analisis proksimat

63
ANALISIS PROKSIMAT, EKSTRAKSI, DAN UJI FITOKIMIA PADATUMBUHAN API- API (Avicennia spp.) Prisca Sari Paramudhita (C34100004) Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Tanggal: 13 Maret-17 April 2012 ABSTRAK Tumbuhan api-api adalah salah satu jenis tumbuhan mangrove yang umum dijumpai di Indonesia. Tumbuhan ini dapat digunakan untuk keperluan pengobatan dan farmasi. Praktikum analisis proksimat, ekstraksi, dan uji fitokimia pada tumbuhan api-api (Avicennia spp.) bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia pada tumbuhan api-api dan senyawa bioaktif yang terdapat di dalamnya, serta membandingkan komposisi tumbuhan api-api dengan tumbuhan mangrove lainnya. Praktikum analisis proksimat dan ekstraksi dilakukan pada hari Selasa, 13 Maret 2012, sedangkan uji fitokimia dilakukan pada hari Selasa, 17 April 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Hasil analisis proksimat menunjukkan daun tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 69,35 %, kadar abu sebesar 5,3 %, kadar lemak sebesar 13,8 %, dan kadar protein sebesar 3,42 %. Batang tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 55 %, kadar abu sebesar 6,7 %, kadar lemak sebesar 0,8 %, dan kadar protein sebesar 2,9115 %. Uji fitokimia pada daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif pada uji alkaloid, molish, benedict, ninhidrin, dan fenol hidrokuinon sedangkan hasil uji fitokimia pada batang tumbuhan api-api memiliki hasil positif pada uji molish, fenol hidrokuinon, ninhidrin, steroid, flavonoid, dan tanin. Hasil ekstraksi yang diperoleh sebesar 4,3812 gram untuk daun dan 3,0163 gram untuk kulit batang tumbuhan api-api. Kata kunci: ekstraksi, fitokimia,kadar lemak, proksimat, tumbuhan api-api

Upload: dwi-darmawan

Post on 25-Dec-2015

37 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

zzzzzzzzzzzzzzzzzzzz

TRANSCRIPT

ANALISIS PROKSIMAT, EKSTRAKSI, DAN UJI FITOKIMIA PADATUMBUHAN API-API (Avicennia spp.)

Prisca Sari Paramudhita (C34100004)

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

Tanggal: 13 Maret-17 April 2012

ABSTRAK

Tumbuhan api-api adalah salah satu jenis tumbuhan mangrove yang umum dijumpai di Indonesia. Tumbuhan ini dapat digunakan untuk keperluan pengobatan dan farmasi. Praktikum analisis proksimat, ekstraksi, dan uji fitokimia pada tumbuhan api-api (Avicennia spp.) bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia pada tumbuhan api-api dan senyawa bioaktif yang terdapat di dalamnya, serta membandingkan komposisi tumbuhan api-api dengan tumbuhan mangrove lainnya. Praktikum analisis proksimat dan ekstraksi dilakukan pada hari Selasa, 13 Maret 2012, sedangkan uji fitokimia dilakukan pada hari Selasa, 17 April 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Hasil analisis proksimat menunjukkan daun tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 69,35 %, kadar abu sebesar 5,3 %, kadar lemak sebesar 13,8 %, dan kadar protein sebesar 3,42 %. Batang tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 55 %, kadar abu sebesar 6,7 %, kadar lemak sebesar 0,8 %, dan kadar protein sebesar 2,9115 %. Uji fitokimia pada daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif pada uji alkaloid, molish, benedict, ninhidrin, dan fenol hidrokuinon sedangkan hasil uji fitokimia pada batang tumbuhan api-api memiliki hasil positif pada uji molish, fenol hidrokuinon, ninhidrin, steroid, flavonoid, dan tanin. Hasil ekstraksi yang diperoleh sebesar 4,3812 gram untuk daun dan 3,0163 gram untuk kulit batang tumbuhan api-api.

Kata kunci: ekstraksi, fitokimia,kadar lemak, proksimat, tumbuhan api-api

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki jenis mangrove yang beragam. Menurut Wibowo et al. (2009) Indonesia memiliki 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Sebanyak 202 dari jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan di sekitar mangrove dikenal sebagai asociate mangrove.

Salah satu jenis mangrove yang banyak dijumpai di Indonesia adalah api-api (Avicennia spp.). Data Ditjen INTAG pada tahun 1984 menyebutkan Indonesia memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha. Hasil interpretasi citra landsat tahun 1992 luas mangrove yang tersisa sebesar 3,812 juta ha (Martodiwirjo 2004). Hasil penelitian Ditjen RRL pada tahun 2005 mengatakan luas hutan mangrove Indonesia tersisa sebanyak 9,2 juta ha. Produksi tumbuhan api-api dalam luas

hutan mangrove di Indonesia mencapai setengah dari total keseluruhan luas hutan mengrove (Wiroatmodjo et al. 2000). Peranan api-api adalah sebagai tumbuhan pioneer atau perintis yang menempati zonasi terluar dari hutan mengrove (Zamroni dan Rohyani 2008). Klasifikasi Avicennia spp. menurut Wibowo et al. (2009) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dycotyledone

Ordo : Myrtales

Famili : Verbenaceae

Genus : Avicennia

Spesies : Avicennia spp.

Tumbuhan Avicennia spp. memiliki nama lokal diantaranya api-api putih, api-api abang, sia-sia putih, sie-sie, pejapi, nyapi, hajusia, dan pai. Avicennia spp. berbentuk belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, dengan ketinggian pohon bisa mencapai 30 meter. Mangrove ini memiliki sistem perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk pensil (berbentuk asparagus), akar nafas tegak. Kulit kayu memiliki tekstur halus dengan burik hijau-abu dalam bagian kecil (Wiroatmodjo et al. 2000). Tumbuhan api-api memiliki kemampuan untuk menempati dan tumbuh pada berbagai habitat pasang-surut, bahkan di tempat asin sekalipun. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang paling umum ditemukan di habitat pasang-surut (Zamroni dan Rohyani 2008).

Beberapa jenis Avicennia spp. dapatmenghasilkan bahan untuk keperluan pengobatan dan farmasi (Wibowo et al. 2009). Hal ini yang membuat perlu dilakukannya analisis proksimat, ekstraksi, dan uji fitokimia pada tumbuhanAvicennia spp. untuk mengetahui komponen bioaktif yang terkandung dalam Avicennia spp. melalui pengujian fitokimia. Analisis proksimat yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas bahan pangan terutama pada standar zat makanan (Tilman et al. 2001).

Tujuan praktikum ini adalah melakukan analisis proksimat, ekstraksi, dan uji fitokimia kualitatif pada tumbuhan Avicenniaspp. serta membandingkan komposisi senyawa bioaktif yang terkandung dalam daun dan kulit batang Avicennia spp.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Praktikum analisis proksimat dan ekstraksi dilakukan pada hari Selasa, 13 Maret 2012, sedangkan uji fitokimia dilakukan pada hari Selasa, 17 April 2012 pada pukul 10.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada praktikum estraksi dan uji proksimat Avicennia spp. adalah tumbuhan Avicennia spp., asam sulfat 2N, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, pereaksi Wagner,

dan metanol. Bahan yang diperlukan pada analisis kadar lemak Avicennia spp. adalah K2SO4, HgO, H2SO4, H2O2, asam borat, dan HCl.

Alat yang digunakan adalah rotary vacuum evaporator, erlenmeyer 250 ml, gelas ukur, pisau, telenan, alumunium foil, timbangan analitik, kapas, cawan porselen, oven, desikator, timbangan analitik, kertas saring, kapas, selongsong lemak, labu lemak, tabung Soxhlet, kompor listrik, tanur pengabuan, orbital shaker, dan alat tulis.

Prosedur Kerja

Praktikum pada Avicennia spp. dimulai dengan analisis proksimat bahan. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar lemak, kadar protein dan kadar abu pada Avicennia spp. Analisis kadar lemak, dilakukan dengan pemasukan sampel ke dalam kertas saring yang pada kedua ujung bungkusnya ditutup dengan kapas bebas. Setelah ditutup, kertas saring kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak. Labu lemak dimasukkan ke dalam tabung Soxhlet dan direfluks selama 6 jam. Setelah proses refluks labu lemak kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 105 oC. Diagram alir analisis kadar lemak disajikan pada Gambar 1.

Pemasukkan dalam labu lemak, ruang ekstraktor soxhlet, dan penyiraman dengan n-heksana

Perefluksan selama 6 jam

Pengeringan labu lemak dan pendinginan di desikator

Penghancuran Avicennia spp.

Penimbangan sampel sebesar 25 gr

Analisis proksimat

Pemasukkan dalam kertas saring dan selongsong lemak

Kadar lemak

Gambar 1 Diagram alir analisis kadar lemak kulit batang dan daun Avicennia spp.

Ekstraksi Avicennia spp. dilakukan dengan penimbangan masing-masing sampel sebesar 25 gram. Sampel yang telah dihancurkan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Sampel ditambahkan pelarut metanol 1:3. Labu erlenmeyer kemudian ditutup dengan kapas dan alu. Maserasi dilakukan selama 48 jam dengan kecepatan 150 rpm. Hasil maserasi kemudian disaring menggunakan kertas saring. Diagram alir proses ekstraksi disajikan pada Gambar 2.

Sampel

Penimbangan sampel sebesar 25 gr

Penghancuran sampel

Pemasukan dalam erlenmeyer

Penambahan pelarut 75 ml

Penutupan dengan kapas

Maserasi 48 jam 150 rpm

Penyaringan kertas saring Whatman 42

Hasil ekstraksi

Gambar 2 Diagram alir ekstraksi Avicennia spp.

Uji fitokimia terdiri dari berbagai uji seperti alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, ninhidrin, dan biuret.

Alkaloid

Sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan 3 pereaksi yaitu Dragendorff, Meyer, dan Wagner. Hasil positif uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff menghasilkan warna merah hingga jingga. Hasil positif pada pereaksi Meyer menghasilkan warna putih kekuningan, dan hasil positif pereaksi Wagner akan menghasilkan warna endapan cokelat.

Steroid/Triterpenoid

Sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform. Sampel kemudian diteteskan dengan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Warna merah yang terbentuk pertama kali dan berubah menjadi warna biru dan hijau menunjukkan hasil positif terhadap uji.

Flavonoid

Sampel ditambahkan dengan serbuk magnesium sebanyak 0,1 mg. Warna merah, kuning, atau jingga yang terbentuk menunjukkan adanya flavonoid.

Saponin (Uji Busa)

Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian diletakkan di dalam air yang telah mendidih. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan sebanyak 1 tetes HCl 2 N. Hasil positif menunjukkan adanya saponin pada suatu bahan.

Fenol hidrokuinon

Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dalam 20 ml etanol 70 %. Larutan yang dihasilkan diambil 1 ml untuk diuji dengan FeCl3 5 %. Warna hijau atau hijau biru yang dihasilkan menunjukkan adanya fenol.

Uji Molish

Prosedur kerja uji molish yaitu sampel diteteskan dengan 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml asam sulfat pekat. Adanya lapisan berwarna ungu pada sampel menunjukkan uji positif molish.

Uji Benedict

Prosedur kerja uji benedict dilakukan dengan sampel yang diteteskan ke larutan benedict, dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Warna merah, kuning, hijau yang terbentuk menunjukkan uji positif.

Uji Biuret

Prosedur kerja uji biuret yaitu 1 ml sampel ditambahkan dengan 4 ml pereaksi biuret kemudian dikocok. Warna ungu yang dihasilkan menunjukkan adanya ikatan peptida pada sampel.

