anda dengan terbitnya buku foto Civilization

of Light bagi perkembangan fotografi Indonesia?

Jawab : Harapan semoga para fotogarafer yang ada di

Indonesia tetaplah berkarya dan hargailah karya orang

laen sejelek apapun, karena itu karya dia sendiri.

Aceh, 10 Mei 2019

Bedu Saini.

*Wawancara dilakukan via Email

 

Page 141: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

130

Lampiran  

Page 142: Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Bedu Sainirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...dari tulisan dari media massa, seperti media cetak, tetapi sebuah gambar atau

131