Uji Ninhidrin

Prosedur kerja uji ninhidrin yaitu 2 ml sampel ditambahkan dengan larutan ninhidrin 0,1 %, kemudian dipanaskan selama 10 menit. Larutan yang berwarna biru menunjukkan hasil positif asam amino.

Uji Tanin

Prosedur kerja uji tanin yaitu sampel yang ada ditambahkan tetes demi tetes larutan FeCl3 hingga didapatkan perubahan warna larutan menjadi merah yang menandakan uji positif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis proksimat dilakukan untuk mengidentifikasi komposisi kimia dari tumbuhan api-api (Avicennia spp.). Analisis proksimat memiliki beberapa keunggulan yakni merupakan metode umum yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan, tidak membutuhkan teknologi yang canggih dalam pengujiannya, menghasilkan hasil analisis secara garis besar, dapat menghitung nilai total digestible nutrient (TDN) dan dapat memberikan penilaian secara umum pemanfaatan dari suatu bahan pangan. Analisis proksimat juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya tidak dapat menghasilkan kadar dari suatu komposisi kimia secara tepat, tidak dapat menjelaskan tentang daya cerna serta testur dari suatu bahan pangan (Utomo 2000).

Analisis proksimat saat praktikum dilakukan pada daun dan kulit batang Avicennia spp. Hasil analisis proksimat daun dan batang tumbuhan api-api disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil analisis proksimat daun dan batang Avicennia spp.

JaringanLemak

(%)

Protein

(%)

Air

(%)

Abu

(%)

Kulit batang

0.8 2.9115 55 6.7

Daun 13.8 3.4179 69.35 5.3

Tabel 1 menunjukkan kulit batang tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 55 %, kadar abu 6,7 %, kadar lemak sebesar 0,8 %, dan kadar protein sebesar 2,9115 %. Daun tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 69,35 %, kadar abu sebesar 5,3 %, kadar lemak sebesar 13,8 %, dan kadar protein sebesar 3,4179 %.

Pengujian kadar lemak menunjukkan tumbuhan api-api mengandung lemak dalam kadar yang cukup rendah yaitu 0,8 % pada kulit batang dan 13,8 % dalam daun. Kadar lemak yang rendah dapat disebabkan kandungan air tumbuhan api-api yang sangat tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak akan turun secara drastis. Yunizal et al. (1998) dalam Erliza (2006) mengatakan kadar air umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak. Hubungan

tersebut mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila kadar air yang terkandung di dalam bahan cukup tinggi. Kadar lemak di daun tumbuhan api-api lebih tinggi dibanding di batang. Hidayat (2002) mengatakan hal ini disebabkan adanya lapisan lilin yang terdapat di daun. Kadar lemak tumbuhan api-api Avicennia marina (0,34 %) lebih rendah dibanding Avicennia alba (0,60 %). Perbedaan ini dapat terjadi karena pengaruh beberapa faktor, yaitu umur, hábitat, ukuran dan makanan.

Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa batang tumbuhan api-api memiliki protein dalam jumlah 2,9115 % dan daun 3,4 %. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan daun tumbuhan api-api Avicennia lanata yang mengandung protein sebesar 9,08 % (Wibowo et al. 2009). Variasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu hábitat, umur, makanan yang dicerna, laju metabolisme, laju pergerakan, dan laju perkembangan.

Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Tumbuhan terdiri dari 96 % bahan organik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Proses pembakaran akan membakar bahan organik namun komponen anorganik tidak terbakar (Winarno 2008). Hasil pengujian kadar abu total menunjukkan tumbuhan api-api mengandung kadar abu sebesar 6,7 % pada batang dan sekitar 5,3 % pada daun. Menurut Handayani (2006) batang memiliki kadar abu yang lebih tinggi karena bersifat salt accumulation,sedangkan daun bersifat salt accumulation dan salt filtration. Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat dan lingkungan hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme yang hidup di dalamnya. Setiap organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan.

Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan. Jumlah kadar air dalam suatu bahan ikut menentukan kestabilan dari bahan tersebut. Kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak (Winarno 2008). Kadar air pada tumbuhan api-api sangat tinggi (>50 %). Air pada tumbuhan api-api lebih banyak terdapat di daun dibanding di batang.

Ekstraksi adalah proses untuk menghasilkan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisisa nabati atau simplisisa hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Erliza 2006). Tujuan ekstraksi adalah memisahkan bahan padat dan bahan cair suatu zat dengan bantuan pelarut. Ekstraksi dapat memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia yang berbeda. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi bahan alam umumnya dilakukan untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi adalah tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, dan tipe pelarut (Tohir 2010).

Metode akstraksi yang digunakan dalam praktikum adalah ekstraksi tunggal. Ekstraksi tunggal hanya menggunakan 1 jenis pelarut. Praktikum tumbuhan api-api Avicennia spp. menggunakan pelarut polar yakni metanol. Handoko (1995)dalam Hidayat (2002) mengatakan pemilihan metanol sebagai pelarut didasarkan beberapa pertimbangan yakni selektivitas, kelarutan, kerapatan, reaktivitas, dan titik didih. Metanol memiliki beberapa keunggulan sebagai pelarut yakni memiliki kemampuan

melarutkan ekstrak yang besar, beda kerapatan yang signifikan dengan tumbuhan api-api sehingga mudah dipisahkan. Metanol tidak bersifat racun, tidak eksplosif bila bercampur dengan udara, tidak korosif, dan mudah didapatkan. Pelarut metanol memiliki titik didih yang tidak begitu tinggi yakni 65 oC sehingga mudah larut dalam panas. Metanol memiliki massa jenis 0,791 g/ml, dan konstanta dielektrik sebesar 33.

Hasil ekstraksi yang diperoleh pada saat praktikum sebesar 4,3812 gram untuk daun dan 3,0163 gram untuk kulit batang. Hasil ekstraksi menurut Harborne (1984) dalam Erliza (2006) sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, serta perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel.

Jenis ekstraksi bahan alam yang umum dilakukan adalah ekstraksi secara panas dengan cara melakukan refluks dan penyulingan uap air dan ekstraksi secara dingin dengan cara maserasi, perkolasi, dan alat soxhlet (Harbone 1987 dalamErliza 2006).

Prinsip ekstraksi secara soxhletasi dengan melakukan ekstraksi secara berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap penyari akan naik melalui pipa samping, kemudian diembunkan lagi oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun untuk menyari zat aktif dalam simplisia. Cairan penyari jika mencapai sifon, maka seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi, demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersari seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifon (Erliza 2006).

Ekstraksi secara perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan penyari. Perkolator ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka dengan kecepatan 1 ml permenit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat dipindahkan ke dalam bejana, ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat terlindung dari cahaya (Tohir 2010).

Ekstraksi secara maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan penyari 75 bagian, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari lalu diperas dan ampasnya dimaserasi kembali dengan cairan penyari. Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi, lalu dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan pada tempat yang tidak bercahaya, setelah dua hari lalu endapan dipisahkan (Erliza 2006).

Ekstraksi secara refluks pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak yang dididihkan. Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut, demikian seterusnya. Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali selama 4 jam (Harbone 1987 dalamErliza 2006)

Ekstraksi secara penyulingan dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk simplisia yang mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih yang tinggi pada tekanan udara normal, yang pada pemanasan biasanya terjadi kerusakan zat aktifnya (Dirjen POM 2012).

Prinsip Rotavapor dilakukan dengan proses pemisahan ekstrak dari cairan penyarinya dengan pemanasan yang dipercepat oleh putaran dari labu alas bulat, cairan penyari dapat menguap 5-10 ºC di bawah titik didih pelarutnya disebabkan oleh karena adanya penurunan tekanan. Uap larutan penyari akan menguap naik ke kondensor dengan bantuan vakum evaporator dan mengalami

kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarut murni yang ditampung dalam labu alas bulat penampung.

Digestimerupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) yang dilakukan pada suhu lebih tinggi dari suhu ruangan, secara umum dilakukan pada suhu 40 ºC – 50 ºC. Infusa merupakan proses ekstraksi dengan merebus sampel (khususnya simplisia) pada suhu 90 oC.

Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen bioaktif dalam suatu bahan (Wibowo 2009). Uji fitokimia yang dilakukan pada batang dan daun tumbuhan api-api disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Uji fitokimia pada kulit batang dan daun Avicennia spp.

Uji Batang Daun

Alkaloid - +

Dragendrof - +

Meyer - -

Wagner - +

Steroid + -

Flavonoid + -

Saponin - -

Tanin + -

Molisch + +

Bannedict - +

Fenol H. + +

Ninhidrin + +

Biuret - -

Uji fitokimia pada daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif pada uji alkaloid, molish, benedict, ninhidrin, dan fenol hidroquinon sedangkan hasil uji fitokimia pada batang tumbuhan api-api memiliki hasil positif pada uji molish, fenol hidrokuinon, ninhidrin, steroid, flavonoid, dan tanin.

Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007 dalam Tohir 2010). Alkaloid memiliki fungsi dalam bidang farmakologis antara lain sebagai analgetik (menghilangkan rasa sakit), mengubah kerja jantung, mempengaruhi peredaran darah dan pernafasan, antimalaria, stimulan uterus dan anaestetika lokal. Sumber senyawa alkaloid potensial adalah tumbuhan yang tergolong dalam kelompok angiospermae dan jarang atau bahkan tidak ditemukan pada tumbuhan yang tergolong

dalam kelompok gimnospermae misalnya paku-pakuan, lumut dan tumbuhan tingkat rendah lain (Harborne 1987 dalam Tohir2010). Alkaloid pada tumbuhan dipercaya sebagai hasil metabolisme dan merupakan sumber nitrogen. Kebanyakan alkaloid berupa padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Dekomposisi alkaloid selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan berlangsung dalam waktu lama (Lenny 2006 dalam Tohir 2010). Daun tumbuhan api-api positif terhadap alkaloid sementara batang tumbuhan api-api menunjukkan hasil yang negatif. Wibowo et al. (2009) mengtakan batang dan daun tumbuhan mangrove jenis Avicennia alba positif terhadap alkaloid. Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan perbedaan hábitat, makanan yang didapat, dan kesalahan praktikum.

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Terpenoid memiliki beberapa nilai kegunaan bagi manusia, antara lain minyak atsiri sebagai dasar wewangian dan rempah-rempah sebagai cita rasa dalam industri makanan. Fungsi terpenoid bagi tumbuhan adalah sebagai pengatur pertumbuhan, karotenoid sebagai pewarna dan memiliki peran membantu fotosintesis. Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Adapun contohnya adalah sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987dalam Tohir 2010). Daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil negatif pada uji steroid/triterpenoid sedangkan batang tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif. Wibowo et al. (2009) mengatakan tumbuhan mangrove Avicennia alba, Avicennia lanata,dan Avicennia marina menunjukkan hasil positif pada uji steroid. Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.

Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid terdapat pada seluruh bagian tanaman termasuk pada buah, tepung sari dan akar. Flavonoid merupakan inhibitor kuat terhadap peroksidasi lipida, sebagai penangkap oksigen atau nitrogen yang reaktif dan juga mampu menghambat aktivitas enzim lipooksigenase dan siklooksigenase (Sirait 2007 dalam Tohir 2010). Hasil praktikum menunjukkan daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil negatif pada uji flavonoid sedangkan batang tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif. Wibowo et al. (2009) mengatakan tumbuhan mangrove seperti Avicennia alba, Avicennia lanata, dan Avicennia marina menunjukkan hasil positif pada uji flavonoid. Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.

Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Hasil praktikum menunjukkan daun dan kulit batang tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif pada uji fenol hidrokuinon. Wibowo et al. (2009) mengatakan tumbuhan mangrove seperti Avicennia alba, Avicennia lanata, dan Avicennia marina menunjukkan hasil positif pada uji fenol hidrokuinon kecuali pada daun. Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.

Tanin merupakan komponen zat organik derivat polimer glikosida yang terdapat dalam bermacam-macam tumbuhan, terutama tumbuhan berkeping dua (dikotil). Monomer tanin adalah digallic acid dan D-glukosa. Tanin diharapkan mampu mensubstitusi gugus fenol dan resin fenol formaldehida yang berguna untuk mengurangi pemakaian fenol sebagai sumberdaya alam tak terbarukan. Tanin dapat menghambat aktivitas beberapa enzim pencernaan seperti tripsin, kimotripsin, amilase, dan lipase. Tanin juga terbukti dapat menghambat absorpsi besi (Tohir 2010). Hasil praktikum menunjukkan daun tumbuhan api-api negatif pada uji tanin dan kulit batang menunjukkan hasil positif. Menurut Wibowo et al. (2009) tumbuhan Avicennia alba, Avicennia lanata, dan Avicennia marina menunjukkan hasil positif pada uji tanin kecuali pada kayu. Perbedaan hasil yang didapatkan disebabkan oleh perbedaan hábitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.

Saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan heomolisis sel darah merah (Erliza 2006). Hasil praktikum menunjukkan daun dan batang tumbuhan api-api negatif terhadap uji saponin. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Wibowo et al. (2009) yang mengatakan tumbuhan api-api positif mrngandung saponin. Perbedaan dalam praktikum disebabkan perbedaan varietas tumbuhan api-api, perbedaan habitat, dan perbedaan perlakuan.

Uji molish dan benedict digunakan untuk mengetehui ada tidaknya gula pereduksi. Hasil uji molish menunjukkan daun dan kulit batang tumbuhan api-api positif mengandung gula pereduksi. Hasil uji benedict negatif terhadap batang tumbuhan api-api. Hal ini menunjukkan batang mengandung gula pereduksi ketosa karena gula pereduksi ketosa tidak dapat terdeteksi oleh uji benedict.

Uji biuret dan ninhidrin digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan ikatan peptida dalam bahan. Uji ninhidrin menunjukkan hasil positif dapat daun dan batang. Hasil positif ditunjukkan oleh warna larutan yang berubah menjadi biru. Hasil yang didapat sesuai dengan hasil uji proksimat, karena daun dan batang memiliki kadar protein berkisar antara 2,9 % sampai 3,4 %. Hasil uji biuret tidak sesuai dengan percobaan lainnya. Kesalahan dalam praktikum dapat disebabkan oleh kontaminasi bahan, kesalahan prosedur, dan ketidaktelitian dalam percobaan.

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil analisis proksimat yang dilakukan pada tumbuhan api-api (Avicennia spp.) menunjukkan daun tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 69,35 %, kadar abu sebesar 5,3 %, kadar lemak sebesar 13,8 %, dan kadar protein sebesar 3,4179 %. Batang tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 55 %, kadar abu sebesar 6,7 %, kadar lemak sebesar 0,8 %, dan kadar protein sebesar 2,9115 %. Ekstraksi pada tumbuhan api-api digunakan memisahkan bahan padat dan bahan cair dengan bantuan pelarut. Filtrat hasil ekstraksi digunakan sebagai sampel uji fitokimia tumbuhan api-api. Daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif pada uji alkaloid, molish, benedict, ninhidrin, dan fenol hidroquinon sedangkan hasil uji fitokimia pada batang tumbuhan api-api memiliki hasil positif pada uji molish, fenol hidrokuinon, ninhidrin, steroid, flavonoid, dan tanin.

Pengujian fitokimia pada tumbuhan api-api (Avicennia spp.) perlu menggunakan bagian lain dalam tumbuhan tersebut agar perbandingan komposisi kimia Avicennia spp. dapat diketahui. Diperlukan pengujian kuantitatif pada uji fitokimia agar persentase kandungan bioaktif bahan dapat diketahui.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen POM. 2012. Ekstraksi. Jakarta: Ditjen POM Departemen Kesehatan RI.

Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 2005. Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Bakau (Mangrove) yang Rusak di Indonesia. Jakarta: PT Insan Mandiri Konsultan.

Erliza N. 2006. Ekstraksi Giberalin dari Akar Eceng Gondok. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Handayani T. 2006. Bioakumulasi logam berat dalam mangrove Rhizophora mucnata dan Avicennia marina di Muara Angke Jakarta. Teknik Lingkungan 7(3): 266-270

Hidayat R. 2002. Kajian Ritme Pertumbuhan Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.) dan Faktor- faktor yang Mempengaruhi. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Martodiwirjo, S. 2004. Kebijaksanaan Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Mangrove dalam Pelita VI. [Bahan Diskusi Panel Pengelolaan Hutan Mangrove] Denpasar: Mangrove Center, 26-28 Oktober 2004.

Tilman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawiro K, dan Lebdosoekoekojo S. 2001. IlmuMakananTernakDasar.Yogyakarta: Gajah mada University Press.

Tohir AM. 2010. Teknik ekstraksi dan aplikasi beberapa pestisida nabati untuk menurunkan palatabilitas ulat grayak (spodoptera litura fabr.). Buletin Teknik Pertanian 15 (1): 37-40.

Utomo R. 2000. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM

Wibowo C, Kusmana C, Suryani A, Hartati Y, Oktadiyani P. 2009. Pemanfaatan Pohon Mangrove Api-Api (Avicenniaspp.) sebagai bahan Pangan dan Obat. [Prosiding Seminar Hasil-Hasil penelitian]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Zamroni Y dan Rohyani IS. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di perairan Teluk Sepi, Lombok Barat. BiodiversitasIX(4): 284-287.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.

Wiroatmodjo P, Alrasyd H, Salim S, Mlia F, Meity S. 2000. Pemanfaatan dan Rehabilitasi Hutan Mangrove Indonesia.Prosiding seminar strategi nasional pengelolaan hutan mangsrove. Hal 84-96.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Morfologi tumbuhan api-api (Avicennia spp.)

Lampiran 2 Perhitungan kadar air tumbuhan api-api (Avicennia spp.)

DAUN

Pengulangan 1: cawan kosong = 27,54 gram

Sampel awal = 5,00 gram

Berat cawan + sampel kering = 29,07 gram

Pengulangan 2: cawan kosong = 25,44 gram

Sampel awal = 5,00 gram

Berat cawan + sampel kering = 26,99 gram

Hasil Perhitungan

Pengulangan 1 = 69,40%

Pengulangan 2 = 69,00%

Kadar air total = 69,35%

KULIT BATANG

Pengulangan 1: cawan kosong = 19,64 gram

Sampel awal = 5,00 gram

Berat cawan + sampel kering = 21,87 gram

Pengulangan 2: cawan kosong = 24,96 gram

Sampel awal = 5,00 gram

Berat cawan + sampel kering = 27,23 gram

Hasil Perhitungan

Pengulangan 1 =55,4%

Pengulangan 2 =54,6%

Kadar air total =55,0%

Lampiran 3 Perhitungan kadar abu tumbuhan api-api (Avicennia spp.)

DAUN

Pengulangan 1: cawan kosong = 28,69 gram

Sampel awal = 5,00 gram

Berat cawan + sampel kering = 28,96 gram

Pengulangan 2: cawan kosong = 27,55 gram

Sampel awal = 5,00 gram

Berat cawan + sampel kering = 27,81 gram

Kadar abu = berat abu/berat sampel awal x 100%

Hasil Perhitungan

Pengulangan 1= 5,4%

Pengulangan 2= 5,2%

KULIT BATANG

Pengulangan 1: cawan kosong =29,66 gram

Sampel awal =5,00 gram

Berat cawan + sampel kering =29,99 gram

Pengulangan 2: cawan kosong =24,63 gram

Sampel awal =5,00 gram

Berat cawan + sampel kering =24,97 gram

Kadar abu = berat abu/berat sampel awal x 100%

Hasil Perhitungan

Pengulangan 1=6,6%

Pengulangan 2=6,8%

Lampiran 4 Perhitungan kadar protein tumbuhan api-api (Avicennia spp.)

DAUN

Labu awal : 76,99 gram

Labu akhir : 77,68 gram

N HCl : 0,1446 N

FP : 10

V HCl : 0,27 ml

KULIT BATANG

N HCl : 0,1446 N

FP : 10

V HCl : 0,23 ml

Lampiran 5 Perhitungan kadar lemak tumbuhan api-api (Avicennia spp.)

DAUN

Labu awal : 76,99 gram

Labu akhir : 77,68 gram

Berat Sampel : 5 gram

Kadar lemak %= 13,8 %

KULIT BATANG

Labu awal : 77,65 gram

Labu akhir : 77,69 gram

Berat Sampel : 5 gram

Kadar lemak %= 0,8 %

Lampiran 6 Hasil uji fitokimia

Tabel hasil uji fitokimia tanaman api-api (Avicennia spp.)

UjiHasil Uji (+/-) Warna

Batang Daun Batang Daun

Alkaloid

a. Dragendroff - + jingga Kuning

b. Meyer - - kuning kuning

c. Wagner - + cokelat hita

Steroid + - kuning Hijau kemerahan

Flavonoid + - Abu-abu kuning

saponin - - Tidak ada busa Tidak ada busa

Fenol hidrokuinon + + Hijau pekat Hijau

Tanin + - hitam Merah

molisch + + Cincin ungu Cincin ungu

benedict + + Merah bata Hijau

ninhidrin + - cokelat Biru kehijauan

PBB Belut

Posted: Agustus 8, 2012 in pbb

0

Laporan Praktikum IV Asisten: Euis Nur Aisyah

m.k. Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan

PENGUKURAN RENDEMEN DAN ANALISIS KADAR ABU PADA BELUT SAWAH (Monopterus albus)

Prisca Sari Paramudhita (C34100004)

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

8 Mei 2012

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan sumber daya perairan yang sangat besar. Kekayaan perairan yang dimiliki Indonesia tidak hanya dilihat dari segi kuantitas, namun juga keragamannya. Salah satu sumberdaya perairan yang potensial di Indonesia adalah belut sawah (Monopterus albus). Belut sawah merupakan jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi karena telah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia, salah satunya di Jawa Barat. Produksi belut di Jawa Barat pada tahun 2008 berdasarkan buku laporan statistik perikanan budidaya provinsi Jawa Barat sebesar 123,98 ton dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 152,46 ton. Praktikum analisis proksimat pada belut sawah (Monopterus albus) bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia pada belut sawah. Praktikum analisis proksimat pada hari Selasa, 8 Mei 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Hasil perhitungan rendemen menunjukkan ikan belut memiliki berat rata rata 56 gram, rendemen daging sebesar 44,11%, tulang 13,89%, kepala 17,30%, kulit 6,65%, dan jeroan sebesar 18,05%. Analisis proksimat yang dilakukan pada belut menunjukkan ikan belut mengandung kadar air sebesar 78,81%, kadar abu 0,33%, kadar protein 15,76%, dan kadar lemak sebesar 0,12%.

Kata kunci: analisis proksimat, belut sawah, rendemen

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan sumber daya perairan yang sangat besar. Kekayaan perairan yang dimiliki Indonesia tidak hanya dilihat dari segi kuantitas, namun juga keragamannya. Salah satu sumberdaya perairan yang potensial di negara Indonesia adalah ikan belut sawah (Monopterus albus). DJPB (2012) menyatakan belut adalah salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi karena telah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia, salah satunya di Jawa Barat. Produksi belut di Jawa Barat pada tahun 2008 sebesar 123,98 ton dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 152,46 ton. Sarwono (2003) menyatakan belut merupakan salah satu komoditas ekspor yang mendapat devisa tinggi di Taiwan dan RRC.

Belut sawah tersebar luas di Asia Tenggara dan Cina. Organisme ini di Pulau Jawa dikenal dengan nama belut, lindung, dan welut, sedangkan di Madura dikenal dengan nama beludi, dan di Sumatera

disebut belan. Belut merupakan komoditas ekspor yang tempat hidupnya berada di daerah berlumpur seperti sawah, rawa dan sungai-sungai. Klasifikasi belut sawah menurut Saanin (1984) dalam Santoso (2001) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Synbranchoidae

Famili : Synbranchidae

Genus : Monopterus

Spesies : Monopterus albus

Ikan belut sawah mempunyai bentuk tubuh panjang dan bulat seperti ular, tapi tidak bersisik dan memiliki mata yang kecil. Sirip dubur dan sirip punggung berubah menjadi sembulan kulit yang tidak berjari-jari. Belut tidak memiliki sirip perut dan sirip dada. Kulitnya licin karena mengeluarkan lendir. Bagian dada pada belut lebih panjang dari bagian ekor. Tinggi badan belut kurang lebih 1/20 kali panjang tubuhnya. Belut memiliki punggung berwarna kehijauan dan bagian perut kekuningan, lengkung insang terdiri dari tiga pasang, bibirnya berupa lipatan kulit yang lebar di sekeliling mulut, dan gigi belut kecil runcing berbentuk kerucut (Sundoro 2005)

Ikan belut betina umumnya berukuran panjang antara 10-29 cm, dengan warna kulit lebih cerah atau lebih muda (hijau muda pada punggung dan putih kuning pada perutnya) dibanding ikan belut jantan. Belut betina umumnya memiliki umur kurang dari sembilan bulan. Ikan belut jantan rata-rata memiliki panjang lebih dari 30 cm, berumur lebih dari sembilan bulan dan memiliki warna kulit lebih gelap atau abu-abu (Sarwono 1994 dalam Santoso 2001) Morfologi ikan belut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Warna kulit belut terlihat berkilau dengan gurat sisi yang tampak jelas untuk menjaga keseimbangan belut. Ukuran kepala belut biasanya lebih besar atau sedikit lebih tinggi daripada tubuhnya. Belut sawah termasuk hewan karnivora, memiliki lambung yang besar, palsu, tebal, dan elastis. Hasil analisis isi lambung belut mengungkapkan bahwa ikan belut sawah termasuk ikan karnivora dengan makan utama annelida yang umumnya ditemukan di persawahan dataran rendah dan larva insekta yang umumnya ditemukan di daerah persawahan dataran tinggi (Sarwono 2003).

Belut berbeda dengan sidat. Sidat memiliki sirip dada, punggung, dan sirip dubur yang sempurna. Sidat memiliki sisik-sisik kecil yang berkumpul dalam kumpulan kecil yang masing-masing kumpulan terletak miring pada sudut siku terhadap kumpulan-kumpulan di sampingnya (Wang et al. 2009). Perbedaan belut dengan sidat adalah belut tidak memiliki sirip, kecuali sirip ekor yang juga tereduksi. Ciri khas belut yang lain adalah tidak bersisik, dapat bernafas dari udara, bukaan insang sempit, tidak memiliki kantung renang, dan tulang rusuk. Belut merupakan hewan air darat, sementara kebanyakan sidat hidup di laut, walaupun ada pula yang di air tawar (Qing et al. 2008).

Belut sawah dapat dibersihkan dengan melumuri abu gosok ke seluruh permukaan tubuhnya sampai lendir hilang. Abu gosok memiliki daya serap tinggi dan bentuknya yang kasar mudah menyerap lendir dan mengangkat lendir yang masih terikat pada kulit. Pembersihan lendir pada belut membutuhkan tiga kali pemberian abu gosok. Pengkulitan daging belut dapat dilakukan bagi yang ahli (Sundoro 2005).

Komposisi kimia dan kegunaan suatu bahan dapat diketahui dengan menggunakan analisis proksimat. Cara ini dikembangkan dari Weende Experiment Station di Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, dengan menggolongkan komponen yang ada pada makanan (Utomo 2000). Analisis proksimat yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung dalam makanan (Tilman et al. 2001). Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah mengetahui rendemen dan analisis proksimat pada belut sawah.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Praktikum analisis proksimat dan rendemen pada belut sawah (Monopterus albus) dilakukan pada hari Selasa, 8 Mei 2012 pada pukul 10.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu belut sawah (Monopterus albus), es batu, dan abu gosok. Alat yang digunakan untuk preparasi dan perhitungan kadar abu belut sawah adalah wadah, telenan, pisau, tissue, alumunium foil, cawan porselen, oven, desikator, tanur, timbangan analitik, dan alat tulis.

Prosedur Kerja

Praktikum ikan belut sawah (Monopterus albus) dimulai persiapan sampel berupa 2 ekor belut yang telah mati. Belut kemudian ditimbang dengan timbangan analitik. Belut dipreparasi dengan dilumuri abu gosok. Pemberian abu gosok berguna untuk menghilangkan lendir pada belut. Belut di fillet sepanjang tulang punggung dan di-skinless untuk menghilangkan kulit. Bagian belut berupa kepala, daging, tulang, kulit dan jeroan kemudian dipisahkan untuk ditimbang. Hasil perhitungan kemudian diolah untuk mendapatkan nilai rendemen belut.

Analisis kadar abu pada belut sawah dimulai dengan pencacahan sampel yang kemudian dibungkus dengan alumunium foil. Sampel kemudian ditimbang. Cawan kosong dikeringkan ke dalam tanur lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam cawan dan ditanurkan pada suhu 600 oC. Cawan yang berisi abu kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang dengan timbangan analitik. Diagram alir prosedur kerja kadar abu disajikan pada Gambar 1.

Pemasukkan sampel dalam cawan, pemijaran, pemasukan 1 jam dalam tanur 600 oC

Penimbangan

Sampel belut sawah

Pengeringan 1 jam dalam oven 105 oC

Pendinginan dalam desikator ±15 menit

Penimbangan

Kadar abu

Gambar 1 Diagram alir analisis kadar abu ikan belut

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen adalah proporsi dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan (Utomo 2000). Rendemen dihitung dari bobot sampel per bobot total. Rendemen dihitung untuk memperkirakan persentase bagian tubuh ikan yang dapat dimanfaatkan. Hasil pengukuran rendemen ikan belut sawah disajikan pada Lampiran 3.

Hasil praktikum menunjukkan rendemen daging ikan belut sawah rata-rata yang didapat sebesar 44,11%. Penelitian yang dilakukan Sulistyarini (2002) menyatakan rendemen daging belut adalah 60,25%. Jumlah tersebut termasuk kategori yang cukup besar karena menurut Tanikawa (1971) dalam Sulistyarini (2007) rendemen ikan secara umum sekitar 40%. Menurut Sulistyarini (2007) semakin kecil ukuran ikan maka proporsi berat yang dapat dimakan semakin besar. Persentase rendemen yang bervariasi antar jenis ikan ditentukan oleh bentuk tubuh, makanan, dan umur yang dimiliki ikan.

Pengukuran rendemen jeroan yang didapat sebesar 17,30%, rendemen kulit sebesar 6,65%, rendemen kepala sebesar 17,29% dan rendemen tulang sebesar 13,89%. Rendemen terbesar terdapat pada daging yakni 44,11%. Rendemen terkecil terdapat pada kulit sebesar 6,65%. Diagram pie rendemen ikan belut disajikan pada Lampiran 4.

Pemanfaatan belut umumnya digunakan sebagai ikan konsumsi. Menurut Sulistyarini (2007) belut berpotensi dijadikan kerupuk kulit dan kamoboko. Belut juga dapat dijadikan sosis ikan, bakso, dan berbagai variasi makanan lain. Hal ini disebabkan kandungan protein belut yang tergolong tinggi sekitar 14 gram dalam 100 gr belut. Kepala belut berpotensi untuk dijadikan obat kuat, jeroan belut dapat dimanfaatkan sebagai pakan, kulit belut dapat dijadikan bahan baku pembuatan kerupuk, dan tulang belut dapat dijadikan tepung ikan.

Analisis proksimat bertujuan mengidentifikasi komposisi kimia belut sawah (Monopterus albus). Analisis proksimat memiliki beberapa keunggulan yakni merupakan metode umum yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan, tidak membutuhkan teknologi yang canggih dalam pengujiannya, menghasilkan hasil analisis secara garis besar, dapat menghitung total digestible nutrient (TDN) dan dapat memberikan penilaian secara umum pemanfaatan dari suatu bahan pangan. Analisis proksimat juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya tidak dapat menghasilkan kadar dari suatu komposisi kimia secara, tidak dapat menjelaskan tentang daya cerna serta testur dari suatu bahan pangan (Utomo 2000).

Analisis proksimat yang dilakukan menunjukkan ikan belut sawah mengandung kadar protein sebesar 15,76%, kadar lemak sebesar 0,12%, kadar air sebesar 78,81%, dan kadar abu sebesar 0,33%. Komposisi kimia belut tiap 100 gram menurut Sarwono (1994) dalam Santoso (2001) mengandung protein sebesar 14 gram, lemak 27 gram, kalori 303 kal, kalsium 20 mg, forfor 200 mg, besi 1 mg, vitamin A 1600 SI, dan kadar air sebesar 58 gram.

Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Proses pembakaran menyebabkan bahan-bahan organik terbakar, tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 2008). Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Mineral yang paling penting dalam bahan pangan diantaranya kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), mangan (Mn), kobalt (Co), besi (Fe), tembaga (Cu), natrium (Na), klor (Cl), kalium (K), yodium (I), dan flour (F). Prinsip pengujian kadar abu (total mineral) dalam bahan pangan ditentukan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550 oC – 600 oC (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010). Hasil pengujian kadar abu total menunjukkan kadar abu yang terdapat pada belut sawah sebesar 0,33%. Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010) menyatakan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi kandungan kadar mineral sebesar 7%. Hal ini menunjukkan kadar abu yang dimiliki belut sawah tergolong rendah. Sarwono (1994) dalam Santoso (2001) menyatakan belut memiliki kandungan kalsium sebesar 20 mg/100 gram, fosfor sebesar 200 mg/100 gram, dan zat besi sebesar 1 mg/100 gram. Jika dalam dinyatakan dalam bentuk persentase, total mineral yang dikandung belut < 0,33% dari total berat bahan.

Hasil kadar abu yang didapat jauh lebih tinggi dibandingkan hasil dari Sarwono (1994) dalam Santoso (2001). Hal ini dapat disebabkan pengaruh pemberian abu gosok pada belut. Rahman (2004) menyatakan abu gosok merupakan sisa bahan anorganik yang didapat dari pembakaran suatu bahan, sehingga abu gosok juga mengandung sejumlah mineral.

Proses preparasi ikan belut sawah yang tidak memperhatikan aspek sanitasi memungkinkan mineral dalam abu gosok turut tercampur dalam daging belut. Hal ini dapat terlihat dari persentase kadar abu yang didapat. Kadar abu yang didapat dari praktikum sebesar 0,33% sementara kadar abu belut sawah menurut Sarwono (1994) dalam Santoso (2001) <0,25%. Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Ozogul dan Ozogul (2005) dalam Sulistyarini (2007) komposisi kimia suatu bahan pangan ditentukan oleh jenis spesies, makanan, musim, letak geografis, tingkat kematangan gonad, dan ukuran ikan. Kadar mineral merupakan salah satu komposisi kimia bahan pangan, sehingga faktor-faktor tersebut turut mempengaruhi kadar mineral suatu bahan. Santoso (2001) menyatakan setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme yang hidup di dalamnya. Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan.

SIMPULAN DAN SARAN

Belut sawah merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang dapat dibudidayakan. Saat ini belut sudah menjadi komoditas ekspor ke beberapa negara. Belut memiliki kandungan gizi yang baik. Analisis proksimat pada belut dilakukan untuk mengetahui kadar air, kadar protein , kadar lemak, dan kadar abu belut. Belut sawah (Monopterus albus) memiliki kadar air sebesar 78,81%, kadar abu 0,33%, kadar protein 15,76%, dan kadar lemak sebesar 0,12%.

Praktikum analisis proksimat belut perlu menggunakan belut dari spesies yang berbeda agar dapat mengetahui perbandingan komposisi kimia dari spesies yang berbeda tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

[DJPB] Ditjen Perikanan Budidaya. 2012. Belut, komoditas ekspor yang sudah dapat dibudidayakan.http://www.kkp.go.id. (13 Mei 2012).

Muchtadi TR dan Ayustaningwarno F. 2010. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bandung: Alfabeta.

Qing H, Li L, Tao W, Daming Z, Qing-Yin Z. 2008. Purification and partial characterization of glutathione transferase from the teleost Monopterus albus. Comparative Biochemistry and Physiology Part C: Toxicology & Pharmacology. Vol 147 (1): 96-100.

Rahman S. 2004. Belut untuk nyeri ulu hati hingga vitalitas. htpp://www.kompas.co.id. (13 Mei 2012).

Sarwono B. 2003. Budidaya Belut dan Sidat. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Santoso HB. 2001. Belut Pemeliharaan dan Pembesaran.Yogyakarta: Kanisius.

Sulistyarini D. 2007. Pemanfaatan belut (Monopterus albus) dalam pembuatan keripik. [skripsi] Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor.

Sundoro RMS. 2005. Belut Budidaya dan Pemanfaatannya. Jakarta: Agromedia.

Tilman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawiro K, dan Lebdosoekoekojo S. 2001. IlmuMakananTernakDasar.Yogyakarta: Gajah mada University Press.

Utomo R. 2000. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM

Wang X, Gong H, Yang J, Lin T. 2009. Purification of Anguilla anguilla serum imunoglobulin by euglobulin precipitation.Fujian Journal of Agricultural Sciences; Vol 9 (03): 103-108.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Morfologi belut sawah (Monopterus albus)

Sumber : Koleksi pribadi (2012)

Lampiran 2 Perhitungan kadar abu belut sawah (Monopterus albus)

Pengulangan 1: cawan kosong = 23,85 gram

Sampel awal = 3,10 gram

Berat cawan + sampel kering = 23,86 gram

Pengulangan 2: cawan kosong = 40,19 gram

Sampel awal = 3,06 gram

Berat cawan + sampel kering = 40,22 gram

Kadar abu = berat abu/berat sampel awal x 100%

Hasil Perhitungan

Pengulangan 1

Kadar abu =

Kadar abu = 0,32%

Pengulangan 2

Kadar abu =

Kadar abu = 0,33%

Kadar abu rata-rata = (0,32% + 0,33%)/ 2

Kadar abu rata-rata = 0,325% 0,33%

Lampiran 3 Hasil rendemen belut sawah (Monopterus albus)

Kelompok UlanganBerat awal (gr)

Rendemen

Daging (%)

Tulang (%)

Kepala (%)

Kulit (%)Jeroan (%)

1 A 68 47,06 10,29 11,77 8,82 22,06

B 47 55,32 17,02 10,64 6,38 10,64

2 A 57 49,12 12,28 12,28 7,02 19,30

B 42 52,38 11,90 11,90 4,76 19,00

3 A 55 50,90 12,7 7,27 9,09 20,04

B 62 43,50 14,51 4,83 8,06 29,03

4 A 42 47,60 14,28 11,90 4,76 21,46

B 54 50,00 9,25 9,25 7,40 24,00

5 A 72 51,39 25,00 6,94 8,33 8,34

B 49 51,03 28,57 8,16 6,12 6,12

6 A 46 54,34 15,22 8,70 6,52 15,22

B 57 50,80 14,04 12,28 8,77 14,04

7 A 65 46,20 12,30 6,20 6,20 29,10

B 63 41,30 14,30 7,90 7,90 28,60

8 a 46 47,83 10,87 6,52 4,35 30,43

b 74 54,05 10,81 10,81 10,81 3,52

Rata-rata 56 44,11 13,89 17,29 6,65 18,05

Lampiran 4 Diagram pie rendemen belut sawah (Monopterus albus)

Keterangan: ( ) rendemen kulit ; ( ) rendemen jeroan; ( ) rendemen daging; ( ) rendemen tulang dan kepala

PBB Cobia

Posted: Agustus 8, 2012 in pbb

0

Laporan Praktikum II Asisten : Tri Kalbu Ardiningrum S.

m.k. Pengetahuan Bahan Baku

Industri Hasil Perairan

PENGUJIAN KADAR PROTEIN IKAN COBIA

(Rachycentron canadum)

Prisca Sari Paramudhita (C34100004)

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

28 Februari 2012

ABSTRAK

Ikan cobia (Rachycentroncanadum) merupakan ikan ekonomis penting di Asia. Ikan cobia belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Ikan cobia merupakan salah satu komoditas ekspor yang bernilai tinggi. Analisis proksimat dilakukan pada ikan cobia bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia dari ikan cobia meliputi analisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu. Praktikum pengujian parameter kimia pada ikan cobia dilakukan pada Selasa, 28 Februari 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Metode yang digunakan dalam pengamatan adalah perhitungan morfometrik, penghitungan rendemen, dan analisis proksimat. Hasil uji morfometrik menunjukkan panjang total ikan cobia adalah 54,5 cm dan tinggi total ikan cobia sebesar 16,8 cm. Hasil rendemen daging ikan cobia sebesar 29,50%, rendemen jeroan 13,28%, rendemen kulit 7,06%, dan rendemen kepala dan tulang sebesar 46,73%. Analisis proksimat ikan cobia yang dibahas meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan kadar abu yang terkandung pada ikan cobia. Hasil percobaan menunjukkan ikan cobia memiliki kandungan air rata-rata sebesar 73,07%, kadar lemak sebesar 7,4%, kadar protein sebesar 8,1%, dan kadar abu sebesar 1,09%, dengan bobot utuh 1967,55 gram.

Kata kunci :analisisproksimat,ikan cobia,kadar protein, morfometrik, rendemen

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas laut yang besar. KKP (2010) mengatakan Indonesia memiliki luas laut sekitar 5.176.800 km2dengan volume produksi perikanan tangkap sebesar 5.384.418 ton pada tahun 2010. Besarnya luas laut membuat Indonesia kaya akan sumberdaya perairan laut. Salah satunya adalah ikan cobia (Rachycentroncanadum).

Ikan cobia dikenal dengan nama Ling, Lemonfish, Crebeater dan Cobio. Ikan ini termasuk ikan pelagis yang hidup di perairan tropis dan sub tropis. Ikan cobia banyak ditemukan di Samudra Pasifik, Atlantik dan sebelah barat daya Meksiko. Ikan cobia di Indonesia umumnya dijumpai di perairan Bali (Priyono et al. 2005).

Klasifikasi ikan cobia menurut Saanin (1984) adalah:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Famili : Rachycentridae

Genus : Rachycentron

Spesies : Rachycentroncanadum

Ikan cobia memiliki bentuk tubuh menyerupai torpedo serta memiliki kepala dan mulut relatif lebar dibandingkan bagian tubuh lainnya. Sisik berukuran kecil dan terbenam dalam kulit yang tebal. Sirip punggung panjang dengan duri dan memiliki jari-jari dengan rumus D VI—IX, 30-33. Ikan cobia memiliki 6-9 duri keras pendek yang terpisah satu dengan lainnya di depan sirip punggung. Sirip dubur cukup panjang dengan duri dan jari-jari berumus A II—III, 23-25 (Ditty 2002).

Badan ikan cobia berwarna coklat gelap dengan bagian bawah badan berwarna kekuning-kuningan. Ikan cobia memiliki dua garis tebal keperakan sepanjang tubuhnya pada ikan yang masih muda. Ukuran ikan di alam yang ditemukan sekitar 80-100 cm dengan panjang maksimum 180 cm (FAO 2012).

Ikan cobia memiliki rasa yang sangat lezat dan mudah diolah menjadi masakan. Warna daging ikan cobia putih dan banyak diminati di mancanegara. Hal ini yang membuat budidaya ikan cobia mulai diminati masyarakat. Harga jual ikan cobia untuk pasar ekspor mencapai 7-8 USD (Kaiser dan Holt 2004).

Tingginya potensi yang dimiliki ikan cobia membuat perlu dilakukannya pengamatan komposisi kimia ikan cobia sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara maksimal. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah analisis proksimat. Tujuan dilakukannya analisis proksimat pada ikan cobia adalah mengetahui komposisi kimia dari ikan cobia, termasuk analisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Praktikum pengujian kadar protein ikan cobia (Rachycentron canadum), dilakukan pada hari Selasa, 28 Februari 2012. Praktikum dilaksanakan pada pukul 10.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada praktikum pengujian parameter kimia (analisis proksimat) adalah ikan cobia (Rachycentroncanadum). Bahan lain yang digunakan adalah H2SO4, asamborat dan HCl. Alat yang digunakan adalah wadah tempat ikan, pisau bedah, tissue, lap, timbangan digital, cawan proselen, kertas saring, alat destilasi lengkap, burret, kompor listrik, labu Kjeldahl, pipet ukur, penggaris, penghitung waktu dan alat tulis.

ProsedurKerja

Praktikum pengujian kadar protein dilakukan dengan pematian ikan cobia dengan cara ditusuk pada bagian medula oblongata. Ikan yang telah mati kemudian ditimbang bobotnya. Pengukuran morfometrik kemudian dilakukan pada ikan cobia meliputi panjang total dan tinggi badan. Ikan cobia

kemudian dihitung nilai rendemennya. Bobot utuh ditimbang dengan timbangan digital. Jeroan, kulit, serta tulang dan kepala masing-masing dipisahkan dan ditimbang, lalu dilakukan perhitungan nilai rendemen.

Analisis proksimat dilakukan pada ikan cobia meliputi analisis kadar air, kadar lemak, kadar protein dan kadar abu. Perhitungan kadar protein ikan cobia dilakukan dengan penimbangan 5 gram daging ikan cobia yang telah dicacah. Analisis kadar protein dibagi menjadi tiga tahapan yakni destruksi, destilasi dan titrasi. Tahap awal, sampel didestruksi dengan H2SO4pada suhu 410 oC hingga sampel berwarna hijau bening. Filtrat hasil destruksi kemudian didestilasi dengan penambahan larutan NaOH hingga sampel berubah warna menjadi hijau. Filtrat hasil destilasi, dititrasi sampai terjadi perubahan warna menjadi merah seperti warna semula. Diagram alir pengujian protein kasar pada ikan cobia disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir analisis kadar protein ikan cobia

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi adalah ilmu tentang ukuran ataupun bentuk makhluk hidup (Nishida et al. 2000). Hasil praktikum menunjukkan ikan cobia memiliki bentuk tubuh menyerupai torpedo (streamline), memiliki kepala dan mulut relatif lebar dibandingkan bagian tubuh lainnya. Sirip pada ikan cobia yaitu sirip punggung (dorsal), sirip dada (pektoral), sirip perut (ventral), sirip dubur (anal) dan sirip ekor (kaudal). Sirip dorsal pertama berupa duri yang berjumlah 7. Menururt Faulk & Holt (2008) ikan cobia memiliki duri 6-9 pada sirip dorsal pertama. Morfologi ikan cobia disajikan pada Lampiran 1.

Morfometrik adalah ilmu yang mempelajari tentang bagian dari tubuh ikan yang dapat diukur (Turan 2000). Pengukuran morfometrik ikan cobia meliputi panjang total dan tinggi badan. Panjang total diukur dari ujung mulut hingga ujung terakhir dari sirip kaudal. Tinggi badan diukur dari tinggi terpanjang dari pangkal sirip dorsal. Panjang total yang didapat adalah 54,5 cm dan tinggi badan sebesar 16,8 cm. Perbandingan antara panjang total dan tinggi badan ikan cobia yang didapat adalah adalah 3:1. Hasil yang didapat sesuai dengan pendapat FAO (2012) yang mengatakan ikan cobia mempunyai rumus jari-jari sirip DVI—IX, 30-33, A II—III, 23-25 sisik LL 35-39, dan perbandingan panjang total dan tinggi badan sekitar 3:1.

Rendemen adalah proporsi dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan (Sentosa 2004). Rendemen dihitung dari bobot sampel per bobot total. Rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa bagian tubuh ikan yang dapat digunakan. Hasil pengukuran rendemen ikan cobia disajikan pada Lampiran 2.

Hasil praktikum menunjukkan rendemen daging yang dimiliki ikan cobia adalah sekitar 29,50%. Menurut Faulk & Holt (2008) rendemen daging ikan cobia berkisar antara 20% – 40%. Persentase rendemen yang bervariasi antara jenis ikan ditentukan oleh bentuk tubuh dan umur yang dimiliki ikan.

Pengukuran rendemen jeroan yang didapat sebesar 13,28%, rendemen kulit sebesar 7,06%, dan rendemen kepala dan tulang sebesar 46,73%. Rendemen tertinggi terdapat pada kepala dan tulang. Hal ini disebabkan saat filletingmasih terdapat daging ikan cobia yang menempel sehingga mempengaruhi nilai akhir pengukuran rendemen. Perbandingan persentase rendemen antar bagian tubuh ikan cobia disajikan pada Lampiran 2.

Pemanfaatan ikan cobia saat ini umum digunakan sebagai ikan konsumsi. Ikan cobia merupakan ekspor unggulan di negara Vietnam. Hal ini dikarenakan ikan cobia memiliki rasa yang lezat (FAO 2012).

Analisis proksimat adalah suatu metode analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung dalam makanan (Tilman et al. 2001).

Analisis proksimat memiliki beberapa keunggulan yakni merupakan metode umum yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan, tidak membutuhkan teknologi yang canggih dalam pengujiannya, menghasilkan hasil analisis secara garis besar, dapat menghitung Total Digestible Nutrient (TDN) dan dapat memberikan penilaian secara umum pemanfaatan dari suatu bahan pangan. Analisis proksimat juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya tidak dapat

menghasilkan kadar dari suatu komposisi kimia secara, tidak dapat menjelaskan tentang daya cerna serta testur dari suatu bahan pangan (Utomo 2000).

Pengujian kadar protein ikan cobia dilakukan dengan metode Kjeldahl. Metode ini dilakukan dengan tiga tahapan yakni destruksi, destilasi dan titrasi. Destruksi sampel menggunakan asam kuat yakni H2SO4. Asam kuat menurut Utomo (2000) digunakan untuk memutus ikatan makro molekul dari suatu bahan menjadi unsur-unsur yang sederhana. Proses destruksi umumnya menggunakan katalisator seperti Selenium untuk mempercepat laju reaksi. Selenium berfungsi mempercepat proses oksidasi karena Selenium dapat menaikkan titik didih H2SO4 dan mudah melakukan perubahan dari valensi tinggi ke valensi rendah ataupun sebaliknya. Reaksi yang terdapat pada proses destruksi adalah

CxHyOzN+H2SO4(NH4)2SO4+CO2+ H2O

Destilasi sampel menggunakan NaOH dan asam borat. Larutan NaOH digunakan untuk memecah ikatan ammonium sulfat menjadi ammonia (NH3). Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh asam borat 4% dalam jumlah yang berlebihan (Tilman et al. 2001). Reaksi pada tahap destilasi adalah

(NH4)2SO4+NaOHNH3+Na2SO4 +H2O

NH3 + H3BO3NH4H2BO3 + O2

Tahap titrasi menggunakan kelebihan H2SO4 dengan larutan HCl. Hasil titrasi mengubah warna larutan dari biru menjadi biru kehijauan (Muray 2002). Reaksi pada tahap titrasi adalah sebagai berikut:

NH4H2BO3 + HCl NH4Cl + H3BO3

Metode Kjeldahl yang digunakan dalam perhitungan kadar protein memiliki beberapa keunggulan yaitu merupakan metode umum yang digunakan dalam perhitungan kadar protein, cocok digunakan secara semimikro karena hanya memerlukan jumlah sampel dan pereaksi dalam jumlah kecil, tidak memerlukan waktu analisis yang panjang dan tidak memerlukan alat yang rumit dalam perhitungannya. Kelemahan yang dimiliki metode Kjeldahl yakni mengasumsikan semua nitrogen bahan pangan adalah protein, kenyataannya tidak semua nitrogen berasal dari protein. Kelemahan yang kedua yang adalah asumsi bahwa kadar nitrogen dalam protein adalah 16 %. Kenyataannya tidak selalu kadar nitrogen yang terdapat pada suatu bahan pangan (khususnya ikan) adalah 16%. Kelemahan ketiga adalah menggunakan asam sulfat pekat pada suhu tinggi dapat menimbulkan bahaya yang cukup besar (Muray 2002).

Hasil percobaan menunjukkan ikan cobia memiliki kandungan air rata-rata sebesar 73,07%, kadar lemak sebesar 7,4%, kadar protein sebesar 8,1% dan kadar abu 1,09%. Menurut Faulk dan Holt (2008) ikan cobia mengandung total protein sebesar 25,4%. Hasil pengujian kadar protein ikan cobia berbeda jauh dengan pendapat yang disampaikan Faulk dan Holt (2008). Perbedaan kadar protein yang diperoleh dapat disebabkan oleh kesalahan dalam melakukan praktikum, perbedaan ras ikan cobia yang digunakan, habitat, jenis kelamin, umur dan makanan yang dikonsumsi setiap hari (Ozogul & Ozogul 2005).

Menurut Nurjanah (2011) ikan yang memiliki daging merah mengandung protein dalam jumlah yang lebih sedikit dibanding ikan yang mengandung daging putih. Ikan yang memakan makanan yang kaya protein akan memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibanding ikan yang memakan makanan rendah protein. Umur juga menentukan kadar protein dari ikan. Jouvenile umumnya mengandung

kadar protein rebih rendah dibanding ikan dewasa, karena hampir seluruh makan pada jouvenile digunakan untuk pertumbuhan, berbeda dengan ikan dewasa yang menggunkan makanan untuk perkembangan.

Pengujian analisis proksimat pada ikan cobia dapat memberikan pengetahuan mengenai komposisi kimia pada ikan tersebut sehingga pemanfaatan ikan cobia dapat dilakukan secara maksimal. Ikan cobia berpotensi dimanfaatkan sebagai suplemen perawatan kulit karena mengandung vitamin E yang tinggi. Menurut Faulk dan Holt (2008) ikan cobia mengandung vitamin E sekitar 10,2%.

SIMPULAN DAN SARAN

Analisis proksimat adalah suatu metode analisis kimia untuk mengidentifikasikan kandungan nutrisi pada bahan pangan. Praktikum analisis proksimat pada ikan cobia menunjukkan ikan cobia memiliki kandungan air rata-rata sebesar 73,07%, kadar lemak sebesar 7,4%, kadar protein sebesar 8,1% dan kadar abu sebesar 1,09%. Hasil uji morfometrik ikan cobia menunjukkan panjang total sebesar 54,5 cm dan tinggi total ikan cobia sebesar 16,8 cm. Hasil rendemen daging ikan cobia sebesar 29,50%, rendemen jeroan 13,28%, rendemen kulit 7,06%, rendemen kepala dan tulang sebesar 46,73 %.

Metode kjeldahl hanya dapat menghitung kadar protein berdasarkan jumlah Nitrogen, sehingga diperlukan metode lain yang dapat mengukur daya cerna protein dari suatu bahan pangan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui persentase penyerapan protein yang dapat dilakukan oleh tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

Ditty JG. 2002. Larval development, distribution, and ecology of cobia Rachycentron canadum in the northern Gulf of Mexico. Fishery Bulletin 90(1): 668-677.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2012. Cultured Aquatic Species Information Programme Rachycentroncanadum(Linnaeus, 1766). www.fao.go.id. (12 Maret 2012).

Faulk CK dan Holt. 2008. Biochemical composition and quality of captive-spawned cobia Rachycentron canadum eggs.Aquaculture 279 (2008): 70-76.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Data Statistik Perikanan Tangkap di Indonesia. www.kkp.go.id. (3 Maret 2012).

Kaiser JB dan Holt GJ. 2004. Cobia: a new species for aquaculture in the US. World Aquaculture, 35:12-14.

Muray RK. 2002. Harpers Biochemistry. USA: Prentice Hall International.

Nishida T, Y. Hayashi, Hashiguchi, dan SS Mansjoer. 2000. Distribution and identification of jungle fowl in Indonesia.The Origin and Phylogeny of Indonesian Native Livestock. Vol. 2 pp. 85-95.

Ozogul Y dan Ozogul F. 2005 Fatty acid profiles of commercially important fish spesies from the Mediterannean important fish species from the Mediterannean. J Food Chem 100: 1634-1638.

Priyono A, Slamet B, Sutarmat T. 2005. Pengamatan Beberapa Aspek Biologi Ikan Cobia (Rachycentron canadum) dari Perairan Bali Utara. [Prosiding]. Bali: Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta.

Sentosa G. 2004. Pengaruh Lama Penyulingan terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Atsiri Daun Sereh Wangi. [skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Tilman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawiro K, dan Lebdosoekoekojo S. 2001. IlmuMakananTernakDasar.Yogyakarta: Gajah mada University Press.

Turan C. 2000. A Note on The Examination of Morphometric Differentiation Among Fish Populations: The Truss System. Journal of The University of Mustafa Kemal, Faculty of Fisheries, Hatay-Turkey Vol 2B: 123-130.

Utomo R. 2000. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM

LAMPIRAN

Lampiran 1 Morfologi ikan cobia (Rachycentron canadum)

Sumber: FAO (2012)

Lampiran 2 Data persentase rendemen ikan cobia (Rachycentron canadum)

KelompokBobot/

Ikan utuhBerat jeroan

Berat kepala dan tulang

Berat kulit Berat daging

1 2713 407 1303 200 741

2 2713 407 1303 200 741

3 2713 407 1303 200 741

4 2713 407 1303 200 741

5 1222,1 188,7 536 78 420

6 1222,1 188,7 536 78 420

7 1222,1 188,1 536 78 420

8 1222,1 188,1 536 78 420

Rata-rata 1967,55 261,267 919,5 139 580,5

Persentase 13,2788 46,73325 7,064624 29,5037

Lampiran 3 Contoh perhitungan rendemen ikan cobia (Rachycentron canadum)

Perhitungan rendemen daging

Lampiran 4 Diagram pie rendemen ikan cobia (Rachycentron canadum)

Keterangan: ( ( ) rendemen tulang; ( ) rendemen jeroan; ( ) rendemen daging;

( ) rendemen kulit

Lampiran 5 Diagram pie analisis proksimat ikan cobia (Rachycentron canadum)

Keterangan: ( ( ) kadar lemak; ( ) kadar abu; ( ) rendemen daging;

( ) kadar protein

Lampiran 6 Perhitungan kadar air ikan cobia (Rachycentron canadum)

Diketahui: Bobot cawan kosong 1 = 21,16 gram

Bobot cawan kosong 2 = 27,55 gram

Sampel 1 = 5,000 gram

Sampel 2 = 5,060 gram

Berat cawan setelah 1 = 22,45 gram

Berat cawan setelah 2 = 28,97 gram

Kadar Air 1 :

Berat setelah dikeringkan = 22,45 – 21,16 = 1,29

Kehilangan berat = berat sampel awal – berat setelah dikeringkan

= 5 – 1,29

= 3,71

Kadar Air 1 = 3,71/5 x 100% = 74,2%

Kadar Air 2 :

Berat setelah dikeringkan = 28,97 – 27,55 = 1,42

Kehilangan berat = berat sampel awal berat setelah dikeringkan

= 5,06 – 1,42

= 3,64

Kadar Air 2 = 3,64/5,06 x 100% = 71,94%

Kadar Air rata-rata = = 73,07%

Lampiran 7 Perhitungan kadar abu ikan cobia (Rachycentron canadum)

Diketahui : Sampel kering awal 1 = 22,45 gram

Sampel kering awal 2 = 128,97 gram

Sampel kering setelah 1 = 21, 22 gram

Sampel kering setelah 2 = 27,60 gram

Kadar Abu 1

Berat abu 1 =(berat sampel + cawan akhir) – (berat cawan kosong)

= 21,22 – 21,16

= 0,06

Kadar abu = berat abu/berat sampel awal x 100%

= 0,06/5 x 100%

= 1,2%

Kadar Abu 2

Berat abu 1 =(berat sampel + cawan akhir) – (berat cawan kosong)

= 27,60 – 27,55

= 0,05

Kadar abu = berat abu/berat sampel awal x 100%

= 0,05/5,06 x 100%

= 0,98%

Kadar abu rata-rata = = 1,09%

Lampiran 8 Perhitungan kadar protein ikan cobia (Rachycentron canadum)

Diketahui: ml HCl sampel = 0,9500 ml

ml Blanko = 0,0000 ml

N HCl = 0,1013 N

Faktor pengenceran = 10,000 kali

Sampel = 1,0400 gram

8,1007%

Lampiran 9 Perhitungan kadar lemak ikan cobia (Rachycentron canadum)

Diketahui: Labu lemak = 74,50 gram

Labu akhir = 74,87 gram

Berat Sampel = 5 gram

PBB Genjer

Posted: Agustus 8, 2012 in pbb

0

Laporan Praktikum V Asisten: Silvia Handayani

m.k. Pengetahuan Bahan Baku

Industri Hasil Perairan

PENGUJIAN KOMPONEN BIOAKTIF GENJER (Limnocharis flava)

Prisca Sari Paramudhita (C34100004)

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

Tanggal: 22 Mei 2012

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara agraris yang sangat kaya akan berbagai jenis tanaman, baik sayur-sayuran maupun buah-buahan. Salah satunya adalah genjer. Genjer (Limnocharis flava) merupakan tanaman terna, yang tumbuh di rawa atau kolam berlumpur yang banyak mengandung air. Komposisi kimia tanaman genjer tiap 100 gram bahan mengandung energi sebesar 33 kkal, protein kasar sebesar 1,7 gram, lemak kasar sebesar 0,2 gram, karbohidrat sebesar 7,7 gram, kalsium sebesar 62 mg, fosfor sebesar 33 mg, zat besi sebesar 2,10 mg, vitamin A sebesar 3.800 mg, vitamin B1 sebesar 0,070 mg, vitamin C sebesar 54 mg, dan air sebesar 90 gram. Pemanfaatan tanaman genjer diantaranya sebagai sayuran, pakan ternak, tanaman fitofiltrasi terhadap polusi air, tanaman penghias kolam, dan pupuk. Praktikum pengujian komponen bioaktif genjer (Limnocharis flava) dilakukan untuk mengetahui komponen bioaktif pada genjer. Praktikum dilakukan pada hari Selasa, 22 Mei 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Hasil uji fitokimia pada daun tumbuhan genjer menunjukkan hasil positif pada uji steroid, fenol hidroquinon, dan benedict. Hasil negatif ditunjukkan pada uji alkaloid, flavonoid, saponin, molish, biuret, dan ninhidrin. Fenol hidrokuinon dan gula pereduksi merupakan metabolit sekunder utama pada tanaman genjer.

Kata kunci: bioaktif, fitokimia, genjer, sayuran, steroid

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara agraris yang sangat kaya akan berbagai jenis tanaman, baik sayur-sayuran maupun buah-buahan. Sayur dan buah sangat baik untuk dikonsumsi oleh tubuh, karena selain mengandung vitamin, sayur dan buah juga mengandung kadar serat yang tinggi. Salah satunya jenis sayur adalah genjer (Limnocharis flava). Genjer merupakan tanaman terna, yang tumbuh di rawa atau kolam berlumpur yang banyak mengandung air. Genjer berasal dari negara bagian di Amerika Serikat yang beriklim tropis. Tanaman genjer diperkenalkan ke Indonesia lebih dari satu abad yang lalu. Tanaman genjer merupakan tumbuhan rawa yang berakar dalam tanah, bergetah, dan menghasilkan tanaman baru dengan membesarkan tangkai bunganya sehingga terbentuk akar pada ujungnya. Genjer tumbuh di tempat-tempat yang terendam air, di parit-parit, kolam-kolam air tawar, dan sawah-sawah yang berair. Sawah merupakan tempat tumbuh genjer dalam jumlah yang sangat besar (Bergh 1994 dalam Rusydi 2010). Klasifikasi tanaman genjer menurut Plantamor (2008) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Liliopsida

Ordo : Alismatales

Family : Limnocharitaceae

Genus : Limnocharis

Spesies : Limnocharis flava

Tanaman genjer memiliki umur lebih dari 1 tahun. Proses penanaman genjer dilakukan dengan perendaman bagian tanaman ke dalam lumpur. Jenis tanaman ini tumbuh luas dengan merumpun, memiliki tinggi sekitar 30 – 80 cm. Genjer memiliki daun berbentuk bulat telur, tebal, dan berisi, dengan tangkai daun yang panjang, berwarna hijau muda, bersisi tiga, sisi di belakang ujung daun berpori dengan tepi berwarna keunguan, dan panjang daunnya berkisar 7,5 – 27 cm (Heyne 1997 dalam Alfa 2003)

Genjer di Indonesia lebih banyak ditemukan di pulau Sumatera dan Jawa. Genjer di pulau Jawa terdapat di dataran rendah bagian barat sampai dengan ketinggian 1300 m di atas permukaan laut. Reproduksi tanaman genjer dapat dilakukan secara vegetatif dan biji. Reproduksi vegetatif dilakukan oleh kapsul yang menekuk ke arah air. Reproduksi secara biji terkandung dalam kapsul matang atau folikel (Alfa 2003)

Menurut Heyne (1987) dalam Alfa (2003) di daerah Toba, genjer digunakan sebagai makanan ternak terutama babi. Tanaman genjer juga dapat dibudidayakan sebagai tanaman hias, selain itu genjer juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu jenis sayuran. Menurut Alfa (2003) di Jawa Barat, daun-daun muda dan bunga majemuk yang belum mekar merupakan sayuran yang sering dijual di pasar. Pemanfaatan tanaman genjer secara umum diantaranya sebagai sayuran, pakan ternak, tanaman fitofiltrasi terhadap polusi air, tanaman penghias kolam, dan sebagai pupuk (Abilash et al. 2009). Tanaman genjer diolah menjadi makanan oleh masyarakat India dan sebagian besar Asia Tenggara dimana daunnya mengandung protein sekitar 1-1,6 % sebagai alternatif tanaman bayam (Haynes dan Les 2004).

Tanaman genjer termasuk tanaman liar yang menghasilkan beberapa zat-zat metabolit sekunder yang dikenal sebagai zat bioaktif (Rosydi 2010). Beberapa jenis tanaman genjer dapatdigunakan untuk mengurangi dampat logam berat (Alfa 2003). Hal ini yang membuat perlu dilakukannya pengujian komponen bioaktif pada tanaman genjer. Tujuan praktikum ini adalah mengetahui komponen bioaktif pada genjer (Limnocharis flava) seperti alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidroquinon, molish, benedict, biuret, dan ninhidrin.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Praktikum pengujian komponen bioaktif pada tanaman genjer (Limnocharis flava) dilakukan pada hari Selasa, 22 Mei 2012 pada pukul 10.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Laboratorium

Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada praktikum adalah hasil ekstraksi tumbuhan genjer, kloroform, anhidra asetat, magnesium, HCl, asam sulfat 2N, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, pereaksi Molish, FeCl3, pereaksi Benedict, pereaksi Biuret, pereaksi Ninhidrin, dan etanol.

Alat yang digunakan adalah erlenmeyer 250 ml, pipet tetes, tabung reaksi, rotary vacuum evaporator, gelas ukur, alumunium foil, timbangan analitik, timbangan analitik, kertas saring, kapas, kompor listrik, dan alat tulis.

Prosedur Kerja

Praktikum pengujian komponen bioaktif pada tanaman genjer diawali dengan ekstraksi bahan. Metode ekstraksi yang digunakan merupakan ekstraksi tunggal dengan 1 jenis pelarut yakni etanol 95%. Penyaringan terhadap sampel kemudian dilakukan sebanyak 3 kali. Evaporasi pada sampel dilakukan selama kurang lebih 5 jam. Diagram alir proses ekstraksi disajikan pada Gambar 1.

Ekstraksi dengan etanol 95%

Genjer segar

preparasi

Penyaringan sebanyak 3 kali

Evaporasi selama 5 jam

Uji Fitokimia

Gambar 1. Diagram alir ekstraksi genjer (Limnocharis flava)

Hasil ekstraksi genjer kemudian diuji komponen bioaktinya melalui uji fitokimia. Uji fitokimia terdiri dari berbagai uji seperti alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, ninhidrin, dan biuret.

Uji Alkaloid

Sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan 3 pereaksi yaitu Dragendorff, Meyer, dan Wagner. Hasil positif uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff menghasilkan warna merah hingga jingga. Hasil positif pereaksi Meyer menghasilkan warna putih kekuningan, dan hasil positif pereaksi Wagner akan menghasilkan warna endapan cokelat.

Uji Steroid/Triterpenoid

Sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform. Sampel kemudian diteteskan dengan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Warna merah yang terbentuk pertama kali dan berubah menjadi warna biru dan hijau menunjukkan hasil positif terhadap uji.

Uji Flavonoid

Sampel ditambahkan dengan serbuk magnesium sebanyak 0,1 mg. Warna merah, kuning, atau jingga yang terbentuk menunjukkan adanya flavonoid.

Uji Saponin (Busa)

Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian diletakkan di dalam air yang telah mendidih. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan sebanyak 1 tetes HCl 2 N. Hasil positif menunjukkan adanya saponin pada suatu bahan.

Uji Fenol hidrokuinon

Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dalam 20 ml etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil 1 ml untuk diuji dengan FeCl3 5%. Warna hijau atau hijau biru yang dihasilkan menunjukkan adanya fenol.

Uji Molish

Prosedur kerja uji molish yaitu sampel diteteskan dengan 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml asam sulfat pekat. Adanya lapisan berwarna ungu pada sampel menunjukkan uji positif molish.

Uji Benedict

Prosedur kerja uji benedict dilakukan dengan sampel yang diteteskan ke larutan benedict, dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Warna merah, kuning, hijau yang terbentuk menunjukkan uji positif.

Uji Biuret

Prosedur kerja uji biuret yaitu 1 ml sampel ditambahkan dengan 4 ml pereaksi biuret kemudian dikocok. Warna ungu yang dihasilkan menunjukkan adanya ikatan peptida pada sampel.

Uji Ninhidrin

Prosedur kerja uji ninhidrin yaitu 2 ml sampel ditambahkan dengan larutan ninhidrin 0,1%, kemudian dipanaskan selama 10 menit. Larutan yang berwarna biru menunjukkan hasil positif asam amino.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Genjer (Limnocharis flava) umumnya dimanfaatkan sebagai sayuran. Bagian tumbuhan genjer yang dimanfaatkan adalah daun yang umumnya berusia muda, karena daun genjer yang tua umumnya memiliki rasa yang pahit. Daun dan bunga tanaman genjer berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Hal ini disebabkan, tanaman genjer mengandung kardenolin, flavonoid, dan polifenol. Komposisi kimia tanaman genjer tiap 100 gram bahan menurut Rosydi (2010) yakni mengandung energi sebesar 33 kkal, protein kasar sebesar 1,7 gram, lemak kasar sebesar 0,2 gram, karbohidrat sebesar 7,7 gram, kalsium sebesar 62 mg, fosfor sebesar 33 mg, zat besi sebesar 2,10 mg, vitamin A sebesar 3.800 mg, vitamin B1 sebesar 0,070 mg, vitamin C sebesar 54 mg, dan air sebesar 90 gram.

Prosedur pengujian komponen bioaktif genjer diawali dengan ekstraksi. Ekstraksi adalah proses untuk menghasilkan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisisa nabati atau simplisisa hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM 2012). Tujuan ekstraksi adalah memisahkan bahan padat dan bahan cair suatu zat dengan bantuan pelarut. Ekstraksi dapat memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia yang berbeda. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi bahan alam umumnya dilakukan untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan

massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi adalah tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, dan tipe pelarut (Tohir 2010).

Metode ekstraksi yang digunakan dalam praktikum adalah ekstraksi tunggal. Ekstraksi tunggal hanya menggunakan 1 jenis pelarut. Praktikum yang dilakukan pada tanaman genjer (Limnocharis flava) menggunakan pelarut polar yakni etanol dengan 3 kali penyaringan. Pemilihan etanol sebagai pelarut menurut Handoko (1995) dalam Tohir (2010) didasarkan beberapa pertimbangan diantaranya selektivitas, kelarutan, kerapatan, reaktivitas, dan titik didih. Etanol memiliki beberapa keunggulan sebagai pelarut yakni memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang besar, beda kerapatan yang signifikan dengan genjer sehingga mudah dipisahkan. Etanol yang memiliki rumus molekul C2H5OH tidak bersifat racun, tidak eksplosif bila bercampur dengan udara, tidak korosif, dan mudah didapatkan. Pelarut etanol umumnya digunakan pada pelarut parfum atau pewangi ruangan. Pelarut etanol memiliki titik didih yang tidak begitu tinggi yakni 78,4 oC sehingga mudah larut atau terbakar dalam panas. Metanol memiliki massa jenis sekitar 0,789 g/ml (Myers dan Myers 2007).

Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen bioaktif dalam suatu bahan (Tohir 2010). Uji fitokimia yang dilakukan terdiri dari uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, ninhidrin, dan biuret. Uji fitokimia yang dilakukan pada tumbuhan genjer disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1 Uji fitokimia pada genjer

Uji Hasil

Alkaloid -

Dragendrof -

Meyer -

Wagner -

Steroid +

Flavonoid -

Saponin -

Molisch -

Bannedict +

Fenol Hidroquinon +

Ninhidrin -

Biuret -

Uji fitokimia pada genjer menunjukkan hasil positif pada uji steroid, benedict, dan fenol hidroquinon. Hasil negatif ditunjukkan pada uji alkaloid, flavonoid, saponin, molish, ninhidrin, dan biuret.

Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007 dalam Tohir 2010). Alkaloid memiliki fungsi dalam bidang farmakologis antara lain sebagai analgetik (menghilangkan rasa sakit), mengubah kerja jantung, mempengaruhi peredaran darah dan pernafasan, antimalaria, stimulan uterus dan anaestetika lokal. Sumber senyawa alkaloid potensial adalah tumbuhan yang tergolong dalam kelompok angiospermae dan jarang atau bahkan tidak ditemukan pada tumbuhan yang tergolong dalam kelompok gimnospermae misalnya paku-pakuan, lumut dan tumbuhan tingkat rendah lain (Harborne 1987 dalamTohir2010). Alkaloid pada tumbuhan dipercaya sebagai hasil metabolisme dan merupakan sumber nitrogen. Kebanyakan alkaloid berupa padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Dekomposisi alkaloid selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan berlangsung dalam waktu lama (Lenny 2006 dalam Tohir 2010). Hasil praktikum yang dilakukan menunjukkan tumbuhan genjer negatif terhadap uji alkaloid. Hal ini sesuai dengan pendapat Rusydi (2010) yang menyatakan tumbuhan genjer tidak mengandung senyawa bioaktif alkaloid. Distribusi alkaloid terbatas pada tumbuhan tingkat tinggi, sekitar 20 % dari spesies angiospermae. Ketersediaan metabolit nitrogen yang sedikit pada tanaman diduga karena ketersediaan unsur dari metabolit nitrogen yang terbatas.

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Terpenoid memiliki beberapa nilai kegunaan bagi manusia, antara lain minyak atsiri sebagai dasar wewangian dan rempah-rempah sebagai cita rasa dalam industri makanan. Fungsi terpenoid bagi tumbuhan adalah sebagai pengatur pertumbuhan (seskuitertenoid abisin dan giberelin), karotenoid sebagai pewarna dan memiliki peran membantu fotosintesis. Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Adapun contohnya adalah sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987 dalam Tohir 2010). Praktikum yang dilakukan pada tumbuhan genjer menunjukkan tumbuhan ini positif terhadap uji steroid/triterpenoid. Hasil yang didapat tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rusydi (2010). Menurut Rusydi (2010) genjer tidak mengandung steroid/triterpenoid. Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.

Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid merupakan inhibitor kuat terhadap peroksidasi lipida, sebagai penangkap oksigen atau nitrogen yang reaktif dan juga mampu menghambat aktivitas enzim lipooksigenase dan enzim siklooksigenase (Sirait 2007 dalam Tohir 2010). Flavonoid berperan sebagai bahan pemberi rasa dari rempah-rempah dan sayuran. Zat ini juga dapat memberi efek anti oksidasi pada hewan (Ujowundu et al.2008). Flavonoid yang termasuk dalam komponen fenol menunjukkan fungsi bagi tanaman seperti pertahanan dari herbivora dan patogen, penyerapan cahaya, penarik pollinator,penghambat pertumbuhan dari tanman pesaing (Wildman 2001). Hasil percobaan menunjukkan genjer negatif terhadap uji flavonoid. Hasil yang tidak sesuai dengan pendapat Rusydi (2010), yang menyatakan flavonoid adalah komponen biokatif utama dari tumbuhan genjer, karena hampir ditemukan di seluruh bagian

pada tumbuhan tersebut. Perbedaan hasil yang didapat dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan. Tanaman genjer diduga cenderung membentuk fenol hidroquinon dibanding flavonoid dalam metabolit sekundernya. Sintesis komponen flavonoid menurut Rusydi (2010) dapat terbentuk dari asam amino protein melalui shikimate.

Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Hasil praktikum menunjukkan tumbuhan genjer positif terhadap uji fenol hidroquinon. Hasil yang didapat sesuai dengan penelitian yang dilakukan Maisuthisakul et al. (2008) yang mengatkan total fenol pada tanaman genjer sebesar 5,4 mgGAE/g BDD.

Saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan heomolisis sel darah merah (Tohir 2010). Hasil percobaan menunjukkan genjer negatif terhadap uji saponin. Hal ini sesuai dengan penelitian Rusydi (2010) yang mengatakan genjer tidak mengandung saponin. Komponen saponin tidak terdeteksi pada tanaman genjer karema unsur pembentuk saponin sangat terbatas pada tanaman genjer seperti aglikon.

Uji molish dan benedict digunakan untuk mengetahui ada tidaknya gula pereduksi. Hasil uji menunjukkan hasil negatif pada uji Molish dan hasil positif pada uji benedict. Menurut Rusydi (2010) genjer memiliki gula pereduksi yang kuat pada bagian daun dan batang. Gula pereduksi adalah glukosa dan gula-gula lain yang mampu mereduksi senyawa pengoksida (senyawa penerima elektron). Winarno (2008) mengatakan perbedaan hasil yang didapat dapat dikarenakan gula pereduksi yang terdapat pada sampel uji mengandung senyawa keton yang umumnya positif pada uji benedict.

Uji biuret dan ninhidrin digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan ikatan peptida dalam bahan. Hasil uji menunjukkan hasil negatif pada biuret dan nihidrin. Hasil yang didapat tidak sesuai dengan pendapat Rusydi (2010) yang menyatakan genjer positif terhadap nihidrin dan negatif pada biuret. Genjer mengandung protein kasar sebesar 1,7 gram tiap 100 gram bahan. Perbedaan hasil yang didapat menurut Rusydi (2010) karena asam amino yang terkandung dalam genjer dalam jumlah kecil. Asam amino yang terdapat di dalamnya diduga lebih banyak merupakan asam amino non protein. Asam amino pada genjer merupakan asam amino hidrofilik (menyukai air).

SIMPULAN DAN SARAN

Ekstraksi pada genjer digunakan memisahkan bahan padat dan bahan cair dengan bantuan pelarut. Filtrat hasil ekstraksi digunakan sebagai sampel uji fitokimia tumbuhan genjer. Hasil uji fitokimia pada daun tumbuhan genjer menunjukkan hasil positif pada uji steroid, fenol hidroquinon, dan benedict. Hasil negatif ditunjukkan pada uji alkaloid, flavonoid, saponin, molish, biuret, dan ninhidrin. Fenol hidrokuinon dan gula pereduksi merupakan metabolit sekunder utama pada tanaman genjer.

Pengujian fitokimia pada tumbuhan genjer perlu menggunakan bagian lain dalam tumbuhan tersebut seperti buah atau batang agar perbandingan komposisi kimia dalam genjer dapat diketahui.

Diperlukan pengujian kuantitatif pada uji fitokimia agar persentase kandungan bioaktif bahan dapat diketahui.

DAFTAR PUSTAKA

Alfa DF. 2003. Kemampuan genjer, kangkung air, dan selada air untuk menurukan konsentrasi logam timbal (Pb) di dalam air. [skripsi] Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Abilash PC. Pundey VC, Srivastava P, Rakesh PS, Chandran S, Singh N, Thomas AP. 2009. Phytofiltration of cadmium from water by Limnocharis flava (l.) grown in free-floating culture system. Journal of Huzurdous Materials. Vol. 170: 791-797.

Ditjen POM. 2012. Ekstraksi. Jakarta: Ditjen POM Departemen Kesehatan RI.

Haynes RR dan Les DH. 2004. Alismates (water plantains). http://www.els.net. (23 Mei 2012).

Maisuthisakul P, Pasuk S, Ritthiruangdej P. 2008. Relationship between antioxydant properties and chemical composition of some Thai plants. Journal of Food Composition and Analysis. 21(1): 229-240.

Myers RL dan Myers RL. 2007. The 100 most important chemical compounds: a reference guide. Westport: Greenwood Press.

Plantamor. 2008. Genjer. http://www.plantamor.com. (23 Mei 2012.

Rusydi R. 2010. Analisis mikroskopis komponene bioaktif tanaman genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede Bogor. [skripsi] Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Tohir AM. 2010. Teknik ekstraksi dan aplikasi beberapa pestisida nabati untuk menurunkan palatabilitas ulat grayak (spodoptera litura fabr.). Buletin Teknik Pertanian 15 (1): 37-40.

Ujowundu CO, Igwee CU, Enemor VHA, Nwaogu LA, Okafor OE. 2008. Nutritive and anti- nutritive properties of Boerhavia diffusa and Comnelina nudiflora Leaves. Journal of Nutrion. &(1): 90- 92.

Wildman REC. 2001. Classfying nutraceuticals. Di dalam Wildman REC editor. Handbook of Neutraceuticals and Fuctional Foods. New York: CRC Press.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.